Rescue Of Boxer 22, 5-7 Desember 1969: Operasi Penyelamatan Terbesar Dalam Perang Vietnam
Pada bulan Desember 1969, sebuah upaya untuk menyelamatkan dua penerbang yang jatuh di wilayah musuh berkembang menjadi misi penyelamatan terbesar dalam Perang Vietnam. Misi itu sendiri sudah salah sejak awal. Dua F-4C Phantom milik Angkatan Udara AS dari Skuadron Tempur Taktis ke-558, dengan nama panggilan “Boxer,” berangkat dari Cam Ranh AB dengan Mayor Joseph Young (dengan callsign Boxer 21) terbang memimpin penerbangan, menemukan target utama mereka harus diganti. Mereka kemudian berbelok ke utara ke desa Ban Phanop, Laos, dekat chokepoint di mana Jalur Ho Chi Minh melintasi Sungai Nam Ngo, untuk menaburkan ranjau Mk-36 — yang dipasang pada bom multifungsi Mk-82 seberat 500 pon dengan sumbu peledak di ekor mereka. Di pesawat yang dibelakang, bernomor 63-7444 serta nama Capt. Jake Jacobs dan Capt. Dorsey Prince tercetak di kanopi kiri bawah (meski crew yang menerbangkan saat itu bukan mereka), Boxer 22, dengan pilot Kapten Benjamin Danielson dan perwira sistem persenjataan Letnan Satu Woodrow J. “Woodie” Bergeron Jr. sedang melakukan menerbangkan misi serangan pertama mereka. Tepat setelah menjatuhkan senjata mereka, di ketinggian 5.000 kaki (1.524 meter) pesawat Phantom Boxer 22 tiba-tiba terangkat, lalu turun. Mayor Joseph Young dari Boxer 21 yang memimpin penerbangan mereka mengontak melalui radio: “Boxer 22, Kamu tertembak! Keluarlah! Keluarlah! Keluarlah!”
Letnan Woodrow Bergeron, kemudian mengingat: “Kami baru saja menjatuhkan bom kami dan sedang menarik hidung pesawat ke atas ketika pesawat tiba-tiba naik, lalu turun. Saya segera mulai proses melontarkan diri dan sebelum meninggalkan pesawat, karena waktu reaksi kursi lontar, saya sempat mendengar baik Ben dan Mayor Joe Young sebagai pemimpin penerbangan kami, berkata, ‘Bail Out’. ” Saat itu Jumat pagi, tanggal 5 Desember 1969, dan Boxer 22 kemudian akan menjadi sasaran misi penyelamatan terbesar dalam Perang Vietnam. Ketika dia melompat di ketinggian 1.000 kaki (304,8 meter), hembusan angin merobek helm Bergeron menyebabkan luka dan mematahkan batang hidungnya. Kanopi parasut sepenuhnya terbuka, tetapi selama lompatan awal, satu riser atau tali bahu terbuka. “Saat turun, pikiran pertama saya adalah betapa beruntungnya saya riser yang lain masih berfungsi.” Dua parasut yang keluar sempurna dengan mudah diamati dari bawah dan pesawat akhirnya jatuh sekitar 2.600 kaki (792,48 meter) dari kedua kru Phantom itu. Selama melayang di udara, Bergeron mengamati tembakan senjata otomatis musuh yang diarahkan padanya saat parasut membimbing dirinya ke tempat terbuka di dekat tepi sungai.
Tembakan dari bawah terus berlanjut saat dia menyentuh tanah, melepaskan peralatan parasutnya, dan berlari mencari perlindungan di rerumpunan Bambu. Dia bersembunyi di bawah batang kayu dan mengambil radio survival RT-10 nya. “Saya bisa mendengar tembakan musuh memantul di atas kepala saya,” kenangnya. “Saya, memberi tahu mereka (crew pesawat-pesawat Amerika) siapa saya, di mana saya berada, dan untuk supaya mereka datang menjemput saya. Sepertinya helikopter dan pesawat-pesawat A-1 segera ada di sana hampir seketika. “, demikian ingat Bergeron. Melompat keluar pesawat, Danielson dan Bergeron — dengan kode Boxer 22 Alpha dan Bravo — jatuh di sisi yang saling berlawanan dari wilayah dogleg di Nam Ngo, di lembah dengan lebar satu mil dan kedalaman seribu kaki, dikelilingi karst, tebing kapur. Danielson dan Bergeron mendarat kurang dari 100 yard (91,44 meter) satu sama lain, hanya dipisahkan oleh sungai kecil. Mereka memang hanya berjarak 10 mil dari perbatasan Vietnam Utara, tetapi juga hanya sekitar 65 mil di timur NKP — Pangkalan Udara Kerajaan Thailand, Nakhon Phanom, pangkalan utama skuadron operasi khusus Angkatan Udara AS yang mengkhususkan diri pada misi pencarian dan penyelamatan (SAR).
