Alutsista

Blackburn Buccaneer: Pesawat Serang Maritim Berkemampuan Nuklir Eksklusif Milik Afrika Selatan & Inggris

Blackburn Buccaneer dirancang pada pertengahan tahun 1950-an sebagai pesawat serang maritim yang mampu terbang rendah dan berbasis di kapal induk. Meski tergolong pesawat Jet generasi awal dan tidak memiliki kemampuan terbang dengan kecepatan supersonik (terbang melebihi kecepatan suara), namun pesawat ini terbukti berumur jauh lebih panjang daripada yang pernah dimaksudkan oleh perancangnya. Pesawat ini sukses bertugas tidak hanya dengan Armada Udara Armada Angkatan Laut Inggris (FAA) tetapi juga dengan Angkatan Udara Kerajaan Inggris (RAF) dan Angkatan Udara Afrika Selatan (SAAF) selama beberapa dekade. Sebagai penampilan final dari keefektifannya, pesawat ini juga turut diterjunkan dalam Perang Teluk tahun 1991.

Blackburn Buccaneer adalah pesawat serang maritim yang berumur panjang melebihi rancangan awalnya, Pesawat ini bertugas dari tahun 1960an-1990an. (Sumber: https://www.wearethemighty.com/)

LATAR BELAKANG 

Selama awal 1950-an, Angkatan Laut Soviet melakukan ekspansi armada besar-besaran untuk menantang supremasi angkatan laut negara-negara Barat, dengan menciptakan ancaman serius lewat hadirnya kapal penjelajah kelas Sverdlov mereka yang baru. Ini adalah jenis kelas kapal penjelajah yang penting untuk mempertahankan pantai-pantai Rusia dan menyerang kapal induk Inggris dan negara lainnya di malam hari ketika lawannya tidak dapat meluncurkan pesawat. Berbobot 18.000 ton, Sverdlov tergolong cepat, dipersenjatai secara efektif, dan dibuat dalam jumlah banyak, dengan 16 unit tercatat memasuki dinas operasional pada tahun 1955. Mereka juga dipandang sebagai ancaman serius bagi armada kapal dagang di Atlantik, seperti halnya “pocket battleship” Jerman pada Perang Dunia II, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih besar dan 25% lebih cepat. Untuk menghadapi ini, Inggris dapat membangun armada kapal baru untuk melawan kapal-kapal baru Rusia (termasuk kapal penjelajah Sverdlov), atau mencari cara lain untuk menghancurkan aset-aset baru Rusia itu. Inggris kemudian memutuskan untuk membangun sebuah pesawat baru yang dapat diluncurkan baik siang atau malam, dan yang dapat dengan cepat menyerang kapal-kapal musuh dan melarikan diri sebelum kapal itu dapat membalas. Ini adalah tugas berat dalam melawan kapal kelas Sverdlov yang tergolong memiliki radar mutakhir pada masanya dan dilengkapi berbagai senjata anti-pesawat. Pesawat yang berbasis di kapal induk ini dimaksudkan untuk bisa menembus pertahanan grup tempur angkatan laut Soviet dengan melesat dengan kecepatan tinggi di ketinggian rendah, sedikit diatas permukaan laut untuk menghindari deteksi radar, kemudian melenyapkan grup tempur AL Soviet dengan menggunakan senjata nuklir lewat taktik serangan “bom lempar/toss bombing”, serta kemudian kabur secepatnya menghindari ancaman senjata anti pesawat lawan. Persyaratan dari pesawat yang dicari lalu diresmikan sebagai “Naval Staff Requirement Number 39 (NA.39)” pada bulan Juni 1952. Persyaratan awal yang diminta adalah sebuah pesawat berbasis kapal induk dua kursi yang dapat membawa senjata nuklir secara internal, dan bisa terbang dengan kecepatan Mach 0,85 di ketinggian sekitar 60 meter (200 kaki), serta dapat beroperasi pada radius tempur minimal 740 kilometer (460 mil). Pesawat itu memiliki sistem radar ofensif dan radar altimeter. Total muatan senjata yang bisa digotongnya harus minimal 1,8 ton (4.000 pon); panjangnya tidak boleh lebih dari 15,5 meter (51 kaki) dalam konfigurasi yang memungkinkan pesawat ini disimpan dengan menggunakan akomodasi pada elevator dek kapal induk yang ada; dan berat maksimumnya tidak boleh lebih dari 20,4 ton (45.000 pon). Disamping itu, pesawat itu juga harus bisa berperan sebagai pesawat tanker. Sementara itu, setelah operasi Suez pada tahun 1956, Armada Udara Armada AL Inggris berada di ambang era baru lainnya dengan penggunaan pesawat yang bisa beroperasi segala cuaca untuk menemani pesawat Sea Vixen dan Scimitar, sehingga persyaratan ini juga wajib hadir pada desain pesawat serang yang mereka minta.

Kapal penjelajah kelas Sverdlov, Laksamana Ushakov pada tahun 1981. Kehadiran kapal penjelajah kelas Sverdlov di AL Soviet pada tahun 1950an, mendorong pihak AL Inggris untuk menciptakan desain pesawat serang maritim baru. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Sebagian besar pabrikan pesawat terbang utama Inggris kemudian mengajukan proposal untuk memenuhi persyaratan tersebut, dengan proposal yang diterima lalu dipangkas menjadi hanya tiga finalis, yakni: Armstrong-Whitworth “AW.168”, Shorts “PD.13”, dan Blackburn “B.103”. Armstrong-Whitworth AW.168 adalah desain pesawat yang tergolong konservatif, dengan layout konvensional, sayap yang sedikit menyayung, dan menggunakan mesin turbojet Bristol Siddeley “Gyron Junior” kembar, yang dipasang di nacelles di bagian bawah sayap. Pesawat ini untuk menampilkan desain leading edge flaps dan sebuah “boundary layer control (BLC)” atau “blown flaps”, di mana udara yang keluar mesin dialirkan melalui bagian atas flap untuk mengurangi kecepatan stall. Deflektor scoop pada knalpot harus dipasang di belakang setiap mesin untuk mengarahkan dorongannya ke bawah pada sudut 45 derajat, yang memungkinkan pesawat lepas landas dalam jarak pendek. Awak pesawat duduk berdampingan di bawah kanopi tipe gelembung (bubble canopy), dan sayapnya dapat terlipat tepat di bagian luar mesin. Sementara itu berbeda dengan desain pesawat Armstrong-Whitworth, Shorts PD.13 adalah desain yang sangat tidak konvensional, yakni desain sebuah pesawat tanpa ekor yang menampilkan sayap tipe “aero-isoclinic” yang sangat menyayung – sebuah konsep yang dikembangkan oleh Geoffrey Hills dari Shorts – di mana ujung sayap dapat berputar ke atas dan ke bawah untuk kontrol penerbangan. Pesawat ini akan didukung oleh dua mesin Rolls-Royce Avon RA.19 turbojet, dengan knalpot yang bisa dibelokkan ke bawah. Kokpit tempur gaya offset dipasang di sisi kiri hidung untuk pilot, sementara navigator duduk di kompartemen “coal hole” di bawah palka di sisi kanan hidung. Terdapat juga fairing berbentuk tear drop di bagian belakang setiap sayap, yang digunakan untuk menyimpan roda pendarat utama yang ditarik mundur ke belakang. PD.13 mungkin terlihat aneh, tetapi Shorts telah menerbangkan pesawat demonstrator dengan sayap aero-isoklinik, “SB.4”, dan terbukti pesawat ini sangat nyaman untuk diterbangkan. 

Model desain Armstrong-Whitworth “AW.168, yang nampak sederhana. (Sumber: https://www.secretprojects.co.uk/)
Model desain Shorts PD.13, yang dipandang terlalu ‘radikal’ pada masanya. (Sumber: https://www.hannants.co.uk/)

Di pihak lain, pada saat itu, Blackburn, yang selama ini hanya membangun tidak lebih seperti pesawat angkut dan kargo, tetapi desain B.103 yang mereka sodorkan tampaknya mengesankan. B.103 menampilkan mesin kembar; dimana Blackburn awalnya mempertimbangkan untuk menggunakan mesin turbojet Armstrong Siddeley Sapphire Sa.7, namun karena dirasa terlalu besar dan berat, mesin Gyron Junior kemudian dipilih sebagai gantinya. Permukaan sayap pesawat ini cukup menyayung, dengan tailplane dipasang tinggi pada tailfin dalam konfigurasi “T”. Karena penerbangan di ketinggian rendah yang baik membutuhkan sayap yang kecil, sementara sayap kecil berarti “hot” landing speed, para insinyur Blackburn merancang sistem BLC, dengan 10% aliran udara kompresor mesin dihembuskan tidak hanya di atas flap, tetapi juga di atas ekor — skema ini juga sekaligus menyediakan tambahan perangkat de-icing. B.103 juga menggabungkan prinsip aerodinamika “area rule” baru, di mana perubahan mendadak di area penampang pesawat dihindari untuk meningkatkan penanganan pesawat saat terbang pada kecepatan tinggi. Area Rule berarti bahwa badan pesawat menyusut mendekati penampang yang mencakup sayap, dan kemudian mengembang lagi setelah area sayap, memberikan badan pesawat penampilan seperti “pinggang tawon” atau “botol coca cola” yang anggun. Insinyur Blackburn selain menggunakan area-ruling untuk meningkatkan desain aerodinamis pesawat, juga sekaligus meningkatkan kapasitas penyimpanan di badan pesawat, yang memberikan pesawat banyak memiliki bentuk lengkung. 

Desain terpilih Blackburn “B.103”. Desain Blackburn dianggap paling tepat karena tidak terlalu kuno, namun juga tidak terlalu rumit seperti desain Short. (Sumber: https://1000aircraftphotos.com/)

Pesawat rancangan Blackburn bisa memenuhi batas dimensi elevator dek pada kapal induk dengan menggunakan berbagai trik. Sayapnya dibuat bisa terlipat hingga 120 derajat dari engsel di setengah bentangamnya, dan kerucut hidungnya dapat diputar ke belakang untuk memungkinkan akses ke perangkat radar dan mengurangi panjang pesawat secara keseluruhan. Kerucut ekor dibuat terbelah dan dapat dibuka secara hidraulik ke samping untuk sekaligus bertindak sebagai rem udara variabel, serta mengurangi panjang pesawat. Semua fitur ini memungkinkan B.103 untuk tersimpan dengan rapi di elevator dan di dek hanggar. B.103 juga dirancang untuk dilengkapi dengan dua pylon penyimpanan di bawah setiap sayap, dengan total ada empat, dan juga memiliki ruang bom, yang dapat menampung empat bom seberat 450 kilogram (1.000 pon) atau satu senjata nuklir. Ruang bom konvensional tidak dianggap cocok untuk melakukan serangan ketinggian rendah dengan kecepatan tinggi, dan oleh karena itu B.103 diberi pintu ruang bom yang bisa berputar, dengan amunisi terpasang pada pintu itu sendiri. Pintunya bisa berputar dengan cepat, untuk mengurangi gangguan aerodinamis pada saat penerbangan. Ruang bom yang berputar tidak hanya menyederhanakan proses pelepasan senjata, tetapi juga mempermudah memuat amunisi dan pada saat melakukan servis. Tempat penyimpanan lainnya, seperti palet untuk penempatan kamera pengintai, juga direncanakan bisa dibawa di ruang bom. 

Untuk menghemat ruang di area kapal induk, Blackburn Buccaneer memiliki fitur sayap lipat dan kerucut ekor yang dapat terbelah membuka. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/)

Desainnya sempat dibekukan pada musim panas tahun 1954, tapi pada bulan Juli 1955, Angkatan Laut Inggris memilih desain B.103 dari tiga finalis yang mereka terima, dengan beberapa alasan. Desain Armstrong-Whitworth AW.168 dianggap terlalu biasa; dimana desain itu memang akan menghadirkan risiko paling kecil dan bisa masuk ke dinas operasional paling cepat, tetapi juga diperkirakan akan dengan cepat usang. Sementara itu, desain Short PD.13 dinilai terlalu maju, dengan desain yang paling canggih, tetapi tingkat risikonya paling tinggi. Sebaliknya Blackburn B.103 dianggap desain yang tepat, yang tidak terlalu kolot, namun juga terlalu berani. Kontrak awal menempatkan pesanan sebanyak 20 pesawat “batch pengembangan (DB)”. Itu adalah jumlah pesawat pra-produksi yang luar biasa tinggi, tetapi Angkatan Laut Kerajaan sedang terburu-buru dan ingin memastikan bahwa kemungkinan hilangnya prototipe tidak akan menunda program, selain itu, mereka juga ingin mengejar pengembangan berbagai subsistem secara paralel. Pekerjaan pengembangan B.103 berlangsung sangat rahasia. Angkatan Laut meminta agar sebuah prototipe terbang pada bulan April 1958, dan prototipe Blackburn NA.39 (XK486) pertama kali diterbangkan di RAE Bedford pada tanggal 30 April 1958, dengan dipiloti oleh Derek Whitehead. Produksi prototipe berikutnya secara bertahap berturut-turut memasukkan berbagai fitur untuk pesawat operasional. Uji coba di kapal induk dimulai pada awal tahun 1960, yang telah tertunda beberapa bulan oleh masalah stall dan jatuhnya salah satu prototipe, dengan kedua awaknya tewas setelah terlempar dari pesawat mereka yang terbalik. Pada tanggal 20 Agustus 1960, pesawat baru itu diberi nama resmi: “Buccaneer”. Versi awal diberi nama “Strike Mark 1 (S.1)”. 

Pesawat uji Blackburn Buccaneer NA39 dengan mesin Gyron Junior. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Semua dari 20 pesawat DB telah terbang pada akhir tahun 1961, meskipun timbul kerugian lebih lanjut. Satu pesawat jatuh pada bulan Oktober 1960 karena kegagalan instrument penerbangannya, namun dua awaknya berhasil keluar dengan selamat. Satu pesawat lagi hilang pada bulan Agustus 1961 saat lepas landas selama uji coba di kapal induk, kedua awaknya tenggelam karena mereka tidak dapat keluar dari pesawat. Terlepas dari berbagai bencana, program uji terbang secara keseluruhan dianggap berjalan dengan baik, dan pesawat Buccaneer pertama dikirim ke Royal Navy pada bulan Agustus 1961 untuk menjalani pengujian. Sementara pesawat produksi dirakit di Brough, Yorkshire, mereka kemudian ditarik sejauh 18 mil dengan roda mereka sendiri ke Holme-on-Spalding Moor untuk uji terbang. Produksi pertama HS Buccaneer S Mk1 (XN922) lepas landas pada tanggal 23 Januari 1962. Sayangnya, pesawat ini kemudian terlibat dalam kecelakaan fatal saat lepas landas di Boscombe Down, pada tanggal 5 Juli tahun yang sama. Skuadron nomor 801 menjadi unit Buccaneer yang operasional pertama kali pada bulan Juli 1962, dengan pelayaran operasional bersama kapal induk dimulai pada tahun 1963. Buccaneer berbasis darat diketahui beroperasi dari sejumlah pangkalan udara angkatan laut, tetapi Buccaneer akan secara khusus dikaitkan dengan pangkalan udara angkatan laut di Lossiemouth, di pantai timur laut Skotlandia. 20 pesawat DB awal semua tetap dipertahankan oleh Blackburn untuk digunakan pada proses pengembangan dan uji coba lebih lanjur, tetapi beberapa akhirnya dibawa ke dinas operasional sepenuhnya dan diserahkan ke pihak Royal Navy.

DESAIN BUCCANEER S.1 & S.2

Produksi dari Buccaneer S.1 membawa garis desain yang sama pada prototype B.103: dua mesin turbojet Gyron Junior Mark 101 non-afterburning yang menghasilkan daya dorong sebesar 35,6 kN (3.630 kgp / 8.000 lbf), masing-masing dipasang di nacelle dengan intake melingkar di masing-masing sisi badan pesawat; sayap lipat pesawat yang menyayung dipasang di bagian tengah badan pesawat, dengan sebuah boundary layer control atau sistem “supersirkulasi”; ekor T tinggi; prinsip area rule pada badan pesawat; kerucut hidung yang bisa lipat; split tailcone / rem udara; dan empat pylon, ditambah pintu ruang bom yang bisa berputar. Badan pesawat dirancang dengan penekanan pada kekuatannya, dan pesawat itu umumnya akan digambarkan seperti “dibangun dari batu bata”. Sudut pada sayapnya adalah 40 derajat dari pangkalnya; 38 derajat 36 detik di tengah bentangnya; dan 30 derajat 12 detik untuk bentang luarnya. Sayap dipasang pada sudut datang 2 derajat 30 detik. Setiap sayap menampilkan flap di bagian dalam (tidak bisa-dilipat), dan aileron di bagian luar sayap (bisa dilipat). Flap pada sayap memiliki empat posisi, dengan sudut maksimum adalah 45 derajat. Terdapat pengaturan ductwork yang agak rumit di bagian sayap untuk sistem BLC, dengan adanya jalur yang mengalir di belakang bagian depan sayap untuk mengalirkan udara keluar dari ujung depan dan saluran lain di bagian belakang sayap untuk menyediakan udara keluar di atas sayap. dan aileron. Bagaimana ductwork ini menangani sistem lipatan pada sayap adalah pertanyaan mekanis kecil yang menarik. Ada deretan sirip-sirip “vortex generator” kecil ke arah depan bagian luar sayap untuk mencegah pemisahan aliran udara. Desain B.103 asli menampilkan adanya sayap kembar di setiap sayap dan bilah terdepan, tetapi sistem BLC membuatnya tidak lagi diperlukan. Ekor pesawat yang dipasang tinggi semuanya dapat digerakkan; dan apa yang tampak seperti elevator sebenarnya adalah penutup, digunakan bersama dengan aliran udara dari sistem BLC yang dikeluarkan dari bidang ekor. Saluran BLC mengalir ke atas sirip ekor dan di sepanjang tepi depan bidang ekor. Sirip ekor itu sendiri memiliki kemudi konvensional. 

Detail desain Blackburn Buccaneer. (Sumber: https://forum.warthunder.com/)
Penggambaran sistem kerja aerodinamis dari Buccaneer, blowing slot yang terlihat di tepi depan sayap dan wing flap; fitur aerodinamis ini berkontribusi pada aliran udara Coandă di atas sayap. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

S.1 dilengkapi dengan roda pendarat model tricycle, dengan semua roda menampilkan roda tunggal. Roda utama pada bagian hidung ditarik ke belakang, sedangkan roda sisi kiri dan kanan berengsel di bagian sayap tepat di luar nacelles mesin dan ditarik ke dalam menuju badan pesawat. Roda hidung dapat dikemudikan, dan mampu diputar 50 derajat dari garis tengah, dan roda pendarat dilengkapi sistem pengereman antiselip. Terdapat juga roda bumper kecil yang dapat diperpanjang di badan belakang untuk mencegah kerusakan pada ekor saat lepas landas dengan sudut tinggi, dan kait penahan tipe stinger di ujungnya. Total kapasitas bahan bakar internal yang dapat dibawa adalah 7.092 liter (1.871 galon AS) dalam delapan tangki bahan bakar tersimpam di badan pesawat bagian atas. Tidak ada tangki bahan bakar di sayap. Beban bahan bakar internal dapat ditambah dengan dua tangki “slipper” di bawah sayap, dipasang di sekitar pylon penyimpanan di dalam pesawat dekat sayap, konfigurasi ini dibuat untuk meminimalkan hambatan. Setiap tangki slipper memiliki kapasitas muat 1.136 liter (300 galon AS). Tangki feri  berkapasitas 2.000 liter (528 galon AS) juga dapat dipasang ke tempat bom. Secara umum jangkauan terbang tidak menjadi masalah untuk Buccaneer. Prototipe awal Buccaneer memiliki probe pengisian bahan bakar yang dapat ditarik, tetapi tidak bekerja dengan baik dalam uji coba, dan probe offset yang dapat dilepas pasang dengan cepat dirancang sebagai gantinya. Probe ini sedikit dipasang di sebelah kanan, dan diberi penanda untuk bertindak sekaligus sebagai sistem pembidik bom sederhana guna memvalidasi sistem pengeboman standar pada pesawat.

Pada bagian depan kokpit Buccaneer terdapat perangkat pengisian bahan bakar yang diberi penanda untuk bertindak sekaligus sebagai sistem pembidik bom sederhana guna memvalidasi sistem pengeboman standar pada pesawat. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Meskipun tampaknya agak aneh bagi desain ala Amerika, cantelan untuk sistem ketapel tidak ada di roda hidung. Sebagai gantinya terdapat cantelan kabel di bawah setiap nacelle mesin, dan ketika siap untuk lepas landas dari kapal induk, pesawat diikat dengan kekang sehingga roda hidung naik di udara. Skema ini terlihat aneh, tetapi dapat diandalkan oleh jet Angkatan Laut Kerajaan Inggris lainnya dan memberikan pesawat mereka sudut yang tinggi saat lepas landas untuk membantunya lebih mudah meninggalkan geladak. Sementara itu untuk lepas landas dari kapal induk, kecepatan peluncuran minimum Buccaneer adalah sekitar 120 knot (220 km/jam; 140 mph) dengan bobot 43.000 pon (20.000 kg); sedang dari lapangan terbang, Buccaneer lepas landas di jarak 3.000 kaki (900 m) kecepatannya 144 knot (267 km/jam; 166 mph) dengan blown air. Angka itu menjadi 3.700 kaki (1.100 m) pada keceoatan 175 knot (325 km/jam; 200 mph) tanpa blown air. Pilot dan navigator duduk bersama dalam posisi tandem depan belakang, masing-masing duduk di atas kursi lontar Martin Baker. Kursi asli yang dipasang tampaknya adalah tipe Mark 4MS, yang memiliki kemampuan lontar di ketinggian nol tetapi membutuhkan kecepatan terbang minimum untuk bisa dioperasikan dengan nyaman. Kedua kursi digeser sekitar 5 sentimeter (2 inci) dari garis tengah, dalam arah yang berlawanan, dan kursi belakang dinaikkan sedikit. Konfigurasi ini memberi navigator di kursi belakang pandangan ke depan yang lebih baik. Kedua kru duduk di bawah kanopi tipe gelembung tunggal yang memberikan penglihatan menyeluruh yang cukup baik dan dibuka dengan menggeser ke belakang. Ada layar transparan dengan peledak antara dua kursi untuk melindungi navigator ketika pilot melontarkan diri atau jika kaca depan pecah. Namun, kaca depan sangat kuat, dengan ketebalan laminasi 6,35 sentimeter (2,5 inci) dan tahan terhadap hantaman burung. 

Sistem take off ‘unik’ pada Buccaneer, dimana roda pada hidung sedikit diangkat sebelum lepas landas. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Dengan kokpit model gelembung, kru Buccaneer terhitung memiliki visibilitas yang baik untuk pesawat tempur seeranya. (Sumber: https://www.jetphotos.com/)

Perangkat avionik Buccaneer tergolong canggih pada masa itu, dimana perangkat didalamnya termasuk radio UHF dan transponder IFF (identifikasi teman atau musuh), serta komputer penerbangan analog; sistem referensi penerbangan gyrocompass; altimeter radar, yang sangat penting untuk penyerangan di ketinggian rendah; dan sistem autopilot Elliot. Terdapat kamera serang dalam blister di bawah hidung – meskipun tampaknya kemudian dalam karir Buccaneer, kamera itu tidak pernah benar-benar dipasang. Operasi tempur pesawat ini didukung oleh radar Ferranti Blue Parrot (AIRPASS III) di bagian hidung, yang menyediakan fungsi pencarian dan pemetaan, serta sistem toast bom semi-otomatis untuk pelepasan senjata nuklir. Setelah awak pesawat menetapkan target yang dikunci, radar Blue Parrot akan menghasilkan sinyal kemudi bagi pilot untuk membuatnya tetap bisa terbang pada target dan memberitahunya kapan harus menanjak dan melemparkan bom. Bom akan secara otomatis dilepaskan pada waktu yang tepat, dengan nada audio terputus saat dilepaskan untuk memberi isyarat kepada pilot untuk berbalik dan keluar dari area ledakan secepat mungkin. Sayangnya, Blue Parrot tidak memiliki kemampuan terbang mengikuti medan (nap on earth), yang akan sangat berguna untuk peran penyerangan di ketinggian rendah. Semua varian Buccaneer yang muncul kemudian akan tetap mempertahankan radar Blue Parrot. Sementara itu, satu-satunya sistem countermeasures defensif yang dimiliki Buccaneer adalah sistem penerima peringatan radar broadband sederhana (RWR), dengan antena yang tampak seperti ujung roket kecil mencuat dari tengah tepi depan setiap panel sayap luar. Karena tidak semua gambar S.1 menunjukkan adanya perangkat fairing kecil ini, tampaknya mereka dapat dilepas pasang. Buccaneer dari awal telah dirancang khusus sebagai pesawat serang nuklir maritim. Senjata serang yang dimaksudkan adalah bom luncur nuklir berpemandu dengan nama aneh “Green Cheese”, tetapi senjata ini tidak jadi digunakan, dan sebagai gantinya, senjata nuklir yang digunakan adalah bom tanpa pemandu “Red Beard” seberat 900 kilogram (2.000 pon), yang telah dikembangkan untuk digunakan oleh pembom Canberra. Red Beard memiliki kekuatan ledakan dalam kisaran 10 hingga 20 kiloton. Bom itu dipasang di dalam pintu ruang bom khusus di mana ia tersimpan dengan rapi untuk mengurangi gaya aerodinamis pada pesawat peluncur. Red Beard adalah senjata yang tidak canggih dan harus dikonfigurasi sebelum lepas landas alih-alih pada saat penerbangan, jelas hal ini merupakan fitur yang tidak diinginkan.

Tampilan instrumen kokpit Blackburn Buccaneer. (Sumber: https://www.airteamimages.com/)
Buccaneer dengan ruang bom-nya terbuka. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Buccaneer S.1 dapat membawa muatan senjata konvensional alternatif hingga delapan bom seberat 450 kilogram (1.000 pon), dengan empat di ruang bom dan satu di masing-masing dari empat pylon bawah sayapnya, meskipun konfigurasi total enam bom lebih cocok digunakan. Selain itu, S.1 juga dapat membawa paket roket tanpa pemandu di pylon bawah sayapnya. Buccaneer awalnya menggunakan roket kaliber 50-milimeter (2-inci) dalam paket 36 roket, tetapi senjata ini kemudian dihapus secara bertahap digantikan oleh roket Matra Brandt / SNEB 68-milimeter (2,7-inci) dalam paket 18 roket. Buccaneer juga sempat dievaluasi untuk bisa menggunakan rudal udara-ke-permukaan berpemandu radio AGM-12 Bullpup buatan AS pada tahun 1965. Namun, Bullpup terbukti sebagai senjata yang tidak dapat diandalkan dan tidak akurat, dan jarang dibawa dalam praktiknya. Sementara itu, Buccaneer juga dapat dioperasikan sebagai pesawat tanker, dengan membawa perangkat pengisian bahan bakar probe-and-drogue Flight Refueling LTD M20 dengan kapasitas 636 liter (168 galon AS) di bawah sayap kanan, ditambah dengan tangki slipper di bawah sayap kiri. Seperti disebutkan sebelumnya, ruang bom juga dapat menampung tangki feri berkapasitas 2.000 liter, serta “perangkat” pengintai fotografi atau kontainer kargo. Kontainer pengintai dapat menampung dispenser suar fotoflash dan hingga enam kamera, dalam berbagai konfigurasi kamera jarak jauh, sudut lebar, dan penglihatan malam yang dapat dipasang secara vertikal, miring, atau (menggunakan blister dalam kemasan) dengan orientasi pandangan ke depan. Unit photoflash jarang digunakan, dengan Royal Navy lebih memilih untuk menggunakan roket Gloworm, dengan delapan dipasang di pylon Buccaneer, untuk operasi malam. Kontainer kargo akan terbukti berguna untuk mengangkut tongkat golf dan barang-barang penting lainnya. Sempat ada rencana untuk mengembangkan perangkat tanker di ruang bom, tetapi perangkat di bawah sayap terbukti lebih memadai. Ada juga rencana untuk menambahkan kanon kembar Aden kaliber 30-milimeter, tapi rencana itu ditinggalkan dan Buccaneer tidak akan pernah membawa persenjataan kanon. 

Rudal AGM-12 Bullpup. Buccaneer juga sempat dievaluasi untuk bisa menggunakan rudal udara-ke-permukaan berpemandu radio AGM-12 Bullpup buatan AS pada tahun 1965. Namun, Bullpup terbukti sebagai senjata yang tidak dapat diandalkan dan tidak akurat, dan jarang dibawa dalam praktiknya. (Sumber: https://www.nationalmuseum.af.mil/)

Dua skuadron operasional Armada Udara Angkatan Laut Kerajaan dan satu unit pelatihan dilengkapi dengan Buccaneer S.1. Awak pesawat Angkatan Laut menyukai pesawat itu, karena dikenal kuat, mudah dikendalikan, bisa diterbangkan dengan mulus dan kokoh luar biasa di geladak kapal, dan sistem BLC-nya memberi mereka kecepatan pendaratan yang lebih lambat daripada yang biasa mereka lakukan. Buccaneer diketahui memiliki kualitas pengendalian yang baik pada kecepatan 580 knot (1074,16 km/jam) pada ketinggian 100 kaki (30,48 meter) di atas permukaan laut. Pada ketinggian ini pilot juga bisa melakukan putaran dengan kecepatan maksimum, yang menunjukkan baiknya kualitas terbang pesawat ini. Pada awal pengembangan, B.103 telah diberi sebutan “ARNA”, untuk “A Royal Navy Aircraft”. Akronim ini kemudian ditafsirkan ulang sebagai “Banana”, dan sejak saat itu Buccaneer akan dijuluki “Banana Jet”. Pihak pers sendiri suka menyebutnya “Brick”, yang membuat jengkel para kru Buccaneer. Beberapa S.1 versi awal dicat putih keseluruhan untuk menahan kilatan ledakan nuklir, dengan konfigurasi cat seperti ini kadang-kadang mereka disebut sebagai “pisang kupas”, tetapi untuk versi S.1 sendiri biasanya dicat abu-abu laut gelap di bagian atas dan warna putih di bagian bawah. Buccaneer S.1 adalah pesawat yang sangat bagus, tetapi mesin Gyron Junior yang digunakannya dinilai tidak cukup bertenaga, terutama dengan sepuluh persen aliran udaranya yang terkuras untuk sistem BLC. Kurangnya tenaga berarti Buccaneer tidak bisa lepas landas dengan muatan bahan bakar penuh. Untuk bisa mendapatkan jangkauan yang baik, Buccaneer S.1 harus diluncurkan dengan muatan bahan bakar parsial dan kemudian mengisi bahan bakar dari pesawat tempur Supermarine Scimitar yang dikonfigurasi sebagai pesawat tanker. Hanya 40 Buccaneer S.1 yang dibuat, dan pada akhir tahun 1960-an, S.1 yang tersisa diturunkan ke status pesawat untuk fungsi pelatihan. Karier Buccaneer S.1 tiba-tiba berakhir pada bulan Desember 1970. Pada tanggal 1 Desember, sebuah S.1 bersiap melakukan pendaratan ketika mesinnya terganggu dan memaksa dua awak untuk keluar dari pesawat. Pada tanggal 8 Desember, sebuah S.1 lain pada saat penerbangan pelatihan mengalami kegagalan fungsi turbin. Pilot berhasil keluar, tetapi karena kesalahan mekanis, rekannya di kursi belakang terbunuh. Inspeksi yang dilakukan kemudian menunjukkan bahwa mesin Gyron Junior tidak lagi cocok untuk dioperasikan. Semua S.1 yang masih aktif kemudian segera di-grounded, yang ternyata untuk selamanya.

Blackburn Buccaneer S Mk1 RN (XN929) di Farnborough Air Show 1962. Buccaneer S.1 dikenal memiliki masalah pada mesinnya yang kurang bertenaga. Kekurangan ini kemudian diperbaiki pada seri Buccaneer S.2. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Sementara itu bahkan sebelum Buccaneer S.1 mencapai status operasional, Angkatan Laut Kerajaan Inggris sudah menyelidiki kemungkinan pembuatan Buccaneer dengan mesin yang lebih baik, untuk diberi nama “S.2”. Pada bulan Januari 1962, pihak AL memesan Buccaneer versi terbaru dengan mesin turbojet bypass Rolls-Royce Spey baru. Varian Spey non-afterburning yang dipilih memberikan daya dorong 50,6 kN (5.160 kgp / 11.380 lbf), jauh lebih besar 40% daripada mesin Gyron Junior, dan memiliki kemampuan menghemat bahan bakar yang lebih baik. Menariknya, Spey memiliki ukuran yang hampir sama dengan Gyron Junior, dan hanya membutuhkan sedikit modifikasi yang diperlukan agar pesawat dapat dipasangi dengan mesin baru. Diantara kedua tipe, yang paling terlihat jelas adalah intake udara berbentuk elips besar yang khas pada S.2, karena mesin baru membutuhkan aliran udara yang lebih besar. Pipa knalpot diubah untuk bisa diarahkan ke luar dan ke bawah, dan ujung sayap (wingtip) yang bersudut ditambahkan untuk meningkatkan jangkauan jelajah pesawat. Sistem BLC juga ditingkatkan untuk memanfaatkan aliran udara yang lebih besar, yang selanjutnya mengurangi kecepatan lepas landas dan mendarat Buccaneer, dan sistem kelistrikan baru dipasang. Untuk membantu proses keluar dari pesawat dalam kondisi darurat, kabel detonasi miniatur (MDC) ditempelkan ke kanopi untuk menghancurkannya sebagai pintu darurat. Dua dari pesawat pengembangan awal dimodifikasi untuk menggunakan mesin Spey, dan Buccaneer bertenaga Spey pertama terbang pada tanggal 17 Mei 1963. Program uji terbang yang dilakukan kemudian berjalan lebih lancar daripada S.1, tanpa ada pesawat yang hilang dalam kecelakaan. Tiga dari pesawat yang dibuat diuji terbang ke AS pada musim panas tahun 1965 untuk melakukan uji coba pada cuaca panas di kapal induk USS Lexington. Salah satu pesawat ini terbang kembali melintasi Samudera Atlantik tanpa melakukan bahan bakar, sebuah demonstrasi dramatis yang menunjukkan jangkauan luar biasa dari Buccaneer. Dalam uji coba lain, pada bulan Mei 1966, sebuah S.2 diluncurkan dari HMS Victorious di Laut Irlandia, melemparkan senjata nuklir simulasi dari ketinggian rendah di lapangan terbang di Gibraltar dan kembali ke kapal. Perjalanan  itu menempuh jarak sejauh 2.300 mil (3.700 km).

Produksi Blackburn Buccaneer S.2 di Hawker Siddeley Aviation di Brough. Perbaikan paling signifikan pada Buccaneer S.2 adalah penggantian mesin Gyron Junior dengan mesin Spey, yang 40% lebih bertenaga. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

S.2 memasuki dinas operasional FAA dengan Skuadron Nomor 801 pada bulan Oktober 1965. Pada saat itu, menjadi semakin jelas bahwa hari-hari masa dinas kapal induk besar Angkatan Laut Kerajaan Inggris sudah mendekati akhir. Itu berarti masa depan menjadi tidak pasti bagi Buccaneer, tetapi untuk saat ini pilot FAA senang dengan kekuatan lebih besar yang disediakan pesawat ini. Awalnya, S.2 tetap mempertahankan skema cat perut berwarna abu-abu gelap dan putih dari S.1, tetapi kemudian segera dicat dengan skema warna abu-abu gelap seluruhnya. Sempat ada eksperimen penggunaan skema yang menampilkan bagian atas berwarna abu-abu gelap dan bagian bawah abu-abu muda, atau abu-abu muda secara keseluruhan, tetapi mereka pada akhirnya tidak diadopsi. Pengenalan pertama kali S.2 pada dinas operasional dirusak oleh adanya dua kecelakaan. Satu  pesawat terjun ke laut pada bulan Juni 1966 setelah lepas landas dengan menggunakan ketapel; kecelakaan itu awalnya dianggap sebagai kesalahan pilot, sampai pilot uji yang menyelidiki masalah itu jatuh sendiri dalam keadaan yang sama pada bulan Oktober 1966. Ternyata, Buccaneer S.2 rentan terhadap sejumlah ketidakstabilan setelah diluncurkan dengan ketapel. Masalah itu lalu diatasi dengan beberapa perubahan kecil pada sisi aerodinamis dan prosedural, tetapi Buccaneer masih tetap membutuhkan perhatian pilot yang cermat dalam kondisi peluncuran tertentu. Buccaneer S.2 melakukan beberapa tur kapal induk selama tahun 1966 dan 1967, ironisnya karena kapal induk besar Angkatan Laut Kerajaan Inggris sedang dalam proses dipensiunkan. Pada akhir bulan Maret 1967, Buccaneer melakukan satu-satunya aksi penenggelaman kapal besar mereka ketika mereka menyerang kapal tanker minyak yang ditinggalkan Torrey Canyon, yang mendarat di dekat Land’s End di Cornwall, dengan menghantam kapal itu dengan bom seberat 450 kilogram (1.000 pon). Ironi lainnya adalah, tujuan sebenarnya misi itu bukan untuk menenggelamkan kapal tanker itu, tetapi untuk membakar muatannya, dengan bantuan dari pesawat-pesawat Hunter dan Sea Vixen yang membawa peluru pembakar. Sementara itu, Royal Navy lalu memperbarui Buccaneer miliknya. Mereka dipasang kembali dengan kursi ejeksi Martin Baker Mark 6MSB mulai tahun 1968, dengan kursi baru yang memberikan kemampuan ejeksi “nol-nol (kecepatan nol / ketinggian nol)” yang sebenarnya. Lebih penting lagi, S.2 dimodifikasi untuk bisa membawa rudal berpemandu presisi Martel. Martel tersedia dalam versi anti-radar (AS.37) dan pemandu televisi (AJ.168); hal itu dilihat sebagai peningkatan yang signifikan sehingga memodifikasi Buccaneer untuk bisa membawanya dianggap sebagai suatu hal yang bermanfaat, bahkan meski muncul ketidakpastian tentang masa depan pesawat itu. 

Sebuah Buccaneer S.2 diluncurkan dari HMS Eagle; S.2 menampilkan mesin turbofan Rolls-Royce Spey yang lebih bertenaga yang memungkinkannya meluncur dengan bobot lepas landas maksimum. Kehadiran S.2 dan berbagai perbaikannya disambut oleh kru FAA, di tengah ketidakjelasan nasib armada kapal induk Inggris tempat mereka bernaung. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pembaruan kemampuan mengangkut Martel secara resmi dimulai pada bulan September 1966, dengan Buccaneers dimodifikasi untuk dapat membawa empat rudal Martel, satu di setiap pylon. Pylon yang lebih besar dapat dipasang untuk mengakomodasi rudal, dengan keuntungan sampingan memungkinkan mereka untuk membawa tiga bom seberat 450 kilogram (1.000 pon) pada setiap pylon dengan menggunakan rak tiga ejektor. Namun, rak tiga ejektor tidak akan pernah digunakan dalam praktiknya, meskipun rak ejektor ganda kadang-kadang digunakan untuk membawa dua bom seberat 225 kilogram (500 pon). Beberapa penguatan dan perubahan struktural juga dilakukan, dan dashboard kursi belakang dimodifikasi agar bisa mengakomodasi tampilan televisi dan pengontrolan menggunakan joystick yang diperlukan untuk menembakkan rudal AJ.168 Martel. Komunikasi dengan rudal AJ-168 dilakukan melalui pod datalink berbentuk gelendong yang dipasang di salah satu pylon. Sementara Buccaneer dapat membawa empat rudal Martel anti-radar, persyaratan untuk harus membawa pod datalink berarti bahwa pesawat itu tidak dapat membawa lebih dari tiga Martel yang dipandu televisi. Konfigurasi bawaan yang umum adalah sebuah pod datalink, dua rudal Martel yang dipandu TV, dan satu rudal Martel anti-radar. Sebuah pod pelatihan dapat dibawa untuk menggantikan pod datalink; perangkat itu tampak seperti pod datalink dengan sebuah perangkat pencari TV Martel di bagian hidungnya, dan dapat digunakan untuk memperoleh dan melacak target. Program pembaruan Martel kemudian berlarut-larut, dan Buccaneer berkemampuan Martel pertama dikirim ke Angkatan Laut Kerajaan pada waktu yang agak terlambat pada bulan Oktober 1972. Pada saat itu, Buccaneer diperkirakan akan segera dipensiunkan dari FAA pada pertengahan dekade itu juga, meskipun jadwal ini akan molor sedikit. Buccaneer Angkatan Laut Kerajaan terakhir benar-benar dipensiunkan pada bulan Desember 1978.

SISTEM AVIONIK DAN PERSENJATAAN

AVIONIK

Radar Blue Parrot

Pada tahun 1960-an, Ferranti memenangkan kontrak untuk memasok radar bagi pesawat Blackburn Buccaneer dalam dinas operasional Angkatan Laut Kerajaan Inggris. Versi ini merupakan modifikasi dari radar AIRPASS untuk menjalankan tugas pemindaian target di ketinggian rendah dengan menghilangkan pantulan dari gelombang yang dihasilkan. Karena gelombang memantulkan sebagian besar sinyal yang dihasilkan, sistem radar “Blue Parrot”, menggunakan pemancar berkekuatan 250 kW yang lebih kuat dan antena Cassegrain yang lebih besar. Selama pengujian sistem monopulse, insinyur dari Ferranti memperhatikan bahwa sistem menghasilkan informasi rentang refleksi tanah berkualitas tinggi. Kemampuan radar untuk menghasilkan pengukuran jarak yang sangat akurat, dikombinasikan dengan sistem yang menampilkan data yang dihasilkan sebagai peta, membuka kemungkinan untuk menghasilkan sistem panduan radar yang mampu mengikuti kontur medan. Ferranti lalu mengembangkan konsep ini secara ekstensif sepanjang tahun 1960-an, pertama dengan pesawat Dakota dan Canberra mereka, dan kemudian dengan Buccaneer. Idenya sederhana; komputer menghitung lintasan ideal berbentuk ski-ramp, datar tepat di bawah pesawat dan kemudian miring ke atas dalam kurva yang lembut. Pola ini diputar mengikuti vektor kecepatan pesawat. Radar memindai dalam pola berbentuk U, mengambil pengukuran akurat dari ketinggian dan jangkauan ke objek di depan dan sedikit ke kedua sisi pesawat. Komputer membandingkan jangkauan dan ketinggian objek di radar dengan jalur yang telah dihitung sebelumnya, lalu memutar jalur tersebut sehingga fitur medan akan muncul pada ketinggian yang telah ditentukan sebelumnya antara 60 dan 300 meter (200 dan 980 kaki). Ini kemudian diteruskan ke pilot sebagai titik di tampilan head-up, dan dengan mengikuti titik, pesawat akan berusaha mempertahankan ketinggian yang dipilih dengan terus menaikkan atau menurunkan titik saat medan bergerak. Kurva berbentuk ski dipilih untuk memastikan setiap manuver yang diperlukan sekaligus menurunkan beban kru. Menurut catatan, radar blue parrot mampu mendeteksi jarak sejauh 46,3 km untuk target besar, 33,34 km untuk target medium, 18,52 km untuk target kecil, dan 11,11 km untuk target sangat kecil.

Radar Ferranti Blue Parrot. (Sumber: http://www.saairforce.co.za/)

AN/ALQ-101 ECM (Opsional)

Dikenal juga sebagai Dash 10 adalah pod penanggulangan elektronik (ECM) yang digunakan pada pesawat seperti Blackburn Buccaneer. Perangkat ini juga digunakan dalam Perang Falkland oleh pembom Avro Vulcan selama Operasi Black Buck. Dibawa secara eksternal pada pylon di bawah sayap pesawat penyerang, pod Dash 10 digunakan untuk melawan senjata yang dipandu radar. Perangkat ini beroperasi dengan memanipulasi sinyal radar yang ditransmisikan dari sistem senjata tersebut dan menyiarkannya kembali informasi yang salah ke pesawat pengirim dengan cara yang meyakinkan. Tujuannya adalah untuk mengelabui sistem pertahanan udara musuh agar membidik target imajiner yang terletak beberapa mil jauhnya dari pesawat yang dilengkapi dengan pod Dash 10. Karena sistem pertahanan udara musuh tampak bekerja secara normal saat pod Dash 10 beroperasi, personel musuh yang memantau tidak menyadari bahwa mereka sedang ditipu.

AN/ALQ-101 ECM. (Sumber: https://www.nationalmuseum.af.mil/)

AN/ASQ-153\AN/AVQ-23 Pave Spike (Opsional)

Pave Spike adalah pod penargetan laser elektro-optik yang digunakan untuk mengarahkan bom berpemandu laser ke target di siang hari, dalam kondisi visual yang baik. Pod itu berisi laser boresighted yang terhubung ke kamera televisi, dan kemudian menampilkan gambarnya di layar kokpit. 156 unit AN/ASQ-153 telah digunakan oleh pesawat F-4 Phantom II (varian D dan E) AU Amerika dari tahun 1974 hingga 1989, menggantikan pod Pave Knife sebelumnya. Pod dengan panjang 144 inci (3,66 m), 420-lb (209 kg) dipasang di pylon rudal depan kiri F-4, sebagai pengganti rudal udara-ke-udara AIM-7 Sparrow. Pada tahun 1979, Royal Air Force memperoleh sejumlah pod AN/AVQ-23E dari versi Amerika yang disederhanakan untuk pesawat serang Blackburn Buccaneer mereka. Dua belas pesawat yang dilengkapi dengan pod ini dikerahkan ke Arab Saudi dalam Perang Teluk. Pod ini sekarang sudah usang, dan sedang dalam proses penggantian sistem yang lebih baru seperti LANTIRN dan AN/ASQ-228 ATFLIR.

AN/AVQ-23 Pave Spike. (Sumber: https://www.nationalmuseum.af.mil/)

PERSENJATAAN 

Rudal AIM-9 Sidewinder

AIM-9 Sidewinder (AIM/Air Intercept Missile) adalah rudal udara-ke-udara jarak pendek yang mulai beroperasi dengan Angkatan Laut AS pada tahun 1956 dan kemudian diadopsi oleh Angkatan Udara AS pada tahun 1964. Sejak itu Sidewinder telah terbukti sukses besar dan bertahan lama, dimana varian terbarunya masih menjadi perlengkapan standar di sebagian besar angkatan udara di dunia. Blackburn Buccaneer diketahui sempat menggunakan rudal Sidewinder varian B yang kurang begitu handal. AIM-9A/B menggunakan hulu ledak fragmentasi berbobot 4,5 kg (10 lb), yang dipicu oleh IR proximity atau sumbu kontak, dan memiliki radius efektif sekitar 9 m (30 kaki). Pelacak panas dari rudal versi awal ini memiliki sudut bidikan 4° dan tingkat pelacakan 11°/dtk, dan rudal itu sendiri dapat berbelok pada kekuatan hingga 12G. Propulsi rudal disediakan oleh motor roket berbahan bakar padat Thiokol MK 17 (17,8 kN (4000 lb) dengan daya dorong selama 2,2 detik, yang dapat mendorong rudal hingga kecepatan Mach 1,7 di atas kecepatan peluncurannya. Karena keterbatasan pada perangkat pelacaknya, AIM-9A/B hanya dapat digunakan untuk target non-manuver(!) tail-on (menyasar ekor) pada jarak antara 900 m (3000 kaki) dan 4,8 km (2,6 nm). Rudal itu juga sangat rentan terhadap sumber panas lainnya (contohnya dari matahari, dan pantulan tanah).

Rudal AIM-9B Sidewinder di dek kapal induk USS America (CVA-66), 8 Juni 1967. Pada awalnya Buccaner dibekali dengan rudal Sidewinder B ini yang kurang mumpuni. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Rudal AIM-9L Sidewinder yang berkemampuan “all aspect”. Kehadiran Sidewinder L meningkatkan kemampuan pertahanan diri Buccaneer secara signifikan. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pada tahun 1980an, Buccaneer mulai dilengkapi dengan Sidewinder varian L yang jauh lebih mumpuni. Ini adalah versi Sidewinder “all aspects” pertama dengan kemampuan untuk menyerang dari segala arah, termasuk saat berhadap-hadapan langsung dengan target. Kehadiran rudal versi baru ini memiliki efek yang dramatis pada taktik pertempuran udara jarak dekat. AIM-9L memiliki canard double-delta runcing yang baru, motor roket berbahan bakar padat MK 36 yang dimodifikasi (MOD 8 hingga 11), dan bagian panduan dan kontrol solid-state AN/DSQ-29 yang baru. Penyempurnaan tambahan termasuk seeker Indium Antimonide (InSb) berpendingin Argon yang benar-benar baru, laser proximity fuze DSU-15/B AOTD (Active Optical Target Detector), dan hulu ledak annular WDU-17/B berbobot 9,4 kg (20,8 lb) yang telah ditingkatkan (hulu ledak fragmentasi). Jangkauan maksimum rudal ini juga meningkat menjadi sejauh 17,7 km. Dengan semua fiturnya AIM-9L menghasilkan rudal baru yang jauh lebih baik dalam hal penembakan “all aspect”, serta memiliki kinerja pelacakan, manuver, terminal homing, dan kemampuan penghancuran yang jauh lebih baik dari versi-versi sebelumnya. Pengguna pertamanya dalam konflik skala besar adalah oleh Inggris sendiri selama Perang Falklands tahun 1982. Dalam kampanye militer ini versi “Lima” dilaporkan mencapai tingkat “kill” hingga 80% dari total rudal yang diluncurkan, sebuah peningkatan dramatis dari level 10-15% pada versi sebelumnya. Versi Lima mencetak 17 kill dan 2 kill bersama bersama melawan pesawat-pesawat Argentina selama perang.

Rudal AS-30

AS-30 adalah rudal udara-ke-darat yang dibuat oleh Nord Aviation. Rudal ini adalah senjata serang presisi yang dirancang untuk digunakan melawan target bernilai tinggi seperti jembatan dan bunker. AS-30 pada dasarnya adalah versi yang lebih besar dari desain rudal AS-20 sebelumnya, dan pada awalnya menggunakan sistem panduan yang serupa, yang mengharuskan pilot untuk mengarahkan senjata secara visual dan memperbaiki jalur penerbangannya menggunakan joystick kecil, sementara mereka sendiri juga harus menerbangkan pesawat. Semua sistem MCLOS ini terbukti sangat sulit digunakan dalam praktiknya. AS-30L yang diperbarui kemudian menggantikan sistem ini dengan sistem laser homing semi-aktif, yang memungkinkan rudal terbang ke target tanpa perlu intervensi dari operator. Rudal tersebut memiliki jangkauan 3 hingga 11 kilometer dengan kecepatan maksimum 1.700 km/jam, dan membawa hulu ledak seberat 240 kilogram, serta diklaim memiliki CEP (Circular Error Probabilities) 1 meter dengan perangkat penanda laser berbasis udara atau darat. AS-30L sempat dikerahkan oleh pesawat SEPECAT Jaguar Prancis selama Operasi Badai Gurun di Irak dan Operasi di Bosnia, dengan sekitar 60 rudal diluncurkan. Rudal ini terbukti sangat efektif dan akurat, dengan hit rate yang diklaim mencapai angka 97%. Rudal AS-30 diketahui sempat digunakan oleh Armada Buccaneer S.50 Afrika Selatan, yang sepertinya masih memakai sistem pemandu versi lama.

Rudal AS-30. (Sumber: https://24sqnbuccaneers.org/)

Rudal AS-37 Martel

Martel adalah rudal buatan Inggris-Prancis. Nama Martel adalah singkatan dari Missile, Anti-Radiation, Television. Ada dua varian dari rudal ini, yakni versi rudal anti-radiasi radar pasif, AS.37, dan rudal anti-kapal berpemandu televisi, AJ 168. Pesawat yang menggunakan rudal ini adalah Blackburn Buccaneer (bisa membawa hingga tiga versi TV atau empat varian ARM), SEPECAT Jaguar (dua rudal), Mirage III/F1 (satu atau dua rudal), dan Hawker Siddeley Nimrod (setidaknya satu rudal). Martel cocok untuk digunakan dalam serangan anti-kapal dengan jangkauan yang jauh dan menggunakan hulu ledak yang berat. Pada saat itu, tidak ada rudal berpemandu radar kecil seperti AGM-84 Harpoon dengan radar aktif, jadi satu-satunya solusi yang tersedia adalah rudal dengan sistem sensor video atau ARM. Dengan jangkauan yang relatif jauh, hulu ledak yang berat, dan kecepatannya yang subsonik, rudal ini lebih banyak diperbandingkan dengan rudal anti-kapal seperti Exocet atau Kormoran AS.34 daripada rudal anti-radar. Beratnya juga tiga kali lipat dari rudal AGM-45 Shrike, dengan kecepatan setengahnya, tetapi memiliki jangkauan dan daya ledak yang jauh lebih besar. Jangkauan Martel sekitar 60 km (37 mi) max (tergantung kondisi peluncurannya). Dengan hulu ledak berbobot 550 kg (1,210 lb), rudal ini dapat terbang hingga kecepatan Mach 0,9+.

Rudal AS-37 Martel. (Sumber: https://rochesteravionicarchives.co.uk/)

Rudal Sea Eagle

BAe Sea Eagle adalah rudal anti-kapal sea skimming (bisa terbang sedikit diatas permukaan laut) berbobot sedang yang dirancang dan dibangun oleh BAe Dynamics (sekarang MBDA). Rudal ini dirancang untuk menenggelamkan atau merusak kapal hingga ukuran setara kapal induk, dimana rudal ini mampu menghadapi gangguan dan tindakan pencegahan lainnya termasuk menghindari umpan palsu. Sea Eagle ditenagai oleh mesin turbojet Microturbo TRI 60 berbahan bakar parafin dan melaju dapat dengan kecepatan Mach 0,85 (1.040 km/jam, 645 mph) sejauh 110 kilometer (68 mil). Rudal ini mampu dibawa dengan kecepatan supersonik oleh pesawat induknya, dengan peluncuran pada kecepatan hingga Mach 0,9 di berbagai ketinggian. Setelah diluncurkan, Sea Eagle sepenuhnya otonom, dengan penerbangan dan pencarian target sepenuhnya dikendalikan oleh sistem komputer on-board yang berfungsi sesuai dengan opsi yang dapat diprogram sebelumnya. Rudal ini memiliki hulu ledak seberat 230 kilogram (510 pon) PBX (semi armor-piercing). Rudal Sea Eagle tercatat mulai digunakan oleh Blackburn Buccaneer pada tahun 1980an.

Rudal Sea Eagle dibawah sayap Blackburn Buccaneer. (Sumber: https://weaponsystems.net/)

Bom Nuklir Red Beard

Red Beard adalah bom nuklir taktis Inggris yang pertama. Bom ini dapat dibawa oleh pembom English Electric Canberra dan seri pengebom V dari Royal Air Force (RAF), serta oleh Blackburn Buccaneers, Sea Vixens, dan Supermarine Scimitars dari Royal Navy’s (RN) Fleet Air Arm ( FAA). Dikembangkan untuk Persyaratan Operasional nomor 1127 (OR.1127), bom ini diperkenalkan pada tahun 1961, dan mulai beroperasi pada tahun 1962. Red Beard kemudian digantikan oleh WE.177 pada awal 1970-an dan ditarik dari dinas operasional tahun 1971. Red Beard adalah bom fisi nuklir tanpa penguat yang menggunakan inti komposit (inti campuran dalam terminologi Inggris saat itu). Inti komposit menggunakan plutonium dan uranium-235, dan dimaksudkan untuk meminimalkan risiko pra-detonasi yang merupakan fitur desain semua-bom plutonium pada periode itu dengan kekuatan yang lebih besar dari 10 kiloton (kt). Ukuran bom ini memiliki panjang 3,66 meter (12,0 kaki; 144 inci), diameter 0,71 meter (2,3 kaki; 28 inci), dan berat sekitar 1.750 pon (794 kg). Dua versi dari bom ini yang diproduksi, yani: Mk.1, dengan kekuatan 15 kiloton, dan Mk.2, dengan kekuatan 25 kiloton. Mk.2 tersedia dalam dua varian, No.1 yang digunakan oleh pemboman di ketinggian tinggi, dan varian No.2 yang dimaksudkan untuk pemboman di ketinggian rendah dengan metode pengeboman lempar, dan metode ‘over-the-shoulder’, yang dikenal sebagai Low Altitude Bombing System (LABS).

Bom Nuklir Red Beard. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Bom Nuklir Taktis WE.117

WE.177, adalah bom nuklir taktis dan strategis yang digunakan Royal Navy (RN) dan Royal Air Force (RAF). Bom ini adalah senjata nuklir utama yang dijatuhkan dari udara di Inggris dari akhir tahun 1960-an hingga tahun 1990-an. Tiga versi bom ini yang diproduksi, yakni versi A, B dan C. Yang pertama diproduksi adalah versi yang berkekuatan 450 kiloton TNT (1.900 TJ) WE.177B, yang mulai beroperasi dengan RAF di Pangkalan RAF Cottesmore pada bulan September 1966. Semua versi dapat dilepaskan dengan pesawat sayap tetap dan dapat menggunakan parasut. WE.177A, dalam mode anti-kapal selam, juga dapat dibawa oleh helikopter. WE.177 Angkatan Laut dipensiunkan pada tahun 1992, dan milik RAF dipensiunkan pada tahun 1998. Ketika akhirnya ditarik pada tahun 1998, WE.177 telah digunakan lebih lama daripada senjata nuklir Inggris lainnya. WE.177 adalah bom nuklir terakhir yang digunakan oleh Royal Air Force, dan senjata nuklir taktis terakhir yang digunakan oleh Inggris.

Bom nuklir WE.177. (Sumber: https://www.flickr.com/)

Roket SNEB

Roket SNEB (Prancis: Societe Nouvelle des Etablissements Edgar Brandt) adalah roket udara-ke-darat tanpa pemandu kaliber 68 mm (2,7 in.). Roket ini diproduksi oleh perusahaan Prancis TDA Armements, yang dirancang untuk bisa diluncurkan oleh pesawat tempur dan helikopter. SNEB Kaliber 68mm sejauh ini adalah yang paling populer digunakan saat ini baik dari rentang waktu pengoperasiannya maupun jumlah yang diproduksi, yang bahkan melampaui roket udara-ke-darat 57mm buatan Rusia. Proyektil roket SNEB ditenagai oleh motor roket tunggal berbobot 31 kg yang menghasilkan kecepatan 450m/s, dan, tergantung pada muatan hulu ledak yang dipasang, dapat digunakan untuk menghadapi kendaraan tempur lapis baja, bunker, atau sasaran soft target lainnya. Jarak maksimun roket ini kemungkinan antara 5.000-7.000 meter.

Roket SNEB kaliber 68 mm, dari atas kebawah: tipe HE, AT ,FRAG ,Flechette. (Sumber: https://combatace.com/)

DINAS OPERASIONAL & PENGALAMAN TEMPUR 

Pada tahun 1972, Buccaneer dari 809 Naval Air Squadron yang beroperasi dari kapal induk HMS Ark Royal mengambil bagian dalam misi penerbangan sejauh 1.500 mil (2.400 km) untuk menunjukkan kehadiran militer di Honduras Inggris (sekarang Belize) sesaat sebelum kemerdekaannya, untuk mencegah kemungkinan invasi Guatemala yang mengejar klaim teritorialnya atas wilayah negara tersebut. Buccaneer juga turut berpartisipasi dalam patroli dan latihan reguler di Laut Utara, dengan mempraktikkan perannya jika perang pecah dengan Uni Soviet. Selama tahun 1960-an dan 1970-an, Angkatan Laut Kerajaan menstandarisasi wing udara yang beroperasi dari kapal induk mereka di sekitar armada pesawat tipe Phantom, Buccaneer, dan Fairey Gannet. Sebanyak enam skuadron FAA dilengkapi dengan Buccaneer, yakni: Squadron nomor 700B/700Z (unit uji terbang intensif), 736 (pelatihan), Skuadron Udara Angkatan Laut ke-800, 801, 803 dan 809. Buccaneers berpangkalan di kapal induk HMS Victorious, Eagle, HMS Ark Royal, dan Hermes. Buccaneer pensiun dari dinas operasional FAA bersama dengan penonaktifan dari kapal induk HMS Ark Royal pada tahun 1978 (armada kapal induk konvensional terakhir angkatan laut Inggris). Pensiunnya mereka adalah bagian dari agenda kebijakan luar negeri yang lebih besar yang dilaksanakan sepanjang tahun 1970-an. Langkah-langkah yang mencakup penarikan sebagian besar pasukan militer Inggris yang ditempatkan di Timur terusan Suez, dipandang telah mengurangi kebutuhan akan kapal induk, dan armada udara angkatan laut secara umum. Keputusan itu sangat kontroversial, terutama bagi mereka yang berada di dalam jajaran FAA. Royal Navy kemudian akan menggantikan kemampuan serang Buccaneer dengan pesawat British Aerospace Sea Harrier berkemampuan V/STOL yang ukurannya lebih kecil, yang dioperasikan dari kapal induk kelas Invincible. Sementara itu, pada awal program Buccaneer, Angkatan Laut AS telah menyatakan sedikit minat pada pesawat ini, tetapi mereka dengan cepat beralih ke pengembangan pesawat serang Grumman A-6 Intruder yang kemampuannya setara. Angkatan Laut Jerman Barat juga menunjukkan minat yang lebih besar dan mempertimbangkan untuk mengganti Hawker Sea Hawk lama mereka dengan tipe tersebut, meskipun mereka pada akhirnya akan memutuskan untuk memakai Lockheed F-104G untuk kebutuhan pesawat serang maritim mereka.

Sebuah Armada Udara Royal Navy, yang terdiri dari Buccaneer S.2 (809 NAS), dua Royal Navy Phantom FG.1 (892 NAS) dari HMS Ark Royal, di atas Jacksonville, Florida pada tahun 1976, ditemani oleh tiga pesawat serang A-7E Corsair II Angkatan Laut AS. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Sebuah Buccaneer S.2 di dek kapal induk HMS Eagle di Laut Mediterania, tahun 1970. Pada akhir dekade tersebut baik kapal induk maupun Buccaneer AL Inggris dipensiunkan. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Satu-satunya pembeli ekspor untuk Buccaneer pada akhirnya adalah Angkatan Udara Afrika Selatan (SAAF). Afrika Selatan, saat itu adalah negera “paria internasional” untuk sebagian besar masa Perang Dingin karena kebijakan politik apartheidnya, dan mereka kemudian tetap menjadi satu-satunya negara yang mengembangkan senjata nuklir dan lalu secara sukarela menghapuskannya. Sebelum itu, fokus utama dari pengembangan senjata nuklir Afrika Selatan ini adalah pembuatan senjata yang akan diluncurkan dari udara oleh pesawat serang Hawker Siddeley Buccaneer yang sudah mereka miliki. Kombinasi keduanya berpotensi memampukan militer Afrika Selatan untuk mencapai target di negara-negara lain di wilayah Afrika sub-Sahara, sebagai bagian dari kampanye jangka panjang Afrika Selatan dalam melawan kelompok pemberontak regional, atau bahkan pemerintahan revolusioner yang bermusuhan. Dengan banyaknya uranium yang tersedia di wilayahnya, Afrika Selatan telah tertarik pada energi nuklir sebagai sumber tenaga listrik pada awal tahun 1970-an. Mereka berusaha untuk memperkaya uranium untuk penggunaan sendiri dan untuk ekspor dan, pada saat yang sama, pihak pemerintah mulai memeriksa potensi militer dari perkembangan ini. Pada periode yang sama, negara itu menjadi semakin jauh terlibat dalam Perang Perbatasan di tempat yang kemudian dikenal sebagai wilayah Afrika Barat Daya, yang kemudian akan tetap berada di bawah kendali Afrika Selatan hingga tahun 1990, di mana wilayah itu lalu akan menjadi negara merdeka Namibia. Sebagai tambahan dari konflik itu, Pasukan Pertahanan Afrika Selatan (SADF) juga terlibat dalam pertempuran di Angola di utara, di mana mereka akan bertemu dengan pasukan Kuba yang diperlengkapi dengan baik dan pasukan dukungan asal Soviet lainnya.

Deretan Buccaneer S.50 milik AU Afrika Selatan (SAAF). Afrika Selatan menjadi satu-satunya operator Buccaneer selain Inggris. Total 16 unit pesawat dibeli oleh pihak Afrika Selatan. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Pada bulan Januari 1963, bahkan sebelum S.2 memasuki skuadron operasional, Afrika Selatan telah membeli 16 Buccaneer bermesin Spey. Pesanan pesawat ini adalah bagian dari “Perjanjian Simonstown”, di mana Inggris memperoleh  ijin penggunaan pangkalan angkatan laut Simonstown di Afrika Selatan dengan imbalan penjualan senjata maritim. Inggris tetap mentransfer pesawat ini ke Afrika Selatan dari tahun 1965, meskipun baru saja memperkenalkan embargo senjata karena kebijakan apartheid negara itu, satu tahun sebelumnya. Untuk menghindari embargo, Inggris telah setuju untuk mengirimkan Buccaneer dengan pemahaman bahwa mereka akan digunakan untuk misi defensif murni, seperti melindungi jalur pelayaran di sekitar Tanjung Harapan. Pada kenyataannya, pesawat ini kemudian tidak hanya akan digunakan secara ekstensif dalam pertempuran di Angola, tetapi mereka juga akan diperuntukkan untuk membawa senjata nuklir Afrika Selatan. SAAF sendiri awalnya ingin menggunakan Buccaneer sebagai pesawat serang antikapal. Buccaneer Afrika Selatan lalu dinamai sebagai “S.50”. Mereka mirip dengan S.2, namun dengan berbagai modifikasi. Beberapa peralatan untuk pengoperasian di dek kapal telah dihapuskan, seperti roda hidrolik yang diperlukan untuk melipat sayap secara otomatis, meskipun sayap masih dapat dilipat secara manual. S.50 juga memiliki tangki di bawah sayap yang lebih besar dengan kapasitas 1.955 liter (516 galon AS). Pesawat ini menampilkan dua strakes kecil dan khas di bawah badan pesawat belakang; dan dilengkapi dengan dua roket pendorong yang dapat ditarik tipe Bristol Siddeley BS-605. Roket-roket itu dimaksudkan untuk membantu proses lepas landas ketika beroperasi dari landasan terbang di ketinggian tinggi dalam cuaca yang panas. Roket-roket ini juga didukung oleh bahan bakar jet Buccaneer dan high-test peroxide oxidizer. Mereka menghasilkan daya dorong sebesar 1.810 kilogram (4.000 pon) selama 30 detik. Meskipun biaya tambahan diperlukan untuk menambahkan fitur ini, namun perangkat ini ternyata jarang digunakan, kecuali untuk pertunjukan udara menggunakan kembang api.

Mesin roket Bristol Siddeley BS.605 dipamerkan di RAF Museum Cosford. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Buccaneer Afrika Selatan menggunakan pendorong roket tambahan Bristol Siddeley BS-605 di AFB Waterkloof, Pretoria. (Sumber: https://twitter.com/)

Sementara itu, setelah awak Angkatan Udara Afrika Selatan (SAAF) dilatih di Inggris, pesawat Buccaneer S.50 pesanan mereka dikirim antara bulan November 1965 dan Oktober 1966. Ke-16 pesawat dikirim dalam dua batch masing-masing delapan pesawat, dengan satu Buccaneer hilang di Atlantik Selatan selama proses pengiriman. Orang-orang Afrika Selatan ingin membeli pesawat pengganti yang hilang, tetapi karena aktivitas menentang kebijakan apartheid Afrika Selatan sedang meningkat, pemerintah Partai Buruh Inggris yang baru menolak permintaan tersebut. SAAF yang berencana untuk mendapatkan 14 Buccaneer lagi kemudian juga gagal. Buccaneer SAAF kemudian akan bertugas selama beberapa dekade, menjalankan tugas dalam berbagai peran. Skema warna standar yang digunakan adalah abu-abu gelap di bagian atas dan biru tua di bagian bawah, dengan beberapa variasi pola dari waktu ke waktu. Dalam peran serang maritim, Buccaneers SAAF dipersenjatai dengan rudal AS-30 yang dipandu radio buatan Prancis. Namun, pada tahun 1971 Buccaneers Afrika Selatan menembakkan 12 rudal AS-30 ke sebuah kapal tanker yang ditinggalkan, Wafra, yang telah menjadi ancaman bagi kegiatan navigasi dan mereka ternyata gagal untuk menenggelamkannya. Kapal itu akhirnya dihabisi oleh serangan bom dalam yang dilepaskan dari pesawat patroli Shackleton. Kemudian menjadi jelas, bahwa rudal AS-30 bukan merupakan senjata antikapal yang ideal. Sementara itu untuk peran serang darat, Buccaneer SAAF bisa membawa hingga empat bom seberat 450 kilogram (1.000 pon) di ruang bom putarnya, dan empat bom, suar, atau pod roket SNEB di pylon bawah sayap. Rudal AS-30 sendiri, kemudian akan digunakan dalam misi serangan darat untuk serangan presisi yang efektif di situs radar dan target lainnya. 

Buccaneer S.50 Angkatan Udara Afrika Selatan di Ysterplaat pada tahun 1970. Setidaknya satu dari pesawat ini dimodifikasi untuk membawa senjata nuklir. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Pada tahun 1974, rezim Afrika Selatan telah memutuskan untuk mengembangkan senjata nuklir yang dapat mereka gunakan, jika diperlukan, dalam konflik yang meningkat di sekitar mereka. Tidak mengherankan, upaya untuk membangun senjata pemusnah massal ini dilakukan dengan sangat rahasia, tetapi setelah inspektur senjata diundang ke negara itu pada tahun 1993, lebih banyak rincian mulai tersedia. Namun, masih ada beberapa kesenjangan signifikan dalam pengetahuan kita, termasuk kemungkinan uji coba perangkat nuklir Afrika Selatan pada tahun 1979 — yang disebut insiden Vela — ketika satelit pengintai AS mendeteksi adanya kilatan di atas Samudera Atlantik Selatan, yang menunjukkan adanya ledakan nuklir di atmosfer. Apa yang sudah diketahui adalah bahwa pada tahun 1977, perangkat tipe senjata nuklir tunggal — senjata berbasis fisi seperti bom Little Boy milik AS yang dijatuhkan di atas Hiroshima selama Perang Dunia II — hampir siap untuk diuji, ketika Uni Soviet dan Amerika Serikat mengungkap rencana Afrika Selatan itu. Pada titik ini, kerahasiaan seputar program semakin meningkat dan dialihkan dari kontrol pihak ilmuan ke pihak militer, yang dipimpin oleh kontraktor senjata Kentron, yang telah mendirikan fasilitas baru untuk tujuan itu pada tahun 1980. Pada akhirnya, Afrika Selatan berhasil memproduksi lima perangkat nuklir lengkap yang dapat digunakan secara operasional, ditambah perangkat uji. Senjata operasional pertama yang benar – awalnya dengan nama Hobo dan kemudian Cabot – adalah perangkat berkekuatan enam kiloton yang dibuat pada tahun 1982. Satu perangkat lagi dibiarkan belum selesai pada tahun 1989 ketika diputuskan untuk menangguhkan pekerjaan pada program tersebut. Ini semua dari jenis senjata, meskipun pada tahun 1985, pekerjaan membuat perangkat ledakan uranium yang lebih maju, serupa dengan bom Fat Man AS yang juga dijatuhkan di Jepang selama Perang Dunia II, ternyata tidak menghasilkan senjata apa pun. Afrika Selatan juga mulai merencanakan bagaimana mengirimkan hulu ledaknya jika diperlukan. Salah satu opsi adalah dengan menempatkan perangkat nuklir tersebut pada rudal balistik jarak menengah (MRBM), yang berdasarkan pada desain rudal Jericho 2 buatan Israel. Namun, perangkat itu faktanya selalu dirancang untuk dapat dipertukarkan pada berbagai sistem pengiriman yang berbeda dan cukup kecil untuk bisa ditampung dalam bom luncur yang diluncurkan dari udara. Tampaknya pesawat yang lebih disukai untuk membawa bom nuklir ini adalah pesawat Hawker Siddeley Buccaneer buatan Inggris, yang telah mereka punyai. 

Buccaneer S.50 AU Afrika Selatan dan Crew-nya. Buccaneer diketahui digunakan secara ekstensif di medan perang Angola dan Namibia. (Sumber: https://forum.warthunder.com/)
Buccaneer Afrika selatan tahun 1965. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Pada tahun 1979, kabarnya hanya enam dari 15 Buccaneer Afrika Selatan yang dilaporkan masih tetap bisa beroperasi. Memang pada akhirnya, tidak kurang dari 13 pesawat terlibat dalam insiden serius selama karirnya, dengan 10 awak pesawat kehilangan nyawa mereka. Meski demikian Buccaneer beraksi secara ekstensif di Angola dan Namibia pada tahun 1970-an dan 1980-an. Di atas Angola, Buccaneer SAAF sangat aktif digunakan sejak tahun 1978, termasuk melakukan serangan udara selama Pertempuran Cassinga tahun itu melawan Organisasi Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO), dalam misi serangan yang berulang-ulang terhadap berbagai kendaraan lapis baja, termasuk tank musuh, dan untuk melindungi proses penarikan pasukan darat kawan dari zona pertempuran. SWAPO sendiri diketahui telah menggunakan pangkalan di Angola untuk mendukung kampanye kemerdekaannya di tempat yang kemudian menjadi Namibia. Serangan lain juga diterbangkan terhadap kamp pelatihan SWAPO di Zambia, dengan jet Buccaneer menggunakan bom konvensional, roket tanpa pemandu, dan rudal AS-30 buatan Prancis, yang memiliki jangkauan hingga 7,5 mil. Rudal AS-30 juga digunakan dalam serangan darat untuk serangan presisi yang efektif, salah satu contohnya adalah pada tahun 1981, ketika beberapa rudal itu digunakan untuk menyerang sejumlah stasiun radar di wilayah Angola selatan. Buccaneer SAAF mampu membawa beban berat dalam jarak jauh, dan bisa bertahan lebih lama dari pesawat lain, membuatnya cocok untuk peran CAS (Dukungan Udara Jarak Dekat).

Buccaneer dengan berbagai senjata yang dapat dibawanya. (Sumber: https://forum.warthunder.com/)

Pada tanggal 3 Januari 1988 Buccaneers dari SADF tercatat sukses menghancurkan jembatan penting di seberang Sungai Cuito menggunakan bom luncur Raptor, sebagai lanjutan dari upaya sebelumnya yang kurang berhasil pada tanggal 12 Desember 1987. Jet ini juga diupgrade, untuk bisa membawa pod pengintaian, sistem penerima peringatan ancaman, dan dispenser countermeasures. Buccaneer SAAF juga dilengkapi dengan perangkat pengintaian yang dirancang secara lokal atau perangkat tanker M20. Pada pertengahan tahun 1970-an, Buccaneer SAAF dimodifikasi untuk bisa mengakomodasi tangki bahan bakar besar di ruang bom-nya untuk kegiatan penerbangan feri atau misi sebagai pesawat tanker. Sementara itu untuk mengakomodasi peluncuran senjata nuklir asli oleh pesawat Buccaneer, Afrika Selatan membuat versi bom luncur berpemandu televisi H-2 yang dikembangkan secara lokal, yang kemudian juga dikenal sebagai Raptor I. H-2 dasar memiliki jangkauan hingga 37 mil dan setelah perangkat pencari TV-nya mengunci target, kendali senjata juga dapat diserahkan ke pesawat lain dalam radius hingga 125 mil, melalui pod data-link. Menggunakan bom luncur mungkin juga memiliki keuntungan tambahan dalam mengurangi kebutuhan program khusus untuk melepas bom nuklir di atas pesawat dan memberikan profil misi yang lebih mudah kepada awak pesawat, dengan tanpa memerlukan teknik pengiriman bom secara khusus. Raptor I juga memiliki keunggulan karena dapat diluncurkan dari Buccaneer di luar jangkauan sistem pertahanan udara buatan Soviet yang dioperasikan Kuba yang merupakan ancaman serius bagi pesawat SAAF yang beroperasi di atas Angola. Buccaneer juga dapat menambah jangkauan operasionalnya melalui pengisian bahan bakar di udara, bersama dengan pesawat tanker Boeing 707 SAAF, yang pada akhirnya menambah lebih banyak target dalam jangkauan. Dalam demonstrasi daya tahan Buccaneer, salah satu jet itu bisa tetap mengudara selama 9 jam dan 5 menit pada bulan Desember 1966, dengan bantuan dua kali pengisian bahan bakar dalam penerbangannya.

Bom luncur Raptor I. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Sebuah Boeing 707 Angkatan Udara Afrika Selatan mendemonstrasikan pengisian bahan bakar udara dengan sepasang jet tempur Cheetah. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Bom luncur berkepala nuklir berdasarkan H-2 diberi nama kode Hamerkop, sesuai nama burung asli asal Afrika selatan, yang kemunculannya, menurut mitos, merupakan pertanda kematian bagi orang-orang yang ada di bawahnya. Teknologi sistem pengiriman bom nuklir ini kemudian dianggap lebih mudah dikuasai Afrika Selatan daripada rudal MRBM dan tampaknya Hamerkop pada akhirnya berhasil menyebabkan dihentikannnya secara total pengembangan rudal semacam itu. Sebagai informasi tambahan yang unik, prototipe pengangkut yang dikembangkan untuk membawa rudal MRBM yang dikembangkan Afrika Selatan, dikenal sebagai “Moerse Lorrie Zonder Naam”, atau ‘truk besar tanpa nama’ yang akhirnya dimodifikasi menjadi truk pemadam kebakaran. Desain yang sama juga berfungsi sebagai dasar untuk kendaraan suplai amunisi untuk howitzer self-propelled G6 buatan Afrika Selatan. Sementara itu, peralihan kepemimpinan dari pihak sipil ke militer dari tahun 1977 telah mengakibatkan gangguan yang signifikan bagi program senjata nuklir Afrika Selatan, tetapi ada juga hambatan teknis lainnya. Misalnya, tidak ada perangkat yang diproduksi antara tahun 1982 dan 1986, sebagian karena kekhawatiran akan keamanan senjata yang diluncurkan dari udara. Pengujian telah menunjukkan bahwa perangkat senjata, ketika dijatuhkan secara tidak sengaja atau dibuang dari pesawat yang membawanya jika mengalami kerusakan, dapat meledak karena benturan saja, meski tanpa dipersenjatai dengan perangkat elektronik. Sebuah desain ulang yang signifikan diperlukan selama periode ini untuk mencegah hal ini terjadi. Sejauh yang diketahui, hanya satu Buccaneer yang pernah dimodifikasi untuk menjadi pengangkut Hamerkop, mungkin antara 1987 dan 1989, bertepatan dengan periode di mana sebagian besar senjata yang dapat digunakan selesai. Pesawat ini bernomor seri 422, yang hari ini disimpan di Museum SAAF di Swartkop, dekat Pretoria. Sementara dari lima Hamerkop dibuat (sesuai dengan lima unit perangkat nuklir yang fungsional), tidak memiliki catatan penerbangan pengujian atau peluncuran senjata dari Buccaneer atau pesawat lain milik Afrika Selatan. Senjata nuklir itu dilaporkan memiliki kekuatan 20 kiloton. Lonceng kematian terakhir untuk program senjata nuklir Afrika Selatan hadir saat presiden F. W. de Klerk, yang berkuasa pada tahun 1989, memutuskan untuk menghapusnya. Tampaknya saat itu  juga tidak ada penentangan yang signifikan dari pihak militer, yang pengalamannya selama bertahun-tahun dalam kampanye lintas batas, menunjukkan bahwa mereka terbukti tidak membutuhkan senjata semacam ini. Pada tahun 1991, Afrika Selatan akhirnya menandatangani Perjanjian Non-Proliferasi tahun 1968 dan, dua tahun kemudian, de Klerk mengakui adanya program senjata nuklir di Afrika Selatan. Buccaneer S.50 milik SAAF terakhir dipensiunkan dari dinas operasional pada tahun 1991. Saat itu, hanya lima dari 15 unit pesawat yang sempat dikirim yang masih dalam kondisi layak terbang.

Bom luncur Raptor II. Bom luncur kemudian dipiih menjadi wahana pembawa hulu ledak nuklir yang sempat dimiliki oleh Afrika Selatan. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Hawker Siddeley Buccaneer S50 nomor seri 422 disimpan di Museum SAAF di Swartkop. Buccaneer terakhir Afrika Selatan terakhir dipensiunkan pada tahun 1991. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Sementara itu, bahkan sebelum Buccaneer memasuki dinas operasional dengan Royal Navy, Blackburn telah mencoba untuk menarik minat Royal Air Force (RAF) pada tipe pesawat tersebut, tetapi AU Inggris/RAF saat itu ingin mendapatkan pesawat serang yang mampu terbang rendah, yang jauh lebih canggih, yakni BAC TSR.2. TSR.2 memiliki kemampuan terbang supersonik hingga kecepatan Mach 2, dan Buccaneer yang hanya bisa terbang subsonik tampak kuno dibandingkan dengannya. RAF kemudian menolak untuk memberikan perhatian pada proposal Blackburn, karena mereka khawatir TSR.2 akan dibatalkan jika mereka melakukannya. TSR.2 pada akhirnya tetap dibatalkan pada tahun 1965 dalam sebuah kontroversi besar yang kisahnya masih kerap samar-samar muncul. Hawker Siddeley, yang kini telah bergabung dengan Blackburn pada tahun 1963, mengusulkan varian Buccaneer yang diberi nama sebagai “P.145” atau “S.3” untuk memenuhi persyaratan RAF. Pesawat ini menampilkan pendorong roket seperti varian S.50 Afrika Selatan, ditambah roda utama dengan bogie roda empat untuk bisa dioperasikan di lapangan udara yang kasar; tangki bawah sayap yang lebih besar; sistem navigasi-serangan canggih dan radar; dan bisa mengangkut senjata canggih, seperti rudal Martel. Meski demikian, RAF jauh lebih tertarik pada pesawat pembom tempur General Dynamics F-111K AS, dan untuk saat itu mereka masih tidak tertarik pada Buccaneer. F-111K kemudian juga dibatalkan secara bergantian pada awal tahun 1968 setelah program tersebut mengalami peningkatan biaya yang serius dan molornya jadwal operasionalnya. RAF lalu terpaksa mencari pesawat pengganti yang tersedia dengan harga terjangkau, dan dengan enggan mereka memilih Buccaneer.

Pesawat serang supersonik BAC TSR-2 yang diidamkan oleh AU Inggris. Kegagalan program ini mendorong AU Inggris untuk mengakuisisi Blackburn Buccaneer. (Sumber: https://www.goodfon.com/)

Pada bulan Juli 1968, RAF dengan setengah hati memesan 26 pesawat Buccaneer S.2 yang telah dimodifikasi. Pesawat yang akan dibuat ini akan dipasangi dengan rudal Martel dan sebagian peralatan AL nya dilepas. Mereka tidak lagi mampu dioperasikan dari kapal induk; meskipun mereka tetap memiliki kait penangkap dan sayap lipat, mereka tidak memiliki cantelan untuk ketapel. S.2 RAF juga dilengkapi dengan receiver instrument landing system (ILS), yang ditandai dengan adanya dua antena kecil yang dipasang ke depan sirip ekor seperti ekor kedua mini. Pemasangan ILS tetap sedikit misterius — antenanya terlihat ada, tetapi tampaknya tidak terlihat pada semua gambar Buccaneer RAF, yang menyiratkan bahwa ILS ini baru ini mungkin ditambahkan kemudian. Tidak ada gambar Buccaneer FAA (AL Inggris) yang menunjukkan mereka antena ILS, tetapi yang membingungkan beberapa gambar tampaknya menunjukkan adanya dudukan pemasangan di mana antena itu seharusnya berada, seolah-olah mereka bisa dipasang, tetapi tidak wajib. Sementara itu, untuk standar masa sekarang, kokpit Blackburn Buccaneer (‘Buck’) dianggap kurang ergonomis. Bagi para pilotnya, duduk di kursi lontar selama lebih dari dua jam, sambil mencoba mengoperasikan banyak sekali sakelar dan membaca tombol, sering kali hal itu menjadi ujian ketahanan fisik pilot. Tapi hal itu adalah hal yang umum dijumpai pada desain pesawat-pesawat se-eranya. Desain kokpit dan kenyamanan awak pesawat baru dianggap penting baru-baru ini saja.

Blackburn Buccaneer RAF. Meski awaknya enggan untuk mengakuisisinya, pada akhirnya RAF menyukai performa pesawat ini. (Sumber: https://www.goodfon.com/)

Hawker Siddeley sempat mencoba menjual versi supersonik dari Buccaneer yang diberi nama “P.150” ke RAF. P.150 menampilkan roda utama konfigurasi empat roda dari P.145; badan pesawat yang diperbesar, dengan mesin Spey kembar afterburning; kokpit yang dimodifikasi, dengan kanopi terpisah untuk tempat duduk depan dan belakang; dan avionik tempur dan kemampuan senjata yang secara umum diperbarui. Namun, Inggris kemudian terlibat program kolaborasi internasional Anglo-Jerman-Italia yang pada akhirnya akan menghasilkan pesawat serang Panavia Tornado. Buccaneer dilihat hanya sebagai solusi sementara, dan oleh karenanya tidak dianggap perlu untuk terus dikembangkan. Penundaan dalam program Tornado pada akhirnya membuat periode penugasan “sementara” Buccaneer diperpanjang, dan ia akan tetap dalam dinas operasional RAF selama lebih dari dua dekade, lebih lama setelah FAA mempensiunkannya. Buccaneer RAF pertama dikirim pada awal tahun 1969, dan skuadron Buccaneer RAF yang beroperasi pertama kali, yakni Skuadron Nomor 12, dibentuk pada tahun itu juga. Skuadron awal ini beroperasi di luar Inggris untuk tugas serang maritim. Kemudian skuadron-skuadron Buccaneer RAF yang ditugaskan untuk misi serangan taktis di ketinggian rendah sebagian besar dioperasikan di Jerman. Pesawat-pesawat serang taktis ini tidak dilengkapi dengan probe pengisian bahan bakar, karena pengisian bahan bakar di udara tidak dianggap perlu di lingkungan operasi Eropa Tengah. Mereka awalnya diberi skema cat dengan pola disruptif abu-abu gelap dan hijau tua di bagian atas dan abu-abu muda di bagian bawah perut, tetapi akhirnya pesawat ini dicat dengan pola abu-abu gelap dan hijau tua secara keseluruhan. Meskipun RAF telah menghabiskan satu dekade menolak mengakuisisi Buccaneer, begitu mereka mendapatkannya, mereka menghargai betapa luar biasanya pesawat tempur ini. RAF kemudian mewarisi 64 Buccaneer S.2 dari FAA saat kekuatan kapal induk Angkatan Laut Kerajaan dipensiunkan, dimana pesawat-pesawat ini diberikan beberapa penyesuaian kecil untuk bisa sesuai dengan kebutuhan RAF, dan bahkan mereka membeli 19 lagi Buccaneer versi baru. Buccaneer terakhir yang dibuat dikirim pada bulan Oktober 1977. Kekuatan armada Buccaneer Inggris mencapai puncaknya pada tahun 1978, ketika lima skuadron operasional dari RAF dan FAA menerbangkan pesawat tipe tersebut. Pada tahun 1972, Buccaneer S.2 diberi serangkaian pengkodean subvarian yang agak membingungkan, yakni: 

  • S.2A: Buccaneer FAA yang diwariskan ke RAF dan tidak memiliki kemampuan membawa rudal Martel.
  • S.2B: Buccaneer baru untuk RAF, yang semuanya memiliki kemampuan membawa rudal Martel. Beberapa S.2A lalu ditingkatkan ke konfigurasi ini.
  • S.2C: Buccaneer FAA tanpa kemampuan membawa rudal Martel.
  • S.2D: Buccaneer FAA dengan kemampuan membawa rudal Martel. 
Blackburn Buccaneer RAF tahun 1979. (Sumber: https://www.baesystems.com/)

Pembaharuan besar pada Buccaneer sempat dipertimbangkan, tetapi kemudian tetap tidak ada yang lebih canggih dari S.2 yang sudah diterbangkan. Namun, beberapa perubahan tetap dilakukan untuk menjaga agar Buccaneer tetap up to date. Salah satu modifikasi signifikan adalah adanya tangki tambahan dengan kapasitas 1.932 liter (510 galon AS) yang dipasang di pintu ruang bom yang terlihat menonjol. Modifikasi ini diperlukan karena kesulitan dalam hal aerodinamis membuat S.2 RAF tidak dapat menggunakan tangki slipper yang diperbesar, seperti milik Afrika Selatan. Sebuah Buccaneer yang dilengkapi dengan tangki bahan bakar di pintu ruang bom baru pertama kali terbang pada tahun 1970, dan tangki itu dipasang kembali pada sebagian besar S.2 yang sudah operasional. Dengan tangki slipper dan tangki besar di ruang bom, S.2 bisa memiliki jangkauan feri sejauh 4.257 kilometer (2.645 MI / 2.300 NMI) – setara dengan perjalanan dari San Francisco ke Hawaii, yang berarti bahwa Buccaneer secara efektif dapat terbang sendiri ke mana saja di dunia dengan melakukan pemberhentian sebentar untuk melakukan pengisian bahan bakar di darat. Persenjataan baru juga diperkenalkan. Senjata nuklir Red Beard dihapus secara bertahap pada tahun 1970, dengan digantikan oleh WE-177A, sebuah bom berparasut seberat 270 kilogram (600 pon) yang diyakini telah dibuat dalam beberapa opsi tipe hulu ledaknya, meskipun rinciannya masih dirahasiakan. Buccaneer akhirnya memenuhi syarat untuk membawa dua bom nuklir taktis WE-177A. Sementara itu, paket roket SNEB digantikan oleh unit bom cluster BL-755 Hunting yang sangat efektif, dengan misi pesawat bersenjata roket SNEB terakhir diterbangkan pada tahun 1973. Kadang-kadang, Buccaneer juga akan membawa satu rudal Sidewinder AIM-9B, tetapi Sidewinder versi awal ini tidak terlalu efektif, dan kemudian kehadiran AIM-9B hanya sedikit berguna sebagai pertahanan diri. Namun, pilot Buccaneer memiliki opsi pertahanan diri lain: mereka dapat menjatuhkan bom berparasut seberat 450 kilogram (1.000 pon) saat beroperasi di ketinggian rendah di atas air untuk mencegah pesawat tempur lawan menekan mereka dari belakang. Praktek ini dikenal sebagai “pertahanan bodoh”, atau yang lebih informal sebagai “menjatuhkan celana Anda”. 

Buccaneer S.2B dari Skuadron ke-12 RAF di Naval Air Weapons Station China Lake, Amerika Serikat, pada tahun 1981. Pada pengujung tahun 1970an dan awal tahun 1980an Buccaneer RAF kerap terlibat dalam latihan bersama dengan kekuatan udara Amerika dan Kanada. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Batch terakhir Buccaneer produksi baru untuk RAF menampilkan perangkat ARI 18228 RWR di bullet fairing tailplane, dengan peningkatan ini lalu juga dipasang pada pesawat-pesawat sebelumnya. ARI 18228 lebih canggih daripada RWR broadband asli yang dibawa di bullet fairing di sayap, dengan memberikan tampilan terarah di kokpit. Pod countermeasures elektronik aktif Westinghouse AN/ALQ-101(V)-10 buatan Amerika kemudian dipasok ke unit-unit Buccaneer dari tahun 1976 sebagai perangkat pertahanan diri. Buccaneer adalah pesawat operasional RAF pertama yang membawa pod jammer eksternal. Pod countermeasures inframerah Northrop AN/AAQ-8 juga sempat dievaluasi, tetapi pada akhirnya tidak diadopsi. Modifikasi kecil juga dilakukan pada sistem radar Blue Parrot. Pada tahun 1979, RAF memperoleh pod laser penarget AN/AVQ-23E Pave Spike buatan Amerika. Pave Spike membawa kamera televisi dengan sinar laser, dengan optik yang dilindungi oleh pelindung pada bagian hidung yang dapat ditarik. Pave Spike dibawa oleh Buccaneer yang memiliki kemampuan menggotong rudal Martel, yang memiliki layar TV di kursi belakang dan pengontrol joystick yang diperlukan untuk menggunakan pod. Pave Spike dihubungkan melalui pylon sebelah kiri. Buccaneer yang membawa Pave Spike mampu memandu bom yang dipandu laser untuk saudara kandung Buccaneer, yakni Jaguar, dan pesawat serang lainnya. RAF mewarisi beberapa kontainer pengintai dari Buccaneer bekas FAA, tetapi Buccaneer RAF jarang, jikapun pernah, menerbangkan misi pengintaian.

RAF Buccaneer S.2B dari Skuadron ke-12 RAF di Bandar Udara Faro, Portugal, pada tahun 1987. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu, awak Buccaneer yang menjalankan misi patroli maritim terkadang dilengkapi dengan kamera genggam untuk memotret kapal-kapal Pakta Warsawa. Di sisi lain kesempatan bagi skuadron-skuadron Buccaneer untuk terlibat dalam pelatihan yang realistis terhitung terbatas, dan ketika AS memulai latihan militer tahunan Red Flag di Pangkalan Angkatan Udara Nellis di Nevada pada tahun 1975, RAF menjadi sangat tertarik. Red Flag pertama di mana pesawat RAF ikut terlibat adalah pada tahun 1977, dengan sepuluh Buccaneer dan dua pembom Vulcan berpartisipasi. Buccaneer kemudian akan terlibat dalam latihan Red Flag hingga tahun 1983, dan pada tahun 1979, mereka juga berpartisipasi dalam latihan Maple Flag serupa di Kanada. Buccaneer terbukti sangat mengesankan dalam melakukan misi serangan cepat di ketinggian rendah, yang sangat akurat meskipun pesawat tidak memiliki radar yang mampu mengikuti medan dan perangkat avionik modern lainnya. Namun, selama latihan Red Flag tahun 1980, salah satu Buccaneer kehilangan sebuah sayapnya dan jatuh, menewaskan awaknya. Penyebab kecelakaan itu adalah kelelahan struktur pada spar sayap depan, dan akibatnya seluruh armada Buccaneer di-grounded dan diperiksa. Beberapa bagian pesawat lalu diperbaiki sementara yang lain dibuang, dan karena kecelakaan ini, satu skuadron Buccaneer dibubarkan. Sekitar 50 atau 60 S.2 masih tersisa dari total 90 pesawat dioperasikan RAF sebelum kecelakaan. Pada awal tahun 1980-an, Panavia Tornado IDS mulai menggantikan Buccaneer dalam peran serangan darat, dan Buccaneer semakin difokuskan untuk misi serangan laut, dengan tetap mempertahankan kemampuan serang darat sebagai misi sekundernya. Buccaneer RAF kemudian secara bertahap dikembalikan ke markas lama mereka di Lossiemouth.

Pesawat serang Tornado IDS. Kehadiran Tornado di awal tahun 1980an semakin menggeser peran Buccaneer yang mendekati penghujung karirnya. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Meskipun Buccaneer perannya terus memudar, tipe pesawat ini terus beroperasi secara aktif hingga tahun 1980-an. Pada tahun 1983, enam Buccaneer dikirim ke Siprus untuk mendukung pasukan penjaga perdamaian Inggris di Lebanon, dan pada tanggal 11 September 1983 dua dari pesawat ini terbang rendah di atas Beirut melakukan latihan sebagai bagian dalam “diplomasi kapal perang”. Faktanya, Buccaneer telah diperbarui agar tetap bisa efektif. Peningkatan paling signifikan adalah kemampuan membawa rudal antikapal Sea Eagle. Senjata ini berasal dari desain rudal Martel, tetapi menampilkan mesin jet kecil, bukannya propulsi roket. Sea Eagle memiliki sistem navigasi yang memungkinkannya meluncur di atas gelombang lautan, dan dilengkapi radar pencari aktif untuk melakukan serangan terminal. Sistem panduan rudal itu sepenuhnya otonom, “fire and forget”; yang tidak memerlukan bantuan pod pemandu. Buccaneer bisa membawa empat rudal Sea Eagle sekaligus. Paket pembaharuan avionik (AUP) dipasang ke 42 unit Buccaneer yang dimaksudkan sebagai platform peluncur rudal Sea Eagle. Perangkat AUP ini termasuk sistem nav-attack Ferranti FIN 1063, mirip dengan yang digunakan pada pesawat tempur SEPECAT Jaguar; radio Plessey ASR 889; RWR digital Marconi Sky Guardian 200, yang tidak hanya dapat mendeteksi dan menemukan ancaman tetapi juga mampu mengkarakterisasinya, meskipun ironisnya hal itu mengakibatkan dikembalikannya bullet fairing lama pada sayap; perubahan kecil pada kokpit; dan kemampuan membawa rudal AIM-9G dan AIM-9L Sidewinder. AIM-9L yang berkemampuan “all aspect” adalah peningkatan besar dibanding versi Sidewinder lama yang hanya bisa “mengarah pada ekor pesawat lawan”, dan menyediakan sarana pertahanan diri yang efektif. Buccaneer kadang-kadang mencatat “kemenangan udara/kill” pada pesawat tempur lawan selama Red Flag dan latihan lainnya, berkat rudal AIM-9L – meskipun Buccaneer tidak pernah benar-benar menembak jatuh pesawat musuh di medan perang sesungguhnya dengan rudal itu. Sebanyak empat dispenser chaff-flare Tracor AN/ALE-40 juga dipasang di sayap luar dan di bawah pipa mesin jet, menggantikan skema penyaluran improvisasi yang digunakan sebelumnya. Rencana untuk mengupgrade radar Blue Parrot dan sistem head-up display pada AUP dibatalkan karena masalah biaya. 

Sebuah Buccaneer S.2B dari 208 Sqn. RAF pada tahun 1981. Hingga penghujung tahun 1980an, Buccaner milik Inggris belum pernah dilibatkan dalam perang sesungguhnya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Hingga tahun 1990-an, Buccaneer hanya digunakan dalam pertempuran oleh AU Afrika Selatan. Tipe ini juga tidak berpartisipasi dalam konflik Falkland. Namun, setelah Perang Teluk pecah pada tahun 1991, 12 Buccaneer dimodifikasi dengan perangkat radio yang aman digunakan, transponder IFF yang diperbarui, skema warna “merah muda gurun” (pasir), dan diterbangkan ke Arab Saudi. Di sana mereka akan menerima modifikasi tambahan dalam bentuk lukisan pada hidung dan seringkali bernilai seni, disertai dengan penambahan nama-nama seperti LASER LIPS LAURA, FLYING MERMAID, SEA WITCH, HELLO SAILOR, dan GUINNESS GIRL. Pada awal operasi RAF di Teluk, misi membidikkan perangkat Laser penarget untuk senjata presisi bukanlah kebutuhan atau prioritas. Namun saat kampanye udara berkembang, hal ini berubah dengan cepat karena jenis dan sifat dari target yang paling signifikan menuntut penggunaan amunisi berpemandu presisi. Pod TIALD (Thermal Imaging and Laser Designation) segala cuaca, siang dan malam masih dalam pengembangan, pada kenyataannya, hanya ada dua yang sudah ada, dan salah satunya adalah sistem uji coba. Skuadron Buccaneer, yang pada saat itu merupakan Unit Serang Maritim murni, yang memiliki peran sekunder di masa perang sebagai pesawat penanda Laser target di darat untuk pesawat seperti Jaguar, dan oleh karena itu, pesawat yang luar biasa namun sudah tua dengan sistem penargetan Pave Spike-nya dengan cepat dikirim ke Teluk. Istilah bergegas adalah tepat karena Skuadron dalam waktu 24 jam diperintahkan untuk pindah dari pangkalan mereka di Lossimouth di Skotlandia, dan beberapa pesawat yang dikirim pertama berangkat dengan cat yang masih basah. Pave Spike sendiri adalah pod penunjuk laser elektro-optik seberat 420 pon (190,5 kg) yang digunakan untuk mengarahkan bom berpemandu laser ke sasaran pada siang hari dalam kondisi visual yang baik. Pave Spike generasi kedua dikembangkan dari pod penargetan Pave Knife AN/AVQ-10 yang pertama kali digunakan secara operasional di Asia Tenggara. Pesawat-pesawat F-4D dan F-4E USAF menggunakan Pave Spike dari tahun 1974 hingga 1989. Sistem ini kemudian digunakan oleh RAF pada pesawat Buccaneer untuk pengeboman presisi target musuh dalam Operasi Badai Gurun. RAF Buccaneers digunakan untuk “menemani” pesawat serang Tornado.

Lukisan pada hidung pesawat Buccaneer yang marak digunakan saat Perang Teluk 1991. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

RAF awalnya dijanjikan didukung oleh pesawat F-15E dari Amerika. Ini merupakan pertimbangan yang penting bagi RAF, karena mereka tidak diperlengkapi untuk menjadi unit ekspedisi dalam jangka waktu lama. Mendukung operasi pesawat Tornado dan Jaguar mereka di kawasan Teluk saja sudah cukup menantang, belum ditambah mereka harus mengurus Buccaneer yang sudah menua dan membutuhkan perawatan intensif. Pada akhir Januari 1991, pesawat Tornado siap untuk beralih ke misi serang dengan bom LGB (Bom berpemandu laser). Sayangnya, F-15E yang berkemampuan membidikkan laser sibuk dengan misi perburuan rudal SCUD. Dalam hitungan hari, RAF memperkenalkan Buccaneer dan sistem penanda laser ke medan perang dan memulai operasi LGB. Sebelum perang pecah, RAF diketahui telah mempercepat pengembangan pod penanda laser untuk pesawat-pesawat Tornadonya. Sistem otomatis ini merupakan peningkatan yang nyata dibanding perangkat penunjuk Buccaneer yang harus dikontrol secara manual dan hanya dapat digunakan di siang hari. Namun Tornado menderita rasio loss-to-mission (tingkat kehilangan) tertinggi semasa perang, dan ditarik tak lama setelah itu untuk mengurangi kerugian pesawat dan awaknya. Sementara itu, hanya beberapa hari setelah tiba di medan perang, Armada Buccaneer menerbangkan misi pertamanya, pada tanggal 2 Februari 1991. Dua Buccaneer, yang diawaki oleh Wing Cdr Bill Cope (Pilot) dan Flight Lt Carl Wilson (Nav) dan Flight Lt Glen Mason (Pilot) dengan Squadron Ldr Norman Browne (Nav), terbang bersama dengan empat pesawat Tornado. Mereka menerbangi rute, yang populer disebut ‘Jejak Zaitun’, di mana mereka mengisi bahan bakar dari pesawat tanker sebelum menuju jembatan di jalan As Suwaira, pada ketinggian 18.000 kaki (5.486,4 meter). Rute itu ditutupi awan sepanjang jalan sampai 50 mil terakhir di mana, seperti yang telah diprediksi oleh tim bahwa akan ada langit yang cerah. Meskipun kru tahu bahwa pesawat mereka telah dideteksi oleh sistem Pertahanan Udara buatan Rusia milik Irak, namun tidak ada upaya musuh untuk menyerang dan pesawat AWACS sekutu secara teratur mengkonfirmasi bahwa tidak ada pesawat Irak yang mengudara. Jembatan itu dengan mudah diidentifikasi dan serangan itu berhasil. Rutinitas kemudian segera terbentuk dengan tugas harian tim gabungan Tornado/Buccaneer ditugaskan untuk menghancurkan jembatan dan jalan di atas sungai Tigris dan Efrat, untuk memutus jalur pasokan Irak ke tentara mereka yang ada di Kuwait. Dalam waktu seminggu setelah operasi dimulai, sembilan awak sudah beroperasi dan keberhasilan yang mereka buat telah menyebabkan tugas-tugas mereka meningkat.

Kombinasi Tornado dan Buccaneer dalam Perang Teluk tahun 1991. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Menjatuhkan bom LGB menjadi tugas utama pesawat-pesawat Tornado dan Buccaneer selama Perang Teluk. Sementara Tornado menderita korban yang cukup besar, dalam Perang Teluk tidak ada Buccaneer yang menjadi korban. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Satu-satunya kendala adalah pada jumlah pesawat dan keterbatasan waktu operasional di siang hari, seperti sudah disinggung diatas, tidak seperti sistem modern, pod Laser Buccaneer tidak memiliki kemampuan operasional di malam hari. Meskipun peralatannya terbilang kuno – dimana navigator harus menargetkan bom menggunakan roller ball selama 40 detik antara saat pelepasan dan bom menghantam sasaran – Laser yang dilepaskan Buccaneer mencapai tingkat keberhasilan 50% jika dibandingkan dengan peralatan modern terbaik. Sebuah pencapaian yang tidak buruk untuk sistem yang sudah tuaSecara keseluruhan, Armada Buccaneer tercatat memandu bom yang menghancurkan sekitar 20 jembatan, baik jembatan gantung hingga jembatan jalan raya dengan dua bentangan. Tanpa diketahui pada saat itu, orang-orang Irak telah menempatkan kabel serat optik mereka di sepanjang jembatan yang sama, sehingga setiap jembatan yang jatuh juga sekaligus memutus jalur komunikasi, yang mengakibatkan kekacauan di garis depan mereka. Setelah serangan darat dimulai, peran Buccaneer beralih dari pemboman jembatan ke serangan atas target-target lapangan terbang, khususnya terhadap Hardened Aircraft Shelter (Shelter pesawat yang diperkuat), landasan pacu dan pesawat apa pun yang ada di darat, untuk memastikan Angkatan Udara Irak tidak bergabung dalam pertempuran. Faktanya, Angkatan Udara Irak memang tidak menunjukkan kecenderungan untuk terlibat terlalu jauh dan pesawat-pesawat Buccaneer pada akhirnya benar-benar berhenti terbang membawa rudal pertahanan udara-ke-udara dan malah menggantikannya dengan muatan bom. Mereka memang masih terbang dalam bersama dengan pesawat-pesawat Tornado dan memberikan panduan Laser, tetapi kemudian mereka juga akan membom target apapun yang terlihat setelahnya. Pengeboman seperti itu akan dilakukan pada sudut menyerang yang tajam hingga 40%, yang mengharuskan penggunaan rem udara untuk mencegah pesawat terbang menukik dengan kecepatan supersonik, yang tidak diizinkan untuk dilakukan. Dalam satu insiden pada tanggal 21 Februari 1991, sepasang Buccaneer menghancurkan dua pesawat angkut Irak di lapangan udara Shayka Mazhar. Setelah superioritas udara terbentuk, Buccaneer lalu bisa membawa bom LGB sendiri untuk melakukan serangan. Misi ini adalah satu-satunya misi serangan sesungguhnya yang pernah dilakukan oleh Buccaneers Inggris dalam peperangan. Ke-12 Buccaneer semuanya kembali ke Inggris dengan selamat pada bulan Maret 1991. Mereka telah menerbangkan sekitar 250 misi, untuk “membantu” proses dijatuhkannya 169 bom LGB oleh pesawat lain dan 48 LGB yang dijatuhkan oleh Buccaneer sendiri. Cat pada hidung dan kamuflase gurun dihapus dan pesawat dicat ulang dalam skema abu-abu terang secara keseluruhan setelah perang. Perang Teluk sendiri adalah akhir yang memuaskan untuk masa operasional yang panjang dan andal dari Buccaneer.

Selain berfungsi sebagai pemandu pelepasan bom pesawat lain, Buccaneer juga dapat melakukan serangan sendiri. Perang Teluk 1991 merupakan penutup yang manis bagi karier panjang Blackburn Buccaneer. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/)

Berakhirnya Perang Dingin berarti penarikan skuadron-skuadron pesawat Tornado dari Jerman, dan pesawat yang lebih baru ini ditugaskan untuk menggantikan Buccaneer dalam peran serangan maritim. Pendukung Buccaneer tidak sepenuhnya antusias dengan keputusan ini, karena Tornado memiliki jangkauan yang lebih pendek daripada Buccaneer dan hanya bisa membawa dua rudal Sea Eagles, berbeda dengan empat yang bisa dibawa Buccaneer. Penerbangan militer terakhir Buccaneer terjadi pada awal tahun 1995. Dua pesawat dijual ke kolektor pesawat tempur Afrika Selatan — menurut info terakhir, mereka masih bisa terbang untuk memberikan “hiburan” kepada turis aktraksi udara — dan pada tanggal 1 April 1997, Buccaneer terakhir terbang di langit Inggris. Salah satu pesawat yang tersisa sekarang dipajang di sebuah pompa bensin di jalan menuju Lossiemouth. Sebanyak 206 unit Buccaneers sempat dibuat, dengan pesawat itu sendiri bertugas dengan andal selama lebih dari 30 tahun masa operasionalnya. Sementara pesawat itu awalnya dirancang untuk Royal Navy, ia malah bertugas lebih lama dengan Royal Air Force, yang akhirnya menyukainya. Meskipun Buccaneer bukanlah pesawat yang paling terkenal, masa operasionalnya yang panjang dan andal membuatnya patut diperhatikan. Walau bukan pesawat supersonik yang glamour, Buccaneer bukanlah pesawat serang kacangan. Faktanya sebagian besar jet yang dirancang khusus untuk misi serangan darat berkecepatan subsonik, seperti Grumman A-6 Intruder dan Buccaneer sendiri. Mereka dianggap lebih unggul, karena dibandingkan dengan pesawat supersonik, mereka bisa membawa lebih banyak beban tempur, terbang lebih jauh, dan dapat melakukan serangan dengan presisi tinggi pada ketinggian yang lebih rendah. Untuk kecepatan, toh faktanya tidak ada tipe pesawat supersonik yang benar-benar dapat menyerang dengan kecepatan supersonik, dengan muatan bom internal 4000 lb (1,8 ton). Buccaneer terbukti bisa terbang lebih cepat daripada (misalnya) Jaguar, Phantom, F-111, Mirage, F-15E, Tornado atau Su-24 dengan membawa beban yang sama di ketinggian rendah. Buccaneer pada akhirnya terbang lebih lama dan menjalankan lebih banyak peran daripada yang pernah dimaksudkan oleh perancangnya.

Penerbangan Buccaneer RAF pada tahun 1994. Setahun kemudian Buccaneer dipensiunkan. Dalam kurun waktu lebih dari 30 tahun sejak dioperasikan, Buccaneer terbukti telah menjadi pesawat yang handal dan berumur panjang diluar ekspektasi perancangnya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

KARAKTERISTIK UMUM BLACKBURN BUCCANEER 

  • Awak: 2
  • Panjang: 63 ft 5 in (19.33 m)
  • Lebar: 44 ft (13 m)
  • Tinggi: 16 ft 3 in (4.95 m)
  • Luas area sayap: 514 sq ft (47.8 m2)
  • Bobot kosong: 30,000 lb (13,608 kg)
  • Bobot maksimum: 62,000 lb (28,123 kg)
  • Mesin: 2 × Mesin Rolls-Royce Spey Mk.101 turbofan engines, berdaya dorong masing-masing 11,000 lbf (49 kN)

Performa

  • Kecepatan Maksimum pada ketinggian rendah: 580 kn (670 mph, 1,070 km/h) pada ketinggian 200 ft (61 m)
  • Kecepatan Maksimum: Mach 0.95
  • Jangkauan operasional: 2,000 nmi (2,300 mi, 3,700 km)
  • Ketinggian jelajah maksimum: 40,000 ft (12,000 m)
  • Wing loading: 120.5 lb/sq ft (588 kg/m2)
  • Perbandingan daya dorong/bobot: 0.36

Persenjataan

  • Hardpoint: 4 × pylon bawah sayap untuk muatan bom hingga bobot 12,000 ib (5.443 kg), dan 1 × internal ruang bom yang dapat berputar dengan kapasitas 4,000 ib (1.814 kg), senjata yang dapat dibawa adalah kombinasi dari:
    • Roket: 4 × pod roket Matra dengan 18 × roket SNEB kaliber 68-mm masing-masing
    • Rudal: antara 2 × rudal AIM-9 Sidewinder untuk pertahanan diri, 2 × rudal AS-37 Martel atau 4 × rudal Sea Eagle
    • Bom: berbagai bom tanpa pemandu, bom berpemandu laser, baik Red Beard atau bom nuklir taktis WE. 177
    • Perangkat pendukung tambahan: AN/ALQ-101 ECM protection pod, AN/AVQ-23 AN/AVQ-23 Pave Spike laser designator pod, buddy refueling pack atau drop tank untuk misi jarak jauh


Avionics

Radar pencarian/serang Blue Parrot ASV

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Blackburn Buccaneer by greg goebel, v1.2.8 / 01 apr 21

http://www.airvectors.net/avbucc.html

The Story Of The Jet That Would Have Delivered South Africa’s Nuclear Bomb BY THOMAS NEWDICK; JANUARY 18, 2021

https://www.thedrive.com/the-war-zone/38646/this-is-the-jet-that-would-have-carried-south-africas-nuclear-bomb

Blackburn NA 39 Buccaneer

https://www.globalsecurity.org/military/world/europe/buccaneer.htm

RAF Buccaneer in Op Granby

https://www.globalsecurity.org/military/world/europe/buccaneer-granby.htm

Blackburn Buccaneer

https://www.baesystems.com/en/heritage/blackburn-buccaneer

We are The Mighty: What it’s like to fly a nuclear bomber for fun by Logan Nye Posted On April 29, 2020 15:49:06

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Blackburn_Buccaneer

Smarter (and Simpler) Radar in Harpoon by Larry Bon

http://www.admiraltytrilogy.com/cic/Harpoon/Smarter_Radars_for_Hpn.pdf

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Dash_10

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Pave_Spike

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AIM-9_Sidewinder

Raytheon (Philco/General Electric) AAM-N-7/GAR-8/AIM-9 Sidewinder

http://www.designation-systems.info/dusrm/m-9.html

AIM-9 Sidewinder Short Range Air-to-Air Missile

https://www.f-16.net/f-16_armament_article1.html

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AS-30

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Martel_(missile)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Sea_Eagle_(missile)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Red_Beard_(nuclear_weapon)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/WE.177

English Electric Lightning: Pesawat Tempur Interceptor Asli Buatan Inggris yang Terakhir

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *