Perang Dunia II

Kekalahan Militer Terbesar Inggris (Bagian II-Habis): Jatuhnya Benteng “Tak Tertembus” Di Singapura

Pada tanggal 19 Januari, Wavell memperingatkan Churchill bahwa Percival tidak memiliki rencana untuk mundur dan mempertahankan Pulau Singapura, dan dia percaya bahwa pulau itu tidak bisa dipertahankan. Churchill membalas dengan retorika yang khas, “Saya ingin membuatnya benar-benar jelas bahwa saya mengharapkan setiap inci tanah untuk dipertahankan, setiap potong bahan pertahanan akan dihancurkan berkeping-keping untuk mencegahnya dirampas oleh musuh, dan tidak ada pertanyaan tentang penyerahan diri sampai setelah pertempuran berkepanjangan terjadi di antara reruntuhan Kota Singapura.” Itu adalah penggunaan pertama dari kata “menyerah”. Churchill juga memerintahkan agar parit pertahanan dibentengi, menggunakan “seluruh populasi pria” untuk membuat pekerjaan pertahanan. Namun, Mayor Jenderal Sir John Kennedy, Direktur Operasi Militer di Kantor Perang, menunjukkan kepada Kepala Staf bahwa Pulau Singapura tidak pernah dianggap dapat dipertahankan dari serangan jarak dekat. Selatnya sempit, rawa bakau telah menghalangi tembakan untuk pertahanan, dan pangkalan udara, pasokan air, serta instalasi vital lainnya semuanya berada dalam jangkauan tembakan artileri dari daratan Malaya. Kennedy malah merekomendasikan evakuasi dari Singapura, bukannya membangun pertahanan. Hari berikutnya Wavell terbang ke Singapura. Percival menguraikan rencana tiga jalurnya untuk mundur ke Pulau Singapura. Percival membagi pulau berukuran 20-kali-11 mil itu menjadi tiga sektor, dimana sektor barat dipertahankan oleh pasukan Australia, utara oleh Divis ke-18 Inggris, dan selatan oleh formasi pasukan India. Wavell sangat marah melihat pantai utara Singapura masih juga belum dibentengi. Brigade India ke-44 kemudian tiba pada tanggal 24. Mereka terdiri dari 7.000 rekrutan yang masih hijau, dengan sangat sedikit NCO. Percival yang memakai mereka dan penembak senapan mesin Australia sebagai unit cadangan, menulis, “Mereka rekrutan yang sangat bagus, tetapi belum menjadi tentara sepenuhnya. Saya tidak ingin menyalahkan pihak berwenang, baik di India atau Australia, karena mengirim orang-orang yang tidak terlatih ini. Lagi pula, mereka tidak punya yang lebih baik untuk dikirimkan. ” Sisa dari Divisi ke-18 tiba pada tanggal 29 dengan kapal pengangkut pasukan Amerika. Di udara, keadaan semakin memburuk. 50 pesawat Hurricane pada akhirnya telah dibongkar dari pengirimannya, tetapi hanya ada 24 pilot yang dilatih untuk menerbangkannya.

Meski menyadari bahwa kondisi militer Inggris di Singapura kian hari tanpa harapan, namun PM Churchill tetap memerintahkan agar Singapura dipertahankan sampai saat-saat terakhir. (Sumber: https://www.britannica.com/)
Hawker Hurricane dari Skuadron 232 RAF ditembak jatuh pada tanggal 8 Februari, di sepanjang East Coast Road, Singapura. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pesawat-pesawat Hurricane melakukan debut mereka di Singapura pada tanggal 20 Januari dan menembak jatuh delapan pesawat pengebom Jepang. Jepang kemudian menghantam pesawat-pesawat Hurricane kembali pada hari berikutnya, dengan bermanuver di sekitar pesawat-pesawat Inggris, dan menembak jatuh lima Hurricane. Pembom-pembom Jepang menggempur Pangkalan Udara Kallang, menewaskan Perwira Pilot Selandia Baru L.R. Farr, seorang mantan pegawai di Auckland, ketika sebuah bom melemparkannya ke tempat penimbunan bensin. Skuadron RNZAF ke-243 tinggal menyisakan satu pesawat Buffalo yang masih bisa dioperasikan. Percival lalu meminta RAF untuk menyerang pangkalan-pangkalan udara Jepang, tetapi mereka tidak berhasil. Sementara itu, Jepang terus menghantam Singapura, yang menyebabkan hingga 2.100 korban sipil di bulan Januari saja. Meski demikian harapan masih belum tenggelam di Pulau Singapura. Meskipun rumah sakit penuh sesak dengan orang-orang yang terluka dan pemboman berlangsung terus-menerus, orang-orang Inggris yang berkuasa masih berbicara di klub mereka tentang titik balik pertempuran di Johore. Di sisi lain orang-orang Cina lebih realistis. Mereka kini menghentikan sistem chit, dan memaksa ribuan orang kulit putih membeli makanan dengan uang tunai. Hal itu menyebabkan toko makanan diserbu warga sipil. Namun, pihak berwenang akhirnya mulai menyadari yang terburuk. Ribuan wanita dan anak-anak Eropa dievakuasi dengan aman menggunakan kapal-kapal pengangkut pasukan yang membawa Divisi ke-18 ke Singapura. 

“MEREKA TIDAK DILATIH UNTUK MUNDUR” 

Sementara itu, Jepang mengandalkan keganasan dan kekejaman untuk menutupi kelemahan mereka dalam hal transportasi dan logistik. Mereka merampas beras dan makanan dari desa-desa dan minum dari air sungai. Mereka memaksa warga sipil untuk membantu membawa amunisi dan perbekalan serta meninggalkan orang-orang yang terluka dan sakit di belakang. Angkatan Laut Kerajaan Inggris kemudian mencoba untuk campur tangan dengan mengirimkan kapal perusak HMS Thanet dan HMAS Vampire, menyerang konvoi kapal Jepang di lepas pantai Endau di pantai timur. Mereka menyerang tiga kapal perusak Jepang, yang lalu malah melumpuhkan dan menenggelamkan Thanet, serta mengusir Vampire. Jepang kemudian menurunkan tim konstruksi di Endau, yang ditugaskan untuk membangun pangkalan tempur garis depan. Pada tanggal 23, Percival memerintahkan anak buahnya untuk mulai mundur ke Singapura, dan Perdana Menteri Australia John Curtin yang terkejut mengirim telegram kepada Churchill: “Setelah semua jaminan yang diberikan kepada kami, evakuasi Singapura akan dianggap di sini dan di tempat lain sebagai pengkhianatan yang tidak dapat dimaafkan. ” Saat pasukan Inggris mundur, bencana terus berlanjut. Brigade India ke-22 dihentikan oleh pasukan Jepang dan Brigade India ke-8 ditarik. Brigadir Lay, komandan Brigade 8, meledakkan jembatan yang merupakan Rute mundur Brigade ke-22 pimpinan Brigadir G.W.A. Painter, sehingga menjebak mereka. Ketika Brigade ke-22 mundur, mereka menderita banyak korban. Para prajurit Sikh membuang senapan mereka dan menyerah. Pada tanggal 1 Februari, kekuatan Brigade ke-22 turun menjadi tinggal 350 orang, yang tanpa amunisi, dan terkepung. Painter terpaksa menyerah, sedangkan Lay dipecat.

Pasukan dari Divisi ke-8 Australia yang naas turun di Pelabuhan Singapura. Meski menunjukkan keuletan dan semangat tempur tinggi, namun pasukan Australia harus bertarung dalam pertempuran yang tidak dapat dimenangkan di Singapura. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Percival mengirim pesan ke Wavell, “Dengan mertimbangkan situasi keseluruhan yang semakin serius. Dengan kekuatan kita yang telah terkuras, sulit untuk menahan tekanan pasukan musuh di darat yang dikombinasikan dengan aktivitas udara mereka yang berlangsung terus menerus dan praktis tanpa perlawanan. Kami berjuang di sepanjang jalan tetapi mungkin akan terdesak kembali ke Pulau (Singapura) dalam waktu seminggu.” Sebuah telegram kemudian memperingatkan Wavell bahwa Johore hanya bisa bertahan selama empat hari lagi, dan kekuatan pesawat tempur telah turun menjadi hanya tinggal sembilan. Sementara itu, orang-orang Inggris yang kelelahan dan orang-orang Australia yang tercengang dengan kecepatan gerak pasukan Jepang terus mundur. Orang-orang Australia kecewa bahwa penampilan mereka yang singkat dan tergolong sukses di medan perang hanya menghasilkan lebih banyak gerak mundur. Lebih buruk lagi, mereka tidak terlatih dalam melakukan penarikan, dan gerak mundur mereka menjadi tidak teratur. Galleghan mengeluh, “Salah satu kesalahan yang dibuat dalam pelatihan kami adalah mereka tidak pernah membiarkan kami melakukan latihan penarikan di medan tempur.” Koresponden perang O.D. Gallagher mengatakan kepada pembaca Daily Express-nya: “Mayor Jenderal Bennett sering mengatakan kepada wartawan perang dalam wawancara bahwa anak buahnya tidak akan pernah mundur karena mereka tidak tahu bagaimana cara mundur—mereka tidak dilatih untuk mundur. Semangat itu mengagumkan, tetapi kebijaksanaan dari keputusannya itu meragukan. Bagaimana orang Australia bisa diharapkan untuk melakukan penarikan yang tertib dan melawan jika manuver seperti itu tidak dimasukkan dalam pelatihan mereka?”

RAF MENINGGALKAN SINGAPURA 

Jadi gerak mundur terus berlanjut. Pada tanggal 24 Januari, Unit Sikh 5/11 yang tangguh menunjukkan apa yang bisa mereka lakukan ketika meluncurkan serangan bayonet ke pasukan Jepang, yang menewaskan ratusan orang. Pasukan Jepang, terkejut melihat musuh mereka melawan, menjatuhkan senapan mereka dan melarikan diri. Tapi aksi itu saja tidak cukup. Pada tanggal 26 Januari, RAF mengirimkan pesawat Pembom Vickers Vildebeete yang tersisa melawan pendaratan pasukan Jepang lainnya di Endau, dengan pengawalan oleh pesawat-pesawat tempur Buffalo dan Hurricane. Jepang kehilangan 13 pesawat tempur, tetapi RAF kehilangan 11 Vildebeete, dua Hurricane, dan sebuah Buffalo. Dua kapal transport Jepang tertembak, tetapi pendaratan Jepang terus berlangsung. Pada tanggal 27 Januari, RAF mulai menarik diri dari Singapura. Hanya ada 21 dari 51 Hurricane awal yang dikirim ke Singapura yang masih tersisa. Sementara itu, tugas-tugas pengintaian sedang dilakukan oleh Flt. Letnan Dane, seorang warga Malaya, dan teman-temannya dari klub terbang lokal dengan menggunakan pesawat Gypsy Moth dan pesawat sipil lainnya. Pada tanggal 28, Jepang menyerang Brigade Australia ke-27. Batalyon 2/26 dan 2/30, yang bergabung dengan 2nd Gordon dari Inggris, bertahan dari serangan dan mundur saat malam tiba. Percival kemudian bertemu dengan Heath dan stafnya. Hanya terlalu sedikit pasukan cadangan tersisa untuk mempertahankan Johore. Evakuasi ke pulau Singapura diperkirakan akan selesai pada pagi hari tanggal 31 Januari. 

Pesawat tempur Brewster Buffalo yang berbasis di Lapangan Terbang Sembawang, Singapura. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Pasukan Australia turun dari truk saat mundur menuju ke Singapura. (Sumber: https://www.awmlondon.gov.au/)

Keesokan harinya, Brigade Australia ke-27 mundur kembali ke Milepost 31. Mayor Jenderal AE Barstow, yang memimpin Divisi India ke-9, mengendarai troli ke depan untuk memeriksa situasi, mendapat tembakan dari jarak dekat Jepang, berlindung ke samping tanggul, dan sejak saat itu ia tidak pernah terlihat lagi. Di tempat lain Brigade Australia ke-22 mempertahankan perimeter dengan radius empat mil di sekitar Johore Causeway saat Korps India ke-3 mundur. Ketika mereka pergi, orang-orang Australia mulai menyusul mundur. Batas terakhir Johore Causeway dipertahankan oleh pasukan Inggris paling tangguh yang masih tersisa, yakni Argyll ke-2, yang kekuatannya hanya tinggal 90 orang, lima perwira, dan seorang pastor. Pasukan Inggris yang kelelahan kemudian mengalir di atas jalan lintas, berharap mereka akan beristirahat di benteng Singapura yang “tak tertembus” sampai Angkatan Laut Kerajaan datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka lalu tercengang karena tidak menemukan pertahanan yang dibangun disana dan mendapati mentalitas apatis dari orang-orang Melayu masih mendominasi. Namun harapan orang-orang Inggris masih tetap tinggi. Orang-orang mengajukan diri untuk bergabung dengan Argylls, dan kekuatan mereka meningkat menjadi 250 orang, dengan orang-orang yang terluka kembali bertugas, ditambah bekas perwira polisi, dan para Marinir Kerajaan yang kapalnya sudah tenggelam. Di Singapura terdapat bekal makanan untuk enam bulan. Sekitar 9.000 sapi dan 125.000 babi telah dibawa dari Johor. Tiga waduk di pulau itu menjamin ketersediaan 17 juta galon air per hari.

“SERATUS PIPER” 

Pada pukul 5:30 pagi pada tanggal 31 Januari, pasukan Inggris terakhir telah ditarik melalui jalan lintas selat sepanjang 1.100 kaki (335 meter). Percival memberi perintah dan Argyll ke-2 berbaris melewati jalan lintas, dengan kepala tegak dan menahan beban, dipimpin oleh dua bagpiper mereka yang masih hidup, memainkan lagu “A Hundred Pipers” dan “Hielan’ Laddie.” Orang-orang Jepang tampaknya tidak mengganggu tampilan menantang ini. Tentara Inggris terakhir yang menyeberangi jalan lintas adalah Kolonel Stewart, yang kembali sebagai komandan batalion, dan wakilnya. Setelah Stewart menyeberang ke pulau itu, Royal Engineers menekan tombol dan jalan lintas selebar 70 kaki, termasuk jalan raya, rel, dan saluran air dari daratan, meledak dalam tumpukan asap. Sebuah celah selebar 70 kaki (21 meter) terbuka di jalan lintas dan air mulai membanjiri. Pengepungan Singapura telah dimulai. Pada tanggal 31 Januari, Percival mengambil alih komando semua pasukan di Pulau Singapura. Dia memiliki 85.000 prajurit diatas kertas, tetapi 15.000 dari mereka adalah prajurit administrasi atau non-kombatan. Pasukan itu terdiri dari 13 batalyon Inggris, enam Australia, 17 India, dan dua Melayu, bersama dengan tiga batalyon senapan mesin, salah satunya asal Australia. Di atas kertas, ini adalah kekuatan pertahanan yang kuat. Namun, di Pulau Singapura, mereka berantakan. Enam dari batalyon Inggris baru saja turun dari kapal mereka. Batalyon-batalyon India telah mengalami kerugian yang mengerikan, dan beberapa batalyon merupakan pasukan yang tidak terlatih. Banyak orang Australia tidak tahu bagaimana menggunakan senapan Lee-Enfield mereka. Sebagian besar batalion lain kekurangan kekuatan dan kelelahan. Banyak dari prajurit itu adalah rekrutan yang kurang terlatih, dan moralnya rendah.

Jalan darat yang melintasi Selat Johor. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Pemandangan jalan lintas Selat Johor yang diledakkan, dengan celah yang terlihat di bagian tengah. Penghancuran ini menunda penaklukan Jepang selama lebih dari seminggu hingga tanggal 8 Februari 1942. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

PERTAHANAN DI PULAU SINGAPURA

Kekuatan itu semakin melemah ketika Angkatan Laut mengevakuasi pangkalan besar di sisi utara Pulau Singapura, yang menjadi alasan utama kenapa Malaya dipertahankan. Pangkalan itu adalah fasilitas militer besar, yang telah merugikan para pembayar pajak Inggris senilai £ 60 juta dan membutuhkan waktu 17 tahun untuk membangunnya. Pangkalan tersebut memiliki tangki-tangki minyak dengan kapasitas jutaan ton, tempat penyimpanan amunisi bawah tanah, bengkel, graving dock, floating dock, dan drydocks yang dapat menampung kapal tempur. Tempat itu memiliki pelabuhan laut dalam seluas 22 mil persegi, dan kota mandiri lengkap dengan toko, bioskop, gereja, dan 17 lapangan sepak bola. Sekarang tempat itu ditinggalkan. Royal Engineers membakar tangki-tangki minyak untuk menggagalkan penggunaan bahan bakarnya oleh musuh, dan akibatnya Singapura diselimuti oleh asap hitam. Tidak ada pengumuman yang dibuat, tetapi semua orang tahu apa yang telah terjadi. Sebuah tim wartawan Inggris pergi ke pangkalan angkatan laut yang ditinggalkan untuk melihatnya sendiri. Mereka menemukan barak-barak kosong dan gedung-gedung kosong yang dipenuhi peralatan—“semuanya mulai dari kemeja dan pentungan hingga masker gas dan loker kayu.” Derek raksasa pangkalan, ketel kapal, mesin bubut, dan gudang yang penuh dengan peralatan radio semuanya masih utuh. Tempat itu tampak seperti ditinggalkan dengan panik. Aula makan penuh dengan makanan setengah jadi. Sebuah bola sepak terletak di dekat tiang gawang dari satu lapangan bermain. Anjing dan lalat berkerumun di atas tumpukan sampah. Sebagian besar peralatan yang ditinggalkan tidak berguna bagi orang Jepang, karena ukuran yang tidak pas untuk peralatan standar mereka. Angkatan Darat sementara itu telah mengirimkan 120 truk, masing-masing melakukan tiga perjalanan dalam semalam selama seminggu, untuk memindahkan segala sesuatu yang portabel. Prajurit infanteri yang kelelahan, yang seragamnya telah usang dalam gerak mundur di hujan akhirnya mengenakan kaus dan pakaian dalam yang baru. Saat Percival mempersiapkan pertahanannya, dia percaya Jepang akan menyerang dari sudut timur laut pulau, jadi di sana dia menempatkan prajuritnya yang paling segar, yakni Divisi Inggris ke-18. Sementara itu, Wavell percaya bahwa Jepang akan menyerang dari arah barat laut dan menyarankan Percival menempatkan Divisi ke-18 di tempat itu. Percival keberatan. Wavell mengalah pada Percival. Jadi Inggris akhirnya mulai membangun pertahanan. Sekali lagi Percival membuat kesalahan, dengan memerintahkan Simson untuk memindahkan persediaan ranjau, jebakan, dan kawat berduri dari bagian barat laut ke timur laut, sebuah proses yang memakan waktu berhari-hari dan semakin menekan moral tentara Australia saat mereka menyaksikan pertahanan mereka dicabuti.

Sebuah kapal perang Inggris di dalam dok kering Admiralty IX di Pangkalan Angkatan Laut Singapura pada bulan September 1941. Menjelang invasi Jepang, pangkalan yang sudah dibangun dengan biaya mahal, kemudian ditinggalkan dengan tergesa-gesa oleh pasukan Inggris. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Asap yang membumbung ke udara dari tangki minyak yang terbakar di Pangkalan Angkatan Laut Singapura. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Sebuah kapal kembali dari sebuah pulau di Pelabuhan Keppel di Singapura setelah Royal Engineers membakar tangki penyimpanan minyak di sana, Januari 1942. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)

SINGAPURA DISUSUPI BUKAN DIKEPUNG

Dengan Singapura terkepung, pihak berwenang Inggris tidak akan membiarkan koresponden menggunakan kata “pengepungan” dalam cerita mereka, sehingga Singapura digambarkan sebagai “disusupi.” Kota itu juga dibom dan ditembaki. Jepang memasang meriam pengepungan mereka dan mendirikan pos pengamatan di istana Sultan Johor. Deru dan lengkingan tembakan menambah suasana kehancuran dan hiruk pikuk. Peluru-peluru artileri menghujani setiap jalan, meledakkan seluruh bagian Chinatown, menghancurkan stasiun kereta api, gudang, dan dermaga. Hebatnya, sedikit kerusakan yang terjadi pada Klub Kriket, Klub Singapura, dan Robinson. Pesawat Jepang membom dan memberondong Singapura sepanjang waktu. Kebisingan dan kehancuran yang konstan memakan korban jiwa dan saraf para warganya. Di antara orang-orang yang ketakutan menyaksikan pengeboman itu adalah Kapten Patrick Heenan, yang sekarang di bawah ancaman hukuman mati dari pengadilan militer. Sementara dokumen-dokumennya melalui tahapan pemeriksaan dan banding, dia menunggu dengan gugup di penjara militer Singapura, gemetar ketakutan ketika dia melihat pesawat Jepang datang dan menjatuhkan bom mereka. Pasukan yang kelelahan tidur di lantai gedung YMCA setelah makan malam dengan teh dan roti. Pasukan lain dari batalyon yang hancur begitu saja meninggalkan dan berkeliaran di sekitar Singapura dalam kelompok-kelompok, menjarah minuman keras dari gedung atau mencoba menyelinap ke kapal yang meninggalkan pelabuhan. Namun beberapa orang terus berpura-pura bersikap normal. Sir Shenton Thomas mengabaikan tembakan dan kerusakan pada Gedung Pemerintah dan bersikeras mengenakan kerah dan dasi saat makan malam. Namun, jaket makan malam di malam hari tidak lagi diperlukan. Perwira RAF Flt. Lt. Arthur Donahue, seorang Amerika yang pernah terbang dalam Battle Of Britain, mengambil cuti langka dari menerbangkan pesawat Hurricane-nya dengan menonton Ziegfeld Girl di Alhambra, sementara Tim Hudson menikmati 24 kaleng sarden seharga $5. Robinson menawarkan potongan rambut dan kopi panas. Pasukan lain minum Tiger Beer yang baru diseduh dan menunggu setengah jam untuk berdansa dengan penari taksi yang kasar atau membeli segulung tiket untuk menemaninya sampai tengah malam, ketika band akan memainkan “God Save the King.” Wavell mencoba membangkitkan semangat dengan mengeluarkan Order of the Day yang menjanjikan datangnya bala bantuan, tetapi memerintahkan para prajurit untuk memastikan tidak ada yang tertinggal dibiarkan tetap utuh. Percival juga tidak berbuat lebih baik, dengan memperingatkan, “Musuh di depan mata kita harus disingkirkan dengan keras. Tidak boleh ada lagi pembicaraan ngawur dan menyebarkan rumor.”

Asap hitam mengepul ke udara dari bangunan kayu yang terbakar setelah serangan udara Jepang tanggal 3 Februari 1942 di Singapura. (Sumber: https://worldwartwodaily.filminspector.com/)

MEMPERSIAPKAN SERANGAN DI SINGAPURA 

Akhirnya anak buah Percival menggali pertahanan, tapi sudah terlambat. Semua pekerja sipil telah melarikan diri, dan pasukan yang kurang terlatih dan lelah berjuang menggali parit, yang segera terisi air. Tanah di sisi utara Pulau Singapura dipenuhi oleh anak sungai dan sungai kecil, yang membuat parit pertahanan tidak mungkin digali. Jadi Simson memerintahkan pembuatan pertahanan sementara dari kayu yang dilindungi oleh kawat berduri dan ranjau antitank. Surplus bahan bakar angkatan laut dan penerbangan terbuang sia-sia dengan dibuang ke sungai alih-alih digunakan untuk membuat penghalang api di Selat Johore. Tidak ada juga yang membuat jebakan. Di sisi Jepang, mereka tidak jauh lebih efisien. Rantai pasokan Yamashita sangat kacau. Dia kekurangan peluru artileri. Dia telah merampas 1.000 peluru untuk masing-masing meriam lapangannya dan 500 peluru untuk setiap senjata beratnya dari bekas stok Inggris dan menggunakan 3.000 kendaraan yang dirampas untuk membawa amunisinya, tetapi itu semua tidak cukup. Angkatan udara Jepang membom Singapura sesuka hati, tetapi mengabaikan permintaan Yamashita untuk melakukan serangan udara khusus pada sasaran-sasaran utama atau untuk memberikan dukungan udara jarak dekat. Terauchi mengirim Letnan Jenderal Osamu Tsukada langsung dari Saigon dengan catatan besar tentang cara untuk merebut Singapura. Setelah makan siang, Tsukada pergi tanpa mengucapkan “Terima kasih.” Yamashita yang marah merobek catatan itu dan menulis di buku hariannya, “Setiap kali ada dua alternatif, Tentara Selatan (pimpinan Terauchi) selalu bersikeras memilih (alternatif) yang salah.” Yamashita mendirikan markas taktisnya di Istana Sultan Johore, yang memiliki pemandangan ke arah selat. Dia merakit 200 kapal yang dapat dilipat dengan motor tempel dan 100 kapal pendarat yang lebih besar. Sementara pengebom dan artileri menyerang Singapura, pasukan infanteri Jepang berlatih keras dalam latihan embarkasi dan pendaratan. 4.000 orang yang akan berada di gelombang pertama serangan, semuanya adalah veteran serangan amfibi di Cina. Kamp-kamp palsu telah didirikan untuk mengelabui Inggris, dan konvoi truk melaju ke timur pada siang hari dan kembali pada malam hari untuk bergerak lebih lanjut. Serangan ke Singapura akan menjadi operasi amfibi terbesar dalam sejarah Angkatan Darat Jepang. Keras dan teliti, Yamashita tidak menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depannya.

Penembak senjata anti-tank Australia menghadap Johor Causeway yang memisahkan antara Singapura dan Malaya. Para prajurit itu mengawaki senjata anti-tank kaliber 2 pound. Jelang serangan Jepang, pasukan sekutu yang mempertahankan Singapura sudah cukup terlambat dalam membangun pertahanan di wilayah Singapura Utara. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

TIPUAN YAMASHITA

Pada tanggal 6 Februari, pukul 11 pagi, Yamashita memberi pengarahan kepada komandan divisinya di Istana Sultan di tengah-tengah angin kencang dan panas yang lembab. Rencananya adalah pemikiran khas Jepang, tipuan yang diikuti dengan serangan utama. Itu mirip dengan gerakan Lord Allenby di Palestina pada tahun 1918. Pasukan Pengawal Kekaisaran Nishimura akan menjadi bagian dari tipuan, mendarat di Pulau Palau Urbin di seberang Changi di sisi timur selat pada malam tanggal 7. Aksi itu diharapkan akan menarik perhatian Inggris sementara Divisi ke-5 dan 18 menyerbu di sudut barat laut pulau, mulai malam tanggal 8. Matsui dan Mutaguchi senang dengan tugas mereka, tetapi Nishimura marah karena Divisi Pengawal Kekaisaran harus memainkan peran kecil. Tipuan Yamashita berhasil. Percival kemudian memerintahkan Simson untuk memindahkan ranjau, jebakan, dan kawat berduri dari sisi barat jalan lintas ke timur pada tanggal 5. Malam itu, pihak Australia melaporkan adanya pasukan Jepang berkumpul di seberang selat. Simson lalu terpaksa harus memindahkan peralatanmya kembali, tetapi sudah terlambat. Malam itu Jepang memulai pemboman terberat mereka, menjatuhkan peluru artileri mereka ke lapangan udara utara Pulau Singapura, di Sembawang, Selehtar, dan Tengah. Tembakan Jepang juga meledakkan pangkalan angkatan laut dan persimpangan jalan utama, menghancurkan saluran telepon dan komunikasi Inggris. Selama dua hari, meriam dan pesawat pengebom Jepang menyerang Pulau Singapura. Pabrik percetakan Tribune hancur, memaksa staf untuk menggunakan pabrik darurat di rumah editor. Bom berjatuhan pada konvoi empat kapal yang datang, menenggelamkan kapal Empress of Asia pada tanggal 5 Februari. Orang-orang dari Resimen Anti-Tank ke-125 terhuyung-huyung ke darat dari bangkai kapal yang terbakar, tetapi senjata mereka jatuh ke dasar laut. Hebatnya, Empress of Asia adalah satu-satunya kapal konvoi ke Singapura yang tenggelam. HMAS Yarra berhasil menyelamatkan 1.304 tentara dari kapal transport yang terbakar, dan Percival sendiri bertemu dengan korban dari Resimen ke-125 di dermaga. Pesawat tempur Hurricane terakhir yang masih tersisa terbang ke udara untuk menghadapi gerombolan pesawat Zero Jepang, tetapi tidak berhasil. Zero terlalu kuat dan jumlahnya lebih banyak. Skuadron ke-488 RNZAF lalu mengevakuasi empat Hurricane terakhirnya pada tanggal 2 Februari. Pada  tanggal 5 Februari, Pilot Officer F.S. Johnstone, asisten udara dari Timaru, menerbangkan Buffalo terakhir Skuadron ke-453 dari Sembawang di tengah tembakan musuh ke Kallang, dari mana skuadron itu lalu dievakuasi

Istana Sultan Lama di Johor Bahru (sekarang Gedung Sultan Ibrahim), sekitar tahun 1941. Ketika tentara Jepang menaklukkan Johor Bahru pada tanggal 31 Desember 1942, komandan pasukan penyerang, Letnan Jenderal Tomoyuki Yamashita menggunakan istana Sultan sebagai markasnya untuk merencanakan serangan ke Singapura. Tempat ini dipilih sebagai markas besarnya karena merupakan gedung tertinggi di Johor Bahru dan memiliki pemandangan yang strategis ke pulau Singapura. (Sumber: https://sgfilmhunter.wordpress.com/)

PENDARATAN AMFIBI JEPANG DI SINGAPURA 

Saat fajar pada tanggal 8 Februari, pesawat Jepang datang mengerumuni Pulau Singapura, menembaki dan membom pertahanan pasukan Australia di wilayah barat. Pada siang hari serangan udara digantikan oleh pemboman artileri besar-besaran, yang berlangsung selama lima jam. Penembakan itu terbukti menjadi masalah bagi orang-orang Australia hijau untuk bisa menahannya. Beberapa tentara Australia tidak pernah mengikuti kursus penggunaan senjata ringan atau bahkan memegang senapan. Ada desas-desus bahwa orang-orang baru itu diambil dari dermaga Sydney dan termasuk narapidana yang ditawarkan pembebasan bersyarat untuk menjadi “sukarelawan.” Orang Australia lainnya, yang lebih berpengalaman, dapat mengetahui apa yang terjadi. Kolonel A.L. Varley, seorang veteran Perang Dunia I, menulis bahwa pengeboman Jepang lebih buruk daripada pemboman yang dia alami di Flanders. Bennett dan Percival keduanya percaya dari pengalaman Perang Dunia I mereka bahwa Jepang akan melanjutkan penembakan selama beberapa hari sebelum benar-benar menyeberangi selat. Karena hal itu dan karena mereka sendiri kekurangan amunisi artileri, Percival melarang tembakan artileri balasan sampai posisi pasukan Australia benar-benar diserang. Serangan itu ternyata tidak datang beberapa hari kemudian, tetapi datang malam itu juga. “Batalyon-batalyon Jepang merayap keluar dari tempat perlindungan mereka ke titik-titik embarkasi, kemudian konsentrasi tembakan artileri dimulai,” tulis Prajurit Kiyomoto Heida dari Divisi Infanteri ke-5. “‘Naik kapal’ lalu ‘Berangkat’—perintah datang dari seorang perwira beberapa meter jauhnya. Artileri telah berhenti menembak sekarang dan langit cerah dengan bintang-bintang. Perahu kedua diluncurkan ke selat, lalu yang ketiga. Kemudian artileri musuh menembak.” Pada pukul 21:30, tongkang-tongkwng Jepang bergerak melintasi selat. Tiga batalyon yang menyusut dari Brigade Australia ke-22 kini menghadapi 16 batalyon Jepang. Saat tongkang-tongkang Jepang melaju ke arah pasukan Australia dalam kegelapan, meriam dan mortir Jepang menembaki posisi Australia. Para prajurit Australia tidak dapat melihat penyerang mereka dalam kegelapan dan meminta baterai lampu sorot mereka untuk menerangi target. Lampu tidak menyala. Brigadir H.B. Taylor, komandan Brigade ke-22, telah memberi tahu kru lampu sorot untuk tidak menerangi selat sampai diperintahkan. Sekarang mereka tidak bisa mendapatkan perintah karena tembakan meriam Jepang telah merusak saluran telepon. Orang-orang Australia lalu mengirimkan suar darurat, dan itu akhirnya memunculkan lampu sorot tepat ketika gelombang Jepang pertama datang menyerbu ke darat. 

Serangan Jepang ke Singapura ditunjukkan dengan warna merah; Pasukan Inggris (warna biru) tersebar di sekitar pulau dengan sebagian besar berada di timur laut dan barat. Upaya tipuan Yamashita berjalan dengan sempurna, dengan memancing Percival menempatkan tentaranya di lokasi yang salah. (Sumber: image from ‘Malaya and Singapore 1941-42’ by Mark Stille © Osprey Publishing, part of Bloomsbury Publishing/https://www.forces.net/)
Invasi Jepang ke Kranji pada bulan Februari 1942. Panah menunjukkan serangan oleh pasukan Jepang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Tank Tipe 97 Chi Ha dari Resimen Tank Pertama IJA Selama invasi ke Singapura, 1942. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)

Batalyon Senapan Mesin 2/4 Australia menyambut Jepang dengan tembakan dari senapan mesin Vickers mereka, menghancurkan gelombang pertama pasukan Jepang. Tumpukan mayat orang-orang Jepang berserakan di pantai dan tanah berawa. Gelombang kedua menerjang ke daratan dan juga memakan banyak korban, tetapi gelombang ketiga sampai ke darat saat tentara Australia mulai kehabisan amunisi senapan mesinnya. Dengan kompas diikatkan ke pergelangan tangan mereka, para perwira Jepang memimpin orang-orang mereka masuk ke daratan, menyerang tentara Australia dengan bayonet terpasang. The “Diggers” (julukan tentara Australia) menyerang balik. Orang Jepang lebih terlatih dan berpengalaman, sedangkan orang-orang Australia belum pernah bertempur dan dipimpin dengan buruk. Brigade ke-22 mulai berantakan. Unit-unit ditarik tanpa perintah. Penarikan menjadi gerak mundur dan gerak mundur menjadi kekalahan. Segera Brigade ke-22 mengalir kembali kebelakang dalam kegelapan. Kenneth Attiwill dari pasukan Australia menggambarkan pemandangan itu: “Sekelompok prajurit menjadi terpisah dari rekan-rekan mereka dalam kegelapan yang membingungkan. Yang lain tersesat. Banyak yang meninggal. Ada yang tertatih-tatih sampai ke Bukit Timah. Yang lain bahkan mencapai Kota Singapura, dan jauh sebelum mereka dapat dijemput, ditata ulang, dan dikirim kembali ke medan perang, kekacauan itu telah terjadi. Efek dari penarikan itu adalah membuat seluruh area brigade terbuka, dan pada pukul 10 pagi tanggal 9 pagi—kurang dari 12 jam setelah serangan pertama—Brigade Australia ke-22, yang kekuatan tempurnya telah diandalkan untuk menjaga bagian barat laut Pulau, kini tidak lagi menjadi kekuatan tempur yang kohesif.” Saat itu tengah malam pada tanggal 9 ketika Percival menyadari sayap kirinya hancur. Dia kemudian mengirim kekuatan cadangan dan memerintahkan 10 pesawat tempur Hurricane terakhirnya dan empat pesawat Fairey Swordfish untuk menyerang saat fajar. Mereka berhadapan dengan 84 pesawat musuh.

PENGAWAL KEKAISARAN YANG DIREMEHKAN

Sementara itu, pasukan Jepang terus bergerak maju, mencapai Ama Keng dan mendekati Lapangan Udara Tengah. Di sini orang-orang Australia berkumpul kembali, menggali pertahanan, dan melakukan serangan balik dengan semangat para “Digger” seperti biasa, tetapi itu semua tidak cukup. Tentara Jepang mengepung posisi pasukan Australia dan terus maju, bergerak melintasi di Jalur Jurong, sebuah parit antitank yang dibangun Simson yang menghubungkan hulu Sungai Tengah di utara dengan Jurong di selatan. Garis itu terhubung dengan punggung bukit sepanjang tiga mil. Meskipun tidak memiliki ranjau, kawat berduri, dan rintangan, tempat itu bisa dipertahankan oleh pasukan yang gigih selama berhari-hari. Menjelang siang, Divisi ke-5 dan 18 Jepang telah melintasi selat bersama dengan meriam artileri mereka. Pasukan Pengawal Kekaisaran seharusnya bergerak melintasi selat sebagai tindak lanjut, tetapi Nishimura kesal karena ditinggalkan dari serangan utama. Dia mengeluh tentang peran sekundernya dan kemudian mempertanyakan perintahnya untuk bergerak maju. Yamashita kemudian menulis, “Saya memerintahkan Divisi Pengawal Kekaisaran untuk menyeberangi Selat. Kemudian komandan mereka meminta perintah lebih lanjut dari saya. Saya menerima pesan darinya bahwa pasukannya ragu-ragu untuk menyeberang karena api minyak di permukaan air. Sepertinya dia masih kesal karena tidak bisa memimpin serangan. Aku memerintahkannya untuk melakukan tugasnya.” Nishimura tidak bergerak. Sebagai gantinya, dia mengirim perwira staf muda kembali untuk berdebat dengan Yamashita. Yang terakhir merasa sudah cukup mendengar keluhan Nishimura. Dia lalu membentak, “Kembalilah ke komandan divisimu. Katakan padanya bahwa Divisi Pengawal Kekaisaran dapat melakukan apa yang diinginkannya dalam pertempuran ini.” Nishimura menerima pesan dan hinaan itu dan mengirim anak buahnya ke seberang selat. Setelah matahari terbenam pada tanggal 9, Yamashita dan stafnya naik tongkang kecil menyeberang ke Pulau Singapura. Berdesak-desakan, mereka harus saling berpegangan bahu. Saat mereka naik ke daratan, Tsuji merasakan sesuatu berkedut di bawah kakinya. Dia menyalakan senter dan menemukan tawanan perang Inggris dan Australia yang ditangkap dalam serangan pertama, diikat. Tsuji tidak bisa melewatkan simbolisme yang terlihat saat Yamashita dan stafnya yang berjalan di atas mereka.

Divisi Pengawal Kekaisaran di bawah letnan jenderal Nishimura melintasi Johor Causeway menuju ke Singapura. (Sumber: https://thehoneycombers.com/)
Invasi Angkatan Darat Jepang ke Pulau Singapura dimulai dengan penyeberangan di Lim Chu Kang, 8 Februari 1942. (Sumber: http://bukitbrown.com/)
Setelah mendarat malam sebelumnya di sepanjang pantai Lim Chu Kang, pada sore hari tanggal 9 Februari, Lapangan Terbang Tengah telah berada di tangan Tentara Kekaisaran Jepang. (Sumber: http://bukitbrown.com/)

“PERTEMPURAN UNTUK MEMPERTAHANKAN SINGAPURA TIDAK BERJALAN DENGAN BAIK” 

Di Jurong Line, Gordon Bennett menstabilkan pertahanannya. Percival, mempelajari petanya, serta harus memutuskan apa yang harus dilakukan jika Jepang menerobos menuju puncak Bukit Timah, lima mil dari Kota Singapura. Dia memutuskan untuk membentuk pertahanan perimeter di sekitar Kota Singapura dan memberi perintah untuk itu kepada Heath, Simson, dan Bennett. Yang terakhir malah mengacaukan komunikasinya dan Brigadir D.S. Maxwell, seorang dokter di masa damai yang memimpin Brigade ke-27 Australia, memerintahkan anak buahnya untuk segera mundur. Melihat penarikan Brigade ke-27, Brigadir Taylor, yang Brigade ke-22 Australianya mempertahankan sisa Garis Jurong, juga ikut mundur. Jalur Jurong tidak pernah terbentuk. Pasukan Australia yang kurang terlatih, bingung dengan perintah terus-menerus untuk mundur, mulai mundur secara massal, dan ketertiban diantara mereka hilang. Ratusan tentara Australia meninggalkan unit mereka, dan asap dari tangki minyak yang terbakar menutupi kota. Ke dalam kekacauan ini, Wavell terbang untuk terakhir kalinya dari Jawa pada tanggal 10 Februari. Dia langsung pergi ke markas Gordon Bennett dengan Percival dan memerintahkan serangan balik. Pembom-pembom Jepang terus menyerang, memaksa ketiga jenderal itu untuk berlindung di bawah meja. Dalam perjalanan kembali ke Jawa, Wavell terpeleset dan jatuh, mematahkan tulangnya saat dia naik ke pesawat amfibi Catalina-nya. Meski kesakitan dan cedera, dia berhasil kembali ke Jawa untuk memberi pesan ke London, “Pertempuran untuk mempertahankan Singapura tidak berjalan dengan baik. Jepang dengan melancarkan taktik penyusupan mereka seperti biasa, bergerak jauh lebih cepat daripada yang seharusnya di barat Pulau … Moral beberapa pasukan tidak baik dan tidak ada yang pernah tinggi sejauh yang saya ingin lihat … masalah utamanya adalah kurangnya pelatihan yang memadai dalam beberapa pasukan bantuan dan sikap inferioritas yang disebabkan oleh taktik Jepang yang berani dan terampil serta komando udara mereka. Segala kemungkinan telah dilakukan untuk menghasilkan semangat yang lebih ofensif dan pandangan optimis. Tapi saya tidak bisa berpura-pura bahwa upaya ini telah sepenuhnya berhasil hingga saat ini. Saya telah memberikan perintah yang paling tegas bahwa tidak ada pemikiran untuk menyerah dan bahwa semua pasukan harus terus berjuang sampai akhir.” Sementara itu, sepanjang hari pada tanggal 10, penderitaan Inggris semakin parah. Insinyur Simson mulai menghancurkan fasilitas pelabuhan dan lokasi industri. Departemen Keuangan mulai membakar uang. Jepang membawa tank medium yang menyebabkan kekacauan di seluruh semenanjung dan menyerang Bukit Timah. Tank-tank tersebut mencerai-beraikan pasukan India dan unit 2/29 Australia, yang tidak memiliki senjata antitank. Unit Baluch 2/10 menyerah ke pihak Jepang hampir secara massal. Argyll dan Sutherland Highland, yang diperkuat oleh pasukan Marinir Kerajaan, membentuk barikade dengan truk, mobil, dan ranjau antitank dan menghentikan barisan terdepan pasukan Jepang pada pukul 22:30. Tentara Jepang lalu membawa masuk 50 tank lagi, yang memaksa Argylls mundur. Menjelang tengah malam, tentara Jepang telah menguasai persimpangan jalan dan terus bergerak maju. 

Lt Col Graham dari unit Gordon Highlander bersama dengan Lt Gen Percival dan Jenderal Wavell. Meski sudah berusaha membangkitkan pertahanan Singapura, namun upaya Jenderal Wavell sia-sia, sehingga ia kemudian memindahkan markasnya ke pulau Jawa. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Posisi pertahanan Inggris 9-10 Februari 1942 di Singapura. (Sumber: http://bukitbrown.com/)

RANTAI PASOKAN TENTARA JEPANG RUNTUH

Sementara Jepang tidak kekurangan keganasan dan semangat untuk bergerak maju, namun rantai pasokan mereka sekarang benar-benar runtuh. Yamashita kehabisan amunisi. Tentaranya rata-rata tinggal memiliki seratus peluru. Sebagian besar bahan bakarnya dan banyak meriam-meriamnya berasal dari rampasan Inggris. Sepanjang hari pada tanggal 11, ia mempertahankan kecepatan ofensifnya, bertekad untuk membawa Singapura menyerah dengan gertakan dan momentum. Rencananya berhasil. Pada pukul 3 pagi, Batalyon X, pasukan tambal sulam yang terdiri dari unit cadangan Australia, tenaga pengganti, dan Batalyon Cadangan Khusus, menerima serangan paling berat dari Divisi ke-18 di sepanjang Jalan Jurong menuju persimpangan Bukit Timah. Pasukan Jepang memotong Batalyon X dan terus bergerak maju. Pada tanggal 12, Brigade ke-22 menggali pertahanan di selatan Bukit Timah dan menghentikan serangan Jepang. Divisi ke-18 mencari celah diantara brigade ke-22 Australia dan ke-44 India dan menyerang Batalyon 2/18 Australia, menyusutkan jumlahnya menjadi 250 orang. Pasukan Inggris terus mundur. Keesokan paginya, tentara Jepang menyerang ke arah daerah Alexandra, di mana Inggris memiliki gudang amunisi utama dan rumah sakit Angkatan Darat.

Pasukan bersepeda Jepang bergerak maju menuju ke Singapura. Pada bulan Februari 1942, pasukan Jepang sebenarnya telah kekurangan perbekalan dan amunisi. (Sumber: https://factsanddetails.com/)
10 Feb 1942, tentara Jepang bergerak maju di Bukit Timah. (Sumber: http://bukitbrown.com/)
10 Feb 1942, Tank Ringan Tipe 95 HaGo Jepang di Desa Bukit Timah. (Sumber: http://bukitbrown.com/)

“SINGAPURA HARUS BERTAHAN, SINGAPURA AKAN BERTAHAN”

Di Kota Singapura, tragedi merajalela. Katedral St. Andrew sekarang menjadi rumah sakit darurat, penuh dengan orang-orang yang terluka. Dokter, perawat, dan sukarelawan bekerja sepanjang waktu. Para pelayan dari mansion secara sukarela memberi makan mereka yang terluka, memberi mereka makan kornet daging sapi dengan peralatan makan dari perak yang bersinar. Thomas tidak juga menyerah. Peluru-peluru artileri Jepang menyapu gedung Government House pada tanggal 12, tetapi dia menolak untuk mengevakuasi petugas pemerintahan. Jumat, 13 Februari, dikenal sebagai “Black Friday” di Singapura, dan bukan hanya karena asap yang membubung dari tangki minyak dan kebakaran yang ditinggalkan di seluruh kota. Administrasi kota saat itu mulai hancur. Lebih dari setengah juta pengungsi memadati kota, bergabung dengan ribuan desertir tentara Inggris, Australia, dan India. Catatan dari tentara Australia memiliki nada celaan terhadap desertir mereka, yang menjarah toko makanan atau menyerbu kapal untuk melarikan diri ke pulau Jawa. Semua kapal angkut telah diperintahkan untuk pergi. Para desertir lalu masuk ke showroom mobil dan mengendarai Ford dan Chevrolet baru melalui jalan-jalan yang terbakar sampai mereka menghancurkannya. Desertir lain menjejalkan ke saku mereka penuh dengan rokok atau minum sampai lupa diri. Warga sipil juga menjarah, dengan perempuan membawa karung besar beras dan kari, dan anak-anak mengayuh sepeda yang terlalu besar untuk mereka. Peringatan bahaya serangan udara diabaikan dan kebakaran tidak juga padam. Kekacauan terjadi di dermaga ketika 44 kapal mengevakuasi orang-orang kunci dalam administrasi militer dan sipil Inggris. Hebatnya, mesin administrasi pemerintahan kolonial di Singapura masih berjalan. Meskipun terjadi pengeboman dan kekacauan, Sir Shenton Thomas masih bersikeras mengenakan kerah dan dasi untuk makan malam di Government House, dan menu makan malam masih dicetak. Thomas melihat lembar berita, yang judulnya berbunyi, “Singapore harus bertahan; Singapura AKAN Berdiri.” Judul lainnya samar-samar mengatakan, “Jepang Menderita Korban Besar di Singapura.” Setelah itu selesai, Thomas akhirnya mengemasi perlengkapannya dan melaju ke jalan yang berliku dan melewati gerbang yang penuh hiasan. Seorang penjaga memberi hormat senjata  untuk terakhir kalinya. Thomas memindahkan kantor pusatnya ke Singapore Club di Gedung Fullerton, di mana air harus dibawa dari pipa yang ada di jalanan. Gubernur lalu makan malam di kamarnya dengan kornet daging sapi dan salad kentang kalengan. Menjelang matahari terbenam, Inggris mengenyahkan masalah besar lainnya. Sebuah tim polisi militer membawa pengkhianat, Patrick Heenan, ke tepi pelabuhan dan menjalankan hukuman matinya dengan tembakan pistol ke bagian belakang kepala. Polisi militer membiarkan tubuh Heenan jatuh ke dalam air.

Posisi garis pertempuran, 10 Februari 1942. (Sumber: http://bukitbrown.com/)
Asap mengepul akibat dari pemboman di Kota Singapura 13 Feb 1942. (Sumber: http://bukitbrown.com/)
Sir Shenton Thomas. Jelang jatuhnya Singapura, Shenton Thomas terus berupaya menjalankan pemerintahan seperti di masa damai. (Sumber: https://drokleong.blogspot.com/)

“SERANGAN SAYA KE SINGAPURA HANYALAH GERTAKAN” 

Di sisi lain, perwira logistik Angkatan Darat ke-25 memiliki kabar buruk untuk Yamashita. Bahan bakar dan amunisi hampir habis. Yamashita memiliki tiga pilihan: menghentikan serangan untuk berkonsolidasi, menyerah, atau melanjutkan serangan. Menyerah jelas tidak mungkin. Yamashita juga tidak mau menunggu Angkatan Darat Selatan untuk membawa perbekalan, karena itu akan memberi Inggris waktu untuk mengkonsolidasikan posisi pertahanan mereka sendiri. Yamashita saat itu memiliki 30.000 tentara melawan 80.000 di pihak Inggris. Pertempuran dari rumah ke rumah di Singapura tentunya akan menelan banyak perbekalan dan anak buahnya. Namun, dia tahu bahwa moral pasukan Inggris sudah hampir hancur, dan kemudian menulis tentang keputusannya: “Serangan saya ke Singapura hanyalah gertakan, dan gertakan itu berhasil. Saya (hanya) memiliki 30.000 orang dan kalah jumlah dengan perbandingan lebih dari tiga dibanding satu. Saya tahu bahwa jika saya harus bertempur lama untuk merebut Singapura, saya akan dikalahkan. Itu sebabnya penyerahan tanpa syarat harus dilakukan sepenuhnya. Saya sangat takut sepanjang waktu Inggris akan menemukan informasi mengenai kelemahan numerik dan kurangnya pasokan kami, serta memaksa saya menjalani pertempuran jalanan yang membawa bencana.” Jadi, Yamashita memerintahkan meriamnya untuk menembak, pesawatnya untuk mengebom kota sepanjang waktu, dan tank serta prajurit infanterinya yang kelelahan untuk melanjutkan serangan. Hari itu, Wavell yang sakit memberi isyarat kepada Percival, “Kamu harus bertempur sampai akhir seperti yang seharusnya kamu lakukan. Tetapi ketika segala sesuatu yang mungkin secara manusiawi telah dilakukan, beberapa personel yang berani dan bertekad mungkin dapat melarikan diri dengan kapal kecil dan menemukan jalan mereka ke selatan ke Sumatra dan pulau-pulau lainnya.” Percival melaporkan bahwa Jepang kini berada dalam jarak 5.000 yard (4.572 meter) dari depan lautan, yang menempatkan seluruh kota itu di bawah kendali mereka. Persediaan air dan makanan mulai menipis. Jepang telah mengambil alih reservoir terakhir. “Dalam kondisi ini tidak mungkin melakukan perlawanan yang dapat berlangsung lebih dari satu atau dua hari … pasti akan ada tahapan ketika demi kepentingan pasukan dan penduduk sipil pertumpahan darah lebih lanjut tidak akan berguna.” Dalam pesan tersebut, Percival meminta “kebijaksanaan yang lebih luas,” yang merupakan kata sandi untuk menyerah. Wavell membalas pada tanggal 14, “Kamu harus terus memberikan kerusakan maksimum pada musuh selama mungkin dengan melakukan pertempuran dari rumah ke rumah jika perlu. Tindakan Anda dalam mengikat musuh dan menimbulkan korban mungkin memiliki pengaruh penting di medan perang lain. Saya sepenuhnya menghargai situasi Anda, tetapi tindakan (perlawanan) berkelanjutan akan sangat penting. ” Churchill juga menyadari bahwa nasib Singapura hampir berakhir dan dia memberi isyarat kepada Wavell, “Tentu saja Anda adalah satu-satunya ‘hakim’ saat tidak ada hasil lebih lanjut yang dapat diperoleh di Singapura, dan harus menginstruksikan Percival dengan tepat.”

Lieutenant-General A E Percival. Pada tanggal 14 Februari, Jenderal Percival mendapat ijin untuk menggunakan “kebijaksanannya sendiri” dalam menentukan apakah akan tetap melanjutkan pertempuran di Singapura atau tidak. (Sumber: http://bukitbrown.com/)

SINGAPURA DALAM KEKACAUAN

Pada tanggal 14, Jepang mengepung telah Singapura. Divisi Australia ke-8 berkonsentrasi di sekitar persimpangan Holland/Buona Vista Roads, menahan serangan Jepang. Pasukan Jepang menyerbu ke Rumah Sakit Alexandra dan menembaki staf dan pasien dengan bayonet, termasuk satu orang yang terbaring di meja operasi. Mereka menggiring 150 orang ke sebuah bungalo dan mengeksekusi mereka. Jepang menghantam Brigade ke-1 Malaya, yang terdiri dari prajurit pribumi dan perwira Inggris, dan memakan banyak korban. Peluru artileri dan bom Jepang menghujani Singapura, menewaskan sedikitnya 500 warga sipil. Tanpa air, tidak ada yang bisa mandi, dan petugas pemadam kebakaran menemukan situasi tanpa harapan. Satu unit memadamkan api dengan bongkahan es dari pabrik es. Bahkan sungai pun terbakar, saat kebakaran terjadi di sampan kayu yang macet, memicu kebakaran di tangki-tangki minyak. Ketika api membakar, para penjarah menyerbu ke reruntuhan untuk mengambil apa pun yang bisa mereka temukan. Warga sipil Inggris membanjiri toko-toko untuk membeli persediaan pisau cukur, pasta gigi, dan apa pun yang mereka pikir akan mereka butuhkan di tempat interniran, terutama rokok. Tim Hudson menemukan beberapa volume buku Shakespeare untuk memberinya sesuatu buat dibaca di tempat penahanan. L.C. Hutchings, manajer Robinson’s, yang kasihan dengan anak-anak Inggris yang kelelahan dan kotor yang berpakaian compang-camping dan menyumbangkan dua pakaian gratis untuk setiap anak Eropa yang bisa dia temukan. Pada pagi hari tanggal 15, Percival, dengan seragam yang baru dikanji, menerima komuni di Fort Canning dan kemudian meninjau situasi pada pukul 09:30. Sebagian besar waduk telah jatuh ke tangan Jepang dan sisanya mengalirkan air yang tersisa. Simson melaporkan hanya tersisa 48 jam pasokan air untuk satu juta orang. Shenton Thomas khawatir tentang kemungkinan terjadinya epidemi. Satu-satunya bensin yang tersisa ada di tangki truk, dan sangat sedikit amunisi yang tersisa untuk senjata meriam lapangan dan antipesawat. Percival ingin melakukan serangan balik dan merebut kembali reservoir dan tempat penimbunan perbekalan, tetapi perwiranya melaporkan bahwa batalion-batalion mereka hancur karena desersi. Tidak ada cukup orang yang terorganisir dan bersenjata untuk meluncurkan jenis serangan balik yang koheren dan terkoordinasi yang diperlukan untuk mengusir tentara Jepang dari waduk. Para desertir berkeliaran di jalan-jalan Singapura, minum-minum dan menjarah. Di depan Singapore Club, seorang Tommy, yang telanjang hingga pinggang, berbicara kepada kerumunan pasukan, mengatakan, “Sudah waktunya untuk menyerah. Kami berjuang untuk sesuatu yang pada akhirnya akan berakhir.” Setelah 15 menit berdiskusi, Percival memutuskan untuk menyerah. Tiga hari sebelumnya, Jepang telah mengirimkan surat yang meminta Inggris untuk menyerah, yang mengharuskan mereka mengirim dua perwakilan dengan bendera putih dan sebuah Union Jack ke Bukit Timah Road ke garis pertahanan Jepang. Sekarang Percival memerintahkan kepala perwira administrasinya, Brigadir T.K. Newbigging, untuk melakukan hal itu.

Kota Singapura menjelang jatuh ke tangan Jepang. Pada tanggal 15 Februari 1942, pasokan air di kota itu tinggal tersedia untuk memenuhi kebutuhan selama 48 Jam. (Sumber: http://bukitbrown.com/)

PENYERAHAN TANPA SYARAT

Saat Newbigging dan Penjabat Sekretaris Kolonial Hugh Fraser memulai perjalanan mereka, Yamashita berada di markas besar Mutaguchi, menyaksikan anak buahnya menyerang. Seorang perwira staf memperkirakan akan memakan waktu seminggu untuk merebut kota dan benteng-bentengnya. Sebuah patroli melaporkan kepada Mutaguchi bahwa sebuah bendera telah dikibarkan di pepohonan di depan. Kemudian datang laporan bahwa sebuah bendera putih telah dikibarkan di atas studio-studio penyiaran. Kemudian sebuah mobil terlihat datang di Jalan Bukit Timah di bawah bendera gencatan senjata. Letnan Kolonel I. Sugita, perwira intelijen Yamashita, maju menemuinya. Saat mobil melaju, mobil itu menghantam ladang ranjau Jepang, merusak rodanya. Semua orang turun dan mendaki jalan dan masuk ke sekelompok tentara Jepang bersenjata. Ketika orang-orang Jepang menyadari apa yang sedang terjadi, mereka mengeluarkan kamera mereka untuk merekam adegan tersebut. Orang-orang Inggris didiamkan menunggu sampai jam 2 siang, ketika Sugita tiba. Newbigging menyerahkan surat dari Percival yang menyerukan gencatan senjata pada pukul 4 sore agar kedua komandan dapat mendiskusikan syarat penyerahan diri. Sugita menjawab bahwa Yamashita tidak akan memberikan gencatan senjata sampai Percival menandatangani penyerahan. Yamashita tidak mau tertipu. Newbigging dan Sugita sepakat bahwa Percival akan datang ke pabrik Ford di Bukit Timah pada pukul 17:15 bersama Newbigging, Brigadir K.S. Torrance, dan seorang penerjemah, Mayor Cyril Wild. Pada pukul 5 sore, saat wartawan Jepang dan kameramen memotret, Percival dan tiga perwiranya berjalan ke Bukit Timah Road dengan topi timah diatas kepala mereka. Wild membawa bendera putih. Sugita dan juru bahasa Letnan Hishikara mengantar keempat orang Inggris itu ke dalam pabrik Ford Motor Company, di mana mereka duduk menunggu kedatangan Yamashita. Yamashita berbicara terus terang: “Tentara Jepang tidak akan mempertimbangkan apa pun selain penyerahan tanpa syarat.” Sadar bahwa dia kehabisan amunisi artileri terakhirnya, Yamashita mengandalkan kepribadian dan gertakannya yang keras untuk menggertak Percival agar menyerah. “Dalam keadaan apa pun kita tidak dapat mentolerir perlawanan Inggris lebih lanjut.” Percival meminta gencatan senjata dalam waktu dua jam, pukul 19:15. Yamashita setuju, lalu menyerahkan dokumen penyerahan diri. Percival mulai membacanya dan berkata, “Maukah Anda memberi saya waktu sampai besok pagi?” Yamashita menjawab dengan marah, “Jika kamu tidak menandatangani sekarang, kita akan terus bertarung. Yang ingin saya ketahui adalah: apakah Anda bersedia menyerah tanpa syarat atau tidak?” Percival menjadi pucat dan mulai berbicara lewat penerjemah dengan tenang. Yamashita, yang kemudian mengatakan bahwa dia tidak meneriaki Percival tetapi sangat marah kepada penerjemah, yang dipecat setelah perundingan itu, mengacungkan jarinya dan berteriak, “Ya atau tidak?” Percival menatap Hishikari dan berkata, dengan kepala tertunduk dan suara lemah, “Ya.”

Lukisan “Penyerahan Tentara Inggris di Singapura” oleh Miyamoto Saburo tahun 1944. (Sumber: https://www.flickr.com/)

“SEMUA JAJARAN TELAH MELAKUKAN YANG TERBAIK” 

Semuanya sudah selesai. Percival menandatangani penyerahan, dan Yamashita setuju untuk tidak memasuki kota sampai keesokan paginya sehingga Percival bisa menyampaikan perintahnya. Percival bertanya kepada Yamashita, “Bagaimana dengan nasib warga sipil, dan pasukan Inggris dan Australia? Apakah Anda akan menjamin mereka? ” “Ya. Anda bisa yakin dengan itu. Saya dapat menjamin mereka sepenuhnya. ” Yamashita ingin menambahkan beberapa kata hangat untuk Percival, yang tampak pucat dan sakit, tetapi dia kemudian mengatakan bahwa tidak ada gunanya melakukannya melalui seorang penerjemah. Sang pemenang dan yang kalah lalu berpose untuk diabadikan oleh fotografer Jepang, dan kemudian Percival kembali ke Fort Canning untuk mengatur penyerahan diri. Dia mengirimkan satu pesan terakhir ke Wavell, “Karena kerugian akibat aksi musuh, air, bensin, makanan, dan amunisi praktis habis. Karena itu kita tidak dapat melanjutkan pertempuran lebih lama lagi. Semua jajaran telah melakukan yang terbaik dan berterima kasih atas bantuan Anda. ” Pukul 20:30, semua senjata berhenti menembak, dan deru pertempuran digantikan dengan keheningan kematian dan derak api yang tak terkendali. Uskup Singapura mengadakan kebaktian di sebuah katedral yang penuh sesak dengan orang-orang yang terluka. Di kamarnya di Gedung Fullerton, Shenton Thomas makan malam terakhir dengan Hugh Fraser, dan keduanya menatap ke luar jendela ke Singapura, gelap dan terbakar di bawah bulan yang nampak berair. Mereka tidak banyak bicara, tetapi Thomas akhirnya berkata, “Tidak masalah tentang nasib kita. Saya kasihan dengan orang-orang ini. Ini negara mereka—dan entah bagaimana kita telah mengecewakan mereka.”

Yamashita (duduk, tengah) memukul meja dengan tinjunya untuk menekankan persyaratannya, yakni: menyerah tanpa syarat. Percival duduk di antara para perwiranya, dengan tangannya terkepal ke mulutnya. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

KERUGIAN YANG MENGHANCURKAN BAGI INGGRIS DAN SEKUTU

Thomas bukan satu-satunya yang memiliki pemikiran. Percival juga memiliki banyak hal untuk dipikirkan dalam perjalanannya kembali. Dia telah memimpin kampanye militer yang terbukti menjadi bencana paling besar dalam sejarah militer Inggris. Dalam 73 hari, orang-orang Jepang yang berkekuatan 30.000 orang telah melaju sejauh 650 mil dan mengalahkan orang-orang Inggris yang empat kali lebih banyak. Tentara Jepang telah membunuh dan melukai 9.000 orang dan mengambil 130.000 tawanan. Kerugian Jepang adalah 9.824, di mana sekitar 3.000 diantaranya tewas. Dalam pertempuran untuk merebut pulau itu, Jepang telah kehilangan 1.714 tewas dan 3.378 terluka. Jepang juga mengambil sejumlah besar senjata Inggris, termasuk 150 meriam lapangan 25-pounder, 100 senjata antitank kaliber 40mm, 140 mortir 2-inci, 58.079 bayonet, 54.597 senapan Lee-Enfield, 248 pistol Verey, 750 senapan berburu, 2.297 senjata Bren, dan 248 senapan antitank Boys. Jepang juga merampas 18 juta butir amunisi senapan kaliber .303, 14.000 peluru meriam 25 pounder, 12.900 peluru senapan mesin Vickers, 105 peluncur granat senapan, dua howitzer Vickers kaliber 6 inci, copy baru dari film Gone with the Wind , dan beberapa kasus wiski berlabel Johnny Walker Red. Salah satu dari mereka dibawa ke ruang perwira dari kapal utama Angkatan Laut Kekaisaran Jepang, kapal tempur Yamato, sebagai hadiah untuk Laksamana Isoroku Yamamoto, yang armadanya telah mendaratkan pasukan Yamashita. Dengan dikuasainya Singapura, Jepang memiliki kontrol penuh atas semenanjung Malaya, yang kaya akan bahan mentah seperti timah, besi, emas, bauksit, dan karet. Selain itu ada hal lain yang harus dipikirkan Percival saat pasukannya menjadi tawanan. Jepang ternyata mempermalukan tawanan mereka, memaksa pasukan Australia untuk menyapu jalan-jalan. Banyak tawanan perang India membelot ke Tentara Nasional India bentukan Jepang dan benar-benar menjadi penjaga kamp tawanan perang. Calon tawanan perang lainnya menemukan jalan keluarnya. Mayor Jenderal Gordon Bennett mengabaikan perintah Percival untuk tetap bersama divisinya dan melakukan pelarian dramatis ke Australia. Sayangnya untuk Bennett yang penuh warna dan kurang bijaksana, dia dianggap di Australia dan para tawanan di kamp tawanan perang telah melalaikan tugasnya dengan tidak tetap tinggal bersama anak buahnya. “Melakukan seperti Gordon Bennett” menjadi istilah Australia yang identik dengan “tidak bijaksana.”

Tentara Inggris dari Resimen Suffolk menyerah di Singapura dibawah todongan bayonet tentara Jepang. Dengan hampir 130.000 tentaranya menyerah, jatuhnya Singapura merupakan kekalahan terbesar militer Inggris sepanjang sejarah. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)
Tank Tipe 97 Chi-ha Jepang di jalanan Singapura, setelah kota itu direbut, 15 Februari 1942. (Sumber: https://laststandonzombieisland.com/)
Pasukan Jepang yang menang berbaris melalui Fullerton Square. Kemenangan Jepang pada akhirnya juga turut meruntuhkan “citra superior” bangsa Eropa atas bangsa Asia. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Percival juga dapat merenungkan dampak buruk kejatuhan Singapura terhadap upaya perang Sekutu, Kerajaan Inggris, dan dominasi Eropa di Asia secara keseluruhan. Dalam 73 hari, seluruh pemerintahan kolonial Inggris telah runtuh. “Benteng tak terkalahkan” orang kulit putih di Singapura telah jatuh ke tangan pria Asia berkulit coklat dan kuning. Orang-orang Asia Tenggara melihat kejatuhan Singapura sebagai tanda bahwa orang-orang Eropa tidak bisa lagi mendominasi mereka. Pada tahun 1945, ketika kekuatan kolonial Inggris, Belanda, Prancis, dan Amerika kembali, penduduk asli telah membentuk pemerintahan mereka sendiri dan siap untuk mendeklarasikan kemerdekaan, dengan paksa jika perlu. Konsekuensi itu mungkin tidak disengaja oleh Jepang, karena mereka terbukti akan menjadi penjajah yang lebih kejam di Asia Tenggara daripada Inggris. Orang-orang Jepang lalu mendirikan rezim boneka untuk memproklamirkan “Asia bagi orang Asia”, lalu mengambil segala sesuatu yang dapat digunakan dari tanah jajahan barunya. Ratusan ribu orang Asia Tenggara lalu dipaksa menjadi tenaga kerja laksana budak. Pada tahun 1945, Jepang juga sudah tidak disukai oleh penduduk lokal. Yang juga kena getah oleh kegagalan Inggris di Malaya adalah Australia dan Selandia Baru. Keamanan mereka selama ini bergantung pada pangkalan angkatan laut di Singapura. Sekarang sandaran mereka itu sudah hilang dan Inggris tidak memiliki pasukan untuk dikirim untuk melindungi dua wilayah kekuasaannya itu. Australia meminta dan akhirnya mendapatkan kembali tiga divisinya dari wilayah Timur Tengah untuk berperang di New Guinea, tetapi itu tidak cukup. Atas saran Amerika dan dengan penerimaan dari Churchill, Amerika Serikat akan menerima tanggung jawab utama untuk mempertahankan Australia dan Selandia Baru.

BELAJAR DARI KEKALAHAN

Jepang belajar sedikit dari kemenangan mereka. Mereka “tidak mengembangkan prinsip-prinsip perang baru, tetapi taktik mereka jauh lebih fleksibel daripada yang digunakan oleh lawannya,” kata sejarah resmi Australia. Pasukan dan perwira Jepang, melihat pasukan Inggris hancur di medan Malaya, lalu memandang mereka dengan hina. Jepang mengabaikan kekurangan serius dalam hal logistik, perencanaan, keamanan operasional, dan fungsi koordinasi taktis, dan terus memerintahkan serangan bayonet fanatik terhadap musuh mereka, terlepas dari situasinya. Pasukan Jepang di Malaya mampu bertahan dengan merebut gudang-gudang perbekalan Inggris, sebaliknya Pasukan Jepang di Burma dan Guadalcanal, yang tidak mampu mengulangi pencapaian itu, kelaparan. Inggris, bagaimanapun, belajar dari kekalahan mereka. Pada tahun 1944, Angkatan Darat ke-14 dari pasukan Inggris-India telah menguasai taktik perang hutan. Menggabungkan daya tembak dengan pelatihan realistis, kepemimpinan yang lebih baik, dan penggunaan pasokan udara dan bagal, Inggris membantai tentara Jepang di Kohima dan Imphal, sementara tentara Australia mengusir Jepang melintasi Papua Nugini. 

Dua tentara Inggris berpatroli di reruntuhan Bahe, di Burma Tengah. Kekalahan di Singapura pada akhirnya memberikan pelajaran berharga badi militer Inggris, yang pada akhirnya mampu berbalik mengalahkan Jepang pada tahun 1944-1945. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

NASIB PERCIVAL DAN YAMASHITA

Dua komandan tertinggi yang saling berhadapan juga mengalami nasib yang tidak menyenangkan. Percival yang berperilaku terhormat di penahanan, menolak untuk bekerja sama dengan upaya propaganda Jepang. Dibebaskan pada tahun 1945, ia berdiri di geladak kapal perang USS Missouri untuk menyaksikan Jepang menyerah. Dalam perjalanan pulang dari Tokyo, Percival singgah di Filipina untuk melihat Yamashita menyerahkan pulau-pulau itu kepada Amerika. Dia kemudian menjadi kepala Asosiasi Tahanan Perang Timur Jauh (sebagai Tahanan No. 1) dan bekerja selama sisa hidupnya untuk memperjuangkan tunjangan medis dan pensiun bagi rekan-rekannya yang selamat dari penawanan Jepang. Dia meninggal di Inggris pada tahun 1966. Yamashita sendiri tidak bernasib lebih baik setelah kemenangannya. Dianggap oleh Tojo sebagai ancaman politik, Yamashita dipindahkan ke Manchukuo untuk memimpin Tentara Kwantung sampai bulan September 1944, bakatnya jelas terbuang sia-sia. Dia kemudian dipanggil untuk mempertahankan Filipina dari invasi pasukan Jenderal Douglas MacArthur dan melakukannya dengan tekad yang kuat, tetapi saat itu hanya ada sedikit harapan untuk menang. Setelah Hari V-J (hari kemenangan sekutu atas Jepang) Yamashita didakwa dengan kejahatan perang yang dilakukan oleh pasukan yang tidak berada di bawah kendalinya dan digantung pada tahun 1946 setelah pengadilan militer AS yang kontroversial diadakan di Manila. Nasib yang terbentang di masa depan ini ditentukan pada tanggal 15 Februari 1942. Hari itu, pasukan Yamashita mengabaikan jaminannya untuk menjaga keamanan warga sipil dan tawanan perang. Divisi ke-18 Mutaguchi mengusir ratusan orang Cina ke pantai timur Pulau Singapura, membuat mereka menggali kuburan mereka sendiri, dan kemudian menembaki mereka dengan senapan mesin. Penerus Yamashita kemudian akan memerintahkan ribuan tawanan perang sekutu diangkut ke Thailand dan Burma untuk membangun “Jalur Kereta Api Kematian,” di mana ribuan orang akan mati karena kelaparan, penyiksaan, dan pelecehan. Ketika Yamashita mendengar tentang pembantaian Rumah Sakit Queen Alexandra, dia mengirim bunga permintaan maaf. Dia juga bersikeras bahwa tawanan perang Inggris diperlakukan secara manusiawi. Setelah itu, Yamashita pergi ke Singapura dengan mobil staf untuk mengambil alih Fort Canning dari Percival. Fotografer Jepang menangkap gambar pasukan Inggris, India, Australia, dan Skotlandia yang muram berdiri dengan waspada saat konvoi Jepang masuk. Setelah berjabat tangan dengan Percival yang lelah, Yamashita memerintahkan petugas pemadam kebakaran, dokter, perawat, insinyur, dan pekerja kebersihan Inggris untuk tetap tinggal di posisi mereka sampai para pekerja Jepang tiba. Kemudian, Yamashita harus menerima pesan dari Terauchi, yang menanyakan kapan Terauchi bisa masuk ke Singapura dengan penuh kemenangan. Jawaban Yamashita adalah tipikal seorang jenderal yang tidak menyukai keangkuhan: “Tentara ke-25 tidak akan mengadakan parade tetapi upacara pemakaman ditetapkan pada tanggal 20 Februari.”

Jenderal AS Douglas MacArthur menyerahkan kepada Letnan Jenderal Percival salah satu pena yang digunakan pada saat penandatanganan penyerahan Jepang di kapal tempur USS Missouri, 2 September 1945. (Sumber: https://www.historicwartours.com.au/)
Jenderal Tomoyuki Yamashita tepat setelah dia mendengar vonis kematiannya dengan cara digantung. Dia kemudian dibawa keluar dari pengadilan militer AS di Manila oleh Polisi Militer Angkatan Darat AS (MP). (Sumber: https://pacificwrecks.com/)

Baca juga Part I:

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Fall of Malaya: Japanese Blitzkrieg on Singapore By David H. Lippman

https://warfarehistorynetwork.com/2019/01/28/the-fall-of-malaya-japanese-blitzkrieg-on-singapore/

Time Life World War II series Volume 4: The Rising Sun by Arthur Zich, 1977, p 119-122, p 126

Invasion of Malaya

https://www.awm.gov.au/collection/E84717

A World Turned Upside Down – British Defeat In Malaya And Singapore

https://www.forces.net/heritage/wwii/world-turned-upside-down-british-defeat-malaya-and-singapore

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *