Perang Vietnam

Pertempuran Di Desa Janda, 31 Januari 1968: Saat Semua Prajurit Menjadi Pahlawan

Dalam pertempuran di Widow Village (Desa Janda) selama serangan Tet tahun 1968, sebuah peleton pengintai memperoleh tiga medali DSC (Distinguished Service Cross), enam Silver Star, dan 22 Bronze Star untuk keberanian di medan perang. Berikut adalah kisah pertempuran tersebut yang diceritakan oleh Brice H. Barnes, saksi mata dan komandan pleton tersebut dalam pertempuran di desa janda itu. Pada akhir bulan Januari 1968, peleton pengintai saya—bagian dari Batalyon ke-2, Divisi Infanteri ke-9, Resimen Infanteri ke-47 (Mekanis)—ditempatkan dalam posisi bertahan di Jalan Raya 15, jalan utama menuju kota pelabuhan Vung Tau. Kami sebelumnya telah diperintahkan untuk tidak menampakkan diri selama perayaan Tet mendatang. Meskipun hanya sedikit dari kami yang sepenuhnya memahami arti penting hari raya Tet bagi orang-orang Vietnam, namun kami menantikan waktu luang untuk bisa beristirahat, sambil percaya bahwa semua operasi militer ofensif akan ditunda selama perayaan itu. Dan kami kemudian akan terbukti salah. Sesaat sebelum matahari terbenam pada tanggal 30 Januari, kami menerima perintah untuk pindah ke posisi di selatan kota Long Binh, pangkalan logistik besar Amerika di sebelah timur Saigon, sebagai bagian dari unit reaksi cepat bagi Brigade Infanteri Ringan ke-199. Sekitar jam 04.00, saya memantau transmisi radio yang yang semarak dari polisi militer di Saigon yang mengatakan bahwa Viet Cong telah merampas dua jip MP (Polisi Militer). Saya lalu mengirim panggilan ke seluruh anggota peleton, memerintahkan mereka untuk bersiaga penuh. Sejak sejak saat itu, jaringan radio kami selalu dipenuhi panggilan, semuanya melaporkan berbagai tahapan pertempuran jalanan di kota Saigon. Tidak lama kemudian, saya mendengar bahwa personel VC (VietCong) sudah berada di dalam kompleks Kedutaan Besar AS. 

Dua polisi militer AS membantu sesama anggota mereka yang terluka selama pertempuran di kompleks Kedutaan Besar Amerika di Saigon, 31 Januari 1968, pada awal Serangan Tet. Pasukan bunuh diri Viet Cong sempat menguasai sebagian kompleks kedutaan dan bertahan selama sekitar enam jam sebelum mereka dibunuh atau ditangkap. Berita Serangan Tet, kemudian dengan segera tersebar ke setiap pasukan Amerika yang ada di Vietnam. (Sumber: https://www.militarytimes.com/)

MISI PENYELAMATAN KE DESA JANDA

Setelah fajar pertama, peleton pengintai saya diperintahkan untuk bergerak ke sekitar area Batalyon Pengganti ke-90, dengan menjemput elemen komando batalyon 2/47 di tengah perjalanan. Peleton saya memiliki 10 kendaraan pengangkut personel lapis baja M-113, yang telah dimodifikasi ke versi kendaraan serbu kavaleri lapis baja (ACAV), dengan tameng pelindung di sekitar senapan mesin kaliber .50 (Browning M2 kaliber 12,7 mm) dan untuk dua senapan mesin M-60 yang dipasang di samping. Dua dari kendaraan APC kami dipasangi oleh senjata recoilless kaliber 106mm. Saat kami tiba di tempat tujuan, saya memantau transmisi radio antara Kompi A dan C kami, serta “Panther 6,” kode panggilan dari Letnan Kolonel John Tower, komandan batalion kami. Berbalik untuk memastikan kendaraan lapis baja lainnya yang mengikuti saya, saya kemudian merasakan gelombang kejut ledakan dan melihat bola api besar meletus dari area depot pasokan amunisi Batalyon Ordnance ke-3, beberapa mil ke utara. Pasukan sapper musuh telah meledakkan tempat penyimpanan amunisi, tetapi untungnya beberapa tas bermuatan bahan peledak tidak ikut meledak. Seorang petugas medis melaju dengan ambulans dan memohon kami untuk membantu korban di dekatnya yang ditembaki oleh musuh. Saya mencoba menjelaskan bahwa saya tidak bisa mengikutinya, karena perintah saya datang langsung dari komandan batalion saya. Saat itu suara “Panther 6” datang dari saluran radio saya, memerintahkan saya untuk berpindah ke sekitar kompleks markas besar Pasukan Lapangan ke-II Amerika. Tidak juga menyerah, petugas medis itu mengikuti kami, terus memohon bantuan. Saya kemudian memutuskan untuk meminta izin kepada atasan saya untuk bisa melakukan misi penyelamatan. 

Letnan Satu Brice H. Barnes, komandan Pleton Pengintai Batalyon ke-2, Resimen Infanteri ke-47, Divisi Infanteri ke-9 di Vietnam pada saat Serangan Tet terjadi. (Sumber: https://www.angelfire.com/)

Unit yang menembaki berada tepat di seberang jalan di tempat yang kami sebut sebagai Desa Janda, sebuah dusun yang terdiri dari beberapa gubuk tempat para janda dan keluarga dari banyak tentara Angkatan Darat Republik Vietnam tinggal. Widows Village terletak tepat di seberang jalan tanah yang menghubungkan kompleks besar Angkatan Darat di Long Binh dan Markas Besar Pasukan Lapangan ke-II Vietnam. Para janda dan anak-anak tentara ARVN yang meninggal tinggal di desa itu, hidup dengan dana pensiun pemerintah Vietnam Selatan yang kecil. Untuk mendapat penghasilan tambahan, para janda biasa mengambil cucian orang-orang dari instalasi Angkatan Darat yang berdekatan. Dari waktu ke waktu kami juga kerap membayar mereka untuk mengisi karung pasir di kompleks markas kami. Mereka relatif hidup dalam ketenangan, tidak terganggu oleh pertempuran di sekitar mereka, sampai pasukan komunis masuk ke desa mereka. Sementara itu, Panther 6 lalu menyuruh saya meninggalkan dua APC saya untuk mengamankan pusat operasi taktis batalion, dan kemudian melanjutkan operasi penyelamatan. Kami bergerak menuju Desa Janda, dan petugas medis itu menunjuk ke arah unit yang terkepung, yang ternyata merupakan peleton dari Kompi B kami sendiri! 

Desa Janda difoto dari tepi jalan. (Sumber: https://www.ndqsa.com/)
Para wanita dari desa “janda” membantu mengisi karung-karung pasir untuk pertahanan instalasi militer pasukan Amerika, sebelum Serangan Tet tahun 1968. (Sumber: https://www.ndqsa.com/)

Beberapa saat sebelum awal hari libur Tet, pasukan komunis mulai menyusup ke dalam desa, mereka ternyata datang dalam kelompok-kelompok kecil, mungkin hanya dua atau tiga sekaligus, dan tidak pernah dalam kelompok yang cukup besar, sengaja untuk tidak menarik perhatian. Beberapa prajurit, setelah masuk ke rumah seorang janda, membangun bunker tempur kecil dan terowongan di bawah lantai. Satu kelompok memasang kawat berduri dengan pola menjerat kaki di area antara beberapa rumah. Kemudian pada pagi hari pukul tanggal 31 Januari, mereka mulai bergerak. Kira-kira setengah mil jauhnya, peleton pertama dari kompi B, Batalyon Mekanis ke-2, Resimen Infanteri ke-47 itu dalam status siaga sebagai pasukan reaksi cepat siap untuk masuk ke daerah itu. Mereka telah memindahkan kendaraan APC mereka ke tempat parkir besar, dan di sana mereka menunggu. Tepat sebelum siang hari, perintah itu datang. Tembakan roket dan mortir diluncurkan dari sekitar Desa Janda menuju markas Angkatan Darat Lapangan ke-II, Vietnam. Pada malam dan dini harinya, helikopter-helikopter bersenjata (gunship) telah menembaki desa itu dan mendapat banyak ledakan sekunder dari beberapa posisi yang mereka tembaki dengan roket. Setelah perintah dikeluarkan pada pukul 05:30 para prajurit Infanteri berlari ke APC mereka dan segera berangkat. Melewati gerbang kompleks besar, mereka menuju utara ke jalan raya 1A ke tepi selatan desa. Pada Pukul 08.00, Kompi B dari satuan 4/39 Inf mulai masuk kedalam desa. Dengan cepat menyebar dalam barisan, mereka mulai bergerak di jalan-jalan tanah desa, melewati rumah-rumah yang tampaknya sepi. 

Pasukan Vietnam Utara bersenjata lengkap dengan didukung peralatan radio. Menjelang Serangan Tet, banyak tentara Vietnam Utara yang menyusup ke wilayah pemukiman warga Vietnam Selatan, termasuk di desa “janda” akhir bulan Januari 1968. (Sumber: https://www.quora.com/)

Sekitar sepertiga perjalanan melewati desa, mereka tiba-tiba berhadapan dengan Pasukan komunis yang sudah membuat pertahanan dengan kuat. Musuh menyerang pasukan infanteri mekanis kompi B dengan tembakan roket, senjata otomatis, dan tembakan senjata ringan. Salah satu personel dari peleton pimpinan sersan William Butler dari Springfield, MO. mengatakan, ”Kami bergerak perlahan di sepanjang jalan karena kami tahu pasukan musuh ada di sana, namun kami tidak dapat menemukannya. Tiba-tiba mereka lalu mulai menembakkan semua senjata mereka ke arah kami. Salah satu APC kami terkena tembakan langsung dari roket B-40 (Copy-an dari RPG-2 buatan Soviet) dan pemimpin peleton segera terbunuh”. Segera prajurit senior di peleton Butler mengambil alih komando dan mulai menggerakkan anak buahnya keluar langsung dari garis tembakan musuh. Kendaraan pengangkut personel itu kemudian mundur ke area, di mana mereka bisa terlindungi dari tembakan roket, sembari masih mampu mempertahankan tembakan penekanan pada posisi musuh.

Pasukan NVA dengan Peluncur Roket B-40. Senjata copy dari RPG-2 buatan Soviet ini masih mampu menembus lapisan baja kendaraan lapis baja M-113 yang tipis. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)

Di tempat lain, sementara orang-orang dari Resimen ke-47 tertahan di tempatnya, pasukan musuh mulai mempersiapkan Bangalore Torpedo untuk meledakkan lubang di kawat berduri yang mengelilingi Markas Besar Angkatan Darat Lapangan ke-II. Musuh ternyata sudah siap melancarkan serangannya terhadap kompleks Angkatan Darat yang besar itu. Kembali ke Letnan Satu Brice H. Barnes dan pasukannya yang sampai di desa janda, Barnes segera mengevaluasi situasi yang dihadapinya. “Sesampai di tempat itu, saya menghitung ada empat APC di tepi dusun kecil ini, dengan satu melintang di jalan menghalangi jalan kami”, ingat Barnes. Saya tidak mendeteksi banyak tembakan datang, dan tidak ada tembakan dari pasukan yang keluar, tetapi saya bisa melihat beberapa prajurit berjongkok di samping APC di depan kami. Saat saya turun, saya melihat bahwa tidak ada yang mengawaki senapan mesin kaliber .50-nya. Kemudian saya melihat bahwa komandan kendaraan lapis baja itu telah terbunuh, dan yang lainnya dalam pasukannya terluka, serta mencoba membentuk posisi tempur di samping kendaraan lapis baja yang mogok itu. Memanggil petugas medis saya untuk merawat para prajurit yang terluka, saya kemudian memberi isyarat tangan ke kendaraan lapis saya yang lain untuk ditempatkan ke dalam formasi garis di kedua sisi APC yang mogok.

PERTEMPURAN DI DESA JANDA

Saya kemudian segera meminta dukungan tembakan mortir atau artileri, tetapi stasiun kontrol radio kami mengatakan kepada saya bahwa permintaan tembakan tidak langsung tidak bisa diberikan di daerah ini karena kedekatannya dengan pemukiman warga sipil. Tidak ada pilihan lain, kami harus mengatasi masalah kami sendirian. Maju dengan teknik tembak dan bergerak sesuai buku teks, kami dengan cepat mencapai garis parit yang menyembunyikan para penembak musuh dan mulai membersihkan mereka. Kemudian, ketika saya sedang dalam perjalanan kembali ke kendaraan lapis baja saya untuk mendapatkan lebih banyak amunisi, saya melihat adanya gerakan di parit di sebelah kiri saya, kurang dari 10 kaki jauhnya. Dalam gerakan yang tampak sangat lambat, seorang prajurit Angkatan Darat Vietnam Utara mengangkat senapan AK-47-nya dan mengarahkannya tepat ke arahku. Tanpa membidik, aku menembakkan peluru, mengenai dadanya. Dia jatuh ke belakang parit, sambil secara refleks mengarahkan senjatanya ke arahku. Setelah dua tembakan lagi yang saya arahkan dengan baik, dia akhirnya tewas. Namun, pada saat yang sama, seorang prajurit lain muncul dan mengangkat senjatanya. Saat saya menarik pelatuk senapan, saya hanya mendengar suara “klik” yang mengecewakan. Saya kehabisan amunisi. Tanpa memiliki waktu untuk mengisi ulang, saya berputar dan memberikan tendangan pivot klasik, seperti yang telah saya pelajari dalam pelatihan tempur dasar. Saya menjatuhkan senjata itu dari tangan prajurit musuh itu dan membawanya sebagai tawanan. 

Ilustrasi pasukan NVA dengan senjata standar varian AK-47. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Sementara itu, kami menerima tembakan berat dari senapan serbu AK-47, senapan mesin berat kaliber .51 (kaliber 12.7 mm Soviet) senapan mesin ringan RPD dan granat berpeluncur roket (RPG). Ini jelas bukan sekedar penyergapan unit kecil biasa; kami telah menghadapi kekuatan besar, setidaknya seukuran kompi, yang terorganisir dengan baik, bertahan dengan kuat dan akan mencoba menyerbu dan memusnahkan peleton senapan mekanis yang kami coba selamatkan. Unit itu sendiri kekuatannya sudah jauh melemah menjadi kurang dari 15 personelnya yang masih efektif tempur, dan pemimpin peleton mereka sendiri terluka parah (ternyata tewas). Prajurit yang tersisa bertempur dengan gagah berani melawan kekuatan musuh yang jauh berlipat banyaknya. Setelah merebut pos-pos pertahanan musuh terluar, kami melanjutkan serangan melalui desa, hanya untuk menemukan rintangan berupa gulungan kawat berduri. Atas inisiatif mereka sendiri, personel pleton pengintai Sersan Staf. George Ottesen, Junious Hayes dan Robert Mutchler, ditambah Spc. 4 Ray Rehfeldt dan Bill McCaskill, merangkak melalui tembakan gencar, dengan membawa pemotong kawat di tangan. Sementara mereka memotong celah diantara kawat untuk bisa dilewati kendaraan lapis baja kami, prajurit penembak senjata pelontar granat M-79 saya membombardir posisi musuh, dan awak senapan mesin kaliber .50 serta senapan mesin M-60 kami melepaskan tembakan penekan yang berat ke posisi-posisi musuh. 

Ilustrasi tentara Vietnam Utara dengan senapan mesin kaliber. 51. Ketika pasukan Amerika berhadapan dengan senjata semacam ini, mereka jelas menghadapi musuh dalam jumlah besar. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Terdapat sekelompok sekitar 50 wanita, anak-anak dan beberapa pria yang sangat tua berkumpul di belakang APC kami. Saat penembakan kami menjadi lebih intens dan efektif, seorang wanita Vietnam dengan dua anak kecil muncul tepat di depan kami. Dia panik, tidak yakin ke mana harus pergi. Kami langsung mengalihkan tembakan kami dari arahnya, dan saya berteriak padanya untuk maju kedepan, dengan asumsi bahwa dia bisa mengerti ucapan saya atau bahkan mendengar saya. Tapi dia malah membeku ketakutan, jadi saya terpaksa berlari ke depan dan meraih mereka bertiga. Saat saya membawa mereka ke tempat yang aman di belakang salah satu APC kami, saya mendengar derak suara senjata ringan dan melihat tanah berhamburan ke kedua sisi kami. Ketika wanita dan dua anaknya telah aman, kami memperbarui serangan yang kami rencanakan, menghancurkan beberapa gubuk untuk mencegah musuh menggunakannya. Kami melenyapkan semua perlawanan yang kami temui pada sapuan serangan pertama kami, dan kemudian memulai lagi, menangkap beberapa tahanan dan berbagai senjata lagi. Saya kemudian kembali ke kendaraan lapis baja saya, karena sangat ingin memiliki waktu sejenak untuk bisa berkumpul kembali, merencanakan fase serangan berikutnya dan mungkin merokok sebentar.

Kondisi Desa Janda sebelum Serangan Tet tahun 1968. (Sumber: https://www.ndqsa.com/)

Sebaliknya saya menemukan adanya kebingungan dan ketakutan. Sopir saya, Spc. 4 Danny Lawless, sedang memegang tubuh yang sudah tidak bernyawa teman dekatnya Spc. 4 Charles Kronberg. Ternyata, sementara saya memimpin serangan kedua, Kronberg telah naik ke kubah APC saya dan mulai menembakkan senapan mesin kaliber .50 untuk melindungi serangan kami. Kronberg tertembak di kepala saat mengawaki senjata itu. Petugas medis dari peleton saya, Spc. 4 Paul Keener, dan Lawless berjuang mati-matian untuk menyelamatkan hidupnya. Saya melihat luka menganga di belakang kepalanya dan bercak darah hitam. Matanya sudah berkaca-kaca. Aku harus berpaling. Saya masih ingat tatapan ketidakberdayaan total di mata Lawless, memohon agar saya melakukan sesuatu, tetapi saya tahu tidak ada yang bisa saya lakukan. Saya lalu berjalan pergi dengan perasaan sedih bahwa seorang pemuda yang baik harus mati di tempat yang tidak dikenal seperti Desa Janda. 

Kendaraan lapis baja M113 ACAV (Armored Cavalry Assault Vehicle) yang cukup sukses menjadi kendaraan tempur anti gerilya di Vietnam. ACAV umumnya dipersenjatai dengan sebuah senapan mesin kaliber. 50 dan 2 senapan mesin serba guna M60, yang rata-rata dilindungi dengan tameng lapis baja. (Sumber: https://www.italeri.com/)

Beberapa saat kemudian, ketika kami mencoba untuk memilah yang terluka dari para tahanan yang tidak terluka dan merawat mereka, sekelompok anggota polisi militer tiba dengan santai, mengambil gambar dan bertingkah seperti sekelompok turis yang sedang berlibur. Prajurit saya menarik salah satu tentara musuh yang terluka keluar dari gorong-gorong terdekat. Tidak sepenuhnya yakin bahwa dia akan lebih baik menjadi tahanan, prajurit musuh itu menarik tali pada granat “penghancur kentang” Chi-Com (buatan China) dan melemparkannya ke sekitar beberapa prajurit pengintai saya. Dengan teriakan “Granat!” semua orang tiarap ke tanah. Granat itu meledak tanpa melukai siapa pun, tetapi sebelum asap dan debu hilang, salah satu anggota polisi militer mensetting senjatanya ke mode tembakan otomatis penuh dan menembakkan seluruh magasin ke arah umum prajurit NVA yang sekarang sudah dilucuti senjatanya itu. Tembakannya benar-benar meleset dari sasarannya, dan dia malah mengenai leher salah satu personel pengintai saya, yakni Pfc Richard Veilbaum, yang membunuhnya hampir seketika. Saya tiba di tempat kejadian sekitar dua menit kemudian. Setelah mengetahui dari Bill McCaskill apa yang telah terjadi, dan melihat kemarahan jelas mengalir dari anak buah saya, saya memberi tahu kapten Polisi Militer bahwa saya hanya dapat menjamin keselamatannya di area itu hanya untuk waktu 15 detik berikutnya. Setidaknya lima senapan mesin kaliber .50 sudah diacungkan ke arahnya. Mujurnya, kapten dan sekelompok anggota polisi militer yang menyedihkan itu dengan cepat pergi, menghindari apa yang mungkin bisa menjadi tragedi lain yang tidak masuk akal.

Bersenjata roket dan minigun pada chin-turret, Bell AH-1 Cobra menjadi kawan sejati para prajurit infanteri yang terjebak dalam pertempuran sengit melawan pasukan musuh yang jauh lebih besar. Pada saat Serangan Tet tahun 1968, helikopter Cobra masih terhitung baru digunakan di Vietnam. Helikopter ini turut membantu pasukan Amerika dalam pertempuran di desa Janda. (Sumber: AP Photo/Jacques Tonnaire/https://www.historynet.com/)

Kemudian di pagi harinya kami masih terlibat kontak senjata berat dengan pasukan NVA (Tentara Vietnam Utara) ketika saya melihat dua helikopter gunship terus terbang mengelilingi posisi kami. Mereka adalah helikopter tempur AH-1 Cobra baru, yang baru saja tiba di di Vietnam Selatan. Karena saya tidak memiliki kode panggilan atau bahkan frekuensi radio mereka, saya naik ke atas ACAV saya dan melambaikan tangan ke arah pilot. Meskipun tembakan datang, saya memberanikan diri, menunjukkan bahwa saya adalah komandan pasukan dibawah. Pilot komandan dari helikopter yang memimpin menganggukkan kepalanya saat dia membuat lintasan lain di sekitar posisi kami. Pada lintasan keduanya, saya menunjuk ke bawah ke deretan rumah yang saya ingin dia hancurkan, dan kemudian menarik jari saya sejajar di sekitar tenggorokan saya, memberi kode. Sekali lagi dia mengangguk. Pada lintasan ketiga, kedua helikopter Cobra itu datang dengan menembakkan peluncur granat otomatis dan senjata minigun-nya. Setelah mereka melakukan beberapa tembakan, kami menyapu sebagian wilayah desa itu, dan menghitung ada lebih banyak musuh yang tewas dan mengumpulkan lebih banyak senjata dan perlengkapan. Sekarang kami telah mengisi kembali persediaan amunisi kami, jadi saya membawa ACAV saya sekali lagi untuk mengarahkan serangan terakhir melalui Desa Janda. Saya ingin melancarkan tembakan gencar dari senapan mesin kaliber .50 dan M-60 kami, peluncur granat M-79 dan apa pun yang kami miliki untuk bisa menyingkirkan pasukan NVA dari desa secara permanen. Saya sudah mengoordinasikan serangan terakhir ini dengan unsur-unsur pasukan dari Batalyon ke-4, Resimen Infanteri ke-39, yang telah diterbangkan ke posisi di sayap paling kiri pasukan kami. Kedelapan kendaraan ACAV saya, ditambah dua APC yang masih operasional dari Peleton ke-1 Kompi B kami, berada dalam formasi barisan, dengan pasukan yang telah diturunkan di antaranya. Atas perintah saya, semua senjata meraung beraksi, mengirimkan tembakan mematikan dan menghancurkan pada pada prajurit NVA mana pun yang masih bersembunyi di parit, semak, gubuk, atau puing-puing.

PERTEMPURAN DI HO-NAI

Semuanya selesai dalam waktu kurang dari 10 menit. Kami kemudian mengkonsolidasikan posisi kami dan bersiap untuk menjalankan misi berikutnya dari Panther 6. Berjalan kembali ke kendaraan lapis baja saya melalui desa, saya melihat puluhan prajurit musuh tewas dan terluka. Pada saat ini, beberapa ambulans dan beberapa anggota polisi militer yang kooperatif telah tiba, membebaskan kami dari beban merawat dan mengamankan lebih dari 30 tahanan yang kami bawa. Peleton saya lalu diperintahkan untuk bergerak mendukung Kompi C kami, yang dikomandani oleh teman baik saya Letnan John Gross. Kompi-nya telah melakukan kontak senjata berat dengan pasukan NVA sepanjang hari di sekitar markas besar Korps ke-III ARVN di Kota Bien Hoa. Untuk sampai ke sana, kami harus melewati desa Ho Nai, sekelompok toko yang penuh sesak dan gubuk-gubuk di sepanjang Highway 1. Desa itu didominasi oleh pengungsi beragama Roma Katolik yang melarikan diri dari Vietnam Utara karena khawatir menghadapi penganiayaan berdasarkan agama. Namun sebelum delapan kendaraan lapis baja saya selesai membersihkan desa, kami terjebak dalam baku tembak mematikan yang memotong anggota peleton saya menjadi tiga kelompok, masing-masing menghadapi kekuatan musuh yang jumlahnya lebih banyak. Kami telah terjebak ke dalam penyergapan klasik NVA/VC, dengan menghadapi tembakan RPG, senapan mesin berat, dan adanya penghalang jalan.

Peta pertempuran di area Long Binh-Bien Hoa saat serangan Tet 31 Januari 1968. (Sumber: https://upload.wikimedia.org/)

Misi kami, yang awalnya untuk mendukung Kompi Charlie sekarang telah memaksa kami mengambil posisi bertahan untuk melepaskan diri dari zona pembunuhan. Sebuah peluru RPG mendarat tepat di belakang kendaraan lapis bajaku, membantingku ke palka kargo dan melukai bahu dan lutut kananku. Pecahan peluru menghantam saya di sisi kanan leher saya, tetapi saya tidak menyadari sampai kemudian saya tahu bahwa saya telah terkena tembakan. Mengikuti prosedur standar, kami menghentikan ACAV dan memposisikannya dalam pola herringbone (pola seperti tulang ikan) untuk menghadirkan sebanyak mungkin tembakan yang saling mengunci dan saling mendukung. Di elemen utama, McCaskill dan Lawless dengan cepat menurunkan senapan mesin M-60-nya untuk mengamankan bagian depan kiri kami yang terbuka. Mereka berhasil menggagalkan beberapa upaya musuh untuk mengepung kami dan menyusup ke dalam posisi kami. Panggilan radio dari kendaraan lapis baja lain memberi tahu saya tentang statusnya. Saat situasi di elemen bagian depan cukup stabil, Doc Keener bermanuver untuk membantu elemen tengah. Berlari meringkuk dan membawa tas bantuan medis dan senapan M-16, Keener hampir berhasil mencapai posisi cukup-aman untuk merawat korban di kelompok tengah ketika dia tertembak peluru AK-47 di sisi kanan helmnya. Tergeletak di jalan raya di depan sebuah gereja Katolik, Keener terbaring berdarah. Ketika saya melihatnya ditembak, saya yakin dia sudah mati, sampai saya mendengarnya mengutuk seperti orang kesurupan! Saya merangkak keluar dan menyeretnya kembali ke ACAV saya, di mana kami membalut luka kepalanya yang parah. Dia akan selamat. 

Berbagai tipe persenjataan perorangan tentara Amerika dalam Perang Vietnam, mulai dari pelontar granat M-79, Senapan Mesin Serba Guna M60, dan senapan serbu M16. Pasukan pleton pengintai yang bertempur dalam serangan Tet tahun 1968 turut menggunakan ketiga senjata ini. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Sementara itu, di elemen belakang peleton saya, Mayor Ray Funderburk, perwira urusan publik dari Divisi Infanteri ke-9, merekam pertempuran dengan kameranya. Funderburk telah bergabung dengan kami di Widows Village, dan telah menumpang dalam perjalanan kami ke posisi Kompi Charlie. Mengambil alih di belakang pertahanan kami, dia mengarahkan tembakan para prajurit pengintai ke lokasi-lokasi RPG dan posisi senjata otomatis yang mengancam akan menaklukkan pasukan kecilnya. Di tempat lain, Staf Sersan Robert Schultz turun dari ACAV-nya dan menyerang posisi senapan mesin musuh yang menembak dari kendaraan lapis baja yang rusak. Setelah menghilangkan ancaman itu, Schultz menyerang posisi senapan mesin lain, melemparkan granat tangan dan menembakkan AK-47 yang dirampasnya. Dia jatuh terluka parah setelah menghancurkan ancaman kedua. Sementara itu Spesialis 4 Lee Wilson melihat adanya posisi RPG yang menembaki ACAV lain. Berdiri dengan tenang di tengah Highway 1, dengan peluru senjata ringan dan peluru RPG menghantam mengenai sekelilingnya, Wilson menembakkan senjata antitank ringan M-72 langsung ke posisi RPG, menghajar musuh tanpa ampun.

Pasukan Amerika dengan senjata anti tank ringan M72 LAW. Dalam Perang Vietnam, M72 selain masih mampu melumpuhkan tank-tank buatan Soviet yang dipakai oleh Vietnam Utara, juga efektif untuk digunakan menghancurkan posisi perkubuan musuh. (Sumber: https://nationalinterest.org/)
UH-1B Gunship, helikopter bersenjata pendahulu AH-1 Cobra. Dalam pertempuran di Desa Ho Nai, 31 Januari 1968, helikopter gunship “tua” ini turut terlibat dalam melakukan serangan akhir dalam menghancurkan posisi pasukan NVA. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Setelah bertempur dari rumah ke rumah, kami berhasil menghubungkan elemen utama dan mereka yang ada di tengah. Pukul 1:30 serangan terakhir dimulai. Helikopter gunship menggempur benteng pertahanan terakhir musuh. Orang-orang dari Kompi B 4/39, menyebar ke tepi selatan desa dan mulai menyapu ke arah utara. Sementara itu para prajurit infanteri dari unit 2/47 bekerja bersama APC mereka, memotong dengan cepat melintasi pusat desa dan mulai menyapu ke utara. Setelah mengambil dan merawat yang terluka, kami mencoba mengontak dustoff (helikopter medis). Tetapi ketika helikopter medevac berada mulai mendekat, saya melambai padanya karena dia menerima tembakan dari darat yang intens. Kami lalu melanjutkan proses ekstraksi kami, dan akhirnya terhubung dengan elemen lain. Sebuah panggilan radio berhasil mendatangkan dua helikopter bersenjata, yakni: Huey UH-1B tua yang terbukti handal. Mengarahkan mereka ke target melalui radio, kami melihat kedua helikoper gunship menembakkan roket-roket 2,75 inci ke rumah dua lantai berwarna kuning tempat tembakan RPG berasal. Setelah itu, pasukan infanteri dengan cepat menyerbu untuk menghancurkan perlawanan yang tersisa dalam waktu satu jam. Ketika penembakan berhenti, kami menerima perintah dari Panther 6 untuk kembali ke posisinya dan merawat rekan-rekan kami yang terluka. Ketika kami mencapai posisi batalion dan membawa yang terluka ke pos bantuan medis, saya mulai memeriksa sisa prajurit saya. Baru pada saat itulah saya menyadari bahwa Staf Sersan. Schultz telah terbunuh, dan dia masih berada di desa Ho Nai. Kehilangan seorang pahlawan muda yang baik ini sangat memukul perasaan saya. Dia baru saja bergabung dengan unit peleton pengintai. Semua prajurit senior menghormati dan mengagumi profesionalisme, selera humor, dan pengabdian penuh Schultz kepada bawahannya. 

SEMUA MENJADI PAHLAWAN HARI ITU

Saya kemudian segera melapor ke pusat operasi taktis, dan memberi tahu mereka bahwa saya akan kembali ke Ho Nai untuk mengambil tubuh Schultz. Saya tidak bisa membendung tangis, sebagian karena marah, sebagian karena lega dan sebagian karena saya tidak tahu bagaimana lagi bisa menghadapi kegilaan yang baru saja saya alami. Kolonel Tower, biasanya bukan orang yang paling menyenangkan di dunia, namun kini ia tahu persis apa yang harus dilakukannya. Dia meraih dan memelukku, membiarkanku terisak tanpa malu. Dia mengatakan kepada saya bahwa tidak ada gunanya mengekspos anak buah saya pada bahaya lebih lanjut pada saat itu. Dia mengerti perlunya untuk kembali ke Ho Nai, tetapi buat dia, saya masih bisa kembali ke sana keesokan paginya, dan itu adalah perintahnya. Berdasarkan dokumen-dokumen yang diperoleh kemudian menyebutkan bahwa peleton pengintai dan elemen lain dari satuan 2/47 telah melawan batalion yang diperkuat dari Resimen NVA ke-88. Pada prosesnya, kami telah membantu menyelamatkan lebih dari 50 anggota keluarga ARVN. Atas keberanian mereka di Widows Village dan Ho Nai, 40 personel  pleton pengintai dan dua petugas medis dari peleton itu dianugerahi tiga medali Distinguished Service Cross (yakni: Robert W. Schultz, Lee E. Wilson dan saya sendiri), enam medali Silver Star, 22 medali Bronze Star Medal dengan V Device dan lebih dari 20 medali Purple Hearts. Dengan berbagai medali yang dibagikan, dapat dikatakan bahwa semua orang yang terlibat dalam pertempuran hari itu mendapat penghargaan sebagai pahlawan atas keberanian yang ditunjukkan dalam pertempuran di Desa Janda dan Ho-Nai.

SSG Robert W. Schultz yang gugur dalam pertempuran di Desa Ho Nai. Atas keberaniannya di medan tempur, Schultz dianugerahi medali Distinguished Service Cross. (Sumber: https://www.angelfire.com/)

Dalam pertempuran di hari itu pasukan pengintai tercatat menderita tiga orang tewas dan empat terluka cukup serius untuk kemudian harus dievakuasi ke Amerika Serikat. Mereka yang terluka namun masih bisa berjalan tetap tinggal bersama unitnya. Untuk dua pertempuran di hari itu, para personel pasukan pengintai dicatat telah menewaskan 110 personel musuh dan menangkap 33 orang tawanan. Selain itu, lebih dari 60 senjata yang diawaki lebih dari satu orang dan lebih dari 45 senjata individu berhasil dirampas. Hari berikutnya kami berjalan perlahan di tengah jalur Highway 1. Sekitar setengah mil dari Ho Nai, dimana kami menemukan mayat Schultz. Dia telah dibawa keluar dari dalam desa tempat dia gugur, dan beberapa biarawati Katolik Vietnam telah meletakkan saputangan berenda yang indah di wajahnya. Saya memanggil kendaraan lapis baja saya ke depan, dan Schultz lalu diangkut didalamnya untuk menjalani perjalanan terakhirnya sebagai seorang pengintai. Saya sendiri tidak akan pernah tahu mengapa saya bisa bertahan hari itu, dan mengapa saya tidak pernah menerima “peringatan dari malaikat” terakhir. Bagi saya, mustahil untuk bisa bertahan dari pengalaman seperti itu tanpa percaya bahwa keajaiban telah terjadi.

Brice H. Barnes di masa tua. Barnes tercatat sebagai prajurit unit cadangan AD Amerika hingga tahun 1993. (Sumber: https://www.angelfire.com/)

Catatan: Brice H. Barnes adalah perwira dalam Unit Garda Nasional Texas dari tahun 1963 hingga 1970, Kolonel Brice Barnes kemudian bergabung kembali dengan Unit Garda Nasional sampai tahun 1986, dan kemudian dipindahkan ke Unit Cadangan Angkatan Darat AS. Dia pensiun pada tahun 1993 dan bekerja paruh waktu untuk perusahaan Northrop Grumman, dengan menyediakan permainan perang rahasia berbasis komputer. Anda akan dapat mendengar Kolonel Barnes bercerita dalam cuplikan film 221st Signal Company tentang pertempuran di Desa Janda pada video YouTube (cari saja “Widows Village”).

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

“Everybody was a Hero that Day” by Brice H. Barnes

WIDOWS’ VILLAGE: VC GRAVEYARD; TET 1968

The Battle At Widows Village

https://www.ndqsa.com/oneill/oneill4.html

Brice H. Barnes

https://valor.militarytimes.com/hero/5032

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Tet_offensive_attacks_on_Bien_Hoa_and_Long_Binh

Armored Combat in Vietnam by Donn A. Starry, June 1, 1982; p 123

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *