Others

Perang Italia vs Turki di Libya (1911-1912): Penanda Memudarnya Kejayaan Kekaisaran Ottoman

Para pelaut Italia menyanyikan “Tripoli Will Be Italian” di tengah deretan meriam ketika kapal-kapal dari skuadron angkatan laut Italia meninggalkan pelabuhan dan berlayar ke selatan, menuju ke pantai Afrika Utara pada akhir bulan September 1911. Banyak orang di Italia, termasuk anak-anak sekolah, juga tahu betul lyric untuk lagu “A Tripoli.” Meski lahir di Amerika Serikat, Amelia Pasquini Stillman, putri seorang tentara Italia yang bertugas di Afrika Utara pada masa itu, masih bisa menyanyikan bait-bait lagu tersebut. Ledakan antusiasme yang mengiringi nyanyian lagu itu adalah deklarasi perang oleh Italia yang berusaha mengusir orang-orang Turki dari provinsi Tripolitana dan Cyrenaica (sekarang Libya) yang terletak di sepanjang pantai Afrika Utara di tempat yang nantinya akan menjadi medan perang Italia-Turki tahun 1911-1912. Perang ini nantinya dikenal di Turki sebagai Trablusgarp Harbi (Perang Tripoli), dan di Italia sebagai Guerra di Libia (Perang Libya). Sementara itu, pergantian abad ke-20 menunjukkan bahwa banyak negara Eropa barat sedang berusaha untuk membangun dan mengkonsolidasikan kekuasaannya, terutama di benua Afrika. Prancis pada tahun 1911, misalnya, hendak mendirikan protektorat di Maroko. Sementara itu, Tripolitana dan Cyrenaica, yang tepat di selatan dan melintasi Laut Mediterania dari Italia, menawarkan peluang yang menggoda untuk memperluas kepentingan ekonomi Italia. 

Kemunduran Kekaisaran Ottoman dari tahun 1807 – 1924. Pada tahun 1911, wilayah kekuasaan Ottoman yang ada di Tripolitania dan Cyrenaica diincar oleh Italia yang mulai mengembangkan kekuasaan imperialismenya. (Sumber: https://www.britannica.com/)

Aneksasi tidak hanya akan mengimbangi kemajuan Prancis di Maroko tetapi juga meredakan tekanan dari gerakan nasionalis yang muncul kembali. Dari perspektif ekonomi, dataran pantai terutama dapat menyediakan bahan makanan bagi Italia, dan cukup dekat dengan daratan Italia untuk menawarkan transportasi barang yang mudah melintasi laut. Pekerjaan untuk orang-orang Italia, serta peluang wirausaha yang baik, menawarkan kepada banyak orang yang merasa sulit memperoleh pekerjaan di Benua Eropa. Pada saat yang sama, mudah bagi para pekerja untuk bolak-balik antara Italia dan dua provinsi tersebut, membuat pekerjaan di tempat itu cukup menarik bagi mereka yang tidak ingin menetap secara permanen di kota-kota seperti Benghazi dan Tripoli. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mungkinkah penaklukan pada Tripolitana dan Cyrenaica yang rentan, serta menjadi bagian terjauh dari Kekaisaran Ottoman yang hampir runtuh, (menjadi kesempatan yang terlalu bagus untuk dilewatkan sementara perhatian negara-negara Eropa lainnya terfokus pada apa yang sedang terjadi di Maroko)? Apakah semudah memetik kurma untuk dapat mengalahkan Turki yang berkuasa di sana?

LATAR BELAKANG 

Pada saat penyatuannya di akhir abad ke-19, Italia tetap ada jauh di belakang kekuatan Eropa lainnya dalam persaingan untuk memperebutkan daerah-daerah koloni. Hampir seluruh wilayah di dunia saat itu sudah dibagi-bagi sejak era penjelajahan besar bangsa-bangsa Eropa, dimana Inggris, Prancis, Belanda, Spanyol, dan Portugal telah mendirikan kerajaan di mana matahari hampir tidak pernah terbenam. Italia kemudian berupaya mengembangkan kepentingan komersial yang luas di Tripoli, yang terletak tepat di seberang Laut Mediterania, setelah pendudukan Mesir pada tahun 1881 dan pendudukan Prancis di Tunisia dan Aljazair pada tahun 1882. Tujuan Italia mulai terwujud di provinsi ini, yang oleh perkembangan waktu, menjadi wilayah Ottoman terakhir yang tersisa di Afrika Utara. Italia lalu memulai aksinya dengan mengirimkan pedagang dan imigran ke wilayah tersebut selama tahun 1880-an. Pada tahun 1911, daerah-daerah ini telah memunculkan populasi besar warga negara Italia. Saat itu Kekaisaran Ottoman yang dulu perkasa telah dilemahkan oleh perang berturut-turut dengan Rusia dan telah melalui pemerintahan otokratis penuh teror daro Sultan Abdülhamit II selama beberapa waktu. Menurut perhitungan Italia, mereka hanya akan memberikan sedikit perlawanan jika terjadi invasi militer.

Pertempuran Milan tahun 1848, bagian dari periode penyatuan Italia. Italia baru bersatu sebagai sebuah negara pada tahun 1871, maka dari itu dibanding negara-negara imperialis Eropa lainnya, Italia terhitung “terlambat” dalam menduduki tanah-tanah jajahan di seberang lautan. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Afrika yang terbagi dalam berbagai wilayah jajahan negara-negara Eropa Barat tahun 1897. Italia saat itu hanya menguasai kecil di Eritrea. Melemahnya Ottoman menimbulkan minat Italia untuk merampas wilayah Turki di Libya. (Sumber: http://historyworldsome.blogspot.com/)

Pada tahun 1900 pemerintah Prancis dan Italia mencapai kesepakatan rahasia. Prancis akan berkuasa di Maroko, Italia di Tripoli, dan masing-masing akan membiarkan pihak lainnya bebas berkuasa di wilayah yang diduduki. Mulai tahun 1902, Italia mempraktekkan kebijakan “penetrasi damai” di Tripoli. Dengan dukungan finansial dari Banco di Roma. Italia mulai mendirikan perusahaan di provinsi itu, yang direncanakan untuk mempersiapkan landasan ekonomi untuk invasi yang akan terjadi di kemudian hari. Sementara itu, pemerintah Utsmaniyah, yang hanya memiliki kekuasaan nominal di Tripoli, berusaha keras untuk menghentikan ekspansi ekonomi ini dan mereka berhasil dalam hal ini. Perkembangan ekonomi terhenti, dan Banco di Roma-lah yang paling menderita secara finansial. Pihak Bank Italia lalu meminta pemodal Inggris dan Jerman untuk membayar utangnya kepada pemegang saham dan mulai menekan pemerintah agar bertindak untuk melindungi investasinya di Tripoli, serta untuk meningkatkan nilai kepemilikan tanahnya. Nilai total modal yang dimasukkan ke Tripoli oleh Banco di Roma sampai tahun 1911 adalah sekitar 4-5 juta dolar. Selain itu, pemerintah Italia telah mendirikan sekolah dan kantor pos, mengirim tim ekspedisi arkeologi dan mendorong orang Italia untuk memulai usaha lain. Sementara itu, meskipun keduanya merupakan satu pihak dalam Triple Alliance sejak 1882, Jerman memiliki keraguan tentang kemungkinan pendudukan Italia atas Tripoli. Jerman memiliki kekhawatiran bahwa Italia akan dapat menggunakan wilayah ini sebagai basis untuk ekspansi lebih lanjut, yang bisa bertentangan dengan kepentingan Jerman.

Garnisun Turki di Tripoli. (Sumber: http://www.turkeyswar.com/)

Sejak September 1911, isu Tripoli menjadi perbincangan luas di Italia dan muncul di media Italia. Pendapat umum adalah bahwa pemerintah Ottoman telah memperlakukan Italia dengan cara yang tidak adil dan Jerman mungkin akan terlibat dalam intrik-intrik yang akan terjadi. Italia sekarang berupaya mencari dalih untuk berperang. Pada tanggal 23 September, Duta Besar Italia di Istanbul membawa nota diplomatik pemerintahnya ke Sublime Porte. dinyatakan bahwa para perwira Turki di provinsi itu telah mengagitasi penduduk lokal yang dibodohi untuk melawan orang-orang Italia, yang kemudian membahayakan nyawa warga Italia. Jawaban Istanbul adalah bahwa tidak ada ancaman terhadap orang-orang Italia dan Kekaisaran Ottoman cukup kuat untuk menjaga keamanan di wilayahnya. Pada saat yang sama, Sublime Porte mulai menggunakan saluran diplomatik untuk mencegah perang. Sebuah telegram yang dikirim ke Kedutaan Besar Ottoman di London, Paris dan Berlin, menyatakan: “Apa pun, yang mungkin atau bahkan tidak mungkin, harus dilakukan untuk mencapai kesepakatan dengan Italia. Jika mereka memulai perang dengan mendaratkan pasukan atau dengan cara lain, kita akan menghadapi ancaman, dimana situasi internal kita akan memburuk secara serius.” Duta Besar Utsmaniyah di Roma, Seyfettin Bey, kemudian bertemu dengan Menteri Luar Negeri Italia, San Giuliano, yang menjelaskan bahwa mereka mengharapkan Kekaisaran Ottoman meninggalkan Tripoli dengan cara yang damai dan jika tidak demikian, Italia tidak akan ragu-ragu untuk menggunakan kekuatan militernya.

Perdana Menteri Italia Giovanni Giolitti (1842-1928). Giolitti tidak ragu-ragu dalam menyatakan perang terhadap Kekaisaran Ottoman. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

Dalam upaya untuk mendukung garnisun Turki di Tripoli dalam menghadapi invasi Italia yang tampaknya akan segera datang, Kepala Staf Turki lalu memutuskan untuk mengirim dukungan material ke provinsi tersebut. Setelah lolos dari kejaran kapal perang Italia, kapal perang Turki, Derne, yang sarat dengan senjata dan amunisi tiba di kota Tripoli pada 25 September. Kedatangan Derne juga merupakan dukungan moral yang besar bagi penduduk setempat. Keesokan harinya, empat kapal perang Italia, Varese, Napoli, Roma dan Garibaldi, memblokade Tripoli. Dalam beberapa hari, jumlah kapal yang bertugas patroli di sekitar situ akan meningkat menjadi 22 kapal. Dengan kedatangan Derne, pemerintah Italia sekarang memiliki alasan yang dicari-cari dan pada 28 September, Italia mengirim ultimatum 24 jam ke Istanbul, menuntut kehadiran pasukan Italia di Tripoli untuk melindungi penduduk Italia setempat, yang pada saat itu berjumlah hampir tidak sampai seribu dan hanya sekitar dua ratus di antaranya berasal dari Italia. Ketika, pada musim semi 1911, Perancis merebut kekuasaan dari Maroko Sultan Moulay Abdelhafid dan Kesultanan kemudian menjadi protektorat Perancis, Perdana Menteri Italia Giovanni Giolitti (1842-1928) tidak ragu-ragu untuk menyatakan perang terhadap Kekaisaran Ottoman pada tanggal 29 September.

MENDARAT DI TRIPOLI

Bagaimanapun, pada awal hari tanggal 28 September 1911, sebuah skuadron angkatan laut Italia telah muncul dari kota pelabuhan Tripoli di Afrika Utara. Seorang perwira turun dari salah satu kapal dan pergi ke pejabat gubernur setempat (Vali). Setibanya di istana gubernur, perwira itu mengumumkan bahwa jika Porte, penguasa Turki, tidak menerima ultimatum yang menuntut pendudukan militer atas dua provinsi Afrika Utara pada sore itu, keadaan perang akan terjadi antara Italia dan Turki. Mengabaikan ultimatum akan menyebabkan pemboman pada kota-kota di wilayah pesisir. Turki, bagaimanapun, tidak terintimidasi oleh tindakan kurang ajar ini dan menolak untuk mengakomodasi armada Italia yang berlabuh di lepas pantai siap untuk membombardir Tripoli. Sementara itu, Menteri Perang Turki, Mahmut evket Pasha, mengirim kabel ke komandan garnisun Turki, Kolonel Neşet Bey, memberinya instruksi tentang apa yang harus dilakukan jika Italia akan memulai invasi. Sementara Sublime Porte menggunakan saluran diplomatik untuk mencegah perang, Neşet Bey dan anak buahnya sudah mempersiapkan pertahanan dengan berkonsultasi dengan Mahmut evket Pasha. Rencananya sederhana. Ketika invasi dimulai, Neşet Bey akan mencoba untuk menghentikan kemajuan Italia di tempat mereka berpijak, tetapi jika ini gagal, batalyon baru akan dibentuk dengan menggunakan pasukan cadangan dan pihak Turki akan melancarkan pertempuran gerak mundur ke Garyan. Di sini, pertempuran akan dilakukan dengan unit kecil, bukan serangan skala besar. Rencana tersebut juga mengasumsikan bahwa pendaratan akan dilakukan di Tripoli dan Benghazi dan Italia tidak akan mencoba menyerang ke wilayah pedalaman. Mahmut evket Pasha juga meminta Neşet Bey untuk menghubungi pemimpin suku Sanusi setempat, yang memiliki pengaruh besar terhadap penduduk Muslim. Pada tanggal 29 September 1911, dengan dukungan pemerintah Inggris dan Prancis, dan tanpa menunggu tenggat waktu 24 jam berakhir, Italia menyatakan perang terhadap Turki. Dua jam sebelum deklarasi perang, armada Italia menenggelamkan dua kapal torpedo Turki di lepas pantai Preveza di Laut Adriatik.

Pendaratan Pasukan Italia di Libya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Wazir Agung Hakkı Pasha, yang sampai menit terakhir yakin akan bisa dicapainya solusi damai, mengundurkan diri. Penggantinya adalah Said Pasha. Saat itu terjadi kekacauan total di Tripoli dan otoritas Ottoman tidak dapat mengendalikan situasi di kota. Penduduk setempat diminta untuk bergabung dengan batalyon sukarelawan, tetapi mereka lebih suka tinggal di rumah dan membela diri mereka sendiri. Selain itu, tidak ada cukup senjata dan amunisi dan juga ada kekurangan kendaraan yang serius. Neşet Bey hanya memiliki 8.000 orang dengan perlengkapan yang buruk di bawah komandonya. Pada tanggal 30 September, seorang perwira Italia datang ke darat dan meminta untuk menyerah. Neşet Bey bertanya kepada Istanbul tentang bagaimana dia harus menanggapi. Mahmut evket Pasha masih mengharapkan solusi diplomatik dan berpikir terlalu dini untuk memulai pertempuran. Dia memerintahkan Neşet Bey untuk meninggalkan beberapa zona pantai untuk diambil alih pihak Italia dan bergerak ke pedalaman tanpa melawan musuh. Keesokan harinya, Italia meminta penyerahan dua kapal perang Turki yang berlabuh di Tripoli, Derne dan kapal bersenjata Seyyad-ı Derya. Alih-alih menyerahkan kapal kepada musuh, komandan mereka memutuskan untuk menenggelamkan kedua kapal tersebut. Pada hari yang sama, Derna dibombardir dan kabel yang menghubungkan Tripoli ke Malta terputus, yang berarti komunikasi dengan Istanbul tidak mungkin lagi dilakukan. Komandan pasukan invasi Italia, Laksamana Farevelli, mengeluarkan ultimatum kepada Neşet Bey pada 2 Oktober, meminta penyerahan Tripoli.

Ilustrasi marinir Italia. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Sementara itu, Komandan skuadron kapal penjelajah Italia, Laksamana Muda Count Paolo Thaon di Revel, menunggu hingga tanggal 2 Oktober sebelum dia mendarat di bawah bendera putih gencatan senjata untuk menuntut, untuk kedua kalinya, penyerahan kota. Pihak berwenang Turki menolak untuk menyerahkan kota itu secara damai, dan kapal penjelajah Italia mulai menembaki benteng-benteng tua Tripoli. Setelah dua jam perlawanan yang gigih, sesuai perintah Mahmut Şevket pasukan garnisun Turki pimpinan Neşet Bey meninggalkan posisi mereka dan mundur ke dataran berpasir di luar pantai. Dengan hilangnya entitas dan pasukan pemerintah, penduduk Arab setempat mulai menjarah dan merampoki toko-toko dan pasar di kota itu, banyak di antaranya adalah milik orang Italia. Atas permintaan Penjabat Gubernur Besim Bey, Neşet Bey mengirim beberapa unit kembali ke Tripoli untuk menegakkan ketertiban. Konsul Jerman kemudian juga meminta agar pasukan Italia segera didaratkan untuk memulihkan ketertiban, di mana 1.600 pelaut Italia kemudian turun dari kapal. Yang pasti, banyak pelaut menyanyikan bait-bait yang bersemangat dengan reff “Tripoli Will Be Italian”—setidaknya dalam hati mereka—saat mereka mulai bergerak di sekitar kota pada tanggal 5 Oktober, sehari setelah menginvasi Tobruk, untuk menaklukkan populasi Arab yang mengamuk. Pendudukan atas kota selesai dalam waktu satu hari, Laksamana Borea Ricci diangkat sebagai gubernur baru dan Besim Bey ditangkap. Derna jatuh pada 16 Oktober, Benghazi pada 20 Oktober dan Khoms pada 21 Oktober. Saat itu, kehadiran militer Turki di Tripoli jauh lebih lemah dibandingkan dengan kekuatan invasi Italia, yang terdiri dari 30.000 tentara, 6.000 hewan, 103 senjata artileri, 800 truk dan 4 pesawat terbang. Pada tanggal 7 Oktober, Laksamana Muda Raffaele Borca Ricci d’Olmo mendarat untuk mengambil alih jabatan gubernur sementara. Berkumpul untuk bertemu gubernur baru, ada sekitar 100 syekh, di antaranya mantan walikota Tripoli, Hasuna Pasha Karamanli, yang keluarganya telah memerintah Tripoli sebelum pendudukan Turki. Setelah pertemuan ini, karena penduduk setempat tampaknya tidak menyukai orang-orang Turki, maka diasumsikan bahwa suku-suku Arab akan dengan senang hati mendukung pendudukan Italia. Sayangnya untuk orang Italia, hal itu tidak terjadi.

GARIS PERTAHANAN 8 MIL

Sementara Tripoli diincar sebagai kota besar yang akan segera diduduki, armada  laut Italia juga aktif. Pada tanggal 29 dan 30 September, misalnya, kapal perusak Italia menenggelamkan dua kapal torpedo Turki. Pada tanggal 1 Oktober, Laksamana Muda Augusto Aubry berlayar dengan kapal tempur RomaVittorio Emanuele, dan Napoli bersama dengan kapal penjelajah Agordat, Amalfi, dan Pisa untuk menduduki kota pelabuhan Tobruk di Cyrenaica, yang nantinya mungkin akan menjadi pangkalan angkatan laut masa depan. Sebelum bergabung dengan armada, Amalfi dan Pisa telah berlayar ke kota pesisir terdekat Derna untuk menghancurkan stasiun radio yang terletak di sana. Nama merdu “Derna” kemudian akan dikenal sebagai salah satu pertempuran pertama dalam Perang Italia-Turki. Tobruk, yang kemudian akan memainkan peran utama dalam Perang Dunia II, menjadi kota pertama yang direbut oleh Italia. Pada tanggal 4 Oktober, seminggu penuh sebelum pasukan pasukan ekspedisi Italia mendarat di Tripoli, sebuah detasemen pelaut dari armada Italia menguasai kota itu. Kembali di Tripoli, kontingen pelaut Italia yang mendarat pada 5 Oktober berusaha mempertahankan garis pertahanan sejauh delapan mil. Pada saat yang sama, mereka harus berpatroli di jalan-jalan Tripoli untuk mencegah penjarahan meluas. 

Kapal tempur Vittorio Emanuele. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Pasukan Italia mendarat di Tripoli, Oktober 1911. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tentara Italia berbaris melalui jalan-jalan Tripoli. Pada tanggal 11 Oktober 1911, Italia mendaratkan pasukan ekspedisi 9.000 prajurit infanteri yang didukung oleh beberapa unit artileri dan kavaleri. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Jika pasukan Turki telah memutuskan untuk merebut kembali kota itu, minggu jeda antara kedatangan para pelaut dan pasukan ekspedisi adalah waktu yang tepat. Orang-orang Turki memiliki kekuatan untuk merebut kembali kota itu dan mungkin akan berhasil jika mereka mencoba, tetapi mereka tidak melakukannya. Sebaliknya, mereka menunggu waktu mereka dan mencoba untuk menggalang orang-orang Arab lokal untuk mendukung tujuan mereka dan memberikan perlawanan yang efektif terhadap Italia. Orang-orang Arab dibantu oleh dua orang, yakni mantan komandan Turki di Tripoli, Ferhat Bey, dan seorang pemimpin suku berpengaruh bernama Suleiman el Baruni. Sementata itu, kapal-kapal pengangkut pertama yang membawa pasukan ekspedisi Italia yang terdiri dari sekitar 9.000 prajurit infanteri, beberapa baterai artileri lapangan dan gunung, dan dua skuadron kavaleri muncul dari Tripoli pada pagi hari tanggal 11 Oktober. Setelah debarkasi pasukan ini menempatkan diri mereka di posisi sekitar kota. Namun, radius aksi kekuatan yang relatif kecil ini terbatas karena kurangnya alat transportasi darat yang signifikan. Paling-paling yang bisa mereka lakukan adalah mungkin untuk melakukan perjalanan selama dua hari dari pangkalan pasukan. Pembatasan ini berarti bahwa komandan Italia, Jenderal Carlo Francesco Giovanni Battista Caneva, secara efektif terikat pada basis operasinya, setidaknya di daratan.

PENGEBOMAN UDARA PERTAMA

Jenderal Caneva, bagaimanapun, memiliki inovasi baru dalam peperangan yang memungkinkannya untuk berperang dalam tiga dimensi. Pada tanggal 23 Oktober, seorang pilot Italia menerbangkan monoplane Bleriot XI-nya melintasi jalur Turki dekat Tripoli dalam misi pengintaian. Sembilan hari kemudian, seorang pilot menjatuhkan amunisi ke pasukan Turki ketika dia melemparkan empat granat dari pesawatnya ke posisi musuh di Tajura (Bahasa Arab: تاجوراء Tājūrā’) dan Ain Zara. Aksi ini kemudian menjadi pemboman udara di masa perang pertama dalam sejarah. Kemudian pada tanggal 24 dan 25 Februari 1912, Italia meningkatkan kemampuan pengintaian udara mereka dengan membuat foto pertama atas posisi-posisinya Turki dari udara. 

Ilustrasi Giulio Gavotti melaksanakan pengeboman udara pertama dalam sejarah. (Sumber: https://pixels.com/)

GIUSEPPE PASQUINI PENGINTAI YANG TERAMPIL 

Jika Italia adalah yang pertama mengeksploitasi pesawat pada masa perang untuk misi pengeboman dan pengintaian, mereka juga tidak mengabaikan cara paling dasar untuk mendapatkan informasi tentang musuh mereka—yakni dengan menggunakan pengintai berkuda. Salah satu prajurit tersebut adalah Giuseppe Pasquini dari Resimen Infanteri ke-40, ayah dari Amelia Stillman. Dia adalah anggota wajib militer dari kelas tahun 1890 dan belum dibebaskan dari kewajibannya ketika perang dimulai, jadi dia dikirim untuk berperang di Libya. Setelah di negara itu, salah satu misinya adalah untuk bertindak sebagai pengintai. Ditugaskan untuk mencari musuh yang bersembunyi di gurun pasir, dia berhasil menjalankan tugas ini dengan bertindak sendirian dalam banyak kesempatan. Akibatnya, dia segera menjadi mahir dalam pengintaian, dan komandan serta perwira intelijen resimennya menghargai hasil laporan Pasquini. Berada di padang pasir sendirian sebagai pengintai utama unitnya adalah pekerjaan yang berbahaya bagi Pasquini. Komandannya memerintahkan agar dia kembali pada waktu tertentu, dan jika dia tidak kembali ke unitnya seperti yang diharapkan, pengintai lain akan dikirim untuk mencarinya, kata Stillman. Jika prajurit itu tidak kembali setelah jangka waktu tertentu, maka prajurit infanteri lain dikirim untuk mencarinya, dan begitu seterusnya sampai semua orang digunakan dengan satu atau lain cara. Untungnya, Pasquini selalu kembali tepat waktu. 

Seorang tentara Italia merebut bendera hijau selama pertempuran jarak dekat dengan pasukan Turki di Tripoli dalam Perang Italia-Turki tahun 1911-1912. Pasukan gabungan Turki-Arab melancarkan serangan berulang kali terhadap pasukan ekspedisi Italia di kota pelabuhan selama bulan pertama perang dalam upaya untuk mengusir mereka ke laut. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Mungkin sebagian dari keefektifannya sebagai pengintai dapat dikaitkan dengan keahliannya dalam menggunakan medan di mana dia beroperasi. Sama seperti penduduk asli Amerika menutupi jejak mereka untuk mencegah deteksi, Pasquini selalu berusaha untuk tidak meninggalkan bukti kehadirannya ketika mencari musuh. Dia segera menyadari bahwa dengan bergerak melalui gundukan pasir lembut di belakang pantai Afrika Utara, jejak kakinya akan terhapus saat angin menyapu pasir seperti sapu. Tentu saja, jika dia tidak kembali untuk membuat laporan dan atasannya tidak mengetahui lokasi pos pengamatannya, mereka juga akan kesulitan melacaknya. Dalam satu misi selama dinas luar negerinya, Pasquini mengalami masalah yang sangat buruk akibat dari pengaruh cuaca terhadap peperangan di wilayah tersebut. Saat bertugas di pos terdepan, dia pernah mengamati, untungnya dari jauh, pergerakan sekawanan bagal yang lewat dengan membawa kotak-kotak amunisi. Mereka dalam perjalanan untuk memasok pasukan Italia yang terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Turki. Dia menceritakan kepada keluarganya bertahun-tahun kemudian mengenai kengerian melihat efek menghancurkan dari amunisi yang meledak memenuhi langit gurun ketika bagal dan pawang mereka mati saat petir menyambar hewan yang dimuati amunisi itu. Kilat meledakkan amunisi di punggung bagal dan langsung membunuh binatang itu serta pengawalnya. Sayangnya, keledai-keledai itu diikat menjadi satu di dalam barisan dengan rantai logam. Petir yang menyambar satu bagal mengirimkan muatan tegangan tinggi dari binatang ke binatang melalui mata rantai logam yang menghubungkan bagal di barisan. Saat muatan listrik menghantam setiap hewan, ia meledakkan amunisi dan membunuh bagal dan pawangnya. Prajurit lain di sekitar yang berada di medan listrik petir juga tewas. Hasilnya adalah pembantaian yang mengerikan. 

PROBLEM TURKI

Kekaisaran Turki sebenarnya sudah memiliki beberapa masalah dengan pemberontakan di Yaman, Makedonia dan Albania, dan jalur darat ke Tripoli terputus, yang membuat dukungan logistik menjadi sangat sulit, jika bukan tidak mungkin. Selain itu, angkatan laut Italia juga memiliki keunggulan di laut Mediterania. Di sisi lain, suku-suku lokal yang sesama muslim tidak begitu tertarik dengan pertarungan antara Turki dan Italia. Hanya suku Sanusi yang memberikan dukungan untuk perlawanan Turki. Semua pasukan perlawanan ini, pasukan Turki dan milisi lokal, berkumpul di Garyan. Sementara itu ada reaksi besar di antara para perwira muda Turki terhadap invasi Italia. Mereka tidak dapat menerima bahwa sebagian dari kekuasaan mereka berada di tangan musuh dan mereka ingin bergabung dengan upaya perang Turki di Tripoli. Segera setelah mendengar berita invasi, Mayor Enver Bey, yang pada saat menjadi atase militer Utsmaniyah di Berlin, datang ke Salonica. Dia menyarankan Komite Persatuan dan Kemajuan untuk menyerahkan rencana pertempuran ke Sublime Porte yang akan membutuhkan pasukan Turki untuk menarik musuh ke wilayah pedalaman dan menghancurkan mereka dengan serangan malam di padang pasir.

Mustafa Kemal (kiri) dengan seorang perwira militer Ottoman dan mujahidin Libya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Milisi Sanusi berparade. (Sumber: http://www.turkeyswar.com/)

Setelah sarannya diterima, Enver Bey pergi ke Istanbul. Di sisi lain, bukan hanya Enver Bey yang ingin pergi ke Tripoli. Mustafa Kemal Bey, Eşref Bey, Süleyman Askeri Bey, atase militer di Paris Ali Fethi Bey, Mayor Halil Bey, Mayor Nuri Bey, Kapten Fuat Bey dan Kapten Ali Bey termasuk di antara beberapa perwira yang berusaha mencari cara untuk sampai ke sana. Di Istanbul, Enver Bey dan Eşref Bey bertemu Mahmut evket Pasha, yang memberi tahu mereka bahwa Kekaisaran tidak dapat memasuki perang total dengan Italia, tetapi mereka akan mencoba mempertahankan provinsi tersebut dengan sumber-sumber kekuatan lokal. Sarannya untuk para perwira muda adalah pergi ke sana secara rahasia dan jika pemerintah telah memutuskan perang skala penuh, mereka akan mendapatkan semua jenis dukungan. Namun, jika masalah diselesaikan melalui diplomasi, tanggung jawab akan menjadi milik mereka sendiri. Enver Bey meninggalkan Istanbul bersama Rauf Bey dan mer Fevzi Bey, semuanya dengan nama samaran dan menyamar sebagai reporter, pada 1 November, tiba di Alexandria setelah dua minggu dan berangkat ke Benghazi setelah delapan hari di Mesir. Mustafa Kemal Bey, meninggalkan Istanbul pada 15 November, menyamar sebagai jurnalis Mustafa erif Bey, bertemu Nuri Bey dan Fuat Bey di Alexandria, dan setelah selamat dari risiko ditangkap oleh Inggris, mereka tiba di Tobruk.

SERANGAN BALIK OLEH ORANG-ORANG ARAB DAN PASUKAN TURKI

Pada saat yang sama pasukan ekspedisi Italia mendarat di Tripoli, unit lain menduduki kota Derna, Homs, dan Benghazi. Garnisun Turki di Derna dan Homs mundur ke selatan setelah pengeboman singkat pihak Italia, tetapi Turki melawan pendaratan di Benghazi, yang menimbulkan sekitar 100 korban di pihak penyerang. Setelah itu, pertempuran di sekitar Benghazi mereda, tetapi ada pertemuan keras di sekitar Derna di mana Pasquini ikut berpartisipasi, serta di Homs beberapa hari setelah orang Italia itu mendarat. Situasi di sekitar Tripoli berubah dengan cepat menjadi lebih buruk. Karena orang-orang Italia berasumsi bahwa penduduk lokal Arab tidak akan pernah bersekutu dengan orang Turki, kewaspadaan Italia terhadap kemungkinan serangan balik musuh mengendur. Orang-orang Arab yang dianggap ramah, misalnya, bisa menyeberang bolak-balik melalui garis pertahanan Italia tanpa menimbulkan kecurigaan. Sementara itu, perlawanan telah dimulai sebelum para perwira Turki tib, dengan serangan-serangan yang berhasil terhadap pasukan Italia telah dilakukan. Namun, para perwira muda Turki akan bisa mengkoordinasikan aksi yang lebih besar, dan mereka segera mulai melatih dan mengorganisir penduduk setempat. Bersama dengan unit-unit Turki yang sudah ditempatkan di sana, mereka terbukti sangat berhasil dalam upaya mereka. Enver Bey kemudian mengatakan dalam sebuah wawancara surat kabar: “Ketika saya pertama kali tiba di sini, saya hanya menemukan 900 pejuang gurun. Sekarang saya memiliki 16.000 tentara terlatih.” Tentara yang mereka ciptakan juga berhasil merebut dua senapan mesin, 250 senapan, dua meriam artileri dan amunisi dari Italia.

Bagian unit senapan mesin Italia di oasis Shara Shat di pinggiran Tripoli. Sebuah serangan sengit oleh pasukan Turki-Arab pada tanggal 23 Oktober 1911, menaklukkan dua kompi infanteri Italia dan mengakibatkan pembalasan terisolasi terhadap orang-orang Arab lokal yang diduga terlibat, yang sayangnya bagi Italia, malah mendekatkan penduduk setempat dengan pihak Turki-Arab. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Mustafa Kemal di Derna. (Sumber: http://www.turkeyswar.com/)

Upaya Turki juga mendapat dukungan besar dari suku Sanusi dan pemimpin mereka Ahmed erif, yang menyatakan “perang suci” melawan orang-orang Italia. Adalah tugas Mustafa Kemal Bey untuk memastikan dan mengatur partisipasi Sanusi. Bersama dengannya, Sanusi juga memiliki kepercayaan besar pada Enver Bey, yang merupakan menantu Khalifah. Menurut struktur baru komando Turki di Tripoli, Neşet Bey mengambil alih komando pasukan di Tripoli, Mayor Mustafa Kemal Bey menjadi komandan di Tobruk dan Mayor Enver Bey di Benghazi. Serangan terorganisir pertama diluncurkan pada tanggal 23 Oktober, ketika Neşet Bey dan Ali Fethi Bey memimpin pasukan gabungan Turki-Arab dalam serangan yang berhasil melawan resimen infanteri ringan Italia (Bersaglieri) dari luar dan dalam barisan unit itu di desa dan oasis Shara Shat dua mil dari Tripoli. Pasukan gabungan dengan tiba-tiba dan tak terduga menyerang dua kompi infanteri Italia, dan resimen lainnya kesulitan untuk mengusir para penyerang setelah seharian berjuang dengan keras. Tembakan jitu dari penduduk asli kemudian berlanjut untuk beberapa waktu. Pasukan Italia kehilangan 46 perwira dan 463 orang menjadi korban. Dalam penangkapan orang-orang Arab yang dicurigai terdapat insiden pelecehan yang disinyalir dilakukan oleh pasukan Italia. Berita ini kemudian segera dibesar-besarkan oleh surat kabar Inggris dan Jerman. Penyelidikan selanjutnya mengungkapkan bahwa ada kejadiannya telah dilebih-lebihkan. Sementara itu, meskipun liputan pers berubah menjadi positif di Eropa, namun pengaruhnya terhadap penduduk Arab tetap sangat merugikan. Banyak pria lokal di Tripoli terus melawan pendudukan Italia selama satu tahun dengan keyakinan yang salah bahwa keluarga mereka di Shara Shat telah dibantai dalam pertempuran tersebut.

Pasukan Alpini Italia dan mayat orang-orang Libya setelah serangan terhadap “Ridotta Lombardia“. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Tiga hari kemudian, orang-orang Turki dan Arab menyerang lagi dengan menggunakan kebun dan kebun sawit untuk berlindung saat bermanuver. Sejumlah besar orang-orang Arab berhasil menembus pinggiran selatan Tripoli sebelum disapu dan diusir. Komando tinggi Italia menganggap bahwa garis pertahanan yang dipertahankan oleh pasukannya terlalu panjang untuk bisa dijaga oleh personel yang tersedia dan kemudian membuat penyesuaian. Lima jam pertempuran sengit, yang mengakibatkan banyak korban Arab, kemudian akan memiliki konsekuensi di luar pertempuran. Pers Eropa kembali menyebarkan desas-desus yang mengkhawatirkan bahwa Tripoli akan segera direbut kembali oleh orang-orang Turki, dan kapal penjelajah Amerika USS Chester tiba di lepas pantai dengan perintah untuk menjemput konsul AS dan orang Amerika lainnya di kota itu. Namun, konsul menolak untuk pergi, dan tindakannya membantu menstabilkan situasi. Namun demikian, kesan yang terlanjur ditimbulkan adalah bahwa Tripoli dikepung oleh orang-orang Arab dan Turki. Faktanya, kota itu memang dikepung, bukan oleh aksi musuh, tetapi oleh penyakit. Wabah kolera pecah di Tripoli dan membunuh hampir seribu tentara. Penduduk asli, yang telah ditambah dengan banyak pengungsi dari oasis di sekitarnya, juga sangat menderita. Meskipun pihak berwenang lalu mengambil tindakan cepat dan efektif, butuh waktu satu bulan untuk mengendalikan situasi.

MEMPERKUAT KOLONI BARU

Pada tanggal 5 November, Italia memproklamirkan aneksasi Tripolitana dan Cyrenaica dan mengirimkan bala bantuan ke koloni barunya. Pada paruh kedua bulan November, Jenderal Caneva melihat kekuatannya telah tumbuh menjadi hampir 25.000 prajurit infanteri dan 16 baterai artileri medan dan gunung (total ada 64 senjata artileri). Dia kemudian memimpin ekspedisi untuk menduduki kembali garis-garis pertahanan yang ditinggalkan setelah tanggal 26 Oktober. Pertempuran sporadis terjadi ketika kekuatan sekitar 12.000 tentara Italia maju ke dataran di luar Tripoli melawan pasukan utama musuh di oasis ‘Ain Zara. Orang-orang Italia berharap bahwa pihak Turki akan bertahan dan melawan, tetapi orang Turki melakukan aksi penundaan yang terampil dengan dibantu oleh mobilitas sekutu Arab mereka. Pada bulan November 1911, orang-orang Italia dapat merebut kembali beberapa posisi pertahanan mereka yang telah hilang sebelumnya. Orang-orang Turki lalu mundur ke ‘Aziziva sekitar 30 mil (48 km) selatan Tripoli. Sementara itu, Pasukan Arab yang kuat sudah pergi ke perkemahan yang terletak sehari perjalanan dari ‘Aziziva. Pemerintah Italia kini menghadapi dilema. Segalanya tidak berjalan dengan baik untuk Italia di Afrika Utara dan di tempat lain. Kekuatan Turki tidak menunjukkan tanda-tanda melemah di bawah tekanan Italia. Pada saat yang sama, pemerintah Italia mengatakan kepada Jenderal Cavena untuk menahan jumlah korban, yang membatasi ruang lingkup aksinya. Pasukan ekspedisi Italia kemudian tidak lagi melakukan operasi ofensif besar-besaran selama empat bulan berikutnya. Pada bulan-bulan berikutnya, perlawanan Turki mulai mendapatkan hasil. Unit pimpinan Mustafa Kemal berhasil melawan pasukan Italia di Tobruk dan Derna – unitnya bahkan berhasil memenangkan Pertempuran Tobruk pada tanggal 22 Desember 1911 – sedangkan Enver Bey juga berhasil di Benghazi dan Neşet Bey melakukannya dengan sangat baik di Tripoli. Mereka berhasil menghentikan serangan Italia, namun tidak mungkin memaksa mereka untuk pergi dari Tripoli. Disamping itu, orang-orang Italia juga menikmati bala bantuan dan pada satu titik selama perang, jumlah mereka meningkat menjadi 100.000 personel. Dari jumlah itu, antara tahun 1911 dan 1912, lebih dari 1.000 orang Somalia dari Mogadishu, ibu kota Somaliland Italia, bertugas sebagai unit tempur bersama dengan tentara Eritrea dan Italia di Libya.

Ilustrasi perwira artileri Ottoman. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Perebutan Afrika memicu serangkaian pemberontakan yang diilhami kelompok Muslim dalam melawan imperialisme Eropa. Ketika Italia menginvasi Libya pada tahun 1911, Kekaisaran Ottoman menggerakkan penduduk muslim di wilayah kekuasaannya ke dalam perang suci yang sengit. Dalam foto ini, Muslim Libya bersumpah setia kepada Kekaisaran Ottoman. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Meski demikian, bahkan dengan penggunaan mobil lapis baja Italia dan kekuatan udara, (keduanya termasuk yang paling awal dalam peperangan modern) oleh pasukan Italia, hanya memiliki sedikit pengaruh pada awalnya. Ketika tentara Italia lalu berusaha untuk memperluas medan operasi ke wilayah Turki sendiri, dengan menyerang Dardanelles. Jerman, Russia dan Austria-Hongaria secara aktif mencegah langkah tersebut. Sebaliknya, Italia kemudian menenggelamkan dua kapal Turki yang berlabuh di pelabuhan Beirut. Kapal Turki, yakni Avnillah menderita 58 tewas dan 108 terluka. Kapal-kapal Italia tidak menderita korban dan juga tidak ada serangan langsung dari kapal perang Ottoman mana pun. Italia sebelumnya khawatir bahwa pasukan angkatan laut Ottoman di Beirut dapat digunakan untuk mengancam jalur ke Terusan Suez. Kehadiran angkatan laut Utsmaniyah di Beirut kemudian benar-benar dimusnahkan dan menderita banyak korban. Angkatan Laut Italia kini memperoleh dominasi penuh di wilayah Mediterania selatan, yang akan dipertahankannya selama sisa perang. Pada bulan Januari 1912, armada Italia memasuki Laut Merah, menenggelamkan beberapa kapal Turki, tiba di Yaman (yang berada di tengah pemberontakan), dan menembaki pelabuhan Hudaidah. Selain itu, pada bulan Januari 1912, kapal penjelajah Italia berhasil mencegat dua kapal uap Prancis dalam perjalanan dari Prancis ke Tunis dan membawanya ke pelabuhan Cagliari. Italia menduga kapal Prancis itu membawa pesawat untuk Turki. Setelah masalah itu diselesaikan di Belanda yang hasilnya memihak Italia, pers Prancis kemudian menerbitkan ancaman terhadap negara tetangganya. Sebuah ancaman yang tidak segera dilupakan oleh orang Italia.

Kapal penjelajah Italia membombardir kapal Ottoman di pelabuhan Beirut. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Komandan Turki Enver Bey memimpin serangan balik besar-besaran terhadap pasukan Italia di Benghazi dan Derna pada bulan-bulan pertama tahun 1912, tetapi keberhasilan awal tidak berlangsung lama. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Artileri Turki di Benghazi. (Sumber: http://www.turkeyswar.com/)

Sementara pertempuran berkecamuk di sekitar Tripoli, terdapat yang relatif tenang muncul di sekitar Benghazi, Derna, dan Tobruk karena Italia tidak berusaha memperluas wilayah pendudukan di luar kota-kota pelabuhan ini. Tetapi orang-orang Turki bukannya tidak aktif ketika Enver Bey tiba di Cyrenaica pada akhir tahun 1911 dan berhasil mengorganisir perlawanan yang hebat di antara orang-orang Arab lokal yang bersedia untuk ikut campur dengan orang-orang Turki. Pasukan gabungan Enver Bey mengepung Benghazi dan Derna selama bulan-bulan pertama tahun 1912. Orang-orang Arab mengepung Derna dengan ketat, di mana mereka melancarkan empat serangan besar terhadap garnisun Italia dari akhir bulan Desember 1911 hingga minggu pertama bulan Maret 1912. Pihak Italia lalu berhasil menangkis serangan ini, yang meyakinkan Enver Bey dan sekutunya bahwa upaya lebih lanjut tidak akan ada gunanya, dan distrik itu kemudian terus menikmati lima bulan yang relatif tenang. Adapun di Benghazi, pada akhir hari tanggal 11 November, tentara Italia telah mengintai sejauh enam mil ke kota. Setelah pertempuran keras dengan musuh, orang-orang Italia kembali ke kota. Tidak ada kegiatan lebih lanjut sampai Maret berikutnya. Pihak Italia membangun benteng pertahanan di sepanjang garis pertahanan mereka, dan pasukannya menetap di benteng-benteng mereka sampai tanggal 12 Maret, ketika Letnan Jenderal Ottavio Briccola mengirim satuan penyerang terhadap pasukan Arab yang terletak di kumpulan taman yang dikenal sebagai Two Palms. Posisi pasukan Arab kurang dari setengah mil dari benteng Italia, dan meskipun sekelompok besar orang-orang Arab berusaha untuk memperkuat pasukan mereka di Two Palms, satuan penyerang Italia mengalahkan mereka, dan menimbulkan banyak korban. Setelah itu, praktis tidak ada pertempuran di daerah itu.

PERJANJIAN OUCHY: “TRIPOLI AKAN MENJADI MILIK ITALIA”

Sementara itu Kaisar Jerman, Kaiser Wilhelm II, memutuskan untuk bertindak sebagai penengah antara pihak-pihak yang bertikai. Pada tanggal 25 Maret 1912, ia bertemu dengan Raja Italia, Vittorio Emanuele III, di Venesia. Namun, pertemuan ini gagal membuahkan hasil. Pada bulan April 1912, pasukan Italia melakukan berbagai pendaratan di sepanjang pantai Afrika Utara, salah satunya di dekat perbatasan Tunisia, tanpa mendapat perlawanan. Di tempat lain, Angkatan Laut Italia mulai membombardir Dardanelles pada tanggal 18 April 1912, yang memaksa pemerintah Utsmaniyah untuk menutup Selat untuk semua jenis lalu lintas angkatan laut. Ini berarti kerugian komersial yang besar bagi Rusia, yang perdagangan biji-bijiannya terpukul, serta bagi Inggris, Yunani, Bulgaria, dan Rumania. Istanbul membuka kembali Selat untuk perdagangan pada tanggal 10 Mei. Pada tanggal 5 Mei 1912, pasukan Italia menyerbu pulau Rhodes dan dalam sepuluh hari mereka merebut semua Kepulauan Dodecanese di Laut Aegea. Pada saat yang sama, perang sedang terjadi di Tripoli dan pasukan Italia telah menang. Namun pada bulan Mei pertempuran terjadi di wilayah pedalaman timur kota Homs dan kemudian di sekitar Tripoli. Orang-orang Turki dan Arab telah didorong oleh ketidakaktifan relatif dari pihak Italia selama musim semi dan menjadi lebih berani beraksi di sekitar kota Tripoli. Mereka mendorong garis depan mereka lebih dekat ke Tripoli, yang mendesak pasukan Italia untuk menyerang dengan mengerahkan dua brigade pada tanggal 8 Juni. Pasukan Italia berhasil mengusir musuh dari posisinya, dengan menewaskan sekitar 1.000 petempur. Beberapa hari kemudian, orang-orang Arab menyerang posisi-posisi Italia tetapi berhasil dipukul mundur lagi dengan menyebabkan kerugian besar. Aksi-aksi pasukan Italia lebih lanjut mengakibatkan kekalahan pasukan Turki dan orang-orang Arab, yang lalu meyakinkan bahwa mereka tidak akan bisa mengusir Italia dari provinsi-provinsi Italia yang baru diproklamirkan. Pada tanggal 12 Juli, lima kapal perang Italia mencoba menembus Dardanelles, namun upaya ini gagal karena jaring baja dan tembakan artileri berat pihak Turki.

16 Mei 1912: Ilustrasi penyerahan garnisun Utsmaniyah di Rhodes kepada jenderal Italia Ameglio dekat Psithos. (Dari mingguan Italia La Domenica del Corriere, 26 Mei – 2 Juni 1912). (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada 13 Agustus 1912, pembicaraan damai dimulai antara Turki dan Italia, dengan pertempuran masih berlangsung. Kedua pihak yang perlawanan kemudian terlibat dalam dua pertempuran penting pada bulan September 1912. Satu pertempuran terjadi di dekat Tripoli di Zanzur, di mana orang-orang Turki dan Arab kehilangan 1.500 tewas dan yang lainnya di sekitar Derna, di mana 1.500 petempur mereka tewas. Pecahnya Perang Balkan dan kebutuhan mendesak akan perwira dan personel militer Turki di Tripoli untuk dikirimkan di medan perang lainnya, memaksa Sublime Porte untuk menerima persyaratan Italia. Pada tanggal 15 Oktober, Turki dan Italia menandatangani Perjanjian awal Ouchy, yang diikuti oleh Perjanjian definitif Lausanne pada 18 Oktober, dengan Italia memenangkan kendali atas apa yang sekarang disebut sebagai wilayah Libya. Pada saat yang sama, Italia mengakui perwakilan sultan Turki sebagai khalifah (otoritas agama Turki) di wilayah Italia yang baru diperoleh. Menurut Ouchy Treaty, Tripoli diserahkan kepada Italia dengan status otonom, tetapi Turki harus menjadi pelindung hak kaum Muslim di wilayah tersebut. Kepulauan Dodecanese kemudian akan diberikan kembali ke Kekaisaran Ottoman pada akhir Perang Balkan. Namun, Italia melanggar pasal terkait perjanjian itu dan tidak mau mengembalikan pulau itu. Insiden ini menandai berakhirnya otoritas Turki selama berabad-abad di Laut Aegea. Perang telah berakhir, ketika situasi sebenarnya cukup mendukung untuk dilakukan perlawanan. Pasukan Italia telah mampu menembus lebih dari 3-4 kilometer ke pedalaman dan pertempuran berlangsung dengan baik untuk pihak Turki dan pendukung lokal mereka di Tripoli dan Benghazi, akibatnya, sangat sulit bagi pihak Istanbul untuk memberi tahu orang-orang di provinsi itu bahwa perdamaian telah ditandatangani dan mereka akan dibiarkan sendiri dengan nasib mereka. Neşet Bey tidak dapat menerima informasi dari pemerintah tentang kondisi perdamaian dan masyarakat setempat tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka. Enver Bey lalu mulai mengirim pesan ke Istanbul, memperingatkan bahwa perlawanan akan berlanjut. Pihak Sanusi sendiri marah tentang gencatan senjata. Proses evakuasi di Tripoli dan Benghazi dimulai dengan penundaan, pada bulan Desember 1912, karena komunikasi yang tidak efisien antara Istanbul dan Tripoli, serta reaksi beberapa komandan Turki dan milisi lokal. Perwira Turki kemudian wajib meninggalkan provinsi itu, tetapi mereka memastikan bahwa perbekalan akan ditinggalkan sebanyak mungkin agar dapat digunakan nanti oleh pihak Sanusi. Kontingen terakhir Turki, termasuk Neşet Bey, meninggalkan Tripoli pada tanggal 15 Januari 1915. 

Delegasi Turki dan Italia di Lausanne (1912). Dari kiri ke kanan (tempat duduk): Pietro Bertolini, Mehmet Nabi Bey, Guido Fusinato, Rumbeyoğlu Fahreddin Bey, dan Giuseppe Volpi. Pada akhirnya Turki setuju menyerahkan provinsi Tripolitania dan Cyrenaica ke pihak Italia. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Perang Turki-Italia di sisi lain, telah menampilkan beberapa “aksi pertama” dalam sejarah militer. Di Tripoli, Italia memobilisasi Batalyon Penerbangan Italia di bawah komando Kapten Carlo Piazza, seorang pilot balap terkenal, dan pada tanggal 23 Oktober 1911, Piazza membuat penerbangan pengintaian pertama dalam sejarah di dekat Benghazi dengan pesawat Blériot XI. Pada tanggal 1 November, Letnan Dua Giulio Gavotti melakukan misi pemboman udara pertama, dengan menjatuhkan empat granat di dua oasis yang dikuasai Turki. Pada bulan Maret 1912, Kapten Piazza melakukan penerbangan pengintaian fotografi pertama dalam sejarah. Sementara itu, Turki melakukan operasi anti-pesawat pertama dalam sejarah. Pesawat pertama yang jatuh dalam perang adalah pesawat Letnan Piero Manzini, yang ditembak jatuh pada 25 Agustus 1912, sementara pesawat pertama yang dirampas adalah milik Kapten Moizo, yang direbut pada tanggal 10 September 1912. Perang Turki-Italia tahun 1911-12 juga menjadi yang pertama dalam serangkaian perang yang berlangsung selama lebih dari sepuluh tahun dan menandai berakhirnya Kekaisaran Ottoman. Meskipun telah menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa ada generasi baru perwira muda yang naik pangkat, perang ini juga merupakan tanda bahwa Kekaisaran Ottoman terlalu lemah untuk mengobarkan perang skala penuh dan Angkatan Lautnya tidak mampu mendukungnya dengan memainkan peran yang menentukan. Inilah yang lalu mendorong Rusia dan negara-negara Balkan untuk menyulut perang berikutnya. Dalam perang ini juga, untuk pertama kalinya Kekaisaran Ottoman kehilangan wilayah yang mayoritas penduduknya adalah orang-orang Muslim. Perang Perang Turki-Italia kemudian akan mempengaruhi kondisi politik domestik Turki dan Italia secara luas. Namun, penting juga untuk dicatat, seperti yang dinyatakan seorang pengamat, bahwa salah satu asal usul nasionalisme Arab juga dapat ditemukan di Tripoli selama Perang Turki-Italia. Beberapa suku Badui telah bersatu di bawah kepemimpinan Omar Mukhtar yang karismatik (1858–1931), yang segera menjadi simbol perlawanan terhadap penjajah kolonial baru. Mukhtar akhirnya akan melawan Italia selama hampir dua puluh tahun sampai ia ditangkap oleh pasukan Fasis Jenderal Italia Rodolfo Graziani pada tahun 1931, dan setelah sidang singkat atas perintah Mussolini, Mukhtar dijatuhi hukuman mati dengan digantung di depan umum pada 16 September.

Pasukan Italia di Tripoli. Hingga pecahnya Perang Dunia II, Libya tetap ada dalam genggaman Italia. (Sumber: http://www.turkeyswar.com/)
Italia mengebom posisi Turki di wilayah Libya. Perang Italia-Turki adalah yang pertama dalam sejarah yang menampilkan pemboman udara oleh pesawat terbang dan kapal udara. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Omar Mukhtar Tahun 1931. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

Di sisi lain kampanye militer Italia melawan Turki di tahun 1911-1912 secara umum tidak mengagumkan, karena hanya melawan pihak yang kurang antusias yang dipimpin dengan buruk di daerah yang jauh dari rumahnya. Orang-orang Italia yang sangat berhati-hati telah dihentikan pergerakannya dalam waktu yang cukup lama. Dalam kampanye militer ini pihak Italia, menderita korban 4.000 tewas, 6.000 terluka, 2.000 diantaranya meninggal karena penyakit; di pihak Turki, 14.000 tewas atau meninggal karena penyakit. Perang tersebut telah menelan biaya lebih dari satu miliar lira – sekitar setengah dari total pendapatan tahunan Italia. Petualangan Libya juga menguras kekuatan pertahanan Italiw di dalam negeri dalam hal personel, ransum, amunisi, kuda dan perbekalan lainnya. Hampir semua unit senapan mesin infanteri Italia dikirimkan ke Afrika. Ketika Perang Dunia Pertama pecah, masih ada sekitar 50.000 tentara Italia di Libya. “Sebelum pada tahun 1911 Italia lemah secara militer di satu benua”, tulis John Gooch, “setelah 1912, mereka lemah di dua benua”. Sementara itu, Pasquini berhasil selamat dari pertempuran di Afrika Utara, kembali ke Italia, dan segera dalam perjalanan melintasi laut ke Amerika Serikat untuk memulai hidup baru. Libya sendiri, nantinya, kembali akan menjadi ajang pertempuran sengit dalam Perang Dunia II dan akhirnya meraih kemerdekaan dari Italia. Di era millenium, Muammar al Qaddafi telah digulingkan pada Oktober 2011, dan empat orang Amerika yang merupakan bagian dari misi diplomatik AS di Bengazhi tewas pada bulan September 2012. Keadaan penuh ketidakpastian yang tinggi masih ada di negara Afrika Utara itu. Namun demikian, pengaruh Italia di Libya tetap ada di sana. Meskipun Stillman masih bisa menyanyikan “Tripoli Will Be Italian,” hari ini kata-kata itu hanya hidup sebagai lyric sebuah lagu.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

“Tripoli Will Be Italian”: Italy’s Colonial Conquests in Libya By Raymond E. Bell

Turco-Italian War by Dr. Altay Ath

http://www.turkeyswar.com/prelude/turcoitalianwar/

Italo-Turkish War (1911–1912)

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2019/06/26/italo-turkish-war-1911-1912/amp/

The Italo-Turkish War (1911–1912) by V Vidar

https://historyofyesterday.com/italo-turkish-war-1911-1912-fac7c4fe9eac?gi=d19204dba740

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Italo-Turkish_War

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *