Sejarah Militer

Intervensi Militer di Yaman Utara: Jejak “Vietnam” nya Mesir di Timur Tengah (1962-1967)

Pada musim semi tahun 1967, presiden Mesir, Gamal Abdel Nasser, mengeluh kepada duta besar AS di Kairo bahwa perang di Yaman telah menjadi laksana “Vietnam” bagi Mesir. Dia kemudian menjelaskan kepada seorang sejarawan Mesir bagaimana konflik itu lepas kendali: “(Awalnya) Saya mengirim sebuah kompi ke Yaman dan akhirnya memperkuatnya hingga dengan 70.000 tentara.” Selama perang lima tahun, dari tahun 1962 hingga 1967, Nasser kehilangan puluhan ribu prajuritnya, menyia-nyiakan miliaran dolar, dan membuat dirinya terpojok di mana satu-satunya jalan keluar baginya adalah dengan berperang melawan Israel. Seperti yang akan disadari oleh Nasser sendiri pada akhir perang, Yaman bagi Mesir adalah seperti Vietnam bagi Amerika Serikat — dan seperti Afghanistan bagi Uni Soviet, Aljazair bagi Prancis, dan seperti Lebanon bagi Israel. Tidak mengherankan jika pelajaran utama bagi orang-orang Mesir di Yaman adalah “jangan pernah lagi “ mereka:

  1. Mengirim anak laki-laki mereka untuk berperang demi tujuan yang meragukan di medan perang yang terpencil. 
  2. Menyia-nyiakan pasukan mereka yang modern untuk membangun sebuah negara yang tidak pernah ada. 
  3. Menginjakkan kaki lagi di Yaman. 

Mungkin kata “jangan pernah lagi” adalah kata-kata yang terlalu kaku. Setengah abad kemudian, Presiden Abdel Fattah al-Sisi sekali lagi mempertimbangkan kemungkinan pengiriman pasukan darat Mesir ke Yaman, kali ini untuk mendukung serangan pimpinan Saudi terhadap Pemberontak Houthi. Sisi telah mengirimkan kekuatan angkatan laut dan udara Mesir untuk mendukung kampanye militer Saudi dan mengatakan bahwa pasukan darat akan dikirim “jika diperlukan.” Saat Saudi, Mesir, dan sekutu mereka terlibat petualangan militer lain di Yaman, sejarah telah menunjukkan beberapa pelajaran nyata tentang tantangan yang mungkin akan menghalangi jalan mereka dalam menuju kemenangan.

Pasukan Saudi berjalan di pangkalan mereka di kota pelabuhan selatan Yaman, Aden, 28 September 2015. Setelah bermusuhan di tahun 1960an, kini Mesir dalam satu kubu dengan Pemerintah Saudi dalam Perang di Yaman. Meski demikian catatan sejarah menunjukkan agar Mesir harusnya berhati-hati dalam melibatkan dirinya di Yaman. (Sumber: https://www.al-monitor.com/)

MESIR DAN PERANG SAUDARA DI YAMAN

Pada bulan September 1962, beberapa faksi di dalam lingkungan perwira di Yaman, yang dipimpin oleh kepala staff Angkatan Bersenjata Yaman Brigadir Jenderal Abdullah al-Sallal mengkudeta Imam Muhammad al-Badr dari Kerajaan Mutawakkil dan memproklamasikan Republik Arab Yaman. Banyak dari para pengkudeta adalah pendukung kuat dari Nasser dengan semangat Pan Arabisme nya dan banyak menerima dukungan dari pemerintah Mesir sebelum menggulingkan Muhammad. Bagi Nasser, kudeta di Yaman adalah kesempatan sempurna untuk menunjukkan komitmen Pan Arabisme-nya dan menggunakan kekuatan militernya yang terus berkembang untuk memperluas ambisi internasionalnya. Di Yaman, sebuah republik, yang bergaya Mesir, telah didirikan. Namun republik itu masih lemah, dan suku Syiah Zaidi di utara, yang setia kepada Imam Muhammad al-Badr yang digulingkan, mengancam akan menghancurkannya, dengan dukungan Arab Saudi. Saudi yang takut dan membenci Nasser dengan pemikiran sosialis dan sekulernya, datang membantu kelompok “Royalis” yang setia pada Muhammad dengan uang, perlindungan dan bantuan lainnya. Di sisi lain, Nasser, yang terlibat dalam pertarungan sengit dengan Raja Saud untuk mendapatkan tampuk kepemimpinan dunia Arab, melihat peluang untuk menanam benih-benih revolusi di Semenanjung Arab. Kini ia jelas tidak mau kalah. Sebagai konsekuensi, beberapa hari setelah kudeta, 5.000 tentara Mesir, yang diujung-tombaki oleh sebuah Brigade Pasukan Payung, mendarat di ibukota Sana’a untuk memperkuat kekuasaan pemerintah baru Yaman.

Pada bulan September 1962, beberapa faksi di dalam lingkungan perwira di Yaman, yang dipimpin oleh kepala staff Angkatan Bersenjata Yaman Brigadir Jenderal Abdullah al-Sallal mengkudeta Imam Muhammad al-Badr dari Kerajaan Mutawakkil dan memproklamasikan Republik Arab Yaman. Nampak pada gambar al-Sallal bersama dengan para pendukungnya. (Sumber: https://origins.osu.edu/)
Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser. Dalam konflik di internal Yaman Utara, Nasser memihak Pemerintahan Republik Yaman. Langkah Nasser ini membuatnya segera berhadapan dengan Kerajaan Arab Saudi yang mendukung kelompok Royalis di Yaman. (Sumber: https://www.aljazeera.com/)
Nasser dan wartawan terkemuka Mesir, Mohamed Heikal. Heikal telah memperingatkan Nasser untuk tidak terlalu dalam secara militer di Yaman Utara, namun demi memperebutkan pengaruh kepemimpinan di dunia Arab, Nasser memutuskan untuk mendukung Pemerintah Republik. (Sumber: http://the-pessoptimist.blogspot.com/)

Pada musim gugur tahun 1962, seorang komandan batalyon yang jeli bernama Salah al-Din al-Mahrizi mengingatkan atasannya di komando tertinggi Mesir bahwa prediksi perang di Yaman akan berlangsung cepat dan mudah berpotensi meleset dari sasaran. Seorang pejabat senior di jajaran intelijen militer Mesir menilai kampanye militer di Yaman akan mudah dilaksanakan. Pada pertemuan dengan komandan senior angkatan bersenjata, dia berpendapat bahwa semua yang diperlukan untuk menakut-nakuti suku pemberontak itu adalah dengan mengirim beberapa pasukan terjun payung yang dipersenjatai dengan megafon, petasan, dan granat asap. Pemikiran ini dianggap berlebihan bagi Mahrizi, yang telah menghabiskan sebagian besar dekade sebelumnya sebagai kepala delegasi militer Mesir di Sana’a. Orang-orang Yaman, dia mengingatkan sang jenderal, telah mengikat dan menghancurkan empat divisi Turki pada abad ke-19. Tidak ada kekuatan yang akan cukup untuk bisa menundukkan wilayah itu. Di lingkungan pegunungan asal mereka, suku-suku wilayah utara yang suka berperang, dengan dipersenjatai dengan pisau dan senapan, cukup mampu untuk menghadapi prajurit-prajurit infanteri Mesir yang terlatih. Tank-tank Mesir juga dinilai tidak akan berguna di dataran tinggi Yaman, dan angkatan udara mereka tidak akan efektif. Mereka bisa mengharapkan penyergapan di mana-mana. Sementara itu, jarak 1.200 mil yang memisahkan Mesir dari Yaman, akan membuat kelancaran dan kecukupan pasokan bagi pasukan tempur menjadi sukar untuk dipenuhi. Singkatnya, Mahrizi menyarankan, bahwa yang terbaik adalah menyerahkan pertahanan Yaman kepada orang-orang Yaman sendiri. Karena kata-kata bijak ini – yang kemudian disampaikan dalam surat kepada Nasser sendiri – Mahrizi dihukum karena dianggap melakukan pembangkangan dan disingkirkan di bulan-bulan pertama perang yang lalu berkembang kurang lebih seperti yang dia prediksi. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mohamed Heikal, seorang penulis sejarah pembuatan keputusan kebijakan nasional Mesir dan orang-orang kepercayaan Nasser, menulis dalam For Egypt Not For Nasser, bahwa ia telah menentang Nasser dalam hal mendukung kudeta di Yaman. Heikal berpendapat bahwa revolusi Sallal tidak akan dapat menyerap sejumlah besar personel Mesir yang akan tiba di Yaman untuk menopang rezimnya, dan akan lebih bijaksana bagi Mesir untuk mempertimbangkan mengirim para sukarelawan nasionalis Arab dari seluruh Timur Tengah untuk berperang bersama pasukan republik Yaman, dengan menyarankan digunakannya taktik pada Perang Saudara Spanyol sebagai contoh dalam strategi di Yaman. Apapun saran yang diberikan, Nasser menolak ide-ide Heikal, dan bersikeras untuk melindungi pemerintah baru Yaman dengan mengirim langsung pasukan Mesir kesana.

OFENSIF RAMADAN

Pada awalnya tidak begitu jelas apa yang akan dilakukan oleh Mesir. Nampaknya Kairo, seperti pemikiran Mahrizi, tidak menyangka akan pecah pemberontakan dalam skala penuh. Pada bulan-bulan berikutnya, orang-orang Mesir mengerahkan pasukan dan material ke Yaman melalui jembatan udara yang dibangun dengan bantuan dari pemimpin Soviet Nikita Khrushchev. Pasukan Mesir ini umumnya ditugaskan untuk memastikan kontrol pasukan Republik atas Sana’a dan beberapa pusat populasi. Pertama datang sebuah kompi komando untuk menjaga keamanan ibu kota, kemudian satu skuadron pesawat tempur dikirimkan untuk memberi mereka dukungan udara, dan segera setelah itu sebuah batalion lapis baja untuk mengamankan pedesaan di sekitarnya. Namun seperti yang telah diperingatkan Mahrizi, tampaknya tidak ada kekuatan yang benar-benar cukup untuk bisa mengamankan republik baru itu — apalagi menghancurkan kekuatan pemberontak. Pada awal tahun 1963, Mesir nampaknya mulai menyadari bahwa mereka butuh untuk menggelar kampanye anti gerilya untuk menghancurkan kekuatan pihak “Royalis” dan mulai mempersiapkan upaya tersebut. Bagaimanapun, ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Mesir tahu bagaimana cara melancarkan operasi anti gerilya, saat itu, mereka hanya merancang operasi militer dengan tujuan untuk mengalahkan pemberontak. Militer Mesir percaya bahwa kampanye sistematis melawan kelompok Royalis akan mampu menghasilkan kemenangan cepat dan dapat menstabilkan Yaman. Dalam mempersiapkan kampanye militernya ini, kekuatan tentara Mesir di Yaman melonjak hingga 30.000 personel, yang dibantu oleh satuan lapis baja, artileri, dan 200 pesawat tempur. Staf Umum Mesir kemudian membagi strategi Perang Yaman menjadi tiga tujuan operasional. Yang pertama adalah fase udara, dimulai dengan mengirim jet-jet latih Mesir yang telah dimodifikasi untuk memberondong dan menjatuhkan bom dan kemudian berakhir dengan mereka menggelar tiga wing pembom tempur, yang ditempatkan di dekat perbatasan Saudi-Yaman. Operasi-operasi udara Mesir lalu dilancarkan di sepanjang Pantai Tihama Yaman hingga ke kota-kota Saudi Najran dan Jizan. Serangan itu dirancang untuk menyerang formasi darat kekuatan royalis dan menggantikan kekurangan formasi Mesir di darat dengan kekuatan udara berteknologi tinggi. Dikombinasikan dengan serangan udara, fase operasional kedua Mesir dilancarkan untuk mengamankan rute-rute utama menuju ibukota Sana’a, dan dari sana mengamankan kota-kota dan dusun-dusun utama di sekitarnya. Yang terakhir pada fase ketiga adalah mengamankan suku-suku dan membujuk mereka mendukung kepada pemerintah republik, yang berarti akan dibutuhkan pengeluaran dana dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan kemanusiaan dan penyuapan langsung kepada para pemimpin suku.

Peta Yaman yang terpecah 3, yakni: Republik Yaman, Federasi Arab Selatan dan wilayah Protektorat Arab Selatan tahun 1962-1967. (Sumber: https://www.edmaps.com/)
Peta kota-kota penting di Yaman Utara. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada bulan Februari 1963, Mesir melancarkan ofensif “Ramadan”. Operasi ini dipimpin langsung oleh Field Marshall Mohamed Abdel Hakim Amer, kepala staff Angkatan Bersenjata sekaligus Wakil Presiden Mesir. Amer berencana untuk mengepung para pemberontak di wilayah Jawf, di Yaman Timur Laut. Ini adalah gerakan menjepit besar yang akan memotong kaum Royalis dari jalur perbekalannya di Arab Saudi dan diharapkan juga gerakan ini akan memaksa mereka keluar untuk bertempur menghadapi tentara Mesir. Amer mengerahkan 20.000 tentara Mesir dan Republik Yaman, serta  suku-suku pendukungnya untuk melancarkan operasi. Amer kemudian meminta Kairo untuk menggandakan 20.000 prajuritnya di Yaman, dan pada awal bulan Februari 5.000 prajurit bala bantuan pertama tiba. Pada tanggal 18 Februari sebuah gugus tugas yang terdiri dari lima belas tank, dua puluh mobil lapis baja, delapan belas truk dan banyak jip meninggalkan Sana’a’ bergerak ke utara, menuju Sadah. Lebih banyak pasukan garnisun lalu mengikuti. Beberapa hari kemudian satuan tugas lain, yang dipelopori oleh 350 orang dengan dukungan tank dan mobil lapis baja, menyerang dari Sadah ke arah tenggara menuju Marib. Pasukan Mesir bermanuver ke gurun Rub al-Khali, bahkan mungkin sampai jauh ke wilayah Saudi, dan di sana mereka membangun oleh “jembatan” udara. Kemudian mereka menuju ke arah barat.

Field Marshall Mohamed Abdel Hakim Amer, Kepala Staff Angkatan Bersenjata Mesir yang memimpin Ofensif Ramadan pada bulan Februari 1963. (Sumber: https://nl.pinterest.com/)

Pada tanggal 25 Februari pasukan Mesir menduduki Marib dan pada tanggal 7 Maret mereka merebut Harib. Pasukan Royalis, terdiri dari 1.500 orang, yang diperintahkan turun dari Najran gagal menghentikan mereka dalam perjalanan keluar dari Sadah. Komandan royalis di Harib melarikan diri ke Beihan, di sisi perbatasan yang dilindungi oleh tentara Inggris. Dalam pertempuran El Argoup, 25 mil (40 km) tenggara Sana’a, 500 pasukan royalis di bawah komando Pangeran Abdullah menyerang posisi tentara Mesir di atas bukit terjal yang dilindungi dengan enam tank T-54 buatan Soviet, selusin kendaraan lapis baja dan posisi-posisi senapan mesin. Kaum royalis maju dan dihantam oleh tembakan artileri, mortir, dan pesawat yang memberondongkan tembakan. Pasukan Royalis membalas dengan tembakan senapan, 20 tembakan mortir, dan empat tembakan bazoka. Pertempuran berlangsung selama seminggu dan menelan korban tiga tank, tujuh kendaraan lapis baja dan 160 tewas di pihak Mesir. Dalam banyak hal, operasi Ramadan terbukti sukses. Orang-orang Mesir sekarang berada dalam posisi di mana mereka dapat berharap untuk memblokir pergerakan perbekalan bagi kaum Royalis di pegunungan utara dan timur San’a’. Kaum Royalis telah berhasil dicerai-beraikan oleh daya tembak pasukan Mesir, yang mendesak mundur mereka semakin jauh kearah timur laut. Pasukan Mesir juga berhasil merebut hampir seluruh pusat-pusat populasi. Di level strategis, rencana operasi Mesir menunjukkan pemahaman manuver yang bagus. Hal ini ditunjukkan bahwa dalam gerakan menusuk kearah timur kota Sana’a, pasukan Mesir berhasil merebut kota Ma’rib – area pusat penyimpanan perbekalan yang dikirim dari Saudi – dengan melakukan gerakan melambung ke sebelah timur kota dan menyerang pertahanan kaum Royalis dari samping. Operasi Ramadan kemudian merusak rencana-rencana operasi kaum pemberontak dan memaksa pihak Saudi serta Royalis untuk setuju melakukan gencatan senjata yang diinisiasi oleh PBB. 

Dalam perang di Yaman, pasukan Mesir menggelar tank-tank T-54, yang kemudian turut digunakan dalam Ofensif Ramadan. (Sumber: https://pl.pinterest.com/)

Sementara itu, walaupun ofensif Ramadan merupakan operasi militer yang dieksekusi dengan baik, dan seperti pendapat Dana Adams Schmidt “bisa jadi merupakan operasi militer paling brilian dari pihak Mesir”, signifikansi nyatanya masih bisa diperdebatkan. Yang pertama, ofensif ini bukan operasi anti gerilya sesungguhnya, seperti yang kemudian dilakukan Amerika di Vietnam dan Soviet di Afghanistan, meski sukses tetapi hasil yang didapat relatif kecil. Keberhasilan operasi lebih disebabkan oleh kemampuan amatir dari pihak Royalis yang tidak mengetahui cara melancarkan perang gerilya. Dengan kekuatan lapis baja, artileri, dan armada udara untuk memperbesar daya tembak, tentara Mesir mampu mencerai-beraikan kelompok-kelompok pemberontak, yang umumnya belum mengadopsi taktik serang lari dan penyergapan ala gerilya. Pasukan Mesir mampu merebut beberapa pusat-pusat perbekalan, karena kaum Royalis belum mampu menempatkannnya di lokasi-lokasi yang susah dijangkau dan rahasia. Di sisi lain, ofensif memang berhasil merebut banyak kota penting dan persimpangan di wilayah Yaman timur laut, tetapi gagal dalam memenangkan dukungan bagi pemerintah Republik. Lebih dari itu, pergerakan tentara Mesir terlalu lambat, dan komandan-komandannya hanya menunjukkan sedikit kemauan untuk mengeksploatasi kesempatan atau secara agresif mengejar kelompok-kelompok pemberontak yang dikalahkan, sehingga kebanyakan kerusakan yang ditimbulkan hanya bersifat sementara.

Pangeran Abdullah Hussein (bawah, tengah) bersama anak buahnya segera setelah serangan udara Mesir di Wadi Hirran, Desember 1962. Meski mengalami pukulan dalam ofensif Ramadan yang dilancarkan Mesir, namun kaum Royalis tidak hancur, dalam waktu singkat mereka berhasil bangkit. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada bulan Maret, ofensif terhenti sebelum bisa merebut jalur suplai penting ke kota Najran di wilayah Saudi. Lebih penting lagi, pasukan Mesir gagal menewaskan banyak kaum Royalis, dimana sebagian besar dari mereka bisa melarikan diri ke pegunungan dan gurun pasir. Sebagai konsekuensi, walau ofensif ini sukses melumpuhkan perlawanan pemberontak di wilayah timur laut selama setahun, namun operasi ini gagal menimbulkan kerusakan permanen pada pemberontakan secara keseluruhan. Kedua belah pihak kemudian dengan cepat melanggar gencatan senjata dan di akhir tahun 1963, pihak Royalis memulai kampanye sabotase dan serang lari di wilayah barat Yaman. Kemudian, pada musim semi 1964, mereka melancarkan serangan balasan di wilayah Jawf, yang berhasil merebut kembali wilayah-wilayah mereka yang hilang dalam operasi Ramadan. Pada awal bulan April, kaum Royalis mengadakan konferensi dengan Raja Faisal di Riyadh. Mereka memutuskan untuk mengadopsi taktik baru, termasuk upaya untuk mendapatkan pasokan di sekitar posisi yang sekarang diduduki oleh orang-orang Mesir dengan menggunakan unta daripada truk untuk menyeberangi pegunungan guna mencapai posisi di sebelah timur Sana’a. Karavan unta dari Beihan akan bergerak ke Rub al-Khali dan memasuki Yaman di utara Marib. Juga diputuskan bahwa kaum Royalis sekarang harus memperkuat operasi mereka di sebelah barat pegunungan dengan tiga unit “pasukan”. Pada akhir bulan April, mereka mulai pulih dan siap bersaing untuk mendapatkan kembali beberapa posisi di Jawf dari orang-orang Mesir, khususnya kota-kota kecil tapi strategis Barat dan Safra, keduanya di pegunungan antara Sadah dan Jawf, dimana dari sana, mereka bisa bergerak bebas di gurun Khabt timur. Di Jawf mereka mengklaim telah membersihkan semua pertahanan kuat Mesir kecuali Hazm, dan di barat kota Batanah

OFENSIF HARADH

Selama tahun 1963 dan 1964, pertempuran telah menyebar di wilayah Yaman utara, yang menyedot lebih banyak personel militer Mesir. Terdapat tiga faktor yang mendorong eskalasi keterlibatan Mesir. Pertama, pihak Saudi mampu mengirim pasokan ke orang-orang yang setia kepada Imam al-Badr melalui wilayah perbatasan Yaman yang keropos lebih cepat daripada yang bisa dihalau oleh pihak Mesir. Untuk mencegah pasokan mencapai pendukung royalis, Mesir kemudian mengerahkan kekuatan udara yang cukup besar ke Yaman dan meluncurkan serangan udara di wilayah Saudi di utara dan di Protektorat Aden yang dikuasai Inggris di selatan. Kedua, jalan pegunungan Yaman yang berliku memberikan peluang yang tampaknya tak terbatas untuk dilakukan penyergapan pada pasukan Mesir. Sementara itu, menjaga agar jalur komunikasi tetap terbuka dibutuhkan pengerahan personel yang cukup besar ke wilayah pedesaan sekitarnya dan muncul ketergantungan pada pengedropan dari untuk memasok pos-pos militer yang terpencil. Ketiga, deklarasi berdirinya “republik” di atas reruntuhan imamah al-Badr tidaklah cukup untuk membentuk negara modern terpusat yang mampu menahan kekuatan perlawanan di dalam negeri Yaman yang kuat. Dengan demikian, menurut seorang administrator asal Mesir yang dikirimkan ke Yaman, yang berhasil mereka lakukan terutama hanyalah mereplikasi negara polisi ala Mesir.

Muhammad al-Badr berdoa dengan pengawalnya. Dengan dukungan dari pihak Arab Saudi dan Inggris, Al Badr dapat terus mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Republik dukungan Mesir. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada musim panas tahun 1964, merespon aktivitas pihak Royalis di barat laut Yaman saat musim dingin, Mesir melancarkan ofensif baru di tempat itu, dengan harapan bisa mengulang kesuksesan ofensif Ramadan di tahun sebelumnya. Saat itu, Amer telah menyerahkan kontrol operasi di Yaman pada Letnan Jenderal Abd al-Majid Kamal Murtagi. Ofensif Haradh yang dilancarkan Mutagi berupaya mereplika beberapa aspek dari operasi Ramadan. Dalam beberapa hal, operasi ini malah lebih baik dari operasi yang dilakukan Amer sebelumnya. Akan tetapi, seperti ofensif Ramadan, operasi yang dilancarkan Murtagi pada dasarnya adalah operasi militer konvensional, yang hanya menimbulkan kerugian terbatas di pihak lawan. Lebih lagi, pada tahun 1964, pelatihan yang disediakan oleh pihak asing (umumnya asal Eropa) telah mengajarkan taktik gerilya pada kelompok Royalis, dan persenjataan yang diberikan oleh Saudi makin membuat para pemberontak memiliki pukulan yang lebih mematikan. Meskipun pasukan ekspedisi Mesir telah melonjak menjadi 50.000 orang, kelompok Royalis juga turut berkembang kekuatannya. Perkuatan utama di pihak pasukan Mesir diperlihatkan dengan aksi kekuatan udaranya. Walau AU Mesir tidak terlalu banyak menjalankan misi dukungan udara untuk membantu pasukan darat Mesir (kalaupun membantu, efeknya kecil dalam mempengaruhi hasil pertempuran), tapi mereka melancarkan pemboman teror pada desa-desa Yaman untuk mencegah tempat itu digunakan oleh pihak royalis dan menghentikan minat para penduduknya bergabung dengan para pemberontak. Faktanya pemboman itu malah berefek sebaliknya, dan dengan berjalannya perang, aksi ini makin mendorong suku-suku yang awalnya apatis untuk mendukung pihak Royalis, hanya sekedar agar orang-orang Mesir segera meninggalkan negeri mereka.

Ofensif Ramadhan (garis lurus) dan Haradh (garis titik-titik), 1963-1964. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Ofensif Haradh dimulai pada tanggal 12 juni 1964 dengan dua serangan terpisah dari arah Sana’a yang dilancarkan oleh 4.000 pasukan Mesir dan unit-unit lapis baja serta pasukan Republik dan suku-suku pendukungnya, serta pasukan bayaran asal Aden. Serangan pertama bergerak ke arah barat menuju Bayt Adaqah (48 km sebelah barat Sana’a) untuk memotong jalan utama utara ke selatan di barat laut Yaman. Di tempat itu Pangeran Abdullah membuat pertahanan yang membentang dari jalan Hodeida, melalui Provinsi Kawakaban, ke Hajjah selatan. Dalam dua hari, para penyerang bergerak maju sekitar 12 mil (19 km), sebelum dipukul mundur oleh serangan balik. Kaum royalis mengakui menderita sekitar 250 korban. Dalam serangan lainnya, pasukan Mesir bergerak ke arah barat laut menuju as-Sudah, sekitar 100 mil (160 km) barat laut Sana’a. Mereka memanfaatkan ketidakpopuleran komandan lokal kaum royalis dengan menyuap beberapa sheik lokal dan menduduki kota tanpa perlawanan. Setelah sebulan, para syekh mengirim delegasi ke al-Badr untuk meminta pengampunan dan meminta senjata dan uang untuk gantian memerangi orang Mesir. Al-Badr lalu mengirim pasukan baru dan berhasil merebut kembali lingkungan Sudah, meskipun bukan kota itu sendiri. Sementara itu tujuan Murtagi adalah menggunakan pasukannya untuk mendesak pasukan Royalis beroperasi di wilayah barat laut ibukota Sana’a sekaligus menjauhkan mereka dari basis dan rute suplai di Saudi. Kemudian pada tanggal 15 agustus, ia meluncurkan serangan utama, yang terdiri dari dua tusukan: satu dari arah Haradh pada ujung barat laut Yaman dengan bergerak ke arah tenggara dan satu lagi agak ke selatan dari Sa’dah, utara Sana’a. Rencana Murtagi adalah mengejar para pemberontak di utara dan barat laut dengan dua serangan dari Sana’a, dan tiba-tiba menghantam mereka dari arah yang berlawanan yang datang dari selatan dan tenggara, dari Sa’dah dan Haradh. Harapannya dari ofensif ini mereka tidak hanya dapat menghancurkan pemberontak yang ada bagian barat laut, tetapi juga menangkap sang Imam sendiri, yang markasnya diketahui ada di area tersebut. Ofensif pembuka dari Sana’a membuat progres yang bagus. Imam memang berhasil lari ke Saudi, tetapi pasukan Mesir berhasil merebut markas Pangeran “Abdallah Husayn”, salah satu komandan Royalis yang paling efektif, yang untuk sementara mengganggu jalannya pemberontakan yang kepemimpinan terpusat. Sebagai tambahan, mereka juga merebut beberapa kota dan persimpangan penting, yang biasa digunakan oleh para pemberontak untuk menggerakkan pasukan dan perbekalan.

Tampilan Pasukan Mesir dari kiri ke kanan: Pasukan Paratroop, Mayor Jenderal dan Pasukan Infanteri. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Akan tetapi fase kedua serangan pada bulan Agustus berubah menjadi bencana. Orang-orang Mesir mulai bergerak pada Sabtu pagi, kemudian bergerak di sepanjang jurang Haradh dan Tashar. Barisan pasukan Mesir gagal menjalankan misi pengintaian dan menggerakkan satuan pengaman pada posisi sayap-sayapnya. Mereka memilih lokasi yang buruk untuk mendirikan kamp dan basis artileri pendukung, umumnya di lembah yang dikelilingi dengan dataran tinggi, dimana mereka tidak melakukan pengamanan. Sebagai tambahan, saat itu adalah bulan Agustus, hujan yang turun kemudian membuat lembah-lembah itu menjadi lautan lumpur, tetapi unit-unit Mesir memaksa mengemudikan tank dan kendaraan-kendaraan lain melewatinya. Pada hari Sabtu dan Minggu sore mereka terjebak dalam hujan lebat, dan kendaraan mereka, termasuk dua puluh tank dan sekitar empat puluh mobil lapis baja tenggelam jauh ke dalam lumpur. Para pemberontak meninggalkan mereka sendirian sampai Senin subuh. Kemudian, Al-Badr meninggalkan markasnya pada pukul tiga pagi itu dengan 1.000 orang untuk mengarahkan serangan balik di jurang Tashar, sementara Abdullah Hussein menyerang di jurang Haradh. Sementara itu, orang-orang Mesir telah merencanakan pergerakan terkoordinasi dari Sadah ke barat daya, di bawah pegunungan Razih, dengan harapan dapat terhubung dengan kekuatan yang datang dari Haradh. Mereka mengandalkan seorang syekh lokal, yang pasukannya seharusnya bergabung dengan 250 penerjun payung Mesir. Syekh itu ternyata gagal memenuhi janjinya, dan para penerjun payung Mesir kembali ke Sadah, setelah menderita kerugian akibat penembak jitu di jalan-jalan pulang. Al-Badr saat itu telah mengirim pesan radio dan panggilan ke segala arah untuk meminta penguatan. Dia meminta unit pelatihan pasukan cadangan di Jawf untuk tiba dengan truk-truk yang dipasangi meriam 55 dan 57 milimeter serta mortir 81 milimeter dan senapan mesin berat. Mereka tiba dalam waktu empat puluh delapan jam, tepat waktu untuk menghadapi para penyerang Mesir. Mereka lalu mengepung barisan Mesir, yang masih terjebak dalam lumpur di jurang dan kemudian mengumumkan bahwa mereka telah melumpuhkan sepuluh tank Mesir dan sekitar setengah dari mobil lapis baja mereka, serta mengklaim telah menembak jatuh sebuah pembom Ilyushin.

Tentara bayaran Inggris di pegunungan Yaman Utara membantu pemberontak Royalis menyiapkan senapan mesin berat di atas gua persembunyian. Kondisi Yaman yang berat dan bergunung-gunung, menjadi jebakan maut bagi pasukan “berat” Mesir yang tidak dilatih untuk menjalankan perang anti gerilya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Kaum royalis juga melakukan dua gerakan pendukung. Salah satunya adalah penyerangan di Jihana, di mana beberapa perwira staf tewas. Yang kedua adalah upaya, yang melibatkan para penasihat Inggris dan tentara bayaran Prancis serta Belgia dari Katanga, untuk membombardir Sana’a dari puncak gunung terdekat. Operasi pengalihan lainnya termasuk serangan terhadap pesawat dan tank Mesir di bandara selatan Sana’a dan sebuah serangan mortir di kediaman orang-orang Mesir dan republik di pinggiran Taiz. Meskipun orang Mesir berhasil mengusir al-Badr keluar dari markas besarnya ke sebuah gua di Jabal Shedah, mereka tidak dapat menutup wilayah perbatasan Saudi. Pihak Mesir menyatakan kemenangan di radio dan hadapan pers, tetapi kemudian diwajibkan untuk menyetujui gencatan senjata pada konferensi Erkwit pada 2 November mendatang. Dalam operasi Haradh, walaupun memiliki keunggulan jumlah personel dan daya tembak, pasukan Mesir terbukti ‘babak belur’ dalam beberapa kesempatan. Mereka tidak mencoba berputar dan membersihkan posisi penyergapan dari atas atau dari sisi-sisinya, begitu juga tentara Mesir tidak berpikir untuk menyerbu posisi-posisi pihak Royalis di tepi-tepi Wadi. Sebaliknya tank dan kendaraan pengangkut lapis baja Mesir umumnya malah menembak serampangan di segala arah saat pasukan infanterinya tercerai berai. Pada beberapa kesempatan pasukan Mesir bisa memanggil bantuan udara, tetapi serangan mereka sangat tidak akurat dan hanya menyebabkan kerugian kecil pada kekuatan Royalis. Secara keseluruhan, serangan utama Mesir bergerak dengan lambat, menderita kerugian berat, dan hanya mendapatkan sedikit hasil. Dengan cepat, serangan yang mereka lancarkan terhenti.

TITIK BALIK

Murtagi frustasi oleh kegagalan ofensif Haradh, dan pada akhir bulan Desember 1964 ia mencoba melancarkan ofensif serupa di wilayah barat laut. Sekali lagi tujuannya adalah untuk mendesak keluar para pemberontak dari area itu dan menangkap Imam, yang telah kembali ke area itu. Murtagi mengerahkan 7.000 tentara Mesir dan 3.000 tentara Republik dalam 4 serangan terpisah yang didesain (sekali lagi) untuk menjebak kekuatan Royalis dengan serangan besar dan dari berbagai arah. Akan tetapi, pihak Royalis semakin baik dalam melancarkan perang gerilya, sementara di sisi lain kemampuan anti gerilya pasukan Mesir tidak berkembang. Pasukan Mesir sekali lagi gagal mengerahkan patroli-patroli pengamanan yang cukup untuk melindungi sayap-sayap pasukannya, mendirikan kamp di lokasi-lokasi yang rawan, dan dalam pertempuran amat mengandalkan daya tembak untuk menghancurkan para gerilyawan. Pola-pola ini malah menguntungkan para pemberontak, yang dapat berulang kali menyerang dan menyergap barisan-barisan pasukan Mesir, untuk kemudian menyelinap pergi sebelum pasukan Mesir bisa menghadirkan senjata-senjata mereka yang superior ke medan perang. Hingga bulan Februari 1965, pasukan Murtagi telah menderita lebih dari 1.000 korban akibat penyergapan, dan ofensif yang dilancarkan kehabisan momentum. Yang lebih mencengangkan pihak Mesir dan Pemerintah Republik, kekuatan Royalis menindaklanjuti kesuksesannya dengan melancarkan serangan balik besar yang berhasil merebut kembali banyak posisi yang hilang di bulan-bulan sebelumnya serta pada ofensif Haradh. Di sebelah timur, kelompok Royalis merebut kembali Harib, Sirwan, Qafla, dan Ma’rib, yang hilang pada ofensif Ramadan. Di barat laut mereka merebut benteng Jabal Razih, yang mengontrol banyak posisi kunci di sebelah utara Sana’a. Mereka bahkan sukses untuk sementara waktu memblokir jalan dari Sana’a ke arah barat menuju pelabuhan utama di Hodeidah. Lewat kesuksesan awal ini, pihak Royalis terus melancarkan ofensif di musim semi dan musim panas tahun 1965. Pada akhir tahun, hampir sebagian besar wilayah utara, timur, dan Yaman tengah ada di tangan pihak Royalis atau diambang jatuh ke tangan mereka. Kesuksesan pihak Royalis begitu mengancam, sehingga memaksa Mesir merasa perlu untuk menggunakan senjata kimia (pertama-tama gas mustard, kemudian gas saraf) untuk mencoba menghentikan para pemberontak.

Helikopter Mil Mi-4 republik, dirampas di masa awal perang oleh kaum royalis di luar kota Marib. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Penggunaan gas pertama terjadi pada tanggal 8 Juni 1963 terhadap Kawma, sebuah desa berpenduduk sekitar 100 orang di Yaman utara, yang menewaskan sekitar tujuh orang dan merusak mata dan paru-paru dua puluh lima orang lainnya. Insiden ini dianggap sebagai percobaan, dan bom tersebut digambarkan sebagai “buatan sendiri, amatir dan relatif tidak efektif”. Pihak berwenang Mesir menyatakan bahwa insiden yang dilaporkan mungkin disebabkan oleh napalm, bukan gas. Sementara itu, setelah mengetahui serangan gas di Yaman, Menteri Luar Negeri Israel, Golda Meir, kemudian meyakini dalam sebuah wawancara bahwa Nasser tidak akan ragu untuk menggunakan gas terhadap Israel juga. Setelah itu tidak ada laporan tentang penggunaan gas selama tahun 1964, dan hanya sedikit yang dilaporkan pada tahun 1965, namun laporan tersebut semakin sering muncul pada akhir tahun 1966. Pada tanggal 11 Desember 1966, lima belas bom gas menewaskan dua orang dan melukai tiga puluh lima orang. Pada tanggal 5 Januari 1967, serangan gas terbesar terjadi di desa Kitaf, menyebabkan 270 korban jiwa, termasuk 140 korban tewas. Targetnya mungkin Pangeran Hassan bin Yahya, yang telah menempatkan markas besarnya di dekat tempat itu. Pemerintah Mesir membantah menggunakan gas beracun, mengklaim bahwa Inggris dan AS menggunakan laporan tersebut sebagai perang psikologis melawan Mesir. Pada tanggal 12 Februari 1967, Mesir mengatakan akan menyambut baik penyelidikan dari pihak PBB. Ironisnya pada tanggal 1 Maret, Sekretaris Jenderal PBB, U Thant mengatakan dia “tidak berdaya” untuk menangani masalah ini. Pada tanggal 10 Mei, dua desa, yakni Gahar dan Gadafa di Wadi Hirran, tempat Pangeran Mohamed bin Mohsin memimpin, dibom dengan gas, yang menewaskan sedikitnya tujuh puluh lima orang. Palang Merah kemudian disiagakan dan pada tanggal 2 Juni, dan mengeluarkan pernyataan di Jenewa yang menyatakan keprihatinan. Institut Kedokteran Forensik di Universitas Berne membuat pernyataan, berdasarkan laporan Palang Merah, bahwa gas tersebut kemungkinan merupakan turunan halogen – fosgen, gas mustard, lewisite, klorin atau sianogen bromida. Serangan gas sempat berhenti selama tiga minggu setelah Perang Enam Hari di bulan Juni 1967, tetapi dilanjutkan kembali pada bulan Juli, terhadap semua bagian dari Yaman yang pro royalis. Perkiraan korban bervariasi, dan asumsi yang dianggap konservatif, menyatakan bahwa bom udara berisi mustard dan fosgen Mesir telah menyebabkan sekitar 1.500 kematian dan 1.500 cedera di Yaman.

Rumah Sakit Palang Merah Internasional di Uqd. Berdasarkan perkiraan bom udara berisi mustard dan fosgen Mesir telah menyebabkan sekitar 1.500 kematian dan 1.500 cedera di Yaman. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu, Ofensif pihak Royalis pada tahun 1964-1965 menandai titik balik perang, karena pemberontak telah mampu menunjukkan perbaikan dramatis atas kemampuan militer mereka. Para tentara bayaran Eropa yang melatih mereka mulai mempengaruhi skill para pemberontak secara keseluruhan. Sebenarnya kaum Royalis bukanlah gerilyawan yang benar-benar bagus, mereka tidak disiplin dan hanya sedikit komandan mereka yang memiliki kemampuan taktis mumpuni. Akan tetapi mereka berani, keras, jago menembak, licin, dan suka bertempur — karakteristik yang mampu dimanfaatkan para pelatih Eropa mereka menjadi kemampuan yang berguna dalam perang gerilya. Sebagai tambahan, para pelatih mulai membentuk pasukan gerilya “semi reguler” yang berperan sebagai kader diantara kekuatan Royalis sehingga dapat membentuk pasukan kuat dan menggunakannya dalam beberapa operasi penting. Pada akhir tahun 1965, tersedia sekitar 15.000-20.000 pasukan semi reguler Royalis plus 200.000 anggota suku-suku yang dapat dipanggil untuk melancarkan operasi lokal. Lebih dari itu, formasi taktis dari tentara Mesir dan Republik sangat terbatas kemampuannya sehingga sedikit peningkatan kemampuan dari pihak Royalis, yang mampu membalikkan situasi. Pasukan Mesir terbukti tidak mampu mengerahkan keunggulan daya tembak mereka melawan pasukan Royalis. Serangan udara dan bombardemen artileri mereka terlalu lambat dan sangat tidak akurat. David Smiley, seorang pengamat selama perang, melaporkan salah satu insiden dimana seluruh baterai meriam howitzer ringan kaliber 105 mm gagal selama ber-jam-jam untuk membungkam sebuah meriam kaliber 75 mm milik pasukan Royalis yang diam diatas batu karang dan menembak tanpa henti selama seharian. Berulang kali para pengamat (atau bahkan ikut turut berpartisipasi dalam pertempuran) asal Eropa mencatat bahwa orang-orang Mesir memaksa untuk menjalankan operasi militernya “sesuai buku panduan” dan tampak tidak mampu bertindak secara efektif ketika segalanya berjalan tidak sesuai dengan rencana. Secara khusus, formasi taktis Mesir menolak untuk bergerak dan bertempur dengan inisiatif mereka sendiri, para komandan mereka bahkan mengandalkan hingga sebagian besar keputusan-keputusan kecilnya pada arahan dari komandan tertingginya di Sana’a.

Sebuah kendaraam lapis baja buatan Soviet, dirampas oleh gerilyawan royalis dari Mesir dekat Haradh. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Seorang instruktur Mesir di akademi militer Sana’a menunjukkan kepada seorang kadet Yaman cara menggunakan bayonet yang dipasang pada senapan Mosin–Nagant. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pola-pola ini berdampak menghancurkan di Yaman, dimana kondisi pegunungan memaksa formasi-formasi besar untuk dipecah menjadi kelompok-kelompok yang lebih kecil untuk dapat beroperasi secara mandiri dan mengkoordinasikan operasi-operasinya. Dengan kata lain, kondisi medan dan sifat alami dari perang anti gerilya memaksa otoritas untuk diturunkan ke level yang lebih rendah, tetapi di lapangan, regu, pleton, kompi, bahkan komandan batalion Mesir jarang menunjukkan kebijaksanaan dan agresifitas yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan dalam kondisi yang mereka hadapi. Hasilnya unit-unit taktis Mesir menjadi tidak berguna saat mereka harus dipecah menjadi tim-tim kecil dalam membersihkan posisi-posisi gerilyawan dalam medan berat yang mendominasi sebagian besar wilayah Yaman. Pasukan Royalis menyadari bahwa ketika mereka menyergap formasi-formasi kecil ini, tentara Mesir jarang mencoba berinisiatif atau agresif dan lebih memilih mencari perlindungan, menembak balik, dan berteriak meminta bantuan, yang jarang didapat karena komandan-komandan terdekatnya tidak akan mengambil inisiatif dan menyimpang dari perintah yang telah diberikan pada mereka. Dengan ini, umumnya menjadi tanggung jawab pimpinan yang lebih tinggi untuk merespon, yang jarang dilaksanakan sebelum unit-unit yang terjebak keburu dihancurkan atau menyerah. Orang-orang Mesir makin menambah masalah dengan membawa tank dan kendaraan pengangkut pasukan lapis bajanya masuk kedalam medan yang berat, yang, karena pasukan infanteri Mesir umumnya tidak memahami bagaimana beroperasi bersama unit-unit lapis baja, para gerilyawan Royalis mampu menyusup diantara kendaraan-kendaraan tempur Mesir dan menghancurkannya dengan bahan peledak atau senjata anti tank ringan. Pada tahun 1965, salah satu bekas perwira militer Amerika di Yaman memperkirakan bahwa Mesir menderita 10 korban untuk setiap 1 korban yang dapat mereka timbulkan di pihak Royalis.

Kerusakan akibat bom Mesir di sebuah desa dekat Marib. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Dalam intervensinya di Yaman, Kekuatan Udara Mesir turut menggelar bomber Ilyushin Il-28 Beagle milik mereka. (Sumber: https://forum.warthunder.com/)

Pertempuran memperebutkan Harib pada bulan Maret 1965 mengubah perimbangan. Pihak Royalis merebut kota — yang direbut pasukan Mesir pada ofensif Ramadan — lewat serangan pendadakan. Kemudian disini mereka mengerahkan 400 personel semi reguler, yang dengan cepat membangun pertahanan dan perkubuan untuk mempertahankan kota. Pasukan Mesir lalu mengirimkan pasukan lapis baja yang besar untuk merebut kembali kota, tetapi pasukan semi reguler Royalis menghancurkan konvoi Mesir secara meyakinkan di al-Jubah. Pasukan Royalis mempecundangi tentara Mesir, dan pasukan infanteri Mesir gagal mengkoordinasikan tindakannya dengan unit lapis bajanya, meninggalkan tank-tank Mesir menjadi sasaran empuk tim anti tank Royalis. Sementara itu, para royalis di bawah komando Pangeran Mohamed memiliki tujuan untuk memotong garis pertahanan pasukan Mesir dan memaksa mereka untuk mundur. Mereka bermaksud untuk mengambil alih garnisun di sepanjang garis ini dan menetapkan posisi dari mana mereka dapat memblokir gerakan Mesir. Mereka telah mempersiapkan serangan dengan bantuan suku-suku Nahm, yang mengelabui orang-orang Mesir agar percaya bahwa mereka adalah sekutu Mesir dan akan menjaga jalur pegunungan yang dikenal sebagai Wadi Humaidat itu sendiri. Kesepakatan dengan pihak royalis adalah bahwa orang-orang Nahm akan berhak menjarah orang-orang Mesir yang berhasil disergap. Orang-orang Mesir mungkin menduga ada sesuatu yang akan terjadi, karena mereka sempat mengirim pesawat pengintai ke daerah itu sehari sebelum serangan. Dengan demikian, kaum royalis lalu menduduki dua gunung yang dikenal sebagai Asfar dan Ahmar dan memasang meriam kaliber 75 mm dan mortir yang menghadap ke wadi.

Kamp yang digunakan oleh pasukan Royalis di Hanjar, di timur laut Yaman. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Suku-suku Yaman yang mendukung al-Badr. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada tanggal 15 April, sehari setelah konvoi Mesir terakhir lewat, kaum royalis melancarkan serangan mendadak. Kedua kekuatan yang berhadapan hanya berjumlah beberapa ribu. Meriam-meriam Royalis yang ditempatkan di Asfar dan Ahmar lalu melepaskan tembakan, dan kemudian orang-orang Suku Nahm keluar dari balik bebatuan menyerang. Akhirnya, pasukan Pangeran Muhammad mengikuti mereka. Kali ini, operasi kaum royalis sepenuhnya dikoordinasikan oleh radio. Beberapa orang Mesir menyerah tanpa perlawanan, yang lain melarikan diri ke Harah 800 yard ke utara. Kedua belah pihak kemudian membawa bala bantuan dan pertempuran bergeser antara wilayah Harf dan Hazm. Sementara itu, saat Pangeran Abdullah bin Hassan mulai menyerang posisi Mesir di timur laut Sana’a di Urush, Pangeran Mohamed bin Mohsin menyerang orang Mesir dengan 500 orang di barat Humaidat, Pangeran Hassan menyerang dari dekat Sadah dan Pangeran Hassan bin Hussein bergerak dari Jumaat, sebelah barat Sadah, dalam jarak tembak mortir dari lapangan udara Mesir di sebelah barat Sadah. Lima puluh orang Mesir menyerah di Mutanah, dekat Humaidat. Mereka kemudian akhirnya diizinkan untuk mengungsi ke Sana’a dengan senjata-senjata mereka. Kebijakan Mohamed umumnya adalah menahan para perwira sebagai tawanan untuk bisa dipertukarkan nanti, dan mengizinkan tentara yang berpangkat lebih rendah pergi dengan imbalan meninggalkan senjata mereka. Akibat kekalahan ini tiga sampai lima ribu tentara Mesir di garnisun di lereng timur pegunungan dan di gurun sekarang harus dipasok seluruhnya melalui udara.

KEKALAHAN PASUKAN MESIR

Sementara itu, meskipun mendapat kesuksesan dalam ofensif mereka di tahun 1964-1965, kekuatan Royalis kembali ke strategi gerilya tradisional. Saat pasukan Mesir mengkonsolidasikan diri setelah bencana dalam ofensif Haradh dan serangan balik pasukan Royalis, kini menjadi bertambah sulit bagi kelompok Royalis untuk mendapatkan hasil lebih lanjut. Sementara itu, radio royalis juga mencoba untuk memperluas perpecahan di jajaran pemerintahan republik dengan menjanjikan amnesti kepada semua orang non-royalis setelah tentara Mesir ditarik. Al-Badr juga menjanjikan bentuk pemerintahan baru: “sistem demokrasi konstitusional” yang diperintah oleh “majelis nasional yang dipilih oleh rakyat Yaman”. Di sisi lain, atas permintaan Sallal, Nasser kemudian memberinya amunisi dan bala bantuan pasukan dengan pesawat angkut dari Kairo. Pada bulan Agustus, kaum royalis telah memiliki tujuh “pasukan”, masing-masing memiliki kekuatan yang bervariasi antara 3.000 dan 10.000 orang, dengan total personel mereka antara 40.000 dan 60.000. Diluar ini masih ada anggota-anggota suku bersenjata pro Royalis, yang jumlahnya lima atau enam kali lebih banyak dari itu, dan pasukan reguler di bawah Pangeran Mohamed. Pada awal bulan Juni mereka berpindah ke Sirwah di Yaman timur. Pada tanggal 14 Juni mereka memasuki Qaflan dan pada tanggal 16 Juli mereka menduduki Marib. Pihak Mesir kemudian membentengi kota-kota utama dan dapat mempertahankannya dengan cukup daya tembak untuk membuat serangan langsung pasukan Royalis akan memakan korban besar. Akan tetapi, dengan makin kuatnya pasukan pemberontak, upaya Mesir dan Pemerintah Republik di area pedesaan semakin berkurang, dan lebih berkonsentrasi dalam menjaga jalan-jalan tetap terbuka bagi garnisun-garnisun mereka yang berjauhan. Sebagai respon, pihak Royalis beraksi dengan tujuan memotong jalur komunikasi dan suplai yang menghubungkan kota-kota yang dikuasai pasukan Republik, sehingga garnisun yang ada didalamnya melemah. Para pemberontak kemudian menjalankan aksi-aksi penyergapan dan operasi-operasi serang lari, sehingga semakin mencekik posisi pasukan Mesir dan Republik. Pasukan Mesir terpaksa mengerahkan cukup banyak armada transportasi udaranya untuk menerbangkan — pada banyak kasus pengedropan udara — perbekalan pada garnisun-garnisun yang terisolasi. Reaksi awal Kairo adalah dengan mengirimkan pasukan tambahan ke Yaman hingga total berjumlah 70.000 personel. Menurut angka resmi dari tentara Mesir, 15.194 personel mereka telah tewas di Yaman. Perang itu telah merugikan Mesir $500.000 per hari. Di sisi lain Kaum royalis telah kehilangan sekitar 40.000 orangnya tewas. Pada akhir bulan Agustus, Nasser memutuskan untuk membuat Soviet lebih terlibat dalam konflik di Yaman. Dia berhasil meyakinkan Soviet untuk membatalkan hutang $500 juta yang telah dia keluarkan dan dalam memberikan bantuan militer kepada kaum republikan. Akan tetapi ketika makin jelas penambahan pasukan tidak menghasilkan efek nyata, Kairo mengambil langkah yang disebut Nasser sebagai “kebijakan menarik nafas panjang”.

Pasukan royalis Yaman berusaha untuk mengusir serangan satuan lapis baja pasukan Mesir dengan senjata recoilless. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

UPAYA POLITIK NASSER

Sejak tahun 1964 dan seterusnya, Nasser berupaya mencari berbagai cara untuk dapat mundur dari Yaman dengan mempertahankan reputasinya tetap utuh. Pada tahun 1965, ia harus menelan harga dirinya dan pergi ke Jeddah untuk berdamai dengan Raja Faisal. Tetapi perdamaian tidak bertahan, terutama karena “sekutu Saudi” di Yaman dengan keras kepala menolak untuk memainkan peran mereka dalam kesepakatan yang dibuat tanpa persetujuan mereka dan dengan mengorbankan kepentingan mereka. Tak lama kemudian, Nasser dan Raja Faisal berselisih lagi, dan Raja Faisal lalu pergi ke Teheran untuk menawarkan kepada Shah Iran sebuah “pakta Islam” untuk melawan orang-orang Mesir yang dianggap tidak ber-Tuhan. Yang menjadi Ironi dari upaya Saudi di masa kini dalam membentuk sebuah “poros Sunni” – kali ini dengan Mesir sebagai sekutu, bukan sebagai musuh – untuk melawan musuh utamanya, Iran, menunjukkan bahwa kita harus menghindari pemahaman bahwa pertarungan di saat ini di Yaman adalah masalah murni sektarian. Kembali ke tahun 1960-an, Raja Faisal saat itu sedang mencari sumber legitimasi yang akan membantunya bersaing dengan pemimpin pan-Arabisme yang sangat populer, yakni Nasser. Agama adalah pilihan yang mudah: Saudi memegang hak untuk atas tempat-tempat suci Islam, sementara sosialisme dan sekularisme Arab ala Nasser dianggap tidak pada tempatnya, sementara di sisi lain sekutu paling realistis Raja Faisal dalam perjuangan melawan Nasser, yakni Shah Iran, sama-sama Muslimnya, meski berbeda denominasinya. Perbedaan sektarian toh juga tidak menghalangi aliansi Riyadh dengan sebagian besar kelompok penentang intervensi Mesir, yakni Zaidi di Yaman. Hari ini, tentu saja, pemerintah Saudi menentang banyak dari suku-suku yang sama — bukan karena mereka Syiah, tetapi karena mereka dipandang berkolusi dengan kekuatan musuh yang mengancam akan mengganggu keseimbangan kekuatan regional. Sebaliknya, ada lebih sedikit koherensi sektarian terhadap tindakan Iran daripada yang terlihat. Sementara mendukung Houthi, yang menganut Syiah versi Zaidi, Iran juga mendukung elemen Sunni di Yaman yang telah memilih untuk bersekutu dengan Houthi dan berafiliasi dengan Presiden terguling Ali Abdullah Saleh (yang juga seorang Syiah). Penting juga untuk menyadari bahwa identitas keagamaan di Yaman lebih mudah dibentuk daripada di bagian lain dunia Arab, dan pembagian antara berbagai aliran Sunni dan Syiah kurang begitu mencolok jika dibandingkan di Irak, misalnya. 

Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser (berdiri di kiri) disambut oleh orang-orang Yaman pada kunjungannya ke Sanaa, April 1964. Di depan Nasser dan memberi hormat adalah Presiden Yaman al-Sallal. Setelah mendapati jalan buntu di Yaman, Nasser mengambil langkah-langkah diplomatik untuk kemudian bisa menarik mundur Pasukan Mesir dari Yaman. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Nasser danRaja Faisal dari Saudi. Setelah bertahun-tahun bersaing, pada akhirnya Nasser mencoba membuka hubungan dengan pemerintah Kerajaan Saudi. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

AKHIR PETUALANGAN “VIETNAM”-NYA MESIR

Sementara itu, ketergantungan Nasser yang semakin dalam pada Uni Soviet dan konfliknya yang semakin tajam dengan Arab Saudi dan Inggris telah menempatkannya berada dalam ketegangan yang semakin besar dengan Amerika Serikat. Walaupun pemerintahan Presiden John F. Kennedy berkomitmen pada kebijakan détente dengan Nasser—yang membuat Inggris dan Saudi frustrasi—berlarutnya konflik di Yaman membuat kemerosotan hubungan diantara keduanya menjadi tak terelakkan. Kemudian di bawah kepemimpinan Presiden Lyndon B. Johnson, bantuan ekonomi AS ke Kairo akhirnya dihentikan. Perang di Yaman tidak hanya merusak posisi Nasser dalam dunia internasional, tetapi juga mengancam stabilitas di dalam negeri Mesir. Ketika intervensi berlanjut, kondisi ekonomi Mesir berubah dari buruk menjadi lebih buruk, ketidakpuasan domestik naik ke tingkat yang berbahaya, dan meningkatnya kritik dari dalam dunia Arab, yang pada akhirnya mulai berdampak pada reputasi Nasser. Akhirnya, sama seperti pemerintah Nixon mengambil kebijakan “Vietnamisasi”, beberapa tahun kemudian, Nasser mengambil kesimpulan bahwa Mesir sudah cukup mengerahkan pasukan dan material dengan hasil mengecewakan. Ia kemudian mencoba mencari cara untuk mengurangi kerugiannya. Nasser memutuskan bahwa pasukannya di Yaman akan dikurangi secara drastis, dan pada pertengahan tahun 1966, pasukan Mesir di Yaman tinggal menyisakan 20.000 personel.

Situasi di Yaman Utara pada tahun 1967 antara wilayah yang dikuasai oleh Pemerintah Republik (hitam) dan Royalis Zaidi (merah). (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tentara Mesir menjadi tawanan Israel dalam Perang 6 hari, Juni 1967. Beberapa pengamat menyatakan bahwa untuk mempertahankan reputasinya yang merosot akibat petualangan di Yaman, Nasser memilih membuka konfrontasi dengan Israel untuk menyatukan solidaritas negara-negara Arab dibawah pimpinan Mesir. Tindakan Nasser ini pada akhirnya malah berujung bencana. (Sumber: https://en.qantara.de/)

Dalam kebijakan “menarik nafas panjang”, pasukan Mesir bertanggung jawab untuk mempertahankan kota-kota penting di Yaman dan menyediakan dukungan udara dan senjata berat bagi unit-unit Republik dalam berbagai situasi saat dibutuhkan. Upaya pelatihan tentara Republik Yaman kini dialihkan pada orang-orang Russia (yang dianggap orang-orang Yaman sebagai instruktur yang lebih baik dibanding rekan-rekan Arab-nya), dan orang-orang Mesir semakin mengalihkan tanggung jawab operasi di lapangan pada pihak Republik dan suku-suku sekutunya yang kerap berubah-ubah. Sebagai tambahan Nasser juga melobby dengan keras untuk menegosiasikan penyelesaian sehingga ia dapat menarik diri dari Yaman seluruhnya. Akan tetapi Nasser tidak berencana untuk pergi begitu saja, dengan meminta beberapa konsesi pada pihak Royalis dan sekutu Saudinya, seperti yang telah disinggung diatas, sebelum menarik diri sepenuhnya. Meski demikian, Kairo terus menarik pasukannya dari Yaman. Pada bulan Juni 1967, hanya tinggal 15.000 prajurit Mesir dan 50 pesawat (umumnya pesawat angkut) yang masih ada di Yaman. Sebagian besar formasi tempur terbaiknya telah ditarik mundur. Pada bulan Mei 1967, Nasser mengambil langkah untuk menyelesaikan semua masalah ini dengan mengalihkan perhatian dunia ke wilayah utara. Dia kemudian menggiring pasukannya dengan tiba-tiba ke gurun Sinai, yang segera memicu krisis internasional dan berujung meletusnya perang enam hari dengan Israel. Hasilnya adalah kekalahan besar, yang menyebabkan penarikan pasukan Mesir dari Yaman – sehingga membuat Israel secara tidak sengaja membantu kemenangan Saudi. Dengan Mesir sekarang dalam kondisi bangkrut, Nasser terpaksa menarik diri dari Yaman dengan imbalan janji bantuan keuangan dari Raja Faisal. Transaksi ini, yang terjadi pada bulan Agustus 1967 di KTT Liga Arab di Khartoum, Sudan—yang terkenal dengan kata “tiga tidak”-nya kepada Israel—melambangkan pergeseran kekuasaan dari Kairo ke Riyadh dalam perang di Yaman. Nasserisme telah kehabisan bensin. Pada bulan November 1967, tentara Mesir terakhir meninggalkan Semenanjung Arab, mengakhiri ancaman eksistensial terhadap kerajaan Saudi selama satu generasi. Dikabarkan sekitar 26.000 prajurit Mesir tewas di Yaman, selama petualangan Nasser di negeri itu. Sekutu Mesir di Yaman, Presiden Abdullah al-Sallal, kemudian digulingkan dalam kudeta segera setelah pasukan Mesir meninggalkan Sana’a. Hebatnya, republik itu ternyata tetap bisa bertahan, meskipun penerus Sallal tidak banyak memenuhi janji-janji besar revolusi, dan kleptokrasi yang mereka lakukan menghancurkan kekuasaannya hampir setengah abad kemudian.

CATATAN SEKITAR PERFORMA MILITER MESIR DI YAMAN

Performa pasukan Mesir di Yaman bukannya tanpa catatan yang bagus, namun hal itu sedikit dan jarang. Secara khusus, dukungan logistik yang diberikan pada pasukan Mesir patut mendapat pujian. Korps perbekalan Kairo mampu memindahkan dan membekali hingga sebanyak 70.000 prajurit di medan tempur yang berada sejauh 2.000 mil dari Mesir sendiri. Karena infrastruktur dan ekonomi Yaman yang primitif, tidak dapat mengandalkan pemenuhan kebutuhan pasukannya secara lokal. Sebaliknya, hampir semua kebutuhan pasukannya harus dibawa melintasi laut Merah dari basisnya di Mesir. Selama 5 tahun Mesir dapat menggerakkan dan melengkapi pasukannya di Yaman tanpa mengalami problem yang signifikan. Sementara itu ada 3 hal penting yang perlu dikemukakan dalam menilai efektifitas kepemimpinan militer Mesir di Yaman, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Perwira senior Mesir secara umum lebih baik performanya dibanding para perwira yuniornya. Para komandan top-nya lebih kreatif dan agresif dalam menjalankan operasi dibanding komandan brigade, batalion dan kompi di lapangan. Komandan senior juga menaruh lebih banyak perhatian pada penggunaan senjata gabungan dan kemampuan manuver dibanding mengandalkan daya tembak belaka.
  2. Ofensif besar pasukan Mesir kerap sangat bagus jika dipandang sebagai operasi militer konvensional, seperti ditunjukkan pada ofensif Ramadan Jenderal Amer dan ofensif lanjutan dari Jenderal Murtagi. Operasi-operasi ini direncanakan dengan baik, dan bila digunakan untuk melawan musuh konvensional, mungkin akan berakhir dengan hasil yang menentukan.
  3. Walaupun berbagai operasi Mesir mengagumkan, tetapi ofensif-ofensif itu tidak cocok digunakan dalam perang lawan gerilya. Ini adalah faktor krusial yang menyebabkan kegagalan militer Mesir di Yaman. Para Jenderal Mesir tampaknya tidak memahami cara untuk mengalahkan kekuatan gerilya. Mereka nampaknya percaya bahwa pemberontakan kelompok Royalis adalah problem militer konvensional dimana solusi militer konvensional dapat diaplikasikan.

Jadi secara keseluruhan dapat disimpulkan kegagalan Mesir di Yaman adalah hasil dari buruknya performa pasukan di level taktis dan strategi yang buruk. Seperti Amerika di Vietnam kemudian, bahkan kekuatan militer taktis yang kompeten di lapangan tidak mampu menaklukkan gerilya tanpa menjalankan strategi anti gerilya yang benar. Akan tetapi semua kesalahan juga tidak dapat ditimpakan pada Jenderal-jenderal di Kairo, karena nampaknya meragukan bahwa dengan kekuatan di level lapangan yang tidak efektif akan mampu sukses mengimplementasikan taktik anti gerilya yang bagus.

Kegagalan pasukan Mesir dalam menundukkan pemberontakan di Yaman, mirip dengan petualangan Amerika di Vietnam yang gagal menjalankan perang anti gerilya secara efektif, meski memiliki peralatan yang lebih superior dari lawannya. (Sumber: https://washingtonmonthly.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Arabs at War: Military Effectiveness, 1948-1991 (Studies in War, Society, and the Military) by Kenneth M. Pollack; September 1, 2004; Page 48-57

Egypt’s Vietnam: Lessons from the last time Cairo waded into war in Yemen By Jesse Ferris

https://en.m.wikipedia.org/wiki/North_Yemen_Civil_War

Exit mobile version