Others

Escape From Baucau, Pembajakan Caribou Australia di Tengah Perang Saudara Timor Timur, 4 September 1975 

Cerita dimulai pada pertengahan tahun 1975, dengan Timor berada di tengah perang saudara setelah jatuhnya kediktatoran di Portugal, yang membuka jalan bagi percepatan kemerdekaan bagi koloni-koloninya. Di Timor Timur, tiga partai politik kemudian terbentuk dengan pandangan yang berbeda tentang masa depan bangsa mereka, yakni:

1. Partai sayap kiri Fretilin (Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente) yang menginginkan kemerdekaan sepenuhnya. 

2. Apodeti (Associação Popular Democratica Timorense) yang menginginkan integrasi dengan Indonesia, dan anti-Fretilin.

3. UDT (União Democrática Timorense) yang konservatif dan ingin tetap bersekutu dengan Portugal, serta (kemudian) anti-Fretilin. 

UDT dan Fretilin sempat berkoalisi pada bulan Januari 1975 dengan tujuan bersatu untuk menentukan nasib sendiri bagi Timor Leste setelah Portugis pergi. Pada bulan April 1975, konflik internal memecah kepemimpinan UDT, dengan Lopes da Cruz memimpin sebuah faksi yang ingin meninggalkan Fretilin. Lopes da Cruz khawatir sayap radikal dari Fretilin akan mengubah Timor Timur menjadi negara komunis. Fretilin sebaliknya menyebut tuduhan ini sebagai konspirasi dari pihak Indonesia, karena sayap radikal mereka dinilai tidak memiliki basis kekuatan. Pada tanggal 11 Agustus, Fretilin menerima surat dari para pemimpin UDT yang mengakhiri koalisi. Hal ini lalu memprovokasi pecahnya perang saudara yang berlangsung selama tiga minggu. Pada akhir bulan Agustus, sisa-sisa pasukan UDT mundur ke perbatasan Indonesia. Pada awal bulan September, Fretilin, telah menguasai ibu kota, Dili, sementara UDT, memiliki posisi kuat di Baucau, 125 km ke arah timur. Di tengah gejolak perang saudara, gelombang pengungsi melarikan diri ke Timor Barat Indonesia, sedang lainnya menuju ke Australia. Pemerintah Australia pimpinan Perdana Menteri Whitlam saat itu berhati-hati untuk terlibat dalam konflik tetapi menyetujui penggunaan pesawat-pesawat RAAF untuk membantu kehadiran Komite Internasional Palang Merah di pulau itu. Di antara mereka yang dikirimkan adalah pesawat Caribou A4-140, yang diawaki oleh Perwira Pilot berusia 27 tahun Gordon Browne, Perwira Penerbangan Keirman French, 24, dan Loadmaster Bill Crouch. Berikut adalah kisah mereka.

Prajurit UDT di Batugede. Pada pertengahan tahun 1975, beberapa saat setelah Portugis bersiap untuk meninggalkan Timor-Timur pecah perang saudara yang melibatkan sayap militer partai UDT yang pro Portugis dan dan Fretilin yang mendukung kemerdekaan penuh. (Sumber: https://timorarchives.wordpress.com/)

MISI RUTIN CARIBOU RAAF DI TIMOR

Pengarahan intelijen rutin telah dilakukan di ruang awak Skuadron ke-38 setiap minggu untuk memberi tahu awak tentang situasi politik dan militer di wilayah geografis yang dapat mempengaruhi operasi kami di Indonesia, Irian Barat, Kepulauan Pasifik dan daerah sekitarnya secara umum. Geografi dan situasi politik Timor yang melibatkan Portugis dan Timor telah dimasukkan dalam briefing, namun saya tidak ingat baik potensi situasi militer yang sedang berlangsung disebutkan (sebagai kru kami tidak sepenuhnya siap untuk menghadapi peristiwa dua minggu ke depan), maupun tugas kemanusiaan dan evakuasi yang dilakukan oleh operasi pesawat-pesawat C-130 dan C-47 yang dimulai dari Darwin antara tanggal 19 Agustus dan 3 September seperti yang dijelaskan dalam artikel surat kabar NT dan RAAF NewsNT News sebelumnya telah memuat cerita ekstensif tentang pembajakan yang terjadi pada tanggal 5 September tetapi ada beberapa ketidakakuratan dalam rinciannya. Sangat sedikit dari kisah ini yang telah dipublikasikan; termasuk dalam dokumen-dokumen Referensi.

Peta Timor Timur. (Sumber: https://www.researchgate.net/)
Ini adalah foto hitam-putih diatas geladak kapal yang membawa pengungsi Timor-Leste. Foto tersebut diberi judul di bagian belakang: ‘Pemandangan di geladak saat 272 pengungsi Timor Timur (terutama asal Portugis) tiba di Darwin dengan kapal MACDILI, NT 1975’. Gambar menunjukkan adanya sekitar 50 pria, wanita dan anak-anak Timor Lorosa’e di geladak kapal barang, bersama dengan barang bawaan mereka. Dalam konflik di Timor-Timur, di tengah kondisi yang tidak menentu, Pemerintah Australia senantiasa mengamati perkembangan yang ada, termasuk mengirimkan pengamat dan pesawat angkut untuk membantu kegiatan Palang Merah. (Sumber: https://www.naa.gov.au/)

Sementara itu, karena tugas kami tidak terjadwal, awak pesawat dengan cepat diambil dari mereka yang belum ditugaskan dalam tugas terbang dan yang bisa siap untuk melakukan keberangkatan cepat dari pangkalan RAAF Richmond. Kami akan melakukan operasi yang dirahasiakan dengan pihak Palang Merah di luar Darwin dengan detail penugasan akan dijelaskan pada saat kedatangan kami. Kami diberitahu untuk tidak memberi tahu keluarga kami tentang tugas itu atau mengungkapkan lokasi operasi kami. Setelah persiapan dan perencanaan penerbangan dll, kami berangkat dari Richmond sekitar tengah hari tanggal 28 Agustus 1975 dengan penerbangan dilakukan pukul 04:20 menuju ke Charleville, Queensland barat tempat kami menginap. Pada tanggal 29 Agustus 1975, kami berangkat dari Charleville lebih awal menuju ke Darwin dengan pemberhentian pengisian bahan bakar di Mt Isa. Dengan kecepatan udara jelajah 145 KTAS (268,5 km/jam), dibutuhkan waktu 9 jam 20 menit penerbangan dan kami tiba di Darwin pada sore harinya. Kami check in ke tempat akomodasi kami dan kemudian diberi pengarahan tentang tugas kami yang akan datang oleh Perwira Intelijen Pangkalan, Sqn Ldr Harding. Unsur-unsur operasional dalam misi ini telah diklasifikasikan untuk tidak dipublikasikan pada pers dan rinciannya tidak akan diungkapkan di luar mereka yang perlu tahu. Kami akan terbang di bawah bendera Palang Merah Internasional; badan yang ditunjuk untuk mengoordinasikan pengalihan tanggung jawab pemerintahan dari Portugal kepada rakyat Timor Lorosa’e; PBB tidak terlibat pada tahap ini. Untuk menjaga netralitas saat terbang di bawah bendera Palang Merah, kru diminta untuk tidak bersenjata. Tugas kami adalah membawa peralatan komunikasi, perlengkapan medis Palang Merah, personel pemerintah Portugis, perwakilan UDT dan Fretilin dan negosiator Palang Merah dari Darwin dan Dili ke Pulau Atauro di mana gubernur Portugis Timor akan mengoordinasikan negosiasi untuk proses transisi Timur Timor menuju kemerdekaan. Kami juga diberitahu untuk memberikan laporan pengamatan kembali ke Darwin mengenai situasi, terutama di jalan antara Dili dan Baucau. 

Bandara di Dili. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)
Gordon Browne, difoto di sini dengan seragam penerbang pada tahun 1981. Browne adalah seorang pilot pesawat Caribou RAAF yang dibajak di Baucau. (Sumber: https://www.theguardian.com/)
Keirman French dan William Crouch pada tahun 1975, dengan dua orang Timor yang tidak dikenal. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Setelah menyelesaikan briefing, kami lalu membuat pengaturan perencanaan awal dan saat makan malam kami didekati oleh seorang NCO yang telah ditugaskan untuk memodifikasi skema cat pada pesawat. Warna hijau monoton pada lambung pesawat akan dipertahankan tetapi logo AU Australia/RAAF harus diganti dengan simbol Palang Merah. Dia bertanya bagaimana kami ingin simbol itu disejajarkan dan meskipun kami pikir ini permintaan yang aneh, kami mengatakan seperti yang biasanya, yaitu sumbu vertikal. Keesokan paginya pada tanggal 30 Agustus 1975, kami menyiapkan flight plan, bertemu dengan Sqn Ldr Harding kemudian dilanjutkan menuju pesawat. Kami mengisi pesawat dengan beban bahan bakar penuh (4800 lbs) untuk memastikan kami memiliki bahan bakar cukup untuk kembali karena ketersediaan stok bahan bakar Avgas 100/130 yang sesuai di bandara Dili atau Baucau tidak dapat dikonfirmasi. Kami juga mengumpulkan ransum makanan untuk hari itu dan mempersiapkan segala kemungkinan termasuk bekal makanan kaleng/paket tambahan jika kami tidak dapat kembali ke Darwin malam itu. Dari segi cuaca, kami beruntung karena musim hujan tinggal beberapa bulan lagi dan akibatnya cuaca untuk perjalanan diperkirakan baik-baik saja dengan angin sepoi-sepoi, kabut asap standar musim kemarau yang dihasilkan oleh petani yang membakar padang rumput sabana. Tugas kami di hari pertama operasi dukungan Palang Merah adalah penerbangan pulang-pergi Darwin-Dili-Atauro-Darwin dengan total waktu penerbangan yang direncanakan adalah 6 jam. Tujuannya adalah untuk membawa peralatan, perbekalan Palang Merah, dan penumpang resmi ke bandara Atauro di mana sebuah kamp orang-oramg Portugis telah didirikan di perkebunan kelapa di pantai tenggara pulau itu. Kamp itu dijaga oleh kontingen Tentara Portugis yang ditugaskan kepada Gubernur Daerah. Hal yang mengejutkan ketika kami tiba di pesawat untuk keberangkatan kami dari Darwin, kami menemukan Palang Merah yang harusnya sejajar dengan bingkai struktural malah miring dan lebih menunjukkan simbol perkalian daripada salib tegak normal – tapi apa lagi yang bisa kita katakan! Kami kemudian berangkat ke tujuan awal kami Dili, 390 nm (722 km) barat laut Darwin dan ini akan memakan waktu sekitar 2 jam 45 menit waktu penerbangan. Karena ketidakpastian di Timor, kami mempertahankan kontak terjadwal setiap jam dengan pihak RAAF menggunakan jaringan HF.

MISI PERTAMA

Lapangan terbang Dili memiliki menara pengatur lalu lintas udara dan fasilitas terminal. Landasan pacunya paralel dan sedikit ke daratan pantai serta terdiri dari permukaan karang yang dihancurkan. Apa yang tidak kami ketahui saat itu adalah bahwa telah terjadi perang kecil disitu dan kota serta lapangan terbang kini berada di bawah kendali pasukan Fretilin. Dilihat dari jenis seragamnya, pasukan tersebut tampaknya merupakan campuran antara pasukan reguler dan milisi; mereka semua bersenjata lengkap dan terlihat sangat garang. Personel lalu lintas udara tidak terlihat dan menara, fasilitas terminal penumpang dan gedung pemerintah terdekat di sekitar bandara menunjukkan tanda-tanda kerusakan akibat tembakan senjata ringan dan penggeledahan yang signifikan. Beberapa penumpang kami tinggal di Dili sementara kami mengambil penumpang lain dalam persiapan untuk sektor berikutnya. Tahap penerbangan selanjutnya adalah dari Dili ke Pulau Atauro di mana negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai dan Portugis akan berlangsung. Atauro berjarak sekitar 18 nm (33,3 km) timur laut dan waktu penerbangan yang dibutuhkan 8 menit. Untungnya pertempuran belum mencapai bagian pulau ini. Landasan tersebut berada di sisi tenggara pulau dan terdiri dari pecahan karang atau batu kapur di dekat pantai dan di dalam tepi perkebunan kelapa. Lapangan terbang yang kami putuskan untuk digunakan sebagai alternatif untuk operasi penerbangan di wilayah Timor adalah Baucau, yang memiliki landasan beton panjang dengan fasilitas modern dan menara kontrol. Baucau terletak di bawah kendali faksi UDT, 52 nm (96 km) timur Dili dan beberapa mil ke pedalaman di pantai utara. Saat itu bentrokan antara Fretilin dan pejuang UDT sedang terjadi di perbukitan di belakang Dili dan di sebelah barat Baucau. Meskipun kami khawatir tentang apa yang akan kami hadapi, misi hari itu terhitung lancar dan kami tiba kembali di Darwin; dengan membawa penumpang yang jauh lebih sedikit; saat senja setelah menyelesaikan 6 jam penerbangan. 

Pasukan Fretilin tahun 1975. Secara militer Fretilin lebih kuat daripada milisi UDT. (Sumber: https://timorlestemerdeka.wordpress.com/)
Milisi UDT. Pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang tidak terlatih, yang berasal dari desa-desa sekitar. (Sumber: https://timorarchives.wordpress.com/)

Buku catatan saya tidak mencatat apapun untuk tanggal 31 Agustus 1975, jadi saya hanya bisa menganggap kami telah ditempatkan di standby di Darwin saat negosiasi berlangsung di Pulau Atauro. Pada tanggal 01 September 1975, kami sekarang ditugaskan untuk membawa penumpang dan memberikan dukungan operasional kepada Palang Merah dengan menerbangkan personel antara Darwin dan Dili. Di Dili pasukan Fretilin sekali lagi dalam kondisi sangat gelisah; akibatnya kami tetap dekat dengan pesawat sementara penumpang kami pergi ke rumah sakit. Setelah menurunkan pasokan medis dan tim Palang Merah telah kembali dari inspeksi ke dalam kota dan rumah sakit, kami berangkat ke Darwin dan terbang total selama 5,5 jam pada hari itu. Di tanggal 02 September 1975, seperti hari sebelumnya, tugas kami adalah terus mengangkut penumpang dan memberikan dukungan operasional kepada Palang Merah dengan menerbangkan personel dan pasokan medis antara Darwin, Dili dan Baucau dan memberikan laporan pengawasan kembali ke Darwin. Terdapat laporan bahwa negosiasi transisi tidak berjalan dengan baik dan Fretilin terus maju ke arah timur sepanjang jalan pantai dan wilayah barat menuju perbatasan Timor Barat. Sektor penerbangan dari Darwin ke Dili berjalan lancar tetapi di Dili ketegangan meningkat. Para pengungsi yang berhasil sampai ke Australia telah berbicara tentang pembantaian di bagian lain pulau itu; beberapa mayat yang diklaim telah berserakan di jalan-jalan Dili. Palang Merah kemudian memperkirakan antara 2.000 dan 3.000 orang akhirnya tewas dalam perang saudara. Pasukan UDT yang telah terkuras kekuatannya – pada dasarnya mereka adalah orang-orang yang tidak terlatih, yang berasal dari desa-desa sekitar – berbasis di bandara Baucau, bersiap menghadapi Fretilin untuk menyerang kota dengan mortir setiap saat. Sementara itu, penerbangan kami berikutnya adalah ke Dili kemudian ke Baucau dan ini adalah kesempatan pertama kami untuk mendarat di lapangan terbang Baucau. Dengan landasan dan menara beton yang panjang (konstruksi menara yang relatif baru tetapi tanpa perangkat komunikasi utama atau penerangan yang terpasang atau personel ATC di lokasi) kami terkesan dengan fasilitas tersebut jika dibandingkan dengan bangunan yang agak bobrok di bandara Dili. Pendekatan ke lapangan terbang dari pantai menyajikan jalur penerbangan yang jelas namun perbukitan di selatan dan Gunung Macebien di kejauhan menunjukkan elevasi tanah yang harus dipertimbangkan saat lepas landas ke arah selatan.

KEADAAN GENTING DI BANDARA BAUCAU

Pada saat kedatangan kami terkejut mendapatkan izin pendaratan dari menara oleh seseorang dengan aksen Australia. Setelah mendarat kami bertemu dengan orang di menara dan ternyata dia adalah seorang tentara UDT Timor yang sebelumnya adalah seorang polisi militer dan pernah berlatih di Sydney. Dia kemudian menjadi penerjemah dan kontak tidak resmi kami di bandara Baucau. Penumpang dari tim Palang Merah berangkat untuk melakukan inspeksi ke dalam kota dan fasilitasnya serta bertemu dengan personel Palang Merah lainnya yang ditempatkan di kota. Sebagian kecil tentara UDT berada di lapangan terbang di bawah komando polisi. Meskipun sangat gugup, mereka ramah dan kami dapat melakukan percakapan terbatas dengan mereka sambil menunggu penumpang kami kembali. Kami menemukan polisi itu berkepala dingin dan relatif terkendali mengingat situasi tentang adanya laporan pasukan Fretilin bergerak cepat dari barat di sepanjang jalan pantai dari Dili. Dia menyatakan keprihatinannya dengan potensi kehancuran kota, rumah sakit kecil dan biara/panti asuhan dan adanya laporan tentang kemungkinan kekejaman Fretilin yang telah dilakukan di kota-kota lain antara Dili dan Baucau. Setelah tim Palang Merah kembali, kami diberitahu tugas kami sekarang termasuk mengevakuasi Biarawati Katolik dan anak-anak dari panti asuhan dan beberapa wanita. Kami terpaksa harus meninggalkan dua biarawati yang mengunjungi desa-desa terpencil pada saat evakuasi. Kami berangkat ke Darwin dengan mengangkut 30 pengungsi dan dengan tensi yang semakin meningkat berkaitan dengan situasi militer yang sedang berlangsung. Pada saat kedatangan, kami telah terbang selama 6,8 jam dan melakukan briefing untuk menginformasikan peristiwa hari itu dan kemungkinan implikasinya untuk penerbangan yang sedang berlangsung. 

Deretan pesawat Caribou AU Australia. (Sumber: https://www.pinterest.com/)
Keirman French bersama para prajurit Fretilin di bandara Dili, 1975. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Pada tanggal 03 September 1975, para awak ditempatkan dalam kondisi siaga di Darwin dan pesawat mendapatkan beberapa perawatan rutin sementara negosiasi berlanjut di Pulau Atauro untuk mencoba dan mendapatkan kesepakatan gencatan senjata sehingga transisi dapat terjadi tanpa konfrontasi militer lebih lanjut. Pada tanggal 04 September 1975, kami melanjutkan tugas seperti biasa antara Darwin, Dili dan Baucau tetapi diperintahkan oleh OC Darwin Base untuk hanya mengevakuasi dua Biarawati dan personel Palang Merah yang tersisa. Terdapat peningkatan kekhawatiran tentang apa akan kami hadapi karena tidak ada informasi intelijen baru yang dikeluarkan oleh Canberra bagi kami untuk menilai situasi terkini di Timor atau kemajuan negosiasi yang berlangsung. Cuaca saat itu masih bagus dan sektor penerbangan antara Darwin, Dili ke Baucau lancar. Setibanya di Baucau situasi sangat tegang dan tidak terduga. Saat kami mematikan mesin pesawat, kami melihat sederet senjata tergeletak rapi di apron dan bendera Australia serta bendera putih tanda menyerah berkibar dari atas menara kontrol. Selain milisi UDT, terdapat sekelompok warga sipil; termasuk perempuan dan anak-anak; berkerumun di sekitar beberapa truk di dasar menara. Kami lalu melaporkan situasi melalui radio HF RAAF dan meminta agar kami dipantau selambat-lambatnya dalam waktu 30 menit sembari kami menilai situasi. Untuk menambah ketegangan, polisi UDT memberitahu kami bahwa pasukan Fretilin dilaporkan hanya berada 5 mil (8 km) di sebelah barat lapangan terbang. Ketika kami menanyakan apa yang akan terjadi, kami diberitahu bahwa adanya kemungkinan pengaturan negosiasi penyerahan antara Tuan Michael Darby (wakil Masyarakat Australia untuk Bantuan Antar Negara-Timor), para pemimpin UDT di Baucau dan para pemimpin Fretilin. Telah dilaporkan bahwa sudah disepakati bahwa jika UDT menyerahkan senjata mereka maka Fretilin akan menghormati penyerahan tersebut dan penduduk setempat akan dipastikan aman. (Komentar Penulis – Pengaturan penyerahan ini dan mereka yang terlibat tidak dapat diverifikasi.) 

Bandara Baucau. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)
Untuk memantau situasi dan berkomunikasi dengan Pangkalan di Darwin, para crew Caribou RAFF menggunakan perangkat radio HF. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)

Kami lalu memutuskan untuk memasuki menara ATC dengan polisi untuk mendapatkan pandangan yang lebih baik dari daerah sekitarnya (yang dalam retrospeksi mungkin bukan keputusan yang bijaksana karena bisa membuat kami menjadi target penembak jitu). Memasuki menara kami menemukan tangga menuju ke area pengamatan yang penuh dengan kotak-kotak bahan peledak. Kami lalu segera memutuskan bahwa tindakan yang lebih aman adalah tetap berada di darat dekat dengan pesawat. Polisi itu kemudian mendekati kami dan meminta kami mendesak untuk menerbangkan wanita dan anak-anak lebih jauh ke timur sehingga setidaknya mereka aman dari pertempuran yang akan segera terjadi. (Komentar Penulis – mungkin ke tempat pendaratan di Fuiloro, sebuah kota sekitar 30 nm/55,56 km timur Baucau) Polisi lalu menyarankan bahwa penerbangan evakuasi lebih lanjut akan diperlukan untuk mengevakuasi warga sipil lainnya terutama anak-anak dan perempuan yang tersisa di panti asuhan. Saya pikir itu terjadi sekitar jam 4 sore dan setelah menerima permintaan evakuasi ini, kami melaporkan situasinya ke Darwin lewat jaringan radio HF RAAF. Kami diberi tahu bahwa permintaan kami untuk arahan lebih lanjut sedang diteruskan ke Canberra dan kami harus bersiap untuk memberikan respon, tetapi mungkin perlu waktu. Tanpa sumber daya listrik eksternal dan dengan daya tinggi yang digunakan oleh frekuensi HF; kami memutuskan bahwa kami harus menghemat baterai kami dan menelepon kembali setelah waktu yang disepakati. Setelah beberapa waktu (saya kira itu sekitar 30-40 menit) kami menjalin kontak radio HF dengan RAAF dan diberitahu bahwa ada kesulitan dalam menemukan aparat militer atau pemerintah yang dapat membuat keputusan dan pada saat itu kami tidak memiliki wewenang untuk mengevakuasi warga sipil dan hanya ditugaskan untuk melakukan seperti yang diinstruksikan dan mengevakuasi Biarawati dan personel Palang Merah.

PEMBAJAKAN

Dengan enggan kami pergi ke polisi untuk memberitahunya bahwa otorisasi dari pihak Canberra untuk melakukan evakuasi tambahan belum diberikan. Saat polisi itu memberi tahu pihak tentara mengenai tanggapan ini, mereka panik dan seorang prajurit dengan keluarganya di kerumunan berjalan ke arah deretan senjata yang tergeletak di tanah, mengambil pistol dan granat, mengarahkannya ke kami dan meminta kami memuat pesawat dengan wanita, anak-anak dan warga sipil lainnya serta membawa mereka ke Darwin. Situasinya sekarang jelas sangat tidak stabil dan dengan pilihan aman yang minimal bisa meredakan ketegangan, kami memutuskan bahwa tindakan yang paling aman adalah melakukan apa yang mereka minta. “Kami enggan dibajak,” kata Browne. “Tapi kami bersimpati pada mereka, kalau boleh saya katakan.” Kami kemudian menyuruh biarawati dan orang-orang Palang Merah untuk naik ke pesawat dan kemudian dengan pihak polisi dan Bill memuat perempuan dan anak-anak, dan kemudian laki-laki; (beberapa membawa tas kerja yang dipegang kuat di tangan) untuk mengisi semua kursi dan lorong kabin. Dengan pengalaman perang Bill di Vietnam, dia sangat tenang dan berkata kepada pihak polisi bahwa kami akan mengevakuasi orang-orang asalkan tidak ada senjata atau senjata lain (termasuk granat) yang dibawa ke dalam pesawat. Ini kemudian disetujui dan berbagai pistol kecil dilemparkan ke landasan saat orang-orang itu naik. Sekitar satu jam berlalu ketika kami memuati kedalam pesawat kapasitas dan tentara itu mulai tenang, namun akibatnya kami melewatkan panggilan operasional-normal RAAF yang dijadwalkan (ini menyebabkan tingkat kecemasan yang tinggi di Darwin). Jumlah total pengungsi yang dibawa adalah 42 orang (19 laki-laki, 13 perempuan dan 10 anak-anak), dua biarawati dan dua pejabat serta tiga awak kami, sehingga total ada 49 orang. Caribou sendiri sebenarnya dimaksudkan untuk membawa tidak lebih dari 32 penumpang. Semua posisi dengan sabuk pengaman di kabin diisi dengan orang-orang dewasa dan kemudian memuat anak-anak dalam posisi di kursi di antara setiap orang dewasa untuk dijagai oleh orang-orang dewasa; bukan sebuah pengamanan yang ideal, tetapi lebih baik daripada tali kargo yang tidak dapat dibuka jika terjadi keadaan darurat. Orang-orang dewasa yang tersisa kemudian duduk di lantai lorong. 

Kopral Bill Crouch dengan beberapa senjata milisi UDT yang menyerah di Lapangan Udara Baucau. Saat panik para pengungsi berebutan mengambil senjata untuk memaksakan evakuasi ke Australia. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)

Orang Timor memang bertubuh kecil tetapi berat pesawat diperkirakan sekitar 32.000 pon (14.515 kg) yang berarti kami sekitar 3.500 pon (1.587,6 kg) di atas berat maksimum untuk lepas landas dan mendarat. Mengetahui kemampuan menanjak pesawat menghilang jika kami mengalami kegagalan mesin setelah lepas landas dalam kondisi panas dan membawa beban berat, serta angin bertiup dari selatan. Kami kemudian harus lepas landas menuju tanah yang menanjak. Untungnya landasannya mulus dan panjang dan kami mengudara dengan banyak jarak yang tersisa. Pesawat menanjak sangat lambat dan kami akhirnya mencapai ketinggian jelajah sekitar 5000 kaki (1.524 meter) dan tetap di ketinggian itu untuk menjalani perjalanan jarak jauh 350 nm (648 km) kembali ke Darwin. Kecepatan tidaklah penting karena dengan kecepatan menanjak yang berat dan membutuhkan waktu panjang, perkiraan waktu penerbangan ke Darwin adalah 2,7 jam, kami memperkirakan kami akan tiba di Darwin dengan hanya menyisakan bahan bakar sekitar 600 lbs (1 jam penerbangan) di dalam tangki. Selama pesawat menanjak kami menghubungi radio HF RAAF. Ironisnya, setelah mengalami frustrasi dan penundaan berkelanjutan yang kami alami dalam mendapatkan persetujuan untuk melakukan evakuasi, kami merasa puas dengan memberi tahu bahwa “situasi evakuasi di Baucau telah diselesaikan karena kami telah dibajak di bawah todongan senjata”. Kami kemudian melanjutkan untuk memberikan situasi operasional kami, waktu kedatangan, jumlah dan kondisi penumpang, dll serta meminta agar kami dilayani pada saat kedatangan (sambil menebak-nebak apakah hal itu akan diberikan). Di sisi lain, bagi banyak orang Timor yang ada di dalam pesawat, ini adalah perjalanan pertama mereka menggunakan pesawat.

Berita mengenai pembajakan pesawat Caribou RAAF di The Guardian, September 1975. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Waktu itu sangat panas (tidak ada AC yang dingin di Caribou) dan dengan kabin penuh sesak dengan orang-orang, suhu udara internal sungguh menyesakkan. Bill kemudian membagikan air dan makanan dari ransum darurat — botol air, beberapa batang permen loli dan kaleng spam dan nanas — yang kami bawa. Air dijatah dan anak-anak diberikan prioritas pertama. Secara keseluruhan, para penumpang sekarang dalam keadaan tenang dan tidak mengalami masalah karena mereka tahu mereka akan pergi ke Darwin dan aman dari ancaman Fretilin. Bagi kami, adrenalin butuh beberapa saat untuk mereda. Hari sudah gelap ketika kami akhirnya tiba di atas Darwin dengan sisa bahan bakar satu jam, kami lalu meminta persetujuan pendaratan tetapi diberitahu untuk tetap terbang sirkuit guna mengizinkan polisi lokal dan federal serta pejabat pemerintah dari berbagai instansi untuk menyelesaikan pengaturan kedatangan pesawat kami. Kami terbang sirkuit dan mengganggu pelanggan di teater drive-in lokal saat kami terbang melawan arah angin di atas mereka. Kami bertanya kepada Tower setiap kali kami bisa mendarat karena bahan bakar kami hampir habis. Para prajurit di dalam pesawat sekarang menjadi gelisah lagi sehingga Bill memberinya sebatang rokok dan dia tampak sedikit tenang. Akhirnya ketika lampu peringatan bahan bakar menipisnya bahan bakar menyala dengan berat tinggal 400 lbs, keputusan bulat diambil kru, bahwa kami akan mendarat apapun yang terjadi dan memberi tahu ATC bahwa kami sudah menerima peringatan menipisnya bahan bakar dan akan mendarat. Ini tentu saja segera disetujui dan kami disuruh mendarat dan meluncur ke Daerah Pengisian Bom (BRA) yang terpencil di ujung timur landasan pacu. BRA dinyalakan dengan lampu sorot, sementara polisi dan bus disiagakan untuk mengangkut para pengungsi. Dengan kabin yang penuh dengan orang, kami tetap tinggal di kokpit sementara Bill berkoordinasi dengan para polisi untuk menurunkan semua pengungsi. Mereka kemudian diturunkan dari pintu ekor pesawat dan dimasukkan ke dalam bus; kami tidak akan pernah melihat mereka lagi. Kami kemudian membawa pesawat A4-140 kembali ke tempat parkir normal kami di landasan RAAF, mematikan, mengamankan pesawat untuk malam itu, untuk menghindari pers dan disambut oleh OC Base Darwin dengan sekotak bir. Sungguh hari yang menegangkan. Kedatangan pesawat yang dibajak itu kemudian tersebar di seluruh halaman depan NT News, dan diberitakan sampai sejauh Akron, Ohio, Tampa Bay, Florida, dan Calgary di Kanada.

SELEPAS PEMBAJAKAN

Dari tanggal 5-7 September 1975, tidak ada penerbangan selama beberapa hari berikutnya karena kami sedang ditanyai dan diwawancarai oleh orang-orang hukum untuk menentukan situasi hukum mengenai pengambilalihan pesawat dan awak secara tidak sah oleh orang bersenjata dan apakah itu merupakan pembajakan. Ini untuk menentukan tuduhan apa yang akan dikenakan terhadap para prajurit yang memulai pembajakan dan siapa; bersama dengan para polisi; yang berada di pesawat selama penerbangan. Pada tanggal 10-11 September 1975, setelah seminggu berlalu melewati “ketegangan dan drama”, kami digantikan oleh kru baru yang menerbangkan pesawat bernomor A4-199. Skema cat putih khas pesawat pengganti dan tanda Palang Merah disajikan di halaman surat kabar sebagai pesawat yang ditugaskan untuk memberikan dukungan Palang Merah. Awak, atau pesawat A4-140 berskema cat hijau dengan tanda palang merah off-set, tidak pernah difoto secara resmi, disamping juga tidak ada berita lebih lanjut yang disajikan selain dari postingan yang terdiri dari dua puluh kata di laporan “Berita RAAF” berikutnya. Para awak pesawat A4-140 lalu kembali ke Richmond melewati Alice Springs dan Dubbo. Kami sementara mendengar bahwa baik polisi UDT maupun tentara yang melakukan pembajakan telah dibebaskan dari tuduhan melakukan “highjack” karena terbukti tidak ada senjata di dalam pesawat ketika mengudara. Polisi di menara kontrol yang telah menjadi kontak tidak resmi kami di Baucau kemudian menyewa pesawat sipil ringan dan kembali ke Baucau hanya untuk dibunuh beberapa minggu kemudian di bagian timur negara itu. (Komentar Penulis – Sebuah laporan yang belum diverifikasi yang kami dengar kemudian mengatakan bahwa pasukan Fretilin telah menyerang Baucau dan kekejaman besar telah dilakukan di dalam kota dan panti asuhan. Membaca berbagai dokumen referensi kemudian menunjukkan bahwa ini mungkin dilakukan bukan oleh Fretilin tetapi mungkin melibatkan pasukan Indonesia. yang menyerbu dari arah Timor Barat pada bulan Oktober 1975.) 

Caribou RAAF pengganti dengan skema warna putih dan palang warna merah. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)
Keirman French, sang pilot, ingat bagaimana dia diancam dengan todongan senjata oleh salah satu tentara. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Di Australia, dua hari setelah pembajakan berbagai surat kabar melaporkan bahwa pemerintah Whitlam sedang “mencari tahu” keterlibatan orang-orang Australia dalam insiden tersebut. Namun akhirnya tidak ada kelanjutan dari penyelidikan tersebut. Di Canberra, pemerintah Whitlam mempertimbangkan apa yang harus dilakukan dengan para pengungsi. Dokumen yang dideklasifikasi menunjukkan bahwa pandangan perdana menteri adalah bahwa perempuan dan anak-anak harus diperlakukan sebagai “pengungsi biasa”, sementara “pelaku pembajakan harus mendapatkan hukuman yang sesuai”. Namun sehari setelah pesawat mendarat, menteri imigrasi, senator James McClelland dari NSW, memutuskan bahwa semua pengungsi kecuali satu orang harus diberikan visa. Pada akhirnya, mereka semua mendapatkannya. Para pengungsi laki-laki Timor kemudian dibawa ke penjara Fannie Bay, sementara perempuan dan anak-anak ditahan di Carpentaria College, dimana dari dokumen pemerintah dari masa itu yang dipublikasikan, digambarkan sebagai “penahanan ringan”. Itu jelas tidak terasa seperti pusat penahanan. “Kami dirawat dengan sangat baik,” kata salah seorang pengungsi. Para pengungsi dapat memilih pakaian dan barang-barang lainnya yang mereka butuhkan. “Saya ingat ibu saya diberi lipstik Avon,” katanya. “Itu adalah warna persik yang menakjubkan, pada tahun 1975.” Sebagian pengungsi lalu menetap di Australia. 

Abel Guterres, yang kemudian menjadi duta besar Timor-Leste untuk Australia, percaya bahwa perjalanannya dengan pesawat yang dibajak itu menyelamatkan hidupnya. (Sumber: https://withoneseed.org.au/)
Pesawat Caribou nomor A4-140, yang dibajak itu. (Sumber: https://www.radschool.org.au/)

Sementara itu, rincian dari pembajakan (menjadi satu-satunya dalam sejarah AU Australia) sebenarnya tidak pernah dirilis ke publik tetapi sayangnya, berdasarkan penelitian kemudian, tampaknya menunjukkan bahwa pemerintah telah menghentikan proses evakuasi dan tidak pernah dimaksudkan bahwa kami akan membantu proses evakuasi lebih lanjut para pengungsi dari Baucau. Sebagai informasi akhir, pesawat pengganti A4-199 memiliki skema cat putih karena telah kembali ke Australia pada bulan Juli 1975 setelah menjalani rotasi penugasan 6 bulan di Kashmir untuk memberikan dukungan bagi operasi pasukan Penjaga Perdamaian PBB di zona demiliterisasi antara Pakistan dan India (Konflik ini sampai sekarang masih belum terselesaikan). Sementara itu berbicara mengenai insiden Caribou ini, Abel Guterres, yang kemudian menjadi duta besar Timor-Leste untuk Australia, percaya bahwa perjalanannya dengan pesawat yang dibajak itu menyelamatkan hidupnya. “Banyak teman saya yang terbunuh,” katanya. “Mereka pergi ke garis depan dan mati. Saya akan berada di tempat yang sama (kalau tidak ikut mengungsi dengan pesawat tersebut).” Selepas insiden, French tetap bertugas di angkatan udara Australia selama tiga tahun lagi, menjadi kapten pesawat Hercules, dan kemudian menerbangkan pesawat Boeing 747 untuk Maskapai Qantas sebelum dia pensiun. Sementara itu, Browne, ia meninggalkan angkatan udara pada tahun 1988, setelah naik pangkat menjadi pemimpin skuadron. Dia sebelumnya sempat menderita kanker, sebelum pensiun. Mantan rekan mereka Crouch meninggal pada 2012.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

East Timor-September 1975

Hijack of Caribou A4-14 Article by Sqn Ldr. (Ret’d.) Gordon Browne A.M, and Cpl Bill Crouch.

https://www.radschool.org.au/magazines/Vol58/Page14.htm

‘It was life or death’: the plane-hijacking refugees Australia embraced by Luke Henriques-Gomes, Sat 16 Jan 2021 14.00 EST

https://www.google.com/amp/s/amp.theguardian.com/australia-news/2021/jan/16/it-was-life-or-death-the-plane-hijacking-refugees-australia-embraced

East Timor 1975–99

https://www.awm.gov.au/learn/schools/indonesia/east-timor

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Indonesian_invasion_of_East_Timor

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *