Sejarah Militer

Dewoitine D.520: Pesawat tempur terbaik Prancis dalam Perang Dunia II yang “melawan” hampir semua pihak yang berperang.

Inggris memiliki Spitfire Mark I dan II dan Jerman memiliki Messerschmitt Bf.109E – keduanya adalah desain pesawat tempur yang menetapkan standar untuk penempur berperforma tinggi pada awal Perang Dunia II. Sementara itu, selama perang Prancis seringkali dilupakan bahwa mereka juga mampu memproduksi pesawat mutakhir mereka sendiri, yakni Dewoitine D.520. Antara Mei dan Juni 1940, Luftwaffe Jerman menaklukkan Armée de l’Aire Prancis, hanya sedikit Dewoitine D.520 yang selesai diproduksi. Sementara banyak pilot Prancis seperti Antoine Saint-Exupéry – penulis The Little Prince – terus bertempur di pihak Sekutu, sebagian besar pesawat tempur Prancis jatuh ke tangan rezim Vichy Prancis. Jadi pesawat tempur Dewoitine Prancis memang lebih banyak terlibat dalam pertempuran setelah Prancis jatuh, yang uniknya kebanyakan melawan pesawat tempur Sekutu dan bukan Jerman yang telah mengalahkan dan mempermalukan negara tempat ia berasal!

Spitfire Mk.I melewati Pulau Wight dalam Battle Of Britain tahun 1940. Keluarga pesawat tempur Spitfire menjadi andalan Inggris dalam perang dunia II. (Sumber: http://www.stevenheyenart.com/)
Jika Inggris punya Spitfire, Jerman memiliki Messerschmitt Bf.109 yang banyak mencetak “Ace” dalam Perang Dunia II. (Sumber: https://www.1zoom.me/)

Insinyur penerbangan Émile Dewoitine pertama kali merancang D.520 untuk memenuhi persyaratan tahun 1936 akan sebuah pesawat tempur yang bisa terbang melebihi kecepatan 310 mil per jam, namun pihak militer Prancis belum menerima proyek ini secara resmi sampai 3 April 1938. Militer Prancis saat itu telah menerima pesawat tempur Morane Saulnier M.S.405, dan karenanya pengembangan pesawat tempur tipe lainnya dianggap tidak masuk akal. Pada 12 Januari 1937, program teknis A.23 terbaru diluncurkan oleh Kementerian Udara. Spesifikasi pesawat tempur yang diminta adalah mampu memiliki kecepatan maksimum hingga 520 km/jam (320 mph) pada ketinggian 4.000 m (13.000 kaki), kemampuan untuk mendaki hingga 8.000 m (26.000 kaki) dalam waktu kurang dari lima belas menit, dengan kemampuan lepas landas dan pendaratan tidak melebihi jarak 400 m (1.300 kaki). Persenjataannya adalah dua senapan mesin 7,5 mm (.295 in) dan satu meriam Hispano-Suiza HS.9 20 mm, atau dua meriam HS.9. Setelah desain Dewoitine disetujui, desain awal D.520 merupakan perkawinan antara body pesawat yang semuanya terbuat dari-logam (standar desain pesawat tempur modern era menjelang PD II pecah) dengan salah satu mesin V12 yang paling kuat yang tersedia saat itu, yakni sebuah mesin berdaya 890-tenaga kuda Hispano-Suiza 12Y-21 inline engine, yang meski tidak sekuat mesin Rolls Royce Merlin (mesin Spitfire) dan Daimler-Benz DB601 (mesin Bf-109), namun lebih ringan. Jeleknya, mesin berpendingin cairan yang relatif ringan ini cenderung mengalami overheating dan memerlukan desain radiator underwing yang besar yang menciptakan hambatan tambahan dalam penerbangan. Hal ini menyebabkan prototipe yang dibuat kemudian terbang tepat di bawah kecepatan yang diinginkan. Prototipe Dewoitine D.520 pertama kali mengudara pada 2 Oktober 1938, tetapi seperti yang telah dijelaskan didepan, prototype ini tidak memberikan kesan yang baik. Karena pengaturan sistem radiator yang buruk, mesinnya menjadi terlalu panas, dan pesawat gagal mencapai kecepatan yang diharapkan sekitar 325 m.p.h. Jadi desain pesawat kemudian diubah. Radiator dipindahkan dari sayap ke perut pesawat, dan knalpot didesain ulang, sehingga akhirnya bisa mengatasi problem-problem tersebut.

Saat desain Dewoitine D.520 pertama kali muncul, AU Prancis telah memilih Morane Saulnier M.S.405 sebagai pesawat tempur utamanya, sehingga desain Dewoitine baru diterima pada tahun 1938. (Sumber: Pinterest)

Prototipe kedua Dewoitine kemudian dibuat dengan kemudi, kokpit, dan roda pendaratnya dimodifikasi serta memasang mesin 12Y-31 dan -45 dengan bentuk radiator streamline dan baling-baling yang diperbaiki dari versi fixed ke model pitch variabel. Desain pesawat yang ditingkatkan akhirnya bisa mencapai kecepatan 332 mil per jam saat terbang mendatar di ketinggian 17.000 kaki, dan lebih dari 500 mil per jam pada saat menukik. Pesawat ini juga berhasil mencapai ketinggian lebih dari 26.000 kaki dalam waktu 12 menit dan 53 detik. Ketika tes awal selesai pada April 1939, Kementerian udara Prancis akhirnya tertarik dan memesan 200 unit awal dengan pengiriman ditetapkan antara September dan Desember. Pesanan kedua diluncurkan pada Juni, untuk 510 pesawat dan menjadi 1.400 saat Jerman menginvasi Polandia 2 bulan kemudian. Pada April 1940, pesanan untuk D.520 telah berjumlah 2.320 pesawat- termasuk 120 unit untuk angkatan laut Prancis- yang akan dikirimkan dengan target pembuatan 350 unit per bulan.

Meski bukan yang terbaik, namun Dewoitine D.520 memiliki performa yang cukup dapat bersaing dengan pesawat tempur terbaik saat Pertempuran Prancis pecah Mei 1940. (Sumber: https://ww2aircraft.net/)

Seperti Spitfire, D.520 adalah desain yang elegan, body pesawat semuanya terbuat dari logam, kecuali untuk aileron dan permukaan ekor yang dilapisi dengan bahan fabric. Desain kokpit yang ditinggikan, diletakkan jauh ke belakang dengan lapisan pelat baja pelindung di belakang kursi, memberikan visibilitas yang baik kepada pilot ke segala arah kecuali langsung di bawah hidung, yang kemudian terbukti menimbulkan masalah pada saat take off dan landing, namun hidung yang panjang juga memberi ruang yang cukup untuk instalasi mesin dan kanon utamanya. Pesawat tempur Prancis ini dilengkapi dengan fitur-fitur modern termasuk perangkat radio yang bagus, tangki bahan bakar self-sealing dan sistem pemadaman api yang dioperasikan secara manual di kokpit. Persenjataan D.520 terdiri dari satu meriam tunggal Hispano-Suiza 404 kaliber 20 milimeter yang ditembakkan melalui hub baling-baling dan empat senapan mesin kaliber 7,5 milimeter yang ada di sayap menjadikannya setara dengan pesawat-pesawat tempur top saat itu. Meski memiliki kualitas yang menjanjikan, namun produksi pesawat ini sangat lambat karena kesulitan dalam menyesuaikan mesin yang tepat dan memberikan sentuhan akhir yang pas pada sistem persenjataannya. Pada Januari 1940, hanya 13 pesawat yang telah keluar dari jalur perakitan. Hanya hingga pada bulan April, ketika pesawat ke-139 berhasil dikirimkan, Dewoitine D.520 dapat dianggap beroperasi penuh. Pada 25 Juni, ketika gencatan senjata ditandatangani, total 437 pesawat telah dibangun, meski demikian jumlah yang benar-benar sampai di garis depan dan digunakan untuk bertempur, jauh lebih sedikit lagi.

Dewoitine dalam Pertempuran Prancis

Pada 21 April 1940, pilot Prancis menguji D.520 dalam uji pertempuran udara dengan Bf-109E-3, tipe pesawat tempur utama Jerman pada saat itu, yang berhasil dirampas utuh di wilayah Prancis. Mereka menemukan bahwa D.520 20 mil per jam lebih lambat daripada Bf-109 dan memiliki kemampuan menanjak yang lebih rendah. Di sisi lain, pesawat tempur Prancis ini memiliki kemampuan manuver yang lebih unggul dari 109E yang memiliki ujung sayap terpotong – dan jauh mengungguli penempur Jerman itu dalam kemampuan menukik. Sementara itu para penguji menilai penempur Prancis itu memiliki karakteristik lebih sukar dikendalikan dibandingkan dengan Bf-109. D.520 memiliki kecenderungan untuk terjebak spin dan mengalami “stall yang brutal.” Desain kontrol yang membingungkan pada Dewoitine juga membuatnya rentan terbalik saat meluncur di atas landasan tanah! D.520 memang memiliki keunggulan unik dibandingkan Bf-109, ia memiliki dua tangki bahan bakar internal tambahan yang bisa dipasang pada sayap yang memberikannya kemampuan terbang feri dengan jarak maksimum 800 mil, dibandingkan dengan jarak 400 sampai 500 mil tanpa tangki bahan bakar tambahan. Kemampuan ini memungkinkan Dewoitines untuk terbang dari Prancis ke wilayah jajahannya di Afrika Utara dan Timur Tengah, meskipun dengan bahan bakar penuh ini benar-benar mengganggu kemampuan manuvernya. Secara keseluruhan pengujian ini menunjukkan bahwa teknologi dirgantara Prancis sebenarnya tidak tertinggal dibanding Jerman dan Inggris. Jika saja Prancis tidak menyerah pada Jerman, Juni 1940, karir Dewoitine D.520 mungkin dapat sebanding dengan pesawat-pesawat tempur top Perang Dunia II lainnya.

Kalau saja Prancis tidak jatuh dengan cepat ke tangan Jerman, mungkin karir Dewoitine D.520 akan cukup panjang dan membanggakan seperti pesawat-pesawat tempur kenamaan PD II lainnya. (Sumber: https://warisboring.com/)

Sayangnya, batch pertama D.520 mengalami masalah mesin serius yang menyebabkannya berkinerja di bawah spesifikasi. Produksi hanya bisa dilanjutkan setelah berbulan-bulan penundaan dan penyesuaian. Baru pada April 1940 unit pertama D.520 mulai beroperasi. Hanya 36 D.520 yang berhasil diterima Grup Pursuit ke-3 ketika panzer Jerman meluncur ke Low Countries pada bulan Mei 1940. Dalam dua bulan sebelum menyerahnya Prancis, beberapa ratus lagi berhasil bergabung ke dalam skuadron-skuadron di Grup Pursuit ke-5, ke-6 dan ke-7 serta armada ke-1 Aeronautique Navale. Sebagian besar pilot Prancis tidak pernah memiliki kesempatan untuk berlatih dengan benar di pesawat baru mereka ini – dan pada kenyataannya, banyak yang menerbangkan pesawat jenis ini untuk pertama kali dalam misi tempur! Armada Pesawat tempur Prancis yang baru ini menderita kerugian besar, tetapi berhasil menimbulkan kerugian yang lebih besar bagi lawan-lawannya.

D.520 pertama kali membukukan kemenangan atas pesawat Luftwaffe terjadi pada tanggal 13 Mei, saat D.520 menembak jatuh tiga pesawat Henschel Hs 126 dan satu pembom Heinkel He 111 tanpa menderita kerugian. Keesokan harinya, dua D.520 hilang sementara total sepuluh pesawat Luftwaffe (4 Messerschmitt Bf 110, 2 Bf 109E, 2 Dornier Do 17, dan 2 He 111) dipastikan berhasil dihancurkan. Dalam memoarnya Récits de Guerre, yang diterjemahkan oleh Neil Page, ace Prancis Hubert de Salaberry mengingat bagaimana ia mencetak kemenangan udara keempatnya saat berpatroli dengan D.520 pada 5 Juni 1940 atas Somme.

Ace Prancis Hubert de Salaberry (Sumber: http://www.cieldegloire.com/)

“Di depan saya, saya melihat sebuah D.520 dengan roda pendarat yang telah dikeluarkan, pemandangan yang agak tidak biasa pada ketinggian ini. Pesawat itu nampak diselimuti kobaran besar api berwarna oranye terang, yang berkobar dari penutup mesin ke sirip ekor seperti obor besar. Kokpitnya sepertinya telah menghilang. Itu adalah pemandangan yang mengerikan di langit biru yang cerah. Kurang dari 100 meter di belakangnya, sebuah Bf 109 terus menyemburkan rentetan peluru dengan nyaman, semburat api secara sporadis berkobar di sepanjang sayapnya dan mengarah ke tepi. Saat itu saya dipenuhi dengan keinginan yang luar biasa untuk bisa menghajar Bf-109 itu. Setelah melihat sekilas ke belakang untuk memeriksa bagian belakang saya apakah ada yang membuntuti saya, setelah merasa aman, saya menempatkan diri di belakang pesawat Jerman itu. Dia telah melihat saya dan langsung mengerti bahwa pemburu itu sekarang telah menjadi buruan. Dia melakukan apa yang dilakukan semua pilot Jerman ketika mereka diburu lawan – dia berguling dan menukik seperti batu, mengandalkan kemampuan untuk berakselerasi untuk membuat jarak di antara kita. Saya tidak akan membiarkan dia pergi. Aku berguling bersamanya dan menuju ke bawah secara vertikal, mesinku menjerit dengan throttle di posisi penuh. Saya memiliki kepercayaan penuh pada pesawat saya, Dewoitine sangat stabil dengan mesin dan baling-balingnya berfungsi sempurna … Mengikuti Bf-109 perlahan-lahan selama menukik, saya melepaskan beberapa tembakan singkat. Pilot Jerman tidak bereaksi dan terus jatuh. Tiba-tiba saya melihat langit menjadi lebih gelap, menyadari bahwa saya sedang menghunjam tanah. Aku kemudian keluar dari tukikan, dan tidak bisa melihat orang Jerman itu lagi.”

Lukisan saat Dewoitine D.520 yang dipiloti oleh Letnan René Layrargues menembak jatuh Bf-109 yang dipiloti oleh Werner Molders. Molders adalah pilot pertama yang berhasil mencetak 100 kemenangan di udara. (Sumber: Pinterest)

Pada hari yang sama, D.520 yang dipiloti oleh Sub-Lt. René Layrargues menembak jatuh Messerschmitt yang diterbangkan oleh Werner Mölders, Ace pertama yang berhasil menembak jatuh 100 pesawat musuh. Terkenal dengan perilakunya ksatria, Mölders ingin untuk bisa berjabat tangan dengan orang yang telah mengalahkannya itu – hanya untuk mengetahui bahwa Layrargues telah gugur dalam pertempuran setengah jam setelah pertempuran udara diantara keduanya. Antara 85 sampai 106 Dewoitine hilang selama Pertempuran Prancis – meskipun hanya 28 hingga 32 yang jatuh dalam pertempuran udara-ke-udara. Sebagai balasan pesawat-pesawat tempur Prancis berhasil mencatat 114 kill terkonfirmasi dan 39 kemungkinan kill lainnya, meskipun demikian kill ratio Bf-109 adalah dua banding satu terhadap D.520. Secara keseluruhan, rekor ini bagus tetapi tidak luar biasa – bahkan para pesawat tempur Prancis yang kualitasnya lebih rendah pun bisa mencetak rasio kill yang lebih baik selama Pertempuran Prancis, sebagian besar karena melawan pembom musuh yang yang lebih rentan. Seperti MB.152 yang jumlahnya lebih banyak, merupakan pesawat tempur asli Prancis yang terbaik setelah D.520 – sedikit lebih lambat dan jauh lebih pendek, tetapi lebih tangguh dan dipersenjatai lebih baik, berhasil mencetak 188 kill dengan kerugian 85 pesawat.

Dalam pertempuran Prancis MB.152 yang lebih tua dan lebih lambat dari D.520 malah berhasil mencetak kemenangan udara yang lebih banyak atas pesawat-pesawat Luftwaffe. (Sumber: Pinterest)

Pesawat tempur Impor Hawk 75 dari AS, meskipun hanya merupakan 13 persen dari pesawat tempur Prancis, adalah pencetak skor terbanyak, dengan 230 kemenangan udara untuk 29 kerugian. Dan 1.000 pesawat tempur Morane Saulnier 406 yang lebih tua dan lebih lambat dengan kecepatan maksimum 303 mil per jam, malah mampu menorehkan 190 hingga 269 kill yang terkonfirmasi dengan kerugian 150 pesawat hilang dalam pertempuran. D.520 yang munculnya terlambat mengumpulkan banyak kemenangannya melawan Regia Aeronautica Italia selama invasi Mussolini yang tidak berhasil di Prancis tenggara pada 10 Juni 1940 – jauh setelah kemenangan Jerman dipastikan. Penempur Dewoitine mencetak kill pertama dalam kampanye melawan Italia ketika mereka berhasil menembak jatuh tiga pembom BR.20 pada tanggal 12 Juni, diikuti oleh dua lainnya pada hari berikutnya oleh pilot Prancis Pierre LeGloan, yang sebelumnya telah menembak jatuh empat pembom Jerman saat menerbangkan MS.406. Pada 15 Juni, Le Gloan dan dua wingman-nya menghadapi 12 Fiat CR.42 dari 23rd Fighter Group. Le Gloan mengirim tiga pesawat tempur biplane Italia itu berputar jatuh ke bumi, diikuti oleh pembom bermesin ganda BR.20 yang ditemuinya saat menuju kembali ke pangkalan. Saat mendekati pangkalan di Luc, ia menemukan lebih banyak lagi CR.42 yang kemudian menembak jatuh tiga D.520. Le Gloan kemudian melanjutkan perburuannya dan membukukan kill atas sebuah CR.42 lainnya – yang dipiloti komandan Skadron ke-75, Luigi Filippi – menjadikannya seorang ace hanya dalam satu kali misi.

Curtiss Hawk 75 buatan Amerika merupakan pesawat tempur pencetak kemenangan terbanyak bagi AU Prancis selama Pertempuran Prancis tahun 1940. Total Hawk 75 membukukan 230 kemenangan. (Sumber: Pinterest)

Terlepas dari keberhasilan ini, antara 10 dan 25 Juni 1940, skuadron D.520 mulai dievakuasi ke pangkalan-pangkalan di Afrika Utara jajahan Prancis, mengantisipasi kekalahan pemerintah Prancis. Tapi alih-alih memperkuat Sekutu, pesawat-pesawat Dewoitine malah menjadi lawan mematikan bagi mereka. Dari sekitar 881 D.520 yang dibuat selama perang, hanya 36 yang sampai di unit-unit di garis depan pada tanggal 10 Mei 1940 saat Jerman menyerang Prancis, sehingga keberadaannya terlalu sedikit untuk memiliki efek yang signifikan bagi kekuatan udara Prancis. Pada saat gencatan senjata diberlakukan pada akhir Juni 1940, 437 D.520 telah dibuat, dengan 351 di antaranya telah dikirimkan ke Angkatan Udara Prancis. Setelah gencatan senjata, 165 D.520 dievakuasi ke Afrika Utara. GC I/3, II/3, III/3, III/6 dan II/7 menerbangkan pesawat mereka ke Aljazair untuk menghindari penangkapan dari pihak Jerman. Tiga unit lagi, dari GC III/7, berhasil melarikan diri ke Inggris dan ditransfer ke unit udara Prancis Merdeka. Sebanyak 153 D.520 lainnya tetap tinggal di wilayah Prancis Vichy yang tidak dikuasai Jerman.

Dewoitine Prancis Vichy di Timur Tengah

Setelah Prancis menyerah pada Juni 1940, Hitler mengizinkan pemerintahan Prancis yang kolaboratif tetap di Prancis selatan, dengan ibukotanya di Vichy untuk tetap memerintah di wilayah Prancis yang tersisa dan belum dikuasai Jerman. Hanya sebagian kecil dari angkatan bersenjata Prancis yang bergabung dengan pasukan Prancis bebas anti-Nazi di bawah pimpinan Jenderal Charles de Gaulle. Prancis Vichy yang tampaknya netral tetap memegang kendali atas sisa-sisa militer Prancis yang menguasai berbagai wilayah di belahan bumi – termasuk, koloni-koloni Perancis di luar negeri yang luas. Adolf Hitler beralasan bahwa hal ini adalah langkah yang mudah untuk mencegah aset-aset militer Prancis yang lumayan ini membantu upaya perang Sekutu, yang di antaranya terdiri dari banyak kapal perang dan ratusan pesawat tempur. Faktanya, Jerman bahkan mengizinkan produksi lebih lanjut dari pesawat D.520 – yang sejak tahun 1941 bodynya ditandai dengan garis-garis merah dan kuning vertikal di badan pesawat – tetapi melarang orang-orang Prancis untuk memasang mesin yang lebih kuat yang jelas sangat dibutuhkannya. Kebijakan ini menyebabkan ditinggalkannya prototipe D.521-D.525 yang mesinnya lebih kuat. Dalam kebijakan ini, Vichy diperbolehkan memproduksi 1.000 unit pesawat militer bagi Angkatan Bersenjata mereka sendiri, namun wajib membantu memproduksi 2.000 unit pesawat Jerman di pabrikan-pabrikan Vichy. Sebagai bagian dari perjanjian ini, 550 unit D.520 diorder untuk menggantikan semua pesawat tempur berkursi satu lainnya yang masih dioperasikan. Namun, tidak ada satupun unit D.520 baru ini yang ditempatkan di daratan Prancis, sehingga masing-masing pesawat yang diproduksi disimpan atau dikirim ke unit udara di luar negeri, seperti di Afrika Utara.

Setelah Prancis jatuh, pihak Jerman memperbolehkan produksi Dewoitine D.520 secara terbatas untuk AU Prancis Vichy. (Sumber: http://wp.scn.ru/)

Beberapa D.520 yang dibuat kemudian mendapat beberapa mesin 12Y-51 yang sedikit ditingkatkan, namun tidak adanya peningkatan yang lebih serius mencegah Dewoitine untuk dapat menandingi model terbaru pesawat tempur Spitfire dan Bf-109 yang jauh lebih baik. Rezim Vichy di bawah Marshal Philippe Pétain terus memburu para pejuang anti-Nazi dan menerapkan hukum rasis dengan mendeportasi orang-orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi Jerman. Mereka juga sangat membenci Inggris (salah satunya adalah karena setelah Prancis jatuh, AL Inggris pernah menyerang pangkalan AL Prancis di Aljazair,Afrika Utara dalam Operasi Catapult), dan siap untuk melawan mereka di setiap kesempatan untuk membuktikan kehormatan Prancis setelah kekalahan dengan Jerman dan mempertahankan koloni-koloni di luar negeri, dimana orang Vichy Prancis curiga bahwa orang Inggris tertarik untuk merebutnya.

Serangan AL Inggris atas pangkalan AL Prancis di Mers-el-Kebir-Aljazair tanggal 3 Juli 1940 semakin memperkukuh kebencian Rezim Vichy atas bekas kawannya itu. (Sumber: https://www.combinedops.com/)

Pemboman Inggris atas kapal perang Prancis di Mers-el-Kebir pada tahun 1940 semakin memperkuat sikap antipati Vichy. Pada Juni 1941, pasukan Persemakmuran Inggris menginvasi Suriah dan Libanon milik Prancis. Sementara itu kekuatan udara Axis telah mendukung pemberontakan kaum nasionalis Irak dengan menggunakan pangkalan udara milik Vichy di wilayah itu, dan oleh karenanya PM Winston Churchill khawatir Suriah mungkin akan menjadi tempat pangkalan aju dalam serangan menjepit yang mungkin dilakukan Jerman terhadap Mesir. Menghadapi kemungkinan invasi Inggris, Pemerintah Vichy berjuang mati-matian untuk mempertahankan koloninya ini, dengan mengangkut 168 D.520 melalui jalur transit yang rumit dari Perancis atau Afrika Utara ke Italia, kemudian hampir 750 mil ke pulau Rhodes Yunani, sebelum akhirnya mendarat di Damaskus, sementara jalur lain adalah berhenti di Roma, Brindisi atau Catania. Ini adalah penerbangan yang sangat panjang dan berbahaya bagi sebuah pesawat tempur berkursi tunggal yang diawal perang dirancang hanya memiliki jangkauan terbang feri 800 mil! Namun, 92 persen (155 unit) pesawat Dewoitine sukses melakukannya.

Di medan Syria, D.520 melawan armada RAF yang lebih tua, seperti Biplane Gloster Gladiator. Uniknya penampilan Gladiator mengejutkan pilot-pilot Prancis salah satunya Ace terkenal Prancis Pierre Le Gloan yang sempat ditembak jatuh oleh Gladiator. (Sumber: https://alchetron.com/)

Di atas Suriah, D.520 dari grup pesawat tempur ke-3 dan ke-6 dan armada udara Angkatan Laut ke-1 berhasil mencetak kill rasio tiga lawan satu melawan pesawat tempur yang lebih tua, termasuk diantaranya pesawat tempur Hawker Hunter, biplane Gladiator, dan Fairy Fulmar milik Inggris. D.520 dari satuan GC III/6 pertama kali bertempur melawan pesawat Inggris pada 8 Juni 1941, ketika mereka berhasil menembak jatuh tiga Fairey Fulmar, dengan kehilangan satu D.520 (pilotnya ditahan). Pada tanggal 9 Juni 1941, sembilan D.520 yang mengawal 10 pembom Prancis menembak jatuh empat Hurricane- meskipun pilot Inggris juga berhasil menjatuhkan dua atau tiga pembom Prancis, serta sebuah Hurricane dan D.520 saling bertabrakan di udara. Ace pilot Prancis, Pierre Le Gloan turut berkontribusi dalam membuat menderita armada Sekutu, dengan menembak jatuh lima Hurricane dan sebuah biplane Gladiator yang sudah ketinggalan zaman. Anehnya, Gladiator yang usang ternyata performanya mengejutkan bahkan terhadap D.520, dengan menembak jatuh tiga pesawat Prancis – termasuk milik Le Gloan sendiri, yang kemudian berhasil terjun payung dengan selamat. Namun, angkatan udara Prancis mengalami masalah yang sama seperti yang terjadi selama Pertempuran Prancis – yaitu mereka kesulitan dalam melindungi pesawat-pesawat tempurnya di darat. Demikian yang dijelaskan oleh Roald Dahl, ace Hurricane dan penulis buku anak-anak terkenal, mengingat tentang pengalamannya selama perang udara di Suriah dalam otobiografinya “Going Solo”.

Roald Dahl, Ace Inggris yang pernah bertempur melawan AU Vichy di Syria. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Bomber Martin Maryland buatan Amerika yang dimiliki oleh AU Vichy. (Sumber: http://wp.scn.ru/)
Potez 63 milik AU Vichy. (Sumber: http://wp.scn.ru/)

“Mereka memiliki pembom buatan Amerika, Martin Maryland dan pesawat tempur Dewoitines dan Potez 63, dimana kami menembak beberapa dari mereka sementara mereka menembak jatuh empat dari sembilan pilot kami … Suatu kali kami pergi untuk menyerang beberapa pesawat Prancis Vichy di lapangan udara dekat Rayak dan ketika kami terbang rendah di atas lapangan pada tengah hari, kami keheranan melihat sekelompok gadis dengan gaun katun berwarna cerah berdiri di dekat pesawat dengan gelas-gelas di tangan mereka, minum-minum dengan pilot Prancis, dan aku ingat melihat botol-botol anggur berdiri di sayap salah satu pesawat saat kami terbang beriringan. Hari itu adalah minggu pagi dan orang-orang Prancis jelas sedang ingin menghibur teman-teman mereka dan memamerkan pesawatnya kepada mereka. Hal ini merupakan suatu kebiasaan khas ala Prancis yang dilakukan di lapangan udara garis depan di tengah perang. Setiap orang dari kami menahan tembakan pada pass pertama di lapangan terbang dan sangat lucu ketika melihat gadis-gadis itu semua mulai menjatuhkan gelas anggur mereka dan berlari dengan sepatu hak tinggi mereka ke pintu gedung terdekat. Kami berputar lagi, tapi kali ini kami tidak lagi berharap mereka masih terkejut, mereka tentunya sudah siap menyambut kami dengan pertahanan darat mereka, yang tembakannya bisa mengakibatkan kerusakan pada beberapa Hurricane kami, termasuk milikku. Tapi kami berhasil menghancurkan lima pesawat mereka di atas tanah.”

Dewoitine D.520 menemukan lawan tangguh saat bertempur melawan P-40 Tomahawk di langit Syria, yang salah satunya dipiloti oleh “Ace” Bobby Gibbes dari AU Australia, yang memiliki 10 kemenangan udara. (Sumber: https://iancoate.com/)

Pada 10 Juli, lima D.520 menyerang flight pembom Bristol Blenheim dari Skuadron RAF No. 45 yang dikawal oleh tujuh Curtiss P-40 Tomahawk dari Skuadron RAAF No. 3 (3 Sqn). Pilot Prancis mengklaim tiga Blenheim, tetapi setidaknya empat dari D.520 dihancurkan oleh pesawat tempur pengawal yang dipiloti orang-orang Australia, termasuk dua oleh Flying Officer, Peter Turnbull. Keesokan harinya, pilot Dewoitine menembak jatuh P-40 dari Squadron ke-3, yang menjadi satu-satunya Tomahawk yang hilang selama kampanye udara di Syria. Dewoitine ini, kemudian pada gilirannya ditembak jatuh oleh F/O Bobby Gibbes. Selama kampanye udara di Suriah, total 266 misi penerbangan dilakukan oleh Angkatan Udara Prancis Vichy: 99 di antaranya dilakukan oleh D.520, sembilan oleh MS.406, 46 oleh pembom Martin 167, dan 31 oleh pembom LeO 451. Pada akhir kampanye Suriah pada 14 Juli 1941, D.520 telah mencetak 27 hingga 32 kill untuk 11 kerugian diantara mereka dalam pertempuran udara menurut suatu perhitungan – tetapi tembakan darat, serangan udara dan kecelakaan telah menambah lagi kerugian mereka dengan 24 pesawat tempur tambahan. Pada akhir kampanye, pasukan Vichy telah kehilangan 179 pesawat dari sekitar 289 yang mereka kirimkan ke Syria. Sisa pesawat yang mampu pergi, dievakuasi ke Rhodes. Kerugian pesawat tempur Prancis yang diketahui dalam kampanye singkat itu adalah 26 pesawat dijatuhkan dalam pertempuran udara dan 45 lainnya dihancurkan di landasan. Sekutu kehilangan 41 pesawat, 27 di antaranya ditembak jatuh oleh para pesawat-pesawat tempur Prancis. Sisa-sisa D.520 Vichy harus melarikan diri kembali ke tempat asal sebelum mereka datang ke Syria.

Dewoitine Prancis di Afrika Utara

Lebih dari setahun kemudian pada bulan November 1942, pasukan Amerika dan Inggris meluncurkan Operation Torch – invasi atas wilayah Vichy Prancis di Afrika Utara, dan merupakan operasi darat terbesar pertama AS di seberang Atlantik. Awal tahun itu, pesawat D.520 yang berbasis di Afrika Utara telah menembaki pesawat amfibi Catalina Inggris pada 18 Mei 1942, memaksanya untuk mendarat darurat, dan berduel dengan pesawat tempur Fairey Fulmar dari HMS Argus – dengan satu Fulmar dan satu Dewoitine hancur dalam pertempuran. Namun, selama negosiasi rahasia dengan para pemimpin militer Prancis yang tidak setuju dengan sikap pemerintahan Vichy, orang-orang Amerika memiliki kesan bahwa pasukan Prancis Vichy dapat dibujuk untuk beralih pihak dan akan menahan diri untuk tidak menembak ketika kapal Sekutu dan pesawat terbang menurunkan pasukannya di pelabuhan-pelabuhan utama dan lapangan udara di sekitar Aljir, Oran dan Casablanca – terutama jika pasukannya sebagian besar adalah orang Amerika, bukan Inggris. Bahkan, rencana ini sebagian besar berhasil di Aljir. Sebuah pendaratan amfibi yang dikoordinasikan dengan upaya kudeta dari kelompok Prancis Bebas berhasil mengamankan kota sambil menghadapi perlawanan minimal.

Pasukan Amerika mendarat di Oran dalam Operasi Torch November 1942. (Sumber: http://historystuff.net/)

Hurricane dari Skuadron 43 mendarat di lapangan udara Vichy di Maison Blanche di Aljir – dan memarkir diri di sebelah D.520 dari Grup Pemburu ke-3. Mereka beruntung, karena para pesawat tempur Inggris ini tidak memiliki cukup bahan bakar untuk kembali ke pangkalan jika mereka bertemu dengan pesawat-pesawat yang bermusuhan! Namun di Oran, Aljazair, dua kapal selam AS yang mencoba menyelinap ke pelabuhan hancur berkeping-keping oleh kapal-kapal Prancis Vichy – dalam pertempuran laut berdarah selama dua hari, yang turut melibatkan kapal tempur Prancis yang belum sepenuhnya selesai dibuat, yakni kapal tempur Jean Bart. Ketika Vichy menunjukkan sikap melawan, kapal induk Inggris, HMS Furious mengirim serangan udara untuk menghantam dua lapangan terbang utama Prancis La Senia dan Tafaraoui. Pasukan udara itu terdiri atas delapan pembom biplane torpedo Albacore dari Skuadron 822, 16 Sea Hurricane, dan enam pesawat tempur Seafire baru – versi laut dari Spitfire.

Di Aljazair, D.520 berduel dengan Fairey Fulmar yang berpangkalan di HMS Argus. (Sumber: https://www.simpleplanes.com/)
Supermarine Seafire membukukan kemenangan udara pertamanya selama perang atas D.520 dalam Operasi Torch. (Sumber: Pinterest)

Pesawat Inggris yang menukik di lapangan terbang La Senia pada pukul 6:45 pagi segera disambut oleh badai senjata anti pesawat dan 12 pesawat D.520 dari Kelompok Pemburu ke-3. Dalam pertempuran udara yang mengikuti, para penempur Prancis mengirim satu Sea Hurricane dan empat pembom Inggris jatuh ke bumi. Senjata anti-pesawat turut menjatuhkan Albacore dan Seafire lainnya. Namun, meskipun kehilangan 62 persen kekuatan mereka, Albacore telah menunaikan misi mereka, meledakkan 23 pesawat Prancis di darat dengan bom mereka. Untungnya, semua kecuali dua awak bomber Inggris selamat untuk ditahan singkat oleh orang-orang Vichy. Pesawat-pesawat Inggris juga mampu melawan. Seafire yang diterbangkan oleh Sub Letnan George Baldwin mencetak kemenangan udara pertama Seafire dalam pertempuran udara atas sebuah D.520 yang dipiloti oleh Sersan Caussée. Hurricane dan penembak belakang Albacore berhasi menembak jatuh tiga pesawat tempur Prancis lainnya. Satu jam kemudian, pesawat-pesawat Dewoitine yang menyongsong armada Sea Hurricane di La Senia, berhasil mengirim salah satu diantaranya jatuh ke tanah dalam keadaan terbakar.

Terjun tempur pertama Amerika

Tetapi drama di lapangan terbang Prancis tidak berakhir dengan serangan udara Inggris. Pada pukul 19.00 hari sebelumnya, 556 pasukan terjun payung Amerika dari Batalion ke-2 Resimen Infantri Parasut ke-509 berangkat dari Cornwall, Inggris dengan menaiki 39 pesawat angkut C-47 dari 60’s Carrier Group. Misi mereka adalah merebut dua pangkalan udara Prancis dalam operasi yang diberi nama Operasi Villain. Mereka merasa bahwa suasana damai akan menyambut mereka dengan asumsi Vichy tidak akan mengambil sikap bermusuhan – dan sialnya mereka tidak pernah diberitahu sebaliknya. Ketika mereka melintasi ruang udara yang dikuasai Spanyol pada malam hari, cuaca sangat buruk dan terdapat frekuensi radio yang kacau karena digunakan juga oleh kapal Inggris yang bertanggung jawab untuk mengirim sinyal navigasi, memencarkan armada pesawat mereka dan menyebabkan beberapa diantaranya terpaksa mendarat di Maroko! Ketika tinggal lebih dari dua lusin pesawat yang tersisa, dengan sangat kekurangan bahan bakar, akhirnya mendekati pangkalan udara di Aljazair sekitar jam 8:00 pagi, para pesawat tempur Prancis dan Dewoitine mengejar armada C-47. Beberapa C-47 yang dengan tangki bahan bakar kosong mendarat – dan segera dikepung oleh pasukan berkuda yang kemudian membawa pasukan payung tersebut kedalam tahanan. Enam dari pesawat C-47 menurunkan penerjun payung mereka, termasuk komandan unit, untuk menyergap sebuah kolom lapis baja yang mereka lihat dari udara – yang ternyata adalah milik Amerika! Sisanya mendarat di Sebkra, sebuah danau garam kering di dekat lapangan terbang Prancis. Mayor William Yarborough memutuskan untuk melakukan upaya kedua untuk menguasai Tafaraoui. Setelah menyedot bahan bakar di antara pesawat C-47 yang di-grounded, para penerjun payung naik keatas lima pesawat angkut dan kembali ke udara untuk melakukan upaya kedua serangan. Namun, enam pesawat Dewoitine dari Grup Pemburu ke-3 segera mencegat setidaknya tiga dari C-47 dan menembaki mereka dengan tembakan meriam, memaksa mereka untuk mendarat kembali ke danau yang kering. D.520 melakukan dua serangan lagi atas pesawat-pesawat malang itu dan membunuh atau melukai tujuh prajurit pasukan payung – pasukan payung pertama Amerika yang gugur dalam tugas dalam Perang Dunia II.

Mayor William Yarborough yang memimpin Operasi Airborne yang “berantakan” selama Operasi Torch. C-47 yang mengangkut prajuritnya ditembaki oleh D.520 AU Vichy. William Yarborough kemudian selepas perang terus berkarir dan menjadi salah satu “pionir’ satuan Baret Hijau Amerika. (Sumber: Pinterest)

Prancis mencatat pilot mereka mencetak “lima kill atas C-47” meskipun ada beberapa perdebatan tentang apakah pesawat transport itu dapat dianggap layak “ditembak jatuh” atau tidak. Sejarawan penerbangan Christian Jaques Ehrengardt kemudian mewawancarai pilot-pilot Perancis yang masih hidup dan mencatat di forum online “pilot yang saya wawancarai mengabaikan insiden ini (atau pura-pura) atau menolak untuk membicarakannya. Itu jelas sesuatu yang tidak terlalu mereka banggakan. ” Pasukan Amerika dari pasukan pendarat amfibi kemudian menguasai Tafarouri sore itu. Beberapa C-47 malah sudah mulai terbang ke sana. Tiga D.520 dari La Senia segera terbang untuk mencegat mereka mendarat di landasan pada pukul 17:00. Saat itulah mereka berhadapan dengan Spitfire V dari Grup Fighter 31 milik Amerika yang berangkat dari Gibraltar ke pangkalan yang baru saja dikuasau. Unit itu adalah salah satu dari dua grup pesawat tempur Amerika yang mengoperasikan pesawat tempur Inggris. Awalnya pilot Amerika menganggap pesawat Prancis itu sebagai Hurricane milik Inggris, pilot Amerika hanya menyadari kesalahan mereka setelah D.520 menembak jatuh Spitfire yang dipiloti Letnan Joe Byrd. Sebuah pesawat tempur Amerika segera melakukan serangan balasan.

Di Afrika Utara, D.520 juga sempat berduel dengan Skuadron Spitfire milik Amerika. (Sumber: https://www.adamtooby.com/)

“Saya melihat tiga Dewoitine Prancis yang sedang menembaki landasan,” kata Mayor Harrison Thyng. “Aku kemudian segera menyerang mereka, menembak dengan cepat dan kemudian mengejar dua pesawat tempur lainnya. ” Salah satu dari mereka melarikan diri dan ketika dia pergi, saya memberinya tembakan defleksi yang baik tapi saya tidak melihat hasilnya. Saya mulai mendaki setelah karena pertama yang saya kejar keatas di luar jangkauan saya. Ketika saya menutup jarak saya memberinya tembakan tiga detik yang bagus, melihat peluru yang meledak menghantam sayapnya. Dia setengah berguling dengan aileron berbelok ke bawah – aku mengikutinya dan dia menanjak tajam dengan manuver Immelmann – aku mendekatinya dengan cepat dan dari jarak dekat senapan mesinku menembaki badan dan sayap pesawatnya. Saya sudah kehabisan peluru meriam saat ini. Sayap kanannya meledak dan terbakar. Pilot [Sersan. Pierre Poupart] melompat keluar dari ketinggian 5.000 kaki.” Spitfires juga menembak jatuh dua Dewoitine lainnya, yang pilotnya, Komandan Paul Enger dan Kapten Mauvier, keduanya tidak selamat. Sebagian besar pesawat tempur Prancis yang tersisa telah pergi dari La Senia pada hari berikutnya ketika pasukan dari Divisi Infanteri 1 merebutnya.

Wildcat di atas Casablanca

Vichy juga menyambut pasukan pendaratan Amerika di Casablanca dengan tembakan senapan mesin. Serangan dari pertahanan pantai dan pembom Prancis menghantam kapal-kapal pendarat amfibi dan menembaki pasukan yang mendarat di pantai. Pada pukul 6:00 pagi, lima D.520 Angkatan Laut Prancis menyerang kapal-kapal pendarat dan gagal dalam mencoba menembak jatuh pesawat intai Kingfisher yang sedang mengarahkan tembakan meriam kapal-kapal AS. Pesawat-pesawat tempur F4F Wildcat milik Angkatan Laut yang berbasis di USS Ranger memberikan perlindungan udara untuk armada invasi dari kapal induk A.S. yang langka muncul di wilayah operasi kawasan Mediterania. Delapan belas Wildcat dari skuadron VF-41 memberondong pembom Vichy DB-7 di lapangan udara Cazes. Mereka bertempur melawan armada patroli yang terdiri dari 10 D.520 dan enam Hawk 75 – yang, ironisnya, adalah pesawat tempur ekspor buatan AS. Dalam pertempuran antara pesawat Prancis vs Amerika itu, empat Wildcat ditembak jatuh dengan gantinya enam Hawk 75 dan tiga Dewoitines 520 menjadi tumbal. Yang keempat menderita kecelakaan fatal saat lepas landas. Untungnya, semua pilot Wildcat yang ditembak jatuh selamat untuk kemudian ditangkap dan dibebaskan dalam waktu 24 jam, Wildcat menghancurkan beberapa D.520 lainnya saat memberondong lapangan udara di Cazes dan Mediouna. Tembakan anti-pesawat A.S. juga turut menghancurkan dua pesawat tempur Prancis lainnya saat keduanya melakukan pengintaian bersenjata pada 10 November 1942.

D.520 juga bertarung sengit melawan pesawat tempur Wildcat AL Amerika yang berasal dari Kapal Induk USS Ranger. (Sumber: Pinterest)

Laksamana Francois Darlan, komandan pasukan Vichy di Afrika Utara, setuju untuk melakukan gencatan senjata pada hari yang sama, 10 November. Selama Operasi Torch banyak D.520 yang dihancurkan di landasan oleh pemboman Sekutu. Angkatan Udara Prancis kehilangan 56 pesawat, di antaranya 13 D.520. Angkatan Laut kehilangan sekitar 19 D.520, sementara total Prancis mencetak 44 kemenangan udara. Ketika pasukan Sekutu maju ke timur untuk menghadapi pasukan Jerman dalam pertempuran di Tunisia, beberapa unit D.520 Prancis (sekitar 153 yang tersisa di Afrika Utara) tampaknya menerbangkan patroli udara tempur atas nama Sekutu, tetapi tidak terlibat dalam pertempuran udara-ke-udara. Karena radio mereka tidak sesuai dengan perlengkapan pesawat Sekutu, unit-unit tempur Perancis kemudian secara bertahap dikonversi untuk menggunakan pesawat tempur buatan Amerika dan Inggris seperti Spitfire dan P-39 Airacobra. Tragisnya, ace D.520, Pierre Le Gloan tewas dalam penerbangan pelatihan pada 11 September 1943 ketika P-39-nya meledak, mungkin karena ia lupa bahwa ia membawa tangki bahan bakar di bagian bawah pesawat yang mudah terbakar saat mendarat darurat.

Skuadron Dewoitine Italia

Segera setelah Vichy menyerah di Afrika Utara, pasukan Jerman menduduki Prancis selatan dan menyita 246 D.520 yang tersisa di pangkalan udara Prancis. Banyak yang kemudian bertugas di empat unit pelatihan tempur Jerman, JG-101, 103, 105 dan 107, serta sebuah unit pesawat penarik target khusus yang digunakan untuk latihan menembak, Dewoitine bahkan membuat 62 D.520 untuk dioperasikan pilot-pilot Jerman. Jerman juga membagikan Dewoitine yang dimilikinya ke sekutu-sekutunya, yakni Italia dan Bulgaria (120 pesawat dari tahun 1943). Pada akhir 1942, pembom strategis B-17 dan B-24 AS mulai meluncurkan serangan siang hari di kota-kota Italia, dan karenanya Regia Aeronautica Italia sangat membutuhkan banyak pesawat tempur bersenjata kanon, yang memiliki harapan dapat menembak jatuh pesawat-pesawat besar itu. Karena itu, Italia menukar pembom LeO 451 yang telah mereka sita dari Perancis dengan 30 Dewoitine D.520 yang dikuasai Jerman. Mereka juga telah berhasil merampas 45 Dewoitine di Montelimar. Pilot Italia mengangkut puluhan D.520 melintasi pegunungan Apennine ke Italia selatan pada awal 1943. Pesawat-pesawat ini bertugas di sembilan Grup Pesawat Tempur Italia yang berbeda, termasuk Stormo ke-22 yang melindungi Napoli – target yang sering diserang oleh pembom Sekutu – Grup ke-13 yang melindungi Sardinia, dan Grup Otonomi ke-161 yang ditempatkan di Reggio Calabria, yang melindungi langit Sisilia. Setiap Grup menerima satu skuadron yang terdiri antara 6-13 pesawat D.520-an. Pilot-pilot Italia menghargai meriam 20-milimeter yang dimiliki D.520 dibandingkan dengan senapan mesin kaliber Breda SAFAT kaliber .50 yang menjadi senjata paling banyak digunakan di pesawat tempur Italia namun kecepatan tembaknya rendah dan sering macet. Namun, mesin D.520 yang kurang bertenaga mengalami kesulitan ketika ditugaskan mencegat pembom di ketinggian tinggi.

Ace Italia Luigi Gorrini yang pernah turut menerbangkan Dewoitine D.520. (Sumber: https://www.psacard.com/)

Pada awal 1943, Ace Italia, Luigi Gorrini ditugaskan untuk membawa D.520 untuk digunakan Angkatan Udara Italia. Luigi mengingat kenangannya saat itu: “Saya telah mengumpulkan beberapa lusin Dewoitine dari berbagai lapangan terbang Prancis dan pabrik Toulouse”, kenangnya kemudian. “Pada saat itu, ketika kami masih menerbangkan Macchi C.200, Dewoitine merupakan pesawat yang baik, meski tidak terlalu bagus. Dibandingkan dengan Macchi 200, Dewoitine hanya unggul dalam satu hal: persenjataannya kanon Hispano-Suiza HS 404 20 mm miliknya. “Pilot Italia menyukai kanon 20 mm, kokpit modern, perangkat radio yang sangat baik, dan kemudahan recoverynya saat mengalami spin, tetapi mereka juga mengeluhkan tentang rodanya yang lemah dan kemampuan menampung amunisinya yang kecil; amunisinya juga tidak tersedia dalam jumlah (HS.404 tidak kompatibel dengan kanon Breda dan Scotti 20 mm, jadi semuanya harus bergantung pada persediaan dari Prancis). Pada akhir Februari 359a Squadriglia (22 ° Gruppo), yang dipimpin oleh Mayor Vittorio Minguzzi, menerima delapan Dewoitine D.520. Pilot-pilot 359a Squadriglia menggunakan Dewoitine dengan beberapa keberhasilan.

Ace Italia Vittorio Miguzzi, menurut catatan Vittorio Miguzzi pernah menembak jatuh sebuah bomber B-24 dengan menggunakan D.520. (Sumber: http://surfcity.kund.dalnet.se/)
Dewoitine D.520 milik Italia. (Sumber: http://wp.scn.ru/)

Catatan detail pertempuran pesawat ini di Italia jarang ditemukan, kill pertama dengan pesawat ini yang dibukukan oleh pilot Italia, tercatat atas nama Mayor Vittorio Miguzzi yang menembak jatuh satu B-24 pada 1 Maret 1943. Dalam sebuah laporan pertempuran menuliskan bahwa D.520 dan MC.200 dan 205 Italia yang menjatuhkan bom yang meledak di udara di atas kawanan B-24 yang menyerang Messina, tampaknya menghancurkan setidaknya satu pembom dengan senjata yang tidak biasa. Pada 13 September 1943 Raja Emmanuel III dan Perdana Menteri Pietro Badoglio menyerahkan Italia kepada Sekutu. Tiga D.520 Italia terakhir mengakhiri masa kerjanya sebagai pesawat latih untuk unit udara yang bertugas di negara boneka fasis yang dikenal sebagai Republik Sosial Italia. Secara total dalam waktu singkat, Regia Aeronautica tercatat mengoperasikan sekitar 60 pesawat antara tahun 1942-43.

Dewoitine di tangan Bulgaria dan Rumania

Setelah Pasukan Jerman menginvasi wilayah Vichy pada November 1942, mereka merebut sekitar 246 D.520, selain itu, sejumlah 62 D.520 diselesaikan pembuatannya di bawah pendudukan Jerman. Dewoitine yang dirampas ini kemudian dikirim ke Front Balkan, meskipun beberapa digunakan oleh Luftwaffe untuk tujuan pelatihan sementara 60 lainnya diberikan ke Italia dan 96-120 diberikan ke Angkatan Udara Bulgaria untuk digunakan dalam pertempuran. Namun, D.520 baru diterima Bulgaria pada Agustus 1943, karena pilot pesawat tempur dari negara itu berlatih dulu dengan pesawat ini di Nancy bersama satuan JG 107. Bulan berikutnya, 48 Dewoitine pertama diterima dalam sebuah upacara di lapangan terbang Karlovo. Dua bulan kemudian, pada 24 November, D.520 digunakan dalam pertempuran untuk pertama kalinya, ketika 17 dari 60 B-24 Liberator dari satuan USAAF ke-15 tiba di ibukota, Sofia, untuk mengebomnya. Dua puluh empat Dewoitine lepas landas dari pangkalan Vrazhdebna (bersama dengan 16 Bf 109G-2 yang terbang dari Bojourishte) menyerang para pembom dan 35 pesawat pengawal P-38 Lightning Amerika. Pilot Bulgaria mengklaim menjatuhkan empat pesawat Amerika dengan kehilangan satu pesawat tempur, sementara tiga lainnya harus mendarat darurat. Pembom Amerika menyerang Sofia lagi, pada 10 Desember 1943. Hari itu, 31 B-24 yang dikawal oleh P-38, dicegat oleh enam Dewoitine satuan Resimen Tempur II/6 dari Vrazhdebna dan 16 D.520 satuan Resimen Tempur I/6 dari Karlovo (bersama dengan 17 Bf 109G-2). Orang-orang Amerika mengklaim 11 D.520 berhasil mereka jatuhkan sementara hanya kehilang satu P-38. Pemeriksaan selanjutnya menunjukkan bahwa hanya satu Dewoitine yang hilang selama pertempuran udara itu.

Dewoitine D.520 milik AU Bulgaria. (Sumber: https://ww2aircraft.net/)

D.520 Angkatan Udara Bulgaria kembali melawan saat menghadapi serangan udara besar-besaran Sekutu pada 30 Maret 1944. Untuk mencegat 450 pembom (B-17, B-24 dan Handley Page Halifaxe) yang dikawal oleh 150 P- 38, orang-orang Bulgaria menerbangkan 28 Dewoitine satuan I/6 dari Karlovo, enam D.520 satuan II/6 dari Vrazhdebna (bersama dengan 39 Bf 109G-6 dan bahkan Avia 135). Setidaknya sepuluh pesawat Sekutu (delapan pembom dan dua P-38) ditembak jatuh, sementara Angkatan Udara Bulgaria kehilangan lima pesawat tempur dan tiga pilot. Dua lagi pesawat Bulgaria harus terpaksa mendarat darurat. Selama serangan udara Sekutu terakhir di Sofia, pada 17 April, satuan II/6 menerbangkan tujuh Dewoitine (ditambah 16 Bf 109), melawan 350 B-17 dan B-24 yang dikawal oleh 100 P-51 Mustang. Pilot Bulgaria, yang hingga saat itu hanya pernah bertemu P-38, mengira P-51 sebagai Bf 109 mereka sendiri dan sebelum mereka menyadari kesalahan mereka, tujuh Bf 109G-6 telah ditembak jatuh. Hari itu Angkatan Udara Bulgaria menderita kerugian terberat sejak awal perang: sembilan pesawat tempur mereka ditembak jatuh dan tiga lainnya harus mendarat darurat. Enam pilot kehilangan nyawa mereka. Pada 28 September 1944, dua puluh hari setelah Bulgaria bergabung dengan Sekutu, Dewoitine masih melengkapi Orlyak (Grup) dari resimen Tempur ke-6: Group I memiliki total 17 D.520, lima dalam perbaikan dan 12 operasional, untuk itu tiga Jato (Skuadron) mereka.

Dewoitine D 520 AU Bulgaria yang dipiloti Georgi Atanasov menembak jatuh sebuah pesawat tempur P-38 Lightning milik Amerika pada 10 Januari 1944. (Sumber: Pinterest)

Banyak sumber menyebutkan penggunaan D.520 oleh Angkatan Udara Rumania, tetapi tidak ada bukti yang pernah diberikan. Salah satu sumber yang mengklaim apa yang disebut sebagai Dewoitine Rumania, pada kenyataannya, hanya merupakan pesawat yang sedang dalam perjalanan ke Bulgaria dan hanya terbang di atas Rumania untuk mencapai tujuan akhir mereka. Penjelasan ini sepertinya masuk akal, melihat keterbatasan jumlah Dewoitine tersedia. Namun Rumania memang pernah menggunakan Pesawat Tempur Bloch MB.150 buatan Prancis.

D.520 Prancis Merdeka

Sementara itu D.520 milik Prancis Merdeka, di tengah sejarah ekstensif penggunaan D.520 oleh pihak Axis, terdapat sekelumit kisah penggunaan D.520 oleh kelompok Prancis Merdeka. Setelah jatuhnya Perancis, setidaknya tiga D.520 melarikan diri ke Inggris, di mana mereka bertugas dalam AU Prancis Merdeka sebagai pesawat latih- terutama untuk unit Normandie Niemen, yang kemudian mengalami pertempuran sengit di Uni Soviet dengan menggunakan pesawat Yak-1 yang karakteristiknya mirip D.520. Akhirnya, setelah pembebasan sebagian besar wilayah Perancis pada musim gugur 1944, Grup Tempur Prancis Merdeka ke-11 yang memperoleh D.520 bekas Vichy, memasukkan mereka ke dalam Grup Prancis Merdeka ke-1 di bawah pimpinan Marcel Doret yang berbasis di Toulouse. Unit-unit semacam ini digunakan untuk misi serangan darat menyerang pasukan Jerman di Royan dan Pointe de Grave, melakukan serangan terhadap posisi artileri musuh, serta memberikan perlindungan udara bagi para pembom Sekutu. Setelah tanggal 1 Desember 1944, tanggal di mana Angkatan Udara Prancis secara resmi direformasi, unit Doret menjadi G.C.II / 18; terus mengoperasikan D.520 selama beberapa bulan sebelum dilengkapi dengan Spitfire pada 1 Maret 1945.

Dewoitine milik AU Prancis Merdeka di Afrika Utara. (Sumber: https://warisboring.com/)

Jadi, D.520 setidaknya mengakhiri dinas perangnya seperti pada saat perang pecah, yakni mempertahankan wilayah Prancis dari penjajah. Setelah permusuhan berakhir, 13 D.520 yang berbasis di Tours dimodifikasi dengan penambahan kursi belakang untuk difungsikan sebagai pesawat latih dengan kontrol ganda untuk Angkatan Udara Prancis yang baru, yang kemudian diberi kode D.520 DC. Pada bulan Maret 1946, setelah percobaan lebih lanjut, Angkatan Udara Prancis memerintahkan sebanyak 20 D.520 lagi untuk dikonversi menjadi pesawat latih; namun, hanya 13 dari konversi D.520 DC ini benar-benar diselesaikan. D.520 Prancis ini terus bertugas sampai 3 September 1953, sebuah pengabdian yang cukup lama untuk sebuah desain pesawat tempur yang muncul sejak masa sebelum Perang Dunia II pecah. Salah satu pilot D.520 yang paling sukses dalam sejarah adalah Pierre Le Gloan, yang tercatat menembak jatuh 18 pesawat (empat Jerman, tujuh Italia dan tujuh Inggris), ia mencetak hampir semua “kill” nya dengan D.520, dan dengan prestasinya ini, ia menjadi ace Prancis tertinggi keempat selama perang.

Pierre Le Gloan Ace terbesar Dewoitine D.520. (Sumber: https://rclibrary.co.uk/)

Secara umum Varian / Model dibagi menjadi berikut:

• D520.1 – Model Prototipe; merupakan prototipe awal yang dilengkapi dengan mesin inline Hispano-Suiza 12Y-21; prototipe perbaikan menampilkan sedikit modifikasi pada berbagai elemen desain termasuk kanopi dan sayap; prototipe kedua dilengkapi dengan mesin Hispano-Suiza 12Y-51; prototipe ketiga dilengkapi dengan mesin Hispano-Suiza 12Y-31 yang memiliki kekuatan 890 tenaga kuda.

• D.520 – Merupakan Seri Produksi Utama; dilengkapi dengan mesin Hispano-Suiza 12Y-45 atau Hispano-Suiza 12Y-49 yang memiliki kekuatan 920 tenaga kuda.

• D.524 – Merupakan Varian Eksperimental; dilengkapi dengan mesin Hispano-Suiza 12Y-89 yang memiliki kekuatan 1.200 tenaga kuda.

Specifications (Dewoitine D.520)

Type: Single Seat Fighter

Design: Dewoitine

Manufacturer: SNCA du Midi

Powerplant: One 935 hp (698 kw) Hispano-Suiza 12Y 45 12-cylinder inline, liquid cooled, piston engine.

Performance: Maximum speed 332 mph (535 km/h) at 18,100 ft (5500 m); service ceiling 34,540 ft (10500 m).

Range: 552 miles (890 km) with internal fuel stores or 957 miles (1,540 km; 832 nm) with additional fuel tank

Weight: Empty 4,490 lbs (2036 kg) with a maximum take-off weight of 6,160 lbs (2790 kg).

Dimensions: Span 33 ft 6 in (10.20 m); length 28 ft 9 in (8.76 m); height 8 ft 5 in (2.57 m); wing area 171.84 sq ft (15.97 sq m).

Armament: One 20 mm Hispano-Suiza 404 cannon firing through the propeller hub, plus four 7.5 mm (0.295 in) MAC 34 M39 machine guns.

Variants: D.520 (prototype and production), D.521 (a single D.520 with a 1,030 hp (768 kw) Rolls Royce Merlin engine but this proved unsatisfactory), D.524 (the single D.521 with a 1,200 hp (895 kw) Hispano-Suiza 12Z engine), D.530 (planned upgrade using a 1,400 hp (1045 kw) Rolls-Royce or a 1,800 hp (1342 kw) Hispano-Suiza 12Y engine, but it was never built), D.550 (racing version of the D.520 with a more powerful engine and shorter wings), D.551/D.552 (military versions of the D.550 powered by the 12Y 51 or 12Z engines, respectively. Neither were never built due to the German occupation).

Operators: France, Luftwaffe, Regia Aeronautica, Bulgaria, Rumania (?), Free French Forces.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

France’s D.520 Fighter Flew for Many Sides in World War II by Sebastian Roblin, 13 June 2017

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Dewoitine_D.520

Dewoitine D.520

http://www.century-of-flight.freeola.com/Aviation%20history/photo_albums/timeline/ww2/Dewoitine%20D.520.htm

Dewoitine D.520

https://www.militaryfactory.com/aircraft/detail.asp?aircraft_id=551

Exit mobile version