Perang Vietnam

Kebangkitan Khmer Merah Dan Perang Saudara Di Kamboja (Periode 1968-1973)

Perang Saudara Kamboja (17 Januari 1968 – 17 April 1975) adalah salah satu contoh tragis dari sebuah negara yang gagal setelah berupaya sekuat tenaga menjaga netralitasnya diantara tetangga-tetangganya yang sedang berkonflik. Kamboja hingga pertengahan tahun 1960-an, tergolong negara yang damai dengan pemimpin mereka Pangeran Norodom Sihanouk mampu memantapkan kekuasaannya di tengah rakyat Kamboja yang sederhana dan memandangnya sebagai layaknya manusia setengah dewa. Sihanouk di satu sisi juga bukan sosok politikus yang bodoh, dia cukup cerdik dalam memposisikan diri sembari memperkuat legitimasi pemerintahannya, lewat sosoknya yang populer di kalangan masyarakat pedesaan. Namun ketika Perang di negara tetangganya Vietnam terus bereskalasi, Pangeran Sihanouk dan Kamboja, tidak lagi mampu untuk terus mempertahankan netralitasnya, apalagi saat pemberontakan kaum komunis pecah di negerinya di penghujung dekade tersebut. Saat perang saudara pecah menjadi perang terbuka Pemerintah resmi Kamboja kemudian akan terbukti tidak memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memenangkannya. Berikut adalah kisah periode krusial 5 tahun pertama dari perang yang tragis ini.

Prajurit muda pasukan Republik Kamboja. Sejak kudeta Lon Nol pada Maret 1970, Angkatan Bersenjata Nasional Khmer (FANK), didukung oleh Amerika Serikat dan Tentara Republik Vietnam Selatan (ARVN), diadu bertempur melawan Khmer Merah yang didukung oleh Vietnam Utara dan Vietcong. (Sumber: Photo by Christine Spengler/https://www.gettyimages.com/)

AWAL MULA PEMBERONTAKAN KOMUNIS DI KAMBOJA

Pada bulan Maret 1963, yang tersisa dari gerakan sosialis di Kamboja telah dihancurkan oleh pemerintahan Pangeran Norodom Sihanouk. Perkembangan ini pada akhirnya malah memperkuat Pol Pot dan Partai Pekerja Kampuchea sebagai satu-satunya gerakan Marxis yang tersisa. Pol Pot saat itu adalah pemimpin gerakan Marxist yang kepemimpinannya didominasi oleh sebuah “klik” dari bekas para mahasiswa Kamboja yang pernah belajar di Paris. Kelompok ini termasuk Ieng Sary, Khieu Samphan, dan Son Sen. Norodom Sihanouk kemudian menerbitkan makalah yang mencantumkan 34 tokoh kiri Kamboja, menuntut agar mereka mau bergabung dengan pemerintah. Sihanouk memang dikenal memiliki kebiasaan menyerang kelompok komunis dan kemudian mengundang mereka ke dalam pemerintahan untuk bertindak sebagai front demokrasi, meski kapasitas aktual pengaruh mereka dalam pemerintahan sangat dibatasi. Dalam daftar ini terdapat nama Pol Pot. Sementara petinggi partai lainnya rata-rata mau bekerja sama dengan Sihanouk, Pol Pot sedari awal tidak mempercayai niatan Sihanouk. Dia lalu menjadi satu dari hanya dua orang yang tidak menghadiri pemanggilan yang diminta. Benar saja, setiap orang yang hadir kemudian dipaksa untuk bersumpah setia kepada Sihanouk dan kemudian ditempatkan di bawah pengawasan polisi selama 24 jam, yang secara efektif menghancurkan kapasitas mereka sebagai tokoh oposisi. Ini adalah tantangan terakhir bagi partai komunis Kamboja, dan pada bulan Juli tahun itu, Pol Pot dan banyak tokoh komunis lainnya melarikan diri dari ibukota untuk membentuk basis pemberontak di provinsi Ratanakiri, yang berbatasan dengan Laos dan Vietnam. Karena wilayah tersebut dihuni oleh kelompok minoritas yang tertindas, wilayah ini menjadi tempat berkembang biak yang sempurna untuk kegiatan gerilya, dan pada tahun 1967 serangan gerilya pertama mulai ditujukan pada pemerintah Kamboja.

Pangeran Norodom Sihanouk, Perdana Menteri Kamboja. Sihanouk adalah politisi yang cukup cerdik dalam mengokohkan legitimasi kekuasaannya sembari melemahkan lawan-lawan politiknya. (Sumber: https://www.yqqlm.com/)
Pol Pot Sekretaris Jenderal Partai Komunis Kamboja. Sedari awal Pol Pot tidak pernah tertarik bekerjasama dengan pemerintahan pimpinan Pangeran Sihanouk. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Tahun berikutnya, upaya ini telah bergeser ke pemberontakan berskala nasional yang menerima dukungan diam-diam dari China dan Vietnam Utara, yang membantu melatih dan mempersenjatai gerilyawan Kamboja. Dukungan ini sebagian besar dirahasiakan dari pemerintah Sihanouk, yang sejak tahun 1965 mengizinkan pasukan Vietnam Utara untuk mengangkut pasokan melalui rute yang dikenal sebagai Sihanouk Trail untuk membantu aksi militer pasukan komunis di tetangganya, Vietnam Selatan. Pada bulan Januari 1968, Partai komunis Kamboja membentuk Tentara Revolusioner Kampuchea (Revolutionary Army of Kampuchea/RAK), sebagai sayap militer partai mereka, yang kemudian dikenal sebagai Khmer Merah (Khmer Rouge/KR). Selama dua tahun terakhir kekuasaan Sihanouk, faktanya RAK hanya mendapat sedikit bantuan dari Vietnam Utara, Viet Cong, dan China. Meskipun Vietnam Utara telah membentuk unit khusus pada tahun 1966 untuk melatih kekuatan komunis Kamboja, namun mereka sangat enggan untuk berkonflik dengan Sihanouk, dimana saat itu pasokan vital bagi pasukan Vietnam Utara dan Vietcong melewati pelabuhan Kampong Saom dan di sepanjang Jalur Ho Chi Minh di sepanjang perbatasan Kamboja-Vietnam atas sepengetahuan Sihanouk. Selain itu, Beijing dan Moskow juga diketahui menyediakan senjata kepada Sihanouk, yang mana banyak di antaranya digunakan untuk melawan pemberontak komunis. Ketidakpedulian gerakan komunis dunia terhadap perjuangan kaum komunis Kamboja dari tahun 1967 hingga 1969, kemudian akan membuat kesan permanen pada Pol Pot dan para pemimpin Khmer Merah lainnya. Dari pengalaman itu, mereka yakin bahwa mereka harus terbiasa bersikap mandiri dan tidak mudah dipengaruhi serta disetir pihak asing, meski memiliki ideologi yang sama.

Gerilyawan Khmer Merah. Pada awalnya unit-unit militer kecil Khmer Merah mendapat pelatihan dari pasukan Vietnam Utara. (Sumber: https://www.independent.co.uk/)
Tank Amerika memasuki sebuah kota di Kamboja pada invasi singkat tahun 1970. Keinginan untuk mendepak tentara Vietnam Utara yang menggunakan wilayah Kamboja Timur sebagai tempat persembunyian dalam menjalankan aksi militernya di Vietnam Selatan adalah tujuan utama ketertarikan Amerika di Kamboja. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)

Sementara itu, banyak hal mulai berubah pada tahun 1969 ketika kebijakan Amerika di Vietnam berubah secara dramatis di bawah presiden yang baru saja terpilih, yakni Richard Nixon. Sihanouk selama ini selalu menjadi pemimpin yang memainkan peran penyeimbang, untuk menjaga netralitas bangsanya dengan merayu China di satu sisi dan Amerika di sisi lain. Dukungannya ke Vietnam Utara lebih terbatas dan hanya dilakukan untuk mencegah serangan dari pihak Hanoi yang dia tahu dia tidak memiliki peluang untuk memenanginya, tetapi dengan tekanan dari Amerika yang meningkat, dia mulai beralih ke ‘sayap kanan’ menjauhi kelompok komunis. Antara bulan Maret 1969 dan Mei 1970, Operation Menu, yakni sebuah operasi pengeboman rahasia di mana pesawat-pesawat pengebom Amerika mengebom secara besar-besaran Sihanouk Trail dimulai. Operasi tersebut dirahasiakan dari semua pihak, termasuk di Amerika dan sebagian militer Amerika sendiri karena sifatnya yang sangat ilegal. Dikabarkan hanya lima pejabat tinggi Konggres Amerika yang diberitahu tentang pengeboman itu. Sihanouk sendiri tidak pernah setuju atau diberitahu tentang operasi tersebut, tetapi telah mengindikasikan kepada orang Amerika sebelumnya bahwa dia tidak akan menentang mereka yang mengejar pasukan Vietnam Utara masuk ke dalam wilayah Kamboja. Lebih dari seratus ribu ton bahan peledak kemudian diketahui telah dijatuhkan di Kamboja secara rahasia. Selama Operasi Menu, pemerintah Sihanouk secara resmi memprotes “pelanggaran Amerika terhadap wilayah dan wilayah udara Kamboja” di Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih dari 100 kali, meskipun mereka “secara khusus memprotes penggunaan pesawat pembom B-52” hanya sekali, menyusul penyerangan di daerah Bu Chric pada bulan November 1969. Efektivitas pemboman AS terhadap pasukan Vietnam Utara serta Khmer Merah dibandingkan dengan jumlah korban tewas diantara warga sipil Kamboja masih diperdebatkan. Dengan data yang terbatas, kisaran kematian warga Kamboja yang disebabkan oleh pemboman AS mungkin antara 30.000 sampai 150.000 warga sipil Kamboja dan gerilyawan Khmer Merah tewas karenanya.

Sebuah B-52 di tengah lautan bom yang akan dijatuhkan pada target-target di Asia Tenggara. Dengan operasi yang dirahasiakan, Amerika menjatuhkan bom secara besar-besaran ke target di wilayah Kamboja. (Sumber: U.S. Air Force photo / AFA LIBRARY/https://www.airforcemag.com/)
Presiden Amerika Richard Nixon membeberkan aksi militer Amerika dalam sebuah peta Kamboja. Beberapa pengamat menilai bahwa aksi pemboman Amerika pada akhirnya malah menjadi propaganda yang menguntungkan bagi Khmer Merah. (Sumber: https://www.e-ir.info/)

Sementara itu, pada bulan Juni 1969, Sihanouk menawarkan pengakuannya kepada pemerintah Vietnam selatan. Perubahan sikap ini, dengan ditambah serangan militer yang sedang berlangsung tidak diragukan lagi mendorong Vietnam Utara untuk lebih lagi mendukung gerakan Khmer Merah yang masih muda. Meski begitu, Sihanouk tidak akan sepenuhnya berpaling dari Vietnam utara sehingga tindakan penyeimbangnya semakin lama menjadi semakin sukar untuk dilakukan. Pada bulan Januari 1970, Sihanouk meninggalkan Kamboja untuk mengunjungi Prancis selama beberapa bulan, dan membiarkan perdana menteri Lon Nol bertanggung jawab sebagai pemimpin pemerintahan sementara. Selama masa ini, kerusuhan muncul di luar kedutaan Vietnam utara yang menuntut penarikan tentara mereka dari wilayah Kamboja, dan ketika salah satu kerabat Sihanouk dipanggil atas tuduhan korupsi, mereka dengan marah menuntut penangkapan Lon Nol. Tampaknya hal ini sebagai tantangan terakhir bagi legitimasi kekuasaan Sihanouk. Kemudian pasukan yang setia kepada Lon Nol pada akhirnya malah menangkap kerabat Sihanouk, dan disaat yang sama majelis nasional memberikan suara pada tanggal 18 Maret untuk menggulingkan Sihanouk, dan memberikan Lon Nol kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan darurat. Yang segera terjadi setelah itu adalah pembantaian orang-orang keturunan Vietnam yang tinggal di negara itu, akibatnya populasi orang-orang Vietnam yang tinggal di Kamboja turun dari 450.000 pada awal masa kudeta menjadi 140.000, lima bulan kemudian. Sebagian besar dari mereka telah melarikan diri sementara banyak lainnya terbunuh. Sebagai tanggapan, pasukan Vietnam Utara lalu meningkatkan intervensi militernya di Kamboja, yang sekarang secara aktif berusaha menggulingkan pemerintah. Demikianlah kondisinya, dengan Sihanouk digulingkan, seorang diktator militer baru, ribuan warga sipil tewas, sementara saat itu Khmer Merah hanyalah kelompok kecil terpinggirkan yang hanya aktif di sebuah provinsi kecil. Ini adalah awal dari perang saudara Kamboja, yang akan berlangsung hingga bulan April 1975.

LON NOL PEMIMPIN YANG BURUK

Lon Nol terbukti merupakan pemimpin yang buruk dalam memerangi ancaman kekuatan komunis di Kamboja. Lon Nol hampir seketika mulai menghapus kebijakan lama Sihanouk dalam mempertahankan sikap netralitas (relatif) dalam hubungannya dengan kedua Vietnam. Hampir setelah mengambil alih kekuasaan pada bulan Maret 1970, dia memberikan waktu 48 jam bagi pasukan Vietnam Utara di negara itu untuk beranjak pergi sebelum dia memulai aksi militer melawan mereka…Terlepas dari kenyataan bahwa tentara Kamboja tidak memiliki kemampuan untuk mengobarkan perang melawan mereka. Vietnam Utara kini menyadari bahwa mereka tidak lagi memiliki alasan untuk tidak mendukung Khmer Merah, karena sekutu mereka dalam sosok Sihanouk sudah tidak ada lagi. Bantuan persenjataan secara perlahan mulai mengalir ke tangan Khmer Merah dan pertempuran melawan pasukan pemerintah semakin intens. Lon Nol yang mungkin menyadari bahwa hal ini bisa dengan cepat menjadi pertempuran besar yang tidak bisa dia menangkan, ia kemudian malah memilih untuk menggunakan kekejaman guna mencoba dan mencegah serangan lebih lanjut dari Vietnam Utara. Ribuan warga sipil Vietnam di Kamboja dibantai, dengan salah satu insiden yang sangat menonjol terjadi pada tanggal 15 April, dimana 800 warga Vietnam dibantai dan dibuang di sungai Mekong untuk mengapung ke Vietnam selatan. Vietnam Selatan, Vietnam Utara, dan Viet Cong semuanya mengecam keras tindakan ini. Ironisnya, secara signifikan, tidak ada orang Kamboja—termasuk dari komunitas Buddha—mengutuk pembunuhan itu. Dalam permintaan maafnya kepada pemerintah Saigon, Lon Nol menyatakan bahwa “sulit membedakan antara warga Vietnam yang merupakan Viet Cong dan yang bukan. Jadi wajar saja jika reaksi pasukan Kamboja yang merasa dikhianati itu sulit kontrol.”

Letnan Jenderal Lon Nol, Perdana Menteri Kamboja (berbintang tiga di depan) diikuti oleh komandannya pada akhir kunjungan yang mereka lakukan ke markas gugus tugas Skuon di Kamboja pada 23 September 1973. Kelompok itu melakukan perlawanan ke dan dari Phnom Penh menggunakan helikopter. Setelah mengkudeta Sihanouk pada bulan Maret 1970, Lon Nol terbukti menjadi pemimpin yang gagal membawa Republik Khmer memenangkan perang saudara dengan kelompok komunis. (Sumber: https://www.voacambodia.com/)
Mahasiswa Kamboja, termasuk salah satunya yang memegang foto Pangeran Norodom Sihanouk, menyalakan api dan memprotes agresi pasukan komunis Vietnam Utara ke wilayah Kamboja selama Perang Saudara Kamboja, di Pnom Penh, Kamboja pada Maret 1970. Dalam kerusuhan yang mengikuti setelah kudeta Lon Nol, ribuan warga sipil Vietnam yang tinggal di Kamboja menjadi korban pembantaian. (Photo by Rolls Press/https://www.gettyimages.ie/)

Pada tanggal 17, ia kemudian meminta bantuan dari Amerika untuk menghentikan gerak cepat dari tentara Vietnam Utara yang marah. Pada bulan Juni 1970, pasukan Vietnam Utara telah menguasai sebagian besar wilayah Kamboja timur laut. Selama periode ini, tentara Vietnam Selatan kemudian melakukan intervensi di pihak Kamboja dengan alasannya sendiri, yang memaksa eksodus banyak tokoh paling penting di Vietnam utara yang sekarang khawatir ditaklukkan oleh kekuatan yang jauh lebih kuat, yang menyerang dari berbagai sisi. Amerika juga mulai bergabung dalam pertempuran, setidaknya sampai tingkat tertentu, dengan melakukan beberapa operasi khusus dan memperkuat pasukan Vietnam selatan. Pada bulan Juli tahun itu, tentara Vietnam Utara sebagian besar telah dipukul mundur, tetapi pemimpin mereka tidak tertangkap… Dan lebih buruk lagi, agresi dari begitu banyak kekuatan asing di tanah Kamboja terbukti malah menjadi alat propaganda yang kuat bagi Khmer Merah saat perang saudara dimulai. Dalam waktu sekitar 3 tahun, dukungan terhadap Khmer Merah berdatangan mulai dari Pangeran Sihanouk yang digulingkan hingga dari rakyat Kamboja yang muak dengan aksi tentara pemerintah dan pemboman Amerika.

PERTEMPURAN DI ANGKOR WAT

Tahun ketiga perang di Republik Khmer, 1972, kemudian dibuka dengan suatu jeda yang menipu. Seperti petinju yang babak belur setelah menjalani babak yang berat, tentara Kamboja (Forces Armées Nationales Khmeres, atau FANK) yang diperlengkapi oleh Amerika masih belum juga pulih dari operasi Chenla II yang menghancurkan dan gagal mematahkan cengkeraman kekuatan Komunis atas wilayah Kamboja tengah tahun sebelumnya. Pada tahun itu, Tentara Vietnam Utara (NVA), yang bertanggung jawab dalam memusnahkan unit pasukan terbaik FANK, mulai berfokus pada persiapan logistik untuk melancarkan Serangan Paskah (Easter Offensive) mendatang melawan negara tetangga, Vietnam Selatan. Dipelihara, dilatih dan didukung oleh NVA dan Komunis China, Khmer Merah (Red Khmer, atau KR), waktu itu sedang membangun kekuatan dan merencanakan strateginya di masa depan. Sementara itu Amerika melanjutkan kebijakannya untuk menarik diri dari Asia Tenggara, yang dimulai pada tahun 1969, sambil dengan penuh harap mendorong Vietnam Selatan dan Kamboja untuk bisa berdiri sendiri. Pada tanggal 10 Januari, Brigade ke-22 FANK menarik diri dari Distrik Kraek dekat daerah yang dikenal oleh Amerika sebagai Fishhook, di perbatasan Vietnam-Kamboja, meninggalkan Route 7, salah satu jalan terbuka terakhir yang menghubungkan Kamboja dan Vietnam Selatan, serta secara efektif menyerahkannya ke tangan musuh. Lebih jauh ke selatan pada hari itu, serangan FANK pertama di tahun itu diluncurkan di bawah jalur Rute 1, melewati area yang dikenal sebagai Parrot’s Beak dekat Vietnam Selatan. 11 batalyon yang dikerahkan dalam Operasi Prek Ta, sebuah upaya militer gabungan FANK dan Army Republik Vietnam (ARVN), ternyata malah membuat lebih banyak keributan saat serangan mereka terbukti tidak meyakinkan. 

Highway 2, Kamboja: Dengan tengkorak di moncong senapan M-16-nya, seorang tentara pemerintah Khmer dengan rekan-rekan seperjuangannya menunggu kabar untuk berpindah dari Dei Kraham 20 kilometer selatan Phnom Penh selama operasi di sepanjang Highway 2, 5 September 1973. Dengan perlengkapan yang disuplai Amerika, tentara Kamboja (FANK) harus melawan pasukan komunis yang lebih berpengalaman tempur. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Serangan FANK berikutnya kemudian dirancang untuk merebut kendali atas simbol nasional terpenting Kamboja, yakni kawasan Angkor Wat, dari tangan pasukan Komunis. Operasi Angkor Chey (Kemenangan Angkor) adalah upaya untuk mengepung ibu kota kerajaan Khmer kuno yang telah lama ditinggalkan di barat laut Kamboja dan memutus jalur perbekalan ke pihak Komunis yang mendudukinya. Berasal dari abad ke-12, kompleks Angkor seluas 72 mil persegi saat itu sedang menjalani proses restorasi oleh tim arkeologi asal Prancis ketika sebuah resimen NVA dan beberapa batalyon KR mengambil alih lebih dari 600 reruntuhan bersejarah yang dipenuhi tanaman merambat pada bulan Juni 1970. Selain serangan peluru nyasar di 1971, reruntuhan Angkor Wat sebagian besar cukup beruntung karena adanya gencatan senjata informal antara pasukan komunis bertahan di kompleks yang diselimuti hutan itu dan pasukan FANK di dekat kota Siem Reap. Potongan ukiran antik yang tak bernilai secara berkala lalu muncul di pasar seni di Bangkok, Hong Kong dan negara-negara Barat, ketika pihak Komunis mempreteli benda-benda tertentu yang bersejarah di tempat itu untuk membiayai pendudukan mereka atas kompleks tersebut.

Angkor Wat simbol kebesaran budaya Kamboja, nampak pada foto tahun 1909.Pada tahun 1970 pasukan Khmer Merah mengambil alih situs bersejarah dari abad ke-12 ini. (Sumber: https://alisonincambodia.files.wordpress.com/)

Namun, tiba-tiba, pada bulan Januari 1972, para arkeolog Prancis yang mengawasi pekerjaan restorasi kemudian diusir, dan pekerja Kambojanya ditangkapi; 20 diantaranya dieksekusi ‘karena dianggap memberikan informasi kepada Central Intelligence Agency (CIA).’ Diluncurkan pada tanggal 29 Januari, Operasi Angkor Chey dimulai dengan lamban lewat serangkaian pertempuran kecil di timur dan barat Siem Reap di sepanjang Rute 6. Pasukan yang saling berhadapan baku tembak di jalanan sepanjang empat mil, yang ditandai dengan sebuah teater dan stadion olahraga yang belum selesai dibangun sejak masa dimana turis masih banyak berkunjung. Jalanan itu menghubungkan kota Siem Reap dengan reruntuhan arkeologis Angkor. Sebuah serangan balik dari pasukan Komunis 10 hari kemudian telah memukul mundur gerak maju pasukan FANK, hanya untuk dipatahkan dua jam kemudian oleh serangan udara militer Kamboja. Unit-unit tentara Kamboja lalu beringsut ke utara ke arah tanggul dan parit yang menandai batas Angkor Wat, kuil terkenal untuk menghormati dewa Wisnu dan bagian paling selatan dari reruntuhan utama. Kemudian, pada tanggal 21 Februari, gerak maju mereka terhenti. 

Gerilyawan Khmer Merah di kawasan Angkor Wat. (Sumber: https://4.bp.blogspot.com/)

Kekuatan Komunis dengan gencar lalu menyerang balik di pinggiran Kamboja menjelang akhir musim penghujan. Pada tanggal 20 Maret, mortir dan peluru senapan, disertai dengan roket kaliber 122mm, menghantam ibu kota provinsi Prey Veng. Mereka kemudian diikuti dengan aksi serangan darat dari arah selatan di sepanjang Rute 15 dan di wilayah persawahan menuju kearah barat. Enam belas mil dari tempat itu, di kota penyeberangan feri Rute 1, Neak Luong, roket kaliber 122mm mengubah sebuah depot bahan bakar dan amunisi menjadi bola api. Pada saat keadaan telah tenang, 18 orang Kamboja dilaporkan telah tewas, 60 lainnya terluka dan orang 10 hilang, dengan diikuti sekitar 33 korban jiwa di pihak musuh. Serangan itu kemudian bisa mengisolasi jalur suplai Ho Chi Minh Trail dari campur tangan pihak Kamboja dan mencegah kemungkinan terhubungnya tentara FANK dengan pasukan ARVN yang melakukan operasi militer menghadapi tentara NVA di kawasan Parrot’s Beak, 30 mil ke arah timur. Api juga menerangi langit malam di atas ibu kota Kamboja untuk pertama kalinya sejak tanggal 30 Januari. Kemudian, selama gerhana bulan, senjata FANK menyalak selama hampir satu jam untuk mengusir serangan pasukan komunis. Lebih dari 200 orang tewas atau terluka akibat serangan ini. Kali ini, peluru senjata recoilless musuh dan roket terbang dengan bebas melesat ke dalam kota dari tiga arah selama hampir dua jam. Tujuh bagian dari kota Phnom Penh terkena serangan, dengan 150 dan 200 peluru artileri menghantam posisi pasukan FANK di dekat bandara Pochentong. Api dan asap menyelimuti kota, dengan 102 orang tewas, 208 luka-luka dan 400 orang kehilangan tempat tinggal.

Pasukan Vietnam Selatan berbaris melalui kota Tonle Bet yang hampir hancur total setelah membantu pasukan pemerintah Kamboja merebutnya kembali dari Viet Cong. Dalam perang saudara di Kamboja, pasukan Vietnam Selatan terlibat aktif dalam membantu tentara Republik Kamboja. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Serangan berulang kali dari pihak Komunis terus membuat pihak yang mempertahankan ibukota kewalahan. Granat dilemparkan ke dalam perumahan militer dan, dua hari kemudian, di sebuah bus bermuatan tentara, dengan 11 orang terbunuh dan 66 terluka. Pada tanggal 23 Maret, pasukan katak komunis menenggelamkan sebuah kapal barang seberat 5.000 ton di pelabuhan kota sungai Tonle Sap dan merusak yang lainnya di pangkalan tempur angkatan laut di Chruoy Chang di dekat Sungai Mekong. Ranjau-ranjau terapung juga merusak dua tongkang berisi bahan bakar yang ditambatkan di area yang sama di seberang kota. Pada tanggal 24 Maret, sebuah truk pickup tua Prancis tiba-tiba ‘berhenti’ tengah jembatan sepanjang 2.700 kaki (822,86 meter) berusia 5 tahun yang menghubungkan Phnom Penh dan Chruoy Chang. Bola api dari 2.000 pon (907,2 kg) bahan peledak kemudian meledakkan truk menembus bagian bawah jembatan yang melintasi Tonle Sap, memutar balok baja di bentang tengahnya dan membunuh atau melukai sekitar 11 orang. Jembatan Bailey (terbuat dari kisi-kisi baja prefabrikasi) lalu dipasang untuk menghubungkan kembali kedua sisi penyeberangan, sehingga memungkinkan jembatan—yang dikenal sebagai Jembatan Persahabatan Jepang—bisa dibuka kembali hanya beberapa hari kemudian. 

Pasukan FANK di luar Kampong Speu, 24 km barat daya Phnom Penh, 26 Mei 1970. Persenjataan pasukan pemerintah seperti tampak pada gambar terdiri dari senjata campuran Amerika dan Soviet, seperti senapan M1/M2 Carbine buatan Amerika (prajurit di sebelah kiri) dan senapan mesin RPD (prajurit tengah), serta senapan serbu AK buatan Soviet (prajurit sebelah kanan). Ragam senjata sebenarnya menunjukkan corak netralitas yang pernah diadopsi oleh Kerajaan Kamboja. (Sumber: https://cne.wtf/)

Pada tanggal 7 April, KR memotong Rute 15 antara Neak Luong dan Prey Veng, dan memukul balik upaya bantuan dari FANK. Prey Veng yang terisolasi harus menanggung 127 serangan roket, mortir, dan senjata recoilless yang terpisah selama bulan itu. Serangan pada pertengahan bulan April di wilayah antara Mekong dan Parrot’s Beak di sebelah tenggara telah melenyapkan 22 posisi pertahanan FANK di sepanjang jalan raya Route 1 yang menghubungkan Phnom Penh dan Saigon. Sebuah unit militer pemerintah yang dikirimkan bergerak ke arah timur dari Neak Luong untuk membersihkan jalan dari pasukan sampai ke Kompong Trabek, kemudian berhadapan langsung dengan pasukan Komunis yang lebih berpengalaman dalam pertempuran. Lima batalyon FANK dengan tergesa-gesa lalu ditarik keluar dari kamp pelatihan A.S. di Vietnam Selatan untuk membantu unit itu, yang hampir tidak dapat bertahan pada jarak 3,5 mil dari Kompong Trabek. Sementara itu, di wilayah Kamboja paling selatan, elemen dari Divisi NVA ke-1 sukses mengalahkan pasukan gabungan FANK-ARVN dan mengepung Kompong Trach. Meskipun bala bantuan ARVN yang didukung oleh kekuatan udara yang datang dari Ha Tien tepat di seberang perbatasan di Teluk Thailand, Kompong Trach akhirnya jatuh pada tanggal 30 April, yang kemudian bisa memberikan NVA rute pasokan lintas laut baru dan mengamankan bagian belakang pasukan mereka selama Serangan Paskah mereka yang gagal. Pada pertengahan bulan Mei, FANK menerima informasi intelijen yang menunjukkan bahwa elemen-elemen musuh yang menduduki reruntuhan Angkor telah ditarik keluar untuk melakukan operasi di tempat lain.

Pasukan Pemerintah Kamboja bergerak maju melewati gedung-gedung yang terbakar ketika mereka berusaha untuk menghentikan kemajuan pasukan komunis Vietnam Utara di ibu kota Kamboja, Pnom Penh, pada April 1970. Di tahun awal kudeta Lon Nol sudah jelas terlihat ketidakmampuan tentara Kamboja dalam membendung kekuatan militer pihak komunis. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Pada malam 17-18 Mei, pasukan unit Angkor Chey menyelinap ke arah timur dari bandara Siem Reap tempat mereka berada sebelumnya dan diam-diam melintasi dua tanggul kuno. Tujuan mereka adalah Phnom Bakheng, sebuah bukit setinggi 217 kaki dengan puncak sebuah kuil, seperempat mil dari gerbang selatan reruntuhan kota berbenteng Angkor Thom. Yang terjadi kemudian adalah sebuah pertempuran singkat. Hanya ada 30 personel KR dan 7 prajurit NVA yang mempertahankan bukit itu. Melihat melintasi pemandangan di pagi hari, para prajurit yang telah memberi pihak pemerintah kemenangan pertama yang patut dicatat pada tahun 1972 mengobrol dengan penuh semangat. Di sana, hampir satu mil ke arah tenggara, menjulang menara Angkor Wat. Malam berikutnya, tiga unit FANK menyusup ke posisi musuh untuk mencapai dinding wat (biara) abad ke-12 itu. Satu kelompok dengan cepat bergerak ke arah gerbang timur yang menghadap ke Sungai Siem Reap. Yang lainnya menuju ke pintu masuk utama sebelah barat yang membuka ke jalan sepanjang 1.560 kaki (475,5 meter) yang mengarah lurus ke siluet bangunan yang menjadi lambang bendera Khmer. Apa yang terjadi berikutnya masih diperdebatkan; semuanya terjadi terlalu cepat. Terjadi tembak menembak saat tentara FANK yang sangat gembira melihat kuil tersuci mereka muncul dalam cahaya fajar– diikuti oleh peluru suar dengan pasukan musuh. Baku tembak dengan pasukan komunis kemudian telah memberondong para penyerang. Satu unit bahkan menderita hampir 75 persen korban, termasuk 17 orang tewas. Dengan keunggulan personel 3 banding 1 yang menguntungkan, pasukan FANK terus menekan serangan baru dari arah barat. Tembakan berat dari arah parit dan bunker beton memukul balik mereka kembali. Pesawat latih bersenjata North American T-28  milik Angkatan Udara Khmer (KAF) kemudian melepaskan bom napalm dan bahan peledak tinggi ke posisi 600 kaki (182,9 meter) dari kuil bersejarah itu dan sekitar satu setengah mil dari dua bekas hotel turis di selatan. Pertempuran terus berlangsung seminggu lagi hanya untuk menghasilkan jalan buntu. 

KONDISI DALAM NEGERI KAMBOJA

Sementara itu kondisi politik-ekonomi Kamboja sedang tidak sehat. Marsekal Lon Nol, pemain kunci dalam penggulingan Pangeran Norodom Sihanouk yang resminya bersikap netral pada tahun 1970, terus mengkonsolidasikan cengkeraman kekuasaannya di Republik Khmer dengan menambahkan gelar presiden ke jabatan perdana menteri dan menteri pertahanan pada bulan Maret 1972. Pada bulan April, sebuah konstitusi baru makin menambah kekuasaannya. Presiden mistis berusia 58 tahun yang didukung Amerika itu mengusulkan dilakukan pemilihan suara untuk melegitimasi jabatannya, tetapi perusakan surat suara, kekerasan, dan ketidakberesan lainnya kemudian menandai pemungutan suara pada bulan Juni. Lon Nol menang dengan suara ‘mayoritas 55 persen.’ Pemungutan suara majelis nasional yang sama mencurigakannya membuat Partai Sosial-Republik—diciptakan oleh saudaranya yang banyak dikecam Lon Non—mengontrol semua kursi majelis rendah dan tinggi. Lon Nol, yang sering menggunakan kursi roda sejak menderita stroke tahun sebelumnya, juga dituduh ‘melakukan operasi militer secara serampangan, di luar jalur, dan dianggap buruk.’ FANK, yang berkekuatan lebih dari 200.000 personel di atas kertas pada pertengahan 1972, juga memiliki masalah. Pertama adalah kesulitan yang nyata untuk menciptakan kekuatan tempur yang efektif dalam waktu cepat untuk menghadapi para veteran prajurit NVA dan VC (Viet Cong). Taktik FANK, menurut laporan CIA, muncul ‘berdasarkan pemikiran untuk mengizinkan adanya serangan musuh dan kemudian mengandalkan kekuatan udara dan pasukan ARVN untuk menimbulkan korban di pihak lawan.’ Organisasi militer mereka umumnya adalah gado-gado dari sistem Amerika dan Prancis.

Tentara anak-anak pemerintah Kamboja. Selain penggunaan tentara anak-anak, FANK juga banyak terdiri dari tentara “hantu” yang hanya nama saja untuk dikorupsi gajinya. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Karena penyalahgunaan, Khmer Krom, prajurit-prajurit Kamboja yang tangguh dan kerap terlibat dalam pertempuran dari Vietnam Selatan yang menjadi tulang punggung 13 brigade FANK dan Pasukan Khusus, hampir tidak ada yang menjadi perwira di jajaran mereka pada akhir tahun 1972. Promosi dan penghargaan jarang didasarkan pada prestasi. Para petinggi diketahui kerap menjual senjata dan perbekalan kepada musuh, mengalihkan gaji pasukan ke kantong mereka sendiri, meminta orang-orang mereka membayar beras ketika mereka banyak menyelipkannya ke pasar gelap, dan menciptakan pasukan ‘hantu’ yang besar dengan mendaftarkan tentara yang tidak ada sehingga dapat mengantongi gaji ekstra. Total gaji dari daftar nama yang kosong itu lebih dari $ 1.000.000 setiap bulannya. Pemerintah akhirnya mengakui bahwa sekitar 100.000 prajurit nya tidak pernah ada. Untuk memperumit masalah itu, keluarga para tentara biasa menemani mereka ke zona pertempuran, dan anak-anak pra-remaja kerap didaftarkan sebagai tentara. Sementara itu, para prajurit yang tidak dibayar kemudian akan terlibat dalam kerusuhan soal ketersediaan pangan di Phnom Penh pada bulan September. Namun pemerintah tidak terlalu mempermasalahkan. Seperti yang dikatakan Lon Nol sebelumnya, ‘Sangat sulit bagi orang asing untuk memahami perkembangan di Kamboja. Saya hanya menyarankan (mereka) agar tidak ada yang terlalu khawatir.’

Pesawat serang T-28 Trojan AU Kamboja yang disuplai oleh Amerika. (Sumber: http://wp.scn.ru/)

Hingga saat itu, bantuan dari Amerika-lah yang membuat Republik Khmer tetap bisa bertahan. Sampai program pelatihan dihapuskan pada bulan Februari 1973 dengan diimplementasikannya Kesepakatan Perdamaian Paris, Angkatan Darat AS telah melatih 86 batalyon Kamboja di wilayah Vietnam Selatan. Di Kamboja, Tim Pengiriman Peralatan Militer Amerika, Kamboja (MEDTC), yang mencakup 62 anggota tim pada awal tahun, ditempatkan di bangunan sementara di belakang kedutaan Amerika di Phnom Penh. Dalam mengawasi penggunaan peralatan, personel MEDTC terkadang melanggar batasan yang diberikan oleh konggres dengan membantu langsung unit-unit FANK di medan pertempuran. Detasemen-detasemen Kompi Pasukan Khusus ke-46 AS yang melatih unit-unit Pasukan Khusus FANK di Thailand, dimana juga sesekali menemani anak didik mereka di medan tempur. Pada tahun 1972 inventaris Angkatan Udara Khmer menunjukkan bahwa mereka memiliki 76 pesawat, termasuk 16 pesawat serang T-28, 3 pesawat gunship Douglas AC-47 ‘Spooky’, 10 pesawat angkut Douglas C-47, 9 pesawat latih Cessna T-41, 14 helikopter Bell UH-1H dan 33 pesawat ringan. Di tahun 1973 jumlahnya melonjak menjadi 154 pesawat, semuanya disediakan oleh Amerika. Karena kelemahan dari KAF (misalnya 14 pesawat T-28 diketahui jatuh dalam kurun waktu satu tahun, termasuk delapan kecelakaan karena kesalahan pilot) dan kehadiran kekuatan udara Amerika, maka angkatan udara Kamboja hanya akan memainkan peran sekunder selama tahun 1972-73. Di sisi lain Angkatan Laut Kamboja memiliki 69 kapal pada tahun 1972, dan 123 pada tahun 1973. Hingga bulan April 1975 Program bantuan militer yang telah diterima Kamboja mencapai total senilai $1,18 miliar. Sementara itu, gangguan akibat perang dan hilangnya lahan pertanian membuat republik miskin ini lama-lama bergantung pada perbekalan yang dibawa melalui sungai Mekong, dibongkar di Teluk Thailand, atau diterbangkan dengan pesawat militer dan sipil. Luar biasanya, kehidupan di Phnom Penh—yang populasinya meningkat tiga kali lipat dalam waktu satu dekade menjadi hampir 1,5 juta orang—berjalan seperti biasa, tanpa kekurangan barang-barang mewah bagi mereka yang mampu membelinya. 

Gerilyawan Khmer Merah dengan berbagai senjata sitaan di hutan Kamboja Utara, 13 April 1973. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Di pihak pemberontak, Parti Communiste du Kampuchéa (PCK) Khmer Merah pimpinan Solath Sar, alias Pol Pot, menjalankan agenda ganda. Agenda pertama sesuai dengan konsep yang diadopsi pada konferensi Indochina tahun 1970 di Kanton, di mana KR secara bertahap akan mengambil alih upaya perang dari pasukan NVA-VC. Pada tahun 1972, KR telah siap untuk membentuk unit-unit berukuran batalyon dan resimen dengan menggunakan kader-kader didikan NVA-VC. Pada pertengahan tahun itu juga, KR diperkirakan memiliki 40.000 hingga 50.000 tentara reguler dan 80.000 hingga 100.000 prajurit non-reguler. Pada akhir tahun, jumlah mereka akan meningkat hingga sekitar 200.000 personel, yang mana mereka telah diuntungkan oleh dukungan dari Pangeran Sihanouk (yang sosoknya populer di pedesaan) yang diasingkan di Beijing dan kehancuran akibat pemboman udara (utamanya yang dilakukan oleh Amerika). Agenda kedua, yang lebih tidak menyenangkan, adalah mewujudkan masyarakat ‘komunisme murni’ yang diperjuangkan oleh Angkar (Organisasi), demikian PCK menyebut dirinya sendiri, yang lalu akan mengarah pada pembantaian keji di tahun 1975-1979. Para petani digiring ke dalam pertanian kolektif. Tahanan, apakah itu tentara FANK atau jurnalis Barat seperti putra aktor Errol Flynn (Sean Flynn), dibunuh. Kemudian ada juga pembersihan rahasia secara bertahap dari kelompok-kelompok saingan, yakni KR yang ‘tercemar’ oleh pelatihan mereka di Vietnam Utara dan satrev suorpouc, ‘musuh turun-temurun’ asal Vietnam. Meski demikian, sekitar 8.000 prajurit tempur NVA-VC tetap berada di Kamboja; dimana 30.000 lainnya berjaga di sepanjang Jalur Ho Chi Minh atau mendukung operasi melawan pasukan Vietnam Selatan dari wilayah Kamboja timur. 

TEROR DI PHNOM PENH

Bulan Juni 1972 adalah bencana bagi pemerintah di Phnom Penh. Pada tanggal 5, sebuah Volkswagen Microbus bertirai merah muda berhenti di tepi jalan dekat Kementerian Pertahanan Nasional di Phnom Penh. Roket-roket kaliber 107mm buatan China kemudian meluncur dari atapnya; dua meledak di kompleks kementerian dan yang ketiga meluncur di tengah kota untuk meledak 210 kaki (64 meter) dari istana presiden, menewaskan tiga gadis yang sedang bermain. Para penembak roket lalu kabur melaju dengan menggunakan sepeda motor. Pada pukul 1 pagi tanggal 8, roket-roket kaliber 122mm menimbulkan tujuh korban lagi di dekat kementerian pertahanan, stasiun kereta api, saluran air dan bandara. Secara bersamaan, enam mil ke selatan, Takhmau diserang oleh 200 pemberontak yang tiba dengan kano di Sungai Prek Thnaot. Enam puluh empat orang meninggal, termasuk 14 gerombolan Komunis. Tapi yang terburuk bagi FANK terjadi di tenggara Neak Luong di sepanjang Rute 1 pada tanggal 25 Juni. Dua batalyon “pembersih” jalan dari Brigade Khmer Krom ke-48 disergap. Pasukan yang dikepung meminta bantuan serangan udara. Tidak ada yang datang. Kehabisan amunisi, mereka mengirim tembakan artileri ke posisi mereka melalui radio. Dari 600 tentara, hanya 13 orang yang bisa kembali ke area pasukan kawan. Pada tanggal 4 Juli, setelah libur tiga hari karena adanya pelantikan presiden, operasi gabungan dari FANK-ARVN Sorya I diluncurkan untuk menembus Rute 1 dan merebut Kompong Trabek. Pada saat yang sama, di seberang sungai Mekong 42 mil selatan Phnom Penh, sekitar 2.000 pasukan Komunis mengepung Angtassom, membuat kota itu dibombardir dengan senjata berat, yang mungkin terbesar dalam perang di Kamboja. Brigadir Jenderal Kong Chhaith, gubernur provinsi dan komandan pasukan bantuan, tewas dalam pertempuran berikutnya. Angtassom berhasil dibebaskan pada tanggal 11 Juli, dan Kompong Trabek jatuh ke tangan FANK 13 hari kemudian. Namun pada tanggal 6 Agustus, bagian dari dua divisi NVA menyerang Grup Brigade ke-11 dan tiga batalyon Brigade FANK ke-66 yang menguasai daerah Kompong Trabek sebagai persiapan untuk Operasi Sorya II. Tank-tank NVA, untuk pertama kalinya digunakan di Kamboja, mempelopori gerak maju pasukan Vietnam Utara dalam memutuskan Rute 1 dan mengisolasi batalyon-batalyon Grup Tempur ke-11. Dua hari kemudian, sebuah rudal SA-7, yang sama-sama pertama kali digunakan dalam perang, mengepul ke angkasa untuk menewaskan 14 orang di atas helikopter pengangkut pengungsi. 

Dua tentara pemerintah Kamboja berjongkok di belakang mobil lapis baja selama tembak menembak di Jalan Raya nomor 4, 1 Januari 1971. Pria di sebelah kiri mengatupkan patung Buddha emas di antara giginya dengan keyakinan bahwa hal itu akan melindunginya. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)
Sre Khlong, Kamboja, 4 Agustus 1970: Dengan enutupi wajah mereka dari bau mayat yang ditinggalkan oleh Viet Cong setelah menyergap mobil di sepanjang Rute nomor 4, pasukan pemerintah Kamboja maju perlahan untuk mencari musuh. Sembilan kendaraan, termasuk dua taksi, ditembaki dalam serangan tersebut. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Para prajurit dari Operasi Sorya II kemudian bergerak pada tanggal 11, menambahkan kekuatan bagi lima batalyon yang terkepung untuk mewujudkan tujuan awal mereka membersihkan sisa area di Rute 1. Setelah 10 hari, unit-unit ARVN mencapai posisi batalyon FANK yang terkepung. Lebih dari 30 kendaraan lapis baja NVA telah dihancurkan, sebagian besar oleh jet-jet tempur Amerika, tetapi jalan raya itu masih tetap terputus dari arah timur. Pada tanggal 8 September, pasukan Komunis merebut kembali Kompong Trabek dan mendesak ke arah barat hingga sekitar lima mil dari kota Neak Luong. Mereka menggunakan gas air mata terhadap bala bantuan yang bergegas datang dari ibu kota, termasuk unit-unit dari Brigade ke-3 yang dipimpin oleh Kolonel Lon Non, saudara presiden. Dalam kegelapan sebelum fajar Pchum Ben, festival Buddha pada tanggal 7 Oktober untuk menghormati leluhur, pasukan Komunis melakukan penetrasi terdalam mereka menuju ke ibukota Kamboja. Pasukan Sapper (unit komando zeni tempur) berlari menuju ke Jembatan Perang Chruoy Chang. Akibat aksi mereka sepertiga bentangan jembatan yang vital jatuh ke sungai Tonle Sap. Sebagian besar dari 100 atau lebih pasukan komando Vietnam, kemudian bergerak cepat di bawah tembakan roket B-40 yang melindunginya, menyerbu ke stadion kota di sebelah barat jembatan. Itu adalah tempat berkumpulnya kendaraan pengangkut personel lapis baja (APC) M-113 milik FANK. Para penyerang ‘meledakkan’ beberapa APC dan membawa ke arah barat beberapa APC lainnya sebelum mereka bisa dihentikan. Secara keseluruhan, tujuh APC M-113 hancur. Lebih dari selusin tentara FANK dan keluarga mereka mencari perlindungan di sebuah tempat pemandian dan terbunuh ketika tempat itu dihantam roket. Pasukan komando Vietnam Utara itu kemudian bisa dicegat sebelum mereka bisa menyerang instalasi lain selama enam jam pertempuran, meskipun Kedutaan Besar Prancis di dekatnya rusak. FANK mengakui bahwa 23 prajuritnya tewas, sementara pihak musuh kehilangan 83 personelnya. KR kemudian melakukan operasi ‘tunggal’ besar pertamanya pada tanggal 6 Januari 1973, dimana mereka mengepung sebuah batalion FANK di Romeas, sekitar 45 mil barat laut Phnom Penh. Dengan dukungan dari pihak Amerika, pasukan bantuan akhirnya bisa mematahkan pengepungan dua batalyon KR untuk memasuki Romeas pada tanggal 23 Januari. Namun demikian, KR tidak berniat melepaskan tekanannya, meskipun pada tanggal 27 Januari, perjanjian Paris yang seharusnya mengakhiri perang dan memulihkan perdamaian di Vietnam ditandatangani. Pasal 20 dari perjanjian tersebut (yang dianggap KR sebagai pengkhianatan) menyerukan diakhirinya pertempuran di Kamboja (faktanya hal ini dipandang untuk memberikan ‘jeda interval yang layak’ bagi penarikan terakhir pasukan AS dari kawasan Indochina dan keruntuhan Vietnam Selatan yang tak terhindarkan). Perjanjian ini cukup meredakan pertempuran Laos, di mana Hanoi masih bisa mengendalikan kelompok Komunis Pathet Lao. Namun, itu tidak (terlepas dari ‘itikad baik’ lewat penangguhan operasi secara sepihak oleh FANK) mengakhiri Perang di Kamboja. 

OPERASI UDARA AMERIKA

Apa pun yang terjadi di darat atau di laut, jalannya perang untuk periode 187 hari yang kontroversial berikutnya akan ditentukan oleh siapa yang menguasai udara. Setelah berhenti sebentar, pesawat-pesawat Amerika kembali dikirim ke medan pertempuran pada tanggal 9 Februari, ‘hanya untuk menghindari hilangnya posisi Amerika sebenarnya (di Indochina).’ Angkatan Udara Ketujuh, yang bertanggung jawab atas operasi taktis di kawasan itu, dan baru saja memindahkan markas besarnya dari Vietnam ke Thailand, memulai dengan selusin penyerangan setiap harinya. Misinya termasuk dengan dua atau tiga sorti penerbangan olah pesawat pembom ‘Big Ugly Fat Fellows’ (BUFF) – B-52 milik Komando Udara Strategis – yang menggunakan pangkalan udara U-Tapao di Thailand. Di Phnom Penh, Kedutaan Besar AS diam-diam akan mengendalikan pengeboman melalui panel yang diketuai oleh wakil kepala misi. Operasi tersebut dipindahkan ke markas FANK setelah kunjungan tim investigasi konggres pada bulan April. Ketika situasi di darat memburuk, para pilot diberi anggukan ‘untuk menggunakan spektrum penuh kekuatan serang udara Amerika terhadap target-target yang mengancam pasukan kawan dan pusat populasi.’ Pasukan NVA-VC yang bercokol di Kamboja timur juga merupakan target yang dituju. Pada saat kampanye udara selama enam bulan itu berakhir, sekitar 257.465 ton bom—hampir 100.000 ton lebih banyak daripada yang dijatuhkan di Jepang selama Perang Dunia II—telah dijatuhkan di Kamboja. Pada satu titik, sorti dari pesawat-pesawat pembom B-52 bisa mencapai 81 per hari, dibandingkan dengan di Vietnam, yang maksimum 60 sorti. Kerugian udara di pihak Amerika antara tanggal 28 Januari dan 8 Juli adalah 11 pesawat.

Presiden Nixon dan Pemerintah Amerika percaya bahwa pemboman di Kamboja turut membantu menghambat gerak maju kekuatan komunis dalam menguasai negeri itu. (Sumber: https://www.thebigchilli.com/)
Area yang dibom Amerika di Kamboja (warna merah) selama Perang Vietnam. (Sumber: https://www.esri.com/)

Sesaat sebelum serangan dihentikan, komandan Angkatan Udara Ketujuh Jenderal John W. Vogt Jr. mengamati, “(pasukan) musuh mulai mundur. Mereka telah menderita begitu banyak korban… sehingga dia tidak dapat lagi menahan serangan itu”. Angkatan Udara Ketujuh AS berpendapat bahwa pengeboman yang mereka lakukan telah mencegah jatuhnya Phnom Penh pada tahun 1973 dengan membunuh 16.000 dari 25.500 petempur Khmer Merah yang mengepung kota. Pada hari terakhir Operasi Fredom Deal (15 Agustus 1973), 250.000 ton bom telah dijatuhkan di Republik Khmer, 82.000 ton di antaranya telah dilepaskan dalam 45 hari terakhir operasi. Sejak dimulainya Operation Menu pada tahun 1969, Angkatan Udara AS telah menjatuhkan 539.129 ton bom di Kamboja/Republik Khmer. Sayangnya, pihak Komunis bukan satu-satunya korban. Di Neak Luong, kota feri pada Rute 1 di sungai Mekong antara kota Phnom Penh dan wilayah Vietnam, adalah salah satu contoh terburuk. Tepat sebelum pukul 5 pagi pada tanggal 6 Agustus, seorang awak yang lalai memindahkan sakelar yang mengunci titik pelepasan bom B-52-nya ke Homing Beacon yang dipasang di pusat kota. Serangkaian bom sepanjang satu mil yang ‘menghantarkan’ 30 ton bahan peledak tinggi, kemudian menghantam rumah sakit dan pasar, dan menewaskan 137 orang serta melukai 268 lainnya. Kisah tragis ini lalu diabadikan dalam bagian film “The Killing Field” (1984) yang memperoleh banyak penghargaan. 

Kehancuran di kota Neak Luong, 6 Agustus 1973. Kota ini jadi korban pemboman salah sasaran pesawat pembom Amerika. (Sumber: https://58129776.weebly.com/)
Pasukan pemerintah Kamboja bergerak melalui sebuah desa, tujuh mil tenggara Phnom Penh, setelah serangan udara, 15 April 1973. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Sementara itu, kemenangan propaganda awal didapat oleh pihak Komunis ketika Lon Nol yang paranoid, menggunakan upaya pembunuhannya sebagai alasan, untuk mengasingkan banyak orang dengan menyatakan negara dalam keadaan darurat serta menangkapi saingannya. Yang lainnya adalah ‘Long March’ Pangeran Sihanouk selama enam minggu, sejauh 625 mil, yang dikawal oleh tentara NVA, dalam kunjungan pertamanya ke Kamboja sejak penggulingannya. Sebuah ‘pernikahan telah terwujud,’ kata ‘raja dewa’ yang digulingkan itu, dimana hal ini ‘menyatukan (dukungan) Sihanouk terhadap (kekuatan) Khmer Merah.’ Di sisi lain kunjungan Lon Nol ke ibu kota provinsi, lengkap dengan konser band-nya, justru kurang berhasil. Di bidang militer, sementara FANK, telah beralih dari unit brigade ke organisasi sekelas divisi, serta berjuang untuk mempertahankan pusat-pusat kota dan memasok kebutuhan masyarakat umum, Kekuatan Komunis, yang mengendalikan area pedesaan, terus menyerang secara acak, dan perlahan-lahan merebut lebih banyak wilayah. Dalam hiruk-pikuk, ibukota Phnom Penh yang diamuk inflasi, sekarang gas dan listrik telah dijatah, dan berbagai kedutaan mulai mengevakuasi personelnya yang dianggap tidak penting. Konvoi perbekalan yang kritis dari sungai Mekong nyaris tidak bisa lewat, sering kali tertunda oleh penyergapan dari tepian sungai. Berhenti sebentar untuk berkumpul kembali dan melengkapi perbekalan, KR kemudian melanjutkan ofensif pada musim hujan, yang tidak seperti biasa pada awal bulan Juni 1973. Mereka secara fanatik terus bertahan meskipun menghadapi gelombang serangan udara AS yang memanfaatkan setiap jeda cuaca. Situasi FANK terus memburuk hingga pertengahan musim panas, karena hampir setengah dari gerilyawan KR mencoba untuk menembus pertahanan dari divisi ke-3 dan ke-7 pertahanannya buruk (kerap serangan udara yang dikirimkan tidak terkoordinasi dengan baik) di utara, barat, dan selatan Phnom Penh. Secara signifikan, unit penyerang sebagian besar berasal dari non-PCK. Panglima KR, Khieu Samphan, berusaha menjaga elemen-elemen yang dipimpin oleh personel PCK tetap aman di timur kota di seberang sungai Mekong. Setelah menjalankan ofensif-nya, KR mundur kembali. Meskipun jumlah korban tewas mereka mungkin berjumlah kurang dari 16.000, seperti yang diperkirakan oleh Jenderal Vogt, pihak Komunis telah menderita dengan parah dalam apa yang dianggap sebagai aktivitas puncak pertempuran di tahun itu. Karena hal ini, maka tidak heran jika Lon Nol, saat dihadapkan dengan kekurangan dan inferioritas di pihak FANK, bisa berkata, ‘Tenang. Amerika bisa membunuh seribu musuh kita setiap minggunya.’ 

GERAK MAJU KR KE PHNOM PENH

Pada tanggal 15 Agustus 1973, menyetujui tekanan kongres, pemerintahan Nixon mengakhiri aktivitas udara Amerika selama 12 tahun yang mendominasi pertempuran-pertempuran di kawasan Indocina. Sejak saat itu, hanya bantuan militer dan penerbangan pengintaian tidak bersenjata yang boleh dijalankan. Pemboman besar-besaran Amerika sebelumnya telah membuat Phnom Penh bisa sedikit bernafas lega. Bergeser ke utara, KR menggulung tujuh kota (yang dulunya terlibat dalam operasi Chenla II tahun 1971), dan mematahkan tulang pasukan punggung FANK. Tiga batalyon, 19 kompi teritorial, delapan howitzer 105mm, senjata lain dan ‘persediaan besar’ amunisi hilang saat musuh mencoba untuk menyerbu ibu kota provinsi pertamanya, Kompong Cham sebuah kota berbentuk T di atas sungai Mekong yang kerap dilanda banjir, 75 mil dari ibu kota. Meskipun mendapat bala bantuan dari Brigade ke-79, dua batalyon Brigade ke-5 dan dua batalyon Brigade Parasut, Mayor Jenderal Sar Hor yang berusia 56 tahun tidak dapat memperbaiki tonjolan yang terbuat di garis pertahanan luar kota. Pada tanggal 1 September, KR maju hampir setengah mil dari kota. Bergegas ke tempat kejadian, dua batalyon Brigade ke-5 lainnya tidak dapat mencegah netralisasi area bandara dan pendudukan lebih dari setengah wilayah kota. Hanya pada tanggal 7 September 1973, dengan didukung oleh pasukan yang dipindahkan dari bandara dan oleh 16 kapal angkatan laut, FANK mampu melawan serangan Komunis. Tiga hari kemudian, Brigade ke-80 yang baru tiba melakukan pendaratan amfibi di belakang garis pertahanan KR. FANK mampu membalikkan keadaan pada tanggal 14 dengan menggabungkan kekuatan dan membersihkan kota. Di bandara, pertempuran terus berlanjut hingga akhir bulan. 

Tentara pemerintah Kamboja menggunakan senjata peluncur granat melawan pemberontak Komunis di dekat ibu kota Kamboja. Tentara Kamboja dibiarkan sendirian setelah dukungan udara Amerika berakhir karena kompromi antara Presiden Nixon dan Konggres. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)
Pasukan Kamboja membawa seorang rekannya yang terluka ke posisi garis belakang selama baku tembak dengan pasukan Khmer Merah di sepanjang Highway-5, 11 mil barat laut Phnom Penh 16 Desember 1973. Perang masih akan berlangsung sekitar 16 bulan setelah itu, saat Kamboja akan memasuki masa-masa terkelamnya. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)

Pada 1 Oktober 1973, Divisi ke-3 FANK didesak ke utara Sungai Prek Thnaot, penghalang fisik terakhir di bawah ibu kota. Keesokan harinya, mereka meninggalkan persimpangan Kompong Toul di Rute 3 dan 4 hanya 3,5 mil dari pinggiran kota Phnom Penh setelah menderita 107 korban. Hanya Brigade ke-1 dari Divisi 1 dan satu skuadron APC M-113 (FANK tidak memiliki tank) yang melaju dari arah barat daya yang mencegah terjadinya malapetaka. Selama bulan November, pertempuran sengit mengguncang Kamboja selatan, di Jalan Raya nomor 3 dan 4 di barat daya ibu kota yang secara politik tidak stabil, dan kawasan danau di seberang Mekong. Serangan udara dan darat dari pasukan ARVN melakukan apa yang mereka bisa untuk mencegah jatuhnya Kamboja. Mengendalikan sebagian besar wilayah negara dan 7,2 juta penduduknya, serta didukung oleh Cina yang ingin melawan pengaruh Vietnam Utara, pihak Komunis Kamboja tumbuh menjadi lebih kuat, sementara pasukan NVA-VC menduduki hampir semua wilayah perbatasan timur. Sebaliknya, FANK terjepit ke dalam koridor tipis yang membentang ke barat laut ke perbatasan Thailand dari wilayah Phnom Penh yang lebih besar dan ke tanah teluk di barat daya. Pemerintah, seperti yang diamati oleh menteri pertahanan KR, ‘tidak bisa mendapatkan rekrutan baru’ bagi prajuritnya, meskipun telah melakukan mobilisasi umum Juni 1973, yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan angkatan bersenjata dari 220.000 menjadi 300.000. Sepanjang tahun 1973, Khmer Merah terus bertempur dalam berbagai pertempuran besar melawan pasukan pemerintah, dan mereka kemudian berhasil menguasai hampir 60% wilayah Kamboja dan 25% penduduknya. Perang kemudian akan berlangsung hingga musim semi tahun 1975. Sementara itu, dengan memilih mundur dari situasi yang tidak dapat mereka kendalikan, rata-rata orang Kamboja yang tidak ikut berperang berusaha mencari kenyamanan dalam pemikiran optimis khas orang Khmer, yang percaya bahwa tragedi akan dapat dihindari. Akomodasi akan mereka buat dengan siapa pun yang bisa memenangkan perang, demikian pikir mereka. Seorang pengungsi berusia 32 tahun, yang baru saja tiba di Phnom Penh, berkata: “Saya tidak peduli apa yang terjadi. Saya hanya ingin perdamaian, secepatnya.’ Faktanya Takdir—dan Khmer Merah—kemudian tidak akan begitu baik pada mereka.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Losing Ground to the Khmer Rouge by Wilfred P. Deac and originally published in the December 1996 issue of Vietnam Magazine.

History of the Khmer Rouge: Part 1 – The Origins by Dominic Perry

Cambodia Civil War, 1970s

https://www.globalsecurity.org/military/world/war/cambodia2.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Cambodian_Civil_War

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *