Sejarah Militer

Jejak Kuat Dukungan Soviet Dalam Pendirian Israel (1947-1948)

Musim dingin yang keras di awal tahun 1947 di Inggris telah diikuti oleh krisis bahan bakar yang paling serius dialami olen negara itu. Industri hampir berhenti, dan iklim di Inggris sangat dingin. Dalam kondisi ini, Pemerintah Inggris, lebih dari sebelumnya, menginginkan hubungan baik dengan negara-negara Arab pengekspor minyak. Pada tanggal 14 Februari, Menteri Luar Negeri Bevin mengumumkan keputusan London untuk merujuk masalah wilayah mandat Palestina ke PBB karena proposal perdamaian yang diajukan Inggris telah ditolak oleh orang-orang Arab dan Yahudi. Itu adalah isyarat putus asa dari negara kolonialis besar yang sedang mengalami kemunduran ini.

Anak-anak Inggris menyambut kemenangan sekutu di Eropa setelah Perang Dunia II dinyatakan berakhir. Meskipun menang, namun Inggris mengakhiri perang dalam keadaan bangkrut. Dengan memudarnya pengaruh dan kekuatannya, Inggris berupaya mengurangi kewajibannya di luar negeri, salah satunya adalah dalam mengatasi masalah di Wilayah Mandat Palestina yang bergejolak. (Sumber: https://www.dailymail.co.uk/)
Sir Alexander Cadogan (kiri), Kapten D. M. Somerville (tengah) dan Ernest Bevin, Menteri Luar Negeri Inggris. Pada tanggal 14 Februari, Menteri Luar Negeri Bevin mengumumkan keputusan London untuk merujuk masalah wilayah mandat Palestina ke PBB karena proposal perdamaian yang diajukan Inggris telah ditolak oleh orang-orang Arab dan Yahudi. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

LATAR BELAKANG

Sampai akhir Perang Dunia I, Palestina adalah bagian dari Kekaisaran Ottoman. Pada saat itu, sekitar 450 ribu orang Arab dan 50 ribu orang Yahudi tinggal di wilayah ini. Komunitas Yahudi Palestina yang dikenal sebagai “Sabra” telah tinggal di tanah Palestina sejak dahulu kala, tetapi sejak akhir abad ke-19, orang-orang Yahudi dari seluruh dunia mulai bermigrasi ke Palestina, terutama dari Eropa Tengah dan Timur. Migrasi orang-orang Yahudi ini disebabkan oleh dua alasan. Pertama, di Eropa pada pergantian abad 19 – 20 terdapat gelombang sentimen anti-Semit — ini terjadi di Jerman, Austria-Hongaria, dan Kekaisaran Rusia. Kedua, pada saat yang sama, ideologi Zionis mulai menyebar di kalangan penduduk Yahudi dengan tujuan utama untuk kembali ke Eretz (tanah perjanjian) Israel. Dipengaruhi oleh ideologi Zionis dan karena ingin melarikan diri dari aksi pogrom dan diskriminasi, maka orang-orang Yahudi dari Eropa Timur mulai berdatangan ke Palestina. Mereka kemudian menjadi semakin banyak, terutama setelah pogrom (aksi kekerasan anti Yahudi) yang terkenal di Chisinau/Kishinev-Moldova, yang mendorong gelombang kedua migrasi massal ke tanah Palestina. Namun sebelum runtuhnya Kesultanan Utsmaniyah, masih belum ada konflik yang serius di Palestina. Baru setelah kekalahan Kesultanan Utsmaniyah dalam Perang Dunia Pertama, wilayah kekuasaannya yang luas di Timur Tengah lalu dibagi menjadi wilayah mandat antara Inggris Raya dan Prancis, dan sebagian wilayah lainnya memperoleh kemerdekaan. Pada bulan April 1920, pada konferensi di Sanremo, Inggris menerima mandat untuk memerintah Palestina, dan pada bulan Juli 1922, mandat ini disetujui oleh Liga Bangsa-Bangsa. Wilayah Israel modern dan Yordania termasuk dalam wilayah mandat Inggris Raya. Sementara itu, wilayah Suriah dan Libanon berada di bawah kendali Prancis. Tetapi pada tahun 1922 juga, atas prakarsa Winston Churchill, tiga perempat tanah Palestina dipindahkan ke emirat Transjordan, yang dipilih oleh perwakilan dinasti Hashemite dari Sheriff Mekah Abdullah, yang sebelumnya telah naik takhta menjadi Raja Irak. Tanah yang bukan menjadi bagian dari Transyordania kemudian mulai secara aktif dihuni oleh orang-orang Yahudi. Pada tahun 1919-1924 terjadi gelombang migrasi besar-besaran ketiga ke Palestina – Aliya Ketiga, yang pada akhirnya populasi Yahudi di Palestina berkembang menjadi sekitar 90 ribu orang.

Pada tahun 1922, atas prakarsa Winston Churchill, tiga perempat tanah Palestina diberikan kepada emirat Transjordan. (Sumber: https://www.kompasiana.com/)
Para rabi Yahudi membeli tanah dari seorang pemilik tanah Arab, tahun 1920-an. Khawatir dengan semakin banyaknya orang-orang Yahudi menempati wilayah Palestina, orang-orang Arab menjalankan berbagai upaya, mulai dari praktik boikot (penolakan untuk menyewa, menyewakan properti, dll) hingga ke aksi pogrom secara terbuka. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Peningkatan jumlah populasi Yahudi di pertengahan tahun 1920-an lalu menyebabkan meningkatnya sentimen nasionalisme di antara orang-orang Arab. Khawatir dengan semakin banyaknya orang-orang Yahudi menempati wilayah Palestina, orang-orang Arab menjalankan berbagai upaya, mulai dari praktik boikot (penolakan untuk menyewa, menyewakan properti, dll) hingga ke aksi pogrom secara terbuka. Ideolog nasionalisme Arab saat itu didorong oleh mufti Yerusalem Amin al-Husseini, yang kemudian menjadi dekat dengan Adolf Hitler atas dasar sikap negatif yang terakhir terhadap orang-orang Yahudi dan Inggris. Amin al-Husseini menjelma menjadi salah satu konduktor utama pengaruh Nazi Jerman di dunia Arab. Pada tahun 1929, gelombang pogrom Yahudi berdarah menyapu wilayah Palestina, yang membunuh banyak orang-orang Yahudi. Saat itu tidak banyak imigran, dan perwakilan dari komunitas Yahudi terorganisir yang siap untuk melawan orang-orang Arab, di lingkungan dimana mereka hidup selama berabad-abad. Tetapi memburuknya situasi di Palestina mempengaruhi pengorganisasian orang-orang Yahudi, dari situ gerakan-gerakan Zionis menjadi lebih terorganisir dan aktif, dengan mulai memberikan banyak perhatian pada pelatihan militer dan bagaimana bisa memperoleh senjata. Pada dekade 1930-an, masuknya orang Yahudi ke Palestina terus berlanjut, karena kemenangan Nazisme di Jerman dan gelombang anti-Semitisme berlanjut di Eropa Tengah dan Timur. Pada akhir Perang Dunia II, orang Yahudi merupakan 33% dari total populasi di wilayah Palestina – jauh meningkat dari jumlah 11% pada awal abad ke-20.

Mufti Yerusalem Amin al-Husseini bersama dengan Hitler. (Sumber: https://www.boombastis.com/)
Demonstrasi anti-Zionis di Gerbang Damaskus, pada tanggal 8 Maret 1920. Meningkatnya imigran Yahudi masuk ke tanah Palestina pada dekade 1920an segera menjadi “alarm” bagi orang-orang Arab di wilayah itu. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Perubahan komposisi penduduk seperti itu terus menumbuhkan ambisi politik kaum Yahudi, yang semakin aktif menuntut pembentukan negara Yahudi untuk mereka sendiri di wilayah Palestina. Tapi seluruh dunia Arab menolak realisasi ide ini. Sejak pertengahan tahun 1940-an. Formasi radikal Yahudi sudah sangat banyak, dan banyak dari anggota mereka memiliki pengalaman tempur nyata yang diperoleh saat bertugas dalam Brigade Yahudi Angkatan Darat Inggris dan di pasukan lain dari negara-negara yang bersekutu dengan koalisi anti-Hitler. Di tengah semakin meningkatnya potensi konflik terbuka di wilayah Palestina, London tidak bisa menemukan solusi politik untuk mengatasi permasalahan Arab-Yahudi. Karena itu, persoalan masa depan politik Palestina dirujuk ke PBB. Sedari awal, para pemimpin Yahudi Palestina bersikeras pada pembentukan negara Yahudi yang merdeka. Dunia Arab, pada gilirannya, menuntut pembentukan negara bersatu di mana orang-orang Arab dan Yahudi akan hidup bersama. Pilihan terakhir tidak dapat diterima oleh orang-orang Yahudi, karena orang-orang Arab masih merupakan dua pertiga dari penduduk Palestina dan faktanya negara baru itu akan dikendalikan oleh orang-orang Arab, yang pasti akan berarti diskriminasi terhadap minoritas Yahudi. PBB kemudian mempertimbangkan dua opsi. Opsi pertama adalah pembentukan dua negara merdeka, sementara Yerusalem dan Betlehem, karena merupakan tempat suci bagi berbagai agama, akan berada di bawah kendali internasional. Pilihan kedua adalah menciptakan negara federal di mana mereka akan berusaha secara maksimal mengamati keseimbangan kepentingan antara orang-orang Yahudi dan Arab. Wacana penyelesaian konflik antara orang-orang Yahudi dan Arab di wilayah Palestina ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari negara-negara di dunia, salah satunya adalah Uni Soviet, yang memiliki agendanya sendiri.

“SEKARANG TIDAK AKAN ADA PERDAMAIAN DI SINI” 

Pada tanggal 6 Maret 1947 Penasihat Kementerian Luar Negeri Uni Soviet Boris Stein menyampaikan kepada Wakil Menteri Luar Negeri Pertama Andrei Vyshinsky sebuah catatan tentang masalah Palestina: “Sejauh ini, Uni Soviet belum merumuskan posisinya tentang masalah Palestina. Pengalihan masalah Palestina oleh Inggris ke Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan kesempatan bagi Uni Soviet untuk pertama kalinya tidak hanya untuk mengungkapkan sudut pandangnya tentang masalah Palestina, tetapi juga untuk mengambil bagian yang efektif dalam nasib Palestina. Uni Soviet tidak bisa tidak mendukung tuntutan orang-orang Yahudi untuk mendirikan negara mereka sendiri di wilayah Palestina. ” Vyacheslav Molotov, dan kemudian Joseph Stalin setuju dengan pemikiran ini. Pada tanggal 14 Mei, Andrei Gromyko, perwakilan tetap Uni Soviet untuk PBB, menyuarakan posisi Soviet. Pada sesi khusus Majelis Umum, dia, secara khusus, mengatakan: “Orang-orang Yahudi (telah) mengalami bencana dan penderitaan yang luar biasa dalam perang terakhir (Perang Dunia II). Di wilayah yang didominasi oleh orang-orang Hitler, orang-orang Yahudi menjadi sasaran pemusnahan fisik yang hampir lengkap – sekitar enam juta orang meninggal. Fakta bahwa tidak satu pun negara Eropa Barat mampu menjamin perlindungan hak-hak dasar orang Yahudi dan melindunginya dari kekerasan oleh algojo fasis menjelaskan keinginan orang Yahudi untuk mendirikan negara mereka sendiri. Tidak adil untuk tidak memperhitungkan hal ini dan menyangkal hak orang-orang Yahudi untuk mewujudkan keinginan seperti itu. ”

Andrei Gromyko, Perwakilan Tetap Uni Soviet untuk PBB, menunjukkan dukungan kuat untuk pendirian negara Israel di wilayah mandat Inggris di Palestina. (Sumber: https://www.rbth.com/)

Sikap Soviet ini segera memancing reaksi dari Amerika Serikat, yang dari waktu ke waktu berkembang menjadi rival bekas sekutunya selama perang ini. “Karena Stalin sangat bertekad untuk memberikan negara sendiri kepada orang-orang Yahudi, adalah bodoh bagi Amerika Serikat untuk menolaknya!” Demikian kesimpulan dari Presiden AS Harry Truman dan menginstruksikan Departemen Luar Negerinya yang “anti-Semit” untuk mendukung “inisiatif Stalin” di PBB. Pada paruh kedua abad kedua puluh, selama Perang Dingin, Israel memang menjadi sekutu regional penting Amerika Serikat. Namun, pada tahun 1947, Washington sebenarnya tidak memiliki pendapat yang tegas mengenai masa depan wilayah Palestina. Sebaliknya terlepas dari “pembersihan” pada akhir tahun 1930 dan nuansa tertentu dari periode pascaperang, orang-orang Yahudi di Uni Soviet merasa jauh lebih baik nasibnya daripada di sebagian besar negara lain di dunia. Perlu diingat bahwa pada saat Israel berdiri, Uni Soviet adalah satu-satunya negara di dunia di mana hukuman pidana dapat diberikan untuk aksi-aksi anti-Semitisme. Kemudian pada tanggal 29 November 1947, PBB mengadopsi resolusi No. 181 (2) tentang pembentukan dua negara merdeka di Palestina, yakni: negara bagi orang Yahudi dan Arab, segera setelah penarikan pasukan Inggris tanggal 14 Mei 1948. Dalam pemungutan suara oleh 56 negara, 33 negara anggota PBB, termasuk Uni Soviet, Amerika Serikat, Australia, Prancis, Polandia, dan sejumlah negara Amerika Latin memilih pembentukan dua negara merdeka, sementara 13 negara lainnya menentang – yakni Afghanistan, Kuba, Mesir, Yunani, India, Iran, Irak, Lebanon, Pakistan, Arab Saudi, Suriah, Turki, Yaman. Akhirnya, 10 sisanya negara, termasuk Inggris Raya, China dan Yugoslavia, memilih untuk abstain, karena tidak ingin merusak hubungan baik dengan pihak Arab maupun Yahudi. Pada hari dimana resolusi diadopsi, ratusan ribu orang Yahudi Palestina yang awalnya putus asa dengan penuh kebahagiaan, turun ke jalanan. Ketika PBB membuat keputusan, Stalin membutuhkan waktu lama untuk mengisap pipa, dan kemudian berkata: “Sekarang, tidak akan ada perdamaian di sini.” Kata “disini” merujuk pada wilayah Timur Tengah. Negara-negara Arab saat itu tidak membuat keputusan atas resolusi PBB. Meski demikian mereka sangat marah dengan posisi Soviet. Partai Komunis Arab, yang terbiasa berperang melawan “Zionisme – yang dianggap sebagai agen imperialisme Inggris dan Amerika”, menjadi bingung, melihat bahwa posisi Soviet telah berubah tanpa bisa mereka pahami. Tapi Stalin tidak tertarik dengan reaksi negara-negara Arab dan partai komunis lokal. Jauh lebih penting baginya untuk mengamankan, terlepas dari pendapat Inggris, keberhasilan diplomatiknya dan, jika mungkin, mengajak bergabung negara Yahudi masa depan di wilayah Palestina ke dalam lingkup pengaruh ideologi sosialisme dunia yang sedang diciptakannya.

Presiden Amerika Harry S Truman. Pada masa menjelang kemerdekaan Israel, Amerika Serikat belum memiliki kebijakan yang jelas di wilayah itu. (Sumber: https://www.greelane.com/)
Anggota PBB memberikan suara atas prakarsa partisi Palestina pada tahun 1947. Hijau = Mendukung, Kuning = Abstain, Coklat tua = Menolak, Merah = absen. Dalam pemungutan suara oleh 56 negara, 33 negara anggota PBB, termasuk Uni Soviet, Amerika Serikat, Australia, Prancis, Polandia, dan sejumlah negara Amerika Latin memilih pembentukan dua negara merdeka, sementara 13 negara lainnya menentang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Wilayah Partisi yang diusulkan PBB. Orang-orang Yahudi menerima, orang-orang Arab menolak. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Seperti yang dikatakan Leonid Mlechin, seorang sejarawan dan jurnalis Rusia kepada radio Ekho Moskvy, “menciptakan negara Yahudi di Palestina adalah cara bagi Stalin untuk mendesak Inggris Raya yang melemah, yang dibencinya, keluar dari Timur Tengah.” Karena rezim Arab sering kali dinilai pro-Inggris, Stalin lebih suka bekerjasama dengan kelompok Zionis. Di sisi lain, meski sebelumnya merupakan sekutu Soviet dalam Perang Dunia II, selepas perang Inggris telah menjadi saingan geopolitik Soviet. Inggris sendiri juga dibenci oleh para pemukim Yahudi, karena menghalangi imigrasi orang-orang Yahudi ke tanah Palestina. Pada tahun 1946, militan Zionis mengebom Hotel King David di Yerusalem, tempat pemerintahan Inggris ditempatkan, menewaskan 91 orang. Mengusir Inggris adalah tujuan bersama kelompok Zionis dan Uni Soviet, meskipun untuk alasan yang berbeda. Untuk mencapai tujuannya ini, di Uni Soviet sebuah pemerintah “orang-orang Yahudi di Palestina” disiapkan. Solomon Lozovsky, anggota Komite Sentral Partai Komunis, mantan wakil Komisaris Luar Negeri, direktur Biro Informasi Soviet, akan ditunjuk menjadi perdana menteri Israel baru. Yang kedua pahlawan tank David Dragunsky, peraih penghargaan Hero Of The Soviet Union, dikukuhkan menjadi Menteri Pertahanan; Grigory Gilman, perwira intelijen senior Angkatan Laut Soviet, menjadi menteri angkatan laut. Tetapi pada akhirnya sebuah pemerintahan telah lebih dulu dibentuk dari sebuah badan Yahudi internasional yang dipimpin oleh ketuanya Ben-Gurion (yang juga berasal dari bekas wilayah kekuasaan Rusia); dan “pemerintah bercorak Stalinis”, yang sudah siap terbang ke Palestina, akhirnya dibubarkan. Sementara itu, disahkannya resolusi tentang pembagian Palestina menjadi pertanda dimulainya konflik bersenjata Arab-Yahudi, yang berlangsung hingga pertengahan Mei 1948 dan merupakan semacam awal dari perang Arab-Israel pertama, yang juga akan disebut sebagai “Perang Kemerdekaan” di Israel.

Stalin memiliki impian berdirinya negara Israel yang masuk kedalam lingkup pengaruh Soviet, sekaligus mengurangi pengaruh Inggris di kawasan Timur Tengah. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Fawzi al-Qawuqji (ke-3 dari kanan) pada tahun 1936. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Amerika saat itu memberlakukan embargo pasokan senjata ke wilayah tersebut, sebaliknya Inggris terus mempersenjatai negara-negara Arab sahabat mereka. Akibatnya orang-orang Yahudi nyaris tidak memiliki apa-apa. Detasemen partisan mereka hanya dapat mempersenjatai diri dengan senapan, senapan rakitan dan granat yang dicuri dari militer Inggris. Sementara itu, menjadi jelas bahwa negara-negara Arab tidak akan membiarkan keputusan PBB berlaku dan akan mencoba dengan segala cara untuk menghancurkan orang-orang Yahudi Palestina sebelum proklamasi kemerdekaan mereka dilakukan. Mengamati perkembangan ini, utusan Soviet di Lebanon, setelah berbicara dengan Perdana Menteri negara ini, melaporkan ke Moskow bahwa kepala pemerintah Lebanon telah menyatakan pendapat semua negara-negara Arab: “Jika perlu, orang-orang Arab akan berjuang untuk mempertahankan wilayah Palestina selama dua ratus tahun, seperti saat perang salib”. Senjata-senjata kemudian mulai dikirim ke Palestina, begitu juga “relawan-relawan Muslim.” Para pemimpin Arab Palestina, Amin al-Husseini dan Fawzi al-Qawuqji (yang dalam Perang Dunia II menjadi pendukung Nazi), melancarkan serangan luas terhadap pemukiman Yahudi. Orang-orang Yahudi yang bertahan terpaksa mundur ke pesisir Tel Aviv. Dari sini, sedikit lagi, orang-orang Yahudi nampaknya akan “dilemparkan ke laut.” Dan, tidak diragukan lagi, hal ini akan terjadi jika bukan karena tindakan yang diambil oleh Uni Soviet.

PERINTAH KHUSUS STALIN 

Atas perintah pribadi Stalin, pada akhir tahun 1947, lewat negara-negara satelitnya kelompok pertama pengiriman senjata kecil ringan tiba di Palestina. Tapi ini jelas tidak cukup. Pada tanggal 5 Februari perwakilan Yahudi Palestina melalui Andrei Gromyko dengan sungguh-sungguh meminta peningkatan pasokan persenjataan. Setelah mendengar permintaan tersebut, Gromyko yang ingin menghindari masalah diplomatik, sibuk bertanya apakah mungkin untuk memastikan pengiriman senjata ke Palestina, karena masih ada hampir 100 ribu kontingen tentara Inggris di sana. Inilah satu-satunya masalah yang harus dipecahkan oleh orang-orang Yahudi di Palestina. Orang-orang Yahudi Palestina menerima senjata terutama melalui Cekoslovakia. Pertama-tama, dikirimkan senjata rampasan Jerman dan Italia saat perang, serta senjata yang diproduksi di Cekoslovakia di pabrik Skoda dan CZ. Pihak Praha jelas dibayar dengan baik untuk hal ini. Kontrak pertama ditandatangani pada tanggal 14 Januari 1948, oleh Jan Masaryk, menteri luar negeri Ceko. Ideologi tidak mempengaruhi transaksi awal ini, semuanya murni bisnis. Toh orang-orang Ceko juga menjual senjata ke orang-orang Arab juga. Kontrak tersebut mencakup pembelian 200 senapan mesin MG 34, 4.500 senapan P 18 dan 50.400.000 butir amunisi. Lapangan terbang di České Budějovice  adalah pangkalan pengiriman utama. Dari Cekoslovakia(melalui Yugoslavia) senjata yang dikirimkan dan pesawat tempur yang dibeli kemudian melakukan penerbangan berisiko ke wilayah Palestina sendiri. Mereka membawa serta pesawat yang diurai, terutama pesawat tempur Jerman “Messerschmitt” (versi Cekoslovakia dari Me-109 yang dikenal sebagai Avia-199) dan “Spitfire” buatan Inggris, serta senjata artileri dan mortir. Seorang pilot Amerika berkata: “Senjata-senjata itu dimuat ke dalam pesawat. Tapi Anda tahu – jika Anda mendarat di Yunani, mereka akan mengambil pesawat dan kargonya. Mendarat di negara Arab mana pun – anda akan dibunuh. Tetapi ketika Anda mendarat di Palestina, orang-orang ‘malang’ itu sedang menunggu Anda. Mereka tidak memiliki senjata, tetapi mereka membutuhkannya untuk bertahan hidup. Karena itu, di pagi hari Anda siap untuk terbang lagi, meskipun Anda memahami bahwa setiap penerbangan mungkin akan menjadi yang terakhir. ” 

Sebuah pesawat Avia S-199 Israel, pada bulan Juni 1948. Tanpa restu dari Soviet, peralatan perang asal Cekoslovakia tidak mungkin bisa dijual ke Israel. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Pasukan Palmach Israel dengan persenjataannya diatas sebuah Jeep. Banyak dari persenjataan yang digunakan orang-orang Yahudi berasal dari negara-negara Eropa Timur yang ada dalam pengaruh Soviet. (Sumber: https://palmach.org.il/)

Pengiriman senjata ke “Tanah Suci” sering diiringi dengan detail layaknya kisah detektif. Berikut adalah salah satunya. Yugoslavia memberi orang-orang Yahudi tidak hanya wilayah udara, tetapi juga pelabuhan. Yang pertama berlayar adalah kapal transport Borea yang menggunakan bendera Panama. Pada 13 Mei 1948, kapal ini mengirimkan ke Tel Aviv senjata, peluru, senapan mesin dan sekitar empat juta butir amunisi – semua ini disembunyikan di bawah kedok muatan 450 ton bawang, tepung, dan kaleng-kaleng saus tomat. Kapal sudah siap untuk ditambatkan, tetapi kemudian seorang perwira Inggris mencurigai adanya penyelundupan – dan di bawah pengawalan kapal perang Inggris “Borea” dipindah ke Haifa untuk pemeriksaan yang lebih menyeluruh. Pada tengah malam, seorang perwira Inggris melirik arlojinya. “Mandat telah berakhir,” katanya kepada kapten Borea. – Anda bebas, lanjutkan perjalanan Anda. Salam! ”Borea menjadi kapal pertama yang membongkar muatan di pelabuhan yang dikuasai orang-orangYahudi yang Merdeka. Setelah itu, dari Yugoslavia, kapal-kapal transport lain dengan “bawaan” serupa tiba. Bukan hanya senjata, pilot-pilot Israel di masa depan juga dilatih di Cekoslovakia. Di tempat yang sama, di Ceske Budejovice, kru tank dan pasukan terjun payung dilatih. 1.500 prajurit infanteri Angkatan Pertahanan Israel dilatih di Olomouc, dua ribu lagi di Mikulov. Dari jumlah tersebut, sebuah unit dibentuk, yang awalnya disebut Brigade Gottwald untuk menghormati pemimpin Komunis Cekoslovakia dan negara itu. Brigade itu kemudian dipindahkan ke Palestina melalui Yugoslavia. Di tempat lain Staf medis diajar di Velk-Strébné, operator radio dan operator telegraf di Liberec, dan ahli listrik di Pardubice. Sementara itu, para pemimpin politik Soviet juga melakukan studi politik dengan anak-anak muda Israel. Di Rumania dan Bulgaria, spesialis Soviet melatih perwira untuk Pasukan Pertahanan Israel. Di sini, persiapan unit militer Soviet untuk dipindahkan ke Palestina guna membantu unit tempur Yahudi juga dimulai. Namun ternyata armada laut dan penerbangan mereka tidak akan mampu mendukung operasi pendaratan cepat di Timur Tengah. Mereka perlu untuk mempersiapkannya, pertama-tama, untuk mempersiapkan pihak penerima. Segera, Stalin memahami hal ini dan mulai membangun “Middle East bridgehead”. Dan pesawat-pesawat tempur yang sudah disiapkan, menurut memoar Nikita Khrushchev, dimuat ke kapal untuk dikirim ke Yugoslavia siap untuk menyelamatkan “negara sahabat”.

