Pertempuran Memperebutkan Pulau Jawa, 28 Februari – 12 Maret 1942
Pertempuran merebut Pulau Jawa atau Invasi Jawa, adalah salah satu pertempuran terlupakan pada medan Perang Pasifik, yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Perang Dunia II. Pertempuran singkat ini terjadi di pulau Jawa dari tanggal 28 Februari sampai dengan 12 Maret 1942. Pertempuran ini mempertemukan pasukan dari Kekaisaran Jepang, yang menyerbu pulau itu pada tanggal 28 Februari 1942, dengan sisa-sisa tentara Sekutu yang terus-terusan terpukul mundur sejak invasi Jepang menyerbu Malaya tanggal 7 Desember 1941. Komandan Sekutu pada akhirnya menandatangani penyerahan resmi di markas besar tentara Jepang di Bandung pada tanggal 12 Maret. Berikut adalah kisah dari pertempuran yang banyak memakan korban, tapi nyaris tidak memberikan kontribusi signifikan Tentara Sekutu dalam mempertahankan diri melawan agresi Jepang di Asia-Pasifik.
STRATEGI JEPANG
Segera setelah Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii, pada 7 Desember 1941, Jepang segera mengarahkan pandangannya pada Hindia Belanda/Dutch East Indie (DEI) dan minyaknya, yang sedari awalnya telah direncanakan sebagai tujuan strategis yang mereka inginkan demi kelangsungan hidup mereka. Dengan merebut area penyimpan emas hitam (minyak bumi) yang didambakan, pulau Jawa, yang luas 53.589 mil persegi dan menjadi pulau terbesar ke-13 di Bumi, Pulau ini juga akan dapat dijadikan sebagai perisai geografis utama bagi Jepang. Secara defensif, pulau Jawa — yang memiliki garis pantai utara berhutan, tebing berbatu di pantai selatan, dan pegunungan vulkanik berhutan di bagian pedalamannya — akan memberi Jepang wilayah penyangga terhadap upaya Sekutu untuk merebut kembali DEI. Diluar hal itu, pulau Jawa juga seperti belati yang diarahkan kepada Australia, dimana bersamaan dengan penaklukan Papua, akan mengisolasi Australia yang juga terbuka untuk invasi Jepang. Untuk menaklukkan Jawa, Jepang merencanakan tiga operasi secara simultan yang dimaksudkan untuk meningkatkan posisi taktis mereka, yakni: merebut pulau Timor di sebelah timur untuk memutus hubungan transfer pesawat tempur Sekutu antara Hindia Belanda dengan Australia; melakukan serangan udara di pelabuhan dan pangkalan pasokan di Darwin, Australia, untuk mencegah penguatan secara langsung pertahanan sekutu dari sana; dan mengamankan pulau Bali sebagai pangkalan tempur terdepan untuk melindungi pendaratan di Pulau Jawa. Bagian terakhir ini dianggap sangat penting untuk keberhasilan dalam mengambil alih Jawa, karena kehadiran landasan udara Belanda yang baru dibangun disitu telah dilengkapi dengan fasilitas untuk bisa mengoperasikan pesawat tempur. Pangkalan udara baru itu terletak di dekat ibukota pulau itu, Denpasar.
Lapangan udara baru itu hanya berjarak beberapa ratus mil dari fasilitas angkatan laut dan udara Amerika-Inggris-Belanda-Australia (ABDA) yang berlokasi di Surabaya, Jawa. Setiap kekuatan pesawat tempur ABDA yang berbasis di Denpasar akan dapat menimbulkan kekacauan yang cukup besar terhadap kekuatan apa pun yang mencoba menyerang pulau itu. Sebaliknya, jika Jepang bisa merebut Denpasar, hal itu akan sangat meningkatkan jangkauan kekuatan udara mereka di luar jangkauan pangkalan baru mereka yang baru saja mereka rebut di Kalimantan utara dan sekaligus bisa memberikan dukungan langsung untuk pendaratan di Jawa. Yang terakhir, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) tidak perlu lagi untuk mengambil risiko membawa kapal induk ke perairan dangkal di Laut Jawa untuk mendukung invasi ke Jawa. Para Perencana Jepang percaya bahwa jika mereka bisa mendominasi langit di atas Jawa, maka invasi dan penaklukannya akan relatif mudah. Jadi keberhasilan keseluruhan penyerbuan ke selatan dan pengamanan minyak di wilayah itu akan bergantung pada supremasi kekuatan udara yang terkonsentrasi dan berkelanjutan di wilayah itu.
PIHAK YANG BERTAHAN
Sementara Jepang jelas memahami apa yang diperlukan untuk bisa mengambil alih Jawa, komandan ABDA yang baru diangkat, Jenderal asal Inggris Sir Archibald Wavell, tidak. Sejujurnya, situasi yang baru saja ia warisi begitu cair dan sumber dayanya untuk menghadapi ancaman Jepang sangat terbatas sehingga ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk merumuskan rencana pertahanan yang jelas dan bisa diterapkan. Markas besarnya dan pusat-pusat intelijennya terus-menerus diserang dari udara dan dibanjiri laporan-laporan pertempuran yang kacau dan bertentangan dari banyak bidang di zona komandonya yang luas. Ketika serangan Jepang ke Jawa datang, serangan itu begitu dahsyat dan cepat sehingga Wavell tidak pernah punya waktu untuk membuat rantai komando yang tepat untuk menangani krisis yang tak henti-hentinya yang membanjiri wilayah operasinya yang luas. Jika komandan tertinggi sekutu di lapangan tidak bisa bersentuhan dengan situasi sebenarnya di DEI, otoritas militer Sekutu tertinggi di Washington dan London juga hanya memiliki gambaran tidak jelas tentang apa yang terjadi di medan perang yang jauh itu. Hal ini terlihat jelas pada 3 Januari 1942, saat mereka memerintahkan Wavell untuk meluncurkan serangan balasan habis-habisan dengan melibatkan kekuatan udara dan armada laut. Pada kenyataannya, Wavell tidak memiliki cukup personel, kapal, atau pesawat untuk melakukan pertahanan yang cukup efektif apalagi menghadapi serangan yang berkelanjutan. Perintah yang diberikan kepada Wavell juga memperingatkannya untuk tidak melakukan upaya kecil-kecilan, tetapi faktanya dia benar-benar tidak punya pilihan lain karena dia tidak pernah memiliki kesempatan untuk memusatkan sumber dayanya yang terbatas. Sementara itu, tekanan Jepang dari udara tiada hentinya berlangsung sehingga pilot sekutu yang kelelahan harus terbang enam atau lebih sorti setiap hari melawan musuh yang lebih besar. Pada pertengahan Februari, Borneo sepenuhnya telah jatuh ke tangan Jepang, sementara Singapura berada pada tahap akhir kehancurannya. Domei News Agency mengumandangkan dari Tokyo, “Bendera Jepang berkibar di pulau Sumatra untuk pertama kalinya dalam sejarah,” ketika serangan gabungan pasukan amfibi dan parasut terjadi di sana pada tanggal 14-17 Februari 1942, di dekat sumber minyak penting di kawasan Palembang. Setelah pasukan Jepang mendarat pada tanggal 18, landasan udara yang didambakan di Bali jatuh ke tangan Divisi Infanteri ke-48 pada hari berikutnya. Pada tanggal 20 Pulau Timor menyusul direbut.
Serangan terhadap Pulau Jawa dimulai pada tanggal 3 Februari, ketika 60 pesawat tempur IJN terbang dari Kalimantan dan Sulawesi untuk menjatuhkan 16 pesawat tempur ABDA, enam pembom Boeing B-17 Flying Fortress, dan 12 pesawat amfibi dalam pertempuran udara. Komunikasi ABDA di seluruh wilayah itu dilumpuhkan oleh serangan udara terus-menerus yang mencegah komandan Sekutu di darat mengambil tindakan efektif apa pun. Pada tanggal 5, Jenderal asal AS, Lewis Brereton, selaku wakil komandan komponen udara ABDA asal Amerika, mengakui bahwa pesawat tempur Sekutu yang berusaha mempertahankan Surabaya “praktis musnah…. Jepang sekarang menguasai bagian timur Pulau Jawa sementara pulau-pulau yang berdekatan dengannya terus ada di bawah serangan pesawat tempur dan pembom yang terus-menerus, yang mengancam rute bantuan tempur kita dari Australia. ” Pertahanan ABDA yang cepat hancur sebenarnya sedang diisolasi oleh 11 grup udara IJN. Setiap kelompok tambahan pesawat tempur Curtiss P-40 Tomahawk Amerika yang mencoba terbang ke utara dari Darwin, Australia, menuju ke Jawa dihancurkan di sepanjang jalan oleh pencegatan udara musuh yang mematikan. Pada tanggal 20 Februari, Jawa sudah nyaris terisolasi oleh Jepang, dan invasi nampaknya sudah dekat. Jatuhnya Timor telah memotong jalur udara Sekutu dari Australia ke Jawa untuk mengirimkan pesawat-pesawat tempur. Hanya pesawat multi-engine Sekutu yang bisa terbang mencapai Jawa setelah Timor jatuh ke tangan Jepang.
Selanjutnya, kapal-kapal Sekutu harus melakukan perjalanan ke selatan lalu ke timur untuk menghindari pembom musuh. Karena serangan udara yang menghancurkan di Darwin pada 19 Februari, pelabuhan vital itu dibuat sementara waktu tidak dapat digunakan, dan semua pengiriman sesudahnya dialihkan lewat Perth dan Fremantle. Pada tanggal 20, Wavell, yang melihat bahwa upaya Sekutu di DEI sudah mendekati akhir, mengusulkan agar pulau-pulau itu dievakuasi sepenuhnya. Awalnya dia berharap untuk bisa mempertahankan daerah itu setelah dijanjikan pasukan dari Korps Australia ke-I, yang terdiri dari elemen Divisi Infanteri Australia ke-6 dan ke-7 dan berjumlah total 12.000 pasukan tempur. Tetapi pada pertengahan Februari sudah jelas bahwa Corps ke-I, sedang dalam perjalanan dari Timur Tengah dan tidak akan bisa mencapai Jawa secara keseluruhan sampai April 1942. Namun usul Wavell untuk meninggalkan DEI ditolak oleh Gabungan Kepala Staf di Washington dan oleh Perdana Menteri Winston Churchill dari Inggris sendiri. Mereka menjawab Wavell, “Setiap hari adalah yang paling penting. Oleh karenanya tidak boleh ada penarikan pasukan darat atau pasukan udara dari negara mana pun dan tidak boleh ada penyerahan diri. ” Bertolak belakang dengan perintah resmi yang diberikan, Wavell kemudian malah diperintahkan untuk pindah ke India untuk menduduki jabatan sebagai komandan di sana, sehingga ia terhindar dari penghinaan melihat DEI direbut oleh Jepang saat berada di bawah komandonya.
Perintah pembubaran ABDA dikeluarkan pada tanggal 25 Februari, dan pertahanan Pulau Jawa kemudian diserahkan kepada Belanda dan unit-unit Sekutu yang tidak dapat dievakuasi dari pulau yang hampir jatuh ke tangan Jepang itu. Dalam upaya yang terlambat dan sia-sia untuk menciptakan pertahanan pulau yang terkoordinasi, Amerika, setelah menerbangkan pembom berat mereka ke Australia, menempatkan beberapa pesawat tempur yang tersisa dan satu-satunya baterai artileri di bawah kendali Belanda. Inggris dan Australia juga menempatkan unit darat dan udara mereka yang tersisa di bawah Belanda. Sementara itu, karena kurang kuat dan membutuhkan perbaikan dan perbekalan kembali, kontingen angkatan laut ABDA tetap berada di bawah komando Wakil Laksamana asal Belanda, Conrad E.L. Helfrich. Tentara Belanda di Jawa saat itu berjumlah 25.000 orang, yang dibagi dalam empat resimen infantri, tetapi sama sekali bukan masuk kategori pasukan tempur modern. Pasukan ini diorganisasikan lebih sebagai sebuah pasukan keamanan internal daripada pasukan lapangan. Pasukan itu sendiri selama ini telah dipecah-pecah menjadi seukuran pleton, kompi, dan beberapa garnisun setingkat batalion di banyak pulau di koloni itu. Struktur resimen hanyalah entitas administratif sampai permulaan konflik dengan Jepang. Tidak ada unit kompi yang pernah melakukan manuver atau pelatihan di tingkat batalion, resimen, atau brigade. Mereka juga tidak memiliki pengalaman dalam taktik tempur bersenjata gabungan yang begitu vital dalam peperangan modern. Hanya ada sedikit artileri, dengan berbagai tipe untuk tembakan langsung, meriam gunung, dan senjata-senjata kaliber kecil. Terdapat juga “kekuatan mekanis” eksperimental kecil seukuran batalion yang berisi tank ringan Vickers dan mobil lapis baja.
Markas besar tentara Belanda di Jawa tidak cocok untuk melakukan perang modern karena tidak memiliki peralatan komunikasi modern, doktrin taktis yang tepat, pelatihan perwira, dan rantai komando yang efektif untuk mengendalikan formasi militer dibawahnya. Komandan tentara Belanda di Jawa, Letnan Jenderal Hein Ter Poorten, memposisikan pasukannya di empat wilayah komando: Distrik Militer Batavia di bawah Mayor Jenderal Wijbrandus Schilling; Distrik Militer Pusat Utara yang dipimpin oleh Mayjen Jacob J. Pesman; Distrik Militer Jawa Selatan di bawah Mayjen Pierre A. Cox; dan Distrik Militer Jawa Timur jatuh ke Mayjen Gustav A. Ilgen. Kurangnya peralatan komunikasi dan transportasi memastikan bahwa setiap kontingen distrik pada dasarnya akan menjadi pasukan pertahanan statis tanpa kemampuan untuk bereaksi cepat terhadap pergerakan musuh. Pasukan Sekutu lainnya di Jawa pada bulan Februari dan Maret 1942 terdiri dari beberapa elemen yang beragam. Pertama, ada lima “resimen” Inggris (sebenarnya ukurannya setingkat batalyon) artileri pertahanan udara Inggris (ADA), terutama dipersenjatai dengan senjata anti pesawat Bofors kaliber 40mm. Namun, hanya tiga dari unit-unit ini yang memiliki senjata dan telah dipecah-pecah untuk menjaga lapangan terbang di seluruh pulau. Para personel pertahanan udara yang tidak memiliki meriam dipersenjatai untuk bertugas sebagai prajurit infanteri. Kemampuan mereka untuk mengisi peran baru itu, di mana mereka hanya menerima sedikit pelatihan, diperkirakan rendah. Sementara itu terdapat juga satu skuadron dari Resimen Tank Hussar ke-3 yang dilengkapi dengan 25 tank Vickers. Komandan seluruh pasukan Inggris di Jawa adalah Mayor Jenderal Sir Hervey D.W. Sitwell. Secara keseluruhan, terdapat 5.500 personel militer Inggris berada di pulau itu ketika Jepang menyerang. Pasukan non-Belanda terbesar di Jawa adalah 3.000 personel dari gugus tugas brigade Australia yang dikenal sebagai Blackforce (dinamai sesuai komandannya, Letnan Kolonel Arthur S. Blackburn), yang tiba pada 18 Februari 1942.
Sebagai unit militer yang paling baik di pulau itu, tulang punggung dari satuan ini adalah Batalion Senapan Mesin ke-2 dari Resimen Senjata Mesin ke-3 (2/3) dan Batalion ke-2 dari Resimen Pelopor ke-2 (2/2). Kedua unit ini adalah bagian dari Divisi Infanteri Australia ke-7. Orang-orang Australia, meskipun kurang mendapat dukungan logistik, namun merupakan satu-satunya kekuatan di pulau itu yang diperkirakan mampu bermanuver melawan musuh modern. Sebagian besar pasukan Australia adalah veteran pertempuran di Afrika Utara dan Suriah, tempat dimana mereka terbukti bisa bertarung dengan baik melawan tentara Eropa yang modern, termasuk Jerman. Mereka diperlengkapi dengan baik dalam hal senjata Bren, kendaraan lapis baja ringan, dan truk, tetapi mereka hanya memiliki sedikit senapan dan peralatan pendukung lainnya. Blackforce, bagaimanapun, sangat kekurangan peralatan komunikasi, terutama radio dan telepon lapangan. Ini berarti bahwa unit-unit-unit yang ada tidak punya waktu untuk berlatih bersama (baik unit-unit di dalam Blackforce sendiri atau unit lain yang ditugaskan bersamanya) dan terpaksa dikirim bertempur dengan tanpa alat komunikasi yang memadai, yang pastinya akan mengurangi kinerja unit tersebut di medan perang. Satu-satunya satuan darat Sekutu lainnya di pulau itu adalah Batalion Amerika ke-2, Resimen Artileri Lapangan ke-131 (2/131) dari Garda Nasional Texas. 558 prajuritnya memiliki tiga baterai artileri dengan empat meriam kaliber 75mm dan beberapa senapan mesin kaliber .50 (yang diambil dari bomber B-17 yang rusak) di bawah komando Letnan Kolonel Blucher S. Tharp. Unit ini sedang dalam perjalanan ke Filipina ketika Pearl Harbor diserang dan kemudian dikirim pertama-tama ke Australia dan kemudian ke Jawa, mereka tiba di sana pada 11 Januari. Sayangnya, Amerika, Inggris, dan Belanda semuanya memiliki tipe-tipe artileri, senjata ringan, dan amunisi senapan mesin, yang berbeda-beda, yang mengharuskan setiap pasukan untuk menangani perbekalannya sendiri tanpa bisa berbagi dengan sekutunya. Akibatnya, unit artileri AS hanya memiliki 100 peluru per meriam ketika operasi melawan Jepang dimulai. Pada 26 Februari, satuan 2/131 diperintahkan untuk memasang satu baterai meriam membantu pertahanan Belanda di Surabaya dan memindahkan sisa unit lainnya ke Jawa Barat untuk bergabung dengan Blackforce. Pasukan asal Amerika adalah satu-satunya kekuatan artileri yang mendukung Blackforce dan, dalam hal pelatihan untuk melakukan dukungan tembakan manuver dalam pertempuran sebenarnya, mereka adalah satu-satunya artileri lapangan Sekutu yang efektif di Jawa.
Angkatan udara Sekutu di pulau itu adalah sisa-sisa dari kekuatan udara yang telah melarikan diri dari Singapura, Sumatra, dan Filipina. Pada akhir Februari, ada kurang dari 40 pesawat tempur berbagai jenis yang masih tersisa di Jawa, yang dibagi antara lapangan terbang di Kalidjati (Hawker Hunter Inggris) dan Blimbang (Curtiss P-40 Amerika, Brewster Buffalo Belanda, Hurricanes, dan beberapa Curtiss P-36). Yang memperburuk situasi, banyak dari pesawat Belanda diterbangkan oleh pilot yang tidak berpengalaman. Terdapat juga pasukan pembom yang terdiri dari beberapa bomber B-17 asal Amerika yang belum dievakuasi ke Australia. Sisa kekuatan udara Sekutu ini masih ditambah dengan beberapa pembom tukik Douglas A-24 dari Korps Udara A.D Amerika Serikat, enam pembom Bristol Blenheim Inggris dan enam pembom Hudson asal Australia bersama dengan sembilan pesawat torpedo Vildebeste kuno milik Belanda yang dikonfigurasi ulang untuk bisa menjatuhkan bom. Semua aset udara ini juga membutuhkan perbaikan.
PERSIAPAN INVASI
Sementara itu, Jepang mengirimkan Pasukan ke-16, di bawah Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, untuk menaklukkan Pulau Jawa. Pasukan ini termasuk Divisi Infanteri ke-48 pimpinan Letnan Jenderal Masao Maruyama dan Divisi Infanteri ke-48 pimpinan Yuitsu Tsuchihashi dengan masing-masing berkekuatan lebih dari 15.000 personel. Selain itu juga ditugaskan dua kelompok bersenjata independen (yang masing-masing terdiri dari unsur-unsur infantri, artileri, lapis baja, zeni, senjata anti-pesawat terbang, dan transportasi) seukuran brigade. Unit-unit yang terakhir ini adalah Detasemen Shoji yang terdiri atas 3.500 orang di bawah pimpinan Kolonel Shoji Toshishige dari Divisi Infanteri ke-38 dan Detasemen Sakaguchi yang beranggotakan 5.500 orang pimpinan Sakaguchi Shizuo asal Divisi Infanteri ke-56. Unit-unit ini terdiri dari para veteran yang sangat terlatih dan bermotivasi tinggi yang telah menyaksikan pertempuran sebelumnya di Cina, Hong Kong, Hindia Timur, dan Filipina. Untuk mendukung pasukan darat mereka, Jepang mengumpulkan hampir 400 pesawat tempur yang berbasis di Kendari di Sulawesi, Kalimantan, Sumatra, dan Mindanao di Filipina. Sebagian besar pesawat adalah milik Armada Udara Angkatan Udara ke-11 Angkatan Laut, yang terdiri dari Armada Udara ke-21, 22, dan 23. Untuk mengangkut pasukan invasi, yang dipecah menjadi kelompok-kelompok serangan dari timur dan barat, 97 kapal angkut dikawal oleh tujuh kapal penjelajah, satu kapal induk ringan, dan 24 kapal perusak. Armada invasi ini berada di bawah komando Laksamana Ibo Takahashi. Selain itu, dua kekuatan serang yang kuat yang dipimpin oleh Vice Admiral Chuichi Nagumo dengan empat kapal induk, dua kapal penjelajah, dan armada kapal perusak dan satuan satunya lagi dipimpin oleh Vice Admiral Nobutake Kondo dengan empat kapal tempur dan empat kapal induk berlayar ke Samudra Hindia pada akhir Februari untuk memotong rute pelarian Sekutu dari arah selatan Jawa.
Saat armada Jepang menuju Jawa, pasukan darat Sekutu bersiap untuk mengusir pasukan invasi. Jenderal Poorten mengharapkan Jepang untuk secara bersamaan menyerang kedua ujung pulau, dekat Surabaya di timur dan Selat Sunda di barat. Para pembom Sekutu kemudian ditugaskan untuk menyerang kapal-kapal angkut musuh sejauh mungkin di lautan. Unsur-unsur utama armada ABDA dipersiapkan untuk melawan kekuatan angkatan laut lawan ketika mereka muncul. Di pulau itu sendiri, di sektor timur Jenderal Ilgen, yang sektornya memiliki tugas mempertahankan pangkalan angkatan laut di Surabaya dan wilayah pulau Jawa sebelah timur, terdiri dari sebuah resimen infanteri, sebuah batalion kecil Angkatan Laut Belanda, beberapa batalion cadangan, dan beberapa batalion antipesawat dan artileri . Ilgen juga memiliki artileri Baterai E, dari Batalion ke-2, Resimen Artileri ke-131 yang melekat pada komandonya. Misinya adalah untuk melindungi Surabaya dan sekitarnya. Sementara itu sektor tengah dari Jenderal Cox bertanggung jawab untuk mempertahankan bagian tengah pulau dan menyediakan pasukan cadangan operasional untuk seluruh Jawa. Dia mengomandoi Divisi Hindia ke-2 (pada kenyataannya hanya seukuran brigade) dan dua batalyon kavaleri. Sektor barat menampung sebagian besar personel pertahanan pulau di mana pendaratan musuh utama diperkirakan terjadi di sektor itu. Jenderal Schilling bertanggung jawab di sana, dan ia mengawasi penempatan Divisi Infanteri DEI ke-1 yang terdiri dari Resimen Infantri DEI ke-1 dan ke-2, satu resimen artileri, sebuah detasemen mekanis kecil Belanda, dan berbagai unit antipesawat dan unit bantuan lainnya. Formasi Schilling yang paling kuat adalah Blackforce. Selain itu dia juga memiliki beberapa unit pertahanan udara asal Inggris.
Pasukan darat Sekutu di Jawa tersebar luas di seluruh pulau, dimana dapat dipastikan bahwa mereka hanya dapat melakukan perlawanan kecil-kecilan atas pasukan pendaratan Jepang. Di timur, Jenderal Ilgen berharap untuk bisa menunda kemajuan musuh di Surabaya cukup lama untuk memungkinkan pembumihangusan pangkalan angkatan laut di sana. Di tengah, Jenderal Cox khawatir atas kemampuannya dalam menjaga jalan ke kota pelabuhan Tjilatjap, di pantai selatan Jawa, agar tetap terbuka. Di barat, pasukan Schilling diatur untuk melindungi kota-kota Batavia dan Bandoeng. Pertahanan terakhir mereka di Jawa harus dilakukan di Bandoeng pada sektor bagian barat dan Dataran Tinggi Malang di Jawa timur. Hanya di barat terdapat peluang untuk aksi ofensif Sekutu terhadap pendaratan Jepang. Jenderal Schilling dan Kolonel Blackburn merencanakan skema manuver yang bisa membuat Blackforce dan satu resimen infantri DEI menyerang sayap kanan dan belakang pasukan lawan ketika maju menuju Batavia dari lokasi pendaratan yang diproyeksikan dilakukan di Teluk Banten sebelah barat kota. Mereka mengharapkan pasukan Belanda bisa menahan musuh di Sungai di daerah Tangerang, sementara satuan Blackforce menggunakan jalan di selatan dari Bandoeng ke Djasinga untuk menyerang sayap kanan pasukan Jepang. Itu adalah rencana yang masuk akal dan bisa berhasil jika Jepang mendarat di Teluk Banten dan tidak mengancam Batavia dari arah lain. Selain operasi ofensif yang dibuat oleh Schilling dan Blackburn, tidak ada strategi lain untuk pertahanan terkoordinasi di pulau itu. Satu-satunya peluang Poorten — yang paling tipis — adalah memusatkan pasukannya dan menyerang pantai pendaratan Jepang satu per satu sebelum mereka dapat mengoordinasikan upaya mereka. Ter Poorten menggantungkan harapannya untuk bertahan di tiga pusat populasi utama di Jawa (Batavia, Bandoeng, dan Surabaya) selama mungkin. Pada kenyataannya, disposisi Sekutu hampir dipastikan membawa mereka menuju kekalahan dengan cepat.
Pertanda kehancuran yang tak terhindarkan dan lengkap akan makin jelas pada tanggal 27-28 Februari selama Pertempuran Laut Jawa. Bertekad untuk berjuang sampai akhir bahkan ketika Jawa sudah dikepung dikepung oleh Jepang, komandan Pasukan Laut Gabungan ABDA, Laksamana Muda Karel W.F.M. Doorman asal Belanda, diperintahkan untuk “melanjutkan serangan sampai musuh dihancurkan.” Arahan ini kemudian mengawali aksi pertempuran armada kapal permukaan terbesar sejak Pertempuran Jutland 26 tahun sebelumnya. Kapal-kapal Doorman — dua kapal penjelajah berat, tiga penjelajah ringan, dan sembilan kapal perusak — berlayar dari Surabaya pada sore hari tanggal 27 Februari untuk mencari konvoi kapal angkut musuh yang dilaporkan tengah menuju Jawa Timur. Kapal-kapal perang dari berbagai bangsa ini tidak pernah bertempur bersama sebagai unit taktis, dan dengan kurangnya pelatihan bersama sebelumnya, ditambah dengan doktrin pertempuran yang berbeda-beda dan hambatan bahasa, membuat peluang keberhasilan armada armada Sekutu dalam setiap pertempuran selalu bermasalah. Pertempuran melawan konvoi Jepang yang dikawal oleh kapal perang Jepang mengakibatkan hilangnya dua kapal Sekutu. Ketika armada sekutu memutuskan kontak, salah satu dari kapal Doorman ditenggelamkan oleh ranjau saat mundur. Pada malam tanggal 27, Sekutu kehilangan dua kapal lagi karena aksi musuh. Kapal-kapal transport Jepang tidak pernah sama sekali terancam, karena mereka segera dikirim ke arah utara pada saat pertempuran dimulai dan tidak melanjutkan pelayaran mereka ke Jawa sampai setelah Pertempuran Laut Jawa berakhir. Sore berikutnya, dua kapal penjelajah Sekutu menyerang Armada Invasi Barat Jepang yang berlabuh di Teluk Banten. Dalam Pertempuran di Selat Sunda, kapal penjelajah sekutu akhirnya tenggelam setelah mereka sempat menghancurkan setidaknya dua kapal angkut Jepang dan sebuah kapal penyapu ranjau serta merusak sebuah kapal tanker minyak musuh, tiga kapal perusak, dan sebuah kapal penjelajah ringan. Sebagai imbalan atas penundaan satu hari serangan amfibi di Jawa, kekuatan angkatan laut Sekutu di DEI telah dihancurkan.
INVASI KE JAWA
Antara 28 Februari dan 1 Maret, Jepang mendarat di bagian barat dan timur Pulau Jawa. Rencana penaklukan mereka bergantung pada pendaratan serentak di tiga tempat. Divisi Infanteri ke-48 (dilengkapi dengan 10 tank ringan type 95, 10 tank medium type 97, 5 tank ringan M-3, dan 16 tank kette type 97) akan mendarat di pantai Kragan di Jawa timur, bergerak menuju Surabaya, dan kemudian menduduki Madoera dan di wilayah Jawa Timur lainnya. Detasemen Sakaguchi (dilengkapi 8 tank kette type 97) juga akan mendarat di Kragan tetapi kemudian melanjutkan pergerakan ke selatan untuk merebut Tjilatjap. Di barat, Divisi Infanteri ke-2 (dilengkapi dengan 21 tank medium type 97 dan 16 tank kette type 97) serta markas besar Angkatan Darat ke-16 akan mendarat di Teluk Banten dan kemudian bergerak ke timur ke Batavia menggunakan jalan pantai utara dan jalan Djasinga-Buitenzorg yang sejajar dari selatan. Sementara itu, Detasemen Shoji (dilengkapi dengan 10 tank ringan type 95) akan mendarat di Pantai Eretan Wetan dan bergerak menuju lapangan terbang di Kalidjati. Dari sana akan menyerang Batavia dari arah timur. Setelah merebut Batavia, Jepang berencana untuk menekan selatan untuk mengambil alih Buitzenzorg (Bogor) dan kemudian Bandoeng, menyelesaikan penghancuran pasukan Sekutu yang tersisa. Pendaratan kemudian dilakukan di semua lokasi yang direncanakan dengan hanya mendapat perlawanan minimal dari pasukan Belanda yang ditempatkan di dekat garis pantai. Di timur Pendaratan Divisi ke-48 Jepang dan Detasemen Sakaguchi di Kragan sebenarnya tidak mendapat perlawanan. Secara keseluruhan, invasi Jepang ke Jawa berjalan sesuai dengan rencana. Pada D+1, mereka berhasil menguasai kota Blora. Divisi ke-48 kemudian bergerak cepat menuju Surabaya, sementara Detasemen Sakaguchi menuju arah Tjilatjap di selatan. Pada 4 Februari, ketika Detasemen Sakaguchi bergerak di sekitar Poerwodadi, mereka bertemu dengan unit mekanik Sekutu. Mereka berhasil menghadapi musuh dan menyerang mereka dengan terampil. Pasukan sekutu kemudian meninggalkan kendaraan mereka dan melarikan diri, sementara Pasukan Jepang berhasil merampas selusin kendaraan musuh. Sebagai tanggapan, Jenderal Ilgen mengirim Resimen Infantri ke-6 dan Marinir Belanda ke Sungai Solo untuk memberi waktu yang cukup untuk menyelesaikan penghancuran fasilitas angkatan laut di Surabaya dan fasilitas militer lainnya. Namun, ia tidak menggunakan unit artileri Baterai E atau unit artileri Belanda yang tersedia untuk membantu pengerahan pasukannya itu, disamping itu pasukan yang ada tidak cukup untuk menjaga banyak lokasi penyeberangan di sungai. Akibatnya, pasukan pertahanan kecil Ilgen mudah disingkirkan atau dilewati oleh tentara Jepang, yang juga berhasil merebut beberapa jembatan utuh di atas sungai Solo sebelum Belanda dapat menghancurkannya. Setelah Sakaguchi menemukan musuh melarikan diri ke arah barat, ia kemudian memutuskan untuk menyerang Yogyakarta dan memerintahkan Kaneuji Group, terutama Batalion ke-2 Resimen Infantri ke-146, untuk maju ke Yogyakarta. Kaneuji Group bergegas ke Yogyakarta pada pukul 17:30. Markas besar sekutu garnisun di Yogyakarta terkejut dengan kecepatan serangan Jepang dan mereka semua berhasil ditangkap oleh Jepang. Sementara itu Detasemen Sakaguchi terus bergerak maju, Garnisun di Majenang menyerah pada malam 6 Maret. Pada 8 Maret, Detasemen Sakaguchi bergerak ke Tjilatjap dan mendudukinya. Pada 9 Maret, saat seluruh pasukan Belanda di Hindia Belanda menyerah, malam itu, Jenderal Sakaguchi bertemu dengan KNIL Mayor-General P.A. Cox di kediaman resmi pasukan Belanda di Poerwokerto dan menerima penyerahan pasukan Belanda. Sekitar 2.000 tentara di bawah Mayor Jenderal Cox telah ditangkap oleh tentara Jepang. Pada 10 Maret, mereka memberi tahu Jenderal Imamura, Komandan Angkatan Darat ke-16, bahwa mereka telah mengamankan sampai Tegal dan Tjilatjap.
Sementara itu pertahanan terakhir sekutu di Surabaya diserahkan kepada berbagai unit Belanda dan unit artileri Baterai E. tetapi jembatan di Kediri diduduki sebelum diledakkan. Pada tanggal 5 Maret, ketika mereka mendekati Babad, mereka bertempur dengan musuh sekitar 400-500 m jarak ke kota Babad. Terdapat sawah di kedua sisi jalan dan musuh melakukan penyergapan di hutan. Tank M3 Light rampasan sekutu yang digunakan tentara Jepang bergerak maju di jalan, tetapi mereka dihantam oleh senjata AT (Anti Tank) musuh yang kemudian mundur. Kompi-kompi tankette resimen pengintaian bergerak ke posisi musuh dan mendudukinya setelah pertempuran selama empat jam. Namun, resimen pengintai ini menderita beberapa korban selama pertempuran ini. Pasukan Jepang menyeberangi Sungai Brantas dan mencapai Porong pada 6 Maret. Porong telah dibentengi oleh Sekutu tetapi pasukan Jepang disertai dengan tank dengan cepat menduduki Porong. Hampir 1.200 hingga 1.300 orang Sekutu berkumpul di Kepanjen dan sebagian dari mereka melakukan serangan balasan terhadap Jepang di Porong, tetapi mereka berhasil diusir. Pasukan Jepang menyerang Kepanjen dan memotong jalan Soerabaja-Malang. Jepang sudah tiba di depan kota pada sore hari tanggal 6 Maret. Setelah memeriksa posisi pertahanan Sekutu, mereka melancarkan serangan keesokan harinya. Ketika Jepang bergerak maju, sebagian besar pasukan pertahanan Belanda menyingkir sebelum kontak dilakukan. Namun tidak demikian halnya dengan unit artileri Baterai E asal Amerika. Mereka menghadapi musuh yang bergerak maju dengan persenjataan kecil mereka dan tembakan artileri langsung ke medan terbuka. Perlawanan sengitnya menyebabkan setidaknya sebuah pasukan musuh untuk menghentikan gerakan majunya karena menelan banyak korban. Namun, setelah beberapa jam pasukan artileri asal Texas itu harus mundur karena posisi sayap mereka terbuka dengan mundurnya unit-unit Belanda. Menjelang akhir hari, Belanda meninggalkan Surabaya, bergerak melintasi teluk ke pulau Madoera dengan membawa serta unit artileri Baterai E bersama mereka. Dari sana, Jenderal Ilgen mengatur penyerahan semua pasukan Sekutu di dan sekitar Surabaya pada tanggal 7 Maret. Pada 8 Maret, Jepang siap menyerang Soerabaja. Pada waktu itu, sebuah bendera putih dikibarkan di jembatan di ujung selatan Soerabaja. Tidak lama setelah Ilgen menyerah, para penyerbu menyerbu seluruh Jawa bagian timur tanpa mendapat perlawanan Sekutu lebih lanjut.
Ketika Jepang menggulung pertahanan sekutu di Jawa bagian timur, pertahanan Sekutu di bagian barat pulau itu juga dengan cepat dikalahkan. Meskipun beberapa peralatan hilang dari Kelompok Serangan Barat selama pertempuran laut di Selat Sunda, namun kerugian ini tidak mencegah Divisi Infantri ke-2 bergerak ke Batavia tak lama setelah fajar pada 1 Maret. Pada tengah malam tanggal 1 Maret, 18 perahu Daihatsu telah meninggalkan kapal dan pergi ke pantai Merak. Pada jam 2:30, kapal sudah sampai di pantai. Segera, pasukan Jepang meninggalkan kapal dan maju ke Serang dalam kegelapan tanpa lampu. Bertempur dengan beberapa pasukan kecil musuh, mereka bergerak cepat di jalan dan mencapai jembatan Serang pukul 4:00. Mereka menyerang penjaga jembatan dan merebut jembatan sebelum sempat diledakkan. Setelah Serang, Resimen Recon dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok Kanan bergerak di jalan antara Serang dan Rangkasbitoeng. Dalam perjalanan, mereka menewaskan sejumlah tentara musuh yang mengendarai tiga truk. Komandan satuan Jepang menggunakan trik untuk menipu para penjaga jembatan. Ia menggunakan truk musuh yang direbut untuk bergerak di depan pasukan dan berpura-pura menjadi tentara Sekutu. Pada jam 9:30, truk tersebut yang menyembunyikan tentara Jepang di dalamnya mendekati jembatan dan melewati penjaga jembatan. Namun saat itu, jembatan telah diledakkan dengan terdengar suara ledakan besar. Trik gagal dan jembatan hancur. Para penjaga jembatan melarikan diri dan musuh di tepi seberang melepaskan tembakan. Pasukan Jepang melawan musuh dan mengusir mereka. Kelompok Serang sebelah Kanan berhasil mengamankan Rangkasbitoeng, dan kemudian kembali ke Resimen Recon pada pukul 15:00.
Sementara itu Kelompok serangan Kiri bergerak menuju Pamarajan. Pada jam 9:00, mereka sampai di Pamarajan dan Komandan Shiraishi dengan cepat memasuki jembatan. Setengah jalan di jembatan, ia memperhatikan bahwa tentara musuh mencoba menyalakan bahan peledak yang ada di jembatan. Dia menembakkan meriam tank dan membunuh mereka. Sebuah mobil lapis baja musuh muncul di belakang mereka. Dia menembak lagi dan menghancurkan mobil lapis baja musuh. Pasukan infanteri Jepang berlari di atas jembatan dengan berani dan membuang bahan peledak yang dipasang musuh. Sebuah jembatan yang masih utuh di Sungai Tjioedjoeng berhasil diamankan oleh Jepang. Hal itu adalah kemenangan yang signifikan dari unit tankette Jepang. Setelah menyeberangi Sungai Tjioedjoeng di Pamarajan, Resimen Recon maju di jalan menuju Buitenzorg, karena jalan yang menghubungkan antara Serang dan Batavia tidak dapat ditemukan. Di malam hari, mereka berhadapan dengan pasukan musuh berkekuatan 50-60 orang di sekitar Balungan. Terdapat barikade penghalang tank di jalan dan musuh menembaki pasukan Jepang dengan gencarnya. Sementara tankette bertempur dengan musuh, satuan infanteri utamanya bergerak di hutan dan menyerang musuh di sisi-sisinya. Pasukan musuh kemudian mundur dengan cepat. Pada sore hari tanggal 3 Maret, Resimen Recon tiba di Rauilian. Di jalan menuju Rauilian, terdapat banyak barikade dan gerakan mereka sering tertunda. Ketika mereka sampai di Rauilian. jembatan di Sungai Tjisadane sudah hancur. Dua kru Jepang turun dari tankette nya dan berjalan melewati sungai. Ketika mereka sampai di tepi sungai, musuh melepaskan tembakan tiba-tiba dan dua kru Jepang tumbang. Musuh terletak di perbukitan di tepi seberang dan menembakkan senapan mesin dan artileri. Tankette Jepang berbalik menembaki posisi musuh. Artileri lapangan Jepang juga ikut serta dalam pertempuran dan membombardir pertahanan musuh. Pertarungan sengit berlanjut sepanjang hari, tetapi sungai belum juga bisa dilewati oleh Jepang. Pada malam harinya, Jenderal Nasu, komandan Grup Infanteri ke-2, dan Resimen Infantri ke-16 tiba di Rauilian. Jenderal Nasu memerintahkan Resimen Infantri ke-16 untuk melakukan serangan malam pada musuh di tepi seberang. Resimen Infanteri ke-16 menyeberangi sungai sekitar 3 km selatan Rauilian dan menyerang musuh di bukit di sisi. Posisi pertahanan musuh berhasil diduduki oleh Jepang dan pasukan musuh dihancurkan. Pada pagi hari tanggal 5 Maret, Resimen Recon menyeberangi Sungai Tjisadane dengan rakit dan menuju Buitenzorg. Pada pagi hari tanggal 6 Maret, pasukan Detasemen Nasu bergegas ke Buitenzorg dan mendudukinya. Resimen Recon diperintahkan untuk maju ke Soebang dan kemudian bergerak ke Buitenzorg pada 8 Maret. Ketika mereka berbaris di jalan menuju Soebang, mereka tahu bahwa pasukan Belanda di Hindia Belanda telah menyerah.
Sementara itu meninjau Pasukan yang mendarat di pantai Eretan Wetan, mereka telah kehilangan beberapa tongkang dan kapal kecil bersama dengan beberapa lusin personel ketika beberapa pesawat tempur Hurricane yang terbang dari Kalidjati memberondong mereka tak lama setelah fajar. Namun, serangan udara yang tak terduga itu tidak menunda pendaratan Jepang terlalu lama. Tempat pendaratan kemudian juga diserang oleh beberapa pesawat tempur P-40 Amerika yang masih mampu mengudara, tetapi sekali lagi dengan keberhasilan yang terbatas. Misi-misi itu adalah yang terakhir diterbangkan oleh Korps Udara Angkatan Darat AS di Jawa. Pilot pesawat tempur Amerika yang masih hidup kemudian dievakuasi ke Australia pada 3 Maret. Hurricane juga memberondong konvoi Jepang selama pergerakan mereka menuju Kalidjati, meski sekali lagi menimbulkan korban pada tentara Jepang tetapi mereka gagal menghentikan kemajuan mereka. Terlepas dari serangan udara yang berulang-ulang, Detasemen Shoji berhasil mencapai lapangan udara di Kalidjati pada sore hari tanggal 1 Maret. Segera setelah tank-tank dan prajurit-prajurit Jepang muncul, mereka ditembaki oleh senjata-senjata Bofors pasukan Inggris, dan sebuah baku tembak sengit terjadi. Pertempuran berkobar selama beberapa jam sebelum para penyerang berhasil merebut landasan setelah memusnahkan hampir semua yang bertahan. Sementara itu, Divisi ke-2 pindah dari zona pendaratannya di Teluk Banten dan menuju Batavia 50 mil ke timur melalui jalan pantai. Perjalanan berjalan lambat karena penghancuran luas yang telah dilakukan oleh Belanda. Berharap untuk bisa menghindari penundaan lebih lanjut, komandan Divisi ke-2 mengalihkan satu resimen infantri cadangannya ke jalan sekunder Djasinga-Buitenzorg di sebelah selatan jalan raya pantai dan menjadikannya sebagai poros serangan utamanya. Akibatnya, Batavia terancam diserang dari dua sisi. Serangan musuh yang berkembang di Batavia merusak rencana preinvasi Schilling untuk melakukan serangan balasan oleh Blackforce. Perwira Belanda itu kemudian mengalihkan perhatiannya ke unit musuh yang bergerak di Kalidjati, hanya 75 mil di tenggara Batavia. Dia memerintahkan serangkaian serangan balik terhadap pasukan itu, tetapi seperti kebanyakan tindakan ofensif yang dilakukan oleh Belanda selama pertempuran di pulau Jawa, mereka dilakukan dengan cara sedikit demi sedikit dan tidak terkoordinasi. Serangan pertama terjadi pada tanggal 2 Maret dan untuk sementara berhasil memukul mundur kembali ujung tombak Jepang dari kota Soebang. Satuan Jepang kedua bergerak maju ke pedalaman dan pada tengah hari tanggal 3 dihentikan di jembatan yang hancur sekitar delapan mil dari Tjikampek. Beberapa tank Belanda juga mampu mencapai lapangan udara Kalidjati, tetapi kemudian mereka terpisah dari pasukan infanteri yang menyertainya. Tanpa dukungan infanteri, pasukan lapis baja mundur dari lapangan setelah beberapa jam, dengan diikuti oleh kawan-kawan infanterinya yang baru saja tiba.
Terdorong oleh keberhasilan kecil ini, Schilling menyerang Kalidjati lagi pada tanggal 3. Dia memindahkan resimen infantri DEI yang telah ditugaskan bersama Blackforce untuk melakukan serangan terhadap Kalidjati. Sayangnya untuk upaya Belanda yang baru ini, Jepang telah memutuskan untuk memberikan lebih banyak aset untuk mendukung Detasemen Shoji sebagai akibat dari kemunduran kecil yang diderita sehari sebelumnya. Hasilnya adalah serangan udara selama lima jam terhadap formasi infanteri yang dimaksudkan Schilling untuk memperkuat serangan keduanya terhadap Kalidjati. Di bawah hujan bom dan tembakan senapan mesin, resimen DEI pecah dan melarikan diri. Sementara itu, Blackforce telah diperintahkan untuk mengambil posisi defensif di sepanjang Sungai Leuwiliang, 75 mil selatan Batavia. Misinya adalah untuk mencegah musuh maju di sepanjang jalan Djasinga-Buitenzorg ke Batavia. Blackforce kemudian membentuk posisi defensif bersama dengan Batalion Perintis 2/2 di sepanjang sungai di kedua sisi jembatan yang hancur yang membentang di jalur air dan Batalion Senapan Mesin 2/3 sedikit ke arah tenggara 2/2. Elemen-elemen lain dari Blackforce, kecuali untuk Artileri Lapangan 2/131, ada sebagai cadangan di sekitar Buitenzorg. Pasukan artileri Amerika ditempatkan di belakang pasukan Pelopor 2/2 dengan baterai mereka dibagi menjadi dua detasemen meriam. Baterai D dan F keduanya menempatkan dua meriam mereka dalam mode tembakan langsung di sepanjang jalan untuk bertindak sebagai senjata antitank. Sisa dari meriam (empat buah) ditempatkan di sebuah tempat kecil di atas sawah satu mil di belakang jembatan yang dihancurkan. Rencana awalnya adalah membiarkan Jepang memperbaiki struktur jembatan dan mulai bergerak melintasinya sebelum menembak mereka dari jarak dekat dengan senjata kecil dan artileri. Pada tengah hari tanggal 3 Maret, Jepang mengirim pasukan infanteri yang dipimpin oleh satuan lapis dan mengarah ke Jembatan Leuwiliang. Ketika mereka mendekat, pasukan Australia, dengan menggunakan senapan antitank Boys, melumpuhkan dua tank terdepan. Konvoi Jepang berhenti di jalan, menarik diri dari jangkauan senjata kecil, dan membawa mortir ke medan tempur. Ketika pertempuran di sisi barat sungai meningkat, artileri Amerika Baterai D dan F, dengan bantuan pengamat, menembaki pasukan Jepang yang terjebak di jalan, menghancurkan tank dan truk di sepanjang bentangan jalan raya ke barat . Jepang tidak dapat melawan tembakan artileri Amerika karena artileri mereka belum bergerak maju. Pasukan Australia terus menahan pasukan Jepang pada 3 Maret di Jembatan Leuwiliang. Pada akhir hari tanggal 3, Jenderal Schilling memberi tahu Brigadir Blackburn bahwa Jenderal ter Poorten telah memutuskan untuk menyerang balik pasukan Jepang (dari Resimen ke-230) yang bergerak maju ke Bandung dari arah timur laut, dan ingin agar Blackburn mempertahankan Leuwiliang dengan kekuatan seminimal mungkin sementara mengirimkan bagian utama pasukannya ke Purwakarta untuk melaksanakan serangan balik. Purwakarta hampir 100 mil jauhnya dengan melewati wilayah yang belum pernah dilihat Blackburn sebelumnya; dan Schilling sendiri tidak bisa memberinya informasi posisi yang tepat dari pihak musuh atau garis besar serangan yang diusulkan. Blackburn memprotes, Sitwell mendukungnya, dan rencana itu akhirnya dibatalkan. Pada malam tanggal 3 menuju ke ke-4 orang Jepang tidak memaksakan penyerangan, tetapi kemudian keesokan paginya mereka bergerak maju ke depan dalam kelompok-kelompok kecil. Pada jam 11 pagi tanggal 4 Maret, Jepang mendesak maju menembus ke posisi Batalion Senapan Mesin ke-2/3 dari kiri. Namun dengan bantuan Satuan Pelopor 2/2, batalion senapan mesin 2/3 dapat mempertahankan posisi mereka. Sementara itu Jenderal Ter Poorten memutuskan untuk meninggalkan Batavia dan Buitenzorg. Dia meminta agar pasukan Blackburn bisa menahan musuh selama 24 jam untuk melindungi penarikan mundur pasukan sekutu. Blackburn setuju untuk melakukannya, dan memutuskan untuk mundur pada malam tanggal 4-5 serta mempersempit front beberapa mil lebih dekat ke Buitenzorg. Konsekuensinya ia kemudian mengeluarkan perintah bahwa pasukannya harus memutuskan kontak dengan musuh pada pukul 6.30 malam. dan mundur ke Sukabumi, satu kompi dari batalion senapan mesin 2/3 dan skuadron tank Hussars ke-3 Inggris akan membentuk barisan pertahanan menutupi gerak mundur mereke ke belakang. Kompi pelopor sekutu, bagaimanapun, tidak bisa dihubungi. Penembak senapan mesin tidak dapat menemukannya, begitu juga satuan Hussars juga tidak dapat mengontak mereka ketika dia maju dengan mobil lapis baja. Pukul 6.30 malam kompi-kompi terdepan diam-diam bergerak mundur. Hujan deras membantu menyembunyikan gerakan mereka, yang selesai pada pukul 9 malam. Orang-orang itu kemudian naik kendaraan mereka, yang terakhir mencapai Sukabumi lebih awal pada tanggal 5; tetapi 118 perwira dan personelnya dari kompi pelopor yang hilang tak terdengar kabarnya. Pukul 3 sore pada tanggal 5, semua Pasukan N.E.I. ditarik melalui Buitenzorg, satuan pengaman belakang mereka juga mundur ke Sukabumi.
MENYERAHNYA SEKUTU DI JAWA
Sebuah konferensi antara Pejabat Sekutu Senior berlangsung pada pukul 6 sore pada tanggal 5 Maret di Bandung. Jenderal Ter Poorten disini mengumumkan bahwa perang gerilya tidak mungkin bisa dilakukan karena adanya permusuhan besar antara penduduk lokal dan Belanda. Ter Poorten melanjutkan dengan mengatakan bahwa banyak penduduk setempat benar-benar mendukung Jepang dengan harapan untuk bisa menghilangkan Penjajahan Belanda. Dia kemudian menunjukkan bahwa Komando Tinggi hanya dapat dijalankan dari Bandung tetapi menambahkan bahwa Bandung sendiri tidak dapat dipertahankan lebih lama. Sementara itu, atas perintah dari Bandung, Blackforce telah ditarik ke timur Bandung. Saat fajar pada tanggal 6, Blackburn menerima pesan dari Sitwell yang memberinya izin untuk mengambil tindakan independen, termasuk terus melanjutkan perlawanan meski jika Pasukan N.E.I. menyerah. Dalam dua hari berikutnya Blackburn meninjau kembali negara pegunungan di selatan Bandung dan menemukan sejumlah ransum yang terkonsentrasi di sana. Pada malam tanggal 7 – 8, Blackforce pindah ke daerah tersebut. Sekitar 1.750 personel bersenjata RAF juga berkumpul di sana. Akhirnya, Jenderal Ter Poorten menyiarkan kepada semua pasukan bahwa perlawanan telah berakhir dan mereka semua harus meletakkan senjata mereka pada jam 9 pagi pada tanggal 8 Maret. Gubernur Belanda, Jonkheer Dr. A.W.L. Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer dan Letnan Jenderal Ter Poorten, bersama-sama dengan Mayor Jenderal Jacob J. Pesman, komandan Distrik Bandoeng, kemudian bertemu dengan Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura di Kalidjati sore itu dan setuju untuk melakukan kapitulasi semua pasukan. Pada pukul 23:00, stasiun radio Belanda NIROM (Nederlandsch Indische Radio Omroep Maatschappij) menyiarkan berita terakhir dari pemancar sementara di Ciumbuluit. Penyiar Bert Garthoff mengakhiri siaran dengan kata-kata “Wij sluiten nu. Vaarwel tot betere tijden. Leve de Koningin!” (Kami akan menutup sekarang. Selamat berpisah sampai di masa yang lebih baik. Hiduplah sang Ratu!).
Sore itu, Wakil Satuan Udara Marshall Maltby dan Jenderal Sitwell mengumumkan perintah Belanda kepada semua pasukan sekutu. Mengetahui pengumuman ini satu jam kemudian, Blackburn lalu menarik pasukannya ke daerah di sekitar Tjikadjang, dan melindungi jalan-jalan menuju pantai selatan. Brigadir Blackburn kemudian menganggap bahwa terus melakukan perlawanan tetapi kekurangan pasokan medis dan tempat berlindung selama musim hujan adalah suatu hal yang sia-sia, sehingga setelah melihat fakta-fakta ini, dia memutuskan untuk menyerah. ”Penyerahan resmi” pasukan Australia, Inggris dan Amerika di Jawa terjadi pada tanggal 12 Maret 1942, dan prajurit-prajurit Blackforce kemudian menjadi tawanan Jepang. Sebelum penyerahan ditandatangani, komandan Jepang setuju untuk menambahkan pasal yang menyatakan bahwa hak-hak tahanan di bawah Konvensi Jenewa akan diperhatikan, meski faktanya akan berkata lain. Sekitar 100 orang dari ‘Blackforce’ telah gugur atau terluka dalam pertempuran dan banyak dari 2.700 personel mereka yang menjadi tawanan perang tewas selama ditawan. Kompi C dari Batalion Senapan Mesin 2/3 yang berada di garis depan selama pertempuran, kehilangan 7 orang tewas dan 28 luka-luka, tetapi sejarawan John Bellair dalam catatan sejarah tentang batalyon itu menyatakan “[kemudian] menemukan bahwa mereka telah membunuh tidak kurang dari 200 tentara Jepang ”. Batalion Pelopor 2/2 juga menewaskan sekitar 300 tentara musuh. Anggota unit Blackforce diangkut ke berbagai lokasi selama penahanan. Para personel dari Batalyon MG 2/3 menghabiskan waktu di berbagai tempat termasuk di Sumatra, Thailand, Jepang, Singapura dan Manchuria. 258 orang dari Batalion Pelopor 2/2, dan 139 dari Batalion MG 2/3 meninggal selama masa penawanan. Arthur Blackburn tetap berada di Jawa sampai akhir tahun 1942. Setelah itu, terlepas dari periode singkat di Singapura, ia menghabiskan sisa perang di Taiwan dan kemudian Mukden di Manchuria, dan berhasil selamat untuk kembali ke negerinya setelah perang usai. Sementara itu dari 558 personel dan perwira Amerika dari satuan artileri Divisi ke-36 yang mendarat di Jawa pada 11 Januari 1942, 534 menjadi tawanan perang Jepang. Mereka dikirim untuk bekerja di hutan di Burma, menebang pohon-pohon hutan, membangun jalan dan jembatan serta memasang rel dengan alat-alat primitif dalam pembangunan “Jalur Kereta Api Maut Burma-Siam”. Dari total 163 personel yang tewas di Tahanan Kamp Perang, 133 tewas saat bekerja di jalur kereta api maut itu.
Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:
Last Act in the Dutch East Indies By Arnold Blumberg
Last Act in the Dutch East Indies
Japanese Armoured Units on Java Island, 1942
http://www.oocities.org/dutcheastindies/java_armour.html
Australia in the War of 1939–1945: Series One: Army Volume 4 The Japanese Thrust
by Lionel Wigmore, Australian War Memorial-Canberra;1957
http://tothosewhoserved.org/aus/army/ausarm04/chapter22.html
Java, March 1942- ‘Blackforce’ and the loss of the HMAS Perth by Daniel Minchin
https://vwma.org.au/research/home-page-archives/java-1942–blackforce-and-the-loss-of-hmas-perth
‘Blackforce’, ‘The Lost Battalion’ and the loss of Java by Kingsleyr
Battle of Java, Friday 10 March, 2017
nice artilce , thank you Admin . keep it up have a great day
Tks, I really appreciate if you can share this blog to the others
Nice..
Really nice article