OPERASI PENYELAMATAN DIMULAI
Pesawat-pesawat pembom tempur A-1 Skyraider segera bergegas, dan panggilan segera ditujukan untuk helikopter penyelamat HH-3E Jolly Green Giant, pesawat jet cepat dan pengontrol udara garis depan/FAC (pesawat pengintai untuk bertugas mengarahkan pesawat penyerang). Ketika satuan SAR tiba, “komandan” pertama Sandy (kode panggilan pesawat A-1 Skyraider) meminta FAC untuk memanggil pesawat-pesawat serang yang lambat terbangnya, seperti Skyraider yang bermesin piston untuk menyerang senjata kecil dan pesawat jet cepat dengan persenjataan berat untuk menyerang senjata antipesawat berat yang dilaporkan ada di arah tenggara dari posisi kedua Pilot Amerika. Prosedur standar dari operasi penyelamatan semacam ini adalah menemukan dan membawa keluar penerbang yang jatuh sebelum pasukan musuh berkonsentrasi pada posisi mereka. Sayangnya, musuh sudah lebih dulu terkonsentrasi di sekitar Ban Phanop. “Sandy ini Boxer 22 Alpha,” Danielson mengirim pesan radio kepada pesawat-pesawat Skyraider pertama yang tiba. “Saya butuh bantuan sekarang! Ada musuh yang hanya berjarak 15 yard, dan mereka akan segera menangkapku. ” Letnan Satu James G. George, pemimpin Skyraider, menjawab panggilan: “Alpha 22, ini Sandy 1. Tundukkan kepala. Kami akan menembak dengan 20 Mike Mike. ” Empat pesawat Skyraider lalu menyapu pasukan musuh dengan tembakan kanon kaliber 20mm. Tiba-tiba seolah-olah seluruh lembah membalas tembakan dengan gencar. Dari posisinya, Bergeron bisa melihat musuh membalas tembakan dengan artileri antipesawat kaliber 23, 37, dan 57 mm serta tembakan senapan mesin berat dari posisi di karst yang sejajar dengan sungai. Menghindari semburan peluru pelacak, George memberi tahu King 1, pos komando udara pada pesawat HC-130 Hercules yang mengorbit 24.000 kaki (7.315,2 meter) di atas Laos, “Kami akan membutuhkan semua (bantuan) yang bisa Anda dapatkan.”
Sementara itu, berita penembakan Boxer 22 telah diteruskan ke rantai komando yang lebih tinggi, yakni ke markas Angkatan Udara ke-7 di pangkalan udara Tan Son Nhut dekat Saigon dan dari sana ke “Pentagon dari Timur,” Komando Bantuan Militer AS, Vietnam (U.S. Military Assistance Command, Vietnam). Dari seluruh wilayah Indochina, kekuatan udara Amerika lalu berkumpul di Ban Phanop: mulai dari jet tempur F-100 Super Sabre, F-105 Thunderchiefs, pesawat serang A-6 Intruder dari Angkatan Laut, lebih banyak lagi pesawat Phantom dan banyak pesawat Skyraider — lengkap dengan kanon, bom, roket, dan napalm untuk menghantam senjata musuh agar tidak mengganggu proses evakuasi. George meyakinkan Bergeron dan Danielson, “Kami akan menjatuhkan CBU (unit bom cluster) di sekitar Anda, lalu kami akan membawa helikopter untuk menjemput Anda dan kita semua akan pulang ke rumah untuk minum bir.” Tapi pada tidak lama kemudian dia mendesak dua helikopter SAR Jolly Green yang ada sejauh lima mil di barat untuk bergerak cepat: “Ayo selesaikan ini. Saya tidak berpikir kita bisa membuang-buang waktu. ” Pada pukul 12.40 Kapten Charles Hoilman membawa helikopter Jolly Green bernomor JG-37 untuk menyelamatkan kru Phantom yang jatuh itu. Awak helikopter melaporkan penampakan jejak tembakan antipesawat yang semakin meningkat saat helikopter mendekati titik penjemputan. Saat mereka melambat hingga melayang di atas posisi Danielson, Jolly Green menjadi target besar yang tidak bergerak, dan musuh segera membawa setiap senjata yang dapat ditembakkan ke helikopter penyelamat itu. Dengan badan helikopter yang penuh lubang peluru dan mesin turbin menjadi terlalu panas, Hoilman mundur ke arah timur laut. “Saya harus pulang,” dia mengirim pesan radio. “Aku telah memaksa mesin-mesin ini bekerja terlalu keras”., tutupnya.
Sebagai balasan gempuran musuh, pesawat-pesawat Skyraider menghantan deretan tebing itu dengan bom napalm dan lembah dibawahnya dengan gas air mata. Tetapi ketika helikopter Jolly Green lainnya, yakni JG-09 tiba, musuh menembakkan senjata-senjata kecil dan dua kanon antipesawat kaliber 23 mm dari gua karst, yang menghantam helikopter itu dan menyebabkan kebocoran transmisi, suhu panas dan kontrol yang tidak berfungsi. Dalam waktu kurang dari dua jam, upaya penyelamatan telah berubah menjadi pertempuran sengit. Pihak Amerika kemudian memanggil helikopter-helikopter HH-53E Super Jolly Green yang baru — yang lebih besar, lebih kuat, dipersenjatai dengan lebih baik, dan punya lapisan baja. Skyraiders lalu menjatuhkan bom cluster dan menembakkan peluru kanon kaliber 20 mm ke dalam jarak 100 kaki dari helikopter JG-76, ingat pilotnya, Kapten Holly G. Bell: “Sepertinya kami ada di dalam mesin popcorn.” Saat helikopter Bell melayang di atas Danielson, penembak ekor Airman 1st Class David Davison menyiram setengah kawasan lembah itu dengan aliran merah tembakan peluru pelacak pada kecepatan 4.000 peluru per menit, tapi ia kewalahan. Helikopter itu menerima banyak tembakan pada badannya dan sistem rotor mulai bergetar keras. “Saya tahu jika kami menerima lebih banyak tembakan, Jolly saya akan ditembak jatuh,” Bell kemudian melaporkan. “Saat (harus) keluar dari lembah, saya menerima pemberitahuan bahwa Davison terkena tembakan dan lukanya parah.” Tertembak kepalanya dan akhirnya gugur, crew penembak itu akan dianugerahi medali Silver Star. (Dua bulan kemudian, Bell dan seluruh krunya akan ditembak jatuh dan terbunuh selama operasi pencarian dan penyelamatan lainnya.)
Crew kemudian memeriksa kerusakan yang dialami JG-76. Mereka menemukan banyak lubang di badan helikopter dan tangki bahan bakar tambahan sebelah kanan, bersama dengan kebocoran hidraulik yang stabil di area kabin depan. Helikopter masih bergetar ringan saat terbang menanjak dilakukan dengan kecepatan 80 knot (148,16 km/jam). Setelah aman keluar dari area tersebut, berbagai kecepatan yang berbeda dicoba untuk menentukan efeknya pada getaran. Pada kecepatan antara 105 hingga 120 knot (194,46 – 220,24 km/jam), getaran menghilang. Pilot kemudian mempertahankan kecepatan ini saat kembali ke pangkalan. Sekitar 30 mil dari pangkalan, sistem hidrolik gagal berfungsi akibat kebocoran hidrolik. Para awak mulai mempersiapkan prosedur untuk bailout (melompat keluar) dan membahas sistem apa saja yang terpengaruh oleh kegagalan sistem hidraulik. Mendarat dengan terbang melandai kemudian dipilih. Pendekatan pendaratan tipe ini dipilih sebagai pengganti pendaratan vertikal karena tingkat kerusakan yang tidak diketahui pada sistem rotor, yang mungkin tidak dapat mempertahankan cara pendaratan seperti itu. Saat fungsi rem gagal pada saat landing roll, sistem rotor digunakan untuk menghentikan helikopter. Inspeksi selanjutnya mengungkapkan bahwa JG-76 telah mengalami tembakan parah di tiga bilah rotor, pelat swash, dan sistem hidrolik, di samping banyak lubang besar di badan pesawat dan satu awaknya KIA (Killed In Action/Terbunuh) – yakni, A1C David Michael Davison dari San Jose, CA.
Pada titik ini taktik musuh sudah jelas, yakni: bersembunyi sementara pesawat-pesawat Skyraider dan jet tempur Amerika menebar maut, dan kemudian, ketika helikopter penyelamat masuk, keluar dari tempat perlindungan mereka dan dengan gencar menembaki helikopter yang bermaksud melakukan penyelamatan. Kembali ke Ban Phanob, rentetan tembakan musuh telah memotong jalur hidrolik di helikopter JG-69 yang dikemudikan oleh Kapten Jerald Brown. Cairan yang menyembur keluar memicu percikan api, dan helikopter itu terbang menanjak untuk memadamkan api yang menyembur. Di helikopter lain, sebuah peluru kaliber 37mm musuh telah menyebabkan lubang berukuran dua kali empat kaki di perut helikopter JG-79 Mayor Jerry Crupper. Sementara itu, saat melayang dengan helikopter JG-68, Mayor Hubert Berthold ingat bahwa ia melihat “seluruh area diterangi oleh peluru pelacak dari kedua sisi, baik dari arah karst maupun tanah”. Helikopternya terkena tembakan lima mil di sebelah barat lokasi kecelakaan. Para kru terhitung beruntung masih bisa selamat. Seorang pilot Skyraider, Kolonel Daryle Tripp, wakil komandan operasi Wing Operasi Khusus ke-56, mengatakan kepada semua orang: “Kami memiliki setidaknya 45 menit hingga matahari terbenam. Kami akan melakukan setidaknya satu upaya (penyelamatan) lagi. Tapi cukup jelas dari baku tembak di luar sini bahwa saya baru saja melihat (bahwa) masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. ” Kapten Donald Carty sempat mendapatkan helikopter JG-72-nya berada dalam jarak 30 kaki (9-10 meter) dari Danielson sebelum diusir tembakan musuh. “Kami (terbang) sangat rendah dan (kondisi) sangat gelap di jalur keluar sehingga kami hampir menabrak karst,” katanya. “Saya lalu menyarankan agar tidak mencoba lagi (melakukan penyelamatan) karena saat itu kondisi sudah terlalu gelap dan senjata mini gun kami macet atau kehabisan amunisi.”
Pada saat itu sembilan puluh pesawat Amerika telah menjatuhkan hampir 350 bom dan roket di lembah Nam Ngo, tetapi saat malam tiba, musuh masih ada di sana dan peluru pelacak Yang ditembakkan mereka terus mengalir ke helikopter-helikopter dan pesawat-pesawat Amerika. “Senjata anti pesawat (AAA) ditembakkan ke arah kami melintasi seluruh lembah, dengan peluru pelacaknya memantul dari sisi karst di sisi yang berlawanan,” kenang seorang pilot Skyraider yang terbang rendah. “Rasanya seperti berada di dasar terowongan berapi.” Lima dari tujuh helikopter yang terkena tembakan serius kemungkinan besar tidak akan dapat diperbaiki pada pagi hari, dan tidak jelas apakah dua sisanya akan bisa terbang lagi. Wakil Komandan Operasi, Tripp menyampaikan kabar tersebut kepada kru Boxer 22: “Kami kehabisan helikopter, dan saya ingin Anda beristirahat. Cobalah untuk menggali perlindungan lebih dalam, dan kita akan keluar dari sini pagi-pagi sekali. ” “Selamat malam, sampai jumpa besok pagi,” jawab Bergeron. Dia memutuskan untuk tetap ada di tempatnya dan “menggali lebih dalam di antara dedaunan dan puing-puing tempat ia bersembunyi.” Sementara itu, Bergeron dan Danielson tetap berhubungan dengan radio darurat mereka. Tak satu pun dari kami yang tidur malam itu. Di pangkalan udara Nakhon Phanom, awak darat bekerja sampai pagi untuk menyiapkan helikopter dan pesawat-pesawat mereka agar siap saat menjelang fajar. Komandan Angkatan Udara ke-7, Jenderal George S. Brown, menginformasikan kepada Komando Pasukan Udara Pasifik dan komandan tertinggi militer di Saigon bahwa semua pesawat di medan tersebut, kecuali yang sedang mendukung pasukan darat dalam kontak senjata langsung dengan musuh, akan digunakan dalam upaya penyelamatan Boxer 22. Saat matahari terbit, hampir seluruh aset udara di atas Asia Tenggara, kecuali yang telah disebutkan diatas akan dikhususkan bagi Boxer 22.
HARI KEDUA DAN GUGURNYA BEN
Sementara itu, Bergeron dapat melihat dengan jelas konvoi pasokan musuh yang melintasi wilayah Nam Ngo seperempat mil ke utara. “Saya duduk dan menghitung truk (yang lewat), dan saya belajar bagaimana mereka membawa truk itu melintasi sungai. Mereka akan menyalakan senter dengan satu cara untuk menyalakan winch untuk menarik truk, dan kemudian menghentikannya. ” Tapi orang-orang Vietnam Utara tahu bahwa dia dan Danielson masih di sekitar situ. “Aku bisa mendengar musuh mencari Ben,” kata Bergeron. “Mereka pergi ke rumpun pohon atau tempat lain di mana dia mungkin bersembunyi dan menembakkan beberapa peluru AK-47. (Namun) tidak ada yang datang mencari saya. ” Pada hari Sabtu, Tripp melanjutkan komando operasi atas penyelamatan di Ban Phanop pada pukul 6 pagi. Mereka masih mengatur pesawat yang akan dikirimkan untuk upaya penyelamatan, ketika Bergeron melaporkan bahwa orang-orang Vietnam Utara baru saja membunuh Danielson. “Mereka berbicara dengan nada yang cukup normal, dan kemudian tiba-tiba mereka mulai berteriak, seperti mereka menemukannya. Mereka menembakkan serentetan peluru AK-47 yang sangat panjang. Saya mendengar Ben berteriak. Itu pasti dia. Saya tahu bahwa dia telah terbunuh. “
Tidak ada waktu untuk berduka. Pasukan musuh sudah mengarungi sungai menuju posisi Bergeron. “Saya telah memutuskan bahwa mereka tidak akan (bisa) mengambil saya sebagai tawanan. Jika mereka datang ke tempat saya bersembunyi, saya akan mencoba melawannya dengan pistol saya. ” Dia memanggil pesawat-pesawat Skyraider dan Phantom untuk memberondong sungai dengan tembakan kanon 20mm, dan tentara-tentara musuh itu “menghilang secara fisik”. Pesawat terbang lalu turun satu demi satu melalui lembah sempit. Pada rute di persimpangan, pesawat-pesawat Phantom menembaki gua sarang senjata musuh dengan rudal udara-ke-darat AGM-12C Bullpup, bom luncur AGM-62 Walleye, dan bom pintar Paveway berpemandu laser seberat 2.000 pon. “Hati-hati hindari tabrakan di udara dengan pesawat-pesawat Skyraider yang menyapu dasar lembah di bawahmu,” Tripp memperingatkan, “dan periksa senjata anti pesawat besar di atas karst sebelah timur saat kamu melaju.” Bom seberat 2.000 pon itu melintasi tepat di atas kepala Bergeron. Dia ingat, “Saat Paveway menghantam sasaran, secara fisik membuat saya melayang di udara sekitar dua inci — perasaan yang menyenangkan.” Saat lembah dipenuhi asap, gas, dan debu, senjata yang harus dipandu itu kesulitan mengunci target mereka, tetapi mereka hanya perlu terbang lebih mendekat. Ketika Bergeron melihat Paveway menghantam separuh jalan ke atas dinding tebing di atas lokasi senjata musuh berada, “ledakan itu benar-benar membuat gunung di atasnya runtuh,” katanya.
Selama lima jam, lembah itu dibom, di-napalm, di-roket, dan ditembaki, dengan berbagai persenjataan yang menghantam cukup berbahaya di dekat posisi Bergeron. “Yang paling dekat dengan saya adalah tembakan kanon 20mm sekitar 1 kaki (hanya 30 cm) dari saya,” kenangnya. Sebuah bom gas air mata kecil benar-benar memantul dari dadanya; satu bau dari gas itu sudah cukup untuk membuatnya “buang air kecil dan muntah pada saat bersamaan,” katanya. “(Dalam kondisi semacam ini) Secara fisik dan mental, Anda tidak dapat mengontrol diri sendiri.” (Pada tahun 1993 sebuah perjanjian internasional melarang penggunaan gas air mata dalam peperangan.) Koridor asap yang dibuat pesawat-pesawat Skyraider — dua baris gas air mata dan fosfor putih — sangat besar sehingga terlihat dari luar angkasa, seperti yang direkam oleh satelit cuaca Nimbus III, sesaat sebelum tengah hari. Pilot-pilot juga bisa melihat asap dari Nakhon Phanom, 65 mil jauhnya. “Pada ketinggian 5.000 kaki (1.524 meter), itu tampak seperti badai pasir di Texas,” seorang pilot Skyraider mengingat. Serangan udara itu begitu hebat sehingga Angkatan Udara ke-7 mulai kehabisan bom asap. Di tengah kabut asap yang tajam, jarak pandang turun mendekati nol. Helikopter-helikopter Jolly Green melakukan enam upaya penyelamatan, tetapi setiap kali udara di atas lembah Nam Ngo tidak dipenuhi asap, udara di sana dipenuhi dengan peluru. Begitu helikopter itu melayang di atas Bergeron — yang sangat rendah sehingga baling-balingnya memotong pepohonan — sapuan baling-balingnya juga menyapu bersih segalanya, dan penembak musuh segera menemukan keberadaan mereka.
Pada pukul 6 sore, upaya penyelamatan terakhir hari itu gagal. Malam tiba, pesawat-pesawat Amerika menjauh, dan orang-orang Vietnam Utara mendekat. “Saya tahu bahwa musuh sadar saya bersembunyi di suatu tempat di tepi sungai,” kata Bergeron, “dan itu hanya masalah waktu (saja) sampai mereka bisa menemukan saya. ” Sekitar 15 menit setelah gelap, tiga tentara musuh muncul dari tempatnya berlindung, melemparkan bom gas air mata ke rumpun bambu dan menyemprotnya dengan tembakan senapan AK-47. Yang mereka temukan hanyalah perlengkapan bertahan hidupnya. Bergeron telah pindah 40 kaki ke utara dan bersembunyi di bawah akar pohon yang terbuka. Namun, dalam prosesnya, dia kehilangan pistol revolver kaliber .38 miliknya. “Jika orang-orang itu memiliki senter,” dia menyadari, “mereka bisa menemukan saya.” Sementara itu sebelum pesawat Skyraider terakhir meninggalkannya, pilotnya telah menyarankan, “Jika sungainya cukup dalam, masuk ke dalamnya dan pergi ke arah hilir.” Meski hal ini juga memicu perdebatan, karena bisa mengurangi efektifitas radio RT-10 nya. Ketika tidak ada pasukan musuh yang terlihat, Bergeron masuk ke sungai, tetapi ia terlalu lelah untuk berenang. Dia menyeret dirinya keluar sungai menuju ke semak-semak yang menjorok ke tepi sungai dan masuk ke bawahnya. Berbaring di sana dalam kegelapan, kelelahan dan lapar, mendengarkan truk-truk musuh melintas di kedua sisi sungai, pikirannya melayang: “Pada malam hari saya mulai berhalusinasi. Saya membayangkan dua anggota skuadron saya bersama saya, mendiskusikan rencana tindakan (penyelamatan) saya. ”
PENYELAMATAN DI HARI KETIGA
Di Nakhon Phanom, tidak ada yang menyerah. Di landasan dan jalur taxi Pangkalan Udara itu, macet dipenuhi dengan pesawat yang sedang diperbaiki, diisi bahan bakar dan dibekali ulang, karena semua tangan bekerja untuk memperbaiki sehingga pesawat dan helikopter siap untuk perjalanan lain di pagi hari. Setelah hampir 48 jam berada di wilayah musuh, Bergeron berada di posisi terakhirnya: “Saya minum air dari sungai dan hanya memiliki sedikit makanan.” Akhirnya, pada pukul 5:15 pagi, pemimpin Skyraider memanggilnya di radio dan memintanya untuk mengotentikasi identitasnya. “Siapa nama sahabatmu?” Dia menjawab, “Weisdorfer.” Pilot Skyraider itu kemudian tertawa. “Aku bahkan tidak punya waktu untuk memeriksanya, tapi itu pasti kamu”, ujarnya. Pada pukul 6:30 pagi, lembah itu kembali diserang. Pesawat Amerika lalu memaksa penembak musuh untuk berlindung dan membuat koridor asap baru. Letnan Kolonel Clifton Shipman menurunkan helikoper HH-53 JG-77 nya untuk menjemput Bergeron dan segera tenggelam dalam asap. “Saat kami turun ke sungai,” lapornya, “kami sama sekali tidak melihat apa-apa.” Tapi musuh bisa melihat mereka. Helikopter itu mendapat tembakan dari arah sebuah truk yang disamarkan, dan Shipman melihat ada sekitar 500 hingga 1.000 tentara musuh di barat laut, berkumpul untuk menyerang. Selama dua hari terakhir, pemimpin Skyraider, Mayor Tom Dayton dari Skuadron Operasi Khusus ke-22 telah menerbangkan empat misi pengawalan helikopter secara terpisah, hanya untuk melihat 15 upaya penyelamatan yanf gagal. Sekarang dia memerintahkan pesawat-pesawat Skyraider membagi diri ke dalam dua formasi yang berputar, yang dikenal sebagai formasi “daisy chain” di kedua sisi posisi Bergeron, 10 pesawat di sebelah barat dan 12 di timur, berputar seperti sepasang roda gigi untuk menggiling musuh dengan asap, gas dan tembakan kanon. Senjata musuh diatas truk dengan cepat dibungkam. Lembah itu kemudian dibersihkan dan dipenuhi asap. Shipman kemudian mengisi bahan bakar JG-77 di udara, dan penembaknya mempersiapkan mini gun mereka. Semua orang siap untuk mencoba lagi. Dayton lalu memberi lampu hijau pada pukul 11:40 pagi.
Datang dari timur, kru Shipman tidak dapat melihat Bergeron. Dayton, yang terbang di atasnya, membujuk mereka untuk turun. “Mereka terbang di atasku,” Bergeron mengenang, “melakukan putaran 360 derajat” dan kemudian menurunkan penetrator, yakni kerekan penyelamat berbentuk peluru, seperti jangkar dengan pegas dan tempat duduk flip-out. Setelah berhari-hari melepas tanda asap dan suar, satu-satunya hal benda tersisa yang bisa digunakan Bergeron adalah grafik pelarian vinilnya, dengan peta berskala wilayah musuh. Dia lari dari lubangnya sambil melambaikan sisi putih tabel itu. “Penetrator itu mendarat sekitar 4 kaki dari saya di dalam air,” kata Bergeron. “Saya memasang tali terlebih dahulu dan kemudian mengalungkan penetrator di bawah badan saya.” Sementara itu, penembak ekor helikopter Shipman sedang menyemburkan senapan mesin mini-nya pada 20 hingga 30 tentara musuh yang hanya berjarak 50 kaki (15,24 meter); sedangkan penembak di sisi kiri sedang menembaki pasukan lawan yang ada di seberang sungai. Para kru kemudian menarik Bergeron ke dalam kabin helikopter dan Jolly Green itu terbang naik ke atas. “Kami mendapatkannya”, kata Shipman mengumumkan, “dan kami akan keluar!” Kini Setiap radio di atas udara kawasan Ban Phanop langsung dipenuhi sorak-sorai. Dayton (kemudian akan dianugerahi medali Air Force Cross, yang levelnya tepat di bawah Medal of Honor dalam penghargaan keberanian di medan perang) memerintahkan semua orang yang terlibat dalam misi penyelamatan pulang.
Di atas Nakhon Phanom, sekumpulan helikopter Jolly Green mengalirkan asap merah dari jalur ekor mereka sebagai tanda kemenangan. Setiap awak darat, awak pesawat dan seluruh staf komando berkerumun di sekitar pesawat Shipman, dan Bergeron muncul dengan disambut tepuk tangan yang meriah. Bergeron kemudian dianugerahi Medali Silver Star atas data intelijen yang diperolehnya mengenai pola operasi musuh di Nam Ngo dan setelah perang ia akan menerbangkan jet serang A-10 Thunderbolt II, serta pensiun pada tahun 1987 sebagai letnan kolonel. Penyelamatan Boxer 22 akan dikenang sebagai misi pencarian dan penyelamatan terbesar dalam Perang Vietnam. Letnan Bergeron diselamatkan setelah 51 jam di darat, dengan pasukan musuh sempat mendekati posisinya hingga sejauh 25 meter. Sebanyak 336 serangan telah diterbangkan oleh pesawat yang menjatuhkan 1.463 bom pintar, bom berdaya ledak tinggi, bom cluster, bom asap, bom napalm, dan tembakan roket selama tiga hari operasi dilakukan. Pesawat-pesawat Skyraider sendiri melakukan 242 misi; sedangkan helikopter HH-3 dan HH-53, lebih dari 40 misi. Lima pesawat Skyraider rusak, tapi helikopter-helikopter Jolly Green mengalami kerusakan yang paling parah. Lima dari 10 helikopter yang dilibatkan tidak pernah bisa terbang lagi. Kapten Danielson akan dicatat sebagai hilang dalam tugas (Missing in Action) sampai tahun 1976 ketika statusnya secara resmi diubah menjadi gugur dalam tugas / mayat tidak ditemukan (Killed In Action / Body Not Recovered). Pada tahun 2003, seorang nelayan Laos menemukan sisa-sisa kerangka manusia, dengan sebagian rompi bertahan hidup, pisau survival, dan tanda pengenal Danielson di sepanjang tepian Nam Ngo. Pada tanggal 15 Juni 2007, Lt. Cmdr. Brian Danielson dari US Navy Electronic Attack Squadron 129—berusia 18 bulan saat ayahnya ditembak jatuh — membaringkan jenazah ayahnya untuk dikuburkan di kampung halamannya, Kenyon, Minnesota. Di Vietnam Veterans Memorial di Washington, D.C., Danielson dan penembak ekor helikopter JG-76 Dave Davison ditulis bersebelahan pada panel 15W, baris 26 dan 27.
PENGHARGAAN UNTUK DANIELSON
Pada tahun 2011, bekas Skuadron Danielson, yang kini dikenal sebagai Skuadron Pelatihan Terbang ke-558 memberikan penghargaan kepada salah satu dari crew Boxer 22 itu, ketika mereka mendedikasikan Auditorium nya dengan nama Kapten Benjamin F. Danielson dalam sebuah upacara pada tanggal 2 Desember. Upacara peresmian dimulai dengan penerbangan yang dilakukan oleh putra Kapten Danielson, Cmdr. Brian Danielson, seorang Perwira Penerbangan Angkatan Laut yang masih aktif, dan pensiunan Letnan Kolonel Angkatan Udara James George, salah satu pilot A-1 Skyraider yang sebagian besar terlibat dalam misi penyelamatan “Boxer 22”. Mereka terbang dalam formasi dua pesawat latih T-38 Talon dari Skuadron Pelatihan Tempur ke-435. Letnan Kolonel Scott Cerone, direktur operasi Skuadron Pelatihan ke-558, dan Kapten Landon Phillips, Grup Operasi ke-12, mengemudikan pesawat dengan Danielson dan George di kokpit belakang. “Kami hampir bisa menyelamatkannya,” kata Kolonel George mengenang. “Aku membuat beberapa tembakan roket dari arah barat ke timur di sekitar posisi Ben untuk menghancurkan senjata anti pesawat kaliber 37mm yang menjadi masalah serius bagi helikopter-helikopter Jolly. (Ben) saat itu posisinya agak terselip di gua kecil di sisi selatan karst ini,” tangannya menunjuk ke gambar di layar lanskap dalam foto yang diambil oleh pilot A-1 lain yang membantu penyelamatan. “Saya masih bisa melihat peluru pelacak yang datang dari daerah itu di sana.” Kolonel George, kemudian menerima penghargaan Silver Star atas perannya dalam upaya penyelamatan besar-besaran ini. Dia pensiun pada tahun 1986. ✯
Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:
Saving ‘Boxer 22’: The Largest Rescue Mission of the Vietnam War by Don Hollway October 2018
Remembering Boxer 22; 12th Flying Training Wing Public Affairs | Dec. 7, 2011
https://www.jbsa.mil/News/News/Article/462347/remembering-boxer-22/
Boxer 22 anniversary honors sacrifice, courage, determination By Col. Jack C. Stallworth
A Summary of December 1969 Events for Boxer 22 by Norman Malayney
Sidebar 5 – Boxer 22
https://www.memoriesofnakedfanny.com/HCMTrailRide/sidebar5boxer-22/
As a Newbie, I am always browsing online for articles that can aid me. Thank you