ORANG KAMI DI HAIFA 

Bersamaan dengan persenjataan dari negara-negara Eropa Timur, militer-Yahudi yang telah berpengalaman berpartisipasi dalam perang melawan Jerman tiba di Palestina. Diam-diam dikirim juga ke Israel para perwira Soviet, untuk menjalankan misi-misi intelijen. Menurut kesaksian jenderal keamanan negara Pavel Sudoplatov, “penggunaan perwira intelijen Soviet dalam operasi tempur dan sabotase terhadap Inggris di Israel sudah diluncurkan sejak tahun 1946.” Mereka merekrut agen-agen dari antara orang-orang Yahudi yang akan berangkat ke Palestina (terutama dari Polandia). Sebagai ketentuan, mereka adalah orang Polandia, serta warga negara Soviet, yang mengambil keuntungan dari ikatan kekerabatan, dan di beberapa tempat memalsukan dokumen (termasuk kebangsaan), untuk melakukan perjalanan melalui Polandia dan Rumania menuju ke Palestina. Pihak otoritas terkait sangat menyadari muslihat ini, tetapi menerima arahan untuk menutup mata terhadapnya. Jadi, strategi Moskow adalah berupaya memperkuat kegiatan rahasia di kawasan itu, terutama untuk melawan kepentingan Amerika Serikat dan Inggris Raya. Vyacheslav Molotov percaya bahwa adalah mungkin untuk melaksanakan rencana ini hanya dengan memusatkan semua kegiatan intelijen di bawah kendali satu departemen. Komite Informasi lalu dibentuk di bawah Dewan Menteri Uni Soviet, yang mencakup Badan Intelijen Asing Kementerian Keamanan Negara, serta Direktorat Intelijen Utama Staf Umum Angkatan Bersenjata Uni Soviet. Komite tersebut secara langsung berada di bawah kendali Stalin, dan dipimpin oleh Molotov dan para wakilnya. Pada akhir tahun 1947, Andrei Otroshchenko, kepala Komiinform bagian informasi Timur Tengah dan Timur Jauh, mengadakan pertemuan operasional di mana ia mengumumkan bahwa Stalin telah menetapkan beberapa tujuan, yakni: untuk memastikan transisi negara Yahudi masa depan yang berada dalam lingkup pengaruh Uni Soviet, sebagai sekutu terdekatnya. Untuk melakukan ini, perlu untuk menetralisir ikatan penduduk Israel dengan orang-orang Yahudi Amerika. Pemilihan agen untuk “misi” ini ditugaskan kepada Alexander Korotkov, yang mengepalai departemen intelijen ilegal di Komiinform. Pavel Sudoplatov menulis bahwa dia memilih tiga perwira Yahudi untuk operasi rahasia, yakni: Garbuza, Semenov dan Kolesnikov. Dua yang pertama menetap di Haifa dan menciptakan dua jaringan agen, tetapi tidak mengambil bagian dalam sabotase terhadap Inggris. Sementara itu, Kolesnikov mampu mengatur pengiriman senjata ringan dari Rumania ke Palestina. Orang-orang Sudoplatov juga terlibat dalam kegiatan tertentu – mereka sedang mempersiapkan batu loncatan untuk kemungkinan invasi pasukan Soviet di masa mendatang. Mereka paling tertarik pada militer Israel, organisasi mereka, rencana, kemampuan militer, serta prioritas ideologis mereka. Dan sementara di PBB ada perselisihan dan pembicaraan di belakang panggung tentang nasib negara-negara Arab dan Yahudi di wilayah Palestina, Uni Soviet mulai membangun negara Yahudi baru dengan langkah-langkah mengejutkan dari Stalin. Dimulai dengan hal-hal utama, seperti dalam hal pembentukan tentara, intelijen, kontra intelijen dan polisi, bukan hanya di atas kertas, tetapi juga dalam praktiknya. 

Bersamaan dengan persenjataan yang mengalir dari negara-negara Eropa Timur, orang-orang Yahudi yang telah berpengalaman militer dalam perang melawan Jerman ikut berdatangan di Palestina. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Wilayah orang-orang Yahudi di Palestina menyerupai sebuah distrik militer, dengan sistem alarm dan yang dapat dengan cepat mengumpulkan orang-orang untuk dikerahkan dalam pertempuran. Pada saat itu terjadi, tidak akan ada orang yang membajak di ladang, dan semua bersiap untuk berperang. Atas perintah para perwira Soviet, orang-orang yang memiliki spesialisasi dalam bidang kemiliteran yang amat diperlukan, diidentifikasi di antara para pemukim, dikirim ke pangkalan, di mana mereka di cek oleh unit kontra-intelijen Soviet, dan kemudian segera dibawa ke pelabuhan di mana kapal-kapal dibongkar secara diam-diam diluar pengawasan Inggris. Alhasil saat sebuah Tank, baru diturunkan di samping ke dermaga, crew lengkap segera dapat mengambil alih dan membawa peralatan militer itu ke tempat penempatan permanen atau langsung ke tempat pertempuran. Sementara itu, pasukan khusus Israel juga harus diciptakan dari awal. Partisipasi langsung dalam penciptaan dan pelatihan pasukan komando melibatkan beberapa perwira terbaik dari NKVD-MGB (“elang Stalin” dari detasemen “Berkut”, sekolah intelijen ke-101 dan unit kontrol “C” dibawah arahan Jenderal Sudoplatov) yang memiliki pengalaman operasional dan sabotase, seperti : Otroshchenko, Korotkov, Vertiporoh dan puluhan lainnya. Selain mereka, dua jenderal dari satuan infanteri dan penerbangan, laksamana muda Angkatan Laut, lima kolonel dan delapan letnan kolonel, dan, tentu saja, perwira junior untuk pekerjaan langsung di lapangan, segera diperbantukan ke Israel. Beberapa agen yang dikirimkan faktanya menghadapi situasi yang pelik, dengan konsekuensi serius tidak dapat dihindari. Contohnya, ketika seorang agen Soviet menyusup ke komunitas Yahudi Ortodoks, dia bahkan tidak tahu dasar-dasar ajaran Yudaisme. Saat ketahuan, dia terpaksa mengaku sebagai petugas keamanan profesional. Kemudian dewan komunitas memutuskan: untuk memberikan oknum itu pendidikan agama yang layak. Selain itu, agen otoritas Soviet di masyarakat telah tumbuh secara dramatis: Uni Soviet adalah negara tempat diaspora orang Yahudi, para pemukim Yahudi kemudian beralasan, rahasia apa yang bisa disembunyikan dari mereka? Imigran dari Eropa Timur dengan rela melakukan kontak dengan perwakilan Soviet, memberi tahu semua orang yang mereka kenal. Beberapa oknum Yahudi secara khusus bersimpati dengan Tentara Merah dan Uni Soviet; mereka tidak menganggap memalukan untuk berbagi informasi rahasia dengan agen intelijen Soviet. Melimpahnya sumber informasi menciptakan rasa aman yang menutupi agenda mereka. “Mereka,” kami mengutip sejarawan Rusia Zhores Medvedev, “bermaksud untuk secara diam-diam memerintah Israel, dan melaluinya juga diharapkan dapat mempengaruhi komunitas Yahudi Amerika.” Layanan khusus Soviet aktif di lingkaran orang-orang kiri dan pro-komunis, serta di organisasi bawah tanah kanan LEHI dan ETSEL. Misalnya, seorang penduduk Beersheba bernama Chaim Bresler pada tahun 1942-1945, dia berada di Moskow sebagai bagian dari kantor perwakilan LEHI, terlibat dalam kegiatan penyediaan senjata dan melatih para militan. Dia menyimpan foto-foto masa perangnya bersama Dmitry Ustinov, Menteri Persenjataan saat itu, kemudian Menteri Pertahanan Uni Soviet dan anggota Biro Politik Komite Sentral CPSU, dengan perwira intelijen terkemuka: Yakov Serebryansky (ia bekerja di Palestina pada tahun 1920-an dengan Jacob Blumkin), Jenderal Keamanan Negara Pavel Raikhman dan beberapa orang lain. Daftar kenalan ini cukup signifikan bagi seseorang yang termasuk dalam daftar pahlawan Israel dan veteran Lehi.

DUKUNGAN SOVIET PADA KEMERDEKAAN ISRAEL 

Menjelang tanggal proklamasi negara Yahudi, situasi di Palestina memanas. Politisi Barat bersaing agar orang Yahudi Palestina tidak terburu-buru memproklamirkan negara mereka sendiri. Departemen Luar Negeri AS memperingatkan para pemimpin Yahudi bahwa jika tentara Arab menyerang negara Yahudi, mereka tidak bisa mengandalkan bantuan Amerika Serikat. Moskow, di sisi lain, dengan tegas menyarankan mereka untuk memproklamasikan negara Yahudi segera setelah tentara Inggris terakhir meninggalkan Palestina. Negara-negara Arab tidak menginginkan munculnya negara Yahudi. Yordania dan Mesir berencana untuk membagi Palestina, di mana pada bulan Februari 1947 tinggal 1.091.000 orang Arab, 146 ribu orang Kristen dan 614 ribu orang Yahudi, di wilayah itu. Sebagai perbandingan: pada tahun 1919 (hampir tiga tahun sebelum berlakunya Mandat Resmi Inggris) terdapat 568 ribu orang Arab, 74 ribu orang Kristen dan (hanya) 58 ribu orang Yahudi tinggal di sini. Keseimbangan kekuatan sedemikian rupa sehingga negara-negara Arab tidak meragukan prospek keberhasilan mereka. Sekretaris Jenderal Liga Arab berjanji: “Ini akan menjadi perang pemusnahan dan pembantaian besar-besaran.” Orang-orang Arab Palestina diperintahkan untuk sementara meninggalkan rumah mereka agar tidak terkena serangan secara tidak sengaja dari tentara Arab yang bergerak maju. Sementara itu, Moskow beranggapan bahwa orang-orang Arab yang tidak ingin tinggal di Israel harus menetap di negara-negara Arab tetangganya. Disisi lain ada pendapat lain. Hal ini disuarakan oleh Perwakilan Tetap Ukraina SSR di Dewan Keamanan PBB Dmitry Manuilsky. Dia mengusulkan untuk “memukimkan kembali pengungsi Palestina di negara-negara Republik Asia Tengah Soviet dan menciptakan republik Uni Arab atau wilayah otonom di sana.” Pendapat ini cukup kontroversial! Meski demikian, toh faktanya pihak Soviet memang memiliki pengalaman melakukan pemaksaan migrasi massal penduduk.

David Ben-Gurion mendeklarasikan kemerdekaan Israel di bawah potret besar Theodor Herzl, pendiri Zionisme modern pada tanggal 14 Mei 1948. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Deklarasi kemerdekaan Israel segera disambut oleh sebagian besar orang-orang Yahudi di seluruh dunia. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Poster Stalin dalam sebuah parade. Buat generasi tua Israel, Stalin dianggap berjasa dalam proses pendirian negara mereka. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Pada malam Jumat tanggal 14 Mei 1948, di bawah penghormatan tujuh belas tembakan meriam, Komisaris Tinggi Inggris untuk Palestina berlayar dari Haifa. Mandat Inggris telah berakhir. Pada pukul empat sore, Negara Israel diproklamasikan di gedung museum di Rothschild Boulevard,Tel Aviv. Perdana Menteri masa depan Israel, David Ben-Gurion, setelah membujuk para menteri memberikan suara untuk mendukung deklarasi kemerdekaan, menjanjikan kedatangan dua juta orang Yahudi dari Uni Soviet dalam waktu dua tahun, kemudian membacakan Deklarasi Kemerdekaan Israel. Banyak orang Yahudi menunggu di Israel, sebagian dengan harapan dan beberapa lainnya dengan ketakutan. Pada saat itu muncul rumor tentang akan adanya “dua juta orang Yahudi” yang tersebar di Moskow dan Leningrad serta kota-kota Uni Soviet lainnya pascaperang yang akan datang ke Israel. Faktanya, pihak berwenang Soviet justru berencana untuk mengirim begitu banyak orang Yahudi ke arah lain — yakni ke Utara dan Timur Jauh Soviet, bukan ke Palestina. Meski demikian, Uni Soviet kemudian menjadi negara pertama yang secara resmi mengakui Israel secara de jure, dua hari setelah mendeklarasikan kemerdekaan pada 14 Mei 1948. Pada saat diplomat Soviet datang, sekitar dua ribu orang berkumpul di gedung salah satu bioskop terbesar di Tel-Aviv “Esther”, dan sekitar lima ribu orang berdiri di jalan, mendengarkan siaran radio dan parade. Potret besar Stalin dan slogan “Hidup persahabatan antara Negara Israel dan Uni Soviet!” digantung di atas meja presidium. Paduan suara pemuda pekerja menyanyikan himne Yahudi, kemudian lagu “kebangsaan” komunis “The Internationale‘ terdengar di seluruh aula. Dilanjutkan paduan suara yang menyanyikan “March of the Gunners“, “Song of Budyonny“, “Get up, the country is huge.” Diplomat Soviet lalu mengatakan di Dewan Keamanan PBB: karena negara-negara Arab tidak mengakui Israel dan perbatasannya, Israel mungkin juga tidak akan mengakui mereka.

SUKARELAWAN RUSIA 

Pada malam tanggal 15 Mei, pasukan dari lima negara Arab (Mesir, Suriah, Irak, Yordania dan Lebanon, serta unit-unit yang “diperbantukan” dari Arab Saudi, Aljazair, dan sejumlah negara lainnya) menyerbu Palestina. Amin al-Husseini, pemimpin spiritual Muslim Palestina, yang dekat dan sempat bertemu dengan Hitler pada Perang Dunia II, berbicara kepada para pengikutnya dengan membawa peringatan: “idha takalam al-seif, uskut ya kalam – “ketika pedang berbicara, tidak ada tempat untuk berbicara”. Reaksi orang-orang yahudi atas seruan ini adalah “Ein Brera” (tidak ada pilihan) – beginilah cara orang-orang Israel menjelaskan kesiapan mereka untuk berperang bahkan dalam keadaan yang paling buruk sekalipun. Memang, tidak ada pilihan di antara orang-orang Yahudi: orang-orang Arab tidak menginginkan konsesi, mereka ingin memusnahkan mereka semua. Uni Soviet “meski bersimpati untuk gerakan Kemerdekaan nasional bangsa-bangsa Arab” secara resmi mengutuk tindakan pihak Arab. Secara paralel, mereka memberikan instruksi kepada semua badan keamanan untuk memberi Israel semua bantuan yang diperlukan. Di Uni Soviet, dimulailah kampanye propaganda massal untuk mendukung Israel. Negara, partai, dan organisasi publik mulai menerima banyak surat (terutama dari orang-orang Yahudi) dengan permintaan untuk mengirim mereka ke Israel. Komite Anti-Fasis Yahudi (JAC) bentukan Stalin secara aktif terlibat dalam proses ini. Segera setelah invasi orang-orang Arab, sejumlah organisasi Yahudi asing secara pribadi mengajukan permintaan ke Stalin untuk memberikan dukungan militer langsung kepada negara muda itu. Secara khusus, penekanan diberikan pada pentingnya mengirim “pilot sukarelawan Yahudi ke Palestina.” “Anda, seseorang yang telah membuktikan wawasannya, dan dapat membantu,” kata salah satu telegram orang Yahudi Amerika yang ditujukan kepada Stalin. “Israel akan membayar Anda untuk pesawat-pesawat pembom.” Juga perlu dicatat di sini bahwa, sebagai perbandingan, dalam kepemimpinan “tentara Mesir” jelas ada lebih dari 40 perwira Inggris “berpangkat di atas kapten”.

Pada malam tanggal 15 Mei, pasukan dari lima negara Arab (Mesir, Suriah, Irak, Yordania dan Lebanon, serta unit-unit yang “diperbantukan” dari Arab Saudi, Aljazair, dan sejumlah negara lainnya) menyerbu masuk wilayah Palestina. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Gelombang berikutnya dari pesawat “Cekoslovakia” tiba pada tanggal 20 Mei, dan setelah 9 hari serangan udara besar-besaran dilancarkan ke pihak musuh. Sejak hari itu, angkatan udara Israel merebut supremasi udara, yang akan mempengaruhi kemenangannya dalam Perang Kemerdekaan. Seperempat abad kemudian, pada tahun 1973, Golda Meir menulis: “Tidak peduli seberapa radikal sikap Soviet terhadap kita telah berubah selama dua puluh lima tahun setelahnya, saya tidak dapat melupakan gambaran yang jelas bagi saya saat itu. Siapa yang menyangka, kalau kita bisa selamat jika bukan karena senjata dan amunisi yang bisa kita beli di Cekoslovakia? ” Stalin tahu bahwa orang-orang Yahudi Soviet akan meminta diijinkan bermigrasi ke Israel, dan beberapa (yang diperlukan) dari mereka akan menerima visa dan pergi untuk membangun negara baru di sana menurut corak Soviet dan bekerja melawan musuh-musuh Uni Soviet. Tapi dia tidak bisa membiarkan emigrasi massal warga negaranya, terutama bekas para pejuangnya yang terhormat. Stalin percaya (dan memang benar demikian) bahwa Uni Soviet-lah yang menyelamatkan lebih dari dua juta orang Yahudi dari kematian yang tak terhindarkan selama tahun-tahun perang dunia ke-II. Tampaknya orang-orang Yahudi harus bersyukur, dan bukannya menaruh tekanan, dengan membuat permintaan yang bertentangan dengan kebijakan Moskow, untuk mendorong emigrasi besar-besaran Yahudi Soviet ke Israel. Stalin kemudian benar-benar marah setelah menerima pesan yang menyatakan bahwa 150 perwira Yahudi secara resmi memohon kepada pemerintahnya permintaan untuk dapat mengirim mereka ke Israel untuk secara sukarela membantu saudara-saudara sebangsanya dalam perang melawan orang-orang Arab. Sebagai contoh bagi yang lain, mereka semua kemudian dihukum berat atas perintah Stalin, dimana ada yang dieksekusi di depan regu tembak. 

Golda Meir diangkat menjadi Utusan Israel pertama untuk Uni Soviet. Pada tahun 1973, Golda Meir menulis: “Tidak peduli seberapa radikal sikap Soviet terhadap kita telah berubah selama dua puluh lima tahun setelahnya, saya tidak dapat melupakan gambaran yang jelas bagi saya saat itu. Siapa yang menyangka, kalau kita bisa selamat jika bukan karena senjata dan amunisi yang bisa kita beli di Cekoslovakia? ” (Sumber: https://www.rbth.com/)

Toh upaya ini tidak banyak berefek. Dengan bantuan agen-agen Israel, ratusan prajurit melarikan diri dari kelompok pasukan Soviet di Eropa Timur, sementara yang lain menggunakan titik transit di Lviv. Pada saat yang sama, mereka semua menerima paspor palsu dengan nama fiktif, di mana mereka kemudian bertempur dan tinggal di Israel. Itulah sebabnya arsip Mahal/Machal  (Tentara Sukarelawan Internasional untuk Israel) memiliki sangat sedikit nama sukarelawan asal Soviet. Peneliti Israel Michael Dorfman, yang telah bekerja pada topik sukarelawan asal Soviet selama 15 tahun, meyakini bahwa sukarelawan asal Soviet pastilah ada dalam Unit internasional ini. Dia dengan percaya diri menyatakan bahwa ada banyak dari mereka, dan mereka hampir membangun “ISSR” (Republik Sosialis Soviet Israel). Dia sisi lain, ia juga masih berharap untuk bisa menyelesaikan proyek TV Rusia-Israel, yang terhenti karena gagal bayar pada pertengahan tahun 1990-an, dan di dalamnya akan “menceritakan sejarah yang sangat menarik, dan mungkin sensasional dari partisipasi rakyat Soviet dalam pengembangan Tentara Israel dan berbagai layanan khusus” , di mana disinyalir “ada banyak mantan tentara Soviet”. Masyarakat umum sendiri dinilai kurang menyadari adanya mobilisasi relawan untuk Pasukan Pertahanan Israel yang dilakukan oleh kedutaan Israel di Moskow. Awalnya, staf misi diplomatik Israel berasumsi bahwa semua kegiatan mobilisasi perwira Yahudi yang didemobilisasi selepas perang dapat dilakukan dengan persetujuan pemerintah Uni Soviet. Berapa banyak tentara Soviet yang berangkat ke Palestina sebelum dan selama Perang Kemerdekaan tidak diketahui secara pasti. Menurut sumber-sumber Israel, 200 ribuan orang Yahudi Soviet, menggunakan jalur legal atau ilegal bermigrasi ke Israel. Dari jumlah tersebut, “beberapa ribu” adalah prajurit.

Prajurit Infanteri Israel melakukan serangan skala penuh terhadap pasukan Mesir di daerah Negev Israel selama Perang Kemerdekaan. (Sumber: https://www.rbth.com/)
Juni 1948: Tentara Israel melakukan perjalanan melewati rute 7 menuju ke Yerusalem selama Perang Kemerdekaan. (Sumber: https://www.rbth.com/)
Kapal Altalena terbakar setelah ditembaki di dekat Tel Aviv. Insiden Altalena ini menandai pertentangan diantara kelompok-kelompok bersenjata Israel setelah kemerdekaannya. Namun peristiwa ini juga menunjukkan kematangan tokoh-tokoh politik Israel untuk saling bekerjasama dalam mempertahankan kemerdekaannya. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Agen Soviet pertama yang dikirim di Israel pada tahun 1948 adalah Vladimir Vertiporoh, yang dikirim untuk bertugas di negara ini dengan nama samaran Rozhkov. Vertiporokh kemudian mengakui bahwa dia pergi ke Israel tanpa terlalu yakin dengan keberhasilan misinya: pertama, dia tidak menyukai orang Yahudi, dan kedua, ia tidak memiliki keyakinan yang sama dengan petinggi Soviet bahwa Israel dapat menjadi sekutu Moskow yang dapat diandalkan. Memang, pengalaman dan intuisi tidak menipu petugas intelijen. Arah politik tiba-tiba berubah setelah menjadi jelas bahwa kepemimpinan Israel telah memilih mengarahkan kebijakannya untuk bekerjasama erat dengan Amerika Serikat. Pemerintah yang dipimpin oleh Ben-Gurion sendiri, sejak saat awal proklamasi khawatir akan terjadi kudeta di negeri yang baru lahir itu. Memang, ada upaya seperti itu, dan mereka kemudian ditindas dengan kejam oleh otoritas Israel. Ini termasuk insiden penembakan pada kapal pendarat Altalena, di jalan raya Tel Aviv, dan pemberontakan para pelaut di Haifa, yang menganggap diri mereka pengikut para pelaut kapal tempur Potemkin yang memberontak pada Kekaisaran Russia pada tahun 1905, dan beberapa insiden lain yang tidak menyembunyikan tujuan mereka – untuk membentuk kekuatan Stalinist pro Soviet di Israel. Mereka secara membabi buta percaya bahwa paham sosialisme akan menang di seluruh dunia, dan bahwa “masyarakat Yahudi sosialis” hampir terbentuk, serta kondisi perang dengan orang-orang Arab telah menciptakan “situasi revolusioner”. Menurut mereka hanya pemerintah “kuat seperti baja” yang diperlukan. Penggunaan istilah baja bukannya tidak sengaja digunakan di sini. Nama Ibrani keluarga Israel yang sangat umum, yakni Peled berarti sama dengan Stalin, yang artinya baja. Tetapi setelah insiden “Altalena” Menachem Begin yang saat itu berseberangan dengan Ben Gurion, kemudian meminta pasukan revolusionernya untuk mengarahkan senjata mereka melawan tentara Arab dan bersama-sama dengan para pendukung Ben-Gurion untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Israel.

BRIGADE INTERNASIONAL YAHUDI 

Dalam perang berlarut untuk mempertahankan eksistensinya, Israel selalu bisa membangkitkan simpati dan solidaritas dari orang-orang Yahudi (dan non-Yahudi) yang tinggal di berbagai negara di dunia. Salah satu contoh solidaritas tersebut adalah unit sukarelawan asing di jajaran tentara Israel dan partisipasi mereka dalam perang kemerdekaan negara Yahudi ini. Semuanya dimulai pada tahun 1948, segera setelah proklamasi Israel. Menurut data-data pihak Israel, sekitar 3500 sukarelawan dari 43 negara kemudian tiba di Israel dan mengambil bagian langsung dalam pertempuran sebagai bagian dari unit Haganah/ Cikal bakal Pasukan Pertahanan Israel (atau IDF). Berdasarkan asal negaranya, relawan ini dibagi sebagai berikut: sekitar 1000 relawan berasal dari AS, 250 dari Kanada, 700 dari Afrika Selatan, 600 dari Inggris, 250 dari Afrika Utara, dan 250 dari Amerika Latin, Prancis, dan Belgia. Ada juga kelompok relawan dari Finlandia, Australia, Rhodesia dan Rusia. Mereka bukanlah orang-orang sembarangan, tetapi militer profesional, veteran tentara koalisi anti-Hitler, dengan pengalaman tak ternilai yang diperoleh di garis depan Perang Dunia II yang baru saja berakhir. Tidak semua dari mereka memiliki kesempatan untuk menikmati kemenangan – 119 sukarelawan asing tercatat tewas dalam pertempuran untuk kemerdekaan Israel. Banyak dari mereka secara anumerta dianugerahi pangkat militer lebih tinggi, hingga ada yang mencapai pangkat brigadir jenderal. Sejarah masing-masing relawan mirip novel-novel petualangan dan, sayangnya, sedikit sekali diketahui oleh masyarakat umum. Hal ini terutama berlaku bagi orang-orang yang, pada 1920-an, memulai perjuangan bersenjata melawan Inggris dengan tujuan tunggal untuk menciptakan negara Yahudi di wilayah Mandat Palestina. Di barisan terdepan adalah mereka yang pada tahun 1923 menciptakan organisasi militan BEITAR/BETAR, yang terlibat dalam pelatihan militer para pejuang untuk pasukan Yahudi di Palestina, serta untuk melindungi komunitas Yahudi diaspora dari gerombolan perusuh Arab. Beitar adalah singkatan kata Ibrani dari “Brit Yosef Trumpeldor“( ברית יוסף תרומפלדור ) yang berarti “Covenant of Joseph Trumpeldor”. Jadi organisasi ini dinamai untuk menghormati bekas perwira tentara Rusia, peraih penghargaan George Knight dan pahlawan perang Rusia-Jepang, bernama Joseph Trumpeldor, yang gugur dalam pertempuran melawan orang-orang Arab di pemukiman Tel Hai tahun 1920.

Joseph Trumpeldor, sosok yang menjadi inspirasi dalam kelompok militan BEITAR. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)
Pilot-pilot Amerika yang menjadi sukarelawan dalam Perang Kemerdekaan Israel. (Sumber: https://www.newenglishreview.org/)

Pada tahun 1926, BEITAR bergabung dengan Organisasi Revisionis Zionis Dunia yang dipimpin oleh Vladimir (Ze’ev) Jabotinsky. Formasi tempur Beitar yang paling banyak berada di Polandia, negara-negara Baltik, Cekoslowakia, Jerman, dan Hongaria. Selama Perang Dunia II BEITAR membantu menyelundupkan sekitar 40.000 orang Yahudi ke wilayah Mandat Palestina. Namun, pecahnya Perang Dunia Kedua mengganggu upaya-upaya ini. Pembagian Polandia antara Jerman dan Uni Soviet dan kekalahan berikutnya oleh Nazi memberikan pukulan berat bagi formasi BEITAR – bersama dengan seluruh penduduk Yahudi di Polandia yang diduduki, anggotanya banyak terjebak di ghetto dan di kamp-kamp, dan mereka yang menemukan diri mereka sendiri di wilayah Uni Soviet sering menjadi sasaran kesewenang-wenangan yang berlebihan dari NKVD Soviet. Kepala BEITAR Polandia, Menachem Begin, calon perdana menteri Israel, sempat ditangkap dan dikirim untuk menjalani hukuman di kamp gulag. Pada saat yang sama, ribuan anggota Beitar bertempur di barisan Tentara Merah. Banyak dari mereka bertempur sebagai bagian dari unit dan formasi yang dibentuk di Uni Soviet, di mana persentase orang Yahudi sangat tinggi. Di divisi Lituania, korps Latvia, di pasukan jenderal Anders asal Polandia, di korps Jenderal Svoboda Cekoslovakia ada divisi atau unit-unit di mana perintahnya disampaikan dalam bahasa Ibrani. Diketahui juga bahwa dua anggota BEITAR, sersan Kalmanas Shuras dari divisi Lituania dan penyelia Antonin Sohor dari Korps Cekoslovakia dianugerahi gelar Pahlawan Uni Soviet atas aksi dan jasa-jasa mereka. Ketika negara Israel didirikan pada tahun 1948, orang-orang non-Yahudi dari populasi negeri itu dibebaskan dari wajib militer. Diyakini bahwa orang-orang non-Yahudi tidak akan dapat memenuhi tugas militer mereka karena hubungan kekerabatan, agama dan budaya yang mendalam dengan dunia Arab, yang menyatakan perang total melawan negara Yahudi. Namun, sudah selama perang, dalam IDF secara sukarela bergabung ratusan orang Badui, Circassia, Druze, Muslim Arab dan Kristen yang memutuskan untuk secara permanen mengabdikan diri mereka dalam negara Israel yang baru. Orang-orang keturunan Circassia di Israel adalah orang-orang Muslim asal Kaukasus Utara (terutama dari bangsa Chechen, Ingush dan Adygs) yang tinggal di desa-desa kawasan utara negara itu. Mereka bergabung dalam unit tempur IDF dan polisi perbatasan. Banyak dari orang Circassia menjadi perwira, dan salah satu diantaranya memiliki pangkat kolonel tentara Israel. “Dalam perang kemerdekaan Israel, orang-orang Circassia bergabung dengan orang-orang Yahudi, yang saat itu hanya berjumlah 600 ribu, melawan 30 juta orang-orang Arab, dan tidak pernah berubah kesetiaannya terhadap orang-orang Yahudi sejak saat itu,” kata Adnan Harhad, salah satu tetua komunitas Circassia. 

MOTIVASI NEGARA-NEGARA ARAB

Perdebatan yang masih berlangsung hingga kini adalah: mengapa orang-orang Arab perlu menginvasi wilayah Palestina? Lagi pula, jelas bahwa situasi di garis depan bagi orang-orang Yahudi tidak buruk, meskipun tetap cukup serius, namun membaik secara signifikan: wilayah yang dialokasikan untuk negara Yahudi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sudah hampir sepenuhnya berada di tangan orang-orang Yahudi; Orang-orang Yahudi merebut sekitar seratus desa Arab; wilayah Galilea Barat dan Timur sebagian berada di bawah kendali orang-orang Yahudi; orang-orang Yahudi berhasil membuka sebagian blokade Negev dan membuka blokir atas “jalan kehidupan” dari Tel Aviv ke Yerusalem. Faktanya adalah bahwa setiap negara Arab memiliki agendanya sendiri-sendiri. Raja Abdullah dari Transyordania ingin merebut seluruh wilayah Palestina – terutama kota Yerusalem. Irak ingin mendapatkan akses ke Mediterania melalui Transyordania. Suriah ingin menduduki wilayah Galilea Barat. Sementara itu penduduk Muslim yang berpengaruh di Libanon telah lama menantikan untuk dapat menduduki wilayah Galilea Tengah. Tetapi di sisi lain Mesir, walaupun tidak memiliki klaim teritorial di Palestina, punya keinginan untuk bisa menjadi pemimpin dunia Arab yang diakui. Dan, tentu saja, selain fakta bahwa setiap negara-negara Arab yang menginvasi Palestina memiliki tujuannya sendiri untuk “pergi berperang”, mereka semua tertarik dengan prospek mendapatkan kemenangan yang mudah, dan Inggris dengan terampil mendukung mimpi indah ini. Tentu saja, tanpa dukungan seperti itu, orang-orang Arab tidak akan setuju untuk melakukan agresi secara terbuka. Orang-orang Arab pada akhirnya kalah. Kekalahan tentara Arab di Moskow dianggap sebagai kekalahan bagi Inggris, dan mereka sangat senang akan hal itu, mereka percaya bahwa posisi Barat telah dirusak di seluruh Timur Tengah. Stalin tidak menyembunyikan bahwa rencananya telah dilaksanakan dengan cemerlang.

Raja Abdullah di luar Gereja Makam Suci, 29 Mei 1948, sehari setelah pasukan Yordania menguasai Kota Tua dalam Pertempuran Yerusalem. Yang menjadi masalah utama dari pihak Arab dalam Perang Kemerdekaan Israel adalah tidak adanya motivasi yang sama dan kesamaan tujuan mereka berperang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Kapten Avraham “Bren” Adan mengibarkan Bendera Israel di Umm Rashrash (sebuah tempat yang sekarang dikenal sebagai Eilat), menandai berakhirnya perang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Perjanjian Gencatan Senjata dengan Mesir kemudian ditandatangani pada tanggal tanggal 24 Februari 1949. Garis depan pada hari-hari terakhir pertempuran telah berubah menjadi garis gencatan senjata. Sektor pesisir Gaza tetap berada di tangan Mesir, sementara kontrol atas Negev ada di tangan Israel. Brigade Mesir yang terkepung mundur dari Falluja dengan senjata di tangan dan kembali ke Mesir. Semua kehormatan militer diberikan kepada mereka, dimana lucunya hampir semua perwira dan sebagian besar tentara menerima penghargaan negara sebagai “pahlawan dan pemenang” dalam “pertempuran hebat melawan Zionisme”. Pada tanggal 23 Maret, sebuah gencatan senjata ditandatangani dengan Lebanon di salah satu desa perbatasan: pasukan Israel kemudian meninggalkan negara itu. Dengan Yordania, perjanjian gencatan senjata ditandatangani pada tanggal 3 April, dan akhirnya, pada tanggal 20 Juli di wilayah netral dibuat diantara posisi pasukan Suriah dan Israel, setelah menandatangani perjanjian gencatan senjata, yang berdasar perjanjian itu Suriah harus menarik pasukannya dari sejumlah daerah yang berbatasan dengan Israel untuk menjadi wilayah demiliterisasi. Semua perjanjian ini memiliki poin-poin yang sama: masing-masing berisi kewajiban timbal balik non-agresi, mendefinisikan garis demarkasi gencatan senjata dengan reservasi khusus bahwa garis-garis ini tidak boleh dianggap sebagai “batas politik atau teritorial”. Perjanjian itu tidak menyinggung mengenai nasib orang-orang Arab di wilayah Israel dan para pengungsi Arab yang mengungsi ke negara-negara Arab tetangganya. 

PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOVIET DAN ISRAEL

Dokumen, angka, dan fakta telah memberikan gambaran tentang peran Soviet dalam pembentukan Negara Israel. Negara-negara blok timur memang bukanlah satu-satunya sumber senjata untuk negara Yahudi yang baru lahir. Pada dasarnya, mereka mendapatkan senjata dari seluruh dunia dengan cara apa pun yang memungkinkan, tetapi Uni Soviet jelas memainkan peran utama dalam kemenangan Israel pada tahun 1948. Faktanya, Stalin memang tidak mendorong pengiriman sukarelawan Soviet. Tetapi dia melakukan segalanya untuk memastikan bahwa dalam enam bulan periode mobilisasi militer, Israel yang berpenduduk jarang dapat “mencerna” sejumlah besar senjata yang dipasok dari negara-negara Eropa Timur. Peran negara-negara “Satelit Soviet”, seperti Hongaria, Rumania, Yugoslavia, Bulgaria, Cekoslovakia dan Polandia telah memungkinkan pembentukan Pasukan Pertahanan Israel yang lengkap dan dipersenjatai dengan baik. Selepas perang, wilayah seluas 1300 km2 dan 112 permukiman, di bawah resolusi PBB, ditempatkan di bawah kendali Israel; sebaliknya wilayah seluas 300 km2 dan 14 pemukiman yang dimaksudkan untuk menjadi bagian dari negara Yahudi diserahkan dibawah kendali negara-negara Arab. Faktanya, Israel berhasil menduduki sepertiga lebih banyak wilayah daripada yang ditentukan dalam keputusan Majelis Umum PBB sebelumnya. Jadi, di bawah ketentuan kesepakatan yang dicapai dengan orang-orang Arab, tiga perempat wilayah Palestina tetap berada di bawah kendali Israel. Pada saat yang sama, bagian dari wilayah yang diberikan kepada orang-orang Arab Palestina berada di bawah kendali Mesir (Jalur Gaza) dan Transyordania (mulai tahun 1950 dikenal sebagai Yordania), pada bulan Desember 1949 mencaplok wilayah itu, yang kemudian disebut sebagai wilayah Tepi Barat. Yerusalem sendiri dibagi antara Israel dan Transyordania. Sejumlah besar orang-orang Arab Palestina lalu melarikan diri dari zona perang ke tempat-tempat yang lebih aman di Jalur Gaza dan Tepi Barat, serta ke negara-negara Arab tetangganya. Dari penduduk asli Arab Palestina, hanya sekitar 167 ribu orang yang tersisa di wilayah Israel. Kemenangan utama Perang Kemerdekaan adalah bahwa sudah pada paruh kedua tahun 1948, ketika perang masih berlangsung, seratus ribu imigran tiba di negara baru itu, yang berhasil memberi mereka tempat tinggal dan pekerjaan.

Khrushchev bersama Nasser. Selepas kemerdekaan Israel, hubungan Soviet dan negara Yahudi itu terus merenggang, dimana Soviet kemudian dekat dengan negara-negara Arab lawan Israel. (Sumber: https://www.rbth.com/)
Bekas PM Israel Netanyahu dan Presiden Putin. Meski Russia dekat dengan lawan Israel seperti Suriah, namun Israel bukanlah musuh Russia. (Sumber: https://republika.co.id/)

Di Palestina, dan terutama setelah pembentukan Negara Israel, ada simpati yang sangat kuat untuk Uni Soviet sebagai negara yang, pertama, menyelamatkan orang-orang Yahudi dari pemusnahan selama Perang Dunia II, dan, kedua, memberikan bantuan politik dan militer yang luar biasa kepada Israel dalam perjuangannya untuk mencapai dan mempertahankan kemerdekaan. Di Israel, “Kamerad Stalin” disukai, dan sebagian besar penduduk dewasa sama sekali tidak ingin mendengar kritik apa pun terhadap Uni Soviet. “Banyak orang Israel mengidolakan Stalin,” tulis putra perwira intelijen terkenal Edgar Broyde-Trepper. “Bahkan setelah laporan Khrushchev di Kongres Kedua Puluh, banyak lembaga negara masih memajang potret Stalin, termasuk di beberapa kibbutzim.” Meski demikian dukungan Stalin untuk  Israel tidak berlangsung lama. Seperti yang dikatakan Julius Kosharovsky, seorang sejarawan Israel kelahiran Rusia, dalam bukunya tentang gerakan Zionis di Uni Soviet, hubungan bilateral kedua negara memburuk segera setelah Golda Meir, utusan Israel untuk Rusia, mengangkat masalah emigrasi Yahudi Soviet ke Israel. Jawaban Soviet adalah tegas “Tidak.” Posisi resmi Soviet adalah bahwa semua orang Yahudi Soviet, seperti semua orang Soviet pada umumnya, sangat bahagia dan tidak membutuhkan Tanah Perjanjian. Politisi Israel tidak dapat menerima ini, dan mereka segera beralih ke AS sebagai sekutu utama mereka. Aliansi baru Israel dengan AS memiliki konsekuensi parah dalam beberapa tahun dan dekade sesudahnya. Misalnya, pada tahun 1952, 13 anggota Komite Anti-Fasis Yahudi yang berbasis di Soviet ditangkap dan dieksekusi. Juga, mulai awal tahun 1950-an dan hingga akhir Perang Dingin, Uni Soviet mendukung orang-orang Arab dalam konflik mereka dengan Israel. Terlepas dari kenyataan bahwa selama tahun-tahun Perang Dingin, Israel dan Uni Soviet berada di sisi yang berlawanan, sekarang hubungan Rusia-Israel dapat disebut istimewa, sangat berbeda dari hubungan dengan Barat dan dunia Arab. Israel bukanlah musuh dan bukan mitra junior dari Russia, tetapi negara yang sangat istimewa di mana jutaan orang berbicara bahasa Rusia dan memiliki kerabat di Rusia.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Soviet war for the independence of Israel by Valery YAREMENKO; February 1 2011

https://en.topwar.ru/3231-sovetskaya-vojna-za-nezavisimost-izrailya.html

How Stalinist USSR helped create Israel; August 20 2018

https://en.topwar.ru/145770-kak-stalinskij-sssr-pomog-sozdat-izrail.html

Why did the USSR help to create Israel, but then became its foe by OLEG YEGOROV; DEC 15, 2017

https://www.google.com/amp/s/www.rbth.com/history/327040-ussr-and-israel-from-friends-to-foes/amp

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Arms_shipments_from_Czechoslovakia_to_Israel_1947%E2%80%931949

https://en.m.wikipedia.org/wiki/United_Nations_Partition_Plan_for_Palestine

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Joseph_Trumpeldor

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Menachem_Begin

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Golda_Meir

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mahal_(Israel)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Amin_al-Husseini

https://en.m.wikipedia.org/wiki/1949_Armistice_Agreements

Exit mobile version