Perang Dunia II

Hans Joachim Marseille “The Star Of Africa”: Pilot Tempur ‘Pemberontak’ Sekaligus Yang Terbaik Sepanjang Masa?

Seandainya Hans-Joachim Marseille hidup dan bertempur di masa kini dan bukan pada tahun 1941 dan 1942, maka tidak ada bar di Amerika yang akan melayaninya dengan minuman Bud Lite (sejenis beer) tanpa mencurigai bocah kurus berwajah bayi ini. Dan kemudian mereka mungkin akan menganggap ID tentara yang dibawanya adalah palsu. Mustahil untuk membayangkan bahwa seseorang yang masih begitu muda, dan bahkan tampak lebih muda dari usianya, merupakan pilot pesawat tempur terbaik yang pernah ada di dunia. Jochen, bagaimana dia dipanggil secara tidak resmi, telah menembak jatuh 26 pesawat saat dia berusia 21 tahun dan 132 pesawat lagi ia tambahkan pada usia 22 tahun. Hanya 18 bulan berlalu sejak ia menembak jatuh pesawat lawan pertama kali hingga kematiannya sendiri sebagai prajurit veteran di usia muda yang kelelahan. Ya, memang banyak pilot Jerman lain yang mendapat skor lebih tinggi darinya, meskipun demikian tidak ada penerbang kubu Axis yang memiliki skor mendekati rekor 158 kemenangan udara melawan pilot-pilot sekutu barat seperti Marseille. Korban-korban pilot Luftwaffe, seperti Erich Hartmann yang memperoleh 352 kemenangan udara, sebagian besar didapat saat menghadapi pilot-pilot “petani” Soviet yang menerbangkan pesawat-pesawat Yak dan pengebom Ilyushin yang kalah kelas di Front Timur, dan menjadi makanan empuk bagi orang-orang Jerman yang telah terbang sejak masa Perang Saudara Spanyol dengan pesawat yang jauh lebih baik. 

Hans-Joachim Marseille. Dengan catatan resmi 158 “kill” Marseille memang bukan pencatat rekor kemenangan udara terbanyak dalam sejarah pertempuran udara, namun banyak pihak menganggap dia adalah pilot tempur terbaik. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Sebaliknya, kemenangan Hans-Joachim Marseille sepenuhnya didapat saat melawan pilot-pilot Barat yang terampil, yang sebagian besar menerbangkan pesawat tempur yang cukup setara dengan pesawat Jerman tipe Messerschmitt Me-109E, F (dan kemudian seri G). Dia adalah pilot Luftwaffe dengan skor tertinggi di Front Barat, dan hingga hari ini banyak Orang Jerman bersikeras bahwa meskipun dia sering harus mendarat darurat atau menyelamatkan diri sebagai akibat dari kerusakan dalam pertempuran yang tidak disengaja, dia tidak pernah dikalahkan oleh pilot Sekutu dalam pertempuran udara satu lawan satu. Namun, dalam bukunya Aces of the Reich, sejarawan Luftwaffe Mike Spick menulis, “…pada bulan April 1941…Gruppe (satuan Marseille) dikerahkan ke Libya. Sebuah area dengan sedikit wanita, yang membantu Marseille tetap fokus pada pekerjaannya. Kedatangannya tidaklah berjalan mulus; dalam beberapa hari dia akan ditembak jatuh oleh pesawat Hawker Hurricane yang diterbangkan oleh pilot Prancis Merdeka yang sudah berusia tua (James Denis dari Skuadron No. 73, RAF).” Meski demikian rekor Marseille saat melawan pesawat-pesawat Hurricane, Super marine Spitfire dan Curtiss P-40 yang diterbangkan oleh pilot-pilot Inggris, Australia dan Afrika Selatan, selama Pertempuran di Inggris dan kemudian dalam kampanye di gurun Afrika Utara, tetap tak tertandingi. Marseille mungkin juga telah terbang sekali atau dua kali melawan pilot asal Amerika yang tergabung dalam skuadron Inggris, dan bahkan mungkin menembak jatuh satu diantaranya. Tetapi seandainya dia bertemu dengan unit-unit Kekuatan Udara Angkatan Darat AS, setidaknya pada awalnya, maka akan terjadi ketidakseimbangan yang mengerikan, dengan pilot-pilot Luftwaffe diprediksi akan dapat mengungguli para Yanks yang belum begitu berpengalaman. Marseille gugur sedikit lebih dari sebulan sebelum pasukan AS mendarat di Afrika Utara. Toh, ketika pasukan Amerika datang, Luftwaffe tetap dengan mudah terus mempertahankan superioritas udara yang nyaris total. Hal itu tidak sulit. Awalnya, pilot Amerika di Afrika Utara kehilangan hampir dua kali lebih banyak pesawat karena kecelakaan dan kerusakan daripada akibat pertempuran. 

MASA KECIL YANG MENYEDIHKAN

Hans-Joachim “Jochen” Walter Rudolf Siegfried Marseille lahir dari pasangan Charlotte (nama gadis: Charlotte Marie Johanna Pauline Gertrud Riemer) dan Hauptmann Siegfried Georg Martin Marseille, di Berlin-Charlottenburg Berliner Strasse 164 pada tanggal 13 Desember 1919 pukul 11:45 malam. Marseille sendiri….adalah nama yang aneh untuk orang Jerman. Marseille memiliki latar belakang keturunan Huguenot asal Prancis (dari pihak ayah), yang sebenarnya memiliki jumlah yang besar diantara seluruh populasi Jerman. Kaum Hugenot meninggalkan negerinya untuk melarikan diri dari penganiayaan agama oleh umat Katolik di Prancis abad ke-18. Sebagian dari mereka lalu menetap di Berlin, tempat dimana Jochen dilahirkan. Namun, beberapa orang Jerman melafalkan namanya secara fonetis, “Mar-SAIL,” daripada “Mar-SAY” yang lebih tepat. Sebagai seorang anak, Marseille secara fisik lemah, dan dia hampir meninggal karena sakit influenza yang serius. Marseille berasal dari keluarga militer, seperti yang banyak dijumpai pada orang-orang Huguenot. Ayahnya Siegfried adalah seorang perwira Angkatan Darat selama Perang Dunia I, dan kemudian meninggalkan angkatan bersenjata untuk bergabung dengan kepolisian Berlin. Siegfried kemudian bergabung kembali dengan Angkatan Darat pada tahun 1933, dan dipromosikan menjadi Jenderal pada tahun 1935. Dipromosikan lagi, ia mencapai pangkat Generalmajor pada tanggal 1 Juli 1941. Ia diketahui bertugas di Front Timur sejak awal Operasi Barbarossa. Siegfried Marseille kemudian dibunuh oleh partisan di dekat Pietrykaŭ, Belarusia pada tanggal 29 Januari 1944, dan kemudian dimakamkan di pemakaman lokal. 

Marseille muda (tanda “X”) diantara rekan-rekan sekolahnya. Lahir dari keluarga ‘broken home”, Marseille tumbuh menjadi sosok pemuda pemberontak dan ingin dihargai. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Prinz Heinrich Gimnasium, tempat Marseille menyelesaikan sekolah menengahnya di Berlin. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)
Hauptmann Siegfried Georg Martin Marseille, ayah Marseille. Marseille diketahui punya hubungan yang rumit dengan ayahnya. (Sumber: https://www.tracesofwar.com/)

Ketika Marseille masih anak kecil, orang tuanya bercerai dan ibunya kemudian menikah dengan seorang pejabat polisi bernama Reuter. Marseille awalnya menggunakan nama ayah tirinya di sekolah (hal yang sulit dia terima) tetapi dia kembali menggunakan nama ayahnya Marseille di saat dewasa. Dia sedari kecil sudah memperoleh reputasi sebagai pemberontak karena kurangnya disiplin, karakteristik inilah yang akan mengganggu dia di awal karir Luftwaffe-nya. Marseille juga memiliki hubungan yang sulit dengan ayah kandungnya yang dia tolak untuk mengunjunginya di Hamburg selama beberapa waktu setelah perceraian dengan ibunya. Akhirnya ia mencoba berdamai dengan ayahnya, yang kemudian malah memperkenalkannya pada kehidupan malam yang awalnya lagi-lagi turut menghambat karir militernya selama tahun-tahun awal di Luftwaffe. Namun, kedekatan dengan ayahnya tidak bertahan lama dan dia tidak akan pernah melihatnya lagi setelahnya. Marseille bersekolah di Volksschule Berlin ke-12 (antara tahun 1926–1930), dan sejak usia 10 tahun, melanjutkan ke Prinz Heinrich Gimnasium di Berlin-Schöneberg (tahun 1930–1938). Dia dianggap sebagai siswa yang malas pada awalnya, dan terus-menerus bermain-main dan mendapat masalah. Menjelang akhir tahun-tahun sekolahnya ia mulai menekuni pendidikannya lebih serius dan memenuhi syarat sebagai salah satu yang termuda (17 tahun, enam bulan) untuk mencapai gelar Abitur, dimana ia lulus pada awal tahun 1938. Marseille kemudian menyatakan keinginannya untuk menjadi “perwira penerbang.” Meskipun tidak termasuk atletis dalam hal fisik, Marseille mendapat nilai yang baik untuk bergabung dengan Reichsarbeitsdienst (“Layanan Tenaga Kerja Negara”) Abtlg. 1/177 di Osterholz-Scharmbeck dekat Bremen, antara tanggal 4 April dan 24 September 1938. 

SI BOCAH TENGIK KADET UDARA LUFTWAFFE 

Ia kemudian bergabung dengan Luftwaffe pada tanggal 7 November 1938, sebagai Fahnenjunker (calon perwira) dan menerima pelatihan dasar militernya di Quedlinburg di wilayah Harz. Pada tanggal 1 Maret 1939, Marseille dipindahkan ke Luftkriegsschule 4 (LKS 4—sekolah perang udara) di dekat Fürstenfeldbruck. Di antara teman-teman sekelasnya adalah Werner Schröer. Menariknya, Schröer nantinya akan menjadi pilot tempur yang mencatat rekor kemenangan udara paling besar kedua setelah Marseille di kawasan Mediterania. Schröer melaporkan bahwa Marseille sering melanggar disiplin militer. Akibatnya, Marseille diperintahkan untuk tinggal di pangkalan sementara teman-teman sekelasnya sedang cuti akhir pekan. Cukup sering Marseille mengabaikan ini dan meninggalkan pesan kepada Schröer: “Aku pergi! Tolong ambil alih tugasku.” Pada satu kesempatan, saat ia melakukan pertunjukan terbang solo pertama di pesawat Focke Wulf Fw-44 Stieglitz (Stearman Luftwaffe) untuk melakukan penerbangan melingkar lambat, Marseille memisahkan diri dan melakukan dogfight imajiner, dengan menerbangkan pesawat biplane-nya seolah-olah sedang terbang mengejar ekor pesawat musuh. Ide yang buruk. Dia lalu ditegur oleh komandannya, Hauptmann Mueller-Rohrmoser, dan dikeluarkan dari tugas terbang dan promosinya ke pangkat Gefreiter ditunda. Atas aksi semacam ini dan banyak pelanggaran lain yang dibuatnya, Marseille tetap menjadi seorang prajurit nonkom sampai memasuki karir tempurnya, sementara hampir setiap pilot lain di kelasnya, skuadron dan generasi telah dipromosikan menjadi perwira dan naik pangkat. Bukan hanya itu, saat masih menjadi pilot pelajar, dia pernah mendarat di hamparan kosong autobahn selama penerbangan solo lintas daerah keduanya untuk buang air kecil. Beberapa petani datang untuk menanyakan apakah dia membutuhkan bantuan, tetapi pada saat mereka tiba, Marseille sudah dalam perjalanan menerbangkan pesawat, dan mereka terhempas oleh slipstream-nya. Para petani itu marah, dan layaknya “orang Jerman yang baik”, mereka mencatat nomor ekor pesawatnya dan melaporkannya. Akibatnya ia dilarang terbang lagi.

Focke Wulf Fw-44 Stieglitz. Dengan pesawat latih biplane ini, Marseille melakukan demo udara solo yang memancing teguran dari komandannya. (Sumber: https://upload.wikimedia.org/)
Julius Arigi, ace Austro-Hongaria dari masa Perang Dunia I yang menjadi instruktur Marseille. (Sumber: https://www.worthpoint.com/)
Marseille (kiri) saat pelatihan. Dengan sikap bengalnya, sukar untuk melihat karir Marseille bakal cemerlang. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Bahwa Marseille tidak segera dipecat begitu saja mungkin ada kaitannya dengan fakta bahwa ayahnya sedang dalam tahapan untuk dipromosikan ke jabatan yang lebih tinggi. Tetapi tampaknya hanya sedikit dari tradisi militer keluarganya yang bisa menghapus karakter bengal dari anak muda ini. Marseille kemudian menyelesaikan pelatihannya di Jagdfliegerschule 5 (Sekolah Pilot Pesawat Tempur Nomor 5), kemudian ditugaskan di bawah komando Eduard Ritter von Schleich di Wien-Schwechat di mana ia ditempatkan pada tanggal 1 November 1939. Salah satu instrukturnya adalah seorang ace Austro-Hongaria dari masa Perang Dunia I, Julius Arigi (dengan rekor 32 kemenangan udara). Marseille lulus dari Jagdfliegerschule 5 dengan penilaian yang luar biasa pada tanggal 18 Juli 1940 dan ditugaskan ke Ergänzungsjagdgruppe Merseburg, dan ditempatkan di bandara Merseburg-Barat. Unit Marseille ditugaskan untuk menjalani tugas pertahanan udara di atas pabrik Leuna dari masa pecahnya perang sampai jatuhnya Perancis. Pada tanggal 10 Agustus 1940 ia ditugaskan ke I. Jagd/Lehrgeschwader 2, yang berbasis di Calais-Marck, untuk memulai operasi udara di Inggris dan sekali lagi ia menerima penilaian yang luar biasa, kali ini dari Hauptmann dan Gruppenkommandeur-nya, Herbert Ihlefeld (memiliki rekor total menembak jatuh 130 pesawat musuh dalam lebih dari 1.000 misi tempur). Meski bengal, jelas Marseille bukannya tanpa bakat.

PENGGEMAR MUSIK JAZZ YANG TERLARANG

Sebagai pemuda, Marseille selain dikenal malas, ia juga playboy, suka minum-minum, penggemar musik jazz Negro Amerika, dan dia membenci apa yang dia anggap peraturan yang tidak berguna. Menjadi seorang Berlin juga tidak membantunya—ia seperti seorang Manhattan di antara orang-orang wilayah pedesaan Selatan Amerika Serikat. Sikap suka melanggar aturan itu sama sekali bukan sikap pura-pura saja. Ketika Marseille sudah menjadi pilot ulung pencetak kemenangan di medan Afrika dan memiliki hak untuk menempati kompleks multi-tenda, entah bagaimana dia berhasil mendapatkan seorang tawanan perang Afrika Selatan berkulit hitam yang tampan bernama Mathias sebagai pelayannya untuk memperkuat citra dirinya sebagai pria penggemar musik Jazz di Zaman-nya yang keren dan pelanggar aturan. “Kecintaan Marseille pada musik jazz adalah hal yang signifikan di masa kekuasaan Nazi Jerman,” kata Robert Tate, pilot pesawat tanker KC-135 dan AWACS Angkatan Udara AS selama 15 tahun dan saat ini menjadi pilot Delta Airlines yang menerbangkan pesawat komersil Boeing 757 dan 767. Buku Tate “Hans-Joachim Marseille: An Illustrated Tribute to the Luftwaffe’s Star of Africa” dirilis pada bulan Juli tahun 2008. “Marseille bukan hanya sekedar menyukai musik (Jazz). Saat itu ada kelompok tandingan di Jerman seperti Swing Kids (yang merupakan antitesis dari Pemuda Hitler). Saya tidak dapat membuktikan bahwa Marseille adalah anggota dari Swing Kids, tetapi rambutnya, pakaiannya, syalnya, pipa shag yang sering dia miliki, musiknya, tingkah lakunya, pergaulan seksualnya … jika dia bukan anggota German Swing Kids, setidaknya dia bersimpati pada mereka. Yang merupakan sebuah pernyataan sikap besar bagi seorang perwira Jerman. Dan persahabatan Marseille dengan Mathias jelas bertentangan dengan doktrin Nazi terhadap orang kulit hitam.” Cara Marseille menggunakan seragam juga tidak biasa, ia kerap menambahkan apa pun yang tampak trendi dan modis di Berlin saat itu. Bahkan setelah dia ditugaskan sebagai pilot dalam skuadron tempur dia kerap dicemooh karena mengenakan syal berwarna-warni. Hal itu tetap dipertahankannya sampai dia menjadi ace ulung, yaitu, ketika mengenakan syal seperti dirinya menjadi hal yang umum dilakukan oleh pilot-pilot lain. 

Marseille dengan syal-nya. Selain memiliki gaya berseragam yang modis, dan unik, Marseille memiliki ‘hobby terlarang’ yakni menyukai musik Jazz yang identik dengan orang-orang kulit hitam, yang dianggap inferior oleh rezim rasis Nazi. (Sumber: https://alchetron.com/)
Marseille dan teman-teman wanitanya. Untuk ukuran sekarang, Marseille bisa dibilang sebagai sosok Playboy. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Selain musik Jazz dan wanita, kehidupan malam adalah gaya hidup yang erat dengan Marseille (tengah). (Sumber: https://airpowerasia.com/)

PENGALAMAN TEMPUR PERTAMA

Kembali ke medan tempur, Marseille pertama kali terlibat pertempuran adalah saat Battle Of Britain dan dia dihajar habis-habisan disana, dengan terus-menerus membawa pulang Messerschmitt-nya yang penuh lubang peluru dan kadang-kadang tidak mampu membawa mereka pulang sama sekali. Dia keluar dari pesawatnya di Selat Channel enam kali, tiga di antaranya di dekat pangkalan penyelamatan udara-laut yang sama di Cape Griz Nez. Dokter yang bertanggung jawab di sana bahkan pernah mengatakan kepadanya bahwa lain kali dia membutuhkannya, dia harus membuat reservasi terlebih dahulu. Marseille tidak suka candaan itu, ia melihatnya sebagai cemoohan pada kemampuan tempurnya. Komandan skuadronnya juga tidak senang. Dalam pertempuran udara pertamanya di Inggris pada tanggal 24 Agustus 1940, Marseille terlibat dalam pertempuran selama empat menit dengan lawan yang terampil saat menerbangkan pesawat tempur Messerschmitt Bf 109 E-3 dengan nomor 3579. Dia mengalahkan lawannya dengan melakukan manuver ketat, untuk mendapatkan keuntungan dalam hal ketinggian sebelum menukik dan menembak. Pesawat tempur Inggris itu tertembak di bagian mesin, dan terjun ke dalam Selat Inggris; ini adalah kemenangan pertama Marseille. Marseille kemudian diserang dari atas oleh lebih banyak pesawat tempur Sekutu. Dengan mendorong pesawatnya menukik dengan curam kemudian terbang beberapa meter di atas air, Marseille lolos dari tembakan senapan mesin lawannya: “melompati ombak, saya bisa kabur dengan aman. Tidak ada yang mengikuti saya dan saya kembali ke Leeuwarden (koreksi—Marseille berbasis di dekat Calais, bukan Leeuwarden)”. Toh aksinya itu tidak mendapat pujian dari unitnya. Marseille ditegur ketika diketahui bahwa dia telah meninggalkan wingman-nya, dan pergi untuk menyerang lawan sendirian. Dengan melakukan itu, Marseille telah melanggar aturan dasar pertempuran udara. Marseille tidak menikmati kemenangan ini dan merasa sulit untuk menerima kenyataan pertempuran udara.

Messerschmitt Bf 109 E-3, tipe pesawat yang diterbangkan oleh Marseille dalam Pertempuran Battle of Britain. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)
Pesawat tempur Bf 109 E-7; W.Nr. 4091 yang jatuh di tepi pantai. Marseille mengklaim kemenangan udaranya yang ke-7 pada 28 September 1940 tetapi harus mendarat di dekat Théville karena kegagalan mesin pada pesawatnya yang bernomor 3579. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada misi tempur keduanya di tanggal 2 September 1940 ia mencetak kemenangan keduanya. Saat itu unit LG2-nya berada di atas Sheerness bertempur melawan pesawat-pesawat Spitfire dari 74 Sqn. Selama salah satu pertempuran ini, Marseille terkena tembakan musuh dan kembali ke pantai Prancis di mana dia mendarat di Calais-Marck. Setelah melakukan pendaratan perut pesawat nomor. 3579-nya diselamatkan oleh unit Bergebattalion dan diangkut ke pabrik Erla di Antwerpen untuk diperbaiki, setelah itu pesawat ini diberikan pada unit JG77. Pesawat nomor. 3579 ini masih terbang hingga hari ini dan saat ini berada di Biggin Hill Heritage Hangar dekat Bromley, Inggris. Sementara itu, pada tanggal 15 September 1940 Marseille telah mengklaim kemenangan keempatnya. Marseille menjadi ace pada tanggal 18 September setelah mengklaim menembak jatuh pesawat kelimanya. Saat kembali dari misi pengawal pengebom pada tanggal 23 September 1940 menerbangkan dengan pesawat nomor 5094, mesinnya gagal berfungsi 10 mil dari Cap Gris Nez setelah mengalami kerusakan akibat pertempuran di atas Dover. Pilot Officer George Bennions dari Skuadron 41 mungkin telah menembak jatuh Marseille. Menurut sumber lain, pesawat nomor 5094 Marseille ini dihancurkan dalam pertempuran oleh Robert Stanford Tuck (Pilot pesawat tempur RAF, pilot uji, dan ace dengan 29 kemenangan), yang kabarnya mengejar sebuah pesawat Bf 109 ke lokasi itu dan pilotnya diselamatkan oleh pesawat angkatan laut Heinkel He-59. Marseille adalah satu-satunya penerbang Jerman yang diketahui telah diselamatkan oleh pesawat He-59 pada hari itu di lokasi itu. Klaim pada catatan resmi Tuck adalah ia menghancurkan sebuah Bf 109 di Cap Gris Nez pada pukul 09:45. I.(Jagd)/LG 2 mengklaim tiga kemenangan udara, sementara menderita kehilangan empat pesawat Bf 109 hari itu. Marseille sendiri berada dalam masalah serius ketika tiba kembali di lapangan terbang. Dia telah meninggalkan pemimpinnya Staffelkapitän Adolf Buhl, yang ditembak jatuh dan terbunuh. Dia menerima teguran keras dan peringatan terakhir dari Herbert Ihlefeld, di mana dia merobek catatan penerbangannya dengan tatapan kecewa dari Marseille. Pilot lain kemudian menyuarakan ketidaksukaan mereka pada Marseille. Karena keterasingannya terhadap pilot lain, sifatnya yang arogan dan tidak terlihat menyesal, Ihlefeld akhirnya memecat Marseille dari LG 2. Catatan lain mengingatkan bagaimana Marseille pernah mengabaikan perintah untuk mundur dari pertempuran ketika kalah jumlah dengan dua banding satu, tetapi saat melihat sebuah pesawat Sekutu mendekati pemimpin wing-nya, Marseille mematahkan formasi dan menembak jatuh pesawat penyerang. Mengharapkan ucapan selamat ketika dia mendarat, komandannya malah mengkritik tindakannya. Marseille menerima tiga hari kurungan karena gagal menjalankan perintah. Beberapa hari kemudian, Marseille dilewatkan dari kesempatan promosi dan akibatnya ia menjadi satu-satunya Fähnrich (Junior most rank) di Geschwader. 

Herbert Ihlefeld, komandan unit Marseille dalam pertempuran Battle of Britain. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Meskipun Marseille telah menjadi seorang Ace, namun dia telah mengorbankan banyak pesawat berharga Luftwaffe pada prosesnya. Dia setara dengan pembalap Formula 1 yang sangat cepat tetapi sekaligus menghancurkan mobil-mobilnya dalam balapan. Dalam istilah pilot pesawat tempur, ia perlu melatih SA-nya—kesadaran situasional, kemampuan mata-di-belakang-kepala-Anda yang tak ternilai, yang memungkinkan pilot tempur yang baik untuk secara simultan mengasimilasi dan memproses posisi dan vektor berbagai dari ancaman yang dihadapinya. Dia sendiri juga merupakan pilot yang menyebalkan—tidak patuh, santai, ngawur, pembual yang membual secara terbuka telah memacari aktris terkenal pada saat rekan satu skuadronnya masih bertanya-tanya apakah dia pernah benar-benar memacari siapa pun. Tak lama kemudian, pada awal Oktober 1940, setelah mengklaim tujuh kemenangan udara, yang semuanya didapat saat terbang dengan I.(Jagd)/LG 2, Marseille dipindahkan ke 4./Jagdgeschwader 52, untuk terbang bersama pilot-pilot tangguh seperti Johannes Steinhoff (ace dengan 176 kemenangan) dan Gerhard Barkhorn (ace dengan 300 kemenangan). Dia kemudian merusak empat pesawat sebagai hasil dari masa tugasnya selama periode ini. Steinhoff, kemudian mengenang: “Marseille sangat tampan. Dia adalah pilot yang sangat berbakat, tapi dia tidak bisa diandalkan. Dia punya teman perempuan di mana-mana, dan mereka membuatnya begitu sibuk sehingga dia kadang-kadang sangat lelah sehingga dia harus dihukum. Cara dia yang terkadang tidak bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya adalah alasan utama saya memecatnya. Tapi dia memang memiliki pesona yang tak tertahankan.” Sebagai hukuman atas “pemberontakan”—serta kegemarannya pada musik jazz Amerika, dan gaya hidup “playboy-nya”—dan ketidakmampuan untuk terbang sebagai wingman, Steinhoff memindahkan Marseille ke Gruppe of Jagdgeschwader 27, yang dipimpin oleh Eduard Neumann pada tanggal 24 Desember 1940. Ketika dia bergabung dengan unit barunya, sulit untuk meramalkan bahwa karirnya akan luar biasa. Neumann, kemudian mengenang, “Rambutnya terlalu panjang dan dia membawa daftar hukuman kedisiplinan yang banyak. Dia adalah orang yang berjiwa muda, temperamental, dan sulit diatur. Tiga puluh tahun kemudian, orang semacam dia akan disebut sebagai sosok playboy.” Namun demikian, Neumann dengan cepat mengenali potensi Marseille sebagai pilot. Dia menyatakan dalam sebuah wawancara: “Marseille hanya bisa menjadi salah satu dari dua, baik menjadi pilot dengan banyak masalah disiplin atau pilot pesawat tempur yang hebat.” Unit Marseille sempat bertugas selama invasi ke Yugoslavia, dengan dikerahkan ke Zagreb pada tanggal 10 April 1941, sebelum dipindahkan ke Afrika.

PENYAKIT KAMBUHAN DI AFRIKA UTARA

Pada tanggal 20 April dalam penerbangannya dari Tripoli ke lapangan terbang garis depannya, Bf 109 Marseille mengalami masalah mesin dan dia harus melakukan pendaratan paksa di gurun dekat tempat tujuannya. Skuadronnya meninggalkan tempat kejadian setelah mereka memastikan bahwa dia telah turun dengan selamat. Marseille kemudian harus melanjutkan perjalanannya sendiri, mula-mula menumpang truk Italia, kemudian, karena merasa hal ini terlalu lambat; dia mencoba peruntungannya di sebuah lapangan terbang dengan sia-sia. Akhirnya dia pergi ke Jenderal yang bertanggung jawab atas depot perbekalan, dan meyakinkannya bahwa dia harus sudah siap untuk beroperasi di hari berikutnya. Karakter Marseille ternyata menarik bagi sang Jenderal dan dia memutuskan untuk meminjamkan Opel Admiral miliknya, lengkap dengan sopirnya. “Kamu bisa membayarku kembali dengan mendapatkan lima puluh kemenangan, Marseille!” adalah kata-kata perpisahannya. Pada akhirnya ia berhasil menyusul skuadronnya dan tiba pada tanggal 21 April. Marseille lalu mencetak dua kemenangan lagi pada tanggal 23 dan 28 April, yang pertama baginya di medan Afrika Utara. Namun, pada tanggal 23 April, Marseille sendiri ditembak jatuh pada misi ketiganya hari itu oleh Sous-Letnan James Denis (dengan rekor 8,5 kemenangan) seorang pilot Prancis Merdeka yang bergabung dengan Skuadron No. 73 RAF, dan menerbangkan pesawat Hawker Hurricane. Bf 109 Marseille menerima hampir 30 tembakan di area kokpit, dan tiga atau empat menghancurkan kanopinya. Saat Marseille mencondongkan tubuh ke depan, peluru lawan meleset beberapa inci darinya. Marseille berhasil mendaratkan pesawat tempurnya.

Sous-Letnan James Denis (dengan rekor 8,5 kemenangan), pilot Prancis Merdeka yang menembak jatuh Marseille hingga dua kali. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Hanya sebulan kemudian, catatan menunjukkan bahwa James Denis menembak jatuh Marseille lagi pada tanggal 21 Mei 1941. Marseille menyerang Denis, tetapi terbang melampaui targetnya. Sebuah pertempuran udara kembali lagi terjadi, di mana Denis sekali lagi mengalahkan Marseille. Di antara pertempuran dengan Denis, Marseille sempat menjatuhkan sebuah pembom Bristol Blenheim pada tanggal 28 April. Blenheim (T2429), dari Skuadron No.45 RAF, yang dikemudikan oleh B. C. de G. Allan, jatuh menewaskan kelima orang di dalamnya. Jan Yindrich, seorang tentara Polandia, yang menyaksikan pertempuran itu, kemudian berkata: “ketika sebuah Blenheim datang menderu di atas kepala kami sekitar 50 kaki (15,24 meter), terdapat suara tembakan senapan mesin yang hebat dan pada awalnya saya pikir pesawat Blenheim itu telah melakukan kesalahan, dan menembaki kami atau memilih tempat yang tidak pas untuk menembakkan senjatanya. Peluru berdesing, jadi kami berlindung ke dalam parit. Sebuah Messerschmitt ternyata menempel ketat di ekor Blenheim, dan bertanggung jawab atas peluru-peluru yang menembaki kami. Blenheim itu kemudian meraung menuruni “Wadi”, ke arah laut, mencoba melarikan diri dari pesawat Messerschmitt itu, tetapi Messerschmitt itu terlalu dekat. Pesawat Blenheim itu lalu jatuh dari langit dan jatuh ke laut. Pesawat itu menghilang sama sekali tidak meninggalkan jejak, sedangkan Messerschmitt yang mengejarnya berbelok dan terbang ke arah daratan lagi.”

Pembom Bristol Blenheim Mk. IV. Pada tanggal 28 April 1941, Marseille menembak jatuh sebuah Blenheim milik RAF. (Sumber: https://co.pinterest.com/)

Sementara itu, dikenal sama-sama sangat norak dan eksentrik, Neumann diketahui tinggal di gerobak sirkus besar yang dia temukan di Prancis dan dikirim jauh-jauh ke Afrika Utara. Di tempat ini muncul legenda Neumanns bunte Buhne (panggung warna-warni Neumann), dan di sini juga para pilotnya sering berkumpul untuk minum dan melakukan apa yang bisa ditawarkan medan Afrika Utara untuk bersenang-senang. Neumann adalah pilot tua yang telah terbang dalam Perang Saudara Spanyol, dan dia melihat pada diri Marseille terdapat keberanian dan bakat, serta kemauan untuk dapat dibentuk menjadi pilot pesawat tempur yang luar biasa, jika saja dia bisa menguasai jiwa muda Jochen. Neumann kemudian mendesak Marseille untuk memperlambat, bersabar, berhenti dari mencoba memaksakan keberuntungannya dalam menantang maut dalam setiap misi yang diterbangkannya. Pada saat itu, dia telah menjatuhkan atau merusak empat pesawat Bf 109E lainnya, termasuk pesawat versi tropis dari pesawat itu yang Pada saat ini, dia telah menabrak atau merusak empat pesawat Bf 109E lainnya, termasuk pesawat tropis yang diterbangkannya pada tanggal 23 April 1941. Tingkat kemenangan Marseille waktu itu masih terbilang rendah, dan dia melewati bulan Juni hingga Agustus tanpa kemenangan. Dia semakin frustrasi setelah kerusakan memaksanya untuk mendarat darurat pada dua kesempatan: sekali pada tanggal 14 Juni 1941 dan sekali lagi setelah dia terkena tembakan dari darat di atas Tobruk dan dipaksa mendarat dengan “buta”. Taktiknya untuk menukik ke dalam formasi yang berlawanan sering membuatnya diserang dari segala arah, mengakibatkan pesawatnya rusak dan tidak bisa diperbaiki. Pada titik ini Eduard Neumann sendiri sudah kehilangan kesabarannya, dan bahkan melarang Marseille terbang selama tiga hari, karena jengkel dengan berbagai kecelakaan pesawat Messerschmitt yang tak ada habisnya saat dibawa pulang oleh bocah itu.

Eduard Neumann, komandan Marseille di Afrika Utara. Meski sempat jengkel dengan “penyakit” Marseille yang hobby merusak pesawat, namun Neumann menyadari betul potensi besar Marseille sebagai pilot tempur. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Bagian dari masalah tampaknya bahwa pada tahap awal karirnya, Marseille adalah seperti lelucon Rodney Dangerfield: Dia tidak dihormati. Dia adalah seorang bocah, dan beberapa dari pilot yang lebih tua membencinya karena sikap flamboyan dan kesadaran privilagenya. (Usia rata-rata dari rekan satu skuadronnya biasanya adalah 26 tahun, dan jika Anda ingat masa muda Anda sendiri, perbedaan usia lima tahun itu hampir berbeda satu generasi.) Dia benar-benar tidak cocok sebagai pilot pesawat tempur. Meski setidaknya dia sendiri tidak berpikir begitu. Marseille memiliki apa yang oleh para psikolog biasa sebut sebagai “inferiority complex.” Dia ingin disukai dan dikagumi, dan dia tidak ingin menjadi objek sarkasme dari petugas medis SAR, lelucon dari rekan skuadronnya. Bocah ini tidak pernah (setidaknya selama Pertempuran di Inggris) mendapat pujian yang dia rasa pantas dia dapatkan dari para komandannya. Saat berbasis di Prancis, ia pernah diperintahkan untuk melakukan penerbangan demonstrasi pesawat Messerschmitt untuk seorang jenderal tamu, karena tidak dapat disangkal bahwa ia adalah pilot aerobat terbaik di skuadronnya. Dia menutup penerbangannya dengan mengambil sebuah saputangan dari tiang, dengan ujung sayapnya hanya satu meter di atas landasan. Saat mendarat, dia tidak diberi ucapan selamat melainkan dilarang terbang dan dikurung di pangkalan selama lima hari karena melanggar batasan ketinggian minimum lima meter. (Meskipun mungkin jenderal yang bertamu itu sendiri yang memerintahkan hukuman, faktanya tidak ada yang membatalkan hukumannya setelah jenderal itu pergi.) Dan Marseille masih menjadi prajurit nonkom, meski setelah dia mulai menjatuhkan pesawat Hurricane dan Bristol Blenheim di Afrika Utara. “Saya Oberfähnrich (kadet senior, pada dasarnya) tertua di Luftwaffe,” candanya dengan muram. 

TEKNIK MENEMBAK

Walau banyak mengalami kekecewaan, Marseille tetap bertahan, dan menciptakan program pelatihan mandiri yang unik untuk dirinya sendiri, baik secara fisik maupun taktis, yang menghasilkan tidak hanya kesadaran situasional yang luar biasa, namun juga keahlian menembaknya, serta pengendalian penuh percaya diri atas pesawat yang diterbangkannya. Marseille kemudian mengembangkan taktik tempurnya sendiri yang unik. Sementara pelatihan penembakan apa pun yang didapatnya sebagai pilot Luftwaffe, hal itu tampaknya tidak banyak berpengaruh pada Marseille, yang memiliki ide sendiri tentang cara menyerang dan menembak. Butuh beberapa saat, tetapi dia akhirnya menjadi ahli dalam menembak defleksi — konsep mengincar target dan membiarkannya terbang ke arah peluru yang ditembakkan daripada menembakinya dari arah belakang atau bahkan dari arah depan. Sebaliknya, Marseille lebih suka mengincar lawannya dari arah samping. Bahkan dia akhirnya mengetahui bahwa waktu optimal untuk menarik pelatuk adalah ketika target menghilang di bawah hidung Messerschmitt-nya, jika kedua pesawat melakukan manuver G dalam pertempuran penuh manuver (yang biasanya terjadi di antara pilot-pilot pesawat tempur yang tahu benar apa yang sedang mereka lakukan). Marseille mengerti bahwa jika dia menembak sambil berbelok keras, arah pelurunya sebenarnya mengarah ke bawah relatif terhadap jalur pesawatnya sendiri; dimana pada dasarnya peluru “jatuh” agak dibawah laras senjatanya. Marseille sering berlatih taktik ini dalam perjalanan kembali dari misi dengan rekan-rekannya. Menariknya, satu-satunya angkatan udara Perang Dunia II yang secara serius melatih para pilotnya dalam teknik penembakan defleksi adalah angkatan laut AS dan Jepang. Keduanya menerbangkan pesawat tempur bermesin radial dengan hidung pendek dan tampilan over-the-cowling yang lebih baik. “Dengan hidung panjang [seperti Me-109), terutama jika Anda duduk rendah di dalam kokpit, Anda hanya dapat melihat sekitar satu derajat atau lebih di bawah sumbu longitudinal pesawat,” kata Robert Shaw, mantan pilot pesawat F-4 dan F-14 dan penulis buku teks otoritatif “Fighter Combat: Tactics and Maneuvering. “

Marseille saat briefing. Dalam bertempur, Marseille menguasai teknik menembak khusus, yang meski sukar, namun ia bisa menguasianya dengan baik. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Lufbery Circle, manuver standar pilot-pilot Inggris. Marseille tidak segan untuk menyerang langsung ke tengah-tengah manuver semacam ini untuk mendapatkan mangsanya. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Letnan Marseille berpose dengan Hawker Hurricane dari Skuadron No. 213 yang ditembaknya. (Sumber: Bundesarchiv Bild 101I-440-1313-03 Opitz/https://www.historynet.com/)

Jadi Anda tidak bisa mendapatkan banyak keuntungan, karena jika targetnya berputar, Anda juga harus berbelok, untuk menjaga hidung pesawat Anda di depannya, dan itu pada akhirnya akan menempatkan pesawat target di bawah hidung Anda sehingga Anda tidak bisa Lihat dia. “Marseille kemungkinan besar akan menempatkan dirinya pada bidang dimana targetnya akan berbelok dan kemudian menempatkan pembidik senjatanya di depannya,” Shaw berpendapat, “dan ketika target menghilang di bawah hidungnya, dia tahu dia telah menempatkan bidikannya dengan tepat dan akan mulai menembak. Teknik itu akan berhasil selama target terus berbelok pada kecepatan yang sama, yang tampaknya kebanyakan lawan di udara akan berlaku seperti itu. ” Tidak seperti pilot yang menganut doktrin Manfred von Richthofen, yang menyatakan bahwa serangan terbaik adalah serangan yang tidak pernah bisa dilihat oleh musuh, Marseille lebih suka bertempur di tengah lawan-lawannya. Dia seperti seorang petinju yang melompat dan memukul, melancarkan pukulan bertubi-tubi, begitu ronde dimulai. Ketika diserang, kelompok pesawat RAF sering melakukan manuver lingkaran Lufbery, semua orang akan terbang mengorbit sehingga setiap pesawat memiliki teman yang melindungi ekornya sementara pesawatnya sendiri melindungi pesawat rekan mereka di depannya. Marseille biasanya terjun langsung diantara manuver Lufbery musuhnya, kadang-kadang bahkan bergabung dengan mereka selama beberapa menit pada suatu waktu. (Pesawat Me-109 yang berada seperempat mil di depan, jika dilihat dari belakang, tidak terlihat jauh berbeda dari sebuah pesawat Hurricane Inggris). Marseille diketahui selalu berusaha meningkatkan kemampuannya. Dia bekerja untuk memperkuat kaki dan otot perutnya, untuk membantunya menoleransi gaya g ekstrim saat bermanuver dalam pertempuran udara. Marseille juga meminum susu dalam jumlah tidak normal dan menghindari penggunaan kacamata hitam, untuk meningkatkan penglihatannya.

STAR OF AFRICA

Dia akhirnya dipromosikan menjadi Leutnant (letnan dua) pada bulan Juni 1941, ketika dia membukukan 11 kemenangan. Sementara itu, salah satu bakat yang dikembangkan Marseille adalah kemampuannya untuk dengan cepat mengubah fokusnya dari satu target ke target berikutnya segera setelah dia melepaskan tembakan. Dia dengan cepat bisa mengembangkan rasa kesadaran situasionalnya. Ketika kru darat memuat ulang amunisinya, mereka menemukan bahwa dia hanya menggunakan 10 tembakan untuk menjatuhkan sebuah pesawat. Dia kemudian biasa menggunakan rata-rata 60 peluru per kemenangan yang dibuatnya, seperti yang dicatat oleh para kru senjata yang merawat pesawatnya setelah misi, dan kemampuannya untuk menghindari terpaku pada target dan menjatuhkannya lalu akan menghasilkan rekor kemenangan yang luar biasa. Ketika Marseille mulai mengklaim kemenangan atas pesawat-pesawat Sekutu secara teratur, kadang-kadang ia memperhatikan nasib pilot-pilot yang dijatuhkannya secara pribadi, dengan mengemudi ke lokasi kecelakaan terpencil untuk menyelamatkan penerbang Sekutu yang jatuh. Pada tanggal 13 September 1941, Marseille menembak jatuh Pat Byers dari Skuadron No. 451 Angkatan Udara Australia (RAAF). Marseille terbang ke lapangan terbang tempat Byers berpangkalan dan menjatuhkan catatan yang memberi tahu orang-orang Australia tentang kondisi dan perawatannya. Dia kembali beberapa hari kemudian untuk menambahkan pada catatan sebelumnya dengan berita kematian Byers. Marseille terus mengulangi penerbangan semacam ini meski diperingatkan oleh Neumann bahwa Göring sendiri telah melarang penerbangan semacam ini lagi. Setelah perang, rekan JG 27 Marseille, Werner Schröer menyatakan bahwa Marseille melakukan aksi ini sebagai “penebusan dosa”, dimana dia “suka menembak jatuh pesawat” tetapi “tidak suka membunuh pilotnya “ Akhirnya pada tanggal 24 September 1941, segala latihannya membuahkan hasil, dengan kesuksesannya menembak jatuh lebih dari satu pesawat dalam satu misi. Marseille mengklaim telah menembak jatuh empat pesawat Hurricane dari Skuadron No. 1, Angkatan Udara Afrika Selatan (SAAF). Pada pertengahan Desember, ia telah mencapai 25 kemenangan dan dianugerahi Medali German Cross in Gold. Pada bulan November/Desember 1941 unitnya dikonversi untuk menggunakan pesawat tempur Bf 109F-4/trop, varian yang digambarkan sebagai “pengumpul” Experten (ahli). 4 kemenangannya tanggal 24 September merupakan kemenangannya yang ke 19-23. 

Werner Schröer, rekan lama Marseille yang mengenal karakter Marseille yang amat menghargai nyawa lawannya. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Medali German Cross in Gold untuk kemenangan ke-25 Marseille. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Neumann (kanan) menyematkan German Cross in Gold pada Marseille. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Sementara itu, Marseille mengalami kedukaan mendalam pada akhir tahun 1941. Hans-Joachim diketahui memiliki seorang adik perempuan, Ingeborg “Inge”. Saat sedang cuti sakit di Athena pada akhir bulan Desember 1941, ia dipanggil ke Berlin oleh sebuah telegram dari ibunya. Setelah tiba di rumah, dia mengetahui bahwa saudara perempuannya telah dibunuh oleh kekasih yang cemburu saat tinggal di Wina. Hans-Joachim kemudian tidak akan pernah pulih secara emosional dari tragedi ini. Meski demikian, Keberhasilan Marseille sebagai pilot tempur mulai terlihat pada awal tahun 1942. Dia mengklaim kemenangannya yang ke-37-40 pada tanggal 8 Februari 1942 dan kemenangan ke-41-44 empat hari kemudian yang membuatnya mendapatkan Knight’s Cross of the Iron Cross pada bulan yang sama dengan membukukan kemenangannya yang ke-46. Marseille diketahui kerap menyerang dalam kondisi yang oleh banyak pilot lainnya dianggap tidak menguntungkan, tetapi keahlian menembaknya telah memungkinkan dia melakukan pendekatan dengan cukup cepat untuk menghindari tembakan balasan dari dua pesawat yang terbang di kedua sisi target. Penglihatan Marseille yang luar biasa juga memungkinkan dia untuk melihat lawan sebelum dia bisa terlihat. Hal ini memungkinkan dia untuk mengambil tindakan yang tepat dan bermanuver ke posisi yang tepat untuk menyerang. Dalam pertempuran, metode Marseille yang tidak ortodoks membuatnya kerap beroperasi dalam unit kecil yang terdiri dari pemimpin penerbangan / wingman, yang dia yakini sebagai cara pertempuran paling aman dan paling efektif dalam kondisi visibilitas tinggi di langit Afrika Utara. Marseille “bekerja” sendirian dalam pertempuran, sementara menjaga wingmannya pada jarak yang aman sehingga dia tidak akan bertabrakan atau menembaknya karena kesalahan. Marseille sering menembak jatuh dua pesawat dalam satu misi tempur dan empat pesawat sehari. Pada satu misi dia menjatuhkan enam pesawat tempur P-40 dalam enam menit, dan dua minggu kemudian dia mencetak enam kemenangan dalam waktu tujuh menit. 

Awak darat mempersiapkan Messerschmitt Me-109F/Trop Hans-Joachim Marseille untuk misi pada bulan Februari 1942. (Sumber: Bildarchiv Preussischer Kulturbesitz/Art Resource/https://www.historynet.com/)
Perawat pesawat Marseille, Hoffmann (kiri) dan Berger, membersihkan lubang salah satu kanon Bf 109. “Yellow 14” W.Nr. 8673 yang dapat dilihat di latar belakang. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)
Marseille melihat saat mekaniknya menambahkan tanda kemenangan ke-50 pada pesawat Me-109F-4/Trop “Yellow 14” miliknya di Martuba (Sumber: Bildarchiv Preussischer Kulturbesitz/Art Resource/https://www.historynet.com/)

Keberhasilannya sebagai pilot pesawat tempur pada akhirnya menyebabkan kenaikan pangkat dan tanggung jawabnya yang lebih sebagai seorang perwira. Tanggal 1 Mei 1942 dia menerima promosi awal yang luar biasa ke pangkat Oberleutnant, yang diikuti dengan penunjukannya sebagai Staffelkapitn dari unit 3./JG 27 pada tanggal 8 Juni 1942, dengan demikian ia menggantikan Oberleutnant Gerhard Homuth yang mengambil alih komando I./JG 27. Marseille nyaris celaka pada tanggal 13 Mei 1942, ketika Bf 109-nya rusak selama pertempuran udara melawan 12 pesawat tempur Curtiss Kittyhawk (Mk I) dari Skuadron No. 3 RAAF, di tenggara Gazala dan di atas Teluk Bomba (“Teluk Gazala”). Dengan wingman-nya, Marseille berjumpa dengan pesawat-pesawat Kittyhawk. Setelah dia menjatuhkan salah satu pilot Australia, Flying Officer Graham Pace di AL172, Bf 109 Marseille terkena tembakan di tangki minyak dan baling-balingnya, kemungkinan dari Flying Officer Geoff Chinchen, yang melaporkan merusak salah satu pesawat Messerschmitt. Marseille kemudian tetap berhasil menembak jatuh Kittyhawk lainnya (Sersan Colin McDiarmid; AK855), sebelum membawa pesawatnya yang terlalu panas kembali ke pangkalan. Perbaikan Bf 109 Marseille memakan waktu dua hari. Kemenangan udaranya ini dicatat sebagai kemenangan nomor 57-58. Beberapa minggu kemudian, pada tanggal 30 Mei, Marseille menunjukkan belas kasihan lainnya setelah menyaksikan kemenangannya yang ke-65 atas Pilot Officer Graham George Buckland dari Skuadron ke-250 RAF. Buckland yang melompat dari pesawatnya menghantam ekor pesawat tempur Marseille dan jatuh hingga tewas ketika parasutnya tidak terbuka. Setelah mendarat, Marseille pergi ke lokasi kecelakaan. Pesawat P-40 Buckland diketahui telah mendarat di dalam garis pertahanan Sekutu tetapi Buckland sendiri tewas di dalam wilayah Jerman. Marseille kemudian menandai makamnya, mengumpulkan surat-suratnya dan memverifikasi identitasnya, lalu terbang ke lapangan terbang Buckland untuk mengirimkan surat penyesalannya. Buckland meninggal hanya dua hari sebelum ulang tahunnya yang ke-21. 

Curtiss P-40 E Kittyhawk Mk I, milik Graham George Buckland, 30 Mei 1942. Buckland menjadi korban Marseille yang ke 65. Buckland gugur hanya 2 hari sebelum ulang tahunnya yang ke-21. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Sementara itu, metode serangan Marseille yang berupaya untuk memecah formasi lawan, yang dia sempurnakan, terus menghasilkan proporsi kemenangan yang tinggi, dan dengan cepat, mencetak beberapa kemenangan per misi serangan. Pada tanggal 3 Juni 1942, Marseille menyerang sendirian formasi 16 pesawat tempur Curtiss P-40 dan menembak jatuh enam pesawat dari No. 5 Skuadron SAAF, lima di antaranya dalam enam menit, termasuk tiga ace: Robin Pare (enam kemenangan), Cecil Golding ( 6,5 kemenangan) dan Andre Botha (lima kemenangan). Keberhasilan ini meningkatkan skornya lebih jauh, dengan mencatat kemenangannya yang ke-70-75. Marseille kemudian dianugerahi Knight’s Cross of the Iron Cross dengan Oak Leaves pada 6 Juni 1942. Pada tanggal 17 Juni 1942, Marseille mengklaim kemenangan udaranya yang ke-100. Dia adalah pilot Luftwaffe ke-11 yang mencapai angka “keramat” itu. Marseille kemudian kembali ke Jerman untuk cuti dua bulan dan hari berikutnya dianugerahi  medali Knight’s Cross of the Iron Cross with Oak Leaves and Swords. Pada tanggal 6 Agustus, ia memulai perjalanannya kembali ke Afrika Utara ditemani oleh tunangannya Hanne-Lies Küpper. Pada tanggal 13 Agustus, Marseille bertemu Benito Mussolini di Roma dan dianugerahi penghargaan militer tertinggi Italia untuk keberanian, yakni Medaglia d’Oro al Valor Militare. Saat berada di Italia, Marseille menghilang selama beberapa waktu sehingga mendorong pihak berwenang Jerman untuk menyusun laporan orang hilang, yang disampaikan oleh kepala Gestapo di Roma, Herbert Kappler. Dia akhirnya ditemukan. Menurut rumor dia kabur dengan seorang gadis Italia dan akhirnya dibujuk untuk kembali ke unitnya. Luar biasanya, tidak ada yang pernah mengumbar insiden itu dan tidak ada dampak yang menimpa Marseille atas perselingkuhan ini.

Lukisan “Bf109F-4 Trop JG27 milik Hans-Joachim Marseille karya Arkadiusz Wróbel. (Sumber: https://mobile.twitter.com/)
Medali Knight’s Cross of the Iron Cross with Oak Leaves and Swords untuk kemenangan ke-100 Marseille. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Meninggalkan tunangannya di Roma, Marseille kembali ke tugas tempurnya pada tanggal 23 Agustus. 1 September 1942 kemudian menjadi hari paling sukses bagi Marseille, dengan dia sendirian mengklaim menghancurkan 17 pesawat Sekutu dalam 3 misi (kemenangan no. 105-121), dan bulan September itu dia akan mencetak 54 kemenangan, bulan yang paling produktif baginya. 17 pesawat yang diklaim dijatuhkannya termasuk delapan diantaranya dibuat dalam waktu 10 menit; sebagai hasil dari prestasi ini, ia dihadiahi mobil Volkswagen Kübelwagen oleh skuadron Regia Aeronautica, di mana rekan-rekannya dari Italia telah melukis tulisan “Otto” (bahasa Italia: Otto = delapan). Ini adalah kemenangan paling banyak atas pilot-pilot angkatan udara Sekutu Barat oleh seorang pilot dalam satu hari. Anehnya, itu bukan rekor kemenangan terbaik dalam sehari sepanjang masa: Focke Wulf Fw-190 yang diterbangkan oleh “ace” Emil Lang berhasil menembak jatuh 18 pesawat Soviet pada tanggal 3 November 1943. Meski begitu untuk aksinya ini, ia tetap mendapatkan penghargaan Knight’s Cross of the Iron Cross with Oak Leaves, Swords and Diamonds.

Marseille berpose dengan Volkswagen Kübelwagen yang dicat tulisan “Otto” (Otto = delapan), sebagai penghargaan atas kemenangan fenomenalnya, yakni 17 “kill” dalam sehari. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

BINTANG YANG MEREDUP

Pada tanggal 3 September 1942 Marseille mengklaim enam kemenangan lagi (kemenangan nomor. 127-132) tetapi terkena tembakan dari ace Inggris-Kanada James Francis Edwards. Der Adler, majalah propaganda dua mingguan yang diterbitkan oleh Luftwaffe, juga melaporkan aksinya dalam terbitan volume 14 tahun 1942. Marseille kemudian menjadi terkenal melalui propaganda yang memperlakukan para pilot pesawat tempur sebagai superstar. Dia secara teratur menandatangani kartu pos dengan gambarnya. Selain Der Alder, kisahnya diterbitkan di Die Berliner, Illustrierte, Zeitung dan Die Wehrmacht. Tiga hari kemudian Edwards kemungkinan menewaskan Günter Steinhausen, teman Marseille. Keesokan harinya, pada tanggal 7 September 1942, teman dekat Marseille lainnya, Hans-Arnold Stahlschmidt dinyatakan hilang saat bertugas. Kehilangan pribadi ini sangat membebani pikiran Marseille bersama dengan tragedi yang dialami keluarganya. Tercatat dia hampir tidak berbicara dan menjadi lebih murung di minggu-minggu terakhir hidupnya. Ketegangan pertempuran juga menyebabkan kerap tidur berjalan di malam hari dan gejala lain yang dapat ditafsirkan sebagai gejala gangguan post traumatic stress disorder (PTSD). Marseille sendiri tidak pernah mengingat peristiwa-peristiwa ini. Dia terus mencetak beberapa kemenangan sepanjang bulan September, termasuk tujuh kemenangan pada tanggal 15 September (nomor 145-151). Antara tanggal 16 dan 25 September, Marseille gagal meningkatkan skornya karena lengannya retak, setelah bertahan dalam pendaratan darurat segera setelah misi tanggal 15 September. Akibatnya, dia sempat dilarang terbang oleh Eduard Neumann. Tetapi pada hari yang sama, Marseille meminjam sebuah pesawat Macchi C.202 ’96–10′ dari ace Italia Tenente Emanuele Annoni, dari unit 96a Squadriglia, 9° Gruppo, 4° Stormo, yang berbasis di Fuka, untuk melakukan uji terbang. Tetapi penerbangan satu kali itu berakhir dengan pendaratan dengan roda ke atas, ketika jagoan Jerman itu secara tidak sengaja mematikan mesin, karena kontrol throttle di pesawat Italia berlawanan dengan yang ada di pesawat Jerman.

Marseille menjadi cover majalah Der Adler. (Sumber: https://airpowerasia.com/)
Pemimpin Skuadron James Francis Edwards yang kemungkinan menewaskan Günter Steinhausen, teman Marseille. Kehilangan rekan-rekannya sangat memukul psikologis Marseille yang mulai kelelahan. (Sumber: https://www.flying-tigers.co.uk/)

Marseille hampir melampaui skor 59 kemenangan temannya Hans-Arnold Stahlschmidt hanya dalam waktu lima minggu. Namun, keunggulan material yang sangat besar dari Sekutu berarti tekanan yang diberikan pada pilot Jerman yang kalah jumlah sekarang menjadi semakin parah. Pada saat ini, kekuatan unit-unit tempur Jerman adalah 112 pesawat (hanya 65 yang dapat operasional) melawan pasukan Inggris yang dilengkapi dengan sekitar 800 pesawat. Marseille sementara itu telah menjadi lelah secara fisik oleh tensi pertempuran yang berjalan dengan cepat. Setelah pertempuran terakhirnya pada tanggal 26 September, Marseille dilaporkan sudah di ambang ketahanannya setelah terlibat dalam pertempuran 15 menit dengan formasi pesawat-pesawat Spitfire, di mana ia mencetak kemenangan ketujuh hari itu. Ini adalah klaim kemenangan ke-158 Marseille. Setelah mendarat pada sore hari tanggal 26 September 1942, dia jelas kelelahan secara fisik. Beberapa catatan menyinggung anggota Skuadronnya yang tampak terkejut dengan kondisi fisik Marseille. Marseille, menurut laporan pasca-pertempurannya sendiri, telah bertempur melawan pilot Spitfire dalam pertempuran udara yang intens yang dimulai dari ketinggian tinggi dan turun ke ketinggian rendah. Marseille menceritakan bagaimana dia dan lawannya berusaha keras untuk mengejar satu sama lain. Keduanya berhasil dan menembak tetapi setiap kali yang dikejar berhasil membalikkan keadaan pada penyerangnya. Akhirnya, dengan sisa bahan bakar hanya tinggal 15 menit, dia terbang naik ke arah matahari. Pesawat tempur RAF itu mengikutinya dan terperangkap dalam sorotan sinar matahari. Marseille melakukan manuver turn and roll yang ketat, dan melepaskan tembakan dari jarak 100 meter. Spitfire itu terbakar dan terlepas sayapnya. Pesawat itu jatuh ke tanah dengan pilot masih ada di dalam. Marseille menulis, “Itu adalah musuh terberat yang pernah saya hadapi. Kemampuan berbeloknya luar biasa… Saya pikir itu akan menjadi pertempuran terakhir saya”. Sayangnya pilot dan unit pesawat yang ditembak jatuh Marseille tetap tidak teridentifikasi.

Hans-Joachim Marseille bersama Erwin Rommel dan lainnya, di Libya, 16 Sep 1942. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Karir Marseille sayangnya berakhir dengan menyedihkan dan konyol. Dia menerbangkan pesawat tempur Me-109 baru—model G terbaru—pada tanggal 30 September 1942. Dia sebenarnya cukup senang dengan 109F-nya dan tidak terlalu menyukai model G, karena mereka memiliki reputasi sering mengalami kerusakan mesin. Tetapi Field Marshal Albert Kesselring sendiri telah memerintahkan Marseille untuk beralih ke model G setelah ace muda itu mengabaikan beberapa permintaan komandan skuadronnya agar dia melakukannya. Dalam dua misi pada tanggal 26 September 1942, Marseille telah menerbangkan Bf 109 G-2/trop, di mana ia telah menembak jatuh tujuh pesawat Sekutu. Pesawat No. 14256 (Mesin: Daimler-Benz DB 605 A-1, W.Nr. 77 411), akan menjadi pesawat terakhir yang diterbangkan oleh Marseille. Selama tiga hari Staffel Marseille diistirahatkan dan dibebaskan dari tugas terbang. Pada tanggal 28 September Marseille menerima telepon dari Generalfeldmarschall Erwin Rommel, yang meminta untuk kembali bersamanya ke Berlin. Hitler akan berpidato di Berlin Sportpalast pada tanggal 30 September dan Rommel dan Marseille diharapkan hadir. Marseille menolak tawaran ini, dengan alasan bahwa ia dibutuhkan di garis depan dan telah mengambil cuti selama tiga bulan pada tahun itu. Marseille juga mengatakan dia ingin mengambil cuti saat Natal, untuk menikahi tunangannya Hanne-Lies Küpper. Pada tanggal 30 September 1942, sekembalinya dari misi rutin pengawalan pesawat pembom tukik Stuka yang tidak menemui perlawanan, Marseille memang mengalami kerusakan mesin betulan, dengan kokpitnya dipenuhi asap di dekat Masjid kawasan Sidi Abdel Rahman. Ketika asap dan api menjadi tak tertahankan, dia melakukan prosedur bailout yang normal—dia telah melakukannya berkali-kali—dengan membalikkan pesawat, membuka kanopi, melepaskan tali pengamannya dan menjatuhkan diri.

Puing-puing pesawat Marseille pada tanggal 30 September 1942; kendaraan di latar belakang menandai tempat di mana Marseille mendarat. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Piramida Marseille di Sidi Abd el-Rahman, Mesir. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Asap dan matanya yang tersengat ternyata telah membuatnya tidak menyadari, bahwa pesawat Messerschmitt sudah dalam posisi menukik terbalik yang rendah, turun jauh lebih cepat daripada kecepatan normalnya. (Wingman-nya memperkirakan kecepatannya sekitar 400 mph.) Marseille langsung terlempar, dadanya menghantam stabilizer vertikal pesawatnya, yang entah membunuhnya seketika atau melukainya cukup parah sehingga dia tidak pernah membuka parasutnya. Petugas medis pertama yang mencapai tubuh tertelungkup di pasir gurun membalikkan mayat pilot Jerman itu ke punggungnya. Dokter kemudian menulis dalam laporannya: “Fitur halus wajahnya di bawah dahi yang tinggi hampir tidak terganggu. Itu adalah wajah seorang bocah yang kelelahan.” Saat jenazahnya diperiksa, seorang dokter resimen mencatat bahwa jam tangan Marseille berhenti tepat pada pukul 11:42 pagi. Hans-Joachim Marseille hanya berjarak 2,5 bulan sebelum ulang tahunnya yang ke-23. Pemakaman Marseille berlangsung pada tanggal 1 Oktober 1942 di Makam Pahlawan di Derna, Libya dengan Generalfeldmarschall Albert Kesselring dan Eduard Neumann menyampaikan pidato mengenangnya. Plakat sederhana yang didirikan di atas makamnya oleh pilot JG27 mungkin adalah batu nisan yang paling pas menggambarkan sosok Marseille: ‘Disini dimakamkan, dia yang tak terkalahkan, Hauptmann Hans Marseille’.

REFLEKSI KARIR MARSEILLE 

Yang kemudian menjadi pertanyaan selama diskusi tentang karir Jochen Marseille adalah sebuah pertanyaan besar mengenai: “Apakah bocah itu benar-benar menembak jatuh 158 pesawat dalam kurun waktu satu setengah tahun? Apakah dia benar-benar pernah menembak 17 pesawat dalam satu hari?” Pertanyaan itu wajar, mengingat pilot jagoan Amerika yang paling produktif, Richard Bong, “hanya” bisa menembak jatuh total 40 pesawat Jepang, sementara prestasi terbaik yang dapat dilakukan oleh David McCampbell, seorang pilot Amerika berpengalaman yang menerbangkan pesawat tempur Angkatan Laut Grumman F6F, yang mesinnya berkekuatan 2.000 hp, pada musim gugur 1944 adalah sembilan kemenangan dalam sehari melawan pilot-pilot muda Jepang (yang rata-rata cuma punya catatan 50 jam terbang) di pesawat Mitsubishi Zero yang sudah tua. Apakah dengan ini dapat dibilang pilot Luftwaffe jauh lebih baik (dari pilot sekutu)? Lihat saja daftar kemenangan udara dalam Perang Dunia II menurut asal negara—Inggris Raya, ace dengan skor tertinggi berada di angka 26 hingga 51 kemenangan, Jepang dengan 28 hingga 87 kemenangan, sementara Amerika di kisaran 20 hingga 40 kemenangan. Dan Jerman sendiri? Terdapat 16 pilot Luftwaffe yang mampu menembak jatuh 192 hingga 352 pesawat musuh. Salah satu penjelasan yang sering dilontarkan adalah bahwa sementara pilot -pilot Sekutu kerap menyerang musuhnya secara kelompok bila memungkinkan, sebaliknya Luftwaffe memiliki pilot-pilot spesialis jago menembak—Experten, atau yang kerap kita sebut sebagai ace. Pilot seperti Marseille biasanya diberi kesempatan untuk menembak jatuh sesering mungkin sementara wingman mereka mengawasi punggung mereka. Sulit membayangkan seorang pilot Amerika berkata, “Kamu tembak jatuh dia, Chuck, kamu jauh lebih baik daripada aku …”

Richard Bong, Ace terbesar Amerika dengan 40 kemenangan udara. Salah satu sebab pilot-pilot sekutu tidak dapat mengumpulkan skor kemenangan seperti Marseille, adalah karena pembatasan jumlah misi tempur yang diterapkan. Bong kemudian menjadi pilot uji setelah menyelesaikan penugasannya di Pasifik. (Sumber: https://worldwarwings.com/)

Marseille juga kerap beroperasi secara solo atau dengan wingman tunggal sesering mungkin; dia tidak ingin sekelompok dengan rekan skuadron yang kikuk menghalangi jalannya. Sementara itu ketika hanya ada satu saksi penembakan, atau mungkin tidak ada satu pun, wajar untuk mempertanyakan legitimasi beberapa konfirmasi kemenangannya. “Dalam panasnya pertempuran, Anda tidak dapat membuang waktu untuk memverifikasi klaim,” kata penulis Fighter Combat, Shaw. “Anda melihat potongan-potongan pecahan keluar dari pesawat atau setidaknya berpikir demikian, Anda pikir Anda melihat asap keluar dari pesawat … jika Anda mengikuti pesawat itu dan mengawasinya sampai dia jatuh, Anda mungkin akan ditembak jatuh oleh orang lain. Seseorang jatuh dan sepertinya dia di luar kendali, Anda mengklaimnya. Itu faktanya benar dari sisi kedua belah pihak. ” Apa yang membedakan pilot-pilot Luftwaffe secara khusus dari musuh pilot-pilot negara Barat mereka, bagaimanapun, adalah kebijakan “terbanglah sampai Anda mati” di pihak Jerman. Tidak ada tur yang dibatasi cuma sampai 100 misi untuk pilot-pilot Luftwaffe, tidak ada yang namanya pensiun terhormat dari medan tempur untuk menjadi instruktur. Mereka akan terbang sampai perang usai, sampai mereka terluka terlalu parah untuk terbang lagi, sampai mereka kecapekan secara psikologis atau terbunuh. Tidak banyak dari pilot-pilot veteran ini yang kemudian selamat hingga perang usai. 

Di Jerman, pilot tempur akan terus dipaksa terbang hingga kelelahan, terluka atau gugur seperti Marseille. (Sumber: https://www.3squadron.org.au/)

“Salah satu hal yang sangat menyakitkan bagi pihak Jerman adalah mereka meninggalkan para Experten-nya untuk terus membukukan kemenangan mereka dan akhirnya mati,” Shaw menunjukkan. “Lebih baik memiliki seribu orang yang menghasilkan dua atau tiga kemenangan masing-masing daripada memiliki segelintir pilot yang menghasilkan seratus kemenangan.” Pilot-pilot Amerika menerbangkan sejumlah misi yang telah ditentukan jumlahnya, dan jika mereka selamat, mereka dikirim pulang. (Jumlahnya bervariasi sesuai dengan tahapan masa perang, area operasi dan kebutuhan unit.) Pilot kemudian dapat menjadi sukarelawan untuk menambah beberapa tur, dan banyak yang melakukannya, tetapi ace yang hebat biasanya ditolak untuk kesempatan ini. Dampak psikologi dari memiliki pahlawan nasional tewas jauh melebihi manfaatnya dibanding berharap dia bisa terus mengumpulkan skor kemenangan seperti Marseille. Jika ace Amerika berhasil mencapai 20, 30 atau 40 kemenangan seperti Bong, karir mereka selanjutnya adalah untuk dikerahkan dalam tur mencari dana perang, kampanye publisitas, dan menjadi instruktur berpengalaman. “Alasan besar mengapa pilot-pilot Jerman mencetak lebih banyak kemenangan adalah karena mereka terbang lebih banyak,” kata Shaw. “Mereka terus menerus terbang. Banyak dari mereka sudah mulai terbang sebelum perang, mereka mendapat pelatihan yang baik, mereka memiliki peralatan yang unggul dan pengalaman yang lebih banyak. Mereka juga sebagian besar bertempur diatas wilayah mereka sendiri, dan ketika mereka ditembak jatuh, mereka akan kembali terbang dengan pesawat lain sorenya.” “Terbang-sampai-Anda-mati adalah satu-satunya alasan terbesar begitu banyak ace Jerman mencetak kemenangan seperti yang mereka lakukan,” kata pengamat karir Marseille Robert Tate. 

Erich Hartmann pemegang rekor kemenangan udara tertinggi sepanjang masa dengan 352 kemenangan. Erich Hartmann diketahui menerbangkan sekitar 1.250 misi tempur, berbeda jauh dengan pilot Amerika yang dibatasi hanya 100 misi tempur. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

“Erich Hartmann menerbangkan sekitar 1.250 misi tempur, dan selama waktu itu, dia bertempur melawan musuh sebanyak 800 kali dan menembakkan senjatanya 500 kali. Dan pada akhirnya ia mencetak 352 kemenangan. Ketika Anda melihat angka-angka itu, (rasio kemenangan itu) tidaklah terlalu mengada-ada.” Terapkan persentase yang sama untuk ace Amerika yang terbang 100 misi tempur, dan dia telah terlibat dalam pertempuran melawan musuh sebanyak 64 kali, menembakkan senjatanya 40 kali dan mencetak 28 kemenangan. Dua puluh tujuh pilot Amerika mencetak setidaknya 20 kemenangan atau lebih selama Perang Dunia II, sehingga angka komparatifnya tetap berlaku bahkan di seluruh spektrum baik pilot pesawat tempur hebat hingga paling hebat, baik dia pilot Jerman maupun Amerika. Shaw juga berpikir bahwa tingkat overclaiming (klaim berlebihan) “biasanya antara dua dan tiga kali lipat dari yang sebenarnya, jika Anda kembali melihat jumlah kerugian versus klaim. Dan itu faktanya benar di kedua sisi.” “Apakah Marseille overclaim?” Tate merenung. “Ya, dia mungkin melakukannya. Dia telah menjadi pahlawan bagi saya selama 30 tahun, tapi saya bisa jujur dan mengatakan dia juga melakukan overclaim. Seperti yang mungkin dilakukan setiap pilot pesawat tempur dalam Perang Dunia II. Marseille sangat rentan terhadap overclaiming, karena dia lebih tertarik menggunakan amunisi minimum daripada melenyapkan pesawat musuh secara total.” Beberapa pesawat yang menurut Marseille telah dia jatuhkan hampir pasti berhasil pulang. “Tetapi bahkan jika Marseille melakukan overclaim dan pilot lain melakukannya pada tingkat yang sama, dia faktanya masih menjatuhkan tujuh setengah kali lebih banyak pesawat daripada pilot-pilot Sekutu dengan skor tertinggi di medan gurun dan dua kali lebih banyak kemenangan daripada Pilot Luftwaffe yang mencetak kemenangan tertinggi berikutnya. Marseille masih tetap pilot yang hebat.” Di dunia di mana pertempuran udara tidak akan pernah lagi mengalami pertempuran udara yang melibatkan jumlah pesawat yang luar besar, penembak jitu Hans-Joachim Marseille mungkin juga merupakan tipe pilot semacam itu yang terakhir dari jenis yang unik.

ANTI NAZI

Sementara itu, meskipun ia mungkin telah bertempur untuk Nazi Jerman-nya Hitler, Hans-Joachim Marseille bukanlah penggemar Führer. Menurut penulis biografi Colin Heaton dan Anne-Marie Lewis, yang menghabiskan banyak waktu untuk meneliti kehidupan Marseille, mereka mengatakan bahwa pilot ulung itu “secara terbuka anti-Nazi,” dan melangkah lebih jauh dengan secara terbuka mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap Hitler. Setelah bertemu Hitler pada tahun 1942, Marseille berbicara dengan temannya Eduard Neumann tentang pertemuan tersebut. Neumann mengingat bahwa Marseille tidak terkesan: “Setelah kunjungan pertamanya dengan Hitler, Marseille kembali dan mengatakan bahwa dia berpikir ‘Führer adalah tipe orang yang agak aneh’.” Marseille, yang bukan anggota partai Nazi, juga tercatat mengatakan hal-hal yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan Hitler, bahkan saat sedang bersama dengan para perwira SS. Ketika ditanya apakah dia akan mempertimbangkan untuk bergabung dengan partai Nazi, Marseille menjawab “bahwa jika dia melihat sebuah partai layak untuk diikuti, dia akan mempertimbangkannya, tetapi harus ada banyak wanita menarik di dalamnya.” Heaton dan Lewis mengklaim Hitler sendiri dilaporkan sakit hati oleh komentar tersebut, serta “bingung” karenanya. Ketika ia diberi kesempatan untuk menampilkan sentimen anti-Nazi lebih jauh, Hans-Joachim Marseille melakukannya. Sebagai seorang pianis sekaligus pilot berbakat, Marseille pernah diundang untuk tampil di rumah Willy Messerschmitt, seorang desainer pesawat tempur Jerman. Yang hadir di pesta Messerschmitt adalah keluarga Goebbles, Hermann Goering, dan Adolf Hitler sendiri. Awalnya, Marseille mengikuti instruksi dan memainkan lagu-lagu yang disukai Hitler, termasuk “Für Elise” karya Beethoven. Namun, setelah pertunjukan-pertunjukan itu, tampaknya Marseille tidak dapat menahan untuk membuat jengkel Hitler – dengan menyadari sepenuhnya ketidaksukaan Fuhrer terhadap musik Jazz Amerika, Marseille kemudian mulai memainkan nada ragtime musik jazz di piano. Hitler tampaknya segera berdiri, mengangkat tangannya, dan berkata, “Saya pikir kita semua sudah cukup mendengar (musik).” Hitler pun pergi.

Marseille memainkan musik American Jazz dengan piano milik Messerschmitt di depan Adolf Hitler. Marseile kerap menunjukkan sikap penentangannya terhadap gaya hidup Nazi Jerman. (Sumber: https://airpowerasia.com/)

Marseille dan Mathias. (Sumber: https://blackhistory247.wordpress.com/)

Belakangan bulan itu Marseille diundang ke acara pesta lain, meskipun aksinya sebelumnya telah membuat jengkel orang-orang Nazi. Obergruppenführer Karl Wolff, dari Staf Pribadi Reichsführer-SS, membenarkan bahwa selama kunjungannya, Marseille mendengar percakapan yang menyebutkan tindak kejahatan terhadap orang Yahudi dan orang lain. Ketika Marseille kembali ke unitnya, dia dilaporkan bertanya kepada teman-temannya Franzisket, Clade dan Schröer apakah mereka telah mendengar apa yang terjadi pada orang Yahudi dan jika mungkin ada sesuatu sedang berlangsung yang tidak mereka ketahui. Franszisket ingat bahwa dia telah mendengar bahwa orang-orang Yahudi dipindahkan ke wilayah yang direbut di Timur tetapi informasi yang dia dapat tidak lebih dari itu. Marseille juga menceritakan bagaimana dia mencoba mengajukan pertanyaan tentang orang-orang Yahudi yang telah menghilang dari lingkungannya sendiri, termasuk dokter keluarga yang telah membantu melahirkannya. Terlepas dari status pahlawannya, ketika dia mencoba membawa topik pembicaraan dengan orang-orang yang mendekatinya, pertanyaannya lalu disambut dengan keheningan yang canggung, orang-orang dengan segera mengubah topik pembicaraan, atau bahkan berpaling. Franzisket lalu melihat adanya perubahan sikap Marseille terhadap perjuangan bangsanya. Dia tidak pernah lagi membicarakan hal ini dengan rekan-rekannya lagi. Persahabatan Marseille dengan pembantu angkatnya juga kerap dikaitkan dengan karakter anti-Nazi-nya. Pada tahun 1942, Marseille berteman dengan seorang tawanan perang Tentara Afrika Selatan, Kopral Mathew Letulu, yang dijuluki Mathias. Letuku, alias Mathias, dimana dia dikenal oleh semua personel di JG 27, adalah seorang prajurit kulit hitam Afrika Selatan yang ditawan oleh pasukan Jerman pada pagi hari tanggal 21 Juni 1941 di benteng Tobruk. Mathias awalnya bekerja sebagai sopir sukarelawan dengan 3. Staffel kemudian berteman dengan Marseille dan menjadi pembantu rumah tangganya di medan Afrika. Marseille memilih membawanya sebagai pembantu pribadi daripada mengizinkannya dikirim ke kamp tawanan perang di Eropa. Seiring waktu, Marseille dan Mathias menjadi tak terpisahkan. Marseille prihatin bagaimana Mathias akan diperlakukan oleh unit lain dari Wehrmacht dan pernah berkata “Ke mana saya pergi, Mathias ikut pergi.” Marseille kemudian mendapatkan janji dari komandan seniornya, Neumann, bahwa jika sesuatu terjadi padanya (Marseille) Mathias akan tetap bersama unitnya. Mathias kemudian tetap bersama dengan unit JG 27 sampai akhir perang dan menghadiri reuni pasca perang sampai kematiannya pada tahun 1984.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Star Pilot of Africa in World War II by Stephan Wilkinson

Hans-Joachim Marseille By Richard Darling, 10/08/2018

Hans-Joachim Marseille Was Hitler’s Star Flying Ace – And A Brazen Anti-Nazi By Katie Serena, Published December 27, 2018

https://allthatsinteresting.com/hans-joachim-marseille

“Triple Ace” Shot 17 aircraft in a Day – Hans-Joachim Marseille – Most Amazing and Ingenious Combat Pilot by Anil Chopra

https://www.google.com/amp/s/airpowerasia.com/2020/06/28/triple-ace-shot-17-aircraft-in-a-day-hans-joachim-marseille-most-amazing-and-ingenious-combat-pilot/amp/

Hauptmann Hans-Joachim MARSEILLE

https://www.3squadron.org.au/subpages/marseille.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Hans-Joachim_Marseille

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *