Sejarah Militer

Aksi Kepahlawanan Michael A. Monsoor Dalam Pertempuran di Ramadi, 29 September 2006

Pada tahun 2006, situasi di Irak, dan di provinsi Anbar yang ada di barat negeri itu, sangat parah dan ada di ambang bencana. Tidak kurang daripada kepala intelijen Korps Marinir yang dihormati di Irak, Kolonel Pete Devlin, telah mengajukan laporan rahasia pada musim panas itu yang menyatakan, sebagian, atau bahkan memang tidak ada lembaga pemerintah yang berfungsi sama sekali di Anbar dan bahwa kekosongan kekuasaan sedang diisi oleh gerilyawan dari kelompok teroris al Qaeda di Irak. Pada saat itu, kota paling berbahaya di provinsi Anbar adalah Ramadi, di mana, dalam kata-kata reporter AP, Todd Pitman, “skala kekerasan (nya) … sangat mencengangkan.” Sementara itu, tidak ada yang lebih tahu realitas situasi di kota Ramadi selain Petty Officer Michael Anthony “Mikey” Monsoor, penembak senjata berat bersenjata senapan mesin dan komunikator di Pleton Delta, SEAL Team 3. 

Tentara AS mengambil posisi di sudut jalan selama patroli jalan kaki di kota Ramadi, Agustus 2006. Pada tahun 2006, Ramadi merupakan salah satu kota yang paling parah diguncang pemberontakan di Irak, setelah tumbangnya rezim Saddam Hussein. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

LATAR BELAKANG

Lahir di Long Beach, California, pada tanggal 5 April 1981, Monsoor adalah seorang Katolik taat dari keluarga keturunan Kristen-Arab yang dibesarkan di Garden Grove, California, sebagai anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan George dan Sally Monsoor. Ayahnya adalah keturunan Libanon, sedangkan ibunya adalah keturunan Irlandia. Dia memiliki kakak laki-laki bernama James dan kakak perempuan bernama Sara, dan adik laki-laki, Joseph. Keluarga Monsoor memang memiliki riwayat berdinas dalam kemiliteran. Baik ayah dan kakak laki-lakinya sempat bertugas sebagai Marinir, dan kakeknya di Angkatan Laut. Michael bersekolah di Dr. Walter C. Ralston Intermediate School dan Garden Grove High School di mana ia bermain dengan tim football Argonaut dan lulus pada tahun 1999. Ketika dia masih kecil, Monsoor menderita asma, tetapi paru-parunya bisa diperkuat dengan berenang bersama saudara-saudaranya di kolam renang keluarga. Sebagai seorang yang suka berolahraga, Mike menikmati snowboarding, body boarding, spear fishing, mengendarai sepeda motor, dan mengendarai Korvetnya. Sikap tenang dan dedikasinya kepada teman-temannya ini cocok dengan mentalitas “Silent Warrior” unit khusus Navy SEAL yang akan menjadi panggilan hidupnya. Meskipun bukan siswa kelas “A” atau atlet berbakat, namun tekadnya, resolusinya, rasa hormatnya terhadap orang lain, dan keinginan untuk melindungi orang-orang-lah yang membuatnya menonjol.

Michael Anthony “Mikey” Monsoor dengan seragam Angkatan Laut. Monsoor lahir dari keluarga Katolik keturunan Libanon-Irlandia. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Sara Monsoor, kakak perempuan Michael, mengatakan keluarganya terkejut ketika Michael mengumumkan rencana untuk bergabung dengan Angkatan Laut tak lama setelah lulus dari sekolah menengah pada tahun 1999. Tapi Michael tidak pernah berbicara banyak tentang rencananya, katanya. “Ia tidak mengatakan apa pun” tentang keinginannya untuk menjadi SEAL sampai dia memberi tahu keluarga bahwa dia ingin mendaftar, kata Sara. Sara Monsoor menggambarkan Michael sebagai seseorang yang selalu berpikir dengan hati-hati atas hampir semua yang dia lakukan, bahkan saat masih anak-anak. Dia memiliki sisi yang ingin disembunyikan, katanya. “Selalu ada suatu hal khusus yang ingin dia dapatkan, dan kami tahu dia sedang merencanakan sesuatu.” Monsoor pada akhirnya kemudian benar-benar mendaftar di Angkatan Laut pada tanggal 21 Maret 2001 dan mengikuti pelatihan dasar di Recruit Training Command, Great Lakes, Ill. Setelah menjalani pelatihan dasar, ia menghadiri Sekolah Quartermaster “A”, di mana ia mendapatkan rating quartermaster-nya. Setelah menjalani dinas di Naval Air Station, Sigonella, Italia, Monsoor mengikuti pelatihan Basic Underwater Demolition/SEAL (BUD/S) di Coronado, California, namun ia terpaksa mundur karena mengalami patah tumit. Dia kembali pada tahun 2004 dan lulus sebagai salah satu yang memiliki nilai tertinggi di kelasnya yang berisi 250 siswa didik pada bulan Maret 2005. Bulan berikutnya ratingnya berubah dari quartermaster menjadi master-at-arms dan dia ditugaskan ke SEAL Team 3 pada Pleton Delta. Dia lalu dikerahkan bersama peletonnya ke Irak pada tahun 2006 untuk mendukung “Operasi Pembebasan Irak”, dan ditugaskan ke Satuan Tugas Bravo.

PENUGASAN DI IRAK

Pada bulan April 2006, ia dan peletonnya tiba di provinsi Anbar. Provinsi Anbar, membentang dari Bagdad ke barat hingga perbatasan Suriah dan Yordania, dimana pada waktu itu didiami oleh sekitar 600.000 orang, kebanyakan dari mereka tinggal di atau dekat ibukota provinsi, Ramadi. Provinsi yang didominasi  orang-orang Muslim Sunni ini juga menyumbang 30 persen dari total daratan Irak, yang termasuk juga kota besar Fallujah. Fallujah telah menjadi lokasi dilaksanakannya Operasi Phantom Fury pada bulan November 2004. Meskipun operasi itu merupakan sebuah keberhasilan pasukan koalisi dalam melawan pasukan pemberontak dan teroris Irak, namun tingginya jumlah korban sipil dan kerusakan serta kehancuran dari sekitar setengah rumah-rumah didalam kota, membuatnya dianggap sebagai kemenangan yang berharga mahal. Pada tahun 2006, Ramadi kembali menjadi medan pertempuran penting untuk apa yang digambarkan sebagai “tempat uji dan laboratorium upaya kontra-pemberontakan di Irak” dalam strategi yang lebih luas untuk mengamankan daerah tersebut dan memungkinkan pemerintah Irak setempat untuk mendapatkan kembali kendali atas wilayah tersebut. Kolonel Sean MacFarland, komandan Brigade Tempur ke-1, Divisi Lapis Baja 1, diangkat untuk menjadi komandan keseluruhan operasi untuk menaklukkan Ramadi. Dalam menjalankan tugasnya, ia bermitra dengan unit tentara dan polisi Irak, sekaligus melatih dan membimbing mereka dalam melakukan operasi kontra-pemberontakan. Dengan ingatan akan pengalaman di Fallujah masih segar, instruksi MacFarland sangat jelas: “Amankan Ramadi, tapi jangan menghancurkannya.” 

Lokasi Perlawanan Al Qaeda dan Pergolakan Orang-orang Sunni di sekitar Baghdad dan Ramadi tahun 2006 dan 2008. (Sumber: https://www.vox.com/)
Sebuah jalan di kota Fallujah rusak berat akibat pertempuran di tahun 2004. Dalam misinya untuk mengamankan kota Ramadi pada tahun 2006, prajurit Amerika diinstruksikan untuk sedapat mungkin menghindari kehancuran kota dalam memadamkan pemberontakan. (Sumber: Official USMC Photograph by Lance Corporal James J. Vooris/https://en.wikipedia.org/)

Karena kekuatannya yang relatif kecil, MacFarland memilih pendekatan membersihkan blok demi blok, sedikit demi sedikit untuk melenyapkan pemberontak serta memenangkan simpati dari para sheik dan penduduk setempat. Dengan menargetkan tempat-tempat di mana aktivitas musuh dianggap paling kuat, ia mendirikan pos-pos yang dirancang untuk melindungi dan mengamankan daerah-daerah yang telah diamankan oleh pasukannya. Pada bulan April 2006, peleton Monsoor yang berisi 19 orang dikerahkan ke Ramadi dan ditugaskan ke Satuan Tugas Bravo, bagian dari Batalyon ke-1, Resimen Infantri 506 (1/506) Angkatan Darat AS. Unit itu ditugaskan di daerah distrik Ma’laab, salah satu lingkungan paling berbahaya di Ramadi. Mereka ditugaskan dengan berbagai misi, di antaranya patroli, penggerebekan, dan memberikan perlindungan terhadap penembak jitu saat operasi pencarian dan penyitaan. Sebagai operator senjata berat, yang membawa senapan mesin Mk. 48 (versi modifikasi dari senapan mesin M249/FN Minimi, namun menembakkan peluru kaliber 7.62×51 mm) posisi Monsoor langsung berada di belakang point man (personel yang berada di depan) saat tim berpatroli. Hal ini memungkinkan dia untuk memberikan tembakan penekan pada lawan untuk melindungi peletonnya dari serangan musuh secara frontal.

Dalam foto yang tak bertanggal yang disediakan oleh Angkatan Laut AS, Master-At-Arms 2nd Class (SEAL) Michael A. Monsoor berpartisipasi dalam patroli untuk mendukung “Operasi Pembebasan Irak”. Nampak pada gambar, Monsoor membawa senapan mesin Mk.48 kaliber 7,62x51mm. (Sumber: https://www.navy.mil/)

Karena dia juga seorang komunikator tim, menurut rekannya, Chief Warrant Officer 3, Benjamin Oleson, pada 15 misi yang dijalaninya, dia membawa muatan ganda baik amunisi dan peralatan komunikasi, yang secara kolektif beratnya lebih dari 100 pon (45 kg). Namun bahkan ketika suhu mencapai 130 derajat Fahrenheit (54 derajat Celcius), dia tidak pernah mengeluh. Monsoor juga dikenal memperlakukan, bahkan personel paling junior dengan hormat, dan juga baik kepada anak-anak Irak. Monsoor memiliki pandangan yang terfokus seperti laser, sangat tajam sehingga para pemimpin memindahkan posisinya dalam pasukan ke posisi depan, di mana senapan mesin beratnya dapat melindungi point man mereka dan di mana dia dapat segera menanggapi serangan musuh hampir setiap hari. “Segera setelah kontak senjata dimulai,” kata Oleson, “Anda hanya akan dapat mendengar suara itu (tembakan Mk.48 Monsoor) dan Anda tahu bahwa anda akan baik-baik saja.” Hal semacam ini banyak terjadi selama penugasan mereka. Peleton Delta diketahui berbasis di Camp Corregidor, di wilayah Ramadi timur. Di sana, personel SEAL tinggal di gubuk berantakan yang mereka bangun dan dijuluki “Full Metal Jacket”. Di luar tugas, mereka biasa berolahraga dan bercanda, berbicara tentang rumah mereka masing-masing. Saat bertugas, unit SEAL biasa mendukung pasukan dari Batalyon ke-1, Resimen Infantri ke-506, Divisi Lintas Udara ke-101 dalam berbagai pertempuran brutal untuk merebut kembali kota itu.

Monsoor (kiri) dalam sebuah operasi militer. Nyaris dalam setiap misi yang dijalaninya di Irak, unit Monsoor nyaris selalu terlibat dalam baku tembak sengit dengan pasukan pemberontak. (Sumber: https://www.navy.mil/)

Sementara itu, nyaris tidak ada misi – bahkan merupakan hal yang langka jika misi mereka tidak mendapat serangan – yang membosankan. Dari semua misi yang dia jalani, hanya 25 persen yang tidak menghasilkan serangan musuh. Selama menjalani misi-misi ini, Mike ditengarai telah menembakkan puluhan ribu peluru kaliber 7,62 milimeter untuk melindungi pergerakan Pleton Delta melalui jalan-jalan. Tiga puluh lima misi yang dilaluinya, kerap melibatkan berbagai baku tembak yang begitu sengit sehingga jalanan digambarkan sebagai “dipenuhi dengan tembakan.” Salah satunya terjadi saat patroli pada tanggal 9 Mei. Seorang rekan setimnya, yang terjebak di tengah jalan saat baku tembak, jatuh dengan luka tembak di kaki. Dengan anggota SEAL lain yang memberikan tembakan perlindungan tambahan, Monsoor, sambil menembakkan Mk. 48-nya, berlari ke jalan untuk menyelamatkan rekan satu timnya itu. Melanjutkan menembakkan senapan mesinnya dengan satu tangan sambil menarik personel SEAL yang terluka dengan tangan lainnya, dan dengan peluru pemberontak menyebarkan debu dan pecahan beton di sekeliling mereka, Monsoor berhasil menyeret rekan satu timnya ke tempat yang aman tanpa salah satu dari mereka terkena tembakan. Atas aksi keberaniannya di bawah tembakan lawan, dia dianugerahi medali Silver Star. Ketika dia tidak berada di jalanan, Monsoor biasa berada di atas posisi rekan-rekannya, dengan ditempatkan di sebuah pos penembak jitu di atap. Di sana, bertindak dalam perannya sebagai petugas spesialis komunikasi, dia mengamati posisi musuh dan memanggil dukungan tembakan. Di distrik Ma’laab, Michael menyempurnakan keterampilannya sebagai penembak senapan mesin di medan tempur perkotaan. Begitu dia dan anak buahnya membentuk posisi pengawas penembak jitu, dia dengan cekatan biasanya beralih ke perannya sebagai komunikator SEAL yang meminta dukungan tank dan mengirimkan laporan mengenai situasi musuh kepada Komandan PIR 1-506.

Monsoor (tengah) di kota Ramadi, Irak. Dalam 6 bulan misinya di Ramadi, Monsoor dan unitnya diketahui menewaskan setidaknya 84 pemberontak dan menangkap beberapa lainnya. (Sumber: https://www.navy.mil/)

Pleton Delta menjalankan spektrum operasi tempur yang luas di dalam dan sekitar Ramadi. Mereka berpatroli dengan berani melalui jalan-jalan kota, terlibat dalam baku tembak sementara pada kesempatan lain, mereka pernah menyergap tim mortir pemberontak di dekat tepi Sungai Efrat. Mike dan rekan-rekan SEAL-nya diketahui bertanggung jawab menewaskan 84 petempur musuh dan menahan sejumlah pemberontak dalam berbagai misi yang dijalaninya. Yang paling utama, pasukan gabungan dari Infanteri Angkatan Darat, SEAL Angkatan Laut dan Angkatan Darat Irak telah membantu menenangkan kota paling brutal di provinsi Al Anbar. Minggu-minggu berlalu, pasukan koalisi secara perlahan-lahan mulai mengubah situasi taktis menjadi lebih baik. Kontribusi Monsoor melalui aksi teladan kepemimpinan, bimbingan, dan tindakan tegas selama 11 operasi tempur yang berbeda antara bulan April sampai September 2006 telah menyelamatkan banyak nyawa rekan-rekan satu timnya, Pasukan Koalisi lainnya dan tentara Angkatan Darat Irak, sehingga dia dianugerahi medali lagi, kali ini Bronze Star. Meski kerap menghadapi bahaya, namun sejak sampai di Irak, Michael jarang membicarakan tentang misi dan bahaya yang dihadapi pada keluarganya, kata Sara, kakaknya, kecuali bahwa dia melatih tentara Irak dan menceritakan tentang cuaca panas disana.

OPERASI KENTUCKY JUMPER

Dengan situasi mulai mendukung pasukan koalisi, MacFarland memutuskan bahwa sudah waktunya untuk melakukan langkah berikutnya. Lewat operasi yang diberi kode sandi “Operasi Kentucky Jumper”, MacFarland ingin melancarkan sebuah operasi multi batalyon pasukan koalisi dan operasi terpisah di Ramadi selatan dengan menggunakan pasukan Amerika dan Irak yang terintegrasi. Operasi itu dijadwalkan akan dimulai pada tanggal 29 September 2006. Bagi Monsoor dan rekan-rekannya, penugasan baru ini adalah hal yang berat, setelah hampir selama enam bulan terlibat baku tembak hampir setiap hari saat mereka bekerja bersama dengan pasukan Angkatan Darat dan Korps Marinir untuk merebut kembali kota, jalan demi jalan, dari pemberontak al-Qaida. Orang-orang dari Tim SEAL 3, Delta Platoon kelelahan, tetapi mereka tinggal beberapa hari lagi untuk pulang, begitu dekat sehingga mereka hampir bisa “mencium” udara San Diego yang asin. Operasi Kentucky Jumper, seharusnya menjadi misi terakhir mereka. Faktanya, Operasi Kentucky Jumper, adalah misi sukarela, dimana tenaga mereka masih dibutuhkan. Salah satu orang pertama yang mengangkat tangannya bersedia untuk ditugaskan adalah Master-at-Arms Kelas 2, Michael Monsoor. Sementara itu, seperti yang selalu dilakukannya sebelum mengikuti setiap misi, Monsoor menghadiri misa di gereja. Pastor Paul Halladay, pendeta yang ditempatkan di Ramadi pada saat itu, memimpin kebaktian, yang pada hari raya St. Michael. Karena misi tersebut membutuhkan pelindung, maka doa yang dilantunkannya memiliki relevansi dengan para prajurit yang akan berperang: 

“Saint Michael the Archangel, lindungilah kami dalam pertempuran! Jadilah pelindung kami dari kejahatan dan jerat iblis. Semoga Tuhan mengingatkannya, kami berdoa dengan rendah hati; Dan apakah engkau, O Pangeran dari Bapa Surgawi, dengan kekuatan Tuhan, Buang ke neraka para Setan dan semua roh jahat yang berkeliaran di seluruh dunia untuk mencari kehancuran jiwa. Amin.”

Marinir selama operasi untuk mencegah dan mengganggu aktivitas pemberontakan di Ramadi, 25 April 2006. Pada bulan September 2006, saat situasi mendukung pasukan koalisi, komandan pasukan Amerika di kota itu melancarkan operasi “Kentucky Jumper”. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Monsoor dalam Operasi Enduring Freedom di Afghanistan. Dikenal sebagai sosok yang religius, Monsoor senantiasa menghadiri misa di Gereja sebelum berangkat menjalankan tugas tempur. (Sumber: https://www.navy.mil/)

Sementara itu, tugas Monsoor dalam operasi ini adalah untuk berperan sebagai penembak senapan mesin dari tim pasukan gabungan yang terdiri dari empat personel SEAL dan delapan tentara Irak. Tim ini ditugaskan dengan peran pendukung sebagai elemen pengawas penembak jitu yang menjaga sayap bagian barat selama operasi darat. Pagi itu cuaca cerah, dengan visibilitas yang baik. Mereka dengan cepat menemukan lokasi di atap yang memberi mereka bidang pandang yang bagus untuk melihat dan mengenali adanya pasukan pemberontak melakukan serangan balik, yang mungkin mendekat dari arah barat. Dengan menggunakan periskop taktis untuk memindai aktivitas musuh, mereka segera melihat sekelompok empat pemberontak bersenjatakan senapan serbu AK-47 melakukan pengintaian bagi serangan lanjutan dari pasukan darat. Penembak jitu dengan segera menyerang musuh, membunuh satu dan melukai yang lain. Tidak lama kemudian, tim tentara SEAL/Irak yang saling mendukung membunuh pejuang musuh lainnya. Setelah dua aksi tersebut, warga sekitar yang mendukung para pemberontak mulai memblokir jalan-jalan di sekitar mereka dengan batu untuk mencegah pasukan Amerika mendapatkan perkuatan. Tujuannya lain dari para warga sekitar ada dua, yakni: untuk memperingatkan warga sipil dan untuk memperingatkan para pemberontak bahwa tim penembak jitu beroperasi di daerah itu. Selain itu, seseorang di masjid terdekat, dengan menggunakan pengeras suara meminta pemberontak untuk bergabung bersama dalam serangan terhadap pasukan koalisi.

Dua pemberontak bersenjata Irak, yang melakukan serangan terhadap pasukan Amerika dan koalisi, November 2006. Pemberontak-pemberontak semacam inilah yang dihadapi oleh Monsoor dan unit SEAL-nya di Ramadi. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Serangan pertama pada posisi mereka dimulai pada sore hari. Tiba-tiba sebuah kendaraan yang penuh dengan gerilyawan menembakkan senjata otomatis menyerang gedung. Personel SEAL kemudian segera membalas tembakan. Salah satu penyerang menembakkan granat berpeluncur roket yang menghantam gedung mereka. Meskipun personel SEAL dan tentara Irak tahu pemberontak akan menindaklanjuti hal ini dengan serangan tambahan, tim memilih untuk melaksanakan misinya dan menolak untuk pergi dari tempat itu. Setelah menilai kembali situasinya, perwira yang bertanggung jawab atas tim itu, Lt. Cmdr. Michael Sarraille dari unit SEAL, mengidentifikasi kemungkinan adanya serangan pemberontak, dan menempatkan Monsoor dengan senapan mesin beratnya di singkapan pada bagian atap yang menghadap ke keluar. Lokasi Monsoor berada di dekat pintu keluar atap dan di antara dua penembak jitu SEAL. Situs persembunyian ini memungkinkan tercapainya jangkauan maksimum senjata dari tiga personel SEAL di area tersebut. Monsoor sedang menggunakan periskop taktis ketika seorang pemberontak berhasil menyelinap dan melemparkan granat tangan ke atap. Granat itu mengenai dada Monsoor dan memantul ke atap. Monsoor hanya beberapa langkah dari pintu keluar dan bisa melompat melewatinya ke tempat yang aman. “Tiba-tiba,” kenang Sarraille, “sebuah granat melewati bibir dinding, nyaris tidak menembus dinding dan mengenai Mikey tepat di dada. … (granat) itu jatuh ke tanah. Saya hanya berada di tiga kaki sebelah kanannya, duduk, dan Doug Wallace berada tiga kaki kirinya, juga duduk di tanah. Dari kami bertiga, Mikey mungkin memiliki peluang terbesar untuk selamat. Yang harus dia lakukan hanyalah berbelok ke arah lain, melompat dan dia akan hidup. … Tetapi karena karakter Mikey dan pemikirannya yang cepat, dia tahu bahwa jika dia memilih menyelamatkan dirinya, yang terkadang memang dibutuhkan di medan perang, Doug dan saya kemungkinan besar akan binasa, dan dia selamat.” Tapi ada tiga SEAL lainnya dan delapan tentara Irak di dekatnya. “Granat!” dia berteriak, dan melemparkan dirinya ke atasnya. Granat itu meledak saat dia jatuh di atasnya. Pecahan peluru sempat mengenai Sarraille dan Wallace, serta melukai mereka. Sarraille sendiri terkena sekitar 30 luka pecahan peluru. Tapi tubuh Monsoor telah menyerap sebagian besar energi ledakan. 

Monsoor di atap sebuah rumah. Di posisi-posisi strategis yang dapat mengamati kondisi sekitar seperti inilah, Monsoor gugur pada 29 September 2006, demi menyelamatkan rekan-rekannya. (Sumber: https://www.navy.mil/)

“Yang saya rasakan hanyalah rasa sakit. Aku segera melihat kembali ke arah Mikey. Kepalanya menghadap ke arahku. Matanya terbuka. Saya berteriak, ‘Mike! Mikey! Mikey!’ dan tidak ada (respon) apa-apa. Dia seperti tak bernyawa, dan hatiku sedih. “Dan kemudian segalanya menjadi lebih buruk dari sana.” Tim berada di bawah tembakan senjata otomatis. Radio telah dihancurkan. Sebagian besar tentara Irak melarikan diri. Satu-satunya orang yang mampu merespons adalah Oleson. “Berada di belakang Mikey,” kata Oleson, “yang saya ingat adalah teriakan, ‘Granat!’ dan hal berikutnya yang saya tahu adalah ledakannya. Saya pingsan selama beberapa detik, dan ketika saya sadar, saya memiliki tiga teman dekat saya … terluka, dan dengan cepat mencoba menilai situasinya. … Apa yang terlintas dalam pikiran saya adalah, ‘Saya berada di lokasi yang sangat mengerikan.’ Saya memiliki pecahan kecil peluru di betis saya, tapi saya yang masih paling bisa untuk bermanuver, masih bisa bertempur dari kami berempat yang ada di sana.” Dia menarik Monsoor ke tengah atap dan mulai merawatnya. Sarraille berhasil merangkak rendah ke arah tentara Irak yang ketakutan dan mengambil radionya yang sudah ketinggalan zaman. Dia akhirnya mencapai personel SEAL lain. Bantuan tiba dalam hitungan menit, meskipun rasanya seperti berjam-jam karena para penyelamat harus berjuang menembus posisi pasukan musuh di darat untuk bisa sampai ke sana. “Mereka melemparkan diri saya, Mikey dan Doug ke dalam (kendaraan tempur) Bradley, dan kemudian kami pergi ke rumah sakit lapangan,” kata Sarraille. Ajaibnya, Monsoor masih hidup ketika medevac membawanya kembali ke rumah sakit lapangan. Tapi lukanya terbukti mematikan. Satu-satunya bantuan yang mungkin diberikan oleh Pastor Halladay, yang tiba tepat waktu adalah dengan memberikan upacara kematian terakhir kepada Monsoor.

Monsoor (tengah) bersama rekan-rekannya. Gugurnya Monsoor menjadi duka mendalam bagi rekan-rekannya, terutama mereka yang “berhutang” nyawa padanya. (Sumber: https://www.navy.mil/)

“Sekali lagi, rasanya seperti bertahun-tahun. Mungkin butuh waktu sekitar 20, 25 menit. … Yang saya ingat adalah seorang personel SEAL lain … melakukan kompresi dada pada Mikey untuk membuatnya tetap hidup. Dia dinyatakan meninggal ketika kami sampai di rumah sakit lapangan itu.” Itu adalah momen yang menyedihkan, memilukan, dan awal dari misi-misi baru tanpa Monsoor bagi mereka yang selamat. “Kami semua lalu mencoba untuk hidup dengan kemampuan terbaik kami dalam ingatan akan Mikey,” kata Sarraille. Monsoor adalah hal pertama yang dia pikirkan di pagi hari, dan yang terakhir ia ingat sebelum dia tertidur di malam hari. Dia bahkan menamai putranya seperti nama rekannya yang gugur itu. “Itulah tugas kita sekarang. … Ketika Mikey menyelamatkan saya dan Doug, satu-satunya hal yang dapat Anda lakukan adalah bercermin dan melakukan penilaian diri yang jujur.” Dan pada setiap misi setelahnya, dia berkata, “bahwa akan selalu, di dalam kepala saya, berkata, ‘Tuhan tolong saya jika ada sesuatu yang gagal saya lakukan dan bisa menyebabkan salah satu rekan saya tidak pulang.’ Saya bersikeras untuk tidak pernah kehilangan rekan lain dalam pertempuran. Sayangnya, hal itu tidak bisa saya lakukan. ” “Saya merindukannya,” tambah Oleson. “Sebagian dari saya berharap dia tidak (melakukannya) karena dia adalah teman yang baik. Tapi … saya sangat bersyukur karena saya bisa ada di sini hari ini. … Dengan dia menjatuhkan granat itu, saya sekarang punya keluarga. Saya punya tiga anak, dan saya berutang semuanya kepada Mikey.” Sarraille ingat, “Dia tidak pernah mengalihkan pandangannya dari granat. Satu-satunya gerakannya adalah menjatuhkan dirinya ke arah granat itu. Dia tidak diragukan lagi telah menyelamatkan nyawaku dan personel SEAL lainnya, dan kita berhutang padanya.” 

USS MICHAEL MONSOOR 

Dengan tanpa bermaksud tidak menghormati perjuangan personel SEAL yang telah bertempur bersama dengan mereka, anggota batalion 1/506 mengadakan upacara peringatan khusus atas namanya. Scout dari tentara Irak, yang telah dibantu oleh Petty Officer Monsoor, menurunkan bendera mereka sebagai peringatan dan kemudian mengirimkannya kepada orang tua Monsoor. Jenazahnya kemudian dibawa ke California dan dimakamkan di Pemakaman Nasional Fort Rosecrans di San Diego. Saat peti matinya sedang dibawa dari mobil jenazah ke kuburan, para pengusung jenazah berjalan di antara dua baris personel SEAL. Ketika peti mati Monsoor lewat, setiap personel SEAL, dengan lencana trisula emas di tangan, menancapkannya dalam-dalam ke tutup peti kayu, menyematkannya. Pada saat peti mati tiba di lokasi kuburan, pengamat mengatakan tutupnya terlihat “seolah-olah memiliki tatahan emas.” Keteladanan Monsoor selalu diingat oleh rekan-rekannya. Meskipun Monsoor memililiki keberanian tenang, dia terus-menerus memimpin serangan. Rekan satu timnya mengingat rasa kesetiaannya kepada Tuhan, keluarga, dan timnya. Dia senantiasa menghadiri Misa Katolik dengan sebelum operasi, dan sering berbicara dengan penuh kasih tentang keluarganya – kakak laki-lakinya, seorang perwira polisi dan mantan Marinir yang sangat dia hormati; saudara perempuannya, seorang perawat; dan adiknya, seorang pemain footbal di perguruan tinggi. Mike adalah salah satu orang yang paling berani di medan perang, dan tidak pernah membiarkan musuh mengecilkan hatinya. Dia tetap tak kenal takut saat menghadapi bahaya terus-menerus, dan melalui sifat tanpa pamrih dan tindakan agresifnya, telah menyelamatkan banyak nyawa tentara koalisi dan sesama SEAL. Dia adalah teman yang setia dan sosok prajurit SEAL yang luar biasa, serta sangat dirindukan oleh rekan-rekannya di Unit Tugas Bravo.

Presiden Bush menyerahkan medali “Medal of Honor” kepada George dan Sally Monsoor, orang tua dari Petty Officer Monsoor. (Sumber: Saul Loeb/Agence France-Presse — Getty Images/https://www.nytimes.com/)
Kapal Perusak Kelas Zumwalt, USS Michael Monsoor (DDG 1001). (Sumber: U.S. Navy photo by Chief Mass Communication Specialist Shannon Renfroe/https://en.wikipedia.org/)

Petty Officer Michael Monsoor telah tiada. Namun dua tahun kemudian, bangsanya menunjukkan bahwa dia tidak akan dilupakan. Pada tanggal 8 April 2008, dalam sebuah upacara di Gedung Putih yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush, medali Medal of Honor bagi Petty Officer Michael Monsoor diberikan kepada orang tuanya. Dia menjadi prajurit ketiga dalam perang Irak, dan yang pertama dari Angkatan Laut, yang menerima medali penghargaan tertinggi negara itu untuk keberanian. Monsoor adalah prajurit kelima yang menerima penghargaan itu dalam pertempuran di Irak atau Afghanistan. Juga pada hari itu, Anggota Kongres California, Zoe Lofren membacakan Catatan Kongres tentang kehidupan Monsoor dan pengorbanan dirinya, dengan menambahkan, “Seorang sejarawan kuno pernah menulis, ‘Yang paling berani adalah mereka yang memiliki visi paling jelas tentang apa yang ada di hadapan mereka, kemuliaan dan bahaya sama, namun ada yang tidak hanya berdiam diri saja, dan pergi keluar untuk menghadapinya.’ kata-kata ini menggambarkan komitmen pribadi para pejuang seperti Petty Officer Monsoor, yang pelayanan dan pengorbanannya dalam menghadapi kejahatan tidak dapat dilupakan .” Pada tanggal 29 Oktober 2008, Secretary of the Navy, Donald C. Winter mengumumkan bahwa DDG-1001, yakni kapal kedua dari kelas kapal perusak Zumwalt, akan diberi nama Michael Monsoor. Dan, empat hari sebelumnya, pada tanggal 25 Oktober, Monsoor, Lt. Michael Murphy dari SEAL, dan Cpl. Jason Dunham dari Marinir, yang semuanya secara anumerta dianugerahi medali Medal of Honor atas aksi keberanian mereka di Irak atau Afghanistan, dihormati dengan plakat dalam upacara pendedikasian kembali Monumen Marinir Semper Fi di San Clemente, California. Ini adalah pertama kalinya dalam tiga tahun sejarah taman itu bahwa personel dari Angkatan Laut dan Marinir dihormati bersama. Sara Monsoor, saudara perempuan Monsoor, menghadiri upacara tersebut dan kemudian berkata, “Saya pikir sangat bagus bahwa mereka ingin menambahkannya ke taman ini bersama personel Marinir. … Harapan saya adalah ketika orang-orang datang ke sini, plakat ini menginspirasi mereka untuk menemukan kisah mereka (para pahlawan) dan benar-benar menginspirasi mereka untuk menjalani hidup mereka seperti yang dilakukan orang-orang ini.” Mungkin yang paling penting semuanya, Ramadi kini tidak lagi menjadi kota berbahaya seperti saat Monsoor bertugas di sana. Meskipun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memperbaiki kehidupan di Irak, hal-hal yang sudah jauh lebih baik merupakan bukti tambahan bahwa hidupnya, nyawa yang diberikan untuk menyelamatkan rekan satu timnya, tidak dikorbankan dengan sia-sia.

Nisan makam, Michael Anthony Monsoor. Keteladanan Monsoor senantiasa akan dikenang sebagai salah satu contoh tindakan tidak mementingkan diri sendiri, demi keselamatan rekan-rekannya. (Sumber: https://www.publicradioeast.org/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Michael A. Monsoor and Operation Kentucky Jumper BY DWIGHT JON ZIMMERMAN; APRIL 30, 2010

MEDAL OF HONOR RECIPIENT MICHAEL A. MONSOOR

https://www.navy.mil/MEDAL-OF-HONOR-RECIPIENT-MICHAEL-A-MONSOOR/

Sacrifice earns SEAL nation’s highest award for valor By DALE EISMA; THE VIRGINIAN-PILOT; APR 01, 2008 AT 12:00 AM

https://www.google.com/amp/s/www.pilotonline.com/military/article_171717e3-e71e-5a57-b9a4-cbe7ec2df823.html%3FoutputType%3Damp

Michael Anthony Monsoor
Master-at-Arms Second Class, U.S. Navy Medal of Honor Recipient
Iraq War

https://militaryhallofhonor.com/honoree-record.php?id=1265

 

Exit mobile version