Sejarah Militer

Kampanye Militer di Kepulauan Aleut (1942-1943): Saat Jepang Menginvasi Amerika!

Dutch Harbor, Alaska, June 3, 1942 The Japanese realized that in order to win the war in the Pacific, they would have to bring the U.S. fleet into decisive combat. Their plan envisaged a deceptive move in a northern direction, towards the Aleutian Islands and Alaska. It would be a difficult campaign. The climate of the chain of islands that bounds the Bering Sea is not conducive for military operations or bases. It was cold and foggy in the summer, and bitterly cold in the winter. The climate was hard on man and machines. To counter the Japanese threat, the United States planned bases on the Aleutians. Into those bases throughout the first half of 1942, the nation moved her soldiers, sailors and airmen. Arkansas' 206th Coast Artillery Regiment (Anti-Aircraft) armed with obsolescent 3" anti-aircraft guns and water-cooled .50 caliber machine guns arrived in Dutch Harbor, the Aleutian Islands as part of the air defense. On the third of May, 1942, a Japanese task force made up of two light aircraft carriers and supporting ships moved into position 165 miles from Dutch Harbor. Fog shrouded their advance as they eluded the U.S. Navy forces that were searching for them. Half of the first attack group turned back because of the bad weather, but a dozen planes flew on to Dutch Harbor. Although the American forces were surprised, the 206th still managed to provide a thick screen of anti-aircraft fire. The gunners downed one Japanese Zero, but even more importantly, they denigrated the effect of the Japanese bombers' aim. Even so, the first attack cost the defenders of Dutch Harbor 25 killed in a 20-minute attack. This was the first Japanese attempt to destroy the new base at Dutch Harbor. Throughout the rest of the 3rd of June, weather assisted the defenders. On the 4th the Japanese struck again, damaging a hospital, oil storage facilities and killing more defenders. This was the last attack. Dutch Harbor was bloodied, damaged, but still i

Rantai Kepulauan Aleut Alaska terdiri dari 69 pulau yang terukur. Disamping itu masih banyak lagi pulau-pulau lain yang terlalu kecil untuk diukur sebagai sebuah pulau. Untuk Jepang dalam Perang Dunia II, kepulauan ini membuat jalur lintas pulau yang sempurna menuju Pantai Barat Amerika, dan tampaknya itulah niat Jepang saat merebut dua pulau di kepulauan Aleut pada bulan Juni 1942. Mereka menetap di Attu dan Kiska selama 14 bulan. Apa yang menghalangi keberhasilan Jepang dalam kampanye di Kepulauan Aleut adalah pertempuran laut di Midway, tanggal 4-7 Juni 1942, dan kemudian pertempuran berat di Guadalcanal, 7 Agustus 1942-9 Februari 1943. Kedua medan perang ini membayangi berbagai kejadian di sepanjang perbatasan yang memisahkan wilayah Utara Pasifik dari Laut Bering. Banyak yang percaya bahwa serangan Jepang ke rantai kepulauan Alaska ini adalah bagian dari upaya pengalihan yang terhubung dengan operasi di Midway. Analisis yang lebih dalam kemudian menunjukkan keinginan yang lebih rumit untuk menguasai jalan raya laut yang mengarah ke Pantai Barat Amerika. “Medan Aleut dalam perang Pasifik mungkin disebut Medan Frustrasi Militer,” tulis sejarawan militer terkenal Samuel Eliot Morison dalam karya klasiknya History of United States Naval Operations in World War II, Volume 7. “Pelaut, tentara, dan penerbang sama-sama menganggap penugasan ke wilayah yang hampir selalu berkabut dan bersalju ini tidak lebih baik daripada kerja paksa.” Pertempuran di Kepulauan Aleut ironisnya menjadi salah satu front Perang Dunia II yang kurang dikenal. 

Pasukan Amerika menahan dinginnya salju dan es selama Pertempuran Attu pada bulan Mei 1943. Pertempuran di Kepulauan Aleut ironisnya menjadi salah satu front Perang Dunia II yang kurang dikenal. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

LATAR BELAKANG PENTINGNYA KEPULAUAN ALEUT

Dibeli dari Rusia oleh Sekretaris Negara William H. Seward pada tahun 1867, Alaska telah lama dipandang sebagai pos terdepan yang beku dan terlarang dengan sedikit nilai, fungsi militer atau lainnya. Meski demikian, bukan berarti Kepulauan Aleut tidak ada gunanya. Nilai strategis kepulauan ini adalah kemampuannya untuk mengendalikan rute transportasi di Pasifik seperti yang dikatakan Jenderal AS Billy Mitchell kepada Kongres AS pada tahun 1935, “Saya percaya bahwa di masa depan, siapa pun yang menguasai Alaska akan menguasai dunia. Saya pikir ini adalah tempat strategis terpenting di dunia.” Di era sebelum menjadi negara bagian Amerika pada tahun 1959, Alaska secara resmi telah menjadi wilayah Amerika Serikat. Kepulauan Aleut adalah pulau batu vulkanik yang tandus dan hampir tidak memiliki vegetasi atau populasi manusia. Sebagian besar pulau-pulau ini sangat kecil dan jarang penduduknya. Masyarakat adat, seperti masyarakat suku Unangan, ditemukan di beberapa pulau. Namun, pada saat perang, komunitas ini relatif sedikit jumlahnya. Selain itu, orang-orang Suku Unangan masih mengalami efek mengerikan dari ekspedisi kolonial Kekaisaran Rusia dan Amerika pada abad ke-19 dan ke-20. Diperkirakan ada sekitar 1.500 orang Unangan pada saat serangan Jepang terjadi. Selain orang Unangan, beberapa orang non-pribumi Amerika juga ditempatkan di Kepulauan Aleut untuk misi meteorologi dan lainnya. Dari ujung barat daya Alaska, Kepulauan Aleut membentang 1.200 mil  (1.931 km) ke barat, melengkung ke arah Semenanjung Kamchatka Rusia. Dari barat ke timur, pulau-pulau penting di situ adalah Attu dan Kiska. Lebih dekat ke daratan Alaska adalah Amchitka, Adak, Umnak, dan Unalaska, dengan pelabuhan Dutch Harbor. Amerika kemudian dengan lambat meningkatkan pertahanan perbatasan utara terjauhnya termasuk Dutch Harbor. Pada tahun 1923, Dutch Harbour hanyalah stasiun batu bara seluas 23 hektar yang melayani kapal-kapal barang dari Rusia dan Amerika Utara melintasi Laut Bering. Pada bulan Januari 1941, tempat itu menjadi stasiun angkatan laut skala penuh yang berfungsi. Pada tanggal 8 Mei 1941, Angkatan Darat A.S. menjadikan Fort Mears yang menjadi pangkalan bagi Divisi Infanteri ke-7. Populasi personel Angkatan Laut-Marinir berjumlah 640; dengan GI menambahkan 5.425 personel lagi. Dutch Harbour menjadi tempat bagi landasan pacu sepanjang 5.000 kaki (1.524 meter), rumah sakit dengan 200 tempat tidur, pabrik pengolahan air, stasiun aerologi untuk pelaporan data atmosfer, dan satu set tangki bahan bakar minyak berkapasitas 6.666 barel. Wing udara Angkatan Laut menyumbang delapan pesawat amfibi Consolidated PBY Catalina yang dilengkapi dengan radar di tempat itu.

Orang Suku Unangan, penduduk asli kepulauan Aleut. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Pemandangan di Dutch Harbor. Pada tahun 1923, Dutch Harbour hanyalah stasiun batu bara seluas 23 hektar yang melayani kapal-kapal barang dari Rusia dan Amerika Utara melintasi Laut Bering. (Sumber: https://history.army.mil/)

Pada waktunya, Angkatan Darat mendirikan pangkalan udara di Fort Randall di Dutch Harbor, dimulai dengan enam pesawat pengebom medium dan 16 pesawat tempur. Pangkalan yang lebih baru akan menyusul di Fort Glenn di Umnak, dengan satu pesawat pengebom berat, enam pesawat pengebom medium, dan 17 pesawat tempur. Ketika situasi memanas, jumlah tersebut meningkat ketika dua grup udara dari Skuadron Tempur ke-111 Angkatan Udara Kanada tiba. Bergabung dengan rekan-rekan mereka dari Amerika, mereka menjadi Grup Tempur ke-343. Dutch Harbor sendiri bukanlah pos yang nyaman di Pasifik. Di beberapa titik di kepulauan Aleutian, pegunungan terjal mencapai ketinggian 4.000 kaki (1.219 meter). Mereka dipenuhi dengan parit, lerengan, dan singkapan berbatu. Gua-gua yang tercipta dari aktivitas vulkanik purba pun berlimpah. Satu-satunya pola cuaca yang dapat diprediksi adalah ketidakpastiannya. Hujan, gerimis, salju, dan angin topan mendominasi lingkungannya. Hujan dapat mencapai curah hujan 50 inci (1.270 mm) atau lebih per tahun, sementara salju di musim dingin menumpuk lebih dari 10 kaki (3,048 meter). Pada waktu tertentu, lima dari tujuh hari dipenuhi dengan kondisi paling menyedihkan, dengan kabut yang cukup tebal untuk menyilaukan mata. Kapal dapat berpapasan satu sama lain dalam jarak beberapa ratus meter dalam kabut dan tidak dapat melihat satu sama lain. Medan sebagian besar berupa tundra muskeg yang membeku atau sebagian mencair.

Mencakup celah Pasifik utara antara Jepang dan Alaska, Kepulauan Aleut adalah lokasi yang tidak ramah tetapi strategis bagi pihak mana pun yang dapat mempertahankannya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Terjebak di jalan berlumpur di Aleut. Kondisi iklim dan geografis kepulauan Aleut memang sangat keras. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Yang menjadi pertanyaan, dengan kondisi mengerikan semacam ini, mengapa ada angkatan darat atau angkatan laut yang ingin bertempur di medan yang menyedihkan dan tidak ramah seperti itu? Arti penting militer bagi Jepang adalah bahwa pesawat terbang yang berbasis di pulau terjauh di bagian barat kepulauan Aleut berada dalam jangkauan Kepulauan Kuril Jepang. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJN) telah mengembangkan pangkalan di pulau-pulau tersebut untuk menjangkau seluruh Pasifik Utara. Pesawat yang berbasis di Aleut juga dapat mencapai Semenanjung Kamchatka yang dikuasai Jepang, titik peluncuran penting lainnya untuk kegiatan angkatan laut di Pasifik Utara. Kebutuhan untuk menduduki atau menetralisir ancaman dari kepulauan Aleut menjadi jelas pada tanggal 18 April 1942, ketika 16 pesawat pengebom medium North American B-25 Mitchell pimpinan Kolonel James Doolittle menghantam Tokyo dari tempat yang tidak diketahui. Serangan tersebut membuat para petinggi Jepang kalang kabut untuk menentukan titik asal serangan pesawat-pesawat ini. Salah satu tempat yang dicurigai adalah kepulauan Aleut – khususnya pulau Attu. Diluar itu, Laksamana Isoroku Yamamoto, panglima tertinggi Armada Gabungan, melihat lebih banyak lagi alasan untuk menaklukkan pulau-pulau tersebut. Karena pernah tinggal di Amerika, laksamana yang paling dihormati di Jepang ini mengetahui berbagai aspek kehidupan orang-orang Amerika yang tidak dipahami oleh para atasannya hingga terlambat. Yamamoto percaya bahwa perang dengan Amerika akan menyebabkan bencana bagi Jepang. Amerika, dia tahu, bisa lebih dari sekadar memproduksi mobil dan kulkas. Begitu Amerika terdesak ke dalam perang, Yamamoto hanya melihat satu cara bagi Jepang untuk menang, yakni: menghancurkan infrastruktur industri dan manufaktur Amerika jauh sebelum mereka dapat beralih ke produksi alat-alat perang.

Kebutuhan untuk menduduki atau menetralisir ancaman dari kepulauan Aleut menjadi jelas pada tanggal 18 April 1942, ketika 16 pesawat pengebom medium North American B-25 Mitchell pimpinan Kolonel James Doolittle menghantam Tokyo dari tempat yang tidak diketahui. Serangan tersebut membuat para petinggi Jepang kalang kabut untuk menentukan titik asal serangan pesawat-pesawat ini. Salah satu tempat yang dicurigai adalah kepulauan Aleut – khususnya pulau Attu. (Sumber: https://www.pinterest.se/)

Solusi Yamamoto adalah dengan menghancurkan “Sistem Pertahanan Segitiga Samudra Pasifik” Amerika. Tiga titik dari segitiga yang dibayangkan ini – Terusan Panama, Pearl Harbor, dan Dutch Harbor di kepulauan Aleut – membentuk perimeter pertahanan Samudra Pasifik Amerika. Apa pun yang diproduksi Amerika di Pantai Timur dikirim melalui Terusan Panama ke Pantai Barat, dan Pantai Barat mensuplai Pearl Harbor dan pangkalan AS lainnya di Pasifik. Premis Yamamoto untuk menyerang Pearl Harbor adalah untuk melenyapkan Armada Pasifik Amerika dan membuka lebar dan luasnya Samudra Pasifik untuk angkatan laut Jepang. Dari sana gerak maju ke kepulauan Aleut dapat dilakukan. Di Pantai Barat, area seperti Seattle dan California Selatan, tempat sebagian besar pabrik pembuatan pesawat Amerika berada, akan rentan. Kemudian, pada waktunya, Terusan Panama akan dinetralkan. Dengan tiga titik utama pertahanan Amerika di bawah kendali Jepang, Amerika akan berada di ambang kehancuran. Banyak pemimpin Jepang juga percaya bahwa kembali pecahnya permusuhan dengan Uni Soviet tidak dapat dihindari. Perebutan Attu dan Kiska dapat menghambat pengiriman barang-barang Lend-Lease dari Amerika Serikat ke Soviet. Pada akhir musim panas 1942, 8.000 pesawat buatan AS pertama diterbangkan ke Uni Soviet dari Dutch Harbor. Strategi Jepang secara garis besar mencakup empat tujuan di Aleut, yakni: 

  1. Mencegah kerjasama militer antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang belum memasuki perang; 
  2. Menghambat jalur suplai Lend-Lease;
  3. Melindungi sisi utara tanah air Jepang dari serangan AS, karena Jepang masih yakin Serangan Doolittle telah diluncurkan dari Aleut; dan 
  4. Menduduki titik-titik strategis di sepanjang rangkaian pulau yang dapat digunakan musuh untuk melancarkan operasi di Pasifik Utara untuk mengancam sekaligus Amerika Serikat atau Uni Soviet.
Laksamana Muda Boshiro Hosogaya, yang ditugaskan untuk merebut kepulauan Aleut. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Kapal Induk Junyo. Yamamoto menugaskan dua kapal induk kecil, Junyo dan Ryujo, lima kapal penjelajah, 12 kapal perusak, enam kapal selam, empat kapal angkut pasukan, dan berbagai kapal pendukung tambahan untuk operasi di kepulauan Aleut. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Serangan Yamamoto ke kepulauan Aleut telah digambarkan sebagai taktik pengalihan untuk memancing pasukan angkatan laut Amerika menjauh dari Midway; namun, beberapa sejarawan memperdebatkan asumsi ini dan menunjukkan alasan mengapa kepulauan Aleut akan menjadi target utama. Yamamoto mengirim 34 kapal ke utara, menciptakan Armada Area Utara di bawah pimpinan Laksamana Muda Boshiro Hosogaya. Dia menugaskan dua kapal induk kecil, Junyo dan Ryujo, untuk operasi di kepulauan Aleut. Yamamoto menambahkan lima kapal penjelajah, 12 kapal perusak, enam kapal selam, empat kapal angkut pasukan, dan berbagai kapal pendukung tambahan. Dapat diperdebatkan bahwa ketiadaan kapal-kapal ini bisa membuat perbedaan di pertempuran Midway. Beberapa kapal itu, khususnya dua kapal induk, dapat mengubah hasil pertempuran di Midway. Sementara sebagian besar angkatan laut Amerika menghadapi Jepang di Midway, Nimitz membagi kekuatannya, dengan menugaskan Satuan Tugas 8 (serta elemen penerbangan angkatan laut Air Wing Four) di bawah Laksamana Muda Robert A. “Fuzzy” Theobald bergerak menuju Aleut dengan dua kapal penjelajah berat, tiga kapal penjelajah ringan, dan empat kapal perusak, tiga kapal tanker, serta enam kapal selam. Theobald disuruh untuk mempertahankan Dutch Harbor “dengan segala cara” dan menghentikan kekuatan Jepang bergerak di Alaska. Yamamoto, bagaimanapun, tidak berniat menyerang Alaska. Rencananya adalah untuk mempertahankan kehadiran militer di Attu dan Kiska dan mencegah Amerika menginvasi tanah air Jepang.

Mayor Jenderal Simon B. Buckner, Jr. ditunjuk untuk mengepalai Komando Pertahanan Alaska. (Sumber: https://www.ww2online.org/)

Sama seperti Jepang, para perencana AS memutuskan untuk menggagalkan penguasaan Aleut sebagai rute invasi juga. Nimitz ingin mengusir musuh dari pulau-pulau dan mencegah bala bantuan tambahan mencapai Hosogaya. Mayor Jenderal Simon B. Buckner, Jr., kemudian ditunjuk mengepalai Komando Pertahanan Alaska. Dia memiliki 45.000 orang yang siap membantu, dengan sekitar 13.000 ada di Fort Randall, terletak di Cold Bay di Semenanjung Alaska itu sendiri. Sisa pasukannya dipencarkan di Dutch Harbor dan juga di instalasi Angkatan Darat AS yang baru dibangun, yang dijuluki Fort Glenn, 70 mil (112 km) sebelah barat Pulau Umnak. Terlepas dari kontingen tentara yang tampaknya besar, komando Buckner, pada kenyataannya, hanya berjumlah sedikit di atas 2.000 orang, dan beberapa di antaranya adalah unit zeni yang dikirim ke Aleut untuk membangun pangkalan baru. Sementara itu yang juga ada di bawah tanggung jawab Theobald adalah Armada Udara ke-11. Dipimpin oleh Brigjen. Jenderal William C. Butler. Keduanya akan berbagi komando. Kekuatan yang terdiri dari 44 pembom berat dan menengah (10 pembom berat B-17 Flying Fortress dan 34 pembom menengah B-18 Bolo di Elmendorf Airfield di Anchorage, Alaska) dan dan 95 pesawat tempur P-40 Warhawk dibagi antara Fort Randall AAF di Cold Bay dan Fort Glenn AAF di Umnak. Meskipun Buckner dan Letnan Jenderal John L. DeWitt, yang bertanggung jawab atas Komando Pertahanan Barat, memiliki alasan untuk bisa menyerang Jepang dengan memanfaatkan kepulauan Aleut, tujuan sebenarnya mereka adalah murni psikologis, yakni: mengusir Jepang yang menduduki wilayah Amerika, bahkan meski tanah itu sepi seperti Kiska dan Attu.

Pembom berat B-17 Flying Fortress. (Sumber: https://aksikata.com/)
Pembom menengah B-18 Bolo. (Sumber: https://br.pinterest.com/)
Pesawat tempur P-40 Warhawk. (Sumber: https://www.etsy.com/)

PENYERANGAN KE DUTCH HARBOR

Di lautan, Hosogaya kemudian berlayar ke utara mengharapkan perlawanan yang jauh lebih besar daripada yang dia temukan. Sementara itu Dutch Harbor dalam keadaan siaga tinggi. Sejak pertengahan bulan Mei, personel Angkatan Darat telah meningkat dengan membawa serta senjata mereka: dua meriam artileri pantai berkaliber delapan inci (203 mm), dua penempatan senjata antipesawat kaliber 90mm, satu situs senjata antipesawat berkaliber tiga inci (76,2 mm), dan empat howitzer kaliber 155mm. Pada tanggal 2 Juni 1942, sebuah pesawat amfibi PBY Angkatan Laut menemukan armada Hosogaya 800 mil (1.287 km) barat daya Dutch Harbor. Armada Jepang kemudian menghilang dalam cuaca buruk dan kabut yang menyelimuti. Pada pukul 4 pagi pada tanggal 3 Juni, Hosogaya berada 180 mil (289,6 km) barat daya Unalaska dan Dutch Harbor. Kapal induk Ryujo meluncurkan 11 pembom dan enam pesawat tempur; satu pembom jatuh ke air saat lepas landas. Junyo mengirim 15 pembom dan 13 pesawat tempur, semuanya sia-sia. Cuaca menjadi sangat buruk sehingga mengaburkan pandangan para pilot. Pilot-pilot Jepang dari Junyo meninggalkan pencarian mereka dan kembali ke kapal induk. Mengharapkan kedatangan serangan Jepang, orang-orang Amerika di Dutch Harbor mendeteksi armada penerbangan dari Ryujo sebelum mereka tiba. Dengan ini ada cukup waktu bagi kapal-kapal Amerika untuk melepaskan diri dan menuju laut lepas tetapi tidak cukup waktu untuk membersihkan pelabuhan sepenuhnya. Pada pukul 6 pagi, 14 bom telah dijatuhkan di Fort Mears, menghancurkan dua barak kayu dan tiga gubuk Quonset.

Pesawat amfibi PBY. (Sumber: https://www.history.navy.mil/)
Bangunan terbakar di Fort Mears setelah serangan tanggal 3 Juni di Dutch Harbor. Dua puluh lima prajurit tewas selama serangan 20 menit itu. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Marinir AS menjagai parit berkarung pasir mereka untuk mengantisipasi serangan musuh lainnya di Dutch Harbor sementara asap mengepul di latar belakang dari pembakaran tangki bahan bakar, yang dibakar oleh sebuah pengebom tukik. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Namun, para penyerang terhambat ketika tirai tebal tembakan anti-pesawat terbang mengarah ke mereka; mereka tidak menduga pertahanan yang terkoordinasi seperti itu. Pilot-pilot Jepang bergegas menuju target-target lain yang telah dipilih, dan meleset. Beberapa bom jatuh ke dalam air. Satu pesawat penyerang ditembak jatuh dan pesawat penyerang kedua terlihat rusak namun tetap terus terbang. Serangan kedua tidak menghasilkan apa-apa, namun gelombang ketiga yang terdiri dari tiga pesawat mengklaim telah menjatuhkan stasiun radio Dutch Harbour dan merusak sebuah kapal barak stasioner, USS Northwestern. Satu senjata anti-pesawat berhasil dilumpuhkan dan menewaskan dua tentara. Pada saat Fort Randall, yang berjarak sekitar 200 mil (321,8 km) jauhnya, mendapat kabar tentang serangan tersebut dan mengerahkan penerbangan yang terdiri dari pesawat-pesawat tempur Curtiss P-40, para penyerang telah lama pergi. Pada pukul 9 pagi, Hosogaya melakukan serangan udara terakhir. Kali ini, mereka menargetkan lima kapal perusak yang terpapar berdampingan saat berlabuh. Hal itu juga terbukti tidak produktif. Pada saat pesawat-pesawat itu tiba di dekat sasaran, kabut yang menggantung rendah menyelimuti, menutupi kapal-kapal perusak itu dari pandangan. Dalam hitungan terakhir, 50 orang Amerika tewas di darat dengan jumlah yang sama banyaknya dengan yang terluka. Pihak penyerang kehilangan dua pesawat tempur, satu pesawat pengebom medium, dan satu pesawat amfibi. Armada Udara Kesebelas Angkatan Darat kehilangan dua pesawat tempur dan satu pesawat pengebom medium dan satu pesawat pengebom berat. Itulah hasil perang yang terjadi di Dutch Harbor. Armada Hosogaya kemudian berhasil lolos tanpa terdeteksi di bawah selimut kabut. Perhatian pada tahun berikutnya lalu akan terfokus pada pulau-pulau Attu dan Kiska.

Mengalirkan asap dari mesin yang rusak, sebuah pesawat Jepang tampaknya menghadapi masalah. Setidaknya satu Zero Jepang jatuh selama serangan di Dutch Harbor. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

JEPANG MEREBUT ATTU DAN KISKA

Di lepas pantai Attu pada tanggal 7 Juni 1942, Hosogaya menugaskan Laksamana Muda Sentaro Omori untuk memimpin satu kapal penjelajah, dua kapal perusak, satu kapal angkut, dan satu kapal ranjau. Memimpin serangan ke darat adalah Mayor Matsutoshi Hozumi, yang fasih berbahasa Inggris dan menjaga 1.200 tentaranya dalam ketertiban militer yang ketat. Para penyerang Jepang hanya mendapat sedikit perlawanan karena Attu hanya memiliki kurang dari 50 penduduk yang berpusat di desa Chichagof – 45 orang di antaranya adalah penduduk asli Aleut. Dua penduduk asal Amerika adalah pasangan suami istri Foster C. Jones dan istrinya Etta. Foster bekerja untuk Biro Cuaca AS sementara Etta, seorang perawat yang menjadi guru sekolah, mengajar di sana. Orang-orang Aleut kemudian dikumpulkan. Seorang wanita terluka di kaki karena peluru, dan seorang tentara Jepang secara tidak sengaja terluka oleh seorang rekannya. Pada awalnya para penyerang Jepang bersikap baik. Mereka mencoba bermain dengan anak-anak dan mencoba memancing dengan orang dewasa. Namun tak lama kemudian Etta Jones dan orang-orang Aleut dibawa ke Yokohama dan ditahan hingga perang berakhir. Etta selamat dan bisa kembali, tapi 16 orang Aleut tidak. Sementara itu Foster Jones meninggal dengan cara dan keberadaan yang tidak diketahui. Ada anggapan bahwa dia ditembak saat menghindari penangkapan dan tubuhnya tidak pernah ditemukan. Dengan semua drama itu, Jepang menaklukkan Attu dan menguasainya selama satu tahun ke depan. Pada pukul 1:15 pagi tanggal 7 Juni 1942, sekitar 480 mil (772 km) sebelah tenggara Attu, 500 Marinir Jepang dari Pasukan Darat Khusus Ketiga Maizuru merayap ke daratan Kiska. Kiska menjadi lebih penting karena pelabuhannya yang lebih dalam dan adanya potensi untuk meningkatkan kemampuan landasan udaranya. Kapten Tekeji Ono memimpin Marinirnya ke stasiun cuaca yang terdiri dari tiga gubuk, yang dioperasikan Angkatan Laut A.S. Mengharapkan kedatangan musuh, 10 pelaut Amerika membakar sebanyak mungkin dokumen dan menghancurkan peralatan sebanyak yang mereka bisa sebelum melarikan diri dari tempat itu. Dalam dua hari, sembilan orang ditangkap. Mereka juga terpaksa meninggalkan maskot mereka, seekor anjing bernama Explosion. Selama 50 hari, pelaut yang hilang, William C. House, tetap berkeliaran, bersembunyi di gua dan hidup dengan memakan lumut, rumput, cacing, dan serangga sampai berat badannya turun begitu banyak sehingga dia terpaksa menyerah atau mati kelaparan. Perlakuan terhadap tahanan Amerika masih dapat diterima sampai mereka dikirim ke Jepang untuk diinternir di kamp kerja paksa. Semua 10 orang selamat dari perang untuk kemudian pulang. Dalam waktu singkat, 1.000 lebih orang Jepang mendarat di Attu, sementara tiga kali lipat dari jumlah itu menduduki Kiska. Keberadaan sejumlah insinyur dan pekerja konstruksi, membuktikan bahwa Jepang memiliki rencana jangka panjang.

Pasukan Jepang mengibarkan bendera pertempuran Kekaisaran di Pulau Kiska di Kepulauan Aleut pada tanggal 6 Juni 1942. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Foster C. Jones. Foster Jones meninggal dengan cara dan keberadaan yang tidak diketahui. Ada anggapan bahwa dia ditembak saat menghindari penangkapan dan tubuhnya tidak pernah ditemukan. (Sumber: https://www.findagrave.com/)

Pada tanggal 11 Juni 1942, pihak Amerika di Dutch Harbor menyadari bahwa mereka tidak mendengar kabar dari tim cuaca mereka yang terdiri dari 10 orang di Kiska. Sebuah pesawat PBY Angkatan Laut lalu terbang di atas Kiska dan mengkonfirmasi bahwa musuh memegang kendali disana. Pada akhir bulan Juli, Jepang mengerjakan berbagai instalasi. Bahkan Batalyon Infanteri 301 dan 302 menjadi “semut-semut” pekerja – tanpa mempertimbangkan apakah alat berat tersedia atau tidak. Bunker bawah tanah yang kompleks dibuat menjadi terowongan-terowongan. Bengkel-bengkel bawah tanah dibuat. Tempat peluncuran untuk tiga kapal selam mini disiapkan untuk digunakan. Barak-barak, di bawah dan di atas tanah, dioperasikan, dan sebuah rumah sakit didirikan. Seorang dokter di sana, Paul Nobuo Tatsuguchi, telah menerima pendidikan dan lisensi medisnya di California pada tahun 1938. Sementara itu tidak ada yang lebih penting daripada landasan pacu, dan pekerjaan terus berlanjut hampir sepanjang waktu. Para insinyur Jepang menghadapi tantangan yang tidak pernah berakhir saat bekerja di padang pasir yang berlumpur, yang terlalu basah untuk menangani pesawat. Pesawat-pesawat amfibi Jepang ditambatkan di pelabuhan. Seiring berjalannya waktu, Hosogaya mengganti nama Kiska menjadi “Pangkalan Angkatan Laut ke-51 IJN.” Namun, laksamana ini mendapat pukulan telak. Setelah kekalahan di Midway di mana Jepang kehilangan empat kapal induk, dua kapal penjelajah berat, dan 332 pesawat, Yamamoto ingin mendapatkan kembali sebanyak mungkin kapal induk dan pesawat untuk pertempuran laut di hari lain. Sebelum kembali ke Jepang, Yamamoto memanggil kembali dua kapal induk Hosogaya, Ryujo dan Junyo. Untuk sementara waktu, Jepang yang menduduki Attu dan Kiska menerima pasokan melalui kapal-kapal permukaan, tetapi pada akhirnya terlalu banyak yang menjadi target. Kapal selam kemudian mengambil alih untuk operasi pasokan. Tidak pernah mengetahui betapa rentannya kode Angkatan Laut mereka, kapal-kapal selam Jepang juga menjadi sasaran empuk. Sementara itu invasi dan pendudukan Jepang di Kiska pada tanggal 6 Juni dan Attu pada tanggal 7 Juni 1942 mengejutkan publik Amerika, karena benua Amerika Serikat untuk pertama kalinya diserbu dalam 130 tahun sejak tahun 1815 (selama Perang tahun 1812).

Tentara Jepang di Pulau Attu” Lukisan oleh Shoichi Kabashima tahun 1942. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Empat pembom Armada Udara Amerika Serikat B-24 menuju ke laut, terbang di atas gunung Alaska dalam perjalanan untuk membom Kiska yang dikuasai Jepang di Kepulauan Aleut. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Dalam menguasai Kepulauan Aleut, Amerika dan Jepang dibebani dengan masalah yang sama, yakni: Sebagian besar tenaga kerja dan material perang mereka dialihkan ke kampanye di New Guinea dan Kepulauan Solomon yang sedang berlangsung. Dilema Hosogaya bahkan lebih buruk lagi. Basis pasokannya di Paramushiro di Kuril terletak 1.200 mil (1.931 km) di utara Tokyo dan 650 mil (1.046 km) di barat Attu. Selain itu, perbekalan yang mencapai Kiska harus menempuh jarak hampir 400 mil (643 km) lebih jauh dan melewati kabut tebal dan perairan berbahaya yang dipenuhi terumbu karang. Dengan ini kehidupan di Attu dan Kiska dengan cepat menjadi mematikan bagi orang-orang Jepang. Setelah kekalahan telak Yamamoto di Midway pada awal bulan Juni 1942, perhatian Amerika beralih ke Aleut. Kepala Staf Gabungan (JCS) merasa terganggu dengan laporan kapal-kapal perang Jepang yang beroperasi antara Kepulauan Pribilof dan St. Lawrence. Perhatian utama mereka adalah invasi ke Alaska sendiri. Akibatnya, Kepala Staff Gabungan merekomendasikan agar Theobald dan DeWitt mulai merencanakan serangan amfibi terhadap Kiska dan Attu. Tanggapan pertama Angkatan Laut AS terhadap invasi Jepang datang melalui armada pesawat PBY mereka. Dilayani oleh kapal perang USS Gillis, pesawat-pesawat PBY dipersenjatai dengan bom. Hal ini menjadi penting karena kemampuan terbang jarak jauh pesawat-pesawat tersebut. Para pilot PBY terbang tanpa henti dalam misi selama 20 jam hingga Gillis tidak bisa lagi menyediakan bahan bakar dan bom. Pada pertengahan bulan September 1942, pesawat-pesawat pembom Consolidated B-24 Liberator diluncurkan dari lapangan udara yang baru dibangun di Adak untuk menyerang Kiska dan kemudian Attu. Penerbangan pertama Angkatan Darat yang terdiri dari pesawat-pesawat pembom B-24 Liberator terbang di atas Attu pada ketinggian 15.000 kaki (4.572 meter). Ketika satu pesawat B-24 membuka pintu ruang bomnya, peluru antipesawat kaliber 75 mm Jepang menghantam pintu yang terbuka, menyulut muatan bom pesawat, dan secara harfiah meledakkan pesawat pengebom itu menjadi dua. Begitu banyak pecahan peluru yang beterbangan hingga dua B-24 yang bersebelahan mengalami kerusakan. Di tempat lain serangan-serangan pembom B-17 Flying Fortress menargetkan kapal-kapal yang berlabuh di teluk. Tak ada satu pun kapal yang terkena. Pada akhir bulan Oktober, Armada Udara Kesebelas AS melakukan pengeboman di kedua pulau tersebut setiap hari jika cuaca memungkinkan. Di antara persenjataan yang dijatuhkan adalah bom pembakar yang diimprovisasi – yakni kantong karet yang penuh dengan bensin. Inovasi lainnya adalah bom yang terbuat dari botol kaca kosong yang pecahannya menjadi pecahan peluru. Serangan udara berulang ini kemudian meyakinkan Jepang bahwa Amerika berencana untuk merebut kembali pulau-pulau itu. Kapal-kapal pengangkut pasukan mulai mendaratkan bala bantuan di dua pangkalan. Mereka tahu bahwa dengan datangnya musim dingin, Amerika tidak akan dapat memulai invasi skala penuh sampai musim semi berikutnya. Cuaca di kepulauan Aleut yang tak tertahankan, sekali lagi, berperan dalam strategi yang digelar. Dan sebelum pertempuran usai, itu akan menjadi faktor penentu bagi semua yang terlibat dalam operasi tersebut.

RENCANA SERANGAN BALIK SEKUTU

Pada tanggal 11 Januari 1943, pasukan AS menyelinap ke daratan di Pulau Amchitka, hanya 50 mil (80 km) dari Kiska. Meskipun tidak ada pasukan musuh yang ditempatkan di Amchitka, para prajurit menghadapi pertempuran dengan unsur-unsur alam yang keras. Willowaw, kata orang-orang Aleut untuk badai dahsyat, melanda pada malam pertama. Angin yang berputar-putar menghancurkan banyak kapal pendarat dan menyebabkan kapal pengangkut kandas. Jika itu belum cukup, badai salju dimulai keesokan harinya dan berlangsung selama dua minggu. Anginnya yang menderu-deru, tumpukan salju yang besar, dan hujan es yang menggigit menyerang pasukan penyerang. Pada akhir bulan Januari, Laksamana Thomas C. Kinkaid mempresentasikan rencana untuk menginvasi Kiska, dan skema tersebut dengan cepat disetujui oleh Laksamana Nimitz dan Jenderal DeWitt. DeWitt ingin menggunakan Divisi Infanteri ke-35 sebagai pasukan penyerang yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Charles H. Corlett dan Brigjen. Jenderal Eugene M. Landrum, asisten komandan divisi. DeWitt merasa nyaman dengan unit tersebut karena baik Corlett dan Landrum pernah bertugas di Aleut, yang dianggap sebagai nilai tambah yang besar bagi DeWitt. Departemen Perang, bagaimanapun, mengabaikan nasihat DeWitt dan malah menunjuk Divisi Infanteri ke-7, yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Albert E. Brown, untuk pekerjaan itu. Meskipun sangat terlatih dan termotivasi, unit tersebut telah berlatih manuver di gurun California dan dikirim ke Afrika Utara untuk berperang melawan Korps Afrika pimpinan Field Marshal Erwin Rommel. Meskipun, DeWitt dan Buckner berdebat, permohonan mereka tidak dihiraukan. Keputusan Departemen Perang sudah final. Untuk mempersiapkan serangan amfibi, Buckner, Nimitz, dan Kinkaid mengirim orang-orang yang berpengetahuan luas di bidang itu—orang-orang seperti Mayor Jenderal Marinir A.S. Holland M. “Howlin’ Mad” Smith dan Kolonel Angkatan Darat William O. Eareckson. Wakil Laksamana Francis W. “Skinny” Rockwell akan memegang komando atas semua operasi Kiska. Namun, pada akhir bulan Februari, Kinkaid berubah pikiran untuk menyerang Kiska dan, sebaliknya, mengarahkan pandangannya ke Attu. Dia memiliki informasi intelijen yang mengatakan Jepang hanya memiliki 500 prajurit di pulau itu. Dengan mendarat di Attu, Kinkaid “berharap untuk meninggalkan Kiska dikepung oleh pasukan Amerika.” Departemen Perang dengan cepat mengacungkan jempol pada rencana revisi Kinkaid untuk menyerang Attu alih-alih Kiska dengan Divisi Infanteri ke-7 masih dijadwalkan menjadi pasukan penyerang. Operasi itu dijuluki Landcrab, dan tanggal invasi ditetapkan pada tanggal 7 Mei.

Sebuah bom meledak di dekat kapal perang Jepang di lepas pantai Pulau Kiska selama penyerangan oleh pesawat pengebom Angkatan Udara AS, 9 Oktober 1942. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Poster propaganda militer AS dari tahun 1942/43 untuk Distrik Angkatan Laut Ketiga Belas, Angkatan Laut AS, menunjukkan seekor tikus dengan pakaian stereotip yang mewakili Jepang mendekati perangkap tikus berlabel “Angkatan Darat – Angkatan Laut – Sipil,” pada peta latar belakang Teritori Alaska, disebut sebagai ” Perangkap Maut Untuk Orang Jepang.” (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada bulan Maret 1943, Amerika mulai serius untuk merebut kembali Attu dan Kiska, target utamanya adalah lapangan terbang yang terakhir masih belum selesai. Angkatan Laut A.S. menjaga jerat yang dipasang semakin ketat di sekitar Attu, dan menanamkan rasa takut di hati para pelaut Jepang yang datang mencoba untuk mendaratkan pasokan bantuan ke darat. Saat kapal-kapal permukaan Jepang tidak bisa masuk, harapan semakin tertuju pada kapal selam Seri-I. Sementara Angkatan Laut AS melacak kedatangan dan kepergian mereka, kerugian kapal-kapal selam Jepang meningkat. Pada tanggal 9 Maret 1943, dalam kabut tebal, kapal pemasok permukaan Jepang terakhir yang cukup besar mencapai Attu. Sebulan kemudian, satu kapal selam berhasil melewati kepungan dengan penumpang khusus: Kolonel Yasuyo Yamasaki. Dia dibebani dengan tugas yang tidak enak untuk memimpin keadaan yang memburuk di Attu. Langkah paling bijaknya adalah mengkonsolidasikan sisa dari 2.650 prajuritnya (jauh lebih besar dari perkiraan Kinkaid), yang dilengkapi dengan mortir, senjata otomatis, dan beberapa artileri di dataran tinggi di atas Lembah Pembantaian dan Holtz. Yamasaki tidak memiliki ilusi yang muluk-muluk. Jepang telah dihajar habis-habisan di Guadalcanal, dan dia diberitahu untuk tidak mengharapkan bala bantuan, setidaknya sampai akhir bulan Mei. Tapi jauh di lubuk hati, dia tahu pasukan ini mungkin juga tidak akan pernah tiba. Itu akan menjadi pertarungan sampai mati. Belakangan bulan itu, komando Amerika bersiap untuk pendaratan amfibi besar, menargetkan pulau Attu berukuran 35 kali 20 mil (56 x 32 km). Serangan itu ditugaskan ke Divisi Infanteri ke-7 yang beranggotakan 15.000 orang. Maret juga merupakan bulan yang besar bagi Angkatan Laut AS. Pada tanggal 26, gugus tugas AS yang dipimpin oleh kapal penjelajah berat Salt Lake City menemukan konvoi bantuan Jepang yang menuju Aleut. Dalam baku tembak angkatan laut klasik yang langka antara kapal permukaan, kapal perang AS yang kalah jumlah menggagalkan upaya kapal permukaan terakhir Jepang untuk mencapai pos terjauhnya. Pertempuran ini dikenal sebagai Pertempuran Kepulauan Komandorski. Meskipun pasukan Hosogaya berada di ambang kemenangan, sang laksamana, karena takut pesawat tempur Amerika akan segera tiba, memutuskan kontak dan berlayar ke perairan asalnya. 

Kapal penjelajah berat Salt Lake City ditembaki dari Kepulauan Komandorski. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Para perencana dan komandan top Amerika kemudian bertemu di San Diego untuk menyelesaikan rencana operasi yang akan datang, dan pertemuan itu segera berubah menjadi pertandingan seru antara berbagai individu di sana. DeWitt bersikeras bahwa sebuah resimen dapat merebut Attu. Brown, sementara itu, menegaskan bahwa lingkungan yang tak kenal ampun akan menghalangi anak buahnya untuk bergerak melintasi pulau. Hubungan antara Brown dan DeWitt sangat tegang karena perselisihan ini. Sengketa ini akan berdampak selama kampanye militer mendatang. Brown tidak memiliki pengalaman Alaska sebelumnya. Dia bahkan menolak rekomendasi Kolonel Lawrence V. Castner untuk melihat sendiri kepulauan Aleut barat melalui udara untuk melihat tata letak pulau. Kesalahan lainnya adalah pemilihan pakaian untuk para prajurit. Sepatu bot dan peralatan yang salah dipesan, dan ini tidak akan tahan terhadap tanah dingin dan basah Attu yang menusuk tulang. Karena kekurangan kapal angkut, tentara pimpinan Buckner dari Resimen Infantri ke-4 harus tetap berada di Adak. Jika Brown membutuhkan mereka, mereka akan berlayar ke Attu dalam waktu 24 jam. Rencana Angkatan Darat AS untuk merebut kembali Attu adalah lewat gerakan menjepit klasik yang dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 1943. Ada penundaan satu minggu karena cuaca buruk yang biasa terjadi, tetapi pada tanggal 11 Mei pasukan Amerika berangkat dari Cold Bay, hampir 1.000 mil (1.609 km) di timur Attu. Sementara regu pendaratan utama ditugaskan untuk menuju ke pedalaman, Batalyon Pengintai Sementara pimpinan Kapten William H. Wiloughby, yang terdiri dari anggota Kompi Pengintai ke-7 dan Pasukan Pengintaian ke-7, akan mendarat di Pantai Scarlett di area Austin Cove. Tugas mereka adalah menyerang ke timur saat kelompok utama menyerang musuh dalam gerakan ke barat. Pasukan pengintai penyerang yang terdiri dari 210 personel ini datang dengan kapal selam AS Narwhal dan Nautilus sebelum siang hari tanggal 11.

Peta serangan Amerika ke Pulau Attu. Medan yang berat dan iklim Arktik yang tidak ramah di Attu menghadirkan rintangan yang lebih berat dalam menghadapi musuh yang keras kepala. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Mendarat di utara Teluk Holtz, pasukan darat kemudian bergerak ke timur laut. Mengharapkan tinggal sebentar, setiap orang hanya membawa jatah ransum dua hari. Kekuatan utama yang terdiri dari 15.000 orang (tiga resimen infanteri, empat batalyon artileri, ditambah unit zeni tempur, kompi medis, dan unit pendukung lainnya) mendarat di Massacre Bay tak lama setelah para pengintai datang ke darat, dengan kapal perang PennsylvaniaIdaho, dan Nevadamemberikan dukungan tembakan. Armada ini dilengkapi juga dengan kapal-kapal penjelajah dan kapal perusak serta kapal induk ringan Nassau. Setelah banyak perselisihan, diputuskan bahwa Pasukan Serangan Utara, Batalyon ke-1, Resimen Infantri ke-17, dengan baterai artileri lapangan, akan mendarat di Pantai Merah beberapa mil di utara Teluk Holtz. Tugas unit tersebut adalah untuk mengusir musuh dari bagian barat Teluk Holtz, mengambil tempat tinggi, yang kemudian dinamai Moore Ridge, dan bergabung dengan Pasukan Serangan Selatan. Pasukan Serangan Selatan yang lebih besar akan mendarat di Pantai Biru dan Kuning. Itu terdiri dari Batalyon ke-2 dan ke-3, Resimen Infanteri ke-17; Batalyon ke-2, Resimen Infanteri ke-32; tiga baterai howitzer kaliber 105mm; dan pasukan pendukung yang disertakan. Pasukan akan turun di Massacre Bay dan bergerak di Jarmin Pass dan Clevesy Pass (Massacre-Sarana Pass). Setelah bergabung dengan Pasukan Serang Utara, unit gabungan tersebut akan mengusir tentara Jepang dari wilayah Pelabuhan Chichagof, menyelesaikan perebutan Attu. 

INVASI AMERIKA KE ATTU

Namun, seperti semua hal di Aleut, cuaca memainkan faktor penentu. Pagi di hari-H terlihat kabut tebal mengembang. Visibilitas mendekati nol. Bosan dengan orang-orangnya yang berdesakan di atas kapal angkut kecil, Kolonel Frank L. Culin, komandan Resimen Infantri ke-32, memerintahkan beberapa kapal pendarat dengan para pengintai Aleut untuk mengintai jalur pendekatan ke pantai. Dibawa ke pantai dengan bantuan USS Phelps, sebuah kapal perusak yang dilengkapi radar, kelompok itu melompat ke atas beberapa perahu plastik yang telah mereka tarik di belakang mereka dan berhasil mencapai pantai pendaratan dengan selamat. Pantai Merah ternyata bukan pantai sama sekali. Panjangnya hanya 100 yard (91,44 meter) dan dikelilingi oleh tebing setinggi 250 kaki (76,2 meter). Menyadari bahwa tentara Jepang dapat menyergap tentaranya dengan kekuatan kecil, Culin menyuruh para pengintai untuk berpatroli di tebing untuk mencari tanda-tanda musuh. Terlepas dari kekhawatiran akan kemungkinan penyergapan Jepang, Culin memerintahkan pasukan penyerang untuk turun. Pada pukul 3 sore, dia memiliki 1.500 prajurit infanteri di darat tanpa menemukan adanya aktivitas musuh. Pasukan Serang Selatan, di bawah Jenderal Brown sendiri, juga terhambat oleh kabut tebal. Akhirnya, menjelang sore, Brown memutuskan untuk melanjutkan pendaratan. Pukul 16.20, tentara pertama menginjak Pantai Massacre dan menuju ke pedalaman. Pasukan Infanteri dengan cepat merebut Bukit Artileri di mana mereka menemukan dua senjata kanon kaliber 20mm Jepang. Untuk beberapa alasan yang aneh, pasukan musuh yang menjaga kanon telah melarikan diri. Willoughby, sementara itu, membawa kelompok pertamanya ke darat, dan sisanya segera menyusul. Menjelang sore itu, bergerak melalui hembusan salju, batalion tersebut berhasil mencapai puncak di mana para prajurit dapat melihat Teluk Holtz di bawah mereka. Gerakan pasukan berjalan lambat seperti siput karena muskeg, lapisan bahan tumbuhan busuk yang tebal yang menutupi sebagian besar Attu. Substansi berlendir ini membuat jalan licin dan berbahaya. Mendirikan kemah saat senja, para prajurit makan ransum dingin dan menunggu siang hari. Seperti halnya batalion pengintai, muskeg membuat pergerakan menjadi menyedihkan bagi unit lainnya. Brigadir. Jenderal Archibald V. Arnold, asisten komandan pasukan pendarat dan kepala unit artileri, segera mengetahui bahwa kereta luncur berat yang dia buat untuk senjata artileri lapangan kaliber 105mm-nya tidak berguna. Meriam-meriam Baterai C, Batalyon Artileri Lapangan ke-48 segera terperosok ke dalam lendir yang tak kenal ampun. Meskipun demikian, senjata artileri melepaskan beberapa tembakan ke arah posisi mortir musuh yang dicurigai.

Tentara Amerika membongkar peralatan mereka selama invasi di pulau Attu, 13 Mei 1943. (Sumber: https://jemesouviens.org/)

Pasukan infanteri dari kelompok penyerang selatan juga mengutuki medan Attu yang mengerikan. Lebih buruk lagi, para sniper Jepang mulai muncul dan mulai mengganggu para prajurit ketika mereka berusaha untuk bergerak maju dan merebut Massacre-Holtz dan Jarmin Passes yang sangat penting. Namun, menjelang malam, orang-orang dari Resimen Infanteri ke-17 hanya bergerak satu setengah mil (2,4 km) dari tepi pantai. Sniper Jepang yang bersembunyi di dataran tinggi di sisi kanan unit memaksa para prajurit untuk mencari perlindungan. Kolonel Edward P. Earle, yang memimpin Resimen Infanteri ke-17, memerintahkan pasukannya untuk menyerang lurus ke depan untuk merebut celah. Sayangnya, musuh memuntahkan sejumlah besar tembakan mortir dan senjata otomatis, dan anak buah Earle yang tidak berpengalaman mundur. Setelah upaya serangan frontal lainnya yang gagal, Earle menarik pasukannya kembali dan membentuk garis pertahanan. Kelambanan ini akan terbukti mahal. “Selama lima hari yang melelahkan berikutnya, orang-orang ini akan menyerbu dataran tinggi dengan serangan frontal terus-menerus—dan tidak mendapatkan tempat yang diinginkan,” tulis sejarawan militer Brian Garfield dalam bukunya The Thousand Mile War: World War II in Alaska and the Aleutians. “Kubu-kubu Jepang mendominasi semua jalur pendekatan; dan orang-orang Amerika harus melintasi lereng terbuka tanpa perlindungan sama sekali. Senjata-senjata Jepang dihubungkan di sepanjang puncak, beberapa kaki di bawah kaki langit. Kabut menyembunyikan orang-orang Jepang, yang sementara itu mengungkapkan garis pertahanan Amerika; dan bahkan ketika kabut menipis, orang-orang Jepang menggunakan bubuk mesiu tanpa asap yang tidak terlihat.” Terlepas dari penundaan dan kebingungan dalam pendaratan, Massacre Bay berada di tangan Amerika dengan 1.500 tentara di darat dekat Teluk Holtz dan 400 lainnya dari batalion pengintai Willoughby berkemah di pegunungan yang tertutup salju. Cuaca Kepulauan Aleut yang menjengkelkan dan tidak menentu akan memainkan peran besar dalam pertempuran yang akan datang, tidak hanya menambah kesulitan bagi orang-orang Amerika dalam mengamankan tujuan mereka di pulau itu tetapi juga membuat sangat sulit untuk mendapatkan pasokan ke pasukan infanteri yang bergerak maju.

Dari posisinya, tim artileri Amerika mengebom tentara Jepang di pulau Attu. (Sumber: https://jemesouviens.org/)

Namun tidak ada pasukan darat yang menemui perlawanan berarti. Yamasaki telah memindahkan garnisunnya ke tempat yang lebih tinggi di atas Lembah “Pembantaian” sepanjang dua mil (3,2 km), sebuah gerakan yang dicapai dengan bantuan kabut yang menyelimuti upaya relokasi tersebut. Menaklukkan Attu terbukti jauh lebih menantang dari yang diperkirakan. Butuh waktu lima hari bagi Amerika untuk membersihkan lembah. Medannya sangat sulit sehingga perbekalan harus diangkut dengan berjalan kaki karena tidak ada kendaraan yang dapat bermanuver melintasi tanah yang lunak. Sementara suhu siang hari mencapai 45 derajat yang nyaman, pada malam hari suhu turun hingga di bawah titik beku, dan Divisi ke-7 mendapati dirinya harus bekerja keras melalui tanah yang basah kuyup atau beku. Sayangnya, para GI mengenakan sepatu bot kulit edisi standar yang tidak cocok untuk operasi di daerah yang dingin dan basah. Cedera terkait cuaca––kemunculan kaki yang basah kuyup dan radang dingin––mengakibatkan lebih banyak korban daripada tembakan musuh. Di sisi lain, Yamasaki pasrah pada nasibnya; baik angkatan udara maupun angkatan lautnya tidak datang untuk menyelamatkannya. Armada Udara Kesebelas A.S. mendominasi langit, dengan Jepang tidak memiliki apa pun untuk menandingi mereka. Pada H+1, Pasukan Selatan Earle masih tertahan. Ketika radionya tidak berfungsi, dia memutuskan untuk melakukan pengintaian pribadi terhadap pasukannya. Beberapa waktu kemudian, tubuh Earle yang sudah tidak bernyawa ditemukan, tampaknya menjadi sasaran sniper Jepang. Di sebelahnya ada pengintai Alaska yang terluka yang pergi bersamanya. Kolonel Wayne C. Zimmerman lalu mengambil alih komando Infanteri Resimen ke-17. Pasukan Willoughby kemudian melanjutkan gerakan mereka di pagi hari menuju ke garis belakang Jepang. Pergerakan itu tidak mudah karena para prajurit dipaksa untuk meluncur menuruni lereng es yang terjal “seperti manusia toboggan.” Tak lama kemudian, mereka terlibat dalam baku tembak yang panas, tetapi unit mortir kaliber 81mm batalion menghentikan serangan musuh. Pasukan Willoughby terus menekan pasukan Jepang sementara Pasukan Utara menyerang daerah Teluk Holtz.

Kolonel Yasuyo Yamasaki, komandan Jepang di Attu. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)
Berbaring mati di salju, tubuh seorang tentara Jepang yang terbunuh dalam pertempuran di Teluk Holtz di Attu menunggu penguburannya. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Menjelang sore, Resimen Infanteri ke-17 telah mendesak musuh mundur, hanya untuk dihantam dengan serangan balik yang ganas. Granat dilemparkan dari jarak dekat, dan tentara Jepang menyerbu posisi Amerika. Orang-orang dibacok dan ditembak sebelum mereka sempat berteriak minta tolong. Seorang tentara terlempar ke udara sehingga gegar otak akibat ledakan granat, dan kehilangan sepatunya dalam proses tersebut. Sersan Frank J. Gonzales dari Kompi B, Batalion ke-1, Resimen Infanteri ke-17 terlibat dalam duel bayonet dengan seorang tentara musuh yang menyerang. Gonzales membunuhnya dengan sebuah tusukan ke bagian tengah tubuhnya. Namun, ketika ia mencoba mengambil bayonetnya, ia tidak dapat melepaskan bilahnya dari tubuh lawan. Gonzales memutar-mutar dan bahkan menusukkan senjatanya ke tubuh tentara Jepang yang tidak bergerak itu, namun tetap saja tidak berhasil mengeluarkannya. Karena jijik, dia akhirnya mencabut bayonet itu dan meninggalkannya di dalam tubuh musuh sambil berlari untuk bergabung kembali dengan unitnya. Pasukan infanteri Amerika berhasil bertahan dan bergerak melewati puncak bukit. “Kami menghitung antara empat puluh hingga lima puluh orang Jepang yang tewas, dua di antaranya adalah perwira, dan merebut tujuh senapan mesin,” Gonzales kemudian menceritakan kisahnya dalam buku The Capture of Attu: As Told by the Men Who Fought There yang ditulis oleh Letnan. Robert J. Mitchell, seorang veteran yang terluka dalam pertempuran tersebut. “Seorang penembak Jepang terkapar di atas senjatanya dan darahnya mengalir dan menetes dari ujung laras. Saya merasa senang melihatnya.” 

Dibalut pakaian tahan air untuk menangkal dinginnya cuaca Aleut yang basah, pasukan Amerika berlindung dan memindai penembak jitu musuh yang terletak di pegunungan di atas Teluk Pembantaian di Pulau Attu. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Patroli tempur Amerika mencari orang Jepang yang bersembunyi di parit di Attu, Mei 1943. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Keesokan harinya, Kolonel Eareckson dengan berani terbang ke dalam kabut tebal di Attu untuk mencoba mengintai posisi Jepang agar pesawat pengebomnya dapat membantu pasukan infanteri. Sayangnya, cuaca yang tidak bersahabat di Kepulauan Aleut tidak membantu, dan Eareckson tidak dapat melihat apa pun di bawahnya. Sementara itu, Kolonel Zimmerman mengirim anak buahnya ke Jarmin Pass untuk merebutnya. Baku tembak yang mematikan mencegah mereka menyelesaikan misi mereka. Pasukan musuh dengan cerdik menyembunyikan diri mereka di Black Mountain, sebuah bukit yang memisahkan Jarmin Pass dari Zwinge Pass. Tentara Jepang yang cerdik membuat lubang-lubang pertempuran di seluruh area di Robinson Ridge dan Cold Mountain di sisi kanan dan Henderson Ridge di sisi kiri. Selama lima hari berikutnya, pasukan Zimmerman terus bergerak maju. Elemen-elemen dari Infanteri ke-32 dan Infanteri ke-4 tiba untuk mendukung pasukan Zimmerman. Pertarungan itu berlangsung dari jarak dekat dan berdarah ketika para prajurit Jepang perlahan-lahan masuk ke Jarmin Pass untuk berteriak “Matilah Kamu Anjing Amerika!” dan mengganggu mereka di setiap langkah. Armada Utara, mencoba untuk terhubung dengan pasukan selatan Zimmerman, yang bergerak cepat melalui Teluk Holtz. Pasukan infanteri segera merebut posisi-posisi Jepang di lembah di atas Teluk Holtz. Tampaknya musuh telah mundur ke punggung bukit lain di seberang teluk dan meninggalkan amunisi, makanan, dan senjata kepada pasukan Amerika yang bergerak maju. Kolonel Frank Culin, komandan pasukan, memilih untuk terus maju untuk mengusir tentara Jepang dari lereng bukit dan bergerak menuju Teluk Chichagof. “Gerakan” ini akan menghilangkan tekanan dari unit musuh di atas Jarmin Pass dan mungkin mereka akan mundur ke Pelabuhan Chichagof di mana mereka akan dikepung seperti yang diinginkan Amerika sejak awal. Pasukan Willoughby yang terkepung, sementara itu, telah melawan Jepang dalam baku tembak terus menerus. Cuaca pahit telah memakan korban; hampir setengah dari unit telah meninggal karena kaki beku dan radang dingin. Batalyon Pengintai harus terus bergerak maju, Willoughby sadar, karena tidak ada jalan mundur. Serangan adalah satu-satunya jalan keluarnya. Bahkan musuh dengan enggan menghormati ketabahan orang-orang Amerika, sebagaimana dibuktikan oleh entri buku harian seorang perwira Jepang, yang menyebut: “Kekuatan musuh pastilah setara divisi.” Ajaibnya, Batalyon Pengintai bertahan dan tampil gemilang. Belakangan, Kapten Willoughby akan menulis, “Karena kami tidak bisa tidur di malam hari, kami tidak akan membiarkan musuh tidur. Kami terus membuat keributan sepanjang waktu sehingga mereka tidak akan mengalihkan kekuatan apa pun dari kami untuk melawan Culin. Akhirnya, ketika waktunya tepat, saya memberi tahu Kolonel Culin melalui radio bahwa kami sedang bergerak turun, dan kami menuju Teluk Holtz. Musuh lalu mundur dengan cepat.”

PERTARUNGAN KUCING DAN TIKUS

Selama lebih dari dua minggu, permainan kucing-dan-tikus berlanjut melintasi dataran tinggi Attu. Saat itu Yamasaki mendapati dirinya terpojok di Lembah Chichagof tanpa jalan keluar. Sementara itu tekad Jepang untuk berperang atau mati telah dilihat oleh para GI; dengan hanya ada dua tahanan yang didapat hingga itu. Pesannya jelas: perintah Yamasaki membuat tentara Jepang tidak akan pernah menyerah begitu saja. Pada tanggal 15 Mei, setelah Jepang mempertahankan lereng bukit yang menghadap ke teluk menyelinap pergi, pasukan Amerika bergerak untuk menduduki posisi tersebut ketika pilot-pilot pesawat tempur AS, melihat gerakan di bawah dan mengira itu adalah musuh, secara tidak sengaja membom dan memberondong mereka. Kemudian, begitu pasukan infanteri Amerika yang babak belur mencapai puncak, satu peleton Jepang menyerbu mereka, hanya untuk dibantai. Para petinggi, khususnya Jenderal DeWitt menjadi tidak senang dengan lambatnya kemajuan Divisi Infanteri ke-7. Brown terus meminta pasokan dan bala bantuan tambahan, yang membuat DeWitt, yang tidak menyukai Brown sejak pertemuan awal mereka pada tahap perencanaan operasi, kesal. Demi Brown, DeWitt telah mengambil risiko dan berjanji kepada Kepala Gabungan bahwa pertahanan Attu akan runtuh hanya dalam tiga hari. Kurangnya komunikasi juga merugikan Brown. DeWitt, Buckner, dan Kinkaid semuanya berada di Adak, ratusan mil jauhnya, dan tidak memiliki pengetahuan langsung tentang apa yang terjadi di Attu. Meskipun demikian, DeWitt meminta agar Brown dibebaskan dari komando. DeWitt dan Buckner bertemu dengan Kinkaid, komandan keseluruhan operasi. Setelah mendengarkan keduanya, dia setuju. Mayor Jenderal Albert Brown kemudian dibebastugaskan dan Mayjen Eugene Landrum lalu dilantik menggantikannya. Terkejut, namun Brown tetap mengikuti perintah dan menyerahkan unitnya ke Landrum. Selama bertahun-tahun, dia merasa dijadikan kambing hitam karena jaminan DeWitt akan kemenangan cepat. Landrum yang menggantikan Brown lalu segera memasukkan Resimen Infantri ke-14 untuk meningkatkan daya gerak maju. Pada tanggal 17 Mei, anak buah Culin mempersiapkan diri untuk melancarkan serangan habis-habisan di lereng bukit yang menghadap ke Teluk Holtz. Lewat tengah hari, pasukan infanteri menyerbu lereng. Mendahului kemajuan mereka adalah tembakan senjata artileri. Saat peluru menghantam bagian depan mereka, para prajurit berjalan ke puncak. Mereka segera mengetahui bahwa musuh telah melarikan diri, dan mereka merebut posisi itu tanpa perlawanan. Keesokan harinya, Letnan Morris C. Wiberg dan tiga prajurit Kompi K, Batalyon ke-3, Resimen Infanteri ke-17 bertemu dengan patroli dari Pasukan Pengintaian ke-7. Kedua kekuatan itu akhirnya bersatu. Dengan direbutnya Jarmin Pass dan kawasan Teluk Holtz, semua perhatian kini beralih ke Teluk Chichagof. Pada tanggal 21 Mei, Batalyon ke-3, Infanteri ke-17 bergerak ke Sarana Nose. Meskipun sangat bingung dan terguncang, Jepang melakukan perlawanan tetapi dengan cepat target ditaklukkan, dan tujuan diamankan.

Sekitar 200 yard ke daratan dari pantai berbadai di Attu, tentara AS menembakkan howitzer kaliber 105mm terhadap posisi Jepang di Massacre Bay pada bulan Mei 1943. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Terkena tembakan sniper Jepang, tentara Amerika yang terluka meluncur ke kuburannya yang sedingin es dalam lukisan pertempuran ini. (Sumber: (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Serangan dilanjutkan saat salju tipis turun pada hari Minggu, tanggal 23 Mei. Beberapa kompi dari Resimen Infanteri ke-4 segera terjebak oleh tembakan senapan mesin musuh saat mereka mencoba untuk maju. Muak dengan penundaan itu, Prajurit Fred M. Barnett mengambil beberapa granat dan senapan M-1 Garand miliknya dan melanjutkan perjalanan menanjak menuju posisi Jepang. Segera, suara ledakan yang berbeda, semburan senapan mesin, dan tembakan senapan terdengar di udara. Kemudian, secepat itu dimulai, tiba-tiba berakhir dan ada kesunyian yang menakutkan. Kemudian menembus kabut tebal, Barnett muncul dan memberi isyarat agar semua orang bergerak maju. Saat mereka mendekati penempatan senapan mesin musuh, mereka melihat bahwa Barnett telah berhasil melenyapkan kesembilan dari mereka tanpa terluka. Pukul 10 pagi keesokan harinya, pasukan Amerika menyerang Fish Hook Ridge untuk mengisolasi sisa pasukan Yamasaki. Perjalanan itu sulit karena orang-orang itu harus menanggung medan yang mengerikan dan musuh yang fanatik. Setiap celah dan gua harus digeledah. Tentara melemparkan granat sebelum memasuki celah apa pun. Perintahnya sederhana dan langsung: “If they don’t stink, stick ’em.” Prajurit di garis depan harus menahan suhu dingin yang menggigit tanpa perlindungan apa pun. Orang sakit dan meninggal segera mulai berlipat ganda. Sementara itu untuk mendukung pasukan infanteri, Landrum mengerahkan setiap meriam howitzer yang tersedia dari pantai ke puncak yang menghadap ke Fish Hook; bahkan peluru artileri harus dibawa ke atas lereng bukit oleh para personel artileri. Sekali lagi, Resimen Infanteri ke-4 yang lelah menyerang Fish Hook pada tanggal 25 Mei. Tersembunyi di balik tumpukan salju dan bebatuan, musuh melepaskan tembakan, menjebak tentara dalam baku tembak yang kejam. Saat malam tiba, orang-orang yang kelelahan berhasil membersihkan parit-parit tentara Jepang dan bahkan mengamankan dasar lereng bukit. Keajaiban terjadi keesokan harinya—matahari muncul di balik kabut yang menyelimuti Attu selama dua minggu terakhir. Dengan cuaca yang membaik, puluhan pesawat Korps Udara Angkatan Darat membom dan memberondong instalasi musuh utama di Pelabuhan Chichagof. Seorang perwira Jepang menulis di kaleng susunya, “Saya menderita diare dan merasa pusing… Rasanya seperti barak meledak, semuanya berguncang dan batu serta lumpur beterbangan dan jatuh; pesawat pemberondongan menghantam kamar sebelah; kamar saya terlihat berantakan sekali karena pasir dan kerikil yang turun dari atap. Kesadaran beruban menjadi gila. Tidak ada harapan penguatan. (Kita) Akan mati demi Perintah Kekaisaran.”

Tentara AS mengedarkan makanan panas kepada pasukan yang berjaga di perimeter di Attu pada bulan Mei 1943. Makanan panas dianggap mewah di sebagian besar wilayah pertempuran. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Pfc. Joe Martinez secara anumerta menerima satu-satunya Medali Medal of Honor yang diberikan untuk kepahlawanan di Attu. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Dengan jeda cuaca, tentara Amerika yang tangguh dalam pertempuran menyerang Fish Hook lagi. Ketika Kompi K, Batalyon ke-3, Resimen Infanteri ke-32 ditunda oleh penembak senapan mesin Jepang, Pfc. Joe P. Martinez mulai maju ke posisi musuh dengan menembakkan senapan otomatis Browning Automatic Rifle (BAR), menewaskan lima tentara Jepang. “Dia berdiri di sana sepertinya satu jam,” kenang seorang saksi mata, “ditempat terbuka, mengisi peluru dan menembak sampai magasin kosong. Dia memuat dua atau tiga kali dan kemudian kami mendengarnya, semacam retakan dan dentuman! Martinez jatuh ke belakang ke arah kami.” Penduduk asli New Mexico ini menderita luka kepala serius yang akan berakibat fatal. Atas keberaniannya yang luar biasa, Martinez akan menjadi satu-satunya penerima medali Medal Of Honor di Attu. Pada tanggal 27 Mei sebagian besar Fish Hooksudah berada di tangan AS. Pasukan Infanteri Amerika sekarang dapat melihat Buffalo Ridge—benteng Jepang terakhir yang tersisa di Attu. Jaraknya hanya beberapa ratus yard, dan perlawanan musuh di pulau itu akan dipatahkan dan pertempuran akan berakhir. Yamasaki hanya tinggal memiliki 800 pasukan tersisa dari kontingen aslinya yang berjumlah 2.650. Dia tahu tidak ada pasukan tambahan yang datang. Menyerah tidak mungkin dilakukan; Kode Bushido tentara Jepang melarang tindakan seperti itu. Dia memiliki dua pilihan, seperti yang dia lihat: menunggu serangan yang tak terelakkan dan membunuh orang Amerika sebanyak mungkin—atau menyerang. Dia memilih yang terakhir. Yamasaki mempersiapkan anak buahnya untuk serangan Banzai terakhir. Dia akan menyerang orang-orang Amerika di bagian terlemah dari perimeter mereka — titik antara Buffalo Ridge dan Fish Hook. Dia akan memukul mereka di malam hari ketika mereka paling rentan. Anak buahnya akan menyerbu Engineer Hill, tempat orang-orang Amerika menyimpan artileri, amunisi, dan makanan mereka, dan merebutnya. Dia kemudian akan mengambil sebanyak mungkin perbekalan yang direbut bersamanya, menghancurkan sisanya, dan mengarahkan meriam-meriam kaliber 105mm milik musuh ke arah mereka juga.

SERANGAN BANZAI

Akhir dari pertempuran Attu terjadi pada tanggal 29 Mei 1943, ketika Yamasaki secara pribadi memimpin 800 pengikutnya dalam serangan banzai. Pada dini hari tanggal 29 Mei, Yamasaki mengumpulkan anak buahnya dan diam-diam berbaris menuju dasar lembah. Setelah membunuh beberapa penjaga Amerika, dia bergerak melewati batas tanpa terdeteksi. Pada pukul 3:30 pagi, teriakan mengerikan “Banzai!” mengisi udara malam yang dingin saat rombongan Yamasaki bergerak maju, berlari ke Kompi B, Batalyon ke-1, Resimen Infanteri ke-32, yang datang dari garis depan untuk sarapan panas yang memang pantas didapatkan. Para prajurit berlari saat musuh mendesak maju ke tujuan mereka. Anak buah Yamasaki menebas dan menusuk dengan bayonet melewati garis pertahanan yang dipertahankan dengan tipis. Orang-orang yang terluka dibunuh di tempat mereka terbaring. Yang lainnya memalsukan kematian mereka dan selamat dari serangan gencar. Kebisingan itu segera mengingatkan unit-unit yang mempertahankan Engineer Hill. Tetap tenang, Brigadir. Jenderal Archibald V. Arnold mengorganisir pasukan sementara dari unit zeni ke-13 dan ke-50, Batalyon Medis ke-7, Markas Besar Lapangan ke-20, dan beberapa tentara yang menderita radang dingin dari Resimen Infanteri ke-4 dirawat di sana. Menciptakan garis pertahanan, Arnold menyuruh anak buahnya melemparkan granat tangan ke massa penyerang Jepang yang bergerak ke atas bukit. Meriam kaliber 37mm diayunkan untuk beraksi. Kombinasi tembakan senjata ringan, granat tangan, dan selongsong peluru kaliber 37mm mengoyak barisan musuh. Ketika orang-orang Jepang yang selamat berhasil mendaki ke puncak, mereka menghadapi bayonet dan senapan. Pertempuran berdarah pun terjadi, dan serangan mereda saat musuh meninggalkan bukit dan larut dalam malam. Beberapa upaya tambahan dilakukan untuk merebut Engineer Hill oleh anak buah Yamasaki, tetapi gagal. Ratusan pasukan musuh bunuh diri setelah serangan itu dipukul mundur. Belakangan pagi itu, Kolonel Yamasaki juga terbunuh saat memimpin serangan sia-sia terhadap perimeter Amerika. Itu hanya setelah mereka membunuh 600 orang mereka sendiri yang sakit atau terluka dan tidak dapat berpartisipasi dalam serangan itu. Beberapa tentara Jepang yang terluka kemudian bunuh diri. Gelombang nafsu darah gila Yamasaki terbawa lebih jauh dari yang dia kira. Meskipun dia meninggal saat memimpin pasukannya, serbuannya mencapai Fishhook dan Buffalo Ridges dan sampai ke area eselon belakang Divisi ke-7. Di sana para penyerbu menyerbu tenda rumah sakit lapangan, dan membunuh banyak pasien yang terkurung di tempat tidur. Paul Nobuo Tatsuguchi, seorang petugas medis untuk tentara Jepang yang terbunuh selama penyerangan, meninggalkan buku harian terperinci tentang hari-hari terakhir pertempuran. Terlepas dari status mereka, semua pria Jepang yang tersedia harus berpartisipasi dalam penyerangan tersebut dan yang terluka diperintahkan untuk bunuh diri.

Mayat tentara Jepang yang bertempur sampai mati tergeletak di lantai bunkernya di Teluk Holtz di pulau Attu. Prajurit itu sebelumnya terluka yang dibuktikan dengan perban tua yang dikenakannya. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Tidak dapat mengusir tentara Amerika di Attu, pasukan Jepang mencoba serangan banzai terakhir do-or-die pada tanggal 29 Mei 1943. Korban massal ini adalah hasilnya. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Letnan Jenderal Simon Bolivar Buckner Jr., kepala Komando Pertahanan Alaska, berbicara dengan komandan bawahannya selama operasi di Attu pada bulan Juni 1943. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Jumlah korban terakhir adalah 2.600 orang Jepang yang tewas dalam pertempuran (atau dibunuh oleh rekan-rekan mereka); hanya 29 orang yang bisa dikumpulkan sebagai tawanan. Orang-orang Amerika menderita 3.829 korban: 549 tewas, 1.148 luka-luka, 1.200 korban radang dingin, 614 sakit dan terpapar cuaca dingin, dan 318 akibat bunuh diri, kelelahan tempur, dan kecelakaan. Pada tanggal 8 Juni 1943, pesawat-pesawat Amerika terbang dari landasan udara di Attu. Attu terbukti bermanfaat bagi perencana militer Amerika di masa depan. Pasukan Angkatan Darat AS telah berhasil menyelesaikan serangan amfibi pertama mereka. Juga, pertempuran di cuaca dingin dipelajari dengan cermat. Tenaga medis memeriksa veteran pertempuran untuk menghindari kesalahan di masa depan. Pakaian dan perbekalan mendapat prioritas utama untuk operasi cuaca dingin yang akan datang. Pergerakan pasukan Jepang dari Truk di Kepulauan Caroline dalam upaya untuk mengevakuasi para prajurit Jepang di Attu dan Kiska menyedot kapal dan pasukan dari medan pertempuran Pasifik lainnya. Ini membuat Rendova, di Solomon Tengah, sebagian besar tidak terlindungi, dan pulau itu direbut dengan mudah pada bulan Juni. Jelas, perebutan Attu menuai keuntungan besar bagi Amerika Serikat. Terlepas dari penghargaan ini, kampanye Attu mendapat sedikit perhatian di surat kabar AS. Seorang veteran berkomentar dengan sinis, “Tidak ada pasukan Marinir (di Attu) —- jika tidak, itu akan menjadi sejarah dunia.” Angkatan Darat dan Angkatan Laut dipermalukan oleh kesalahan mahal yang dilakukan selama kampanye dan tidak ingin menghadapi pengawasan publik. Pengorbanan yang dilakukan oleh para prajurit pemberani “diremehkan oleh propaganda kementerian perang”. Pertarungan di Attu tak kenal ampun dan brutal. Seperti yang ditulis oleh sejarawan Brian Garfield: “Harga Attu yang punya cuaca berat sangat tinggi. Sebanding dengan jumlah pasukan yang terlibat, itu akan menjadi pertempuran Amerika yang paling mahal kedua di Medan Pasifik—kedua setelah Iwo Jima.”

MEREBUT KEMBALI KISKA DAN AKHIR KAMPANYE

Setelah merebut Attu pasukan Amerika mengarahkan perhatiannya ke Kiska. Merebut Attu sangatlah sulit, dan Kiska diketahui memiliki kekuatan tiga kali lipat lebih besar dari kekuatan musuh yang terlihat di Attu. Apa saja yang diperlukan untuk merebut kembali Kiska? Menurut perkiraan Amerika, Kiska memiliki tak kurang dari 8.000 tentara musuh di atasnya, sehingga Armada Udara Kesebelas AS, dibantu oleh para penerbang Kanada, terus melakukan serangan ke Kiska untuk melunakkan pertahanan. Laksamana Theobald kemudian membuat keputusan pada pertengahan bulan Juli 1943 untuk menghujani Kiska dengan serangan besar-besaran melalui pengeboman laut. Namun, ketika mencoba melakukannya pada tanggal 18 Juli, kabut menyelimuti Kiska dengan sangat tebal sehingga para penembaknya tidak dapat menembak dengan akurat. Empat dari sembilan kapal perusaknya bertabrakan satu sama lain. Theobold lalu membatalkan pengeboman dan menarik kapal-kapalnya. Pada tanggal 3 Agustus 1943, kabut buatan manusialah yang menghalangi pesawat Sekutu. Orang-orang Jepang di Kiska menempatkan konsentrasi persenjataan anti-pesawat dalam jumlah besar di ruang terbatas sehingga asap menutupi target yang dituju, menyebabkan serangan udara dibatalkan. Kemudian muncul perkembangan dari ujung lain Pasifik: Guadalcanal sedang menarik perhatian media dan sangat membutuhkan pasokan. Problem di kepulauan Aleut harus segera diselesaikan. Selama musim panas 1943, Armada Udara Kesebelas menghantam Kiska setiap hari setiap kali cuaca memungkinkan. Pesawat-pesawat pengebom Amerika menjatuhkan 3.000 bom di Kiska pada tanggal 4 Agustus. Angkatan Laut Amerika Serikat memiliki jadwal penembakan sendiri dengan kapal tempur, kapal penjelajah, dan kapal perusak. Pada saat itu, sebuah rencana Sekutu yang diberi nama “Cottage” telah selesai, yang menentukan cara penyerangan ke Kiska. Sebagian besar dari rencana tersebut berasal dari pelajaran yang didapat dari kesalahan Attu. Pasukan pendaratan dua kali lebih besar dari yang menghantam Attu, dengan mencapai hampir 35.000 orang.

Diambil dari pesawat terbang, foto ini menunjukkan kekuatan invasi Sekutu yang dikerahkan untuk menyerang pulau Kiska. (Sumber: https://jemesouviens.org/)

Kembali ke Jepang, para panglima perang menyerah untuk menaklukkan kepulauan Aleut. Bagi mereka, 5.000 orang di Kepulauan Aleut akan lebih baik digunakan dan memiliki dampak yang lebih signifikan jika ditempatkan di daerah lain di seluruh Pasifik. Sangat penting untuk bisa menarik tentara mereka dari Kiska daripada melihat mereka terbuang sia-sia seperti di Attu. Dengan demikian, sebuah rencana disusun untuk mengirim 11 kapal perusak ke Teluk Kiska dan keluar lagi, mengevakuasi seluruh garnisun. Itu akan menjadi sebuah prestasi yang ajaib mengingat cengkeraman Sekutu yang ketat di sekitar Kiska. Hebatnya, keajaiban itu ada di sana saat dibutuhkan. Pada tanggal 28 Juli 1943, sekitar tengah hari, sembilan kapal perusak Jepang memasuki Teluk Kiska di bawah kabut yang mereka harapkan. Kabut itu menyebabkan dua kapal bertabrakan dan mengakibatkan mereka dikeluarkan dari upaya evakuasi, namun kapal-kapal lainnya tetap berlayar. Senjata pribadi dan senjata ringan yang dibawa awak dilemparkan ke teluk sebelum naik ke kapal. Semua 5.300 prajurit Jepang ditempatkan berdesakan ke dalam tujuh kapal perusak dan dievakuasi dari neraka di Kiska. Yang harus mereka lakukan hanyalah melewati jaring Angkatan Laut AS yang mengelilingi Kiska. Beruntung bagi Jepang, saat itu belum ada jaring di sekitar pulau. Sebuah kapal Angkatan Laut A.S. menangkap ping radar yang mengidentifikasi target yang jauh. Kemudian yang kedua muncul dengan suara yang sama. Yang ketiga menangkap gema radar. Pada saat itu seluruh armada yang mengelilingi Kiska berlayar ke arah pips, mengira mereka telah menemukan armada penyelamat Jepang yang masuk. 

Kapal tempur USS Pennsylvania membombardir Attu selama operasi pendaratan tanggal 11 Mei 1943. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tentara AS turun dari kapal pendarat mereka ke pantai berbatu Pulau Kiska, Alaska, pada hari invasi. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Kabut tetap begitu tebal, para penembak Angkatan Laut AS tidak tahu apa yang akan mereka tembak, tetapi mereka tetap mulai menembak. Target mereka adalah anomali cuaca yang memantulkan kembali emisi radar. Baku tembak hebat itu dikenal sebagai Battle of the Pips. Saat itu berlangsung, 5.300 tentara Jepang meninggalkan Kiska tanpa perlawanan. Penerbangan dari tanggal 29 Juli hingga 14 Agustus tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan di Kiska, tetapi tidak ada yang tahu apakah orang-orang Jepang telah pergi atau bersembunyi. Pada tanggal 14 Agustus 1943, sekitar 35.000 tentara Kanada dan Amerika menyerbu Kiska. Pasukan ini termasuk 15.000 dari Divisi Infanteri ke-7 Angkatan Darat A.S., 5.000 dari Resimen Infantri Gunung ke-87 dari Divisi Gunung ke-10 A.S., 5.300 dari Brigade Infanteri ke-13 Kanada, dan 2.000 dari gabungan Pasukan Layanan Khusus Pertama Kanada-Amerika. Pasukan darat tidak yakin apa yang akan mereka temukan. Mereka menemukan satu yang selamat, yakni anjing Explosion, maskot stasiun cuaca Angkatan Laut yang beranggotakan 10 orang. Orang-orang Jepang merawat Explosion sebagai hewan peliharaan mereka tetapi akhirnya meninggalkan anjing itu. Orang-orang Jepang juga meninggalkan berbagai jebakan. Meski tidak ada pasukan lawan, pasukan Sekutu masih menderita 306 korban jiwa selama invasi. Tujuh belas orang Amerika dan 4 orang Kanada tewas, dan 50 personel lainnya terluka oleh tembakan ramah atau jebakan Jepang. Penyakit Trench Foot menyebabkan korban 130 tentara, dan 71 Pelaut tewas dan 34 luka-luka ketika kapal perusak USS Abner Read menyerang ranjau Jepang di lepas pantai Kiska. Selama kampanye di kepulauan Aleutian, unit udara Sekutu kehilangan 471 pesawat, tetapi hanya 56 yang disebabkan oleh pertempuran. Kerugian yang tersisa disebabkan oleh cuaca, kerusakan mekanis, dan keausan. Faktanya, enam pesawat hilang karena cuaca untuk setiap satu yang hilang dalam pertempuran, sedangkan tingkat kehilangan pesawat di medan Pasifik lainnya adalah tiga akibat non tempur berbanding satu akibat pertempuran. Penyebab beberapa kerugian selamanya tidak akan diketahui karena pilot yang menerbangkan pesawat-pesawat itu tidak pernah kembali. Pada tanggal 24 Agustus, Kiska dinyatakan bebas dari tentara Jepang, dan setelah 439 hari kampanye di Kepulauan Aleut secara resmi berakhir. Sebelum perang berakhir, seluruh rantai Kepulauan Aleut kembali ada dibawah kendali Amerika.

Pendaratan Sekutu di Pulau Kiska, Kepulauan Aleut, Alaska, pada tanggal 15 Agustus 1943. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Dari pulau-pulau yang sangat jauh itu, pesawat-pesawat pengebom Amerika mampu mencapai Kepulauan Kuril Jepang. Ancaman ke Pantai Barat Amerika dari utara juga telah menguap. Dengan kemajuan pasukan Amerika di tempat lain di Pasifik, tentara Jepang benar-benar diusir dari Kepulauan Aleut dan harus memobilisasi pasukan mereka di tempat lain. Namun, pasukan Sekutu akan tetap berada di pulau itu dalam waktu yang lama untuk memastikan keamanan mereka. Di Kiska, misalnya, tentara asal Quebec, Dollard Ménard mempertahankan garnisun itu dengan keseluruhan Resimen-nya sampai mereka bisa kembali ke rumah. Sayangnya, persoalan keamanan pulau-pulau tersebut dijadikan dalih bagi pemerintah Amerika untuk mengusir sebagian besar masyarakat Suku Unangan dan menginternir mereka di Alaska dimana mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan. Hampir 75 orang pribumi tewas di kamp-kamp ini dan para penyintas tidak diberi kompensasi sampai tahun 1988 oleh Washington. Dan baru pada tahun 2017 permintaan maaf resmi diberikan kepada mereka. Kampanye di Kepulauan Aleut tetaplah menjadi front kecil dalam Perang Pasifik dan meskipun terjadi pertempuran yang sulit di Attu, hanya sedikit yang mengingat pengorbanan para prajurit di sana. Untuk pasukan Kanada yang berpartisipasi dalam operasi Kiska, tidak ada kehormatan yang diberikan kepada mereka karena tidak ada pertempuran yang terjadi. Namun, tetap penting untuk setidaknya mengingat kampanye militer di Kepulauan Aleut untuk menghormati mereka yang terlibat disana.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

When Japan Invaded America By Stephen D. Lutz

When Japan Invaded America

Bitter Cold, Bitter War: The Aleutian Islands in WWII by Al Hemingway

https://warfarehistorynetwork.com/bitter-cold-bitter-war-the-aleutian-islands-in-wwii/

The Aleutian Island Campaign (1942-1943) Article written by Julien Lehoux for Je Me Souviens. Translated by Marina Smyth

https://jemesouviens.org/en/aeolus-islands-campaign/

Remembering the “Forgotten War”: The Joint Operations Flaws of the Aleutian Campaign By Jessica D. Pisano

https://ndupress.ndu.edu/Media/News/News-Article-View/Article/2884421/remembering-the-forgotten-war-the-joint-operations-flaws-of-the-aleutian-campai/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Aleutian_Islands_campaign

Exit mobile version