Sejarah Militer

Kaisar Amerika: Kisah MacArthur di Jepang (1945-1950)

“Orang Amerika menganggap MacArthur sebagai penakluk Jepang tetapi orang Jepang tidak menganggapnya seperti itu. Dia adalah seorang pembebas. Orang Jepang menganggap MacArthur sebagai manusia tertinggi, tepat di bawah dewa,” kata Rinjiro Sodei, seorang ilmuwan politik yang telah menulis beberapa buku tentang MacArthur. MacArthur pada dasarnya adalah sosok kontroversial. Ketika berbicara mengenai MacArthur, semua yang baik dan semua yang buruk yang terdengar mengenai dirinya, hampir seluruhnya benar. 

Douglas MacArthur adalah Jenderal dan sosok yang kontroversial. Ketika berbicara mengenai MacArthur, semua yang baik dan semua yang buruk yang terdengar mengenai dirinya, hampir seluruhnya benar. (Sumber: https://www.deviantart.com/)

RAJA MUDA JEPANG

Jenderal Angkatan Darat Douglas MacArthur adalah ikon sejarah militer Amerika, seorang prajurit yang melayani negaranya selama lebih dari setengah abad dan terkenal karena peran pentingnya dalam Perang Dunia II dan Perang Korea. Namun di tahun-tahun antara konflik itu, MacArthur melakukan salah satu tugasnya yang paling menantang: Pada tanggal 29 Agustus 1945, hanya beberapa hari sebelum penyerahan resmi Jepang di atas kapal tempur USS Missouri di Teluk Tokyo, Presiden Harry S. Truman tanpa berkonsultasi dengan siapapun diluar staff terdekatnya menunjuk MacArthur untuk mengawasi pendudukan, pembangunan kembali dan demokratisasi Jepang. Belakangan Truman menyesali keputusannya ini, namun diluar veteran perang Pasifik dan para penganut paham liberal, MacArthur memang pilihan populer di Amerika. Sementara itu, meskipun gelar resminya adalah panglima tertinggi untuk kekuatan Sekutu (supreme commander for the Allied powers/SCAP), ia pada dasarnya berkuasa layaknya raja muda Amerika di negeri bekas lawannya yang ditaklukkan. Dalam hal ini, MacArthur tidak menutup-nutupi kepuasannya ditunjuk sebagai ‘raja muda’ Jepang, dengan berkata: “Mars, hadiah terakhir untuk seorang pejuang tua.” Pada tanggal 27 Desember 1945, dewan sekutu bertemu di Tokyo untuk merumuskan nasib Jepang paska perang, pihak Soviet mengingatkan bahwa 4 bulan sebelumnya Stalin menyetujui penunjukan seorang komandan Amerika di Tokyo. Kini mereka ingin merubahnya. Mereka mengusulkan agar MacArthur di-supervisi oleh sebuah dewan yang terdiri dari 4 negara pemenang perang sekutu. Di Washington, beberapa anggota pemerintahan Truman ingin agar kewenangan SCAP dibagi bersama Russia dan Inggris. MacArthur kemudian mengungkapkan ide ini di hadapan wartawan Amerika, sambil berkata bahwa ia akan “berhenti (sebagai SCAP) dan (memilih) pulang ke rumah” jika itu terjadi dan akibatnya Washington memilih mengalah. Setelah mengambil alih komando sebagai SCAP—posisi yang ia dambakan—MacArthur mendirikan markas besarnya di gedung Dai Ichi Insurance Co. yang relatif utuh di Tokyo. Pada tahun 1945 Dai Ichi diberi waktu satu minggu untuk mengosongkan gedung. Ketika perusahaan itu akhirnya kembali tujuh tahun kemudian, pegawai dan arsip-arsip-nya pindah kembali ke setiap ruang kantor, kecuali satu — ruangan lantai enam yang ditempati MacArthur. Dari kantornya yang sederhana di lantai enam, dia bisa memandang ke seberang jalan raya yang luas di istana kaisar masa perang Jepang, Hirohito. Kantor MacArthur yang menghadap ke parit dan taman kekaisaran menunjukkan mengapa dia menginginkan pekerjaan itu. Meskipun Truman membenci jenderal yang sering angkuh dan bisa dibilang narsis ini, sang presiden mengakui bahwa MacArthur akan menjadi alternatif yang mencolok bagi kaisar “mantan setengah dewa” Hirohito yang didiskreditkan dan tertutup. Selain itu, hal ini sekaligus bisa menjauhkan jenderal yang ambisius itu dari Amerika Serikat, yang dapat melemahkan potensi politik Truman sendiri. Dari sudut pandang MacArthur, tampaknya tidak ada posisi pascaperang yang lebih besar yang tersedia selain menjadi ‘gubernur’ Jepang yang dikalahkan. Dari posisi itu dia mungkin bisa mengembangkan kekuatannya lebih lanjut. 

Jenderal Douglas MacArthur menerima penyerahan Jepang di kapal tempur USS Missouri, yang berlabuh di Teluk Tokyo, tanggal 2 September 1945. (Sumber: https://twitter.com/)
Setelah penyerahan Jepang, MacArthur ditugaskan sebagai panglima tertinggi untuk kekuatan Sekutu (supreme commander for the Allied powers/SCAP), ia pada dasarnya berkuasa layaknya raja muda Amerika di negeri bekas lawannya yang ditaklukkan. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Gedung Dai Ichi Insurance Co. tempat dimana MacArthur berkantor dan ‘memimpin’ Jepang paska perang. (Sumber: https://www.oldtokyo.com/)

Pada akhir tahun 1945, 430.000 prajurit MacArthur ditempatkan di seluruh Jepang, dua pertiga dari mereka ‘membanjiri’ wilayah Tokyo-Yokohama. Atas arahan sang jenderal, rambu-rambu dan nama jalan di daerah itu ditulis dalam bahasa Inggris dan Jepang, sementara di area pusat kota yang di-Amerikanisasi bahasa Inggris saja yang berlaku. Tampilan bendera Matahari Terbit juga dibatasi secara drastis. Bangunan yang selamat dari perang sebagian besar diminta untuk digunakan sebagai kantor dan barak untuk orang-orang Amerika. Pasukan pendudukan pimpinan MacArthur hidup dengan sangat nyaman, dalam gaya hampir seperti penguasa neokolonial. Gedung Hattori di distrik perbelanjaan Ginza, yang dulunya merupakan department store Wako, menjadi Post Exchange (semacam toserba) Angkatan Darat Kedelapan, yang dipenuhi dengan barang-barang konsumsi yang hanya bisa dibayangkan oleh orang-orang Jepang yang miskin. Tokyo Takarazuka yang populer, yang sebelumnya telah mementaskan konser musikal wanita yang bertelanjang dada, diubah menjadi Ernie Pyle Theatre, untuk mengenang wartawan perang Amerika tercinta yang terbunuh di Ie Shima pada bulan April 1945. Bahwa gaya hidup Amerika yang terkekang dipaksakan pada orang Jepang yang terjepit—dengan jutaan putra mereka dan saudara-saudara yang meninggal, hilang, atau dipenjarakan di luar negeri—mungkin terasa canggung bagi para pemenang. Tetapi yang terakhir telah memenangkan perang, dan sebagian besar GI (sebutan akrab tentara Amerika) hampir tidak memperhatikan penghinaan yang dipupuk oleh kehadiran mereka di negara yang hancur itu. Betapapun marahnya orang Jepang karena kehilangan rasa hormat, mereka tampak puas dengan perdamaian. MacArthur menyadari bahwa ratusan ribu tentara penakluk yang hidup dalam kehidupan nyaman yang mencolok namun tetap rindu akan kampung halaman merupakan masalah yang pasti akan muncul. Memang, pecahnya kerusuhan sporadis telah muncul di antara tentara Amerika yang ingin segera kembali ke Amerika Serikat; ada terlalu banyak dari mereka dengan terlalu sedikit yang harus dilakukan. Mengabaikan kekhawatiran Pentagon tentang penurunan jumlah pasukan AS di Jepang yang diduduki, MacArthur mulai mengembalikan para veteran itu. Meskipun Departemen Luar Negeri memperingatkan bahwa “kekuatan pendudukan adalah instrumen kebijakan dan bukan penentu kebijakan,” MacArthur menempuh jalannya sendiri, mengirim unit-unit militer kembali ke Amerika ketika dia bisa. Pada pertengahan tahun 1946 jumlah tentara pendudukan telah berkurang setengahnya menjadi sekitar 200.000. Pada tahun 1947 kekuatannya turun lagi menjadi 120.000, tahun berikutnya menjadi hanya 102.000. Angkatan Darat Kedelapan di Jepang dikurangi menjadi satuan-satuan berukuran setara resimen dan divisi berukuran kecil yang tingkat kesiapannya terus berkurang. Meskipun Jepang menanggung beban biaya pendudukan, Kongres AS dari Partai Republik yang baru terpilih menangani ekses dalam hal anggaran militer. Menggambarkan pengeluaran yang diperebutkan sebagai “biaya penghentian perang,” MacArthur mengabaikan kritik. Meskipun pemulangan pasukan secara besar-besaran menunjukkan bahwa pendudukan berhasil, penggantian personel tetap diperlukan untuk beberapa dari mereka yang dipulangkan. SCAP terpaksa harus mentolerir wajib militer yang dilantik sebelum Sistem Layanan Selektif masa perang ditutup pada bulan Maret 1947 dan rekrutan baru dijanjikan manfaat RUU GI setelah menjalani layanan aktif. Ini adalah prajurit di masa damai yang kurang prima, bersemangat untuk berpetualang tetapi tidak disiplin. Hal ini akan berdampak tidak mengenakkan nantinya saat konflik pecah di Semenanjung Korea.

Ernie Pyle Theatre, untuk mengenang wartawan perang Amerika tercinta yang terbunuh di Ie Shima pada bulan April 1945. (Sumber: https://exhibitions.lib.umd.edu/)
Prajurit Amerika dan gadis Jepang berbagi sebatang cokelat dan rokok. Gaya hidup Amerika yang terkekang dipaksakan pada orang Jepang yang terjepit—dengan jutaan putra mereka dan saudara-saudara yang meninggal, hilang, atau dipenjarakan di luar negeri—mungkin terasa canggung bagi para pemenang. Tetapi yang terakhir telah memenangkan perang, dan sebagian besar GI (sebutan akrab tentara Amerika) hampir tidak memperhatikan penghinaan yang dipupuk oleh kehadiran mereka di negara yang hancur itu. Betapapun marahnya orang Jepang karena kehilangan rasa hormat, mereka tampak puas dengan perdamaian. (Sumber: https://www.boredpanda.com/)

Menyendiri dan narsis, ‘raja muda’ MacArthur hampir sama tertutupnya dengan Wizard of Oz. Dia mempertahankan sebagian besar pemerintahan lokal Jepang tetap utuh dan tidak berusaha untuk mengelolanya secara mikro, lebih memilih untuk memerintah seperti yang dilakukan Inggris selama beberapa dekade sebelum perang, seperti misalnya di India. Dan karena hanya ada sedikit orang Amerika yang kompeten dalam bahasa Jepang, MacArthur membiarkan para birokrat dan teknokrat yang selalu menjalankan Jepang melakukan tugas-tugasnya. Dia tidak pernah mengunjungi tentara pendudukannya atau wilayah kekuasaannya. Jika pasukan berparade melewati Gedung Dai Ichi (artinya “nomor satu”) dia akan menunjukkan penerimaan hormat mereka, tetapi alih-alih secara pribadi memeriksa garnisun dan kamp, dia akan mengirim sosok pengganti—kadang-kadang istrinya, Jean, dan seorang staf jenderal. Namun pola komando dan pemerintahan jarak jauh ini tampaknya berhasil, karena MacArthur mampu mempertahankan institusi dan budaya Jepang. Begitu dia mendirikan markas SCAP di Dai Ichi—dan menempatkan Jean dan putranya Arthur di Kedutaan Besar Amerika, yang hanya beberapa menit jauhnya—rutinitas MacArthur jarang berubah. Dia berangkat kerja pada pukul 10 pagi dengan limusin Cadillac 1941 hitamnya (yang didapatnya dari pengusaha gula di Manila) ber-plat nomor “1” mengibarkan bendera bintang lima dan diapit oleh sepeda motor polisi militer. Setibanya di Dai Ichi, kerumunan orang Jepang yang penasaran berpisah, dan MacArthur naik ke kantornya yang sederhana, di mana ia tidak mengizinkan adanya telepon dan hanya menyimpan buku catatan di meja yang biasanya bersih.

Jenderal MacArthur mengendarai mobil Cadillac Series 61 tahun 1941 di Tokyo, Jepang 1945. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Foto Jenderal Douglas MacArthur di tempat kerjanya ini dipamerkan di sebuah ruangan yang bersebelahan dengan bekas kantornya di lantai enam Perusahaan Asuransi Jiwa Dai-Ichi di Tokyo. (Sumber: https://www.stripes.com/)

Dia akan kembali ke kedutaan untuk makan siang (dengan polisi Jepang menghentikan semua lalu lintas agar dia bisa melewati kota tanpa gangguan) —dan sering tidur siang—lalu kembali ke kantornya sampai larut malam. Komandan tertinggi melakukan pekerjaannya dengan hanya menggunakan catatan dan diskusi dengan asisten-nya yang tepercaya. Dia jarang mengizinkan pengunjung, dan kemudian hanya tamu VIP. Hanya sedikit diantaranya orang Jepang. Meski demikian, kemudian menurut pejabat Dai-Ichi, sekitar 1.200 orang akan datang untuk melihat kantor MacArthur setiap tahun, kebanyakan dari mereka adalah orang Jepang setengah baya yang hidup melalui hari-hari penuh kemiskinan dan kesulitan yang parah dan mengingat MacArthur dengan hormat. Dengan gaya ala kerajaannya yang mencolok, MacArthur menjadi figur kaisar pengganti, berlindung secara mistis di atas Gedung Dai Ichi. “Dia cocok dengan gaya itu; dia adalah shogun yang sempurna,” kata Frank Gibney, yang bertugas di Angkatan Laut pada masa-masa awal pendudukan dan kemudian meliputnya untuk majalah Time. Setiap enam bulan MacArthur bertemu dengan Hirohito, yang secara efektif berhasil ia lakukan. MacArthur mengadakan pertemuan pertama mereka, pada bulan September 1945, diabadikan dalam foto ikonik pada masa jabatannya di Jepang. Hirohito tiba di kedutaan suatu pagi, mengenakan pakaian formal hitam yang menyedihkan, dan sang jenderal menemuinya dengan seragam khaki yang sedikit kusut, tanpa dasi. Seorang juru kamera SCAP mengabadikan pasangan itu yang berdiri berdampingan, kaisar yang kecil hampir secara harfiah dalam bayang-bayang orang Amerika yang tinggi dan kokoh itu. Pejabat Jepang melihat gambar itu sangat memalukan, dan karakter kontrasnya tidak salah lagi melambangkan Jepang-nya MacArthur. 

Kaisar Hirohito dan Jenderal MacArthur, pada pertemuan pertama mereka, di Kedutaan Besar AS, Tokyo, tanggal 27 September 1945. Pejabat Jepang melihat gambar itu sangat memalukan, dan karakter kontrasnya tidak salah lagi melambangkan Jepang-nya MacArthur. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo dieksekusi setelah diadili. Hirohito bisa lolos dari tiang gantungan, namun beberapa pejabat tinggi tetap dimintai pertanggungjawaban dalam pengadilan kejahatan perang pascaperang. (Sumber: https://www.justinian.com.au/)

Namun MacArthur juga memahami pentingnya nilai simbolis kaisar, dan pada awal tahun 1946 ia membujuk Washington untuk membebaskan Hirohito—apa pun perannya dalam membiarkan dan kemudian mendorong perang—dari menghadapi tuduhan sebagai penjahat perang. Hirohito akhirnya lolos dari tiang gantungan. Efeknya harga diri Jepang tetap bisa dipertahankan, dan ketertiban tetap terjaga. Beberapa pejabat tinggi tetap dimintai pertanggungjawaban dalam pengadilan kejahatan perang pascaperang. Pengadilan militer internasional di Tokyo mengadili, menghukum dan mengeksekusi Perdana Menteri Hideki Tojo dan Koki Hirota dan lima jenderal top). Perintah di mana MacArthur awalnya menjadi penguasa de facto Jepang pascaperang—dikenal sebagai “U.S. Initial Post-Surrender Policy for Japan”—mengarahkannya untuk menjalankan otoritasnya secara tidak langsung melalui negara jika memungkinkan, sambil memberikan kepadanya kekuasaan diskresi untuk menegakkan ketentuan penyerahan tahun 1945. Dokumen tersebut menugaskan MacArthur dengan tanggung jawab yang luas di luar Kepulauan Jepang, yang paling signifikan adalah pemulangan tentara Jepang dari daerah yang mereka pertahankan pada masa akhir perang. Proses itu memakan waktu berbulan-bulan, karena MacArthur bersikeras hanya kapal Jepang yang digunakan, sementara Sekutu telah menenggelamkan sebagian besar armada kapal dagang negara itu. Juga ia diperintahkan untuk mengatasi masalah malnutrisi yang meluas yang melanda Jepang pascaperang. Untuk ini panglima tertinggi memerintahkan untuk membagikan ribuan ton perbekalan makanan darurat dari perbekalan militer pada musim semi dan musim panas tahun 1946 dan juga mendistribusikan bahan makanan yang dikirim dari luar negeri. Tanggung jawab MacArthur—dan wewenangnya—diperluas lebih lanjut pada bulan November 1945 ketika Kepala Staf Gabungan mengeluarkan “Petunjuk Dasar untuk Pemerintahan Militer Pasca-Penyerahan di Jepang yang Tepat.” Sang jenderal segera memberikan imprimatur pribadi pada begitu banyak dokumen yang tampaknya sepenuhnya merupakan kreasinya sendiri. Dia sudah memerintahkan penarikan semua personel diplomatik Jepang di luar negeri. Selanjutnya, ia memutuskan semua hubungan diplomatik antara Jepang dan negara-negara lain. Setelah itu, Bagian Diplomatik dari SCAP sendiri mengelola hubungan luar negeri Jepang. Besarnya kuasa MacArthur saat pendudukan Jepang diungkapkan oleh Duta Besar Amerika di Jepang, William Sebald: “Tidak pernah sebelumnya dalam sejarah Amerika terdapat kekuasaan yang begitu besar dan absolut diberikan pada satu orang saja”. Dalam sejarah Amerika memang tidak ada, namun hal itu terjadi sebelumnya di Asia, seperti di Jepang sendiri pada era Tokugawa (1598-1868), Belanda di Indonesia, Prancis di Indochina, dan beberapa orang Inggris seperti Clive dan Warren Hastings di India. Tetapi tidak ada satupun dari mereka berkuasa absolut seperti MacArthur di Jepang, dan yang tidak disadari banyak orang Amerika, kekuasaan MacArthur meluas hingga Filipina dan kepulauan Mariana, dimana ratusan juta orang tinggal.

KEBIJAKAN MACARTHUR DI JEPANG

Di mata orang Jepang ada dua karakteristik MacArthur yang mencolok, yakni kesederhanaannya dan keberanian pribadinya. Seperti ksatria Jepang di abad pertengahan, SCAP berdedikasi penuh dengan pekerjaanya. Ia bekerja tujuh hari seminggu, termasuk saat Natal dan ulang tahunnya sendiri, dan tidak pernah mengambil cuti, bahkan tidak pernah meluangkan waktu untuk menikmati keindahan alam di Jepang. Staf pendudukan MacArthur di Tokyo pada awalnya berjumlah sekitar 1.500 orang dan tumbuh menjadi lebih dari 3.000 pada tahun 1948. Sebagian besar bawahannya berkisar dari personel yang secara politis terdiri dari golongan konservatif hingga ultrakonservatif, dan mereka menetapkan kebijakan yang sudah ada, bukannya membongkar, zaibatsu (konglomerasi bisnis) yang telah lama berdiri mendominasi perekonomian Jepang. Birokrasi Jepang yang mengakar dari tingkat nasional ke desa-desa dan kota-kota sebagian besar terus dibiarkan tidak terganggu. Reformasi bagaimanapun tetap merayap ke seluruh Jepang, karena rezim MacArthur juga memberlakukan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintahan Truman. “Petunjuk Dasar” ini memicu pengadilan kejahatan perang pada tahun 1945–46, serta penggantian Sumpah Piagam Meiji tahun 1868, di mana Jepang telah diperintah oleh oligarki atas nama kaisar setengah dewa. Sebuah perjanjian Sekutu yang terdiri dari empat kekuatan (antara Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet dan Cina) menyerukan sebuah komisi untuk merumuskan konstitusi Jepang yang baru pada akhir bulan Februari 1946. Untuk menghindari masukan pihak Stalinis yang mengganggu, markas besar MacArthur mendahului pekerjaan komisi tersebut dengan membuat dokumennya sendiri, yakni “Tiga Poin Dasar,” yang disajikan sebagai seolah-olah inisiatif dari pihak Jepang. Poin pertama dokumen tersebut memungkinkan kaisar untuk tetap menjadi kepala negara, meskipun kekuasaannya selanjutnya akan berasal dari konstitusi baru, yang dengan sendirinya akan mencerminkan kehendak rakyat. Poin kedua menyerukan penolakan Jepang atas hak untuk berperang atau mempertahankan angkatan bersenjata. Poin ketiga menghapus sistem feodal dan mereformasi gelar bangsawan. Dalam konstitusi baru ini, Kaisar Jepang hanya berfungsi sebagai simbol pemerintahan, bahkan Kaisar sendiri tidak punya hak untuk memilih. Setiap poin mewujudkan mandat dari Washington berdasarkan Perjanjian Potsdam yang dibuat Sekutu di bulan Agustus 1945. Dengan bangga MacArthur kemudian menulis: “tidak diragukan lagi ini adalah konstitusi paling bebas dalam sejarah, dengan mengambil semua yang terbaik dari konstitusi di berbagai negara.”

Courtney Whitney (1897-1969) adalah Kepala Bagian Pemerintah di Markas MacArthur. Dia menyusun Konstitusi Jepang dan mengirimkannya ke Diet untuk disetujui. (Sumber: Photo by Kingendai Photo Library/AFLO/https://nipponnews.photoshelter.com/)

Konstitusi baru itu harus siap dalam seminggu, untuk mencegah adanya masukan dari Soviet seperti yang telah disinggung diatas. Kepala Bagian Pemerintahan MacArthur, Brig. Jenderal Courtney Whitney, memanggil spesialis administrasi publiknya—beberapa di antaranya adalah pengacara—dan mengumumkan bahwa mereka sekarang terdiri dari anggota majelis konstitusional; dimana mereka diam-diam akan merancang konstitusi Jepang yang baru, dan ketiga wakilnya akan memastikan bahwa dokumen tersebut tampaknya berasal dari orang-orang Jepang. Faktanya 92 artikel yang dihasilkan mencerminkan kebijakan New Deal Amerika, yang menetapkan kesejahteraan sosial dan hak-hak sipil, bahkan memberikan hak pilih kepada perempuan. Ketika musyawarah berakhir pada tanggal 10 Februari, Letnan Kolonel Charles Kades, ketua komite yang beranggotakan 25 orang, berkata kepada salah satu anggota, ahli bahasa kelahiran Wina berusia 22 tahun, Beate Sirota, satu-satunya wanita di ruangan itu, “Ya Tuhan , Anda telah memberi wanita Jepang lebih banyak hak daripada dalam Konstitusi Amerika!” Dia menjawab, “Itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan, karena perempuan tidak ada dalam Konstitusi Amerika.” Setelah Hirohito memberikan “persetujuan penuh” atas rancangan tersebut, MacArthur mengumumkan persetujuannya, dan pada tanggal 6 Maret pemerintah Jepang mengumumkan konstitusi barunya. Dalam buku memoar pribadinya “Reminiscences” MacArthur memformulasi konsep modernisasi Jepang sebagai berikut:

  1. Menghancurkan kekuatan militernya.
  2. Menghukum para penjahat perang.
  3. Membangun struktur pemerintahan perwakilan rakyat.
  4. Mengadakan pemilihan umum yang bebas.
  5. Memberikan kebebasan pada wanita.
  6. Membebaskan tahanan politik.
  7. Membebaskan petani.
  8. Mendirikan serikat buruh.
  9. Menggalakkan ekonomi bebas.
  10. Menghapus pemerintahan otoriter.
  11. Mengembangkan pers yang bebas dan bertanggung-jawab.
  12. Liberalisasi pendidikan.
  13. Desentralisasi kekuasaan politik.
  14. Memisahkan agama dari negara.
Perwira polisi wanita Jepang sekitar tahun 1946. Wanita Jepang dengan cepat memperoleh manfaat dari konstitusi baru. Mereka kini bisa bekerja di bidang yang selama ini mereka dilarang. Dalam waktu 5 tahun, misalnya 2.000 wanita bergabung dalam dinas kepolisian. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Menurut MacArthur sendiri, ia ingin mengubah Jepang menjadi: “laboratorium terbesar di dunia untuk percobaan liberalisasi manusia dari kepemimpinan totaliter militer dan liberalisasi pemerintahan dari dalam.” Ironisnya, dengan ini ia berlaku seperti diktator yang bermaksud untuk memaksakan kemerdekaan dari sebuah negara yang ditaklukkan. Diet Jepang kemudian setuju bahwa Shinto (jalan para dewa-dewa) harus diganti dengan Minshushugi (jalan demokrasi). Dalam kondisi ini wanita Jepang dengan cepat memperoleh manfaat dari konstitusi baru. Mereka kini bisa bekerja di bidang yang selama ini mereka dilarang. Dalam waktu 5 tahun, misalnya 2.000 wanita bergabung dalam dinas kepolisian. Sementara itu satu bidang di mana MacArthur mempertahankan kebijakan garis kerasnya adalah doktrin antikomunismenya. Kepala intelijen dan keamanan lama dari komando tertinggi, yakni Mayor Jenderal Charles Willoughby yang ultrakonservatif, memastikan marginalisasi hukum bagi kaum “Merah.” (Willoughby kelahiran Jerman adalah pengagum terbuka Mussolini, dan dia kemudian menjadi pelobi politik untuk Francisco Franco dari Spanyol; MacArthur menyebutnya sebagai “fasis kesayangan saya.”) Kekakuan politik Willoughby meningkat bersamaan dengan ketegangan Perang Dingin, dan dia memberi makan MacArthur data intelijen yang dimanipulasi dengan hati-hati dinilai menyebabkan penyensoran media dan penembakan terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai orang-orang radikal lokal. Koran-koran Jepang diwajibkan untuk menyampaikan setiap pesan-pesan SCAP. Mereka (organ-organ SCAP) bisa mempublikasikan dan menarik berita sesukanya. Sementara itu wartawan Amerika terbebas dari penyensoran, akan tetapi bila salah satu dari mereka meninggalkan Jepang, sang Jenderal dapat melarangnya kembali, dan ini terjadi pada wartawan Newsweek yang liputannya menyinggung MacArthur. Di samping itu pebisnis Amerika dilarang masuk Jepang tanpa ijin dari SCAP.

Dr. Crawford Sams. Sams kemudian mengadakan kampanye sanitasi, yang kemudian diikuti oleh program imunisasi dan vaksinasi masif. Pada akhirnya penyakit kholera bisa disingkirkan, kematian akibat TBC turun 88%, diphtheria 86%, disentri 86%, typus 90%. Dalam dua tahun pertama pendudukan, Sams menyatakan bahwa kontrol terhadap bahaya penyakit telah menyelamatkan nyawa sekitar 2.1 juta orang Jepang – lebih dari jumlah kematian orang Jepang akibat perang, sekitar 3 kali dari jumlah warga sipil Jepang yang terbunuh selama pemboman semasa perang, termasuk pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki. (Sumber: https://arsof-history.org/)
Siswa Jepang paska Perang Dunia II. Kurikulum di Jepang paska perang dirancang untuki mengenyahkan propaganda-propaganda militeristik dan meliberalisasi pendidikan. (Sumber: https://www.moma.org/)
Pakar pelatihan industri melihat mesin bohlam menjatuhkan bohlam ke pekerja lain yang menyortirnya berdasarkan cacat pada produk di Tokyo Shibaura Electric Co. di Tokyo pada tanggal 25 Januari 1951. Produk Jepang kemudian mulai merambah ke pasar luar negeri selama tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, yang lalu menjadi titik awal kebangkitan ekonomi Jepang. (Sumber: https://www.theatlantic.com/)

Dalam bidang kesehatan, MacArthur membentuk sebuah seksi kesehatan masyarakat di gedung Dai Ichi, yang dipimpin oleh Dr. Crawford Sams, seorang dokter Angkatan Darat. Sams kemudian mengadakan kampanye sanitasi, yang kemudian diikuti oleh program imunisasi dan vaksinasi masif. Pada akhirnya penyakit kholera bisa disingkirkan, kematian akibat TBC turun 88%, diphtheria 86%, disentri 86%, typus 90%. Dalam dua tahun pertama pendudukan, Sams menyatakan bahwa kontrol terhadap bahaya penyakit telah menyelamatkan nyawa sekitar 2.1 juta orang Jepang – lebih dari jumlah kematian orang Jepang akibat perang, sekitar 3 kali dari jumlah warga sipil Jepang yang terbunuh selama pemboman semasa perang, termasuk pemboman atom di Hiroshima dan Nagasaki. Ekspektasi hidup laki-laki bertambah 8 tahun dan wanita hampir 14 tahun, yang menurut Sams: “tidak ada bandingannya di negara manapun di dunia dalam sejarah medis dalam kurun waktu yang sama.” Di bidang pendidikan, MacArthur menyadari bahwa beberapa hal harus dilakukan, jika ingin efeknya bisa bertahan setelah pendudukan berakhir. Ia sadar bahwa ia harus berkonsentrasi pada generasi Jepang berikutnya. Selama ini pendidikan di Jepang dikontrol ketat oleh kementrian pendidikan. MacArthur lalu mengundang 27 edukator terkemuka Amerika, yang dipimpin oleh Dr. George D. Stoddard, untuk mengunjungi kelas-kelas di Jepang dan membuat rekomendasi untuk dijalankan oleh seorang perwira Marinir, yakni Donald Nugent guna merumuskan undang-undang pendidikan yang baru. Setelah undang-undang disahkan, Nugent dan penasehat-penasehat asal Jepang menyetujui kurikulum yang mengenyahkan propaganda-propaganda militeristik dan meliberalisasi pendidikan. Guru-guru dan pengajar yang dipaksa pensiun sebelumnya karena dipandang liberal dan anti militeristik, kemudian dipanggil kembali. Hasilnya terlihat 8 tahun kemudian, saat Theodor Geisel mengunjungi Jepang dan membuat survei mengenai minat para murid dengan dibantu oleh 100 guru Jepang. Saat para murid diminta menggambarkan ingin menjadi apa di masa depan, mereka mendapatkan jawaban: doktor, negarawan, guru, perawat, masinis, dan bahkan pegulat, tetapi hanya satu yang ingin menjadi perwira militer. Anak itu ingin menjadi MacArthur! Dari sisi religi, MacArthur memiliki keyakinan unik: “lebih banyak misinaris dikirim ke Jepang, maka akan lebih banyak prajurit Amerika yang bisa dipulangkan ke rumah”, demikian katanya. 10 juta Alkitab lalu diimpor atas instruksi MacArthur. Akan tetapi yang menjadi perhatian utama sang Jenderal adalah keberatannya dengan ajaran Shinto, yang dinilainya tidak demokratis. Pemahaman keKristenan diharapkan akan mengubah pemikiran itu. Toh hingga kini Jepang juga tidak pernah menjadi negara Kristen. Sementara itu dalam langkah penting lainnya, kini di bidang ekonomi, MacArthur membawa dari Detroit Joseph M. Dodge, mantan presiden American Bankers Assn, yang kemudian merombak anggaran Jepang, memperketat kebijakan moneter dan memperkuat sistem perbankan. Sang Jenderal juga memastikan bahwa sejumlah besar kontrak perang diberikan ke Jepang selama Perang Korea. Perintah perang itu kemudian memberi kepercayaan kepada perusahaan-perusahaan yang kekurangan uang untuk berinvestasi di pabrik dan peralatan yang akan segera menghasilkan dividen yang luar biasa ketika mesin ekspor negara itu meningkat. Produk Jepang kemudian mulai merambah ke pasar luar negeri selama tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an, yang lalu menjadi titik awal kebangkitan ekonomi Jepang.

AMBISI POLITIK YANG GAGAL

Pada bulan Juli 1946 MacArthur terbang ke Manila yang masih hancur di bawah perintah Truman untuk menghadiri pelantikan Manuel Roxas sebagai presiden terpilih pertama dari Filipina yang merdeka. Kemudian bepergian ke Seoul pada tahun 1948 untuk menghadiri pelantikan Syngman Rhee sebagai presiden Korea Selatan, MacArthur meyakinkan Rhee—walau tanpa wewenang untuk melakukannya—bahwa dia akan membela Korea Selatan melawan kaum komunis di utara “seperti halnya di California.” Ketika perang meletus di Korea pada tahun 1950, MacArthur terbang ke Taiwan untuk mengunjungi Chiang Kai-shek (dengan otorisasi dari Kepala Staff Gabungan tetapi bukan Departemen Luar Negeri), sebuah perjalanan yang setara dengan kunjungan kenegaraan kepada pemimpin Nasionalis China, yang terisolasi 115 mil (185 km) lepas pantai China daratan dengan hanya sisa-sisa pasukannya, walau masih menyebut dirinya presiden China. Meski kini berusia akhir 60-an—penglihatannya menurun dan tangan kanannya mulai gemetar—MacArthur tampak kokoh selama ia dipandang sebagai jenderal belakang meja di Jepang. Ketika Dwight Eisenhower, yang pernah menjadi ajudan MacArthur dan sekarang sesama Jenderal bintang lima menjadi kepala staf, dan mengunjungi Tokyo pada tahun 1946, MacArthur digosipkan siap berkampanye untuk pemilihan presiden berikutnya. Truman tampak lemah dan rentan, dan pada bulan November pemilih Amerika akan menggulingkan Kongres yang dikuasai Partai Demokrat di masa perang dan memilih mayoritas dari Partai Republik. Pemilihan presiden muncul pada bulan November 1948. Eisenhower menjadi calon alternatif yang menggoda, tetapi menolak untuk mengakui minatnya untuk mencalonkan diri. “Itu benar, Ike,” kata MacArthur. “Kamu terus seperti itu, dan kamu akan mendapatkannya.” MacArthur memang menyimpan ambisi untuk menjadi presiden dan mengharapkan pencalonan dari GOP pada tahun 1948, tetapi itu tidak terjadi. Partai Republik kembali memilih Gubernur New York Thomas E. Dewey, jadi MacArthur tetap tinggal di Tokyo. Eisenhower sendiri kemudian nantinya akan menggantikan Truman sebagai Presiden Amerika.

Dukungan warga Jepang terhadap MacArthur untuk mencalonkan diri sebagai Presiden Amerika. (Sumber: https://skeptics.stackexchange.com/)
Presiden Dwight D Eisenhower dan Jenderal Douglas MacArthur berjabat tangan setelah makan siang bersama di Gedung Putih, Washington DC, 18 Maret 1954. Meski MacArthur memiliki ambisi politik, namun karakter Eisenhower lebih diterima oleh masyarakat Amerika. (Photo by Underwood Archives/Getty Images/https://www.gettyimages.com/)

KEJATUHAN MACARTHUR DI KOREA

Bukan politik kepresidenan tetapi perang di Korea yang akhirnya membawa MacArthur kembali ke Amerika Serikat. Dengan orang Amerika yang disibukkan oleh Perang Dingin yang semakin konfrontatif di benua Eropa, pemimpin Korea Utara dukungan Uni Soviet, Kim Il-sung, memutuskan untuk meningkatkan ketegangan di sepanjang garis paralel ke-38. Presiden Rhee dari Korea Selatan merespons dengan sikap yang sama. Terlepas dari tanda-tanda yang muncul, Amerika Serikat terus menarik pasukannya dari semenanjung Korea, dengan hanya menyisakan Grup Penasihat Militer Korea (KMAG) yang kecil. MacArthur terus meremehkan kemungkinan perang di Korea. Sementara Kim menyiapkan serangan yang aktivitasnya hampir tidak terlihat di luar perbatasan, ajudan intelijen prokonsul, Willoughby, tetap lebih terobsesi dengan keamanan internal di Jepang. Komandan Angkatan Darat Kedelapan MacArthur pada tahun 1948 adalah Letnan Jenderal Walton “Johnny” Walker, yang pernah menjadi deputi Jenderal George S. Patton di Eropa. Kesiapan tentara Amerika telah menurun selama pendudukan. Pada tanggal 15 April 1949, MacArthur memerintahkan Walker untuk membentuk kekuatan darat yang efisien, menuntut evaluasi kesiapan pertama pada tanggal 15 Desember 1949—hampir enam bulan sebelum Korea Utara menyerang. Pada tanggal 25 Juni 1950, MacArthur mengetahui invasi komunis melalui telepon dari Seoul tetapi menganggapnya sebagai “berita sensasional.” Sebagai SCAP dia tidak bertanggung jawab atas wilayah Korea, dan dia mengaku heran dengan perintah dari Washington untuk menyediakan pasukan. Truman tidak punya banyak pilihan: Dia tidak bisa menyerahkan Korea Selatan kepada agresor Stalinis dan meninggalkan Jepang dalam bahaya, dan MacArthur berada di dekatnya dengan tentara dan angkatan udaranya. Kini akhirnya MacArthur akan kembali berperang.

Pasukan Korea Selatan mengendarai truk buatan Amerika pada tanggal 25 Juni 1950, saat mereka mempertahankan negara mereka dari invasi Korea Utara. (Sumber: https://www.politico.com/)
Jenderal Angkatan Darat Douglas MacArthur, Komandan pasukan PBB yang membantu Republik Korea untuk mengusir pasukan Komunis Korea Utara, dan seorang perwira staf-nya (kanan) memeriksa tank Komunis, dihancurkan selama pendaratan pasukan PBB di Inchon. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Jenderal MacArthur dan Jenderal Ridgway bertemu di Pantai Timur Korea 3 April 1951. (Sumber: http://www.koreanwaronline.com/)

GI pertama yang dikirim ke Korea dari Jepang, kalah jumlah dan persenjataannya, kemudian mundur, sementara pasukan Korea Selatan yang hanya sedikit terlatih melarikan diri. Pada tanggal 28 Juni MacArthur melakukan yang pertama dari 13 kunjungan pengawasan ke Korea—masing-masing hanya berlangsung beberapa jam—melalui udara ke bandara Suwon, kembali ke Tokyo pada waktunya untuk makan malam. Meskipun dia, menurut Resolusi Dewan Keamanan 7 Juli, menjadi komandan PBB di Korea, dia tidak pernah menghabiskan satu malam pun di tanah Korea. Ketika bala bantuan tiba dari Jepang, pesawat Amerika dan Australia menggempur jalur pasokan Korea Utara yang sudah terlalu panjang, dan memperlambat serangan. Marinir AS kemudian tiba pada bulan Agustus, memberi energi pada pertahanan PBB yang babak belur di sekitar Pusan, tetapi MacArthur segera menugaskan mereka kembali melancarkan pendaratan amfibi berisiko di utara Seoul yang dikuasai musuh, yakni di Inchon pada pertengahan bulan September. Operasi itu sukses, dan MacArthur tiba dengan kapal komando yang diperlengkapi secara khusus untuk mengawasi hasilnya. Meski demikian Peristiwa setelah pendaratan di Inchon tidak berjalan dengan baik. Pasukan PBB dengan cepat mengusir musuh ke utara menuju Sungai Yalu, tetapi kemudian China, yang sebelumnya mengancam akan campur tangan dalam konflik, benar-benar melakukannya, mendesak pasukan Walker kembali ke selatan. Di Tokyo, MacArthur menabuh genderang untuk memperluas perang ke China dan memohon Washington untuk mengirimkan bom atom. Ketika Walker meninggal dalam kecelakaan jip pada bulan Desember tahun itu juga, dan Angkatan Darat menugaskan Letnan Jenderal Matthew B. Ridgway yang dinamis sebagai penggantinya, hari-hari MacArthur sebagai komandan PBB—dan sebagai raja muda Amerika di Jepang—mulai bisa dihitung. Dia berusia 71 tahun pada bulan Januari 1951, sudah sedikit terlibat dengan urusan Jepang dan hanya secara nominal mengawasi perang di Korea melalui kunjungan-kunjungan singkatnya. Atas inisiatifnya sendiri, Ridgway kemudian beringsut ke utara menuju garis pertahanan dan membuat kondisi jalan buntu yang efektif di sebagian besar garis depan di atas garis paralel ke-38. Meskipun lebih dari sekadar pemulihan status quo, namun kondisi itu bukan kemenangan dramatis yang diinginkan MacArthur. Pada akhir bulan Januari 1951, MacArthur mulai secara terbuka mendesak perluasan perang. Ia telah terbang ke Suwon pada tanggal 28. Ridgway menyambut kedatangannya, dan jurnalis berkumpul di sekeliling MacArthur, yang berkata, saat turun dari pesawat: “ini sama persis saat aku pertama kali datang 7 bulan lalu untuk memulai perang ‘salib’ ini. Kondisi yang kita hadapi saat ini lebih dari sekedar masalah Korea, namun ini juga berkaitan dengan kebebasan Asia”.

PEMECATAN DAN PERPISAHAN

Dari Tokyo MacArthur terus mendesak perang yang lebih besar dengan China dan tidak terlalu memperhatikan bahasa peringatan yang telah ditujukan kepadanya dari Washington. Dia melihat dirinya hampir sebagai sebuah kekuatan berdaulat yang mandiri dan terlihat berupaya menyabotase upaya diplomatik untuk mengakhiri permusuhan. Dia mengatakan kepada wartawan yang diundang bahwa kegagalan untuk mengalahkan komunisme di Asia akan membuat pecahnya Perang Dunia III dan jatuhnya Eropa ke tangan Stalin tak terelakkan. Dalam sebuah pernyataan publik, dia memperingatkan China untuk meletakkan senjatanya atau menghadapi “keputusan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk menyimpang dari upaya toleran guna menahan meluasnya perang…[yang] akan membuat China Komunis menghadapi risiko keruntuhan militer yang akan segera terjadi.” Menghadapi pemecatan sambil mengundang perdebatan politik di dalam negeri, MacArthur mendesak para pemimpin Partai Republik untuk mempromosikan perang dengan China di bawah slogan, “Tidak ada pengganti untuk kemenangan.” Karena Kongres pada waktu itu merupakan pendukung MacArthur, Truman berkonsultasi dengan Kepala Staf Gabungan tentang kemungkinan dampak pemecatan sang jenderal. Mereka dengan suara bulat setuju mengenai pemecatan itu, dengan menasihati presiden bahwa pembangkangan MacArthur melanggar otoritas presiden sebagai panglima tertinggi. Pada tanggal 11 April 1951, Truman mengadakan konferensi pers pagi hari dan berbicara kepada bangsa Amerika melalui radio malam itu untuk mengumumkan perubahan garis komando: Ridgway, yang bintang keempatnya tidak disetujui oleh MacArthur, akan mengambil alih pimpinan di Korea dan Jepang. 

Letnan Jenderal Matthew Ridgway; Mayor Jenderal Doyle Hickey; dan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Tertinggi Pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Korea, dalam sebuah jip di sebuah pos komando, Yang Yang, Korea, kira-kira 15 mil di utara paralel ke-38, 3 April 1951. Karena sikapnya yang ingin memperluas perang, akhirnya MacArthur diberhentikan oleh presiden Truman dan digantikan oleh Ridgway. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Jenderal Douglas Macarthur Meninggalkan Tokyo 1951. (Sumber: https://www.ebay.co.uk/)
Pengunjung mengamati patung Jenderal MacArthur di sebuah ruangan di kantor Pusat Pasca-Perang Sekutu di Gedung Asuransi Jiwa Dai-Ichi, di distrik Hibiya, pada tanggal 18 Juli 2012 di Tokyo, Jepang. Bagi orang Jepang, yang sudah lama terbiasa dengan kaisar yang terpencil dan nyaris tak terlihat, MacArthur telah mengisi kekosongan sebagai dewa pengganti. (Sumber: https://jeremysuttonhibbert.photoshelter.com/)

MacArthur toh tidak pergi dengan diam-diam. Diatur oleh para deputi dan fungsionaris Jepang yang setia, keberangkatan sang jenderal pada fajar tanggal 16 April dari Tokyo dengan pesawat komandonya—sebuah Lockheed Constellation yang dinamai Bataan—sangat emosional. Pihak berwenang mengumumkan hari libur sekolah dan melengkapi anak-anak dengan bendera kecil Amerika dan Jepang. Radio publik NHK menyiarkan keberangkatan tersebut. Surat kabar Asahi Shimbun menerbitkan editorial berjudul LAMENT FOR GENERAL MACARTHUR, melaporkan bahwa dari tiga sorakan banzai yang dijadwalkan akan diteriakkan saat MacArthur berjalan melalui Tokyo ke Bandara Haneda, hanya dua sorakan yang disuarakan. Ketika orang-orang banyak melihat Jean MacArthur menangis, koran itu menjelaskan, “banzai ketiga tidak keluar.” Banyak orang Jepang memajang spanduk yang menyentuh hati dalam bahasa yang tidak pernah dipelajari oleh sang jenderal: KAMI MENCINTAIMU. KAMI BERTERIMA KASIH KEPADA JENDERAL. DENGAN PENYESALAN YANG TULUS. SAYONARA. Sebuah resolusi Diet Jepang mengutip MacArthur sebagai orang yang “membantu negara kita keluar dari kebingungan dan kemiskinan yang merajalela pada saat perang berakhir.” Bagi orang Jepang, yang sudah lama terbiasa dengan kaisar yang terpencil dan nyaris tak terlihat, MacArthur telah mengisi kekosongan sebagai dewa pengganti. Benar saja, Richard H. Rovere dan Arthur M. Schlesinger Jr mengutip seorang Jepang yang berkata, setelah Hirohito menyangkal bahwa ia adalah dewa: “kami memandang MacArthur seperti Yesus Kristus kedua”. Di landasan bandara sang jenderal berjabat tangan dengan penggantinya, Ridgway, banyak perwira senior dan pejabat tinggi Jepang. Meriam ditembakkan 19-kali. Delapan belas jet tempur dan empat pembom B-29 terbang rendah di atas kepala. Saat palka Bataan ditutup, sebuah band Angkatan Darat memainkan lagu perpisahan “Auld Lang Syne.” Kemudian pasukan dibubarkan, bendera dikibarkan, dan hari kerja lain dimulai di Jepang, menandai era baru, dimana hal itu tidak dapat terjadi tanpa adanya sosok MacArthur!

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

AMERICAN PROCONSUL: HOW DOUGLAS MACARTHUR SHAPED POSTWAR JAPAN By STANLEY WEINTRAUB; 11/8/2011

American Caesar: Douglas MacArthur 1880 – 1964 by William Manchester, 1978; p 545, p 550-552, p 556, p 558, p 588, p 601-605

Reminiscences Book by Douglas MacArthur, 1964; p 282-283, p 305

The Coldest Winter: America and the Korean War Book by David Halberstam, 2007; p 592

JAPAN REMEMBERS MACARTHUR THE PERFECT SHOGUN By Margaret Shapiro; March 28, 1988

https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1988/03/28/japan-remembers-macarthur-the-perfect-shogun/24e92735-5e82-427b-8028-42431176a430/

Rebuilding Japan With the Help of 2 Americans BY MARK MAGNIER; OCT. 25, 1999 12 AM PT

https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1999-oct-25-ss-26184-story.html

Exit mobile version