Sejarah Militer

Benarkah Pilot Vietnam Utara Mencetak Banyak Kemenangan Udara Melawan Amerika Selama Perang?

Dua jet tempur F-102 Delta Daggers Angkatan Udara AS dari 509th Fighter Interceptor Squadron mengawal sebuah pesawat pengacau radar EB-66C di atas perbatasan Laos, sekitar 90 mil (144,8 km) barat daya Hanoi pada tanggal 3 Februari 1968, ketika pemimpin penerbangan Mayor A. L. Lomax mendapat laporan dari wingmannya, Letnan 1 Wallace Wiggins. Pesawat letnan dilaporkan bereaksi tidak normal. Lomax kemudian melihat dan terkejut adanya bagian dari rudal udara-ke-udara R-3S (kode NATO: AA-2 “Atoll“) buatan Soviet yang tertanam di bagian belakang pesawat F-102 Wiggins. Saat kedua pesawat Delta Dagger berhasil mundur dengan tergesa-gesa, Lomax melihat sepasang jet tempur MiG-21 Vietnam Utara di belakang mereka. Dia lalu berbalik dan menembakkan tiga rudal AIM-4 Falcon—tanpa efek. Dia kemudian melihat jet wingman-nya dilalap api, kemungkinan hasil dari serangan rudal diawal. Wiggins tewas dalam ledakan itu. Pilot komunis yang memperoleh kemenangan udara itu adalah Pham Thanh Ngan (mengenai klaim ini masih ada perbedaan catatan, beberapa sumber mencatatkan kemenangan ini sebagai milik Nguyen Van Coc), yang baru saja menjadi acepertama dalam Perang Vietnam. Namun, Ngan tidak tahu bahwa dia adalah yang pertama karena tidak kurang dari 11 pilot Vietnam Utara telah salah mengklaim status itu selama 13 bulan sebelumnya. Memang, bahkan Ngan tidak pantas membuat klaim seperti itu sebelumnya. Vietnam Utara diketahui mengakui mencetak 16 ace VPAF (AU Vietnam Utara). Yang teratas adalah Nguyen Van Coc sendiri, dengan sembilan catatan kemenangan udara yang diakui, tujuh di antaranya atas pesawat-pesawat tempur AS dan dua atas drone Firebee. Tiga belas ace Vietnam Utara tercatat menerbangkan MiG-21 dan tiga menerbangkan MiG-17, sementara tidak ada Ace yang menggunakan MiG-19. Di sisi lain Amerika “hanya” mampu menghasilkan 5 Ace saja. Perbandingan kedua pihak jelas tidak seimbang, namun bagaimana dengan akurasi dari klaim-klaim yang dibuat oleh kedua pihak?

Ilustrasi MiG-21 Vietnam Utara menjatuhkan pesawat F-4 Phantom II Amerika. Vietnam Utara diketahui mengakui mencetak 16 ace VPAF (AU Vietnam Utara). Yang teratas adalah Nguyen Van Coc sendiri, dengan sembilan catatan kemenangan udara yang diakui, tujuh di antaranya atas pesawat-pesawat tempur AS dan dua atas drone Firebee. Tiga belas ace Vietnam Utara tercatat menerbangkan MiG-21 dan tiga menerbangkan MiG-17, sementara tidak ada Ace yang menggunakan MiG-19. Bagaimana akurasi dari klaim pihak Vietnam Utara ini?. (Sumber: https://ngayday.com/)

KONTROVERSI RASIO KEMENANGAN UDARA DIATAS VIETNAM

Sejak awal perang udara, pilot pesawat tempur telah mencari dan mendambakan gelar “ace“, yang hanya diberikan kepada awak pesawat yang memiliki setidaknya lima kemenangan udara yang dikonfirmasi. Selama kedua perang dunia, banyak Ace yang menghasilkan kemenangan udara dalam jumlah lusinan, terkadang malah ratusan. Namun, dengan munculnya jet tempur—mulai marak dipakai pada tahun 1950 selama Perang Korea—kemenangan udara menjadi lebih sulit didapat, sebagian karena adanya peningkatan kecepatan terbang, yang memungkinkan pilot untuk menghindari tembakan musuh dengan lebih baik. Dalam tiga tahun Perang Korea, ace Amerika dengan skor tertinggi, pilot Angkatan Udara Joseph McConnell, hanya memiliki 16 kemenangan udara, sedangkan ace utama musuh, yakni pilot asal Soviet Nikolai Sutyagin, mengklaim 22 kemenangan udara, suatu jumlah total yang hampir pasti tidak akurat. Ironisnya, untuk membenarkan klaim mereka yang begitu tinggi, Rusia menuduh bahwa Angkatan Udara AS secara ekstensif memalsukan catatan kerugiannya dengan tidak melaporkan jumlah pesawat Amerika yang ditembak jatuh. Di Korea, pilot F-86 SabreAmerika mendominasi udara dan menghasilkan rasio kemenangan yang luar biasa, dan mengakhiri perang dengan sekitar 10 kemenangan untuk setiap F-86 yang hilang (meski beberapa penelitian akhir menunjukkan rasio yang lebih kecil, namun jelas Sabre dan pilot-pilot berpengalaman Amerika menunjukkan keunggulan di medan tempur). Sebaliknya, rasio kemenangan udara di paruh pertama Perang Vietnam nyaris tidak melebihi 2:1, yang cukup membikin gusar para petinggi militer Amerika. Di Vietnam, butuh tiga setengah tahun bagi Ngan untuk menjadi ace sejati pertama, dan tambahan empat setengah tahun untuk ace Vietnam Utara kedua muncul dan delapan tahun bagi AS untuk mendapatkan ace pertamanya. Di Vietnam tampaknya pilot-pilot pesawat tempur Amerika telah kehilangan semua pengetahuan tentang teknik pertempuran udara-ke-udara dalam dekade antara perang Korea dan Vietnam, menurut keyakinan yang umum muncul. Angkatan Laut AS, bagaimanapun, kemudian mampu mencatat skor yang lebih baik setelah menciptakan Topgun Fighter Weapons School pada bulan Maret 1969. Pandangan ini melanjutkan, dengan mengatakan bahwa Angkatan Udara AS terpaksa menghindari rute-rute penyerangan konvensional dan terus menghadapi masalah dalam menghadapi pilot-pilot Vietnam Utara yang cerdik. Inilah pandangan yang dikemukakan dalam film-film blockbuster seperti Top Gun (1986) yang dibintangi Tom Cruise, program History Channel TV, dan buku-buku yang tak terhitung jumlahnya, tetapi apakah itu merupakan catatan yang akurat tentang apa yang terjadi? Jawabannya tidak. Rasio kemenangan udara dalam Perang Vietnam, terutama mengenai catatan kemenangan pihak Vietnam Utara, menurut beberapa catatan patut dipertanyakan keakuratannya.

Erich Hartmann, Top Ace dunia dengan 352 kemenangan udara. Sejak awal perang udara, pilot pesawat tempur telah mencari dan mendambakan gelar “ace“, yang hanya diberikan kepada awak pesawat yang memiliki setidaknya lima kemenangan udara yang dikonfirmasi. Selama kedua perang dunia, banyak Ace yang menghasilkan kemenangan udara dalam jumlah lusinan, terkadang malah ratusan. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Ilustrasi duel klasik F-86 Sabre dan MiG-15 Fagot. Dengan munculnya jet tempur—mulai marak dipakai pada tahun 1950 selama Perang Korea—kemenangan udara menjadi lebih sulit didapat, sebagian karena adanya peningkatan kecepatan terbang, yang memungkinkan pilot untuk menghindari tembakan musuh dengan lebih baik. Dalam tiga tahun Perang Korea, ace Amerika dengan skor tertinggi, pilot Angkatan Udara Joseph McConnell, hanya memiliki 16 kemenangan udara, sedangkan ace utama musuh, yakni pilot asal Soviet Nikolai Sutyagin, mengklaim 22 kemenangan udara, suatu jumlah total yang hampir pasti tidak akurat. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Tom Cruise dalam film Top Gun (1986). Opening dalam film ini menyoroti buruknya rasio kemenangan udara Amerika dalam Perang Vietnam. Namun penggambaran ini tidaklah akurat. (Sumber: https://www.kompas.com/)

PERANG DENGAN TUJUAN TERBATAS DI VIETNAM

Untuk mengenali karakter perang udara di atas Vietnam, kita harus terlebih dahulu menyadari bahwa “memenangkan pertempuran udara” dalam pengertian klasik bukanlah strategi yang dikejar oleh kedua belah pihak yang bertarung. Penghancuran pesawat musuh, bagi keduanya, merupakan tujuan sekunder. Tujuan dari pesawat-pesawat tempur AS yang bertempur melawan MiG adalah untuk melindungi pesawat-pesawat penyerang. “Menjatuhkan MiG bukanlah tujuan kami,” kata Mayor Jenderal Alton D. Slay, chief of staff bagian operasional pada Angkatan Udara ke-7. “Tujuannya adalah untuk melindungi armada pesawat penyerang. Setiap MiG yang berhasil dijatuhkan (hanya) dianggap sebagai bonus. Sebaliknya ditembak jatuhnya pesawat penyerang (yang dilindungi) dianggap sebagai kegagalan misi, terlepas dari berapa besar jumlah MiG yang dijatuhkan.” Di sisi lain, Vietnam Utara menggunakan jet-jet tempur MiG-nya khusus untuk menghentikan armada pesawat penyerang Amerika. Mereka juga cenderung menghindari pertempuran ketika didapati risikonya tinggi. “Misi utama pesawat-pesawat MiG adalah untuk mengganggu serangan pengeboman, berusaha memaksa pesawat F-4 dan F-105 yang datang untuk membuang bom mereka sebelum mencapai sasaran, sebuah strategi yang memanfaatkan sepenuhnya aturan pertempuran AS dan mencegah F-4 bertempur melawan pesawat-pesawat MiG,” kata sejarawan Angkatan Udara Walter J. Boyne. 

“Terbang di bawah kendali radar bersama sebuah pesawat B-66 Destroyer, pilot-pilot pembom tempur F-105 Thunderchief Angkatan Udara mengebom target-target militer melalui awan rendah di atas kawasan panhandle selatan Vietnam Utara, 14 Juni 1966.” “Menjatuhkan MiG bukanlah tujuan kami,” kata Mayor Jenderal Alton D. Slay, chief of staff bagian operasional pada Angkatan Udara ke-7. “Tujuannya adalah untuk melindungi armada pesawat penyerang. Setiap MiG yang berhasil dijatuhkan (hanya) dianggap sebagai bonus. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Pilot-pilot Vietnam Utara berjalan didepan deretan jet tempur MiG-17 Fresco. Vietnam Utara menggunakan jet-jet tempur MiG-nya khusus untuk menghentikan armada pesawat penyerang Amerika. Mereka juga cenderung menghindari pertempuran ketika didapati risikonya tinggi. “Misi utama pesawat-pesawat MiG adalah untuk mengganggu serangan pengeboman, berusaha memaksa pesawat F-4 dan F-105 yang datang untuk membuang bom mereka sebelum mencapai sasaran, sebuah strategi yang memanfaatkan sepenuhnya aturan pertempuran AS dan mencegah F-4 bertempur melawan pesawat-pesawat MiG,” kata sejarawan Angkatan Udara Walter J. Boyne. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Porter di jalur Ho Chi Minh Trail. Perang Vietnam adalah perang terbatas, kampanye udara di Vietnam Utara hanya sedikit menarik minat para pejabat di Washington. Meskipun perang direncanakan, diarahkan, dipasok, diperkuat, dan dipertahankan oleh pihak Vietnam Utara, kebijakan pemerintah AS adalah bahwa hasil perang akan diputuskan di wilayah Vietnam Selatan. Atas perintah Menteri Pertahanan Robert S. McNamara, satu-satunya tujuan militer dari kampanye udara Amerika adalah “untuk mengurangi arus dan/atau meningkatkan jumlah korban pada upaya infiltrasi baik personel dan perbekalan dari Vietnam Utara ke Vietnam Selatan. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Bagaimanapun, kampanye udara di Vietnam Utara hanya sedikit menarik minat para pejabat di Washington. Meskipun perang direncanakan, diarahkan, dipasok, diperkuat, dan dipertahankan oleh pihak Vietnam Utara, kebijakan pemerintah AS adalah bahwa hasil perang akan diputuskan di wilayah Vietnam Selatan. Atas perintah Menteri Pertahanan Robert S. McNamara, satu-satunya tujuan militer dari kampanye udara Amerika adalah “untuk mengurangi arus dan/atau meningkatkan jumlah korban pada upaya infiltrasi baik personel dan perbekalan dari Vietnam Utara ke Vietnam Selatan.” Konfrontasi dengan MiG hanya dianggap aksi insidental dalam mencapai tujuan itu. Dengan ini Vietnam Utara jelas memperoleh keuntungan ekstra dari “perlindungan” dan aturan pertempuran yang dibuat oleh kebijakan pemerintah AS. Dalam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Amerika, serangan udara dilarang dilancarkan di daerah terlarang yang luas di sekitar Hanoi dan Haiphong. Pangkalan utama MiG di Phuc Yen tidak diserang sampai tahun 1967, dan pangkalan udara Gia Lam bahkan tidak pernah diserang. Penerbang AS bisa saja melihat MiG keluar, meluncur ke ujung landasan pacu, dan menjalankan mesin mereka untuk lepas landas, tetapi tidak bisa menyentuh mereka sampai mereka benar-benar lepas landas. Disamping itu pesawat-pesawat MiG Vietnam Utara juga bisa melarikan diri melewati perbatasan ke China. Aturan lain juga menyatakan bahwa identifikasi visual pesawat musuh diperlukan ketimbang menggunakan radar untuk mengakuisisi target dan menembakkan rudal jarak jauh sebelum pesawat-pesawat MiG bisa menyerang. “Kami kehilangan keuntungan awal kami untuk dapat mendeteksi MiG pada jarak 30 hingga 35 mil (48-56 km),” kata Jenderal William W. Momyer, komandan Angkatan Udara ke-7 dari tahun 1966 hingga 1968. Sebuah laporan Angkatan Udara dari periode tersebut mencatat bahwa “pada beberapa kesempatan pesawat-pesawat tempur AS menemukan bahwa pada saat identifikasi visual terhadap MiG telah dibuat, mereka tidak lagi berada dalam posisi untuk meluncurkan rudal atau jangkauan yang ditentukan sudah terlewati. Pertempuran itu kemudian berubah menjadi pertarungan manuver dalam jarak pendek, yang selanjutnya memperumit masalah peluncuran rudal yang akurat.”

PESAWAT YANG BERHADAPAN 

Pertarungan utama di udara Vietnam adalah antara jet tempur McDonnell Douglas F-4 Phantom II milik Amerika—yang diterbangkan oleh Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Korps Marinir untuk menjalankan misi pengeboman, patroli udara tempur, pengintaian, dan penyerangan pertahanan udara musuh—dengan MiG-17 dan MiG-21 Vietnam Utara. Jet tempur F-4 dikembangkan oleh Angkatan Laut dan mulai beroperasi pada tahun 1962. F-4 memiliki kecepatan, jangkauan, dan keserbagunaan yang mengesankan, serta tetap menjadi pesawat tempur terkemuka AS hingga tahun 1970-an. Phantom asli Angkatan Laut ini kemudian telah dimodifikasi dan digunakan di Vietnam sebagai varian F-4C dan F-4D yang digunakan oleh Angkatan Udara dan F-4B dan F-4J yang dipakai Angkatan Laut. Model paling canggih yang dipakai Angkatan Udara Amerika (USAF) adalah tipe F-4E, yang diperkenalkan pada tahun 1968 dengan menambahkan kanon kaliber 20 mm ke persenjataan rudal udara-ke-udara yang sudah ada. Sementara itu MiG yang bermesin tunggal berukuran setengah dari F-4 dan lebih gesit. MiG-17, versi perbaikan MiG-15 dari masa Perang Korea tidak lagi menjadi yang terbaik di masa perang Vietnam, tetapi berkinerja baik sebagai pesawat pencegat. Di sisi lain MiG-21 adalah pesawat tempur terbaik yang dimiliki Vietnam Utara dan memiliki kemampuan yang cukup mendekati F-4. MiG-15 yang lebih tua hanya digunakan untuk tujuan pelatihan, sementara MiG-19, yang diproduksi di China, tidak akan muncul sampai masa-masa terakhir perang. MiG-19 dikenal kurang lincah bermanuver dibandingkan dengan MiG-17 dan lebih lambat dari MiG-21. Vietnam Utara lalu mengimbangi kelemahan mereka dengan memilih waktu mereka untuk bertarung. “Pilot-pilot MiG hanya akan menyerang dalam keadaan ideal, seperti ketika pesawat-pesawat USAF terbang dengan sarat muatan bom, bahan bakar yang menipis, atau rusak,” menurut pihak Angkatan Udara. “MiG yang kecil dan sulit dilihat biasanya melakukan serangan sekali jalan dengan kecepatan tinggi, lalu melarikan diri ke tempat perlindungan.” Ketika pertarungan berhadap-hadapan tanpa unsur kejutan, MiG biasanya jarang menang.

F-4 Phantom II, jet tempur tulang punggung kekuatan udara Amerika dalam Perang Vietnam. Ketika F-4 dirancang dan dikembangkan pada tahun 1950-an, para perencana AS percaya bahwa era dogfighter (pertempuran jarak dekat yang membutuhkan keahlian dalam bermanuver) telah berakhir. “Prioritas desain pesawat tempur saat itu menekankan kemampuan pengiriman senjata nuklir dan misi pencegatan,” kata Jim Cunningham dalam analisisnya untuk Air & Space Power Journal. (Sumber: https://www.wallpaperflare.com/)
MiG-17 Vietnam Utara. MiG yang bermesin tunggal berukuran setengah dari F-4 dan lebih gesit. MiG-17, versi perbaikan MiG-15 dari masa Perang Korea tidak lagi menjadi yang terbaik di masa perang Vietnam, tetapi berkinerja baik sebagai pesawat pencegat. MiG-17 VPAF pada dasarnya adalah pesawat yang bersenjata kanon, sebuah senjata penting dalam pertempuran jarak dekat yang tidak dimiliki oleh pesawat-pesawat Phantom versi awal. (Sumber: https://duhraviationart.com/)
MiG-21 Fishbed adalah pesawat tempur terbaik yang dimiliki Vietnam Utara dan memiliki kemampuan yang cukup mendekati F-4. MiG-21 memiliki kanon tetapi mereka terutama mengandalkan rudal Atoll pencari panas yang dibawanya. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Ketika F-4 dirancang dan dikembangkan pada tahun 1950-an, para perencana AS percaya bahwa era dogfighter (pertempuran jarak dekat yang membutuhkan keahlian dalam bermanuver) telah berakhir. “Prioritas desain pesawat tempur saat itu menekankan kemampuan pengiriman senjata nuklir dan misi pencegatan,” kata Jim Cunningham dalam analisisnya untuk Air & Space Power Journal. “Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa senjata nuklir akan membuat perang konvensional menjadi usang dan akibatnya, manuver tempur di udara (ACM) dianggap tidak lagi diperlukan, yang kemudian diikuti oleh misi intersepsi, yang membutuhkan kecepatan supersonik, sistem sensor berteknologi tinggi, dan persenjataan rudal.” F-105 dilengkapi dengan kanon tembak cepat kaliber 20 mm, tetapi model awal dari pesawat F-4 tidak memiliki kanon. Ini adalah sebuah kerugian dalam pertempuran subsonik, yang mengandalkan manuver melawan pesawat-pesawat MiG, di mana dalam situasi ini rudal sukar untuk digunakan. Pada tahun 1967, sebuah pod kanon yang dapat dipasang di pylon yang disediakan untuk pesawat F-4D tetapi masalahnya tidak sepenuhnya terselesaikan sampai F-4E pertama dengan kanon built-in tiba di Asia Tenggara pada bulan November 1968, tepat saat penghentian pengeboman di Vietnam Utara mulai berlaku. Penerbang Angkatan Laut juga mengeluhkan kurangnya persenjataan kanon, tetapi pemasangan kanon di bagian hidung menggeser pusat gravitasi F-4 terlalu jauh ke depan untuk pengoperasian di kapal induk, sehingga awak pesawat USN (Angkatan Laut Amerika) terus bertempur dengan hanya menggunakan persenjataan rudal mereka hingga perang usai. Rudal udara-ke-udara utama AS adalah AIM-7 Sparrow yang dipandu radar dan AIM-9 Sidewinder yang mencari panas. Sparrow memiliki jangkauan efektif lebih dari 10 mil (16 km), dibandingkan dengan sekitar dua mil (3,2 km) untuk rudal Sidewinder. Secara keseluruhan, Momyer berkata, “sebagian besar kemenangan udara kami didapat dengan menggunakan rudal, dan faktanya, 57,5 persen memakai rudal Sparrow. Pesawat-pesawat tempur Angkatan Laut, di sisi lain, membuat hampir semua kemenangan mereka dengan rudal Sidewinder.” Kemenangan udara pihak Angkatan Laut, kata Momyer, “didominasi atas MiG-17 dan dilakukan dalam pertempuran jarak dekat. Pertempuran seperti itu membutuhkan penggunaan senjata jarak pendek yang lebih sering, dan karena F-4 Angkatan Laut tidak memiliki kanon, rudal Sidewinder adalah senjata utama mereka.” Adapun MiG-17 VPAF pada dasarnya adalah pesawat yang bersenjata kanon. MiG-21 memiliki kanon tetapi mereka terutama mengandalkan rudal Atoll pencari panas yang dibawanya.

MENGENALI FASE-FASE PERANG UDARA DI VIETNAM

Perang udara di Vietnam Utara dapat dibagi menjadi enam periode berbeda selama dua kampanye pengeboman besar, Operasi Rolling Thunder (Maret 1965-November 1968) dan Linebacker I dan II (Mei 1972-Januari 1973), yakni: fase penumpukan kekuatan udara (build up) Vietnam Utara (1964-1966); fase saling berhadapan (Januari-Juli 1967); taktik penyergapan (Agustus 1967-Oktober 1968); kembali berhadap-hadapan (Januari-Mei 1972); kembali ke taktik penyergapan (Juni-Juli 1972); dan era Teaball (Agustus 1972 hingga operasi Amerika di Vietnam berhenti pada bulan Januari 1973). Sepanjang perang, pilot dan pesawat AS jelas lebih unggul, dan mereka memiliki keuntungan luar biasa dalam hal jumlah pesawat. Selama periode build up, angkatan udara Vietnam Utara berupaya membangun jaringan radar darat yang luas sementara pilot-pilotnya perlahan-lahan memperoleh pengalaman dengan jet-jet tempur MiG-17 baru mereka.  Bertindak hati-hati, Hanoi kemudian memutuskan untuk menolak mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya bertempur kecuali jika ada peluang yang menguntungkan mereka. Hasilnya hanya 28 pesawat Vietnam Utara yang hilang dalam pertempuran dengan pesawat-pesawat Amerika selama periode tahun 1964-66. Kemenangan udara pertama Angkatan Udara AS dalam perang terjadi pada tanggal 7 Juli 1965, ketika dua MiG-17 menyerang sepasang jet pengebom tempur F-4C Phantom II, yang menggunakan kecepatan dan kecepatan menanjaknya yang superior, mampu membalikkan posisinya dibelakang pesawat-pesawat MiG, sebuah taktik yang nantinya akan dimasukkan ke dalam program Topgun Angkatan Laut empat tahun kemudian. Pada akhir periode ini, Vietnam Utara mulai menerbangkan jet tempur MiG-21 yang lebih canggih, sekaligus menyiapkan fase berikutnya dari perang udara diatas Vietnam.

Deretan pesawat MiG-17 Vietnam Utara. Selama periode build up, angkatan udara Vietnam Utara berupaya membangun jaringan radar darat yang luas sementara pilot-pilotnya perlahan-lahan memperoleh pengalaman dengan jet-jet tempur MiG-17 baru mereka.  Bertindak hati-hati, Hanoi kemudian memutuskan untuk menolak mengerahkan pesawat-pesawat tempurnya bertempur kecuali jika ada peluang yang menguntungkan mereka. (Sumber: https://www.key.aero/)

Pada awal tahun 1967, pilot-pilot Vietnam Utara merasa yakin bahwa mereka bisa berhadapan langsung dengan penerbang-penerbang AS dalam pertarungan berhadap-hadapan langsung. Mereka salah besar! Tahun itu dimulai dengan Operasi Bolo, di mana Wing Tempur Taktis ke-8 pimpinan Kolonel Robin Olds, yang dilengkapi dengan jet-jet tempur F-4 Phantom II, menyiapkan sebuah penyergapan dengan meniru rute, tanda panggilan, dan bahkan membawa pod pengacau radar yang digunakan F-105D Thunderchiefs di pesawat mereka, sebuah cara yang lazim untuk mengebom target di Vietnam Utara. Ketika pesawat-pesawat MiG-21 Vietnam Utara datang untuk mencegat armada “Thunderchief”, mereka terkejut bertemu dengan pesawat-pesawat Phantom II yang dilengkapi dengan rudal untuk pertempuran udara-ke-udara, dan bukannya pesawat F-105D yang sarat bom, yang mereka harapkan. Dalam pertempuran itu, pada tanggal 2 Januari, anak buah Olds mengklaim menembak jatuh tujuh MiG-21 dengan tanpa menderita kerugian. Setelah mengatasi kerugian mereka, pilot-pilot Vietnam Utara kembali mulai menantang penerbang-penerbang Amerika pada akhir bulan April, tetapi ketika tensi pertempuran meningkat pada bulan Mei, menjadi jelas bahwa mereka tidak akan berhasil. Antara bulan Januari dan Juli, pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara AS yang terbang dalam misi udara-ke-udara menembak jatuh 29 MiG sementara hanya kehilangan dua dari pihak mereka sendiri—rasio kemenangan saat itu adalah 14,5:1. Dengan hasil ini tidak heran jika para petinggi Angkatan Udara Amerika gagal melihat masalah dalam program pelatihan untuk pilot-pilot tempur mereka. Dengan supremasi udara yang sepenuhnya didapat, Angkatan Udara AS menerapkan prinsip kekuatan ekonomis, dengan menggunakan pesawat-pesawat Phantom II yang dapat dikerahkan untuk misi serangan bom dan patroli udara tempur. Pesawat STRIKE/CAP ini dikirim terutama untuk misi menjatuhkan bom, tetapi setelah membuang persenjataan udara-ke-darat mereka, mereka bisa menjadi pesawat tempur yang menjalankan misi udara-ke-udara jika perlu. Sementara taktik ini masuk akal pada saat itu, itu terbukti menjadi kesalahan besar.

Ilustrasi F-4 Phantom II Amerika menyergap MiG-21 Fishbed Vietnam Utara. Pada awal tahun 1967, pilot-pilot Vietnam Utara merasa yakin bahwa mereka bisa berhadapan langsung dengan penerbang-penerbang AS dalam pertarungan berhadap-hadapan langsung. Mereka salah besar! Dalam Operasi Bolo pada tanggal 2 Januari 1967, pilo-pilot Amerika mengklaim menembak jatuh tujuh MiG-21 dengan tanpa menderita kerugian. (Sumber: https://pixels.com/)
Komandan Legendaris. Kolonel Robin Olds dan Wing Tempur Taktis ke-8-nya menggunakan taktik baru untuk membalikkan keadaan di Vietnam Utara. Operasi Bolo adalah kreasi mereka. (Sumber: U.S. Air Force/https://www.historynet.com/)

Sementara itu Angkatan udara Vietnam Utara, setelah kehilangan setengah dari pesawat tempurnya dalam beberapa minggu antara bulan Maret dan Juni 1967, memasuki periode evaluasi diri, pelatihan dan pemulihan kerugian yang mereka derita. Karena Vietnam Utara merasa bahwa mereka tidak mungkin mendapatkan kendali atas wilayah udara mereka dengan secara langsung dengan menantang para penerbang Amerika, mereka kemudian mengadopsi taktik berbeda yang menciptakan “sakit kepala” bagi Angkatan Udara AS hingga masa akhir perang. Pada tanggal 23 Agustus 1967, radar darat Vietnam Utara mengarahkan sebuah MiG-21 ke posisi belakang dari empat jet tempur F-4 Phantom II yang sarat dengan muatan bom dalam formasi berdekatan untuk memaksimalkan aksi pengacauan radar mereka terhadap rudal permukaan-ke-udara, yang disebut SAM milik Vietnam Utara. MiG itu kemudian melakukan taktik “hit-and-run” melintas dengan kecepatan supersonik, meluncurkan rudal udara-ke-udara AA-2/Atoll Soviet yang menembak jatuh pesawat Phantom II No. 4 dan melesat melewati formasi pesawat-pesawat Amerika ke tempat yang aman. Insiden itu adalah berita suram bagi para ahli taktik Angkatan Udara AS. “Perbedaan kecepatan udara yang tinggi antara MiG yang menyerang dan F-4 STRIKE/CAP membuat pesawat-pesawat F-4 hampir tidak mungkin untuk berakselerasi cukup cepat untuk memberikan ancaman serius bagi MiG-21 Vietnam Utara” kata studi “Red Baron” Angkatan Udara”, yang ditulis segera setelah perang dan memeriksa kinerja pertempuran udara di kawasan Asia Tenggara. “Karena MiG-21 hanya bergerak ketika diarahkan oleh radar—yang memberi mereka kejutan dan keuntungan dalam hal posisi—tidak ada peluang bagi pesawat kawan untuk mencapai posisi tembak mematikan pada pesawat MiG yang menyerang. Selama MiG-21 mempertahankan kecepatan tinggi, taktik satu lintasan dan menolak untuk bertempur lebih jauh, armada STRIKE/CAP tidak dapat memberikan perlindungan nyata.” 

Mengejar targetnya MiG-17, kiri, merupakan ancaman nyata terhadap pesawat pengebom Amerika seperti F-105D Thunderchief, kanan. Untuk mengatasi keunggulan armada pesawat-pesawat Amerika, AU Vietnam Utara kemudian melakukan taktik “hit-and-run”. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Angkatan Udara awalnya menerapkan kembali taktiknya dengan mengirimkan pesawat tempur pengawal khusus untuk menemani pesawat-pesawat bom, tetapi cara ini juga terbukti tidak efektif. “Agar efektif melawan taktik tembak-lari dari MiG-21, flight MIGCAP harus meninggalkan pesawat-pesawat pengebom dan mencegat jet-jet MiG-21 yang menyerang sebelum mereka dapat memulai penerbangan kecepatan tinggi mereka,” menurut Laporan Red Baron. Namun, tanpa dukungan radar yang efektif untuk memposisikan pesawat tempur dengan benar di antara MiG yang menyergap dan pesawat-pesawat pembom, taktik itu penuh dengan risiko. Menghadapi ancaman SAM dan MiG yang berkecepatan supersonik, Angkatan Udara Amerika mulai membangun kelompok pesawat yang lebih besar untuk menjalankan misi pengeboman. “Strike Package” berisi 40 pesawat atau lebih, termasuk pesawat pembom, pesawat “Wild Weasel” (F-105F dan G Thunderchief dengan dua tempat duduk yang dilengkapi dengan peralatan untuk mendeteksi dan menghancurkan situs SAM), pesawat pengintai dan pengacau radar, F-4 Phantom II sebagai pesawat tempur pengawal di dekat pesawat pembom dan F-4 MiGCAP, yang bebas bergerak menjauh dari kawanan dan dengan agresif mengejar pesawat-pesawat MiG. Formasi baru ini memberikan perlindungan yang relatif baik untuk pesawat pembom di jantung formasi akan tetapi membuat pesawat yang berada di pinggiran rentan. Karena semakin banyak pesawat Amerika yang jatuh dan rasio kemenangannya memburuk, frustrasi di antara awak Angkatan Udara Amerika semakin bertambah. Selama bulan-bulan terakhir Operasi Rolling Thunder pada akhir tahun 1968, musuh sudah menembak jatuh 22 pesawat Angkatan Udara Amerika dengan ongkos 20 pesawat MiG. Dalam setiap kasus, kemenangan MiG dimulai dengan menyerang dari belakang target yang tidak menyadari keberadaan MiG yang menyergap. Ini adalah periode yang suram, dengan rasio kemenangan keseluruhan Angkatan Udara AS turun dari 4,1:1 menjadi 2,3:1. Satu-satunya titik terang pada periode itu adalah bahwa pesawat MiGCAP bisa mempertahankan rasio kemenangan 3,5:1 yang membanggakan, terlepas dari keunggulan taktik angkatan udara Vietnam Utara. Namun, jika Angkatan Udara Amerika tidak dapat memecahkan masalah serangan mendadak ini, keberhasilan operasi mereka di masa depan akan terancam.

Ilustrasi MiG-21 Vietnam Utara menembak jatuh sebuah F-4. Dalam setiap kasus, kemenangan MiG Vietnam Utara dengan taktik “hit-and-run” dimulai dengan menyerang dari belakang target yang tidak menyadari keberadaan MiG yang menyergap. (Sumber: https://www.deviantart.com/)

Ketika pasukan AS melanjutkan operasi udara yang meluas di Vietnam Utara pada musim semi tahun 1972, Vietnam Utara memutuskan sekali lagi untuk menantang serangan Amerika secara langsung. Antara bulan Februari dan awal Maret, Angkatan Udara AS menghasilkan delapan kemenangan udara tanpa kehilangan korban di pihak mereka. Kemudian pada tanggal 10 Mei, Angkatan Udara menembak jatuh tiga pesawat Vietnam Utara dengan dua di pihak mereka selama pertempuran besar pertama Operasi Linebacker I. Sementara itu Angkatan Laut, dengan beberapa lulusan Topgun baru terbang di udara, membalas sebagian besar aksi Vietnam Utara hari itu dan menembak jatuh tujuh MiG-17 dan satu MiG-21 tanpa menderita kerugian. Itu adalah hari terburuk bagi angkatan udara Vietnam Utara, setara dengan kejutan Operasi Bolo lebih dari lima tahun sebelumnya. Reaksi Hanoi selanjutnya terhitung cepat, radikal dan tepat. MiG-17, yang sekarang terbukti usang, sebagian besar ditarik dari pertempuran. Mereka hanya akan terlibat dalam tujuh pertempuran yang menentukan selama sisa masa perang. Angkatan udara Vietnam Utara kemudian kembali ke taktik penyergapan supersonik yang telah sukses dilakukan oleh pesawat-pesawat MiG-21. Taktik tersebut sangat sulit untuk diterapkan terhadap pesawat-pesawat Amerika yang berbasis di kapal-kapal induk, dan akibatnya peran Angkatan Laut dalam pertempuran udara-ke-udara di Vietnam Utara berkurang jauh. Angkatan Laut mencatat hanya 11 kemenangan dan tiga kerugian di sisa masa perang perang. (Angkatan Laut hanya menjalani 22 pertempuran yang menentukan dengan MiG-21 selama perang.) Setelah tanggal 10 Mei, perang udara-ke-udara secara efektif menjadi pertunjukan aksi Angkatan Udara.

Ilustrasi F-4 Phantom AL Amerika menembak jatuh MiG Vietnam Utara. Pada saat pesawat-pesawat Angkatan Udara menghadapi masalah serius dalam menghadapi ancaman MiG, pilot-pilot Angkatan Laut menikmati beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh rekan-rekan Angkatan Udara-nya. (Sumber: https://www.peakpx.com/)

Perubahan taktik Vietnam Utara berhasil. Untuk sesaat pada bulan Juni 1972, MiG-21 memperoleh keunggulan udara, dengan menembak jatuh lima Phantom II Angkatan Udara dalam misi udara-ke-udara dengan menderita kerugian hanya dua. Empat dari lima kemenangan ini adalah hasil dari MiG-21 yang menyerang target dengan kecepatan supersonik, yang tidak disadari oleh korban dari belakang, sementara salah satu kemenangan AS dibuat dalam aksi manuver membalikkan posisi atas MiG yang menyerang. Kerugian itu cukup mengganggu sehingga menyebabkan Angkatan Udara mengevaluasi kembali taktiknya. Bulan Juli terbukti hanya sedikit lebih baik, dengan pesawat-pesawat tempur Angkatan Udara mencetak enam kemenangan dengan menderita lima kekalahan. Armada MiGCAP, dengan fokus pada operasi ofensif, menunjukkan keunggulannya, bagaimanapun, dengan mendapatkan empat dari enam kemenangan tanpa mengalami kerugian. Sekali lagi, kelima kerugian di pihak Amerika berasal dari serangan supersonik dari arah belakang terhadap pesawat yang tidak menyadari bahwa mereka berada di depan mata musuhnya. Tapi keadaan akan berbalik. Pada bulan Agustus 1972, Angkatan Udara akhirnya mendapatkan jawaban teknis untuk masalah peringatan serangan: sebuah pusat kendali yang disebut Teaball. Pusat kendali tersebut, yang ada di Pangkalan Udara Kerajaan Thailand Nakhon Phanom, menggabungkan informasi dari sumber intelijen yang tersedia dan memberikan peringatan MiG secara real time melalui serangkaian jaringan radio yang rumit. Awak Angkatan Udara kini mendapatkan kesadaran situasional yang kurang mereka miliki—dan awak Angkatan Laut telah menikmatinya—sejak masa awal perang. Teaball pada dasarnya memecahkan masalah penyergapan. Hanya enam pesawat Angkatan Udara dari semua jenis yang hilang akibat aksi MiG setelah Teaball mengudara, setidaknya setengahnya ditembak jatuh selama masalah gangguan komunikasi yang dialami Teaball.

Pesawat EC-121 Warning Star, yang menjadi bagian sistem pusat kendali yang disebut Teaball. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Sistem jaringan Teaball. Teaball pada dasarnya memecahkan masalah penyergapan. Hanya enam pesawat Angkatan Udara dari semua jenis yang hilang akibat aksi MiG setelah Teaball mengudara, setidaknya setengahnya ditembak jatuh selama masalah gangguan komunikasi yang dialami Teaball. (Sumber: https://balloonstodrones.com/)

Selama periode yang sama, Angkatan Udara menembak jatuh 26 MiG—23 di antaranya selama misi udara-ke-udara dengan kehilangan tiga pesawat Amerika (awak pesawat pada misi lain, seperti penembak di pesawat pengebom B-52, mendapat kemenangan dengan menembak jatuh MiG lainnya). 26 kemenangan udara atas MiG Angkatan Udara Vietnam antara bulan Agustus 1972 dan penarikan semua pasukan AS pada bulan Januari 1973 sedikit lebih banyak daripada jumlah kemenangan yang dicapai Angkatan Laut pada tahun 1972 (25 kemenangan) dan hampir setengah dari rekor Angkatan Laut secara keseluruhan perang (56 kemenangan ditambah 3 dari Marinir Amerika). Angkatan Udara memiliki total 137 kemenangan udara dari total 196 kemenangan udara Amerika dalam Perang Vietnam (dengan kerugian 83 pesawat secara keseluruhan dari semua angkatan). Pesawat-pesawat Angkatan Udara dari semua jenis pada misi udara-ke-udara memiliki rasio kemenangan keseluruhan 3,8:1 untuk seluruh masa perang. Dalam perbandingan seimbang dengan catatan F-86 di Korea, MiGCAP F-4 Angkatan Udara di Vietnam memiliki rasio kemenangan udara 5,5:1, dengan tren kenaikan yang sangat kuat menuju angka 15:1 selama lima bulan terakhir perang, jauh melebihi rasio Perang Korea yang 10:1. Rasio kemenangan Angkatan Laut—yang melibatkan jumlah pertempuran yang jauh lebih kecil—adalah 4,7:1 untuk semua jenis pesawat selama seluruh masa perang, 6,4:1 untuk misi MiGCAP selama keseluruhan perang dan 8,7:1 untuk MiGCAP di era Topgun. “Dibebaskan” oleh Teaball untuk menjadi lebih agresif tanpa takut akan penyergapan, armada MiGCAP melakukannya dengan sangat baik, dengan menembak jatuh 15 pesawat dan hanya kehilangan satu pesawat. Singkatnya, ketika Angkatan Udara diberikan kondisi yang mirip dengan yang dinikmati Angkatan Laut Amerika, hasil dari keduanya tersebut sangat mirip. Demikianlah rangkuman catatan rasio kemenangan udara Amerika dalam Perang Vietnam. Jika perhitungan Amerika menghasilkan angka-angka semacam itu yang cukup detail mencatat rasio kemenangan udara selama beberapa periode, bagaimana dengan perhitungan/pencatatan di pihak Vietnam Utara?

CATATAN ACE VIETNAM UTARA YANG MERAGUKAN

Catatan paling komprehensif dari Ace Vietnam Utara adalah berasal dari tulisan István Toperczer, seorang ahli sejarah penerbangan asal Hungaria, yang mewawancarai pilot-pilot Vietnam Utara dan mempelajari semua dokumentasi yang tersedia. Toperczer mengulas subjeknya dengan cukup obyektif—berlawanan dengan penulis-penulis sebelumnya. Akan tetapi ia belum sepenuhnya konsisten di seluruh bukunya, dengan memberikan catatan kemenangan ke satu pilot dalam satu buku dan memberikan catatan kemenangan yang sama dikaitkan dengan pilot lainnya dalam buku yang berbeda. Ini bisa juga berarti buku yang terakhir mencerminkan penelitian yang lebih lengkap dan karena itu lebih dapat dipercaya. Sayangnya, Hanoi sendiri tidak pernah mempublikasikan catatan resminya selama Perang Vietnam, karena para arsiparisnya masih menganggap banyak dari catatan itu bersifat rahasia. Toperczer jelas telah diberikan akses yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk bisa meneliti ke catatan angkatan udara Vietnam Utara, dan lima bukunya, dengan informasinya yang kaya mengenai sejarah angkatan udara Vietnam Utara, dimana tulisannya dianggap paling mendekati dengan catatan resmi dari orang-orang Vietnam. Tetapi sampai catatan dari pihak Vietnam tersedia secara luas untuk dianalisis, kecil kemungkinan kita akan dapat mengumpulkan kisah nyata dan lengkap tentang apa yang terjadi di langit di atas Vietnam Utara. 

Salah satu buku karya István Toperczer. Buku-buku Toperczer dikenal memiliki catatan paling komprehensif mengenai pilo-pilot Ace Vietnam Utara, akan tetapi bukan berarti catatan tersebut bisa dianggap akurat sepenuhnya. (Sumber: https://www.amazon.com/)

Sementara itu cara lain untuk menilai validitas klaim Vietnam Utara adalah dengan mengkorelasikannya dengan catatan kerugian AS berdasarkan nomor ekor pesawat dan data lain dalam studi komprehensif pihak Angkatan Udara pascaperang tentang pertempuran udara di Asia Tenggara, yang disebut “Laporan Red Baron.” Semua upaya untuk memisahkan “gandum dari sekam” diantara klaim pihak Vietnam Utara menghadapi tantangan yang sama: Pertempuran udara bisa sangat membingungkan. Studi menunjukkan bahwa pemenang dalam pertempuran udara paling sering adalah pilot yang dapat mempertahankan gambaran yang jelas tentang ruang pertempuran tiga dimensi secara real time. Jadi, bahkan ketika kita memiliki akses ke catatan yang direkonstruksi dengan susah payah, kita mungkin melihat laporan dengan penggambaran palsu yang tidak disengaja tentang apa yang terjadi di langit, sehingga sulit untuk menentukan secara otoritatif apa yang sebenarnya terjadi selama pertempuran. Selain itu, jenis pesawat musuh sering membingungkan dan bahkan penilaian tentang senjata apa yang menyebabkan kerusakan bisa saja salah. Misalnya, Ace Angkatan Laut Lt. Randall “Duke” Cunningham bersikeras bahwa pesawatnya dijatuhkan oleh SAM (Rudal Pertahanan Udara) Vietnam Utara, pada akhir misi terakhirnya tanggal 10 Mei 1972. Namun, ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa dia ditembak jatuh oleh jet tempur MiG-21 Vietnam Utara yang dikemudikan oleh Vu Duc Hop. (Cunningham dan awak pesawat lainnya, Lt. j.g. William Driscoll, terlempar ke Laut Cina Selatan dan dijemput dengan helikopter penyelamat.) Analisis data yang tersedia saat ini mengarah pada kesimpulan bahwa Vietnam Utara, yang disebut-sebut setidaknya mencetak 16 ace selama perang, sebenarnya hanya menghasilkan tiga. Sebagai perbandingan, AS menghasilkan lima ace—tiga dari Angkatan Udara, dan dua Angkatan Laut. Dalam hitungan Amerika, kedua personel dalam jet pembom tempur F-4 Phantom II, pesawat yang diterbangkan oleh semua ace AS, mendapat hak yang sama dalam menembak jatuh lawannya. Oleh karena itu, kru dua orang yang menghasilkan lima kemenangan yang sama akan dihitung sebagai dua ace.

Kapten Charles D. DeBellevue, kiri, dan Kapten Richard S. “Steve” Ritchie, kanan, dengan komandan Wing Pengintaian Taktis ke-432 Kolonel Scott C. Smith, merayakan kemenangan udara tanggal 28 Agustus 1972 yang menjadikan Ritchie Ace pertama Angkatan Udara Amerika di Vietnam. Dalam hitungan Amerika, kedua personel dalam jet pembom tempur F-4 Phantom II, pesawat yang diterbangkan oleh semua ace AS, mendapat hak yang sama dalam menembak jatuh lawannya. Oleh karena itu, kru dua orang yang menghasilkan lima kemenangan yang sama akan dihitung sebagai dua ace.(Sumber: U.S. Air Force/https://www.historynet.com/)

Vietnam Utara menerjunkan pesawat tempur MiG-17 buatan Soviet dari masa awal perang udara melawan Amerika dan menambahkan MiG-21 pada bulan April 1966. Tidak ada pilot komunis yang menjadi ace hanya dengan menerbangkan MiG-17. Awak udara Amerika mencatat dengan rasio kemenangan udara 4,3:1 yang kuat melawan MiG-17. Dalam pertempuran udara mereka pada tanggal 10 Mei 1972, Cunningham sebagai pilot dan Driscoll sebagai petugas radar menembak jatuh tiga MiG-17 untuk menjadi ace Amerika pertama dalam perang tersebut. Namun, satu pilot MiG-17 Vietnam Utara yang melawan dua orang Amerika itu bertempur dengan sangat baik hari itu, sehingga dia hampir membalikkan keadaan, tetapi pilot komunis itu menemui nasib sialnya ketika dia kehabisan bahan bakar dan dipaksa untuk melarikan diri. Hari itu di bulan Mei 1972, awak Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika menembak jatuh tujuh MiG-17 dan empat MiG-21. Setelah kekalahan itu, Vietnam Utara menarik MiG-17 yang dianggap sudah usang dari pertempuran aktif. Salah satu ace Vietnam Utara mendapatkan kemenangannya pada tahun 1967 dan 1968 selama Operasi Rolling Thunder; dua ace lainnya, selama Operasi Linebacker I pada tahun 1972. Semua kemenangan mereka terjadi setelah diperkenalkannya taktik baru MiG-21 (dan sangat sukses) pada akhir bulan Agustus 1967. Teknik ini, yang oleh orang Vietnam Utara disebut sebagai “penyerangan cepat yang dalam” atau “serangan cepat-penarikan mundur cepat”, menggunakan radar yang dikendalikan di darat untuk menemukan pesawat Amerika yang masuk dan menempatkan jet-jet MiG-21 di atas dan di belakang mereka, yang memungkinkan para pencegat komunis itu untuk menukik dengan kecepatan supersonik, meluncurkan rudal, dan melarikan diri dengan cepat ke tempat yang aman.

MiG-21 Vietnam Utara. Vietnam Utara menerjunkan pesawat tempur MiG-17 buatan Soviet dari masa awal perang udara melawan Amerika dan menambahkan MiG-21 pada bulan April 1966. Tidak ada pilot komunis yang menjadi ace hanya dengan menerbangkan MiG-17. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Komandan Angkatan Udara AS menemukan taktik ini sangat sulit untuk dilawan karena mereka tidak memiliki sistem peringatan deteksi radar yang baik di daerah pedalaman, sementara Vietnam Utara memiliki jangkauan radar yang sangat baik dan ruang untuk mendapatkan posisi yang menguntungkan. Meski taktik MiG-21 yang baru ini jelas meningkatkan kinerja pilot-pilot Vietnam Utara, tetapi Hanoi ditengarai melebih-lebihkan keberhasilan mereka. Ketika kamera senjata merekam sayap yang robek dari sebuah pesawat atau pilot yang terlontar, tidak ada keraguan bahwa penyerang memiliki klaim yang valid, tetapi sekitar 24 persen dari 134 kemenangan yang diklaim Vietnam Utara melibatkan pesawat-pesawat Amerika, terbukti bahwa pesawat-pesawat itu tidak hilang dalam keadaan seperti yang diklaim Vietnam Utara, dan lebih lanjut 19 persen klaim dibuat pada hari-hari ketika tidak ada pesawat AS yang tercatat hilang di Vietnam Utara. Sedangkan 17 persen-nya adalah klaim karena menembak jatuh drone pengintai Ryan “Firebee”—pesawat jet tanpa awak yang awalnya dirancang sebagai target udara. Jadi 60 persen klaim Vietnam Utara tidak valid. Beberapa klaim yang tidak valid, tidak diragukan lagi adalah kesalahan yang tidak disengaja, tetapi ini hanyalah sebagian kecil. Singkatnya jika seorang pilot mengklaim sebuah kemenangan udara tetapi tidak ada pesawat (musuh) yang hilang di hari itu, ini sulit untuk dimaafkan. Kemungkinan beberapa klaim palsu adalah bagian dari strategi yang disengaja oleh pemerintah Vietnam Utara. Walau demikian, hal ini bukan berarti Vietnam Utara tidak bisa menghasilkan pilot ulung. Ini tercermin dalam sosok “misterius” yang kerap disebut sebagai Kolonel “Tomb”

MITOS KOLONEL TOMB

Terkadang rumor bisa mengambil nyawa seseorang. Demikian halnya dengan “Kol. Tomb,” ace mitos dengan 13 kemenangan udara yang menemui nasib akhirnya dalam pertempuran udara yang membuat Letnan Angkatan Laut AS Randall “Duke” Cunningham dan perwira radarnya, Lt. j.g. William Driscoll, ace pertama Amerika dalam perang Vietnam. Selama bertahun-tahun, kemudian menjadi jelas bahwa Kolonel Tomb adalah ciptaan para analis intelijen AS yang terlalu bersemangat. “Tomb” (atau sebagai alternatifnya, “Toon”) bahkan bukan nama Vietnam, ini terjadi mungkin karena operator radio salah mendengar namanya. Tentu saja, jika Tomb/Toon, yang terdengar lebih seperti nama Burma telah diidentifikasi dengan nama ini melalui lalu lintas radio yang disadap, informasi tersebut kemungkinan besar akan diklasifikasikan sebagai “sangat rahasia”, dan hanya menambah misteri dan penyebaran rumor sosok misterius ini. Foto sebuah MiG-21 Vietnam Utara dengan 13 bintang kemenangan di hidungnya adalah salah tafsir lainnya. Faktanya pilot-pilot komunis tidak hanya ditugaskan ke satu pesawat saja yang dikhususkan padanya. Pada hari tertentu, seorang pilot mungkin berada di kokpit salah satu dari beberapa pesawat di unitnya. Bintang-bintang yang dilukis pada pesawat tempur Vietnam Utara mencerminkan jumlah kemenangan dari pesawat itu, bukan kemenangan pilot yang menerbangkannya. Namun demikian, desas-desus menyebar di antara awak pesawat Angkatan Laut tentang ace ganda (mencetak lebih dari 10 kemenangan) Vietnam Utara yang hebat, seorang pilot yang kerap mengintai dan secara tiba-tiba “muncul” untuk menyergap pilot-pilot Amerika yang ceroboh atau tidak siap, sesuai dengan taktik andalan Vietnam Utara. Dan desas-desus misterius sosoknya kemungkinan besar akan tetap tidak terungkap jika saja Cunningham dan Driscoll tidak mencatat kemenangan udara legendarisnya.

MiG-21 Fishbed VPAF nomor 4326 dengan banyak tanda kemenangan udara di hidungnya. Bintang-bintang yang dilukis pada pesawat tempur Vietnam Utara mencerminkan jumlah kemenangan dari pesawat itu, bukan kemenangan pilot yang menerbangkannya. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Lt. Randall H. Cunningham (kanan) dan Radar Intercept Officer Lt. (jg) William P. Driscoll bersantai di ruang persiapan skuadron VF-96 di atas kapal induk USS Constellation setelah menghancurkan pesawat MiG-17 musuh kedua mereka dalam pertempuran udara, 8 Mei 1972. (Sumber: https://photos.usni.org/)

Tanggal 10 Mei 1972, adalah hari pertama serangan udara besar dalam Operasi Linebacker I—bentuk tanggapan Presiden Richard Nixon terhadap invasi besar-besaran Hanoi yang mengejutkan ke Vietnam Selatan, yang dikenal sebagai Serangan Paskah—dan satu-satunya  perang udara terbesar di Vietnam, dalam hal pesawat yang secara keseluruhan hilang di satu hari. Cunningham dan Driscoll telah menjatuhkan dua MiG-17 dan hendak kembali ke USS Constellation ketika mereka bertemu langsung dengan jet MiG-17 ketiga. Cunningham kemudian segera menanjak vertikal — seperti yang diajarkan oleh program latihan Topgun Angkatan Laut — mengharapkan pilot musuh untuk tetap terbang dengan kekuatan penuh memakai MiG-17-nya dan bertempur secara horizontal. Sebaliknya, pilot MiG itu mengejutkan Cunningham dengan ikut menanjak bersamanya. F-4J Phantom II mampu mananjak dengan jauh lebih baik daripada MiG-17, tetapi Cunningham tampaknya lupa bahwa ini adalah “balapan” yang tidak ingin dia menangkan karena dengan itu ia menempatkan F-4-nya di depan dan dalam jangkauan pembidik dari kanon MiG itu. Saat Phantom Cunningham mulai menjauh, pilot Vietnam Utara itu menembakkan peluru kanon-nya. Cunningham lalu menukikkan Phantom-nya. Sekali lagi, pilot Vietnam Utara itu tetap berada di posisi vertikal dengan lawannya dari Amerika. F-4 lebih cepat dalam menukik daripada MiG-17, dan Cunningham sekali lagi mulai berada di depan bidikan kanon MiG. Bisa ditebak, pilot Vietnam Utara kembali menembak dengan senjatanya. Jauh dari mendominasi lawannya yang lebih lemah dengan taktik tiga dimensi yang rumit, Cunningham mendapati dirinya terjebak dalam serangkaian manuver vertikal yang tampaknya dikuasai dengan baik oleh pilot musuh. Kedua orang Amerika itu kemudian akhirnya mengalahkan MiG-17 itu dari jarak pendek, karena pilotnya terpaksa memutuskan kontak dan melarikan diri ke pangkalannya ketika mulai kehabisan bahan bakar. Tapi itu adalah manuver yang sia-sia; karena tidak ada harapan bagi MiG untuk bisa terbang lebih cepat dari pesawat tempur Amerika yang kuat itu. Ketika MiG itu dengan sia-sia mencoba melarikan diri, Cunningham meluncurkan rudal udara-ke-udara pencari panas AIM-9 Sidewinder ke knalpot pesawat MiG untuk mencatat kemenangan udara kelima dan terakhir bagi Driscoll dan dia. Pilot MiG yang sangat terampil—siapa pun dia—itu tidak bisa menyelamatkan diri.

Ilustrasi kemenangan udara Randy “Duke” Cunningham dan Willie Driscoll. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Juni 1972 – Letnan Cunningham (kedua dari kiri) dalam sebuah upacara untuk menghormatinya dan Letnan (JG) William P. Driscoll (ketiga dari kiri), keduanya adalah pasangan satu-satunya “Aces” Angkatan Laut dalam Perang Vietnam. Di sebelah kiri adalah John Warner, Sekretaris Angkatan Laut, dan di sebelah kanan adalah Laksamana Elmo Zumwalt, Kepala Operasi Angkatan Laut. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Tentu saja, siapa pun yang bisa bertarung dengan baik melawan ace seperti Cunningham dan Driscoll pastilah seorang pilot yang luar biasa, dan dengan demikian spekulasi terfokus pada Kolonel Tomb yang terkenal itu. Tapi ada masalah serius dengan narasi dramatis ini: Pesawat musuh yang diduga diterbangkan oleh Tomb dan menampilkan 13 bintang di foto adalah tipe MiG-21, sedangkan Cunningham dan Driscoll telah menembak jatuh sebuah MiG-17. Mungkinkah ace top Vietnam Utara itu bisa memilih tunggangannya, tergantung pada situasi taktis? Itu mungkin saja, tetapi tidak ada bukti bahwa angkatan udara Vietnam Utara pernah beroperasi seperti itu. Hanya dua pilot komunis yang mengklaim kemenangan di dua jenis pesawat yang berbeda. Keduanya mengklaim kemenangan pertama mereka di awal perang dengan MiG-17, dan kemudian mengklaim kemenangan berikutnya setelah beralih ke MiG-21 yang lebih canggih. Sementara itu tidak ada catatan dari mereka yang pernah kembali menerbangkan MiG-17 yang lebih tua. Wajar saja, mengapa pilot Vietnam Utara mempertaruhkan nyawanya dalam pertempuran udara dengan MiG-17, yang kalah dengan rasio kemenangan 4,3:1 melawan pesawat-pesawat tempur Amerika, ketika mereka bisa menerbangkan MiG-21 dengan peluang yang lebih baik—keunggulan pesawat-pesawat AS merosot menjadi hanya 1,6:1 saat melawan Fishbed? Jelas, tidak ada pilot Vietnam Utara, terutama yang memiliki status “ace”, yang akan memilih menerbangkan MiG-17 ketimbang MiG-21. Tidak ada juga pilot Vietnam Utara dengan nama Tomb, Toon, atau sejenisnya, yang pernah mengklaim kemenangan udara. Hanya satu nama pilot Vietnam Utara yang mendekati nama itu, yakni: Pham Tuan, tapi dia hanya membuat satu klaim kemenangan udara. Beberapa penulis telah mencoba untuk menghubungkan legenda kolonel Tomb dengan ace Vietnam Utara yang ada. Mungkin “Tomb” adalah nama kode. Namun, kandidat yang paling sering disebut-sebut, adalah Nguyen Van Bay dan Nguyen Van Coc, ternyata memiliki nasib yang berbeda, terutama karena keduanya masih hidup setelah perang. Jikapun Tomb benar-benar pernah ada, Vietnam Utara pasti akan mengenang—dan mempropagandakan secara luas—ace andalannya ini. Tetapi tidak ada klaim seperti itu yang pernah datang dari Hanoi, dan para pilot veteran. Ketika ditanya secara langsung, mereka membantah mengetahui ace semacam itu. Pada akhirnya, tampak bahwa “Col. Tomb” yang berhadapan dengan Cunningham dan Driscoll adalah pilot biasa tanpa tanda jasa dan tanpa catatan khusus. Tapi mungkin itu yang membuat kisah nyata ini menjadi lebih luar biasa. Seorang penerbang “biasa” yang serba bisa memiliki keberanian dan keterampilan untuk membawa pesawatnya ke posisi yang belum pernah dilakukan oleh MiG-17 sebelumnya, dan dia berjuang untuk mengalahkan pilot terbaik yang bisa ditawarkan Angkatan Laut AS. Siapa pun itu yang disebut sebagai “Tomb”, membuktikan bahwa kemampuan terbang yang luar biasa tidak selalu merupakan ranah eksklusif dari ace elit dunia.

Nguyen Van Coc (9 kemenangan udara, kanan) dan Nguyen Doc Soat (6 kemenangan udara, kiri) mendengarkan Pham Tan Ngan (tengah, 8 kemenangan udara) menceritakan tentang salah satu kemenangannya. Bagaimananpun tidak akuratnya klaim kemenangan udara Vietnam Utara, namun keberadaan pilot antah berantah yang disebut sebagai “Tomb”, membuktikan bahwa kemampuan terbang yang luar biasa tidak selalu merupakan ranah eksklusif dari ace elit dunia. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

STRATEGI HANOI & CATATAN PERANG UDARA DIATAS VIETNAM

Hanoi terlibat dalam perjuangan panjang di mana penggunaan propaganda masif dan informasi yang salah, diyakini (ternyata terbukti benar) sebagai “senjata strategis” yang menentukan. Salah satu tujuan utama para pemimpin komunis adalah untuk menurunkan moral publik dan pemerintah Amerika dengan membuat mereka terlibat dalam perang yang akan mereka anggap tidak dapat dimenangkan. Jika pilot Amerika yang mencapai rasio kemenangan astronomis melawan pilot-pilot musuh dalam Perang Korea, saat itu tidak dapat mengulangi kesuksesan mereka di Vietnam Utara, itu akan menambah pandangan suram bagi orang-orang Amerika. Pandangan ini coba dikembangkan oleh pihak Hanoi. Oleh karena itu, sejumlah besar klaim yang tidak valid tampaknya direkayasa oleh unit propagandis Hanoi untuk menghasilkan “ace” fiktif untuk mendukung tujuan perang mereka. Dalam banyak kasus, tampaknya mereka bahkan bersedia untuk “mencuri” catatan pesawat yang ditembak jatuh oleh sistem SAM dan awak senjata anti-pesawat anonim untuk mendukung klaim pilot pesawat tempur mereka. Sementara itu, AS gagal menghasilkan Ace satu pun sampai bulan-bulan terakhir keterlibatan militer Amerika, sehingga gambar-gambar “Ace” Vietnam Utara yang selalu ada di halaman surat kabar di seluruh dunia komunis—dan bahkan di media beberapa sekutu AS—terus menjengkelkan para pendukung kekuatan udara Amerika hingga hari ini. Meski begitu, banyaknya insiden klaim yang digelembungkan di Hanoi seharusnya tidak mengalihkan perhatian dari kesuksesan nyata beberapa penerbang Vietnam Utara. Sementara rata-rata pilot Vietnam Utara bisa dibilang kurang terampil daripada rekan Amerika-nya, Vietnam Utara masih menghasilkan — dalam keadaan serba kekurangan — pilot-pilot yang bisa terbang sebaik pilot-pilot negara mana pun. Tentu saja, tiga ace yang dikonfirmasi Vietnam Utara adalah orang-orang dengan keterampilan luar biasa. Pilot MiG-17 non-ace yang bertarung dengan ace AS Cunningham dan Driscoll hingga keduanya kewalahan—dan mungkin bisa mengalahkan mereka jika dia memiliki pesawat yang lebih baik—menempatkan tanda seru pada penilaian itu.

Pham Tuan, pilot Vietnam Utara yang mengklaim menembak jatuh pembom B-52. Sejumlah besar klaim yang tidak valid tampaknya direkayasa oleh unit propagandis Hanoi untuk menghasilkan “ace” fiktif untuk mendukung tujuan perang mereka. Dalam banyak kasus, tampaknya mereka bahkan bersedia untuk “mencuri” catatan pesawat yang ditembak jatuh oleh sistem SAM dan awak senjata anti-pesawat anonim untuk mendukung klaim pilot pesawat tempur mereka. (Sumber: https://ngayday.com/)

Sementara itu perbandingan kontras antara rasio kemenangan udara dalam Perang Korea dan Vietnam adalah perbandingan yang tidak adil karena sejumlah alasan. Pertama dan yang terpenting, rasio kemenangan dalam Perang Korea diambil dari hampir 900 pertempuran udara yang menentukan (yang mengakibatkan hilangnya sejumlah pesawat), sejumlah besar yang tampaknya memberikan validitas statistik untuk kesimpulan yang diambil dari data tersebut. Di sisi lain rasio kemenangan udara dalam Perang Vietnam dikompilasi dari kumpulan data yang jauh lebih kecil, yang memberikan kesimpulan tentang rasio kemenangan udara yang meragukan, terutama untuk pertempuran udara yang melibatkan Angkatan Laut Amerika. Terdapat total 269 pesawat Amerika dan musuh yang ditembak jatuh dalam pertempuran udara-ke-udara di Vietnam selama seluruh masa perang—201 dalam pertempuran antara Angkatan Udara AS dan angkatan udara Vietnam Utara dan hanya 68 dalam pertempuran udara Angkatan Laut AS dengan Vietnam Utara. Dalam pertarungan itu, Angkatan Udara AS kehilangan 64 pesawat dan Angkatan Laut kehilangan 12 pesawat. Kedua, karena metode berbeda yang digunakan untuk menghitung rasio kemenangan udara dalam dua perang itu, dimana setiap upaya untuk menempatkan rasio tersebut berdampingan adalah seperti membandingkan “apel dengan jeruk” yang tidak valid. Rasio kemenangan udara dalam Perang Vietnam dihitung menggunakan jumlah total pesawat AS yang hilang dalam pertempuran udara-ke-udara, terlepas dari apakah itu pesawat tempur atau bukan. Itu berarti jumlah pesawat yang ditembak jatuh termasuk RF-101, sebuah jet pengintai; A-1E Skyraider, pesawat bermesin piston; EB-66, pembom yang diubah menjadi pesawat pengintai; RC-47, pesawat kargo yang diubah menjadi pesawat pengintai; dan helikopter penyelamat HH-53. Angkatan udara Vietnam Utara bahkan memberikan catatan kemenangan penuh kepada pilot yang menembak jatuh drone pengintai Amerika yang tidak bersenjata. Sebaliknya, rasio kemenangan udara dalam Perang Korea sebagian besar hanya mempertimbangkan kemenangan dari pesawat tempur terbaik Amerika, F-86, yang pilotnya hampir secara eksklusif menerbangkan misi superioritas udara yang agresif dan ofensif. Setara dengan Perang Vietnam adalah misi MiGCAP—“Patroli udara tempur MiG” dari pesawat tempur F-4 Phantom II, yang melindungi pesawat-pesawat pembom dari serangan MiG selama serangan terhadap sasaran di Vietnam Utara. Perbandingan yang adil dengan Korea akan terbatas pada misi MiGCAP Perang Vietnam. 

Triple Ace, Kapten Joseph McConnell yang menembak jatuh 16 MiG-15 di atas Korea pada tahun 1953 membuatnya menjadi Ace terbesar Amerika dalam Perang Korea. Perbandingan kontras antara rasio kemenangan udara dalam Perang Korea dan Vietnam adalah perbandingan yang tidak adil. (Sumber: U.S. Air Force/https://www.historynet.com/)
Perbandingan rasio kemenangan udara antara Perang Korea dan Perang Vietnam. Metode berbeda yang digunakan untuk menghitung rasio kemenangan udara dalam dua perang itu, dimana setiap upaya untuk menempatkan rasio tersebut berdampingan adalah seperti membandingkan “apel dengan jeruk” yang tidak valid. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Setiap perbandingan antara rasio kemenangan Angkatan Udara dan Angkatan Laut juga harus mempertimbangkan rute penerbangan masing-masing, karena geografi memiliki dampak signifikan pada taktik dan hasil yang dicapai. Tidak seperti pesawat Angkatan Laut yang diluncurkan dari kapal induk di Teluk Tonkin, sebagian besar pesawat Angkatan Udara yang sedang melakukan pengeboman lepas landas dari pangkalan di Thailand dan mendekati target mereka di Vietnam Utara dari sisi darat. Radar musuh telah mendeteksi mereka saat mereka masih berada di wilayah udara Thailand, dan jet-jet MiG dapat bermanuver ke posisi yang menguntungkan hingga jarak 100 mil (161 km) dari Hanoi. Sementara angkatan udara Vietnam Utara memiliki radar pencegat yang dikendalikan dari darat yang sangat baik untuk mengarahkan pesawatnya, jangkauan radar Angkatan Udara AS berkisar dari kondisi yang tidak jelas hingga tidak ada sama sekali pada rute serangan yang ditetapkan. Awak udara beroperasi dengan menggantungkan pada mata mereka untuk membimbing mereka ke sasaran. Pada saat sama, pesawat-pesawat tempur yang mengawal pesawat-pesawat pengangkut bom tidak pernah tahu dari mana ancaman itu akan datang dan oleh karena itu biasanya tetap dekat dengan pesawat yang mereka lindungi sehingga mereka tidak akan keluar dari posisinya selama serangan. Akibatnya, pesawat-pesawat Angkatan Udara AS biasanya memasuki pertempuran dari posisi defensif dan reaktif. Di sisi lain, Angkatan Laut melancarkan operasi berbasis kapal induk untuk mendapatkan keuntungan maksimal. Dari sini pesawat-pesawat tempur Vietnam Utara memiliki lebih sedikit waktu peringatan untuk bereaksi terhadap serangan AS dan jauh lebih sedikit kesempatan untuk bermanuver di belakang pesawat-pesawat tempur Angkatan Laut, yang di belakangnya dilindungi oleh kapal-kapal perang di Teluk Tonkin. Selain itu, operasi udara angkatan laut di Vietnam Utara sepenuhnya dilindungi oleh kapal-kapal yang dilengkapi radar yang beroperasi di Teluk dengan nama kode “Red Crown.” Pilot-pilot Angkatan Laut terutama ditugaskan di daerah pesisir di mana mereka memiliki peringatan radar dan kontrol yang baik dari kapal yang berpatroli di lepas pantai. Oleh karena itu, pesawat-pesawat tempur Angkatan Laut dapat mengambil posisi yang lebih agresif daripada rekan-rekan Angkatan Udara mereka, menerbangkan serangan-serangan tempur berorientasi ofensif alih-alih misi pengawalan jarak dekat yang defensif. Laporan setelah pertempuran menemukan bahwa 65 persen dari kerugian dari pihak Angkatan Udara Amerika diderita oleh pesawat yang bertempur dari posisi defensif, yang mengharuskan sebuah pesawat tempur diserang sebelum membalikkan posisi untuk bisa mendapatkan kemenangan udara, sebuah manuver yang sangat sulit dilakukan. Sebaliknya, hanya 20 persen dari kerugian Angkatan Laut dan Korps Marinir adalah pesawat yang bertempur dari posisi defensif.

Kedua awak udara Amerika melewati lorong yang dihiasi data kemenangan udara Amerika atas pesawat-pesawat Vietnam Utara. (Sumber: U.S. Navy/https://www.historynet.com/)

Analisis pascaperang menunjukkan bahwa 81 persen dari semua pesawat AS yang hilang dalam pertempuran tidak menyadari adanya serangan atau terlambat menyadari untuk membela diri. Alasan utama untuk rasio kemenangan yang tidak memuaskan sudah jelas: Taktik Vietnam Utara yang sangat baik mengeksploitasi kurangnya peringatan radar Angkatan Udara Amerika. Sementara pelatihan yang lebih banyak dan lebih baik dilakukan, sulit untuk memahami bagaimana hal itu akan bisa mengatasi masalah itu. Empat tahun setelah perang udara di Vietnam Utara berakhir, Angkatan Udara mendapatkan solusi yang tepat untuk masalah serangan kejutan lawan, yakni: Pesawat E-3 Sentry dengan radar Airborne Warning and Control System, yang disebut AWACS, yang dapat mengumpulkan informasi tentang posisi pesawat musuh dan menyampaikannya langsung ke pesawat-pesawat tempur kawan. Sejak itu, hanya satu pesawat AS yang hilang dalam pertempuran udara-ke-udara—F-18 Hornet milik Lt. Cmdr. Scott Speicher, yang ditembak jatuh pada tanggal 17 Januari 1991, oleh jet tempur MiG-25 Irak pada malam pertama Operasi Badai Gurun. Hari ini, pesawat tempur siluman F-35 Lightning II membawa perangkat sensor onboard dengan potensi untuk memberikan kesadaran situasional bagi pilot tanpa perlu membutuhkan bantuan off-board seperti yang disediakan oleh pesawat AWACS. Lightning II mampu mengintegrasikan informasi yang telah dikumpulkannya dan membagikannya dengan pesawat lain, menyusun “pandangan mata dewa” dari ruang tempur untuk menghilangkan bahaya diserang tiba-tiba oleh pesawat-pesawat tempur musuh. Perkembangan teknologi semacam ini menunjukkan betapa berbedanya hasil perang udara diatas Vietnam jika AS telah menerjunkan pesawat yang tidak hanya hampir mustahil untuk dikejutkan tetapi juga dapat secara diam-diam membalikkan keadaan pada musuh yang menyerang. Jika begini, tentunya Vietnam Utara akan memilih untuk mempertahankan kekuatan dan menahan pesawat-pesawat tempur mereka dari pertempuran udara, seperti yang dipelajari oleh musuh-musuh Amerika tiga dekade kemudian.

Pesawat tempur siluman F-35 Lightning II. Pesawat ini membawa perangkat sensor onboard dengan potensi untuk memberikan kesadaran situasional bagi pilot tanpa perlu membutuhkan bantuan off-board seperti yang disediakan oleh pesawat AWACS. Lightning II mampu mengintegrasikan informasi yang telah dikumpulkannya dan membagikannya dengan pesawat lain, menyusun “pandangan mata dewa” dari ruang tempur untuk menghilangkan bahaya diserang tiba-tiba oleh pesawat-pesawat tempur musuh. Perkembangan teknologi semacam ini menunjukkan betapa berbedanya hasil perang udara diatas Vietnam jika AS telah menerjunkan pesawat yang tidak hanya hampir mustahil untuk dikejutkan tetapi juga dapat secara diam-diam membalikkan keadaan pada musuh yang menyerang. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

HOW NORTH VIETNAM CLAIMED MORE ACES THAN IT REALLY HAD By WILLIAM A. SAYERS; 5/7/2019

THE VIETNAM AIR WAR’S GREAT KILL-RATIO DEBATE: Data shows that American fighter planes performed poorly vs. the enemy early in the war—or does it? By WILLIAM A. SAYERS; 4/17/2018

Air Force Magazine: Against the MiGs in Vietnam By John T. Correll; Oct. 1, 2019

Exit mobile version