Perang Timur Tengah

Pertempuran Latrun: Kekalahan Pahit Israel Atas Legiun Arab Dalam Perang Tahun 1948

Pertempuran Latrun adalah serangkaian pertempuran antara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dan Legiun Arab Yordania di pinggiran Latrun antara tanggal 25 Mei hingga 18 Juli 1948, selama Perang Arab-Israel tahun 1948. Latrun mengambil namanya dari biara yang berada dekat dengan persimpangan dua jalan raya utama: Yerusalem ke Jaffa/Tel Aviv dan Gaza ke Ramallah. Selama periode kekuasaan Mandat Inggris, Latrun menjadi markas Kepolisian Palestina dan benteng Tegart. Resolusi PBB Nomor 181 kemudian menempatkan wilayah ini ke dalam negara Arab yang diusulkan. Pada bulan Mei 1948, wilayah ini berada di bawah kendali Legiun Arab. Latrun mengawasi satu-satunya jalan yang menghubungkan wilayah Yerusalem yang dikuasai Yishuv (orang-orang Yahudi Palestina) ke area yang dikuasai Israel, dimana hal ini menjadikan Latrun strategis dalam pertempuran untuk memperebutkan Yerusalem. Namun, setelah menyerang Latrun pada lima kesempatan terpisah, militer Israel pada akhirnya tidak dapat merebut Latrun, dan wilayah ini akan tetap berada di bawah kendali Yordania sampai Perang Enam Hari tahun 1967. Pertempuran Latrun merupakan kemenangan Yordania yang menentukan sehingga Israel memutuskan untuk membangun jalan pintas di sekitar Latrun sehingga memungkinkan adanya pergerakan kendaraan antara Tel Aviv dan Yerusalem, sehingga menghindari jalan utama yang melewati Latrun. Terlepas dari itu, selama Pertempuran Yerusalem, penduduk Yahudi di Yerusalem masih dapat dipasok oleh jalan baru, yang dinamai sebagai “Jalan Burma”. Pertempuran Latrun bagaimanapun akan meninggalkan jejak pahit pada imajinasi kolektif bangsa Israel dan merupakan bagian dari “mitos pendirian” Negara Yahudi itu. Serangan terhadap Latrun merenggut nyawa 168 tentara Israel, tetapi beberapa catatan lain menggelembungkan jumlah ini hingga 2.000 orang. Pertempuran di Latrun juga membawa makna simbolis karena adanya partisipasi para penyintas Holocaust. Saat ini, bekas situs medan pertempuran itu memiliki museum militer Israel yang didedikasikan untuk Korps Lapis Baja Israel dan peringatan perang Palestina 1947–1949.

Benteng markas polisi di Latrun. Pada bulan mei-juli 1948, tempat ini menjadi ajang pertempuran sengit antara tentara Israel dan pasukan Legiun Arab. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

LATAR BELAKANG

Setelah diadopsinya Rencana Pemisahan PBB untuk wilayah Palestina pada bulan November 1947, perang meletus di wilayah Mandat Inggris atas Palestina. Orang-orang Yahudi yang tinggal di Yerusalem merupakan salah satu titik lemah Yishuv dan penyebab utama keprihatinan para pemimpinnya. Dengan hampir 100.000 penduduk, seperenam dari total populasi orang-orang Yahudi di wilayah Mandat, kota ini terisolasi di tengah-tengah wilayah yang ada di bawah kendali orang-orang Arab. Pada bulan Januari, dalam konteks “Perang memperebutkan Jalan”, Holy War Army pimpinan Abd al-Qadir al-Husayni mengepung bagian kota Yahudi dan menghentikan konvoi yang lewat antara Tel Aviv dan Yerusalem. Pada akhir bulan Maret, taktik itu membuktikan signifikansinya dan membuat akses ke kota itu terputus. Haganah (militer Israel) kemudian melancarkan Operasi Nachshon, pada tanggal 4–20 April, dan berhasil memaksa melewati kepungan itu dengan sejumlah konvoi besar. Setelah kematian Abd al-Qader al-Husayni di al-Qastal, komite militer Liga Arab memerintahkan kekuatan Arab lainnya di wilayah Palestina, yakni Tentara Pembebasan Arab, untuk memindahkan pasukannya dari Samaria (bagian utara Tepi Barat saat ini) ke jalan Yerusalem dan daerah Latrun, Ramla, dan Lydda. Pada pertengahan bulan Mei, situasi bagi 50.000 penduduk Arab di dalam kota dan 30.000–40.000 di lingkungan terpencil tidak juga lebih baik. Setelah pembantaian di Deir Yassin dan serangan oleh orang-orang Yahudi pada bulan April yang memicu eksodus besar-besaran orang-orang Arab Palestina di kota-kota lainnya, penduduk Arab di Yerusalem ketakutan dan khawatir akan nasibnya. Dengan kepergian Inggris pada tanggal 14 Mei, Haganah melancarkan beberapa operasi untuk menguasai kota dan para pemimpin Arab setempat meminta Raja Abdullah dari Yordania untuk mengerahkan pasukannya untuk membantu mereka. Pada tanggal 15 Mei, situasi di Negara Israel yang baru dideklarasikan dan wilayah Palestina yang masih tersisa kacau balau dengan kepergian tentara Inggris. Pasukan Yahudi sebenarnya memiliki keunggulan atas pasukan Arab lawannya, tetapi mereka takut akan intervensi tentara Arab yang telah diumumkan pada hari itu.

Rencana Pemisahan PBB untuk wilayah Palestina pada bulan November 1947. Orang-orang Yahudi yang tinggal di Yerusalem merupakan salah satu titik lemah Israel. Dengan hampir 100.000 penduduk, seperenam dari total populasi orang-orang Yahudi di wilayah itu, kota ini terisolasi di tengah-tengah wilayah yang ada di bawah kendali orang-orang Arab. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)
Abd al-Qadir al-Husayni dengan pasukannya. Pada bulan Januari, dalam konteks “Perang memperebutkan Jalan”, Holy War Army pimpinan Abd al-Qadir al-Husayni mengepung bagian kota Yahudi dan menghentikan konvoi yang lewat antara Tel Aviv dan Yerusalem. Pada akhir bulan Maret, taktik itu membuktikan signifikansinya dan membuat akses ke kota itu terputus. (Sumber: http://www.newscast-pratyaksha.com/)
Konvoi yang membawa makanan dan perbekalan ke Yerusalem yang terkepung. Lewat Operasi Nachshon, pada tanggal 4–20 April, orang-orang Israel berhasil memaksa melewati kepungan dengan sejumlah konvoi besar masuk ke Yerusalem. (Sumber: http://www.newscast-pratyaksha.com/)

GEOGRAFI

Latrun terletak di persimpangan antara jalan Tel Aviv–Ramla–Yerusalem dan Ramallah–Isdud di area yang dialokasikan untuk negara Arab oleh Rencana Pemisahan PBB. Pada saat itu, jalan menuju Yerusalem memasuki wilayah kaki bukit Yudea di Bab al-Wad (Sha’ar HaGai). Benteng di tempat itu mendominasi Lembah Ayalon, dan kekuatan yang mendudukinya mengontrol jalan menuju Yerusalem. Nilai strategis Latrun sudah ada sejak ribuan tahun lalu, sehingga menjadikannya tempat dari banyak pertempuran sepanjang sejarah, sedari zaman Alkitab. Di sini, Yosua berdoa agar Tuhan membuat matahari berhenti sehingga dia bisa menyelesaikan pertempuran mengalahkan orang Amori (Yosua 10:12-13). Ada juga bukti bahwa Latrun adalah situs yang sama dengan Emaus, di mana Yesus menampakkan diri kepada dua murid-Nya setelah Kebangkitan-Nya (Lukas 24:13-35), dan pada tahun 167 SM Lembah Ayalon menjadi tempat Yehuda Maccabi memenangkan kemenangan penting atas pasukan Dinasti Seleukos. Para ksatria Templar juga membangun sebuah benteng di sana pada tahun 1187. Pada akhir tahun 1930-an di wilayah Mandat Palestina, terjadi serangkaian kerusuhan yang melibatkan penduduk Arab, komunitas Yahudi dan pemerintahan Inggris. Karena itu, Angkatan Darat Inggris membangun serangkaian benteng ‘Tegart‘ (dinamai menurut Sir Charles Tegart, mantan polisi di India, yang menasihati Inggris tentang cara menumpas pemberontakan Arab di Palestina), yang pada dasarnya adalah kantor polisi yang dibentengi di titik-titik strategis. Latrun adalah situs alami untuk benteng Tegart karena pemandangannya yang strategis ke arah jalan raya utama Tel Aviv-Yerusalem. Benteng ini dilengkapi dengan meriam kaliber 25 pounder, senjata anti-tank PIAT, sejumlah besar senapan mesin dan mortir. Pada tahun 1948, Latrun terdiri dari kamp penahanan dan kantor polisi berbenteng yang diduduki oleh tentara Inggris, sebuah biara Trappist, dan beberapa desa Arab, yakni: Latrun, Imwas, Dayr Ayyub dan Bayt Nuba. Selama perang, setelah kematian Abd al-Qadir al-Husayni, pasukan Tentara Pembebasan Arab memposisikan diri mereka di sekitar benteng polisi dan desa-desa sekitarnya, tanpa menghiraukan orang-orang Inggris. Mereka secara teratur menyerang konvoi pasokan menuju ke Yerusalem. Pada saat itu, baik staf militer Israel maupun Yordania tidak memperhitungkan nilai strategis tempat itu.

Daerah Latrun, 10 Mei 1948. Latrun terletak di persimpangan antara jalan Tel Aviv–Ramla–Yerusalem dan Ramallah–Isdud di area yang dialokasikan untuk negara Arab oleh Rencana Pemisahan PBB. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Penembak meriam Legiun Arab dan senjata mereka di atap benteng Tegart di Latrun, 1948. Benteng ini dilengkapi dengan meriam kaliber 25 pounder, senjata anti-tank PIAT, sejumlah besar senapan mesin dan mortir. (Sumber: https://israeled.org/)
Biara Trappist di Latrun, 1948. (Sumber: https://www.jewishvirtuallibrary.org/)

OPERASI MACCABI

Pada tanggal 8 Mei, Haganah melancarkan Operasi Maccabi untuk menghadapi Tentara Pembebasan Arab dan laskar Palestina yang menduduki beberapa desa di sepanjang jalan Yerusalem dan berupaya mencegah pasokan kembali komunitas Yahudi di Yerusalem. Brigade Givati (di sisi barat) dan Brigade Harel (di sisi timur) terlibat dalam pertempuran, terutama di daerah Latrun. Antara tanggal 9–11 Mei, satu batalion brigade Harel menyerang dan merebut desa Bayt Mahsir, yang digunakan oleh orang-orang Palestina sebagai pangkalan untuk menguasai Bab al-Wad. Batalyon “Sha’ar HaGai” dari brigade Harel juga mengambil posisi di perbukitan di utara dan selatan jalan. Mereka harus menahan tembakan artileri Tentara Pembebasan Arab dan tembakan kendaraan lapis baja Inggris yang “tidak biasa mereka aalami”, tetapi mereka berhasil mempertahankan posisinya dan bercokol di sana. Di sebelah barat, pada tanggal 12 Mei, pasukan brigade Givati merebut kamp penahanan Inggris di jalan menuju Latrun, tetapi meninggalkannya keesokan harinya. Antara tanggal 14 dan 15 Mei, batalion ke-52 merebut desa Abu Shusha, Al-Na’ani dan al-Qubab di utara Latrun, sehingga memotong zona dari Ramla, kota Arab utama di daerah tersebut. Penulis Prancis, Lapierre dan penulis asal Amerika, Collins juga melaporkan bahwa satu peleton brigade Givati menembaki dan kemudian menembus benteng tanpa menemui perlawanan pada pagi hari tanggal 15 Mei. Sekali lagi di sebelah timur, pada tanggal 15 Mei, pasukan brigade Harel merebut Dayr Ayyub, yang mereka tinggalkan keesokan harinya. Pada saat inilah para perwira Israel di lapangan menyadari nilai strategis dari Latrun. Sebuah laporan kemudian dikirim dari brigade OC Harel ke OC Palmach yang menyimpulkan bahwa “Persimpangan di Latrun menjadi titik fokus utama dalam pertempuran memperebutkan Yerusalem”, tetapi “pendapat itu tidak ada dalam pemikiran pemimpin militer Israel satu minggu sebelumnya”. Sementara itu, karena gerak maju Tentara Mesir, brigade Givati mendapat perintah untuk ditempatkan kembali di front yang lebih selatan, dan brigade Harel untuk tetap berada di sektor Yerusalem. Keputusan untuk meninggalkan daerah tersebut, dan fakta tidak adanya perencanaan untuk kepentingan strategisnya, kemudian menjadi sumber kontroversi antara kepala operasi Haganah Yigael Yadin dan Yitzhak Rabin, komandan brigade Harel. Saat itu, Yitzhak Rabin memprotes dan ingin menempatkan sebuah pasukan untuk mempertahankan Latrun, namun pendapatnya ditolak.

Area Latrun saat Operasi Maccabi. Dalam Operasi ini, pasukan Israel sebenarnya dengan mudah menguasai wilayah Latrun, namun kemudian meninggalkannya karena gagal menyadari nilai strategis wilayah ini. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Delegasi Israel pada perundingan Perjanjian Gencatan Senjata tahun 1949. Dari kiri ke kanan: Yehoshafat Harkabi, Aryeh Simon, Yigael Yadin, and Yitzhak Rabin. Keputusan untuk meninggalkan daerah Latrun, dan fakta tidak adanya perencanaan untuk kepentingan strategisnya, kemudian menjadi sumber kontroversi antara kepala operasi Haganah Yigael Yadin dan Yitzhak Rabin, komandan brigade Harel. Saat itu, Yitzhak Rabin memprotes dan ingin menempatkan sebuah pasukan untuk mempertahankan Latrun, namun pendapatnya ditolak. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)

LEGIUN ARAB MENGAMBIL ALIH

Selama kekacauan pada hari-hari terakhir Mandat Inggris dan dengan “masuk ke dalam perang” para tentara Arab, posisi di Latrun berpindah tangan tanpa pertempuran. Pertama, sekitar tanggal 14–15 Mei, perintah diberikan kepada Fawzi al-Qawuqji dan Tentara Pembebasan Arabnya untuk mundur dan menyerahkan tempat itu kepada Legiun Arab. Menurut Yoav Gelber, kepergian Tentara Pembebasan Arab ini terjadi sebelum kedatangan pasukan Yordania di Latrun dan posisi itu hanya dipertahankan oleh 200 laskar. Benny Morris bagaimanapun menunjukkan bahwa satu peleton legiuner Kompi ke-11 bersama dengan beberapa laskar ada di sana dan mengambil alih benteng itu. Memang, sebagai pasukan tambahan Inggris di wilayah Mandat Palestina, beberapa elemen Legiun Arab bertugas di Palestina selama periode Mandat. Inggris telah berjanji bahwa unit-unit ini akan ditarik sebelum akhir bulan April, tetapi karena “alasan teknis”, beberapa kompi tidak meninggalkan wilayah itu. John Bagot Glubb, komandan Legiun Arab, membentuk mereka menjadi satu divisi dengan dua brigade, masing-masing terdiri dari dua batalyon infanteri, di samping beberapa kompi infanteri independen. Setiap batalyon diberi sebuah kompi mobil lapis baja, dan unit artileri dibuat menjadi batalion terpisah dengan tiga baterai. Brigade “palsu” lainnya dibentuk untuk membuat orang Israel percaya bahwa itu adalah brigade cadangan, sehingga menghalangi mereka untuk berniat melakukan serangan balik ke wilayah Transyordania. 

John Bagot Glubb, komandan Legiun Arab dengan cepat menyadari (“pris conscience“) nilai strategis Latrun dalam Pertempuran Yerusalem. (Sumber: https://www.shutterstock.com/)

Pada tanggal 15 Mei, negara-negara Arab memasuki perang, dan kontingen Suriah, Irak, Yordania dan Mesir dikerahkan di wilayah Palestina. Di antaranya, korps ekspedisi Yordania sebagian besar dibentuk oleh pasukan elit “encadrée” yang dimekanisasi oleh perwira Inggris dan diberi nama Legiun Arab. Unit Ini terdiri dari: 

  • Brigade 1 yang terdiri dari Batalyon 1 dan 3 di daerah yang mengarah ke Nablus;
  • Brigade ke-3 di bawah pimpinan Kolonel Ashton yang terdiri dari Batalyon ke-2 di bawah komando Mayor Geoffrey Lockett dan batalyon ke-4 di bawah pimpinan Letnan Kolonel Habes al-Majali yang mengambil posisi di Ramallah; 
  • Batalyon ke-5 dan ke-6 bertindak secara independen.
Letnan Kolonel Habes al-Majali, komandan resimen ke-4 Legiun Arab. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Legiun Arab saat itu adalah tentara paling terlatih baik di Timur Tengah. Unit ini telah dibuat oleh Inggris, yang meskipun menjadi tentara Kerajaan Transyordania, namun sebagian besar masih dipimpin oleh perwira Inggris, dan menerima pasokan berlimpah dari Inggris di bagian awal Perang Kemerdekaan Israel. Sekitar 2/3 dari semua perwiranya, dan 49 dari 51 perwira senior Legiun adalah orang Inggris. Pada tanggal 30 Mei, setelah pertempuran pertama di Latrun, Inggris mengeluarkan perintah bagi personel Inggris untuk meninggalkan Legiun Arab, tetapi ini pada praktiknya tidak terjadi untuk waktu yang cukup lama. 

Legiun Arab pimpinan Glubb pada tahun 1948 adalah tentara paling terlatih baik di Timur Tengah. Unit ini telah dibuat oleh Inggris, yang meskipun menjadi tentara Kerajaan Transyordania, namun sebagian besar masih dipimpin oleh perwira Inggris, dan menerima pasokan berlimpah dari Inggris di bagian awal Perang Kemerdekaan Israel. (Sumber: https://www.pinterest.ca/)

Sementara itu Glubb untuk pertama kalinya menyadari (“pris conscience“) nilai strategis Latrun dalam Pertempuran Yerusalem. Tujuannya ada dua: dia ingin mencegah Israel memperkuat Yerusalem dan memasok kota itu, dan dia ingin “mengalihkan perhatian” untuk menjaga kekuatan Haganah jauh dari kota, sehingga menjamin orang-orang Arab tetap dapat menguasai Yerusalem Timur. Selain Kompi ke-11 yang sudah ada di sana, ia lalu mengirim seluruh Resimen ke-4 ke Latrun. Pada malam hari antara tanggal 15 dan 16 Mei, kontingen pertama yang terdiri dari 40 legiuner yang didukung oleh sejumlah orang-orang Badui yang belum diketahui jumlahnya memperkuat posisi itu, dan resimen lainnya mencapai daerah itu pada tanggal 17 Mei. Pada tanggal 18 Mei, kekuatan Legiun Arab yang dikerahkan di sekitar Latrun dan Bab al-Wad sudah cukup, dan jalan menuju Yerusalem diblokir lagi. Sementara itu Staf umum Israel membutuhkan beberapa hari untuk menilai disposisi sebenarnya dari pasukan Yordania di sekitar Latrun dan Yerusalem karena yang terakhir ini diperkirakan berada di beberapa lokasi di negara itu.

SITUASI DI YERUSALEM

Di Yerusalem, setelah beberapa serangan sukses yang memungkinkan pasukan Yahudi untuk mengambil alih kendali atas bangunan dan benteng yang telah ditinggalkan oleh pasukan Inggris, Glubb Pasha mengirimkan Resimen ke-3 Legiun Arab untuk memperkuat laskar Arab dan melawan pasukan Yahudi. Setelah pertempuran “keras”, posisi orang-orang Yahudi di Kota Tua Yerusalem terancam (ini terasa pada tanggal 28 Mei). Pasukan Arab telah mengepung Yerusalem. Pada tanggal 22 dan 23 Mei, brigade Mesir kedua, yang sebagian besar terdiri dari beberapa batalyon laskar dan beberapa unit tentara reguler, mencapai pinggiran selatan Yerusalem dan terus menyerang Ramat Rachel. Namun Glubb tahu bahwa tentara Israel cepat atau lambat akan lebih kuat darinya dan bahwa dia harus mencegah penguatan brigade Harel dan Etzioni untuk mengamankan Yerusalem Timur. Dia kemudian mengerahkan kekuatannya pada tanggal 23 Mei untuk memperkuat blokade. Tentara Irak, yang pada waktu itu didukung oleh tank, menggantikan unit-unit Legiun Arab di Samaria utara dan mereka dipindahkan ke sektor Yerusalem. Resimen Legiun ke-2 lalu berpindah ke Latrun. Sebuah brigade penuh Yordania kini ditempatkan di daerah itu. Di pihak Israel, beberapa pemimpin kota Yahudi mengirim telegram darurat ke David Ben-Gurion di mana mereka menggambarkan situasinya sebagai putus asa dan bahwa mereka tidak dapat bertahan lebih dari dua minggu. Khawatir bahwa tanpa pasokan kota akan jatuh, Ben-Gurion memerintahkan perebutan Latrun. Keputusan ini tampaknya diperlukan secara strategis tetapi secara politis rapuh, karena Latrun berada di wilayah yang dialokasikan untuk Negara Arab sesuai dengan ketentuan Rencana Pemisahan PBB dan serangan ini bertentangan dengan perjanjian non-agresi, disetujui Raja Abdullah dari Yordania. Keputusan ini juga ditentang oleh Kepala Operasi militer Israel, Yigael Yadin yang menilai bahwa ada prioritas militer lain pada saat itu, khususnya di front selatan Negev, di mana tentara Mesir mengancam Tel Aviv jika Yad Mordechai jatuh. Tapi Ben-Gurion telah menetapkan kebijakan militer Israel. Perbedaan strategi ini pada akhirnya akan mempengaruhi hasil pertempuran, dan terus akan diperdebatkan di Israel selama bertahun-tahun kemudian.

Legiun Arab mengepung Kawasan orang-orang Yahudi di Yerusalem, Mei 1948. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Penjarahan oleh orang-orang Arab di Kawasan Yahudi setelah pengusiran penduduknya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pemandangan jalan menuju Yerusalem memasuki Bab al-Wad dilihat dari posisi Legiun Arab di Latrun. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

OPERASI BIN NUN ALEF

Tugas untuk memimpin Operasi Bin Nun (secara harfiah berarti putra Nun, mengacu pada Joshua, putra Nun, penakluk Kanaan menurut Kitab Yosua) untuk merebut Latrun diberikan kepada Shlomo Shamir, seorang mantan perwira tentara Inggris. Pasukannya terdiri dari 450 orang dari Brigade Alexandroni dan 1.650 orang dari Brigade ke-7. Dari jumlah tersebut, sekitar 140 hingga 145 orang adalah imigran yang baru saja tiba di Israel, hampir 7% dari total pasukan yang dikerahkan. Mereka berbicara berbagai bahasa, tetapi hampir tidak memiliki bahasa yang sama (setidaknya mereka memakai 8 bahasa yang berbeda-beda). Demikian buruknya penggunaan bahasa diantara mereka, unit ini kemudian disebut sebagai unit “Menara Babel” (mengacu awal mula kacau balaunya bahasa manusia menurut Alkitab) oleh prajurit-prajurit Haganah lainnya. Para penyintas holocaust ini telah dikirimkan ke dalam pertempuran dengan kurang mendapat pelatihan (beberapa diantaranya belum pernah menembakkan senjata) dan tidak dilengkapi dengan baik segera setelah mereka tiba di negeri itu. Jumlah korban yang tinggi diantara mereka nantinya akan tetap menjadi sumber kontroversi di Israel hingga hari ini. Persenjataan berat mereka terbatas pada dua meriam buatan Prancis kaliber 65 milimeter (2,6 in) buatan tahun 1906 (dijuluki Napoleonchik), satu mortir kaliber 88 milimeter (3,5 in) dengan 15 butir amunisi, satu Davidka (mortir buatan sendiri), sepuluh mortir kaliber 3-inci (76 mm) dan lima belas kendaraan lapis baja modifikasi. Tiga ratus tentara Brigade Harel juga berada di daerah itu tetapi tidak mengetahui operasi tersebut, namun kemudian membantu setelah mengetahuinya dengan mencegat transmisi radio. Sementara itu, Pasukan Yordania berada di bawah pimpinan Letnan Kolonel Habes al-Majali. Dia “diberi” Resimen ke-4 dan 600 sukarelawan Yordania yang diperbantukan oleh 600 sukarelawan lokal. Resimen brigade ke-2, yang dikomandoi oleh Mayor Geoffrey Lockett, baru saja meninggalkan Yerusalem dan tiba di Latrun selama pertempuran. Brigade itu berjumlah 2.300 orang yang diperbantukan oleh 800 orang pembantu. Ia memiliki 35 kendaraan lapis baja dengan 17 Mobil Lapis Baja Marmon-Herington masing-masing dipersenjatai dengan meriam anti-tank kaliber 2 pounder. Untuk artileri pasukan Yordania memiliki delapan meriam Howitzer lapangan kaliber 25 pounder, delapan meriam anti-tank kaliber 6 pounder, sepuluh meriam anti-tank kaliber 2 pounder serta enam belas mortir kaliber 3 inci. Selain itu orang-orang Yordania memiliki sekitar 105 senapan mesin dibanding 53 yang ada di pihak Israel.

Yisrael Meir Lau (umur 8 tahun) di pelukan Elazar Schiff, yang selamat dari kamp konsentrasi Buchenwald saat tiba di Haifa, 15 Juli 1945. Sekitar 140 hingga 145 orang yang dikerahkan dalam Operasi Bin Nun Alef adalah imigran yang baru saja tiba di Israel, hampir 7% dari total pasukan yang dikerahkan. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Meriam buatan Prancis kaliber 65 milimeter (2,6 in) buatan tahun 1906 (dijuluki Napoleonchik). Jenis yang dipakai tentara Israel dalam Operasi Bin Nun Alef. (Sumber: https://www.quartermastersection.com/)
Pasukan Israel dengan kendaraan lapis baja modifikasi. (Sumber: http://www.tankarchives.ca/)

Zero Hour (awal serangan) pertama kali ditetapkan pada tengah malam tanggal 23 Mei, tetapi ditunda selama 24 jam karena tidak memungkinkan untuk mengumpulkan pasukan dan senjata tepat waktu. Karena tidak ada patroli pengintaian yang dilakukan, pasukan Israel tidak tahu persis komposisi pasukan musuh. Laporan intelijen hanya mengatakan tentang adanya “pasukan lokal non reguler”. Pada tanggal 24 Mei pukul 19:30, Shlomo Shamir diperingatkan bahwa pasukan musuh yang terdiri dari sekitar 120 kendaraan, yang terdiri dari kendaraan lapis baja dan artileri, kemungkinan sedang bergerak menuju Latrun, dan mendesak pasukan Israel untuk segera menyerang. Serangan itu ditunda selama 2 jam dan diperbaiki pada pukul 22:00. Serangan itu direncanakan didasarkan pada dua sumbu utama serangan:

  • Batalyon brigade Alexandroni harus merebut kota Latrun, benteng polisi dan kemudian Imwas untuk memblokir setiap bala bantuan baru pasukan Arab, dan juga untuk melindungi jalur konvoi pasokan; 
  • Batalyon ke-72 akan melingkari posisi di selatan untuk bergabung dengan jalan Yerusalem di Bab al-Wad; kemudian akan menyeberang jalan dan mendaki pegunungan untuk merebut Dayr Ayyub, Yalu dan Bayt Nuba, dan akan menyergap di sana untuk melindungi jalur konvoi. Mereka akan didukung oleh tiga mobil lapis baja dan dua kendaraan M-3 Halftrack dari Batalyon ke-73. 
Rencana serangan dan serangan aktual di Latrun, 25 Mei 1948. Peta berdasarkan informasi dari Yitshak Levi. (Sumber: http://www.mideastweb.org/)

Pada malam hari, sesuatu yang tidak terduga terjadi: penghalang jalan ditemukan dan harus dibongkar, karena brigade Alexandroni harus menggunakan jalan itu. Zero hour sekali lagi dimodifikasi dan ditetapkan pada tengah malam. Akhirnya, pasukan Israel mulai bertempur antara pukul 02.00 dan 05.00 tetapi tanpa perlindungan. Para penyerang dengan cepat ditemukan, menghilangkan efek kejutan serangan Israel. Pertempuran dimulai pada jam 4 pagi. Batalion para imigran membuat blunder di tengah kegelapan yang menyebabkan mereka terjebak pada tembakan kuat tentara Yordania saat matahari terbit. Pasukan Israel lalu menyerah pada tembakan yang kuat. Unit artileri mencoba untuk campur tangan tetapi dengan cepat kehabisan amunisi atau tidak berada dalam jangkauan untuk memberikan tembakan kontra-baterai artileri. Melihat kegagalan total serangan, Shlomo Shamir memerintahkan pasukannya mundur pada pukul 11:30. Karena ini terjadi di area terbuka di bawah terik matahari, dan para prajurit tidak memiliki persediaan air, banyak orang terbunuh atau terluka oleh tembakan orang-orang Arab. Baru pada pukul 2 siang orang-orang yang terluka pertama mencapai kendaraan yang mereka tinggalkan di pagi hari. Namun, Legiun Arab tidak memanfaatkan kemenangan ini ketika, menurut Benny Morris, dapat dengan mudah melakukan serangan balik ke markas pasukan Israel di Hulda. Yordania dan laskar Arab menderita 5 personelnya tewas dan 6 luka-luka. Israel mencatat kerugian 72 tewas di antara mereka (52 dari Batalyon ke-32 dan 20 dari Batalyon ke-72), 6 ditawan dan 140 terluka. Menurut Shlomo Shamir, yang memimpin brigade ketujuh dan menulis sejarah pertempuran itu, sekitar 19 orang yang tewas adalah para imigran baru. Menurut Yitshak Levi, alasan utama kegagalan serangan ini adalah bahwa serangan itu direncanakan seolah-olah Latrun dipertahankan oleh laskar bukan prajurit profesional dan menggunakan taktik yang telah berhasil di masa lalu. Bagaimanapun, diragukan bahwa taktik lain akan berhasil digunakan, karena tidak ada taktik lain yang benar-benar diketahui dan dipraktikkan oleh Haganah pada masa awal perang. Bagaimanapun mereka tidak pernah melawan tentara reguler. Bagian utama dari rencana itu adalah berupa serangan frontal, merangkak melalui medan di depan posisi senapan mesin, artileri dan pengintai lawan di malam yang diterangi cahaya bulan.

Pasukan Legiun Arab dengan kendaraan lapis baja Marmon-Herington Mk.IV yang masing-masing dipersenjatai dengan meriam anti-tank kaliber 2 pounder. Secara persenjataan pasukan Legiun Arab diperlengkapi lebih baik dibanding dengan pasukan Israel. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Dalam pertempuran untuk merebut pasukan Israel menampilkan performa amatir dengan banyak melakukan serangan frontal yang tidak terkoordinasi dengan baik. Akibatnya pasukan Israel banyak menelan korban. (Sumber: https://blogs.timesofisrael.com/)

Ariel Sharon, Perdana Menteri Israel di masa depan, seorang letnan berusia 20 tahun pada saat itu, memimpin peleton Batalyon ke-32 dan menderita luka serius di perutnya selama pertempuran. Sharon, yang saat itu masih dikenal sebagai Scheinerman, memimpin Peleton ke-1 Kompi B, merupakan satu-satunya kekuatan tempur di brigade tersebut yang punya pengalaman tempur. Pada pukul satu siang, setengah dari anggota peletonnya telah tewas dan hampir semua sisanya terluka, dan Sharon, yang telah memasuki pertempuran dengan satu tangan digips, tertembak di bagian perut. “Mengangkat tubuh untuk melihat apa yang terjadi, saya merasakan sesuatu menggedor perut saya, menjatuhkan saya ke belakang. Saya mendengar mulut saya berkata ‘Imah‘ – ibu, dan segera saya melihat sekeliling untuk melihat apakah ada yang mendengar (saya)”, demikian ingat Sharon saat itu. Artileri pasukan Israel kemudian melepaskan tembakan, dan Sharon, yang benar-benar telah terputus dari pasukan lainnya, menyuruh anak buahnya bersiap-siap untuk menyerang. Dia yakin artileri Israel adalah awal dari serangan yang lebih besar. Tapi melihat dari balik bahunya, di tengah ketenangan yang tiba-tiba di rentetan serangan, dia melihat betapa kelirunya dia: tembakan artileri telah memungkinkan brigadenya mundur. Bukit-bukit di belakangnya, tempat Batalyon ke-72 menjaga sisi mereka, dipenuhi dengan penduduk desa Palestina. “Di sekelilingku,” lanjutnya, “yang mati dan yang terluka. Semuanya teman, semua dari wilayah Sharon, sebagian besar dari satu desa. Orang-orang yang tumbuh bersama Anda. Di sinilah mereka, tepat di depan Anda, di medan yang mengerikan ini, hampir mati, dan tidak ada yang bisa Anda lakukan untuk mereka. Mereka sudah gugur. ”

Ariel Sharon selama perang Arab-Israel 1948. Saat Operasi Bin Nun Alef, Sharon adalah seorang letnan berusia 20 tahun yang memimpin peleton Batalyon ke-32. (Sumber: http://america.aljazeera.com/)
Ariel Sharon pada tahun 2002 mengunjungi kembali lokasi pertempuran Latrun tahun 1948, dimana dirinya sempat terluka parah dan nyaris mati. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Yakov Bugin, seorang prajurit berusia 16 tahun di bawah komandonya, yang baru saja bergabung dengan peleton dan yang dia sendiri telah ditembak di rahang dan kehilangan sebagian besar wajahnya, menemukan Sharon terlentang, matanya terbuka, menatap langit. Sharon, yang tidak dapat mengingat nama prajurit itu, menyuruhnya untuk “lari, kabur, selamatkan dirimu sendiri.” Bugin, bagaimanapun, tanpa berkata-kata membantunya melalui medan neraka itu, mendorongnya ke atas teras dan dengan arahan sempurna dari Sharon berhasil membimbing mereka kembali melalui medan pembunuhan. “Kami tidak punya pilihan selain berdiri tegak dan berjalan melalui medan tempur dengan pandangan tajam dari para petani Palestina bersenjata,” kata Bugin. “Begitu kami berdiri, kami bisa melihat orang-orang Arab menembaki rekan-rekan kami yang terluka tepat di samping kami. Mereka melihat kami, tapi untungnya mereka terlalu sibuk menjarah mayat-mayat itu untuk merebut senjata mereka dan membunuh dua tentara yang terluka. Begitulah cara saya dan Arik melewati tempat itu, yang dikelilingi oleh orang-orang Arab, sampai kami perlahan-lahan menjauhkan diri dari mereka. Kami beruntung Arik mengenal daerah itu dengan baik dan dia memiliki teropong, yang membantu kami menemukan daerah itu untuk tentara yang terluka dirawat.” Mereka terus seperti itu selama berjam-jam, sampai Sharon, melihat jip yang akan menyelamatkan mereka, dimana ia kemudian pingsan. Sharon bagaimanapun tidak melupakan pengalaman itu. Sebagai komandan Pasukan Penerjun Payung dan Unit 101, pasukan elit sejati pertama Israel, dia membuat aturan ketat bahwa yang terluka tidak boleh ditinggalkan di medan tempur.

REORGANISASI PADA FRONT TENGAH

Pada saat pertempuran pertama Latrun, sepuluh hari setelah kemerdekaan Israel dan invasi Arab, pasukan Israel, masih terorganisir sebagai “Haganah,” tentara bawah tanah, yang berjumlah sekitar 25.000, termasuk tentara non-tempur dan mereka yang hanya memiliki sedikit pelatihan. Sebagian besar pasukan ini dan sebagian besar perwira mereka hampir tidak memiliki pengalaman bertempur atau punya kemampuan untuk merencanakan pertempuran melawan tentara reguler. Organisasi logistik mereka kacau dan pengetahuan tentang taktik pertempuran sedikit. Sementara itu prajurit yang direkrut segera setelah kemerdekaan Israel pada awalnya tentu tidak terlatih, seperti wajib militer imigran yang digunakan di Latrun, dan seringkali tidak punya cukup senjata untuk dibagikan. Pada awal invasi orang-orang Arab, militer Israel tidak memiliki kendaraan lapis baja, pesawat tempur atau pembom dan tidak ada senjata artileri. Bahkan prajurit “elit” yang “terlatih” dari brigade Alexandroni tidak memiliki pengalaman nyata melawan tentara reguler seperti Legiun Arab Yordania atau tentara Mesir. Di sisi lain keberhasilan tentara modern tidak hanya tergantung pada jumlah tentara atau jumlah senjata, tetapi juga pada logistik, koordinasi, perencanaan dan disiplin. Ini membutuhkan pelatihan dan organisasi yang saat itu tidak tersedia bagi pasukan Israel, serta peralatan komunikasi dan jumlah tentara serta perwira yang cukup untuk melakukan pekerjaan staf yang baik dan mengatur logistik. Seluruh organisasi Haganah, orientasi dan konsep pertempuran para perwiranya masih didasarkan pada gagasan pertahanan perimeter permukiman kecil terhadap serangan teror dan perampok, daripada visi strategis yang diperlukan untuk merebut atau mempertahankan wilayah yang luas, jalur transportasi dan kota dari tentara yang terorganisir. Oleh karena itu tentara Israel masih memiliki banyak kelemahan dan membutuhkan waktu untuk berbenah.

Seorang anggota Haganah, Israel tahun 1948 yang diabadikan dalam foto Robert Capa. Saat awal perang seluruh organisasi Haganah, orientasi dan konsep pertempuran para perwiranya masih didasarkan pada gagasan pertahanan perimeter permukiman kecil terhadap serangan teror dan perampok, daripada visi strategis yang diperlukan untuk merebut atau mempertahankan wilayah yang luas, jalur transportasi dan kota dari tentara yang terorganisir. Oleh karena itu tentara Israel masih memiliki banyak kelemahan dan membutuhkan waktu untuk berbenah. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Foto lain dari Robert Capa yang mengabadikan sosok Kolonel David “Mickey” Marcus, seorang sukarelawan asal Amerika lulusan West Point dan veteran Perang Dunia II yang berperang di pihak Israel. (Sumber: https://holzmanantiques.com/)

Pada akhir bulan Mei, David Ben-Gurion yakin bahwa Legiun Arab kemungkinan akan menguasai seluruh Yerusalem. Selain itu, setelah pertempuran, situasi di sana memburuk: komunitas Yahudi memiliki cadangan bahan bakar, roti, gula, dan teh yang sangat sedikit, yang hanya dapat bertahan selama 10 hari, dan air selama 3 bulan. Menurut pendapat Glubb sendiri, tujuannya masih untuk mencegah orang Israel memperkuat kota dan menguasai bagian wilayah Arabnya. Pada tanggal 29 Mei, Dewan Keamanan PBB mengumumkan niatnya untuk memberlakukan gencatan senjata selama 4 minggu, yang akan mencegah penguasaan wilayah lebih lanjut dan dengan demikian mencegah upaya memasok kembali kota yang terkepung. Dari sudut pandang militer, Brigade Harel ke-10 membutuhkan bala bantuan dan Ben-Gurion mengirim satu batalyon Brigade ke-6 Etzioni. Dia juga menganggap penting bahwa Brigade ke-7 bergabung dengan pasukan di Yerusalem serta kontingen 400 rekrutan baru untuk memperkuat Brigade Harel. Senjata dan suku cadang yang telah tiba di Israel melalui udara juga sekarang sudah siap untuk bertempur di front Yerusalem. Komandan Brigade ke-7 sendiri ingin menetralisir dampak negatif dari bencana sebelumnya terhadap moral pasukan dan prestisenya. Front tengah kini ditata ulang dan komandonya diberikan kepada seorang sukarelawan asal Amerika lulusan West Point dan veteran Perang Dunia II yang berperang di pihak Israel. Kolonel David “Mickey” Marcus, kemudian diangkat sebagai Aluf (Mayor Jenderal). Dia mengambil alih komando Etzioni dan Brigade ke-7, dan Brigade Harel Palmach ke-10.

OPERASI BIN NUN BET

Shlomo Shamir sekali lagi diberi komando operasi. Dia mengirim Brigade ke-7 dan Batalyon ke-52 dari Brigade Givati yang menggantikan batalyon ke-32 yang telah hancur dalam pertempuran sebelumnya. Batalyon ke-73 adalah pasukan infanteri lapis baja ringan dengan senjata penyembur api dan 22 “mobil militer” buatan lokal. Pasukan Israel mengirimkan banyak patroli pengintaian tetapi mereka tidak memiliki gambaran yang jelas tentang kekuatan musuh. Mereka berharap untuk melawan sekitar 600 orang dari Legiun dan Tentara Pembebasan Arab, dimana kekuatan yang dialokasikan ini tidak cukup untuk mempertahankan 4 km (2,5 mil) dari front Latrun. Yordania sebenarnya masih memiliki satu brigade penuh dan didukung oleh beberapa ratus laskar. Mempertimbangkan kesalahan serangan sebelumnya, serangan baru diorganisir dengan presisi, dan area dari mana unit harus meluncurkan serangan mereka telah dibersihkan pada tanggal 28 Mei. Secara khusus dua dusun Bayt Jiz dan Bayt Susin, di mana serangan balik telah diluncurkan oleh militan Arab selama pertempuran pertama, dan Bukit 369. Serangan itu sekali lagi dijalankan pada dua sumbu utama: 

  • Batalyon Infanteri ke-72 dan ke-52 akan melakukan serangan balik dengan berjalan kaki dari selatan ke Bayt Susin dan kemudian mengambil alih Bab al-Wad dan menyerang masing-masing Dayr Ayyub dan Yalu, lalu menuju Latrun dan menyerang ini dari arah timur; 
  • Batalyon Infanteri ke-71 dan Batalyon Mekanik ke-73 akan menyerang benteng polisi, biara dan kota Latrun di barat daya.

Sekitar tengah malam, pasukan batalyon ke-72 dan ke-52 melewati Bab al-Wad tanpa suara dan kemudian berpisah menuju sasaran masing-masing. Satu kompi merebut Deir Ayyub, yang kosong, tetapi kemudian mereka ditemukan saat mereka berhadapan oleh musuh di bukit terdekat. Mereka menderita tembakan gabungan dari senjata artileri dan senapan mesin Legiun Arab. Tiga belas orang tewas dan beberapa lainnya terluka. Kompi itu, yang sebagian besar terdiri dari para imigran, kemudian mundur ke Bab al-Wad. Batalyon ke-52 lalu bersiap untuk mengambil alih bukit di depan Yalu, tetapi menerima perintah untuk mundur. 

Operasi Bin Nun Bet, 30–31 Mei 1948. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Shlomo Shamir, Komandan Brigade ke-7 yang ditugaskan untuk merebut Latrun. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Di front lain, kekuatan Israel dibagi menjadi dua bagian. Batalyon Infanteri ke-71 dengan cepat mengambil alih biara dan kemudian berjuang untuk menguasai kota. Di sisi lain, senjata artileri Israel berhasil menetralkan senjata-senjata yang ada di benteng. Para sukarelawan menembus pagar pertahanan dan senjata penyembur api mereka mengejutkan para prajurit Arab yang bertahan. Namun demikian, cahaya yang datang dari api yang mereka ciptakan, menyebabkan mereka kehilangan perlindungan di kegelapan dan mereka berbalik menjadi sasaran empuk bagi mortir kaliber 60 milimeter (2,4 in) milik orang-orang Yordania. Mereka dengan cepat dikalahkan dan dihancurkan. Bagaimanapun pasukan zeni Israel berhasil meledakkan pintu, tetapi dalam kebingungan hal ini tidak diikuti oleh masuknya prajurit infanteri. Chaim Laskov, kepala operasi di front itu, memerintahkan kompi D dari Batalyon ke-71 (yang telah disimpan sebagai cadangan) untuk bergabung dalam pertempuran, tetapi salah satu prajurit secara tidak sengaja meledakkan ranjau darat, menewaskan tiga orang dan melukai beberapa orang lainnya. Mereka kemudian diserang oleh tembakan berat dari senjata artileri pasukan Yordania dan orang-orang itu mundur ke arah barat dengan panik. Pertempuran masih belum bisa dianggap kekalahan bagi pasukan Israel meskipun hal itu nampaknya akan datang, dan Laskov menganggap bahwa anak buahnya tidak dapat bertahan di front tersebut untuk menahan serangan balik Legiun Arab dan dia akhirnya lebih memilih untuk memerintahkan mundur. Pada saat itu pasukan Yordania mengkonsolidasikan diri kembali, Resimen ke-4 mereka benar-benar kehabisan amunisi. Sementara itu, Batalyon ke-73 Israel menderita kerugian 50% dan seluruh pasukan yang terlibat dalam pertempuran telah menghitung adanya 44 personel mereka yang tewas, sedangkan yang terluka dan adalah dua kali dari jumlah itu. Menurut salah satu sumber, Legiun Arab menderita antara 12 dan 20 personelnya tewas, termasuk letnan yang memimpin di benteng itu. Sebaliknya, pihak Yordania melaporkan hanya 2 prajuritnya tewas di pihak mereka, dibanding 161 di pihak Israel. David Marcus kemudian mengaitkan tanggung jawab atas kekalahan itu pada pasukan infanteri, dengan menyatakan: “perlindungan artileri (sudah) benar. Persenjataannya bagus. Infanterinya (yang) sangat buruk”. Benny Morris menilai kesalahannya adalah lebih pada membagi pasukan pada beberapa target daripada memusatkan seluruh brigade pada target utamanya: benteng.

JALAN BURMA

Pada tanggal 28 Mei, setelah merebut Bayt Susin, pasukan Israel menguasai koridor sempit antara dataran pantai dan Yerusalem. Tetapi koridor ini tidak bisa dilintasi oleh jalan yang memungkinkan digunakan truk-truk untuk memasok kota. Sebuah patroli kaki Palmach kemudian menemukan beberapa jalan setapak yang menghubungkan beberapa desa di perbukitan selatan jalan utama yang dikendalikan oleh Legiun Arab. Pada malam hari tanggal 29-30 Mei, Jeep-jeep yang dikirim ke perbukitan memastikan bahwa ada jalur yang cocok untuk dipakain berkendaraan. Keputusan kemudian diambil untuk membangun jalan di kawasan tersebut. Jalan ini lalu diberi nama “Jalan Burma”, yang mengacu pada jalan suplai antara Burma dan China yang dibangun oleh Inggris selama Perang Dunia II. Pasukan zeni lalu segera mulai membangun jalan sementara konvoi jip, bagal dan unta diorganisir dari Hulda untuk membawa mortir-mortir kaliber 65 milimeter (2,6 in) ke Yerusalem. Tanpa mengetahui tujuan dari aktivitas orang-orang Israel ini, orang-orang Yordania menyadari bahwa sesuatu sedang terjadi di dasar perbukitan. Mereka kemudian melakukan pengeboman artileri, yang bagaimanapun juga akan dihentikan dengan cepat di bawah perintah perwira tinggi Inggris, dan mereka mengirim patroli untuk menghentikan pekerjaan orang-orang Israel, tetapi tidak berhasil. Namun demikian, adalah makanan yang mendesak dibutuhkan oleh penduduk Yerusalem. Mulai  tanggal 5 Juni, para insinyur Israel mulai memperbaiki jalan sehingga memungkinkan truk-truk angkutan sipil lewat untuk memasok kota. 150 pekerja yang bekerja dalam tim empat orang memasang pipa untuk memasok kota dengan air, karena pipa lainnya, yang melintasi Latrun, telah dipotong oleh orang-orang Yordania. Di Yerusalem, Dominique Lapierre dan Larry Collins berbicara tentang berbagai tindakan heroik, ketika pada malam tanggal 6-7 Juni, dalam ketakutan akan situasi kritis di Yerusalem dan untuk meningkatkan moral penduduk, 300 penduduk Tel Aviv diwajibkan untuk membawa di punggung mereka, sejauh beberapa kilometer yang belum siap untuk dilalui truk, apa yang akan dibutuhkan untuk memberi makan penduduk Yerusalem satu hari lagi. Dibuat dengan menggunakan buldoser untuk memperlebar jalur gembalaan kambing kuno, jalan tersebut diselesaikan tepat sebelum gencatan senjata pertama disepakati pada tanggal 10 Juni. Pada tanggal 19 Juni konvoi 140 truk, yang masing-masing membawa tiga ton barang serta berbagai senjata dan amunisi, berhasil mencapai Yerusalem. Pengepungan di kota itu kemudian secara definitif dapat dikatakan berakhir. Keberhasilan Israel ini diselingi oleh sebuah insiden yang tragis, yakni: kematian Aluf “Mickey” Marcus, yang secara tidak sengaja dibunuh oleh seorang penjaga Israel pada malam tanggal 10-11 Juni.

Pembangunan Burma Road untuk memecahkan masalah pasokan ke Yerusalem oleh pasukan Israel. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Sebuah buldoser menarik truk di jalan Burma, Juni 1948. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Profesor matematika Michael Fekete, Rektor Universitas Ibrani Yerusalem, dengan jatah airnya, selama pengepungan di Yerusalem. Pada tanggal 19 Juni konvoi 140 truk, yang masing-masing membawa tiga ton barang serta berbagai senjata dan amunisi, berhasil mencapai Yerusalem. Pengepungan di kota itu kemudian secara definitif dapat dikatakan berakhir. (Sumber: http://www.newscast-pratyaksha.com/)

OPERASI YORAM

Antara tanggal 30 Mei dan 8 Juni tentara Israel dan Arab berada dalam kebuntuan. Mereka terlibat dalam pertempuran kecil, tapi keras dan menimbulkan banyak kerugian baik personel dan senjata. PBB kemudian memperbarui seruannya untuk diadakan gencatan senjata diantara keduanya pada tanggal 11 Juni. Dalam masa inilah David Ben-Gurion mengambil keputusan untuk menarik pasukan elit Brigade Yiftach ke-11 dari Galilea di bawah komando Yigal Allon untuk melancarkan serangan ketiga terhadap Latrun. Pasukan Allon memiliki dukungan artileri yang terdiri dari empat mortir kaliber 65 milimeter (2,6 in) dan empat meriam kaliber 120 milimeter (4,7 in) yang merupakan bagian dari senjata berat yang baru-baru ini dikirim ke Israel lewat Operasi Balak. Kali ini, staf umum memutuskan melancarkan serangan yang terkonsentrasi di pusat kekuatan Legiun Arab, dengan beberapa serangan pengalihan ke sebelah utara untuk mengganggu pasukan Yordania. Sementara sebuah batalyon dari Brigade Yiftach melakukan beberapa serangan pengalihan terhadap kawasan Salbit, Imwas dan Bayt Nuba, sebuah batalion dari brigade Harel akan merebut Bukit 346, yang posisinya ada di antara resimen Legiun keempat dan kedua. Dari sini satu batalyon dari Brigade Yiftach kemudian akan melewatinya, untuk merebut bukit 315 dan desa Latrun, serta benteng polisi di sebelah Timur. Operasi Israel dimulai dengan serangan artileri di benteng, desa Latrun dan posisi sekitarnya. Bukit 315 dan 346 yang ditempati oleh sebuah kompi dari Legiun Arab, sengaja tidak ditargetkan untuk tidak memperingatkan orang-orang Yordania. 

Yigal Allon, komandan operasi Yoram dan Danny. Selama Perang 1948 ia juga memimpin Operasi Yiftach dan Operasi Horev. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Operasi Yoram. Pengeboman Latrun dalam pertempuran sebelum gencatan senjata pertama tahun 1948. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Personel dari Brigade Yiftach tahun 1948. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)

Para personel dari brigade Harel berangkat dengan berjalan kaki dari Bab al-Oued tetapi mengambil jalan yang salah dan keliru menyerang Bukit 315. Menemukan posisi penjagaan pasukan Yordania, mereka melancarkan serangan ke bukit itu. Legiuner Arab kalah jumlah tetapi mampu melakukan serangan balik dengan keras, sampai meminta pengeboman artileri pada posisi mereka sendiri. Pasukan Israel menderita  kerugian besar. Ketika Brigade Yiftach tiba di dasar Bukit 346, mereka menjadi sasaran tembakan senjata api, granat, dan artileri. Berpikir bahwa prajurit Harel ada di sana, mereka kemudian menelepon melalui radio ke markas besar untuk menghentikan tembak menembak, dan meletakkan senjatanya. Mereka menolak, tidak percaya pada pesan itu dan para prajurit Harel tetap berada di tempatnya. Kebingungan di antara orang Yordania sama dengan yang ada di antara orang-orang Israel atas serangan di Bukit 315. Dengan pagi yang sudah dekat dan tidak dapat mengevaluasi situasi dengan benar, markas besar Israel memberi perintah pada pukul 5.30 pagi agar tentara mereka mundur ke Bad al-Oued. Kerugian yang diderita pasukan mereka signifikan. Batalyon Harel yang berkekuatan 400 orang menderita 16 tewas dan 79 terluka, sementara di Brigade Yiftach beberapa tewas dan terluka. Sedangkan di pihak Legiun Arab menderita beberapa lusin korban. Hari berikutnya, orang-orang Yordania melancarkan dua serangan balik. Yang pertama adalah di Beit Susin. Para Legiuner berhasil merebut beberapa pos penjagaan Israel tetapi tidak dapat mempertahankannya lebih dari beberapa jam. Pertempuran itu merenggut nyawa beberapa orang dan sekitar 20 orang cedera di pihak Israel. Serangan kedua ditujukan di Kibbutz Gezer dari mana serangan pengalihan telah diluncurkan. Sebuah kekuatan yang setara satu batalion, terdiri dari para Legiuner dan laskar dan didukung oleh selusin kendaraan lapis baja, menyerang kibbutz di pagi hari. Tempat itu dipertahankan oleh 68 tentara Haganah (termasuk 13 wanita). Setelah pertempuran selama empat jam, kibbutz itu jatuh. Selusin pasukan yang bertahan berhasil melarikan diri. Sebagian besar lainnya menyerah dan satu atau dua dieksekusi. Para Legiuner diketahui berusaha melindungi para tahanan dari para laskar dan keesokan harinya membebaskan para wanita. Korban tewas di pihak Israel 39 orang dan 2 orang di pihak Legiuner. Kibbutz itu kemudian dijarah oleh para laskar dan Legiuner mengevakuasi daerah tersebut setelah pertempuran. Di malam hari, Brigade Yiftach merebut kembali kibbutz itu.

OPERASI DANNY

Setelah bulan gencatan senjata, di mana Tsahal (Angkatan Bersenjata Israel) meningkatkan jumlah pasukan dan memperlengkapi kembali, mereka menyadari bahwa titik terlemah dari disposisi pasukan Israel ada di front tengah dan koridor menuju ke Yerusalem. Komando Tinggi Israel kemudian memutuskan untuk meluncurkan “Operasi Larlar” dengan tujuan mengambil Lydda, Ramle, Latrun dan Ramallah dan menghilangkan ancaman di Tel Aviv di satu sisi dan Yerusalem Barat di sisi lain. Untuk mencapai tujuan ini Yigal Allon dipercayakan 5 brigade, yakni: Harel dan Yiftach (sekarang berjumlah lima batalyon), brigade Persenjataan ke-8 (baru dibentuk yang terdiri dari batalyon ke-82 dan ke-89), beberapa batalyon infanteri dari brigade Kiryati dan Alexandroni, dan 30 buah senjata artileri. Sementara itu Brigade ke-7 dikirim ke front utara. Pada fase pertama, antara tanggal 9 dan 13 Juli, pasukan Israel merebut Lydda dan Ramle dan menegaskan kembali kendalinya di daerah sekitar Latrun dengan merebut Salbit, tetapi pasukan Israel telah kecapekan dan Komando Tinggi menyerah untuk merebut Ramallah. Dua serangan kemudian diluncurkan terhadap Latrun. Pada malam tanggal 15–16 Juli, beberapa kompi dari brigade Harel melakukan serangan terhadap Latrun di sebelah timur, di sekitar “bukit artileri” dan desa Yalo serta Bayt Nuba. Mereka melanjutkan perjalanan ke perbukitan melalui desa Bayt Thul dan Nitaf dengan mengangkut persenjataan mereka menggunakan bagal. Setelah beberapa jam pertempuran dan serangan balik dari kendaraan-kendaraan lapis baja Legiun Arab, mereka akhirnya berhasil didesak mundur tetapi dapat menguasai beberapa bukit. Secara total, pasukan Israel kehilangan 23 personelnya tewas dan banyak lainnya terluka.

Bandara strategis penting di Lydda setelah direbut oleh IDF pada bulan Juli 1948. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

SERANGAN FRONTAL PADA BENTENG MARKAS POLISI

Satu jam sebelum resminya gencatan senjata, Komando Tinggi Israel memutuskan untuk mencoba serangan frontal terhadap benteng polisi Yordania. Informasi ntelijen menunjukkan bahwa, pada dasarnya, “kemungkinan besar” bahwa pasukan Legiun Arab di sektor itu cukup “substansial”. Di pagi hari, patroli pengintaian telah mengukur kekuatan sektor tersebut, tetapi tidak dapat mengkonfirmasi atau menyangkal informasi yang telah dikumpulkan oleh pihak intelijen. Pada pukul 6 sore, dua tank Cromwell yang dikemudikan oleh pembelot asal Inggris, yang diperbantukan kepada batalion mekanis Yiftach dan didukung oleh senjata artileri melancarkan serangan ke benteng polisi. Ketika pasukan Israel tiba 500 meter (1.600 kaki) dari benteng, mereka ditembaki oleh artileri Yordania. Sekitar pukul 18:15. salah satu tank terkena peluru (atau mengalami kerusakan mekanis) dan harus mundur ke al-Qubab untuk diperbaiki. Pasukan yang tersisa menunggu kembalinya tank ini dan serangan baru dilanjutkan sekitar pukul 19:30, tetapi segera dihentikan sekitar pukul 8 malam. Orang-orang Israel menghitung adanya antara 8 hingga 12 korban di pihak mereka. Pada saat yang sama, elemen brigade Harel merebut sekitar 10 desa di sebelah selatan Latrun untuk memperbesar dan mengamankan area jalan Burma. Mayoritas penduduk di desa-desa itu telah melarikan diri dari pertempuran pada bulan April tetapi mereka yang tersisa secara sistematis diusir.

Tiga anggota Haganah (milisi Yahudi pra-kemerdekaan di wilayah British Mandatory Palestine) mengawal orang-orang Arab Palestina keluar dari Haifa setelah mereka diusir dari rumah mereka, tanggal 12 Mei 1948. Pada tanggal 26 September, David Ben-Gurion mengajukan argumennya kepada Kabinet untuk menyerang Latrun lagi dan menaklukkan seluruh atau sebagian besar Tepi Barat. Mosi itu ditolak dengan 5 suara berbanding 7 setelah diskusi. Ben-Gurion menilai keputusan itu sebagai bechiya ledorot (“Penyebab penyesalan bagi generasi-generasi mendatang”) dengan pertimbangan bahwa Israel tidak boleh melepaskan klaimnya di Yudea, Samaria dan atas Yerusalem Lama. (Sumber: https://www.haaretz.com/)

Setelah kampanye militer selama sepuluh hari, Israel secara militer lebih unggul dari musuh-musuh mereka dan Kabinet Israel kemudian mempertimbangkan di mana dan kapan mereka harus menyerang selanjutnya. Tiga opsi lalu ditawarkan: menyerang daerah kantong Arab di Galilea yang dikuasai Tentara Pembebasan Arab; bergerak ke timur sejauh mungkin di daerah Samaria dan Yudea, yang dikuasai oleh orang-orang Irak dan Yordania; atau menyerang Negev selatan yang direbut oleh orang-orang Mesir. Pada tanggal 24 September, serangan yang dilakukan oleh laskar Palestina di sektor Latrun (membunuh 23 tentara Israel) memicu perdebatan. Pada tanggal 26 September, David Ben-Gurion mengajukan argumennya kepada Kabinet untuk menyerang Latrun lagi dan menaklukkan seluruh atau sebagian besar Tepi Barat. Mosi itu ditolak dengan 5 suara berbanding 7 setelah diskusi. Menurut Benny Morris, argumen-argumen yang diajukan untuk tidak melancarkan serangan itu adalah: dampak negatif internasional bagi Israel yang sudah diperparah dengan pembunuhan Count Bernadotte baru-baru ini; konsekuensi dari serangan terhadap kesepakatan dengan Abdullah dari Yordania; fakta bahwa mengalahkan Legiun Arab dapat memprovokasi intervensi militer Inggris karena pakta pertahanan bersama antara Inggris dan Yordania dan yang terakhir karena menaklukkan daerah ini akan menambah ratusan ribu warga Arab ke wilayah Israel. Ben-Gurion menilai keputusan itu sebagai bechiya ledorot (“Penyebab penyesalan bagi generasi-generasi mendatang”) dengan pertimbangan bahwa Israel tidak boleh melepaskan klaimnya di Yudea, Samaria dan atas Yerusalem Lama.

KESIMPULAN

Pada tingkat operasional, lima serangan di Latrun berakhir dengan kekalahan Israel dan kemenangan Yordania. Pasukan Yordania berhasil menangkis semua serangan dan tetap menguasai jalan antara dataran pantai dan Yerusalem, dengan pasukan Israel kehilangan sekitar 168 tewas dan banyak lagi terluka. Secara strategis, hasilnya tidak sesederhana itu:

  • Pembukaan Jalan Burma memungkinkan orang Israel untuk melewati Latrun dan memasok 100.000 penduduk Yahudi di Yerusalem Barat dengan makanan, senjata, amunisi, dan peralatan, serta memperkuat posisi militer mereka di sana. 
  • Jika kendali Yerusalem Barat oleh Israel  teleubmenahan beberapa unit pasukan Arab, Legiun Arab yang menguasai Latrun, 15 kilometer (10 mil) dari Tel Aviv, adalah duri dalam daging bagi pasukan Israel;
  • Latrun adalah titik pusat kekuatan Legiun Arab; Glubb Pasha mengerahkan sepertiga pasukannya di sana; kekalahannya akan menyebabkan jatuhnya Yerusalem dan mungkin militer Yordania secara keseluruhan.

Kegagalan yang terkait dengan pertempuran Latrun mengingatkan pada kegagalan tentara Union di awal perang saudara AS, dimana serangan tidak dilakukan dan direncanakan secara terkoordinasi selayaknya tentara modern. Selain itu intelijen yang buruk menyebabkan kegagalan untuk menilai kekuatan musuh dengan benar, atau bahkan, menurut Yitzhak Levy, kegagalan untuk menyadari bahwa personel Haganah akan menghadapi Legiun Arab Yordania yang terlatih. Oleh karena itu, perencanaan strategis pertempuran sedari awal sudah salah. Komunikasi, logistik, dan kegagalan organisasi akan mengganggu sisa pertempuran itu, serta yang lainnya mengikuti. Sebuah batalion gagal tiba, atau datang terlambat, atau tiba tanpa senjata, memaksa penundaan lebih dari 24 jam, yang mana hal ini mungkin sangat menentukan dan tentu saja berkontribusi pada kegagalan. Kendaraan lapis baja juga tidak digunakan secara efektif. Serangan pada tanggal 30 Mei kemudian juga telah ditunda sehari. Dalam serangan ketiga, salah belok yang tidak disengaja oleh tentara Israel menyebabkan markas Legiun Yordania berhasil direbut, tetapi orang-orang Israel tidak memiliki fleksibilitas untuk memanfaatkan peluang tersebut. Tidak ada bala bantuan yang datang, dan posisinya segera direbut musuh kembali. Secara umum pertempuran gagal karena:

  • Keunggulan posisi Yordania – mereka mempertahankan tempat yang tinggi dan benteng serta tahu untuk menggunakan keunggulan tersebut.
  • Kurangnya artileri berat dan kekuatan udara di pasukan Israel, yang harus menghadapi meriam dan mobil lapis baja. 
  • Jumlah superior dari Legiun Transyordania 
  • Perencanaan yang buruk 
  • Intelijen yang buruk 

Shlomo Shamir si komandan serbuan kemudian menyimpulkannya, dengan mengatakan: “ Anda tidak memiliki kekuatan (yang dibutuhkan). Anda tidak memiliki kekuatan, itu saja. Mereka menembak Anda, Anda tidak punya senjata untuk membalas. Orang-orang harus dipindahkan, (dan) Anda tidak memiliki alat transportasi untuk memindahkan mereka. Orang harus diselamatkan dan dibantu, Anda tidak punya bantuan. Jadi Anda bertanya pada diri sendiri sekarang ayolah, jika Anda seorang komandan dan Anda tidak memiliki hal-hal diatas, jadi komandan macam apakah anda ini? Nah ini dia.” Israel memang telah mengirim beberapa tentara terbaiknya ke Latrun, orang-orang yang telah membuktikan diri mereka dalam pertempuran sebelum dan sesudahnya berkali-kali – orang-orang seperti Eliahu Arbel, Shlomo Shamir, Ariel Sharon. Mereka bukanlah imigran baru yang tidak terlatih seperti yang diyakini mitos yang beredar. Mereka gagal karena tampaknya misi itu memang tidak bisa dilakukan. Staf umum semuanya menentang upaya ini dan peristiwa yang terjadi membuktikan bahwa mereka benar, jadi itu bukan kegagalan staf umum militer Israel. 

Pasukan Yordania menyiapkan senjata anti-tank recoilless di sebuah jip, di Yerusalem, 31 Mei 1967. Di latar belakang adalah Gereja dan Rumah Sakit Notre Dame De France, kiri, di dalam sektor Israel di Yerusalem. Kegagalan Israel dalam merebut Latrun, membuat area ini kemudian akan tetap di bawah kendali Yordania sampai pecahnya Perang Enam Hari tahun 1967. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)
Setelah konflik tahun 1967, benteng Tegart diubah menjadi museum, yang saat ini menjadi fitur utama Yad Lashiryon. Ada lebih dari 150 kendaraan lapis baja di lokasi tersebut, mulai dari mobil lapis baja primitif yang digunakan dalam perang tahun 1948 hingga tank Merkava Mark IV terbaru buatan Israel, yang merupakan salah satu tank tempur paling canggih di dunia. (Sumber: https://shalomisraeltours.com/)

Sementara itu dalam perundingan Gencatan Senjata antara Israel-Yordania di Rhodes, orang-orang Israel tidak berhasil meminta pemindahan kekuatan legiun Arab dari Latrun. Area ini kemudian akan tetap di bawah kendali Yordania sampai pecahnya Perang Enam Hari tahun 1967. Ketika perang, tentara IDF berhasil merebutnya dalam waktu satu jam. Karena lokasi Latrun yang strategis, ada konsensus besar di Israel bahwa puncak bukit itu tidak akan dilepaskan sebagai bagian dari penyelesaian konflik Israel-Palestina. Setelah konflik tahun 1967, benteng Tegart diubah menjadi museum, yang saat ini menjadi fitur utama Yad Lashiryon. Ada lebih dari 150 kendaraan lapis baja di lokasi tersebut, mulai dari mobil lapis baja primitif yang digunakan dalam perang tahun 1948 hingga tank Merkava Mark IV terbaru buatan Israel, yang merupakan salah satu tank tempur paling canggih di dunia. Kendaraan lapis baja buatan negara lain juga dipajang di tempat itu, termasuk peralatan buatan Amerika, Inggris, Prancis, dan bahkan Soviet. Mungkin kendaraan yang paling menarik adalah dua tank Panzer Jerman yang awalnya digunakan oleh Wehrmacht dalam Perang Dunia II yang jatuh ke tangan Tentara Merah Soviet, serta kemudian diberikan ke Suriah pada tahun 1950-an dan kemudian dirampas oleh IDF dalam pertempuran di Golan. Fitur lain di museum tersebut termasuk Tembok Nama, di mana nama-nama semua tentara IDF yang gugur dalam perang yang dijalani Israel tertulis di situ. Sebuah Hall of Honor menyimpan foto-foto orang yang gugur dan informasi tentang siapa mereka. Kantor polisi Inggris tua disitu memiliki perpustakaan dan museum berjalan di mana pengunjung dapat belajar tentang sejarah Korps Lapis Baja IDF dan para tentara dapat mempersiapkan karir masa depan mereka. Meskipun menjadi museum, Latrun masih digunakan sehari-hari sebagai pusat pelatihan, pendidikan, dan sumber informasi. Sebagian besar materi di perpustakaannya hanya dapat diakses oleh tentara dengan izin keamanan yang tinggi. Beberapa ratus meter jauhnya terdapat biara Latrun, dibangun pada tahun 1890 oleh biarawan Trappist dari Perancis. Para biarawan disitu adalah vegetarian yang ketat, telah bersumpah untuk diam, dan menghidupi diri mereka sendiri melalui kerja keras. Aktivitas mereka termasuk berkebun anggur untuk membuat anggur unggulan biara itu dan zaitun untuk produksi minyak zaitun. Biara ini juga merupakan tempat ziarah bagi banyak orang Kristen yang datang untuk belajar di tempat yang tenang, menikmati pemandangan yang indah dan menikmati sejarah yang kaya di daerah tersebut.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battles_of_Latrun_(1948)

The Battles of Latrun by Ami Isseroff

http://www.mideastweb.org/latrun.htm

Latrun – The Battle for Latrun By AARON HECHT Published: SEPTEMBER 8, 2009 10:52

https://www.google.com/amp/s/m.jpost.com/israel-guide/tel-aviv-and-center-tours/latrun-the-battle-for-latrun/amp

Left for dead in 1948: The battle that shaped Arik Sharon By MITCH GINSBURG 12 January 2014, 3:13 pm

https://www.timesofisrael.com/left-for-dead-in-1948-the-battle-that-shaped-arik-sharon/

Arabs at War: Military Effectiveness, 1948-1991 (Studies in War, Society, and the Military) by Kenneth M. Pollack; September 1, 2004; P 277

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *