Perang Dunia II

Pertempuran Beijing (Juli – Agustus 1937): Awal Mula Perang Dunia Ke-II di Benua Asia

Kebanyakan orang mengira bahwa Perang Dunia II pecah pada tanggal 1 September 1939, ketika pasukan Wehrmacht melintasi perbatasan Jerman-Polandia. Yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa Perang China-Jepang Kedua—bagian penting dari Perang Dunia II yang sering diabaikan oleh sejarawan Barat—sebenarnya dimulai dua tahun sebelum invasi Jerman ke Polandia, dan bahkan invasi Jepang ke Manchuria terjadi lebih awal lagi, yakni di tahun 1931. Pertempuran Beijing-Tianjin, yang terjadi dari awal bulan Juli hingga awal Agustus 1937, adalah kampanye militer besar pertama dari Perang China-Jepang Kedua; dimana hal itu juga dapat dianggap sebagai pertempuran pertama dalam Perang Dunia II. Meskipun memiliki makna simbolis yang besar, sedikit informasi tersedia dalam bahasa Inggris yang bisa didapat tentang pertempuran ini. Sementara itu, kota Beijing tidak disebut “Beijing” pada tahun 1937 ketika Perang China-Jepang Kedua secara tidak resmi pecah (pada kenyataannya, perang berdarah selama delapan tahun ini tidak pernah “secara resmi” dimulai, tetapi itu adalah cerita lain). Dari tahun 1911 hingga 1949, kota metropolis bersejarah di Timur Jauh ini memiliki beberapa nama resmi yang berbeda, akibat dari pergolakan politik dan konflik militer di Tiongkok. Pada bulan Juli 1937, pusat keuangan dan benteng militer Republik Tiongkok ini sebenarnya disebut “Beiping,” yang berarti “Perdamaian Utara” dalam bahasa China. Karena sektor pertaniannya yang kaya dan industrinya yang sangat maju, Manchuria kemudian diserbu terlebih dahulu oleh Jepang, dan merupakan salah satu langkah terpenting dalam skema besar Jepang yang kerap disebut serta didengung-dengungkannya sebagai “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya”. Dengan didudukinya wilayah Manchuria dan negara boneka yang disebut Manchukuo didirikan, Jepang jadi memiliki pangkalan garis depan di daratan Asia, baik untuk melakukan invasi lebih lanjut ke wilayah China dan Asia Selatan atau jika perlu untuk menyerang Uni Soviet.

Lukisan Pertempuran Wuhan tahun 1938 karya Kentaro Tominaga tahun 1941. Banyak orang berpikiran bahwa Perang Dunia II pecah pada tahun 1939 dengan diluncurkannya invasi Jerman ke Polandia, namun faktanya perang sudah pecah di Asia semenjak Jepang menginvasi wilayah China Utara 2 tahun sebelumnya, yang menjadi pendahuluan Perang Asia Timur Raya. (Sumber: https://twitter.com/)

“PERTAMA PASIFIKASI INTERNAL, KEMUDIAN PERLAWANAN EKSTERNAL”

Ketika Jepang menginvasi Manchuria pada tahun 1931, respon militer China saat itu sangat menyedihkan. Panglima perang lokal di Manchuria menerima instruksi dari ibu kota di Nanjing, atau Nanking, untuk tidak meningkatkan eskalasi konflik. Seruan China untuk dijatuhkannya sanksi internasional terhadap Jepang juga ditolak oleh Liga Bangsa-Bangsa dan Amerika Serikat. Ketidakefektifan dan ketidakberdayaan Liga yang terlihat dalam invasi Jepang ke Manchuria ini kemudian akan sangat mendorong semangat agresor lainnya, yaitu Mussolini dan Hitler. Sementara itu, sikap pasif dan cenderung mengalah dari China ini sebagian merupakan hasil dari kebijakan “pertama-tama melakukan pengamanan secara internal, kemudian baru melakukan perlawanan terhadap kekuatan eksternal.” Jieshi Jiang, yang lebih dikenal sebagai Chiang Kai-shek, pemimpin Guomindang, Partai Nasionalis China, yang juga dikenal sebagai Kuomintang (KMT), dan pemerintah China-nya yang telah mengalihkan terlalu banyak perhatian untuk memerangi rival saudaranya. Perang ini terutama ditujukan untuk melawan Tentara Merah yang umumnya berasal dari petani dan Buruh China, karena banyak pejabat China berpikir bahwa gerilyawan Komunis pimpinan Mao merupakan ancaman yang lebih berbahaya daripada Tentara Kekaisaran Jepang. Jiang pernah berkata, “Orang Jepang adalah penyakit kulit, sedangkan orang-orang Komunis adalah penyakit jantung.”

Pasukan Jepang melintasi sebuah padang di Manchuria tahun 1931. Konflik antara China dan Jepang sebenarnya telah memanas sejak Jepang menginvasi Manchuria, namun hingga tahun 1931, pihak China Nasionalis lebih memilih banyak mengalah terhadap aksi dan tuntutan-tuntutan Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Ilustrasi lukisan “pemberontak” pasukan komunis China sedang beristirahat. Bagi pemerintahan Generalissimo Chiang Kai Sek, di tahun 1930an ancaman komunis dianggap lebih besar ketimbang invasi Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Alasan lain mengapa pemerintah China terus-menerus berusaha menghindari perang dengan Jepang adalah karena Jiang dan pemerintah Nasionalisnya mengetahui China yang hancur karena politik isolasionisme selama dua abad dan era panglima perang (warlord) yang berdarah setelahnya, tidak akan mampu menghadapi Jepang dengan cara apa pun. China sebenarnya telah berusaha mati-matian untuk mengejar ketertinggalan dengan Jepang di berbagai bidang, terutama dalam hal militer. Dengan bantuan Jerman di bawah Kerjasama Sino-Jerman, pencapaian yang signifikan dalam hal militer, industri berat, ekonomi, dan pertahanan nasional telah dibuat di China pada awal tahun 1930-an, tetapi itu semua masih dinilai tidak cukup. Ironisnya, sebagian besar bantuan asing bagi Cina untuk memerangi Jepang di tahun pertama perang berasal dari Nazi Jerman, calon sekutu Jepang kemudian. China jelas masih membutuhkan waktu untuk mempersiapkan perang skala penuh dengan Jepang, dan pemerintah Nasionalis melakukan yang terbaik untuk mendapatkan waktu itu sebanyak mungkin. Sementara itu, Generalissimo Jiang juga sadar akan beberapa komandan militernya yang loyalitasnya meragukan. Berdasarkan penilaian yang dibuat analis asal Amerika, Frederick Field yang dibuat setelah pecahnya perang Sino-Jepang, loyalitas tentara Nasionalis bisa diukur dari angka 1-6, berurutan dari yang paling loyal hingga yang kurang loyal. Pasukan kategori 1, terdiri dari sekitar 380.000 prajurit, yang bisa dibilang “berada di bawah kontrol langsung” dari Jiang. Pasukan ini terdiri dari Divisi ke-1, ke-2, ke-5, ke-6, ke-13, ke-16, dan Tentara Rute ke-25, juga Divisi 1-4 dan ke-9 dari Tentara Nanking. Pasukan kategori ke 2 berjumlah sekitar 520.000 prajurit, yang bisa dideskripsikan “secara umum loyal” padanya. Yang tergolong pasukan semacam ini adalah unit Tentara ke-4, ke-7 (bekas Tentara ke-19 yang terkenal dalam mempertahankan Shanghai tahun 1932), ke-11, ke-15, ke-17 dan Tentara Rute ke-26.

Ilustrasi seragam dan persenjataan pasukan China Nasionalis tahun 1937. Unit terbaik dari pasukan China adalah satuan yang mendapat pelatihan dan perlengkapan standar tentara Jerman, namun saya jumlah mereka hanya sebagian kecil dari keseluruhan tentara China. Sisanya adalah unit-unit yang kurang lengkap peralatannya dengan loyalitas yang meragukan pada pemerintah pusat. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Untuk pasukan kategori ke 3 adalah unit-unit tentara Nasionalis “semi otonom dimana Chiang setidaknya dapat memerintahkannya”. Unit ini berjumlah 120.000 prajurit, yang terdiri dari Tentara Shansi-Suiyuan ke-19, ke-33, dan ke-35, yang dikomandani oleh Jenderal Yen Hsi-shan, bekas rival Jiang. Masuk dalam tentara kategori ini juga adalah 800.000 prajurit Shantung dari Tentara Rute ke-3 dan 100.000 tentara Kwangtung. Tentara kategori ke 4, dapat dideskripsikan sebagai “secara praktis mereka tentara provinsi yang otonom dimana masih bisa dikontrol Jiang jika dilibatkan dalam operasi militer melawan Jepang”. Masuk dalam kategori ini adalah tentara provinsi Hebei, yang terdiri dari Tentara ke-29, ke-33, ke-32, ke-53, dan ke-63. Dapat dimasukkan dalam kategori ini juga adalah Tentara Timur-Laut, yang hingga tahun 1936 ada dibawah komando Chang Hsueh-liang. Namun penangkapannya setelah insiden Sian, loyalitas unit-unitnya yang berjumlah 16 divisi pada Jiang meragukan. Ke-16 divisi ini terdiri dari divisi ke 107-120, ke-129, ke-130 dan lima divisi kavaleri. Untuk kategori berikutnya, kategori 5, umumnya berasal dari pasukan provinsi yang paling otonom dan termasuk pasukan yang ada dibawah komando bekas pemberontak anti Jiang. Pasukan ini termasuk 60.000 prajurit reguler dan 90.000 prajurit non-reguler dari provinsi Kwangsi dan Tentara Rute ke-10 dari provinsi Yunnan. Dan yang terakhir, pasukan kategori 6, adalah sekitar 250.000 prajurit Szechwan. Jiang sendiri mendeskripsikan para prajurit dari wilayah barat daya China ini sebagai “pasukan China paling buruk – baik dalam hal perlengkapan, disiplin, latihan dan loyalitas”. Jumlah prajurit yang loyalitasnya meragukan (dari kategori 3-5) ini adalah sekitar 1.000.000 prajurit.

Pasukan China berpose heroik untuk seorang fotografer selama Perang China-Jepang Kedua. Perhatikan bahwa beberapa dari tentara China ini mengenakan helm gaya Jerman. Penasihat militer Jerman diketahui melatih banyak unit Tentara Nasionalis China. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Gedung Pemerintah Otonomi Hebei Timur. Selain terus bertindak agresif untuk memperluas wilayahnya, pihak Jepang juga membentuk pemerintahan-pemerintahan boneka wi wilayah China Utara. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Sementara itu, setelah invasi Manchuria dan Pertempuran Rehe, Tentara Kekaisaran Jepang terus merambah wilayah China, dan pemerintah China terpaksa menandatangani serangkaian perjanjian yang tidak adil. Pada tanggal 25 Mei 1935, Perjanjian He-Umezu secara diam-diam dicapai antara Cina dan Jepang. Cina dengan ini mengakui “netralitas” provinsi Hebei dan Chahar timur, satu-satunya penghalang geografis antara Manchuria yang dikuasai Jepang dan Dataran Cina Utara yang dikuasai Guomindang di selatan, meskipun kedua provinsi itu sudah berada di bawah pendudukan Jepang sebenarnya. Belakangan tahun itu, Jepang secara resmi membentuk Dewan Otonomi Anti-Komunis Hebei Timur, dengan mengubah provinsi Hebei menjadi daerah penyangga, dan semua pasukan China di daerah itu terpaksa mundur ke selatan kecuali Tentara Rute ke-29 yang ditempatkan di Beiping dan Tianjin. Pada akhir tahun 1936, semua wilayah utara, timur, dan barat Beiping telah dikuasai oleh Jepang.

TENTARA RUTE KE-29 DI BEIPING-TIANJIN

Sejak awal tahun 1936, situasi di Beiping-Tianjin terus memburuk. Ketegangan antara Tentara Rute ke-29 China dan Tentara Garnisun Jepang di wilayah ini meninggi. Ada banyak pertempuran kecil tetapi semuanya selalu berakhir dengan negosiasi diplomatik. Tentara Rute ke-29 dari Tentara Revolusi Nasional (NRA) China, yang loyalitasnya ada di kategori 4 ini adalah satu-satunya pasukan China yang tersisa untuk mempertahankan area Beiping-Tianjin pada saat itu. Route Army adalah formasi militer China yang sering kali terdiri dari lebih dari satu korps atau beberapa divisi. Jenis formasi ini kemudian dihapuskan selama perang yang terjadi kemudian. Tentara Rute ke-29 terdiri dari empat divisi infanteri dan dua brigade infanteri independen, yakni: Divisi ke-37, Divisi ke-38, Divisi ke-132, Divisi ke-143, Brigade Independen ke-39, dan Brigade Independen ke-40. Pihak Angkatan Darat Nasionalis juga memiliki Divisi Kavaleri ke-9 dan Brigade Kavaleri Independen ke-13, Brigade Tugas Khusus, dan Korps Pelestarian Perdamaian Hebei di bawah komandonya. Kekuatan total Tentara Rute ke-29 adalah sekitar 78.300 orang. Meskipun mereka tidak diperlengkapi dengan baik dibandingkan dengan rekan-rekan Jepang mereka, namun tentara Cina sangat ingin berperang dan bertekad untuk mempertahankan negara mereka. Panglima Angkatan Darat adalah Jenderal Kelas Dua Zheyuan Song, seorang jenderal legendaris Tentara Revolusioner Nasional yang bergabung dengan tentara dari salah satu Warlord pada usia 13 tahun dan lulus dari Institut Militer Suiying di Beijing (saat itu nama resmi Beiping masih Beijing). Keluarga Song miskin, dan dia tumbuh dalam kemelaratan. Karena itu, dia tergolong ramah kepada orang biasa. Tidak seperti banyak pejabat China pada saat itu, Song melihat Jepang sebagai ancaman yang lebih berbahaya daripada orang-orang komunis; oleh karenanya dia mendukung pendirian Front Persatuan Kedua bagi kaum komunis dan nasionalis dalam melawan Jepang, dan dia sangat dipuji oleh pihak komunis maupun nasionalis sebagai seorang pahlawan perang. Ketika dia meninggal pada tahun 1940, pada usia 56, Song secara anumerta dipromosikan menjadi jenderal kelas satu, pangkat tertinggi kedua dalam Angkatan Darat setelah generalissimo Jiang sendiri. Saat kematiannya, Mao juga sendiri menulis sebuah pidato untuk mengenangnya.

Jenderal Zheyuan Song, komandan Tentara Rute Ke-29. Song meskipun seorang patriot, namun masih memiliki pola pikir Warlord gaya lama dengan banyak pertimbangan politik sebelum mengatasi masalah militer. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)

TENTARA GARNISUN JEPANG DI CHINA

Di sisi lain adalah Tentara Garnisun Jepang di China (CGA) dari Tentara Kekaisaran Jepang (IJA), dibentuk pada 1 Juni 1901, sebagai bagian dari kontribusi Jepang terhadap koalisi internasional di China selama Pemberontakan Boxer. Sebagian besar Tentara Garnisun Jepang di China adalah sebuah brigade infanteri di bawah komando Masakasu Kawabe, dengan Resimen ke-1 dan 2 ditempatkan di luar Beiping dan Tianjin, masing-masing, sebagai garnisun asing di bawah ketentuan Protokol Boxer. Selain brigade Kawabe, CGA juga memiliki resimen artileri, unit kavaleri, unit zeni, unit sinyal, dan unit tank dengan 17 tank ringan dan tank mini. Total kekuatan tentara ini adalah sekitar 5.600, dipimpin oleh Letnan Jenderal Kanichiro Tashiro. Tak lama setelah Insiden Jembatan Marco Polo, Divisi Infanteri ke-5 dan ke-20 IJA yanf berasal dari Korea yang diduduki Jepang, serta Brigade Campuran Independen ke-1 dan ke-11 dari Tentara Kwantung Jepang di Manchuria, memperkuat CGA, sehingga meningkatkan jumlah total pasukan Jepang di sekitar Beiping-Tianjin menjadi sekitar 80.000 orang. Jepang selain itu juga mendapat dukungan dari Tentara boneka Hebei Timur. Meskipun pada awalnya kalah jumlah dengan tentara China, pasukan Jepang ini terlatih dan diperlengkapi dengan baik; mereka juga mengalahkan pasukan China dalam hal tank dan artileri, serta memiliki supremasi udara dan laut yang lengkap. 

Tentara Kwantung Jepang tahun 1939. Pasukan Jepang sudah aktif berperang di luar negeri sejak tahun 1894, sehingga mereka bisa dibilang memiliki pengalaman tempur yang tinggi dibanding tentara China yang lebih sibuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan internal. (Sumber: https://www.mn-modelar.com/)
Tank ringan Type 95 Ha-Go milik Jepang berhadapan dengan tank BT-7 milik Soviet. Selain tentara yang terlatih Jepang juga memiliki unit-unit lapis baja yang lebih lengkap dari tentara China. (Sumber: https://www.goodfon.com/)

DIAMBANG PERANG

Sementara itu, sebagian besar ketegangan di Provinsi Hebei terfokus pada area Jembatan Marco Polo (juga dikenal sebagai Jembatan Lugou), yang merupakan jembatan granit berlengkung 11 peninggalan era Dinasti Sung, yang menyeberangi Sungai Yongding di luar kota bersejarah Benteng Wanping, 15 kilometer barat daya Beiping. Sebuah jembatan kereta api modern yang terletak di utara Jembatan Marco Polo adalah titik penyempitan dari Kereta Api Pinghan dan satu-satunya jalur yang tersedia yang menghubungkan Beiping ke Dataran Cina Utara yang dikuasai Guomindang. Jepang menyadari nilai strategis Jembatan Marco Polo dan berulang kali menuntut penarikan semua pasukan China yang ditempatkan di daerah tersebut. Orang-orang China jelas menolak untuk menyerahkan jembatan dan benteng yang strategis itu. Jepang lalu membuat rencana untuk membeli tanah terdekat untuk membangun lapangan terbang, yang kemudian lagi-lagi ditolak dengan tegas oleh pihak China. Baik China dan Jepang lalu melakukan manuver militer intensif di daerah Beiping-Tianjin. Akibatnya situasi diplomatik antara dua kekuatan terbesar di Asia ini memburuk setiap harinya. Segera menjadi pemahaman umum bahwa tidak peduli seberapa mengalahnya pemerintah Cina, perang total antara China dan Jepang sudah di ambang pecah. Pada awal tahun 1937 Generalissimo Jiang telah memutuskan bahwa provokasi berikutnya dari tentara Jepang akan dihadapi dengan sungguh-sungguh oleh militer China. Pemerintah Nasionalis telah menderita berbagai penghinaan dari orang-orang Jepang sejak mereka menginvasi Manchuria tahun 1931. Jiang sadar bahwa konsesi apapun yang diberikan pada pihak Jepang oleh pemerintahannya akan membuat posisinya tidak populer dan sukar dipertahankan di hadapan rakyatnya. Rencananya dalam melawan agresi Jepang didasarkan pada pemikiran bahwa ekonomi Jepang tidak akan mampu bertahan menghadapi perang skala penuh melawan China dalam waktu lebih dari satu tahun. Sebaliknya dari pihak pemerintah Jepang mereka yakin akan bisa memenangkan perang dengan cepat melawan China. Menteri Perang Jepang, Jenderal Hajime Sugiyama mengatakan ‘(bahwa) Jepang akan menghancurkan China dalam waktu tiga bulan dan mereka akan minta perdamaian’.

Jembatan Marco Polo dilihat dari udara. Di sinilah insiden perang China-Jepang kedua terjadi. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

INSIDEN JEMBATAN MARCO POLO MENGHANCURKAN “PERDAMAIAN UTARA”

Pada malam tanggal 7 Juli 1937, suara tembakan telah menghancurkan “Perdamaian Utara”. Tidak seperti konflik kecil lainnya yang sudah terjadi sebelumnya, konflik ini tidak berakhir dengan pihak China memberi konsesi pada Jepang. Keesokan paginya, Perang China-Jepang Kedua yang akan berlangsung delapan tahun dimulai, dengan korban yang diperkirakan mencapai 35 dan 50 juta orang, resmi pecah. Telah lama muncul kontroversi mengenai apakah Insiden Jembatan Marco Polo adalah suatu “kecelakaan sejarah” atau sebuah serangan yang direncanakan dengan sengaja oleh Jepang, karena hal ini menandai dimulainya Perang China-Jepang Kedua. Ketika situasi di China memburuk, Jepang secara rutin mengadakan latihan militer di sekitar Wanping, tetapi biasanya dengan pemberitahuan terlebih dahulu agar penduduk setempat tidak terganggu. Pada tanggal 7 Juli 1937, sekitar jam 7 malam, manuver malam dilakukan oleh personel dari Kompi ke-8, Batalyon ke-3, Resimen Infantri 1 CGA tanpa pemberitahuan sebelumnya, yang tentunya membuat khawatir pasukan China setempat. Pasukan China yang menjaga Jembatan Marco Polo malam itu adalah personel dari Resimen Infanteri ke-219, Divisi ke-37, Tentara Rute ke-29. Menurut pihak China, komandan Resimen ke-219, Xingwen Ji, menerima pesan telepon dari orang-orang Jepang setelah latihan mereka selesai. Pihak Jepang mengklaim bahwa Prajurit Kikujiro Shimura hilang dan mereka menduga bahwa dia telah diculik oleh orang-orang China. Faktanya, dia tersesat dalam perjalanan kembali dari latihan dan baru menemukan jalan kembali ke unitnya beberapa jam kemudian. Pasukan Jepang kemudian meminta izin untuk memasuki Wanping guna melakukan penyelidikan. Kolonel Ji serta merta menolak permintaan ini. Membiarkan tentara Jepang masuk ke Wanping pada malam hari akan sangat mengganggu warga sipil dan menyebabkan kepanikan. Selain itu, Kolonel Ji tidak pernah mempercayai Jepang dan tahu bahwa mereka telah mengarang beberapa insiden serupa sebelumnya untuk melanggar batas wilayah China. Sekitar pukul 5:30 pagi pada tanggal 8 Juli, tentara Jepang mulai menembaki jembatan dan Wanping, serta serangan terhadap posisi China di sekitar Wanping kemudian diluncurkan.

Jembatan Marco Polo peninggalan Dinasti Sung. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Jenderal Qin Dechun, komandan sementara Tentara Rute ke-29 saat insiden di Jembatan Marco Polo pecah. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pihak Jepang sendiri memiliki versi cerita yang berbeda tentang peristiwa itu. Menurut pengumuman yang dibuat oleh Tentara Kekaisaran Jepang pada tahun 1937, tembakan senapan yang tidak efektif pertama kali ditembakkan oleh orang-orang China setelah latihan militer berakhir; sinyal senter yang mencurigakan juga terdeteksi dari posisi Cina. Selain itu, seorang tentara Jepang, Prajurit Kikujiro Shimura, dilaporkan hilang. Dengan semua ini terjadi, komandan batalyon Mayor Kiyonao Ichiki dan komandan resimen Kolonel Renya Mutaguchi dari CGA mengira bahwa serangan tentara China sedang berlangsung dan memerintahkan pasukan mereka untuk meningkatkan kewaspadaan. Sebuah tim kemudian dikirim untuk menyelidiki insiden tersebut dengan pihak Cina. Namun, pasukan China sudah mulai menembaki posisi Jepang dengan mortir sebelum tim ini tiba. Tentara Jepang tidak membalas pada awalnya, tetapi akhirnya membalas tembakan pada pukul 5:30 pagi tanggal 8 Juli. Versi China dari cerita ini sepertinya lebih dapat dipercaya dan diterima oleh sebagian besar sejarawan dan cendekiawan saat ini. Namun, beberapa orang masih percaya bahwa insiden itu tidak disengaja. Beberapa sejarawan ultra-konservatif bahkan percaya bahwa insiden itu direkayasa oleh pihak Komunis China, yang berharap kejadian itu akan mengarah pada perang atrisi antara Jepang dan Guomingdang, yang nyatanya memang benar-benar terjadi.

MEMPERTAHANKAN JEMBATAN MARCO POLO

Meskipun ada perselisihan tentang penyebab Insiden Jembatan Marco Polo, peristiwa selanjutnya sudah jelas. Pada pukul 23:40 tanggal 7 Juli, tidak lama setelah Kolonel Ji menolak tuntutan tentara Jepang untuk bisa memasuki Wanping, Letnan Jenderal Dechun Qin, penjabat komandan Tentara Rute ke-29, walikota Beiping, dan ketua Dewan Politik Hebei-Chahar, dihubungi oleh pihak intelijen militer Jepang dengan permintaan yang sama. Qin juga menolak tetapi setuju untuk memerintahkan pasukan China yang ditempatkan di Wanping untuk melakukan pencarian dengan perwira Jepang yang dikirimkan. Orang-orang Jepang merasa puas dengan jawabannya, namun situasi tidak mereda. Tembakan sporadis masih terjadi, dan baik pihak China maupun Jepang mengerahkan bala bantuan ke daerah itu. Sekitar pukul 5 pagi keesokan harinya, Resimen Infanteri ke-1 Jepang melancarkan serangan terhadap posisi pasukan China di sekitar Wanping dan Jembatan Marco Polo, melanggar kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Dengan sedikitnya perlawanan efektif yang dihadapi, Kompi ke-7 dan ke-8 dari Resimen Infanteri ke-1 CGA dengan cepat menembus garis pertahanan tentara China di sepanjang pantai timur Sungai Yongding di utara Wanping. Tentara Jepang kemudian menyeberangi sungai dan melanjutkan serangan mereka di pantai barat, serta melakukan manuver mengapit ke arah barat daya setelah mendarat dalam upaya untuk mengepung Wanping. Setelah berhasil mengepung Wanping dan Jembatan Marco Polo, tentara Jepang menyerang jembatan dari belakang. Sementara itu, Kolonel Xingwen Ji memimpin pertahanan Tiongkok dengan sekitar 100 orang dan diperintahkan untuk mempertahankan jembatan dengan segala cara. Sangat mengejutkan tentara Jepang, orang-orang China tidak seperti biasanya dan memilih bertarung dengan nekad. Menjelang sore, tentara Jepang hanya berhasil menduduki ujung selatan jembatan. Pada pagi hari tanggal 9 Juli, pasukan China yang telah diperkuat berhasil merebut kembali jembatan Marco Polo dengan bantuan kabut dan hujan.

Pasukan Jepang membombardir Benteng Wanping, 1937. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

GENCATAN SENJATA YANG RAPUH

Konflik telah mencapai jalan buntu pada pagi hari tanggal 9 Juli, dan para pejabat China serta Jepang kembali ke meja perundingan. Pihak Jepang menuntut 3 hal, yakni: 1) Pihak China meminta maaf atas insiden di Jembatan Marco Polo, 2) Para perwira dari divisi ke-37 yang memerintahkan perlawanan dihukum, 3) Divisi ke-37 China yang terbukti “bermusuhan” dengan Jepang, diganti dengan divisi lain dari Tentara Rute ke-29 China. Kesepakatan gencatan senjata lisan lalu dicapai pada hari itu. Pihak China bahkan bersedia menarik mundur pasukan divisi ke-37 dari Peiping dan sekitarnya ke kota Paoting, 105 km lebih ke selatan dari Beiping. Jika Jepang memenuhi janji mereka dan gencatan senjata tetap berlaku, Insiden Jembatan Marco Polo akan berakhir hanya sebagai salah satu dari banyak pertempuran kecil antara tentara China dan Jepang pada pertengahan tahun 1930-an. Namun, insiden ini tampaknya ditakdirkan untuk meningkat menjadi konflik yang lebih besar. Gencatan senjata baru dihancurkan dua jam kemudian ketika tentara Jepang mulai menembaki Wanping. Selama dua hari berikutnya, orang-orang Jepang memprovokasi terjadinya empat pertempuran kecil, dan sama sekali mengabaikan gencatan senjata. Namun, pihak China sendiri juga telah melanggar kesepakatan dengan mengerahkan bala bantuan. Pada tanggal 10 Juli, pihak Jepang secara sepihak merobek perjanjian yang telah mereka buat sehari sebelumnya dan menuntut perjanjian yang baru. Meskipun orang-orang China menyetujui persyaratan yang diminta oleh Jepang dan memulai negosiasi baru, CGA tidak mengurangi sikap agresifnya.

Pada puncak ketegangan antara Tentara Kwantung Jepang dan pasukan China yang ditempatkan di sekitar Jembatan Marco Polo, pasukan China dari Tentara Rute ke-29 buru-buru membangun posisi bertahan pada tanggal 8 Juli 1937. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Bahkan, ketika orang-orang Cina masih berusaha meredakan ketegangan dan melokalisasi konflik, orang-orang Jepang mulai memobilisasi Tentara Kwantung. Kesepakatan yang lebih formal kemudian dicapai pada tanggal 11 Juli antara Letnan Jenderal Dechun Qin, penjabat komandan Tentara Rute ke-29, dan Takuro Matsui dari pihak intelijen militer Jepang. Menurut perjanjian itu, orang-orang China menyetujui fakta bahwa orang-orang Jepang sekarang memiliki kendali atas pesisir timur Sungai Yongding. Jepang lalu akan menduduki wilayah pesisir timur sementara pihak Cina akan mempertahankan kendali pesisir barat. Selanjutnya, perjanjian tersebut menetapkan bahwa posisi pertahanan Resimen ke-219 pimpinan Kolonel Ji akan diserahkan kepada Korps Pelestarian Perdamaian. Sebagai gantinya, pihak China menuntut agar pasukan Jepang di pesisir barat ditarik dan kembali ke pesisir timur yang sekarang dikuasai Jepang. Mereka juga menuntut penarikan semua bala bantuan Jepang yang bergerak ke sekitar Wanping setelah konflik meningkat. Namun, baik Jepang maupun China melanggar ketentuan perjanjian tersebut. Jepang hanya menggunakan gencatan senjata sebagai taktik untuk mengalihkan perhatian orang-orang China, dan Jenderal Qin mencoba untuk melokalisasi situasi dan menenangkan Jepang karena dia hanya komandan sementara dan tidak ingin memperburuk situasi. Jenderal Zheyuan Song sendiri, sebagai panglima tertinggi, sudah dalam perjalanan kembali ke posnya dari masa liburannya .

RUMITNYA HIERARKI MILITER JEPANG DI CHINA

Seperti sudah disinggung diatas, terdapat pendapat yang saling bertentangan di kalangan pemerintah Jepang mengenai akar agresi Jepang di China. Kantor Staf Umum Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, Kementerian Angkatan Darat Jepang, Tentara Kwantung, dan pemerintah sipil semuanya memiliki versi yang berbeda-beda untuk Insiden China ini. Memperumit situasi, Angkatan Darat Jepang sendiri tidak memiliki otoritas terpusat untuk memutuskan kebijakan apa yang harus diikuti oleh para komandan tentaranya di lapangan. Pada tanggal 11 Juli, hari dimana dicapai kesepakatan antara Qin dan Matsui, Menteri Perang Jepang Hajime Sugiyama mengusulkan langkah-langkah awal untuk memobilisasi Tentara Kekaisaran Jepang dan pembentukan Divisi Penerbangan Sementara di Area China untuk memperkuat Tentara Garnisun Jepang, yang diatas kertas hanya memiliki 5.600 personel. Kabinet Jepang kemudian menyetujui proposalnya, dimana sebagian karena suatu sikap penolakan akan dapat menyebabkan munculnya kebencian dari menteri perang yang kuat dan dengan demikian dapat meruntuhkan Kabinet Konoe, yang baru berusia 37 hari. Militer Jepang berjanji bahwa bahkan jika perang pecah, Tentara China yang lemah tidak akan dapat menimbulkan ancaman berarti bagi tentara Jepang yang kuat. Jenderal di Tokyo bahkan meyakinkan kaisar bahwa militer China akan bisa dikalahkan dalam waktu tiga bulan saja.

Tentara dari skuadron tengkorak tentara kekaisaran Jepang yang dipimpin oleh letnan Ikegami selama invasi ke manchuria pada tahun 1933, skuadron tengkorak seperti digunakan hanya selama invasi ini. Sedari invasi tahun 1931, pasukan Jepang di China tidak bisa dikontrol penuh oleh pemerintahan mereka di Jepang. (Sumber: http://www.ww2incolor.com/)
Tentara Jepang melintasi Jembatan Marco Polo bulan Juli 1937. (Sumber: https://ww2db.com/)

MEMPERTAHANKAN TANAH AIR DARI PENYERBU ASING

Di pihak China, Jenderal Zheyuan Song akhirnya kembali ke Tianjin pada tanggal 11 Juli dengan membawa perintah dari Generalissimo Jiang untuk mempertahankan wilayah China dengan segala cara. Sementara itu, Jenderal Muslim Ma Bufang dari klik Ma memberitahu pemerintah Cina bahwa dia akan bersiap untuk memimpin pasukannya ke dalam pertempuran melawan Jepang ketika mereka memulai serangan di Beiping. Segera setelah Insiden Jembatan Marco Polo, Ma Bufang mengatur agar divisi kavaleri di bawah Jenderal Muslim Ma Biao dikirim ke timur untuk memerangi tentara Jepang. Suku Muslim Salar Turki merupakan mayoritas dari divisi kavaleri pertama yang dikirim oleh Ma Bufang. Walau demikian, meskipun banyak perwira senior menyarankan serangan pendahuluan sebelum kedatangan bala bantuan Jepang, Song memiliki sesuatu yang lain dalam pikirannya. Seperti banyak jenderal China pada saat itu, Song memiliki pemikiran yang kuat bergaya Warlord dan cenderung menganalisis situasi dari sudut pandang yang lebih politis daripada murni militer. Terlepas dari ide penyatuan dangkal dari seluruh China di bawah pemerintahan pemerintah Nasionalis pusat, era Warlord di China tidak serta merta berakhir. Meskipun para Warlord telah tunduk kepada pemerintah pusat dan menyatakan kesetiaannya, masih ada konflik antara mantan geng dan tentara para Warlord itu sendiri. Karena Song dan Tentara Rute ke-29 adalah sisa-sisa dari Tentara Barat Laut (salah satu dari banyak faksi militer yang didirikan selama Era Warlord), Song tahu betul bahwa dia tidak akan pernah bisa mengandalkan pemerintah Nasionalis pusat dan divisi elit-nya yang dilatih oleh Jerman untuk memperkuat dia. Dia juga tidak percaya pada mantan tentara Warlord lainnya di sekitarnya. Kemungkinan besar di kemudian hari dia harus melawan Jepang sendirian.

Setelah sekian lama mengalah, Chiang Kai Sek menyadari bahwa pemerintahannya tidak akan bisa bertahan jika terus menerus memberi konsesi kepada pihak Jepang. Pada tahun 1937, Chiang memutuskan bahwa agresi Jepang selanjutnya akan dilawan oleh pemerintahannya. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Sementara itu, pada kesempatan kali ini Generalissimo Jiang tidak mengikuti kebijakannya lamanya tentang “perdamaian internal yang utama, kemudian baru perlawanan terhadap pihak eksternal.” Sebaliknya, dia menyuruh Song untuk bertahan melawan para penyerbu asing dengan segala cara. Song justru curiga, dengan berbagai alasan di pikirannya, dia menduga bahwa ini mungkin rencana Jiang untuk membiarkan tentara Jepang menghancurkan pasukannya. Jiang sudah lama ingin menyelesaikan masalah para Warlord dan telah menghancurkan beberapa mantan Warlord lainnya menggunakan metode serupa. Song tahu bahwa Tentara ke-29 yang tidak memiliki perlengkapan yang memadai bukanlah tandingan tentara Jepang jika perang skala penuh pecah. Dia mungkin bisa memenangkan beberapa pertempuran tetapi tidak seluruh kampanye militer yang akan terjadi. Pada akhirnya, pasukannya akan benar-benar hancur karena ini. Tentara adalah organ terpenting bagi seorang Warlord, dan tanpa Tentara ke-29-nya, Zheyuan Song tidak akan lebih dari sekedar boneka bagi komando tertinggi NRA. Dengan pemikiran ini, Song memveto rencana serangan pendahuluan,  dimana dia masih percaya bahwa adalah mungkin untuk berdamai dengan Jepang, bahkan dengan memberikan beberapa wilayah tertentu. Sayangnya, yang terjadi tidak berjalan sesuai keinginannya, dan keraguannya hanya memperburuk situasi.

DEKLARASI PERANG TIDAK RESMI PADA JEPANG

Pada tanggal 12 Juli, Letnan Jenderal Kanichiro Tashiro, komandan CGA, tiba-tiba jatuh sakit. Dia lalu digantikan oleh Letnan Jenderal Kiyoshi Katsuki, salah satu dari banyak veteran perang wilayah China di IJA. Pada tanggal 14 Juli, tentara Jepang menembaki Wanping. Pada tanggal 15 Juli, rencana serangan besar-besaran terhadap Beiping-Tianjin telah diselesaikan. Karena pasukan Jepang sudah menguasai wilayah utara, timur, dan barat Beiping, serangan ini kemudian difokuskan di sisi selatan. Dengan melakukan hal itu, pihak Jepang akan bisa memotong Beiping dari sisa wilayah yang masih dikuasai oleh Tentara Guomindang di selatan dan mengepung pasukan China yang ada di kota itu. Jenderal Katsuki memerintahkan semua pasukannya untuk berada di posisi pada tanggal 20 Juli. Kemudian pada hari itu, Letnan Jenderal Kanichiro Tashiro, mantan komandan CGA, meninggal karena serangan jantung, menjadi jenderal Jepang pertama yang tewas di Perang Sino-Jepang Kedua. Pada tanggal 17 Juli, Jiang membuat “Pernyataan Lushan” yang terkenal, dimana secara tidak resmi pemerintahannya menyatakan perang terhadap Jepang. Pada hari yang sama, Song mengadakan negosiasi dengan komandan Jepang yang baru, Kiyoshi Katsuki, sementara para pejabat dari kedua belah pihak juga bertemu di kota Nanjing. Brigade Campuran Independen ke-1 Tentara Kwantung kini telah memperkuat CGA. Pada tanggal 18 Juli, Divisi ke-20 turut memperkuat CGA, dan pada hari berikutnya negosiasi antara Song dan Katsuki berakhir dengan kegagalan. Brigade Campuran Independen ke-11 lalu dikirimkan untuk memperkuat CGA, dan pada 20 Juli, Jepang menembaki Wanping lagi, dimana serangan ini berhasil melukai Kolonel Xinwen Ji.

Tentara Jepang menduduki pos pengamatan di dataran tinggi utara Beijing dan menyaksikan pengeboman posisi Tentara China di lembah di bawahnya. Tentara Kwantung Jepang yang sangat terlatih, yang pada awalnya bertindak tanpa sanksi dari pihak Tokyo, berjuang untuk menguasai wilayah yang luas di China selama tahun 1930-an. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

INSIDEN TONGZHOU

Pada tanggal 25 Juli, dengan kedatangan kiriman perbekalan baru, tentara Jepang melancarkan serangan lain. 1300 prajurit Resimen ke-77 dari Divisi ke-20 CGA dan Resimen ke-226 dari Divisi ke-38 NRA bentrok di Langfang, sebuah kota kecil antara Beiping dan Tianjin. Pasukan Jepang berhasil menduduki Langfang pada hari berikutnya bersama dengan semua pusat transportasi di sepanjang jalur kereta api yang menghubungkan Beiping dan Tianjin, sehingga memutuskan hubungan antar kota-kota tersebut. Di malam hari sekitar jam 7 malam, 500 prajurit dari Resimen ke-1 CGA mencoba memasuki Gerbang Guangan di Beiping, tetapi seorang prajurit China yang berpikir dengan cepat segera menutup gerbang. Sebuah ultimatum dari pihak Jepang lalu dikeluarkan bagi Song, yang menuntut penarikan semua pasukan China di Beiping dalam waktu 24 jam (batas waktu ini kemudian diperpanjang hingga tanggal 28 Juli), atau pasukan Jepang akan “bertindak bebas.” Sementara itu, setelah negosiasi dengan pihak China gagal, kaum konservatif dalam pemerintahan Jepang masih berusaha memperbaiki situasi. Namun, upaya mereka berakhir sia-sia pada tanggal 29 Juli, dengan pecahnya Insiden Tongzhou. Dalam insiden ini, sebuah unit Kolaborator Jepang dari Tentara Hebei Timur membelot ke pihak China di kota Tongzhou, setelah membunuh banyak perwira dan warga sipil Jepang dalam prosesnya. Pada pagi hari tanggal 27 Juli, unit-unit Resimen ke-2 CGA lalu mengepung pasukan dari Batalyon ke-1, Resimen ke-2, Brigade Independen ke-39 NRA yang menjaga Tongzhou. Selama pertempuran yang kemudian terjadi, perselisihan pecah antara pasukan Jepang dan Kolaborator Tentara Hebei Timur, dan ini menyebabkan Insiden berdarah Tongzhou. Sementara itu, Pasukan Jepang juga menaklukkan banyak posisi pasukan China lainnya di luar kota Beiping. Pasukan China yang berhasil menerobos kepungan Jepang mundur ke barak Nanyuan, benteng militer di selatan Beiping dan markas Tentara Rute ke-29. Akhirnya menyadari bahwa perang tidak bisa dihindari, Song menolak ultimatum yang dikeluarkan oleh Jepang dan memerintahkan semua unit Tentara Rute ke-29 dimobilisasi. Song juga meminta bantuan dari Generalissimo Jiang dan mantan Warlord lainnya di daerah itu, tetapi seperti yang sudah dia duga tidak ada bala bantuan yang datang.

Tentara Rute ke-29 China. (Sumber: https://min.news/)

SERANGAN JEPANG TERHADAP BEIPING

Jepang melancarkan serangan besar mereka terhadap Beiping saat fajar pada tanggal 28 Juli, dengan didahului oleh serangan tiga gelombang pesawat yang menjatuhkan bom diatas Nanyuan dan Hsiyuan, yang kemudian disertai oleh tembakan artileri berat di sepanjang hari. Rencana militer Katsuki adalah menyerang dari arah selatan dengan Divisi ke-20 IJA dan Resimen ke-1 CGA; sementara dua brigade independen dari Tentara Kwantung dikerahkan di utara Beiping, untuk melawan pasukan China di daerah itu. Serangan Jepang terkonsentrasi di barak Nanyuan dengan serangan sekunder di Beiyuan di sebelah utara Beiping. Didukung oleh dukungan tembakan artileri jarak dekat, Divisi ke-20 dan Resimen ke-1 melakukan serangan frontal ke Nanyuan. Pertempuran untuk memperebutkan Nanyuan adalah yang paling berdarah dan paling intens dari seluruh kampanye Pertempuran Beiping-Tianjin. Tentara dari kedua belah pihak bertempur dengan tekad yang besar, dan posisi strategis di wilayah itu berpindah tangan beberapa kali. Sayangnya, dengan informasi yang diberikan oleh pengkhianat China Yuguio Pan, pengerahan pasukan China dan rencana serangan balasan yang mereka siapkan bisa sampai ke Katsuki. Target pertama Katsuki kini adalah dua resimen dari Divisi ke-132 Dengyu Zhao yang masih dalam perjalanan ke Nanyuan. Dengan bantuan Yugui Pan, Jepang melancarkan sebuah penyergapan yang berhasil di dekat Tuanhe dan menghancurkan resimen-resimen China sepenuhnya. Zhao yang saat itu memimpin resimen ketiga bermaksud untuk menyelamatkan sisa divisinya hanya untuk kemudian dipukul mundur oleh pasukan Jepang. Di tempat lain, Barak Nanyuan dikelilingi oleh tembok bata, dan memiliki garis pertahanan pertama pasukan China ditempatkan tepat di luarnya. Saat fajar pada tanggal 28 Juli, artileri Jepang mengubah dinding bata-nya menjadi puing-puing dan tentara dari Batalyon ke-3, Resimen Infanteri ke-1 CGA di bawah komando Ichiki menyerbu ke titik terlemah dari garis pertahanan tentara China, di mana tentara pelajar ditempatkan disana. Resimen tersebut mencakup sekitar 1.700 siswa dari universitas dan sekolah menengah setempat, yang sedang menerima pelatihan militer pada saat itu. Pada sebagian besar remaja, mereka telah diberikan senapan hanya beberapa jam sebelumnya. Orang-orang Jepang, yang berpikir bahwa mereka dapat merebut barak itu dengan mudah, sangat terkejut dengan tekad kuat lawan mereka dalam pertempuran di kemudian hari.

Prajurit dari kompi senapan Jepang mengambil posisi di sepanjang rel kereta api dekat Beijing pada bulan Agustus 1937. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

MENYERANG MELINTASI LADANG RANJAU

Tentara Jepang hanya menghadapi sedikit perlawanan di awal saat mereka menyerang posisi tentara China. Namun, serangan itu kemudian tidak berjalan seperti yang direncanakan Jepang. Orang-orang Ichiki menghadapi ladang ranjau di depan posisi pertahanan tentara China, yang sangat memperlambat pergerakan mereka. Ichiki kemudian mengingat dalam sebuah Simposium Peringatan Pertama Insiden Jembatan Marco Polo pada tahun 1938, “Ada kebingungan besar pada saat itu. Koordinator artileri di sampingku tercengang. Dia terus berteriak ke teleponnya, ‘Terlalu dekat! Terlalu dekat!’ Dia mengira ledakan (ranjau) adalah tembakan artileri kita sendiri yang terlalu dekat.” Namun, ranjau-ranjau itu tidak menghentikan tentara Jepang. Dengan sikap keras kepala yang luar biasa, anak buah Ichiki berhasil menerobos, dan bergegas ke menyerbu posisi tentara China. Di sisi lain para pelajar China, yang didorong oleh semangat patriotisme dan rasa nasionalisme yang besar, sama besar tekadnya dengan orang-orang Jepang. Jiecheng Ruan, seorang siswa dari SMA Zhicheng, adalah seorang tentara pelajar pada saat itu. Tujuh puluh tahun kemudian, dia mengingat setiap detail yang terjadi di hari itu: “Setiap siswa menerima senapan tua dengan 200 butir peluru, empat granat, dan pedang besar. Semua orang di Tentara ke-29 memiliki pedang besar…. Banyak dari kita belum pernah menyentuh pistol sebelumnya…. Saya melihat seorang Jepang di kejauhan dan saya menembak, bahkan dengan tidak membidik. Hanya Tuhan yang tahu ke mana peluru itu pergi.” Saat orang-orang Jepang menyerbu ke dalam parit-parit pertahanan tentara China, pertempuran sengit satu lawan satu pecah di antara mereka. Para tentara pelajar berjuang mati-matian, tetapi jelas mereka bukan tandingan tentara Jepang, yang ahli dalam pertempuran jarak dekat. Meskipun orang-orang China berhasil mempertahankan posisi mereka dengan tekad yang besar, biayanya juga sangat besar. Para tentara pelajar kehilangan 10 dari personel mereka untuk setiap tentara Jepang yang terbunuh atau terluka. Pengorbanan yang luar biasa dari para pelajar China ini hanya menghentikan pergerakan tentara Jepang untuk beberapa jam saja.

Tentara China yang persenjataannya kurang bertempur dengan keberanian, kadang dengan menggunakan pedang besar di tangan. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

KORESPONDEN PERTAMA JEPANG YANG TEWAS DALAM PERANG

Sedikit terkejut dengan kegagalan serangan pertama Ichiki, Letnan Jenderal Bunzaburo Kawagishi mengambil alih serangan itu dengan Divisi ke-20 IJA yang baru tiba dan mengirim Resimen ke-1 CGA ke utara untuk memotong Nanyuan dari Beiping. Kawagishi melakukan serangan keduanya pada pukul 8 pagi, tepat setelah Dengyu Zhao dan resimennya kembali ke Nanyuan dari misi penyelamatan mereka yang gagal. Serangan kedua Jepang dilakukan lebih terorganisir, hati-hati dan, dengan dukungan serangan udara jarak dekat, jauh lebih ganas. Pasukan China tidak memiliki senjata antipesawat dan menderita banyak korban dari serangan pesawat-pesawat pembom Jepang. Kawagishi mencatat kelemahan lawannya ini dan mengintensifkan serangan udara. Dengan hancurnya sistem komunikasi mereka, orang-orang China sekarang menemukan diri mereka dalam kekacauan mutlak. Beberapa tentara China mencoba dengan sia-sia untuk menembak jatuh pesawat Jepang dengan senapan mereka tetapi dibunuh oleh berondongan tembakan pesawat tempur Jepang. Pasukan Jepang kemudian menerobos pertahanan tentara China di banyak bagian, dan baku tembak yang kacau serta pertempuran jarak dekat segera menyusul. Selama pertempuran, Magoshiro Okabe, seorang koresponden perang Jepang yang terkenal dari surat kabar Asahi Shimbun tewas. Dia adalah koresponden perang Jepang pertama yang terbunuh dalam Perang China-Jepang Kedua dan orang nonmiliter pertama yang diabadikan di Kuil Yasukuni. Sementara itu, Resimen ke-I CGA telah melakukan manuver ke sekitar Dahongmen. Pengkhianat Pan yakin bahwa Dahongmen adalah tempat pasukan China di Nanyuan akan berkumpul setelah mundur; hal ini dikonfirmasi oleh pengkhianat Cina lainnya. Resimen ke-2 CGA juga lalu dikirim ke area ini. Jepang telah memutuskan untuk melakukan penyergapan.

Posisi senapan mesin Jepang di front China Utara tahun 1937. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

PENYERGAPAN JEPANG YANG MEMBAWA BENCANA

Kembali di Nanyuan, tentara China berhasil memukul mundur serangan tentara Jepang yang kedua setelah pertempuran sengit tetapi menderita banyak korban. Resimen tentara pelajar telah menyusut jumlahnya menjadi hanya tinggal 800. Pada pukul 1 siang, Dengyu Zhao, panglima tertinggi pasukan China di Nanyuan, menerima perintah dari Song untuk keluar dari Nanyuan dan mundur ke Beiping. Kemudian pada hari itu, barisan tentara China disergap oleh Jepang di dekat Dahongmen, dan pertempuran yang berat sebelah segera berubah menjadi pembantaian. Letnan Jenderal Dengyu Zhao, komandan Divisi ke-132 NRA dan Letnan Jenderal Linge Tong, wakil komandan Angkatan Darat ke-29 NRA, keduanya tewas dalam pertempuran itu. Menurut arsip Jepang dari masa perang, tentara Jepang menemukan tubuh Zhao duduk di kursi belakang mobilnya yang penuh bekas peluru setelah pertempuran, dengan luka fatal di dada dan dahinya. Sementara itu, Tong terbunuh saat memimpin anak buahnya dalam upaya untuk berjuang keluar dari penyergapan. Hanya kurang dari 2.000 personel dari 7.000 orang yang awalnya ada di garnisun China di Nanyuan yang bisa kembali dengan selamat ke Beiping. Buku History of the Continental War, yang diterbitkan oleh Japanese Army Pictorial pada tahun 1941, berisi deskripsi yang jelas tentang akibat dari Pertempuran Nanyuan. “Pertempuran Nanyuan akhirnya berakhir; pengorbanan kami luar biasa, tetapi kami akhirnya berhasil menaklukkan benteng musuh di sore hari (28 Juli). Angin telah berhenti berhembus, para prajurit mandi di bawah sinar matahari. Awan yang compang-camping berarak menghiasi langit yang kosong, sementara mayat yang tak terhitung jumlahnya memenuhi tanah. Ini adalah mimpi buruk di bawah sinar matahari yang cerah.”

Setelah pertempuran di Jembatan Marco Polo, tentara China dari Angkatan Darat Tentara Rute ke-29 mendirikan pertahanan darurat di jalan-jalan Beijing (Beiping). (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

MISI RAHASIA YANG KONTROVERSIAL

Pada tanggal 28 Juli, barisan tentara China dari Resimen ke-219 berbaris menuju Jembatan Marco Polo. Hanya beberapa minggu sebelumnya mereka telah melepaskan tembakan pertama dalam Perang China-Jepang Kedua di Jembatan Marco Polo, dan sekarang mereka ingin merebutnya kembali dari tentara Jepang. Tepat ketika para prajurit bersiap untuk melakukan serangan balik mereka, seorang perwira dari Brigade ke-110 tiba dengan perintah sederhana: “Serangan dibatalkan. Resimen ke-219 akan segera kembali dengan segera dan mundur.” Banyak yang terkejut dengan perintah ini karena mereka tidak tahu apa yang terjadi di Nanyuan. Pada hari yang sama, brigade Divisi ke-38 NRA mendesak mundur tentara Jepang di daerah Langfang; sementara unit Divisi ke-37 NRA juga melancarkan serangan balik ke Fengtai tetapi dipukul mundur oleh pihak Jepang. Dua brigade independen dari Tentara Kwantung Jepang di utara kemudian menaklukkan kota Shahe dan Qinghe. 

Jenderal Zhang Zizhong, komandan divisi ke-38 yang mendapat misi kontroversial untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)

Dengan kubu Nanyuan dan dua jenderal terbaiknya tewas, Jenderal Song mengakui bahwa pasukannya telah kalah dalam pertempuran dan perlawanan lebih lanjut akan sia-sia saja. Generalissimo juga menyadari gawatnya situasi dan memerintahkan Song untuk mundur. Menjelang malam, Song meninggalkan Beiping dan menarik sebagian besar pasukannya ke Baoding. Brigade Independen ke-27 dari Divisi ke-132 NRA adalah satu-satunya unit pasukan China yang tersisa di kota untuk menjaga ketertiban umum. Zhang Zizhong, walikota Tianjin dan komandan Divisi ke-38, ditinggalkan di Beiping untuk mengambil alih urusan politik dan keadaan setelah pertempuran. Misi rahasianya adalah untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang, sambil mengulur waktu bagi Song untuk bisa mengumpulkan pasukannya dengan aman. Misi Zhang pasti kemudian akan membuatnya menjadi sasaran kritik publik, dan dia, seorang patriot yang teguh, akan disalahpahami sebagai pembelot pada Jepang. Dechun Qin kemudian menulis dalam bukunya “Zizhong Zhang and I” bahwa Zhang mengucapkan selamat tinggal padanya sambil menangis malam itu, dengan mengatakan, “Kamu dan Tuan Song akan menjadi pahlawan, tetapi saya akan disalahkan sebagai pengkhianat mulai sekarang!”

BEIPING-TIANJIN JATUH KE TANGAN JEPANG

Pada pukul 8 pagi tanggal 29 Juli, Brigade Campuran Independen ke-11 Tentara Kwantung menyerang posisi China di dekat Huangsi dan Beiyuan. Korps Pelestarian Perdamaian Hebei yang mempertahankan Huangsi mundur pada pukul 6 sore. Pada hari itu orang-orang Jepang di kota Tongzhou yang ada di timur Beiping dibantai. Tongzhou merupakan ibukota dari rejim boneka pro Jepang dari provinsi Hebei Timur. Pemberontak dari pasukan bekas rejim boneka adalah pihak yang bertanggung jawab atas pembantaian warga sipil Jepang, dan hari berikutnya, saat tentara Jepang mengambil alih kota, mereka gantian membantai orang-orang China. Sementara itu, Brigade Independen ke-39 yang mempertahankan Beiyuan lalu dilucuti senjatanya oleh tentara Jepang sehari kemudian. Beiping kemudian segera jatuh ke tangan Jepang. Pada tanggal 31 Juli, tentara Kwangtung memasuki Beiping, namun tidak ada pembantaian dan pendudukan kota itu bisa dibilang berjalan dengan tertib. Jenderal Masakazu Kawabe, komandan Brigade CGA, memasuki kota pada tanggal 8 Agustus dalam sebuah parade militer di mana warga Beiping dipaksa untuk merayakannya. Subuh pada tanggal 29 Juli, Divisi ke-5 IJA dan marinir Jepang menyerang Tianjin dan pelabuhan Tanggu, yang dipertahankan oleh unit-unit tentara China dari Divisi ke-38. Tentara China dan banyak sukarelawan lokal bertempur dengan gagah berani. Mereka bahkan berhasil merebut Stasiun Tianjin dari pihak Jepang. Divisi ke-38, sementara itu melakukan serangkaian serangan balik ke markas besar tentara Jepang di Haiguangsi dan bandara Dongjuzi. Namun, tentara Jepang mampu memukul mundur serangan balik pihak China dengan tembakan artileri dan dukungan serangan udara. Setelah pertempuran sengit, Tianjin jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 30 Juli. Pada tanggal 31 Juli, Brigade Independen ke-27 berhasil keluar dari Beiping menuju ke Chahar dan kembali ke Divisi ke-143 NRA. Pada hari yang sama, pasukan Jepang akhirnya menaklukkan keseluruhan Beiping-Tianjin dengan merebut posisi terakhir China di dekat Dahuichang.

Tentara ke-29 China yang tewas dan kendaraan mereka yang hancur berserakan di jalan di luar kota, selama gerak mundur mereka dari Beijing. Warga yang menonton menghentikan mobil mereka di kejauhan. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Pasukan Jepang memasuki ibu kota China, Beijing, yang dulunya dikenal sebagai Beiping, melalui gerbang di Chaoyangmen pada tanggal 8 Agustus 1937. Prajurit bersenjata lengkap dan sangat disiplin ini telah berperang di China selama beberapa waktu, dan konflik di benua Asia memang bisa dianggap sebagai awal dari Perang Dunia II. Foto ini diambil dari majalah Jepang Asahi Graph edisi 1 September 1938. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Pertempuran Beiping-Tianjin telah berakhir, tetapi perang skala penuh kini telah meletus antara China dan Jepang. Dengan jatuhnya Beiping dan Tianjin, pertahanan di Dataran Cina Utara tidak berdaya saat melawan divisi-divisi Jepang, yang lalu mendudukinya pada akhir tahun. Tentara Revolusioner Nasional China terus-menerus mundur sampai Pertempuran Taierzhuang yang berlangsung sengit. Sementara itu, Zhang difitnah tanpa henti oleh pers China, dan dicerca sebagai pengkhianat. Setibanya di Nanjing dia meminta maaf secara terbuka. Namun, karena dia kemudian meninggal dalam pertempuran melawan Jepang pada tahun 1940, Guomindang secara anumerta memberikan pengampunan kepada Zhang atas peristiwa yang terjadi di Beiping. Antara bulan Agustus 1937 sampai serangan Jepang di Pearl Harbor di bulan Desember 1941, yang memicu pecahnya Perang Pasifik, China bisa dibilang berdiri sendirian melawan Jepang. Selama lebih dari 4 tahun pasukan China yang kurang peralatan harus melawan Jepang, yang prajuritnya lebih berpengalaman dan lebih baik persenjataannya. Tentara Jepang sendiri sudah terus menerus berperang sejak tahun 1894. Dalam prosesnya jutaan tentara dan warga China akan jadi korban keganasan tentara Jepang. Maka tidak mengherankan hingga kini kebencian masih kuat antara orang-orang China dan Jepang, dan orang-orang dari negara-negara ini masih hidup dalam bayang-bayang dari salah satu bencana terbesar dalam sejarah umat manusia.

Pasukan Jepang berbaris masuk ke gerbang Zhengyangmen di Beiping setelah merebut kota itu. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tentara Jepang berdiri di atas reruntuhan tembok bata dan memberikan sorakan banzai yang meriah setelah merebut Beijing. Kota ini jatuh pada akhir Juli 1937, dan orang-orang Jepang semakin nekad untuk menaklukkan wilayah baru di daratan Asia. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Fall of Beijing, 1937 By Jiaxin Du

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Beiping%E2%80%93Tianjin

China’s Wars: Rousing the Dragon 1894-1949 Book by Philip Jowett, 2013; p 227-228, p 231-233, p 237

Naga dan Tikus: Kisah Perang Tiongkok-Djepang (2 djuli 1937 – 2 september 1945), oleh Drs Oey Hong Lee, 1959; p 21-22, p 24

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *