Sejarah Militer

Kekuatan Militer Irak Yang Pernah Jadi Nomor Empat Terbesar di Dunia (1922-2003)

Lebih dari negara lain mana pun, Irak adalah negara militer—sebuah masyarakat yang didominasi oleh mesin perang hingga tingkat yang tak tertandingi, yang menghabiskan sepenuhnya seperempat dari kekayaan negara yang kaya minyak itu dan setengah dari laki-lakinya yang sehat. Tentara Irak pernah menjadi yang terbesar keempat di dunia, dengan jumlah personel satu juta orang, lebih besar dalam jumlah daripada gabungan Angkatan Darat dan Korps Marinir AS. Setelah menginvasi Kuwait tahun 1990, Irak masih mampu memobilisasi lebih banyak orang, dan analis AS percaya, Baghdad dapat segera meningkatkan kekuatannya itu hingga setengahnya, dengan menyerahkan senjata dan seragam kepada tiga dari setiap empat pria berusia antara 15 dan 49 tahun. Dan setiap prajurit wajib mempertahankan kesetiaan yang tidak perlu dipertanyakan lagi kepada satu orang, yakni: Saddam Hussein. Mengapa Irak bisa mencapai taraf militerisasi semacam itu, hal ini tidak lepas dari jalannya sejarah di negeri itu.

Tentara Irak merayakan kemenangan mereka atas Iran, 20 April 1988. Irak adalah negara militer—sebuah masyarakat yang didominasi oleh mesin perang hingga tingkat yang tak tertandingi, yang menghabiskan sepenuhnya seperempat dari kekayaan negara yang kaya minyak itu dan setengah dari laki-lakinya yang sehat. (Sumber: https://www.middleeastmonitor.com/)

LATAR BELAKANG ANGKATAN BERSENJATA IRAK MODERN

Angkatan bersenjata Irak modern didirikan oleh Inggris selama periode mandat mereka atas Irak setelah Perang Dunia I. Sebelumnya, dari tahun 1533 hingga 1918, Irak berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah dan berperang sebagai bagian dari Militer Kesultanan Utsmaniyah. Pada awalnya, Inggris menciptakan tentara sekutu Irak-nya, yang terdiri dari beberapa batalyon pasukan yang misi utamanya adalah untuk menjaga pangkalan Angkatan Udara Inggris (RAF) yang dikendalikan London. Pasukan ini cukup untuk misi yang dimaksudkan guna mempertahankan lapangan terbang RAF Komando wilayah Irak, tetapi ancaman perang dengan Republik Turki yang baru dibentuk memaksa Inggris untuk memperluas pasukan militer pribumi Irak. Pada tahun 1920, pasukan Turki masuk ke Kurdistan Irak dan memaksa garnisun kecil Inggris keluar dari as-Sulaymaniyyah dan Rawanduz di Kurdistan timur. Hal ini membuat Inggris membentuk Tentara Irak pada tanggal 6 Januari 1921 (kemudian diperingati sebagai Hari Tentara Irak), diikuti oleh Angkatan Udara Irak pada tahun 1927. Inggris merekrut mantan perwira Ottoman untuk menjadi prajurit junior dan menengah dari korps perwira Irak yang baru, dengan komando senior diduduki oleh perwira Inggris, yang juga mengambil sebagian besar posisi di pelatihan. Brigade Musa al-Kadhim ini terdiri dari mantan perwira Irak-Ottoman, yang baraknya terletak di Kadhimyah. Inggris kemudian memberikan dukungan dan pelatihan kepada Angkatan Darat dan Angkatan Udara Irak melalui misi militer kecil yang berbasis di Bagdad; menyediakan senjata dan pelatihan untuk mengalahkan invasi Turki yang diantisipasi di Irak utara. 

Faisal I dari Irak. Otoritas Inggris memilih elit Arab minoritas Sunni dari wilayah Irak untuk diangkat menjadi pejabat pemerintahan di kantor pemerintah dan kementerian di Irak. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pada Agustus 1921, Inggris melantik Raja Hashemite Faisal I sebagai penguasa klien di Irak. Demikian pula, otoritas Inggris kemudian memilih elit Arab Sunni dari wilayah tersebut untuk diangkat menjadi pejabat pemerintahan di kantor pemerintah dan kementerian di Irak. Inggris dan Irak lalu meresmikan hubungan antara kedua negara dengan Perjanjian Anglo-Irak tahun 1922. Dengan naiknya Faisal diatas tahta, Tentara Irak diubah menjadi Tentara Kerajaan Irak (RIRA). Pada tahun 1922, tentara ini berjumlah 3.618 orang. Jumlah ini jauh di bawah 6.000 orang yang diminta oleh monarki Irak dan bahkan kurang dari batas yang ditetapkan Inggris sebanyak 4.500. Gaji yang tidak menarik rupanya menghambat upaya perekrutan awal. Pada saat itu, Inggris mempertahankan hak untuk merekrut pasukan lokal yang berada di bawah kendali langsung Inggris. Dengan kekuatan 4.984 orang, pasukan sekutu Irak ini melebihi jumlah tentara Kerajaan. Pada tahun 1924, tentara Kerajaan bertambah menjadi 5.772 orang dan, pada tahun berikutnya, bertambah lagi hingga mencapai 7.500 orang – jumlah ini bertahan sampai tahun 1933. Pasukan terdiri dari:

Pada akhir tahun 1920-an, ancaman serangan Turki berkurang, dengan tentara Irak memfokuskan kembali pada misi internal baru. Sementara komando Inggris masih mengkhawatirkan melebarnya pengaruh Turki dan Persia di wilayah Irak – karena kedua negara ini jauh lebih kohesif dan dengan tentara yang lebih unggul -, fokus baru bergeser ke arah keamanan internal melawan kekuatan sentrifugal yang mengancam untuk menghancurkan negara. Ancaman terhadap integritas negara Irak yang baru lahir itu adalah pemberontakan separatis oleh suku Kurdi dan oleh suku-suku kuat lainnya di Irak barat dan selatan. Inggris kemudian menyimpulkan bahwa tentara Irak tidak mampu menangani baik Turki atau Persia, dengan RAF (didukung oleh sekutu Irak) memikul tanggung jawab penuh untuk pertahanan eksternal. Sejak saat itu, tentara Irak semakin diturunkan ke tugas-tugas keamanan internal. Namun demikian, tentara menikmati prestise yang cukup besar, dengan elit negara melihat tentara sebagai kekuatan konsolidasi nasional. Tentara yang kuat juga memastikan dominasi Sunni atas mayoritas Syiah. Tentara yang kuat itu pula akan memungkinkan Bagdad untuk mengontrol suku-suku independen yang menolak sentralisasi; serta dapat menciptakan identitas nasional. Namun, ada keraguan tentang kemampuan tentara Irak yang sebenarnya. Pada tahun 1928, jumlah perwira Inggris yang memimpin unit Irak meningkat karena perwira Irak lamban beradaptasi dengan peperangan modern. 

Para perwira Inggris ditengah tentara sekutu Irak-nya. Pada tahun 1928, jumlah perwira Inggris yang memimpin unit Irak meningkat karena perwira Irak lamban beradaptasi dengan peperangan modern. (Sumber: http://assyrianlevies.info/)

Sementara itu, Angkatan Udara Irak menganggap hari pendiriannya adalah pada tanggal 22 April 1931. Hari itu, pilot Angkatan Udara Kerajaan Irak (RIrAF) pertama kembali ke negara itu dari pelatihan di Inggris bersama dengan pesawat pertama angkatan udaranya, yaitu lima de Havilland Gipsy Moths. Pesawat-pesawat ini kemudian membentuk Skuadron No. 1, yang berbasis di pangkalan RAF Hinaidi. Sebelum pembentukan angkatan udara yang baru, Komando RAF Irak bertanggung jawab atas semua elemen Angkatan Bersenjata Inggris di Irak pada 1920-an dan awal 1930-an. RIrAF terdiri dari lima pilot, siswa aeronautika yang dilatih di RAF College Cranwell, dan 32 mekanik pesawat. Lima pilot pertama itu adalah Natiq Mohammed Khalil al-Tay, Mohammed Ali Jawad, Hafdhi Aziz, Akrem Mushtaq, dan Musa Ali. RIrAF menyaksikan pertempuran pertamanya pada awal bulan Oktober 1931, melawan pemberontak Kurdi di utara negara itu. Selama operasi melawan orang-orang Kurdi, angkatan udara mengalami kehilangan tempur pertamanya, ketika sebuah pesawat DH.60 bertabrakan dengan gunung dekat Barzan pada bulan April 1932, yang menewaskan kedua awaknya. Tahun itu, pesawat-pesawat Gipsy Moth diperkuat oleh tiga lagi DH.60T dan tiga de Havilland Puss Moth. Tahun berikutnya, delapan de Havilland Dragon dikirim, dan pada tahun 1934, yang pertama dari total 34 Hawker Audaxes (bernama Nisr dalam dinas Irak) diperoleh. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan Irak, Angkatan Udara Irak masih bergantung pada Angkatan Udara Kerajaan Inggris. Pemerintah Irak lebih mengalokasikan sebagian besar pengeluaran militernya untuk Angkatan Darat Irak dan pada tahun 1936 Angkatan Udara Kerajaan Irak hanya memiliki 37 pilot dan 55 pesawat. Tahun berikutnya, Angkatan Udara Irak menunjukkan beberapa pertumbuhan, meningkatkan jumlah pilot menjadi 127. Ini memungkinkannya untuk membeli pesawat tambahan. Pada tahun 1937, setelah kunjungan tingkat tinggi di Italia dan Britania Raya, Irak memesan enam pesawat pembom Savoia-Marchetti SM.79, 15 pesawat serang darat Breda Ba.65, dan 15 pesawat tempur Gloster Gladiator. Pada tahun 1939, 15 pesawat serang Northrop 8A dibeli. Sementara itu Angkatan Laut Irak terakhir dibentuk pada tahun 1937, sebagai kekuatan yang terdiri dari empat kapal kecil yang bermarkas di Basra. Antara tahun 1937 dan 1958, Angkatan Laut Irak terutama merupakan kekuatan berbasis sungai.

Beberapa pembom SM.79B Irak. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pesawat serang darat Breda Ba.65 Irak. (Sumber: http://iraqimilitary.org/)
Meriam gunung unit Angkatan Darat Irak, ‘Dicol‘, menembaki Shirwan-A-Mazin dari lereng bukit di Kani-Ling selama operasi anti-Barzani, Juni 1932. Sama seperti kekuatan udaranya, ujian nyata pertama Angkatan Darat Irak terjadi pada tahun 1931, ketika pemimpin Kurdi Ahmed Barzani menyatukan sejumlah suku Kurdi dan bangkit dalam pemberontakan terbuka. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sama seperti kekuatan udaranya, ujian nyata pertama Angkatan Darat Irak terjadi pada tahun 1931, ketika pemimpin Kurdi Ahmed Barzani menyatukan sejumlah suku Kurdi dan bangkit dalam pemberontakan terbuka. Unit-unit tentara Irak kemudian dihajar habis-habisan oleh anggota suku Kurdi di bawah pimpinan Syekh Mahmud dan Mustafa Barzani. Penampilan suram tentara Irak jelas tidak mengesankan, dan situasinya membuktikan bahwa mereka masih membutuhkan campur tangan pasukan Inggris untuk memulihkan ketertiban. Pada tahun 1932, Kerajaan Irak diberikan kemerdekaan resmi. Ini sesuai dengan Perjanjian Anglo-Irak tahun 1930, di mana Inggris akan mengakhiri mandat resminya dengan syarat bahwa pemerintah Irak akan mengizinkan penasihat Inggris untuk mengambil bagian dalam urusan pemerintahan, mengizinkan pangkalan militer Inggris tetap ada, dan persyaratan bahwa Irak membantu Inggris pada masa perang. Negara baru itu lemah dan rezimnya hanya bertahan selama empat tahun, ketika digulingkan dalam kudeta pada tahun 1936. Setelah mencapai kemerdekaan pada tahun 1932, ketegangan politik muncul karena kehadiran Inggris yang berkelanjutan di Irak, dengan perpecahan pemerintah dan politisi Irak, antara mereka yang dianggap pro-Inggris dan mereka yang dianggap anti-Inggris. Faksi pro-Inggris diwakili oleh politisi seperti Nuri as-Said yang tidak menentang kelanjutan kehadiran Inggris. Faksi anti-Inggris diwakili oleh politisi seperti Rashid Ali al-Gaylani yang menuntut agar pengaruh Inggris yang tersisa di negara itu dihilangkan. Pada tahun 1936, Jenderal Bakr Sidqi, yang mendapat reputasi karena menekan pemberontakan suku (dan juga bertanggung jawab atas pembantaian Simele yang kejam), diangkat menjadi Kepala Staf Umum dan berhasil menekan Raja Ghazi bin Faisal untuk menuntut pengunduran diri Kabinet. Sejak tahun itu hingga tahun 1941, lima kali kudeta tentara terjadi setiap tahun yang dipimpin oleh para perwira tinggi tentara melawan pemerintah untuk menekan pemerintah agar mengabulkan tuntutan Angkatan Darat Irak,

Dengan kehadiran Menteri Luar Negeri Reich von Ribbentrop, Fuhrer menerima Perdana Menteri Irak Rashid Ali al-Gaylani. Pada awal bulan April 1941, selama Perang Dunia II, Rashid Ali al-Gaylani dan anggota “Golden Square” yang anti-Inggris melancarkan kudeta terhadap pemerintah Irak. (Sumber: https://digitalcollections.nypl.org/)

Pada awal bulan April 1941, selama Perang Dunia II, Rashid Ali al-Gaylani dan anggota “Golden Square” yang anti-Inggris melancarkan kudeta terhadap pemerintah Irak. Perdana Menteri Taha al-Hashimi kemudian mengundurkan diri dan Rashid Ali al-Gaylani menggantikannya sebagai Perdana Menteri. Rashid Ali juga menyatakan dirinya sebagai kepala “Pemerintahan Pertahanan Nasional”. Dia tidak menggulingkan monarki, tetapi melantik bupati yang lebih patuh. Dia juga berusaha membatasi hak Inggris yang diberikan kepada mereka berdasarkan perjanjian 1930. Meskipun Irak secara nominal merdeka, Inggris secara de facto masih memerintah negara itu, menggunakan hak veto atas kebijakan keamanan luar negeri dan nasional Irak. Komando tinggi Irak melihat kesempatan untuk melepaskan diri dari tuan kolonial mereka ketika Inggris melihat dirinya dalam posisi rentan terhadap Nazi Jerman. Pemberontak Irak didukung oleh Mufti Agung Yerusalem yang pro-Nazi dan anti-Yahudi, yakni Haji Amin al-Husseini, duta besar Jerman Dr. Fritz Grobba dan pemimpin gerilya Arab Fawzi al-Qawuqji. Pada tanggal 30 April, unit Angkatan Darat Irak merebut dataran tinggi di selatan pangkalan RAF Habbaniya. Seorang utusan Irak dikirim untuk menuntut agar tidak ada pergerakan, baik darat maupun udara, yang dilakukan dari pangkalan. Inggris menolak permintaan tersebut dan kemudian mereka sendiri menuntut agar unit Irak segera meninggalkan daerah itu. Selain itu, pasukan Inggris mendarat di Basra dan Irak menuntut agar pasukan ini disingkirkan. Perang dimulai dengan sungguh-sungguh pada tanggal 2 Mei, ketika pesawat Inggris mulai menyerang pasukan Irak yang mengepung RAF Habbaniya. Sebagai tanggapan, RIrAF mulai menyerang lapangan terbang, menghancurkan dua Hawker Audaxes dan satu Airspeed Oxford di darat hari itu. Pada tanggal 4 Mei, delapan pembom Vickers Wellington dan dua pembom Bristol Blenheim menyerang Pangkalan Udara Rasheed, lapangan udara utama RIrAF. Namun, sebagian besar pesawat Irak telah dipindahkan ke Al-Washash dan Baqubah. Selama penyerangan, sebuah Wellington yang terkena tembakan anti-pesawat diserang oleh sebuah Gloster Gladiator Irak, dan rusak hingga harus mendarat darurat di luar Bagdad. Ini merupakan kemenangan udara pertama untuk RIrAF. Namun, pada hari yang sama sebuah pembom SM.79 Irak ditembak jatuh oleh tembakan darat Irak di atas lapangan terbang di Al Diwaniyah. RAF kemudian terus menyerang lapangan udara Irak; dan pada tanggal 8 Mei, diklaim telah menghancurkan enam pesawat di darat di Baqubah, dan menembak jatuh satu Gladiator.

The Battle of Habbaniya, May 1941‘ lukisan karya Frank Wootton menunjukkan Hawker Audaxes dan Airspeed Oxfords membom posisi artileri Irak selama Perang Inggris-Irak 1941 dalam Perang Dunia Kedua. (Sumber: https://www.reddit.com/)
L3 cc (kiri) dan L3/35 (kanan) tahun 1941. Diperkirakan 16 tank L3 dibeli oleh Irak dari Italia sebelum Perang Dunia II. Pada tanggal 22 Maret 1941, dua dari L3 Irak ini dilaporkan telah dihentikan operasinya di dekat Fallujah selama Perang Inggris-Irak. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Mobil Lapis Baja Fordson dari Kompi Mobil Lapis Baja No. 2 RAF, yang beroperasi dengan ‘Habforce‘, menunggu di luar Bagdad, Irak, sementara negosiasi gencatan senjata berlangsung antara pejabat Inggris dan pemerintah pemberontak. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Saat ini, tentara Irak telah tumbuh secara signifikan. Mereka memiliki empat divisi infanteri dengan sekitar 60.000 orang. Dengan kekuatan penuh, setiap divisi memiliki tiga brigade infanteri (masing-masing 3 batalyon) ditambah unit pendukung – termasuk brigade artileri. Divisi ke-1 dan 3 Irak ditempatkan di Bagdad. Divisi ke-2 ditempatkan di Kirkuk, dan Divisi ke-4 ditempatkan di Al Diwaniyah, di jalur rel utama dari Bagdad ke Basra. Juga berbasis di Bagdad adalah Brigade Mekanis Independen. Semua unit infanteri “mekanis” ini diangkut dengan truk. Kekuatan resmi Brigade Infanteri Irak dengan kekuatan penuh terdiri dari 26 perwira dan 820 pangkat lainnya, 46 senapan mesin ringan Bren; 8 senapan mesin berat Vickers (dalam dua peleton masing-masing dilengkapi 4 senapan mesin) dan 4 senjata anti-udara Lewis. Diperkirakan 16 tank L3 dibeli oleh Irak dari Italia sebelum Perang Dunia II. Pada tanggal 22 Maret 1941, dua dari L3 Irak ini dilaporkan telah dihentikan operasinya di dekat Fallujah selama Perang Inggris-Irak. Permusuhan antara Inggris dan Irak berlangsung dari tanggal 2 Mei hingga 30 Mei 1941. Pemerintah Jerman kemudian mengirimkan unit penerbangan, Fliegerführer Irak, dan Italia mengirimkan bantuan terbatas, tetapi keduanya terlambat dan jauh dari memadai. Inggris mengumpulkan kekuatan kecil dari tentaranya di Levant, yang dengan mudah mengalahkan tentara dan angkatan udara Irak yang jauh lebih besar tetapi sama sekali tidak kompeten, kemudian berbaris di Baghdad dan menggulingkan komandan militer (yang lalu dijatuhi hukuman mati dengan digantung) dan perdana menteri, Rashid Ali al-Gaylani. Sebagai gantinya, Inggris memasang kembali Nuri al-Said, yang mendominasi politik Irak sampai penggulingan monarki dan pembunuhannya pada tahun 1958. Nuri al-Said menjalankan kebijakan yang sebagian besar pro-Barat selama periode ini. Namun, tentara Irak tidak dibubarkan. Sebaliknya, mereka dipertahankan untuk menghalangi kemungkinan tindakan ofensif Jerman melalui bagian selatan Uni Soviet.

Anggota baru tentara sekutu Irak, masih mengenakan pakaian mereka sendiri, di Habbaniya selama Perang Dunia Kedua. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tiga awak darat RAF Irak Levies, tiba di dermaga di Liverpool, Inggris, 1946. Kiri ke kanan: Sersan Macko Shmos, Kopral Lance Adoniyo Odisho dan Kopral Yoseph Odisho. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

PERANG DENGAN ISRAEL TAHUN 1948

Perang Anglo-Irak membuat RIrAF hancur. Beberapa skuadron pesawatnya hancur, sementara banyak perwira dan pilot tewas atau melarikan diri ke negara tetangga. Karena penghancuran pada seluruh inventaris pesawat Sekolah Terbang, pelatihan pilot baru dimulai kembali enam tahun setelah perang. Jam terbang juga dibatasi oleh otoritas Inggris, yang menyita tiga Gloster Gladiator yang tersisa pada bulan Maret 1942. Meskipun Irak berupaya membeli beberapa pesawat baru, satu-satunya yang siap disediakan Inggris adalah beberapa Gladiator yang sudah usang, dimana 30 unit dikirim antara bulan September 1942 dan Mei 1944, sebagian besar dalam keadaan sedemikian rupa sehingga hanya dapat digunakan sebagai sumber suku cadang. Dari tahun 1944 hingga 1947, 33 pesawat Avro Ansondiperoleh. Terlepas dari rintangan ini, RIrAF membantu menghentikan pemberontakan Barzani tahun 1943. Pada akhir tahun 1946, Irak mencapai kesepakatan dengan Inggris, di mana mereka akan mengembalikan Avro Anson mereka yang masih tersisa, dengan imbalan otorisasi untuk memesan 30 pesawat tempur Hawker Fury F.Mk.1 dan dua Fury T.Mk.52 versi latih dua kursi. Tahun berikutnya, tiga de Havilland Doves dan tiga Bristol Freighter dipesan. RIrAF bagaimanapun masih belum pulih dari kehancurannya selama Perang Inggris-Irak ketika bergabung dalam perang melawan negara Israel yang baru dibentuk. Perang Arab–Israel tahun 1948 itu adalah pengalaman tempur pertama pasukan Irak merdeka setelah Perang Dunia Kedua, dan perang pertamanya di luar wilayahnya. Bagdad bergabung dengan negara-negara Arab dalam menentang pembentukan tanah air nasional bangsa Yahudi di Palestina, dan pada Mei 1948 mengirim pasukan yang cukup besar untuk membantu menghancurkan negara Israel yang baru merdeka.

Empat pesawat ‘Baghdad Furies‘ bersiap untuk dikirim ke Irak. (Sumber: https://www.baesystems.com/)
Pasukan tentara Irak dipimpin oleh Taher Abdel Ghafour dan dengan Mobil Lapis Baja Humber di kota Jenin, 1948. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Angkatan Darat Irak saat itu memiliki 21.000 orang, yang terbagi dalam 12 brigade, dengan Angkatan Udara Kerajaan Irak memiliki kekuatan 100 pesawat (kebanyakan buatan Inggris). Irak awalnya mengirim 5.000 orang dalam empat brigade infanteri dan satu batalion lapis baja dengan personel pendukung. Irak lalu terus-menerus mengirim bala bantuan ke pasukan ekspedisinya, dengan jumlah maksimal 15–18.000 orang. Irak juga menyumbang 2.500 sukarelawan untuk Tentara Pembebasan Arab (ALA), pasukan non reguler yang dipimpin oleh mantan perwira Ottoman Fawzi al-Qawuqji. Sementara itu, Angkatan udara Irak hanya memainkan peran kecil dalam perang pertama melawan Israel. Dari tahun 1948 hingga 1949 Skuadron No. 7 mengoperasikan pembom pelatihan Avro Anson dari Transyordania dari mana mereka menerbangkan beberapa serangan terhadap Israel. Setelah serangkaian serangan membabi buta di ibu kota negara-negara Arab, yang diterbangkan oleh tiga pembom Boeing B-17 yang telah digunakan oleh Angkatan Udara Israel, pemerintah Transjordan dan Suriah menuntut agar Irak mengganti pesawat Anson mereka dengan pesawat tempur Hawker Fury. Namun, hanya enam Fury yang dikirim ke Damaskus, dan mereka tidak pernah bertemu dengan pesawat Israel mana pun. Selain itu, karena terbatasnya amunisi kanon yang dipasok oleh Inggris, dan tidak adanya bom, mereka hanya digunakan untuk misi pengintaian bersenjata. Pada akhirnya, empat pesawat yang tersisa diserahkan ke Mesir pada bulan Oktober 1948. Terlepas dari masalah awal ini, pada tahun 1951 RIrAF membeli 20 Fury F.Mk.1 lagi, dengan total 50 F.Mk.1 berkursi tunggal dan 2 berkursi dua kursi, yang melengkapi Skuadron No. 7. 

ERA REPUBLIK & BA’ATH

Pada bulan Januari 1951, Atase Militer Inggris menganggap bahwa kemampuan Angkatan Darat Irak ‘.. untuk mengobarkan perang modern melawan musuh kelas satu praktis nihil … dalam keadaannya saat ini, tentara Irak sama sekali tidak mampu untuk tetap menjadi kekuatan yang efektif untuk lebih dari sepuluh jam pertempuran … (mereka) harus digunakan dalam perang bekerja sama dengan pasukan yang efisiensi dan kuat ‘yang harus melakukan sebagian besar pertempuran. Pada bulan Mei 1955 Inggris akhirnya menarik diri dari Irak. Pihak berwenang Irak mengatakan selama negosiasi penarikan bahwa brigade infanteri bermotor akan dibentuk, berbasis di pangkalan bekas RAF di Habbaniya. Monarki Hashemite yang berkuasa kemudian hanya bertahan hingga tahun 1958, ketika digulingkan melalui kudeta oleh Angkatan Darat Irak, yang dikenal sebagai Revolusi 14 Juli. Raja Faisal II dari Irak bersama dengan anggota keluarga kerajaan dibunuh. Kudeta tersebut membawa Abd al-Karim Qasim ke tampuk kekuasaan. Dia lalu menarik diri dari Pakta Baghdad dan menjalin hubungan persahabatan dengan Uni Soviet dan menjauhkan diri dari Gamal Abdel Nasser Hussein dari Mesir. Ketika garnisun di Mosul memberontak terhadap kebijakan Qāsim, dia mengizinkan pemimpin Kurdi Barzānī kembali dari pengasingan di Uni Soviet untuk membantu menekan pemberontak pro-Nasser. Pembentukan Divisi Kelima baru, yang terdiri dari infanteri mekanis, diumumkan pada tanggal 6 Januari 1959, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Angkatan Darat, sementara Qāsim juga dipromosikan menjadi jenderal. Pada tahun 1961, pasukan Irak mengerahkan kekuatan dekat perbatasan Kuwait sehubungan dengan klaim Irak atas negara tetangga kecil itu, menyebabkan krisis dengan pasukan militer Inggris  yang dikerahkan ke Kuwait selama beberapa waktu. Qāsim kemudian terpaksa mundur dan pada Oktober 1963, Irak mengakui kedaulatan Kuwait. Qāsim lalu dibunuh pada bulan Februari 1963, ketika Partai Ba’ath mengambil alih kekuasaan di bawah pimpinan Jenderal Ahmed Hasan al-Bakr (perdana menteri) dan Kolonel Abdul Salam Arif (presiden). Sembilan bulan kemudian `Abd as-Salam Muhammad `Arif memimpin kudeta yang berhasil melawan pemerintahan Ba’ath. Pada tanggal 13 April 1966, Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam kecelakaan helikopter dan digantikan oleh saudaranya, Jenderal Abdul Rahman Arif. Setelah Perang Enam Hari tahun 1967, Partai Ba’ath merasa cukup kuat untuk merebut kembali kekuasaan (tanggal 17 Juli 1968). Ahmad Hasan al-Bakr menjadi presiden dan ketua Dewan Komando Revolusi (RCC). 

Parade militer Tentara Kerajaan Irak di Bagdad, 1957. Nampak pada gambar deretan tank Churchill Irak dengan latar belakang tank Centurion. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Sekelompok tentara Irak, tahun 1958. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Jenderal Abd al-Karim Qasim menjadi cover dalam majalan Time. Kudeta oleh Angkatan Darat Irak, yang dikenal sebagai Revolusi 14 Juli menaikkan Qasim ke tampuk kekuasaan Irak. (Sumber: https://content.time.com/)

Pada awal tahun 1950-an, berkat peningkatan pendapatan dari ekspor minyak dan pertanian, RIrAF diperlengkapi kembali secara menyeluruh. Pada tahun 1951, masing-masing 15 pesawat de Havilland DHC-1 Chipmunk asal Kanada, Percival Provost dan North American T-6 dibeli untuk menggantikan pesawat latih de Havilland Tiger Moth yang sudah usang. Dengan pesawat-pesawat baru ini, Sekolah Penerbangan RIrAF diperluas menjadi Sekolah Tinggi Angkatan Udara. Kurikulum pelatihan ditingkatkan, dan jumlah siswa yang lulus setiap tahun ditingkatkan. Hal ini memungkinkan untuk membentuk dasar yang kuat bagi pertumbuhan jangka panjang RIrAF. Juga pada tahun 1951, RIrAF membeli helikopter pertamanya: tiga Westland Dragonflies. Jet tempur pertama RIrAF adalah de Havilland Vampire, terdiri dari: 12 pesawat tempur FB.Mk.52 dan 10 pesawat latih T.Mk.55 dikirim dari tahun 1953 hingga 1955. Jumlah ini kemudian ditambah dengan 20 de Havilland Venom, yang dikirim antara tahun 1954 dan 1956. Setelah pembentukan Pakta Baghdad, Amerika Serikat menyumbangkan sedikitnya enam pesawat Stinson L-5 Sentinel dan tujuh Cessna O-1 Bird Dog kepada RIrAF. RAF Inggris kemudian juga mengosongkan Pangkalan Udara Shaibah, yang kemudian diambil alih RIrAF dan dinamai sebagai Pangkalan Udara Wahda. Pada tahun 1957, enam Hawker Hunter F.Mk.6 dikirimkan. Tahun berikutnya, Amerika Serikat setuju untuk memberikan 36 jet tempur F-86F Sabre secara gratis.

FB.52 De Havilland Vampire Angkatan Udara Irak, sebelum dikirimkan pada tahun 1953. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Namun, rencana ini tidak pernah terwujud. Setelah Revolusi 14 Juli 1958, yang mengakibatkan berakhirnya monarki di Irak, pengaruh Partai Komunis Irak tumbuh secara signifikan. Komandan pertama Angkatan Udara Irak (awalan “Kerajaan” dihilangkan setelah revolusi), Jalal Jaffar al-Awqati, adalah seorang komunis yang blak-blakan, dan mendorong Perdana Menteri Abd al-Karim Qasim untuk meningkatkan hubungan antara Irak dan Uni Soviet. Soviet kemudian bereaksi dengan cepat, dan pada musim gugur 1958, serangkaian kontrak senjata disahkan antara Irak dan Uni Soviet dan Cekoslowakia. Kontrak-kontrak ini mengatur pengiriman pesawat latih MiG-15UTI, pesawat tempur MiG-17F, pesawat pengebom Ilyushin Il-28, serta pesawat angkut Antonov An-2 dan An-12. Pesawat pertama tiba di Irak pada Januari 1959. Selama akhir 1960-an dan atau awal 1970-an, MiG-17 tambahan mungkin telah dibeli dan kemudian dikirim ke Suriah atau Mesir. Tom Cooper dan Stefan Kuhn mendaftarkan skuadron-skuadron angkatan udara pada tahun 1961 sebagai berikut:

Pilot-pilot Irak disamping jet tempur MiG-19 Farmer. IrAF menerima sekitar 30 MiG-19S, 10 MiG-19P, dan 10 MiG-19PM pada tahun 1959 dan 1960. Namun, hanya 16 MiG-19S yang pernah digunakan; pesawat lainnya tidak diterima karena kondisi teknisnya yang buruk, dan tetap disimpan di Basra. Setelah Revolusi 14 Juli 1958, militer Irak mulai condong untuk membeli peralatan dari Soviet. (Sumber: http://iraqimilitary.org/)
Pembom strategis Tu-16 Badger AU Irak. (Sumber: http://iraqimilitary.org/)
MiG-21F-13 — nomor seri 534 — seperti yang diperlihatkan kepada pers internasional beberapa minggu setelah Redfa menerbangkannya ke Israel pada tanggal 16 Agustus 1966. (Sumber: https://medium.com/)

IrAF menerima sekitar 30 MiG-19S, 10 MiG-19P, dan 10 MiG-19PM pada tahun 1959 dan 1960. Namun, hanya 16 MiG-19S yang pernah digunakan; pesawat lainnya tidak diterima karena kondisi teknisnya yang buruk, dan tetap disimpan di Basra. MiG-19S yang diterima dioperasikan dari Pangkalan Udara Rasheed oleh Skuadron ke-9. Namun, layanan mereka di Irak tidak berlangsung lama, dimana pesawat-pesawat yang masih ada kemudian disumbangkan ke Mesir sekitar tahun 1964. Irak juga tercatat menerima pesawat tempur MiG-21F-13 dan pengebom Tupolev Tu-16 mulai tahun 1962. Kudeta Irak pada bulan November 1963 lalu menyelaraskan kembali Irak dengan kekuatan NATO, dan sebagai hasilnya, lebih banyak Hawker Hunter bekas yang dikirim ke IQAF. Impor pesawat dari negara-negara Komunis Eropa Timur ditangguhkan hingga tahun 1966, ketika pesawat pencegat MiG-21PF dibeli dari Uni Soviet. Pada tahun 1966, Kapten Munir Redfa membelot dengan MiG-21F-13 Irak ke Israel yang kemudian memberikannya kepada Amerika Serikat untuk dievaluasi dengan nama sandi “Have Donut“. Di sisi lain, sama seperti AF AD dan AU-nya, setelah Revolusi 14 Juli 1958, Angkatan Laut Irak mulai berkembang. Secara operasional mereka berbasis di pelabuhan Umm Qasr, Arabic Gulf Academy for Sea Studies kemudian didirikan di Basra, yang menawarkan gelar sarjana dalam studi perang dan teknik angkatan laut.

PERANG 6 HARI & YOM KIPPUR

Sementara itu, selama Perang Enam Hari, Divisi Lapis Baja ke-3 Irak dikerahkan di wilayah Yordania timur. Namun, serangan Israel terhadap Tepi Barat terjadi begitu cepat sehingga pasukan Irak tidak dapat mengatur dirinya sendiri dan mencapai garis depan sebelum Yordania menghentikan pertempuran. Serangan udara Israel yang berulang juga menahan mereka sehingga pada saat mereka mencapai Sungai Yordan, seluruh Tepi Barat sudah berada di tangan Israel. Selama Kampanye di Yordania, sepuluh orang Irak terbunuh dan 30 orang Irak terluka, terutama karena pertempuran utama terjadi di Yerusalem. Pertempuran juga berkecamuk di daerah lain di Tepi Barat, tempat pasukan komando Irak dan tentara Yordania mempertahankan posisi mereka. Selama Perang Enam Hari, IrAF membom beberapa pangkalan udara dan sasaran darat. Pada tanggal 6 Juni 1967, sekelompok empat pembom Tupolev Tu-16 dikirim untuk menyerang Pangkalan Udara Ramat David. Dua di antaranya harus kembali karena kesulitan teknis, dan satu lagi ditembak jatuh oleh orang-orang Israel, yang menewaskan lima awaknya. IrAF juga diketahui memainkan peran penting dalam mendukung pasukan Yordania. Angkatan Udara Irak tercatat memiliki satu pilot Pakistan, Saiful Azam, yang mengklaim dua kemenangan udara terhadap pesawat-pesawat Israel di atas pangkalan udara H-3 dengan menggunakan jet tempur Hawker Hunter. Pilot Hunter Irak secara resmi dikreditkan karena menembak jatuh empat pesawat Israel lagi, dan satu lagi dikreditkan ke senjata antipesawat. Berkat Hunter dan MiG-21-nya, IrAF berhasil mempertahankan pangkalannya di Irak barat dari serangan tambahan AU Israel.

Sebuah lukisan karya seniman Rehan Siraj menggambarkan Saiful Azam dari Angkatan Udara Pakistan yang menembak jatuh sebuah pembom tempur Israel di Irak pada tahun 1967. (Sumber: https://militaryhistorynow.com/)

Sementara itu, Barzānī dan orang-orang Kurdi yang memulai pemberontakan pada tahun 1961 masih menimbulkan masalah pada tahun 1969. Sekretaris jenderal partai Ba’ath, Saddam Hussein, kemudian diberi tanggung jawab untuk mencari solusi. Jelas bahwa tidak mungkin mengalahkan Kurdi dengan cara militer dan pada tahun 1970 kesepakatan politik dicapai antara pemberontak dan pemerintah Irak. Sepanjang dekade 1970-an, AU Irak tumbuh dalam ukuran dan kemampuannya, karena Perjanjian 20 tahun persahabatan dengan Uni Soviet yang ditandatangani pada tahun 1971 membawa sejumlah besar pesawat tempur yang relatif modern ke angkatan udara. Pemerintah Irak bagaimanapun tidak pernah puas hanya dengan Soviet yang memasok mereka, dan sementara mereka membeli pesawat tempur modern seperti MiG-21 dan Sukhoi Su-20, mereka mulai membujuk Prancis untuk menjual pesawat tempur Mirage F1 (yang kemudian dibeli) dan kemudian Jaguar (yang akhirnya tidak pernah dipesan). Pada tahun 1973, Irak diketahui mengirim pasukan ekspedisi sejumlah 60.000 orang ke front Suriah selama Perang Yom Kippur. Mereka terdiri dari Divisi Lapis Baja ke-3 dan ke-6, dua brigade infanteri, dua belas batalyon artileri, dan satu brigade pasukan khusus. Kedua divisi lapis baja itu, menurut Kenneth Pollack, ‘tidak diragukan lagi merupakan formasi terbaik Angkatan Darat Irak.’ Namun selama operasi mereka di Dataran Tinggi Golan, kinerja mereka sangat buruk di hampir setiap kategori efektivitas militer. Intelijen militer, inisiatif, dan tindakan independen unit kecil hampir tidak ada. 

Su-22M4 AU Irak. Sepanjang dekade 1970-an, AU Irak tumbuh dalam ukuran dan kemampuannya, karena Perjanjian 20 tahun persahabatan dengan Uni Soviet yang ditandatangani pada tahun 1971 membawa sejumlah besar pesawat tempur yang relatif modern ke angkatan udara. (Sumber: http://iraqimilitary.org/)
Pembom supersonik Tu-22 Blinder AU Irak. (Sumber: https://twitter.com/)

Sebelum Perang Yom Kippur, AU Irak tercatat mengirim 12 Hawker Hunter ke Mesir, dimana mereka tinggal untuk berperang; dan hanya 1 yang selamat setelah perang. IQAF pertama kali menerima Sukhoi Su-7 mereka pada tahun 1968; mereka awalnya ditempatkan di Suriah. Pesawat kemudian dikerahkan ke Suriah menderita kerugian besar karena pesawat Israel dan SAM (Rudal Anti Pesawat). Selain itu, mereka terkena tembakan salah sasaran dari SAM Suriah. Sebuah serangan terencana pada tanggal 8 Oktober dibatalkan karena kerugian besar ini serta ketidaksepakatan dengan pemerintah Suriah. Akhirnya, semua pesawat selain beberapa Sukhoi Su-7 ditarik dari pangkalan di Suriah. Selama perang Oktober 1973, serangan udara pertama terhadap pangkalan Israel di Sinai terdiri dari pesawat-pesawat Irak. Mereka menyerang situs artileri dan tank Israel, dan mereka juga mengklaim telah menghancurkan 21 pesawat tempur Israel dalam pertempuran udara. Tak lama setelah perang, IQAF memesan 14 pembom Tupolev Tu-22B dan dua Tu-22U dari Uni Soviet serta rudal Kh-22 Raduga dan pada tahun 1975, 10 Tu-22B dan 2 Tu-22U diketahui dikirim ke Irak. Setelah perang, Irak memulai pembangunan militer besar-besaran. Personel aktifnya berlipat ganda, begitu pula jumlah divisi, dari enam menjadi dua belas, empat di antaranya sekarang berlapis baja dan dua divisi infanteri mekanis. Tahun 1970-an juga menyaksikan serangkaian pemberontakan Kurdi yang sengit di bagian utara negara itu melawan Irak. Dengan bantuan Shah Iran, orang-orang Kurdi menerima senjata dan perbekalan termasuk sistem SAM modern serta beberapa unit tentara Iran. IQAF menderita banyak korban saat melawan orang-orang Kurdi, jadi mereka mulai menggunakan pembom Tu-22 baru mereka dalam pertempuran melawan mereka (menjatuhkan bom 3 ton dari ketinggian tinggi untuk menghindari baterai SAM HAWK Iran yang telah dipasang Shah di dekat perbatasan Irak untuk melindungi Pemberontak Kurdi) karena mereka dapat menghindari sebagian SAM yang karena pengeboman mereka yang lebih tinggi dan sistem penanggulangan elektronik yang lebih baik. Selama pertengahan 1970-an, ketegangan dengan Iran tinggi tetapi kemudian diselesaikan dengan Perjanjian Algiers. 

PERANG IRAN VS IRAK

Saddam Hussein, yang kemudian berkuasa ingin membangun kekuatan tempur melawan Iran segera setelah pecahnya Perang Iran-Irak dengan menggandakan ukuran Angkatan Darat Irak. Pada tahun 1981, Pollack menulis jumlahnya 200.000 tentara yang terbagi dalam 12 divisi dan 3 brigade independen, tetapi pada tahun 1985, jumlahnya mencapai 500.000 orang dalam 23 divisi dan sembilan brigade. Perkiraan CIA di bulan April 1983 menunjukkan bahwa Irak pada saat itu memiliki lima Divisi lapis baja; tujuh Divisi infanteri; dan dua divisi infanteri mekanis dengan sepuluh lagi sedang dibentuk lagi (“beberapa mungkin sudah beroperasi”). Divisi baru pertama dibentuk pada tahun 1981 ketika Divisi Penjaga Perbatasan ke-11 dan ke-12 diubah menjadi formasi infanteri dan Divisi Infanteri ke-14 dibentuk. Namun peningkatan jumlah divisi menyesatkan, karena selama perang divisi Irak meninggalkan organisasi standar dengan brigade permanen (‘organik’) yang ditugaskan di setiap divisi. Alih-alih, markas divisi diberi misi atau sektor dan kemudian menugaskan brigade untuk melaksanakan tugas tersebut – hingga delapan hingga sepuluh brigade pada beberapa kesempatan. Perang itu memakan korban jiwa dan kerusakan ekonomi yang besar – setengah juta tentara Irak dan Iran serta warga sipil diyakini telah tewas dalam perang dengan lebih banyak lagi yang terluka dan terluka – tetapi tidak membawa perbaikan atau perubahan perbatasan. Konflik tersebut sering dibandingkan dengan Perang Dunia I, karena taktik yang digunakan sangat mirip dengan perang tahun 1914–1918, termasuk perang parit skala besar, pos senapan mesin berawak, serangan bayonet, penggunaan kawat berduri melintasi parit dan di tanah tak bertuan, serangan gelombang manusia oleh Iran, dan penggunaan senjata kimia Irak yang ekstensif (seperti gas mustard) terhadap pasukan Iran dan warga sipil serta  orang-orang Kurdi Irak.

Tentara Irak di dekat Khorramshahr pada Oktober 1980. Irak memulai Perang Iran-Irak dengan keyakinan bahwa tank-tank baru mereka dari Blok Soviet akan memberi mereka kemenangan. Orang-orang Irak saat itu dapat memobilisasi hingga 12 divisi mekanis, dan semangat tempurnya semakin tinggi. (Sumber: https://edition.cnn.com/)
Tank T-72 Ural Garda Republik Irak selama perang Iran-Irak 1980-1988. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Irak memulai Perang Iran-Irak dengan keyakinan bahwa tank-tank baru mereka dari Blok Soviet akan memberi mereka kemenangan. Orang-orang Irak saat itu dapat memobilisasi hingga 12 divisi mekanis, dan semangat tempurnya semakin tinggi. Namun, perang tersebut menyebabkan pertempuran maju-mundur selama delapan tahun, dengan kerugian besar di kedua belah pihak. Lion of Babylon (atau Asad Babil) adalah nama yang diberikan untuk varian tank T-72 Soviet yang diproduksi secara lokal pada akhir 1980-an. Nama ini terkadang salah digunakan untuk merujuk pada tank T-72 standar dalam dinas Irak, yang diimpor dari Uni Soviet dan Polandia. Pada tahun 1986 sebuah perusahaan Jerman Barat membangun sebuah pabrik di Taji untuk memproduksi baja untuk keperluan militer. Pabrik itu terdaftar untuk kegiatan retrofit dan membangun kembali tank yang sudah bertugas di Angkatan Darat Irak, seperti tipe T-54/55, T-62, dan beberapa ratus T-72 dari Soviet dan Polandia, yang diimpor selama tahap awal perang dengan Iran. Pada akhir tahun 1980-an dibuat rencana untuk memproduksi tank T-72M1 baru di Taji. Tank-tank ini akan dirakit dari kit knockdown yang dikirim oleh perusahaan milik negara Bumar-Łabędy dari Polandia. Perakitan akan dimulai pada tahun 1989 dan tank ini akan diberi nama Asad Babil (Singa Babilonia). Menurut pejabat Polandia tidak satu pun T-72M1 yang selesai, meskipun pada tahun 1988 sebuah T-72M ditampilkan pada pameran senjata Irak, yang diklaim diproduksi secara lokal. Perakitan lokal T-72 dimulai di Taji pada awal tahun 1989 seperti yang dikatakan oleh pejabat Irak. Namun, sejumlah pejabat Irak seperti Letnan Jenderal Amer Rashid tidak menyukai gagasan untuk bergantung pada kit knockdown yang dipasok oleh negara lain dan malah mendorong produksi sepenuhnya tank T-72M1. Selama tahun 1980-an, China diketahui menjual ratusan MBT Tipe 59 dan Tipe 69 ke Irak. Menjelang Perang Teluk Persia tahun 1990 dan 1991, analis barat mengklaim bahwa Irak telah meningkatkan beberapa tank Tipe 69 dengan meriam kaliber 105 mm, mortir 60 mm, dan meriam kaliber 125 mm dengan sistem pemuatan peluru otomatis. Semuanya diperkuat dengan pelindung lapisan depan yang dilas pada pelat glacis. Semua versi ini dikenal sebagai Tipe 69-QM. Kuantitas persenjataan besar kemudian memberi Irak keunggulan yang jelas atas Iran pada tahun 1987. Irak memiliki keunggulan lebih dari empat banding satu dalam tank (4.500 hingga 1.000); empat lawan satu di kendaraan lapis baja (4.000 hingga 1.000); dan dua banding satu dalam artileri dan antipesawat (7.330 hingga 3.000).

Tank Type 69-QM Irak. Kuantitas persenjataan besar kemudian memberi Irak keunggulan yang jelas atas Iran pada tahun 1987. Irak memiliki keunggulan lebih dari empat banding satu dalam tank (4.500 hingga 1.000); empat lawan satu di kendaraan lapis baja (4.000 hingga 1.000); dan dua banding satu dalam artileri dan antipesawat (7.330 hingga 3.000). (Sumber: http://fighting-vehicles.com/)

Terlepas dari keunggulan kuantitatif dan kualitatif ini, tentara Irak pada akhir tahun 1987 tidak mempertaruhkan kekuatannya dalam pertempuran terakhir dan menentukan untuk memenangkan perang. Kegagalan militer Irak terutama disebabkan oleh kepemimpinan yang buruk dan struktur komando yang terlalu kaku. Kepemimpinan yang rusak terlihat jelas dalam kurangnya perintah yang jelas dan tanggapan yang buruk dari tentara dalam pendudukan wilayah Susangerd. Pada bulan Oktober 1980, unit lapis baja dua kali maju dan mundur dari kota, dan kemudian dalam operasi yang sama, tentara Irak meninggalkan posisi strategis di dekat Dezful. Kontrol yang kaku terhadap perwira junior dan bintara (NCO) menggagalkan inisiatif mereka dan mungkin menjadi alasan tingginya angka korban di infanteri, di mana inisiatif dan spontanitas dalam pengambilan keputusan dapat menjadi hal yang sangat penting. Struktur komando dilaporkan bahkan lebih kaku dan lamban di detasemen Tentara Rakyat, di mana komandan politik secara rutin membuat keputusan militer. Setelah kekalahan militer Irak pada tahun 1982, seluruh rantai komando mengalami penurunan moral. Dalam beberapa kesempatan, muncul tanda-tanda pemberontakan menentang perang. Menurut laporan pembangkang Irak yang tidak diverifikasi, jumlah pembelot bisa mencapai 100.000. Banyak tentara menolak berperang di wilayah Kurdistan, dan lebih banyak lagi yang bergabung dengan gerakan perlawanan bersenjata Kurdi.

Komandan Irak membahas strategi di medan perang, 1986. Terlepas dari keunggulan kuantitatif dan kualitatif ini, tentara Irak pada akhir tahun 1987 tidak mempertaruhkan kekuatannya dalam pertempuran terakhir dan menentukan untuk memenangkan perang. Kegagalan militer Irak terutama disebabkan oleh kepemimpinan yang buruk dan struktur komando yang terlalu kaku. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu, antara musim gugur 1980 dan musim panas 1990, jumlah pesawat di AU Irak meningkat dari 332 menjadi lebih dari 1000. Sebelum invasi Irak ke Iran, IQAF mengharapkan untuk bisa menerima 16 jet tempur Dassault Mirage F.1EQ modern dari Prancis dan juga sedang dalam tahapan menerima total 240 pesawat dan helikopter baru dari sekutu Eropa Timur mereka. Ketika Irak menginvasi Iran pada akhir September 1980, Soviet dan Prancis menghentikan pengiriman pesawat tambahan pesawat ke Irak tetapi melanjutkan pengiriman beberapa bulan kemudian. Sebaliknya, IQAF harus bertarung dengan pesawat Su-20, MiG-21 Fishbed, dan MiG-23 Flogger yang sudah usang. MiG-21 adalah pesawat pencegat utama pasukan sementara MiG-23 mereka digunakan untuk menjalankan misi serangan darat dan intersepsi. Di sisi lain, Su-20 adalah pesawat serang darat murni. Pada hari pertama perang, formasi pesawat Tu-16/22, Su-20, MiG-23 dan MiG-21, dengan total 166–192 pesawat, melakukan serangan udara mendadak di 10 pangkalan udara Angkatan Udara Iran, yang berhasil dalam menghancurkan sejumlah besar pesawat pengebom tempur di darat, tetapi tidak cukup untuk melumpuhkan Angkatan Udara Iran. Sebagai pembalasan atas serangan udara ini, Angkatan Udara Iran melancarkan Operasi Kaman 99 sehari setelah perang diluncurkan. Selama akhir tahun 1981, segera terlihat jelas bahwa Mirage F1 yang modern dan MiG-25 Soviet efektif dipakai untuk melawan Iran. IQAF mulai menggunakan persenjataan baru mereka dari Blok Timur, yang meliputi pengebom Tu-22KD/KDP, yang dilengkapi dengan rudal udara-ke-darat Kh-22M/MP, MiG-25 yang dilengkapi dengan rudal udara-ke-darat Kh-23 serta rudal Kh-25 dan rudal anti-radar Kh-58 dan juga MiG-23BN, yang dilengkapi dengan rudal Kh-29L/T. Pada tahun 1983, untuk memuaskan orang-orang Irak yang menunggu Mirage F1EQ-5 berkemampuan menggotong rudal Exocet, Prancis menyewakan pesawat-pesawat Super Etendard ke Irak. Armada tanker minyak Iran dan kapal perang kemudian mengalami kerusakan parah akibat 5 pesawat Super Etendard yang dilengkapi dengan rudal anti-kapal Exocet. Salah satu pesawat ini hilang selama 20 bulan penggunaan tempurnya dan lainnya 4 dikembalikan ke Aeronavale pada tahun 1985.

Saddam dan pilot-pilot Irak berfoto disamping MiG-23. (Sumber: https://mikoyanmig29.wixsite.com/)
Dassault Super Etendard Angkatan Udara Irak. Pada tahun 1983, untuk memuaskan orang-orang Irak yang menunggu Mirage F1EQ-5 berkemampuan menggotong rudal Exocet, Prancis menyewakan pesawat-pesawat Super Etendard ke Irak. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

IQAF umumnya memainkan peran utama dalam perang melawan Iran dengan menyerang pangkalan udara, infrastruktur militer, infrastruktur industri seperti pabrik, pembangkit listrik dan fasilitas minyak, serta secara sistematis membom daerah perkotaan di Teheran dan kota-kota besar Iran lainnya (kemudian dikenal sebagai sebagai Perang Kota). Pada akhir perang, bersama dengan Angkatan Darat dan pasukan operasi khusus, IQAF memainkan peran penting dalam mengarahkan serangan militer terakhir Iran pada saat itu, peran Angkatan Udara Iran yang dulunya lebih unggul telah jauh melemah, dan dipaksa melakukan tugas-tugas selektif seperti mempertahankan terminal minyak vital Iran). Angkatan udara Irak juga berhasil menyerang kapal tanker dan kapal lain yang pergi ke dan dari Iran, dengan menggunakan rudal Exocet dan Mirage F1 mereka. Pada tanggal 17 Mei 1987, sebuah F1 Irak secara tidak sengaja meluncurkan dua rudal anti-kapal Exocet ke fregat Amerika Serikat USS Stark, yang melumpuhkan kapal tersebut dan menewaskan 37 pelaut. Pada tahun 1987, Angkatan Udara Irak memiliki infrastruktur militer modern yang besar, dengan pusat logistik udara modern, depot udara, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan, dan beberapa kemampuan produksi. Pada saat itu angkatan udaranya terdiri dari 40.000 orang, di antaranya sekitar 10.000 adalah bagian dari Komando Pertahanan Udara. Pangkalan utamanya berada di Tammuz (Al Taqqadum), Al Bakr (Balad), Al Qadisiya (Al Asad), Pangkalan Udara Ali, Pangkalan Udara Saddam (Pangkalan Udara Qayarrah Barat) dan pangkalan utama lainnya termasuk Basra. IQAF beroperasi dari 24 pangkalan operasi utama dan 30 pangkalan lainnya, dengan 600 tempat perlindungan pesawat termasuk tempat perlindungan yang diperkeras anti nuklir, dengan beberapa jalur landasan di beberapa landasan pacu. Irak juga memiliki 123 lapangan terbang yang lebih kecil dari berbagai jenis (untuk cadangan dan lapangan udara helikopter). 

Mirage F-1 AU Irak. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Flight Lieutenant Mohommed Rayyan. Mohammed Rayyan, dijuluki “Sky Falcon,” adalah salah satu pilot terbaik Irak dalam perang melawan Iran. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Tidak seperti banyak negara lain dengan angkatan udara modern, Irak terlibat dalam perang yang intens dan berlarut-larut. Konflik selama 8 tahun dengan Iran memberi Angkatan Udara Irak kesempatan untuk menelurkan beberapa pilot pesawat tempur yang tangguh dan teruji pertempuran. Meskipun informasi tentang IQAF, sulit diakses, dua pilot diketahui menonjol sebagai petempur terbaik Irak. Mohammed Rayyan, dijuluki “Sky Falcon,” yang menerbangkan MiG-21MF pada tahun 1980–1981, dan mengklaim dua kemenangan udara terkonfirmasi terhadap F-5E Iran pada 1980. Dengan pangkat Kapten, Rayyan memenuhi syarat menerbangkan MiG-25P pada akhir tahun 1981 dan melanjutkan aksinya untuk mengklaim delapan kemenangan lagi, dengan dua di antaranya dikonfirmasi, sebelum ditembak jatuh dan dibunuh oleh jet tempur F-14 IRIAF pada tahun 1986. Sementara itu, Kapten Omar Goben adalah pilot pesawat tempur sukses lainnya. Saat menerbangkan MiG-21 dia mencetak kemenangan di udara melawan dua F-5E Tiger II dan satu F-4E Phantom II pada tahun 1980. Dia kemudian dipindahkan untuk menerbangkan MiG-23 dan selamat dari perang, tetapi terbunuh pada bulan Januari 1991 saat menerbangkan MiG-29 melawan F-15C Amerika. Kapten Salah I. juga seorang pilot terkemuka selama periode ini, yang mencetak double kill melawan dua F-4E pada tanggal 2 Desember 1981 saat dia menjadi bagian dari Skuadron ke-79. Sementara itu pada tahun 1988, Angkatan Laut Irak kekuatannya bertumbuh menjadi 5.000 personel, tetapi memainkan peran yang relatif kecil selama Perang Iran-Irak 1980–1988. Sebagian besar Angkatan Laut Irak dihancurkan selama Operasi Pearl. Antara tahun 1977 dan 1987, Angkatan Laut Irak menerima delapan kapal rudal kelas Osa, yang dipersenjatai dengan rudal anti-kapal Styx, dari Uni Soviet. Mereka kemudian juga membeli empat fregat kelas Lupo dan enam korvet kelas Assad dari Italia, meskipun kapal-kapal ini tidak pernah dikirim karena sanksi internasional setelah invasi Irak ke Kuwait pada tahun 1990.

Kapal rudal kelas Osa AL Irak. Antara tahun 1977 dan 1987, Angkatan Laut Irak menerima delapan kapal rudal kelas Osa, yang dipersenjatai dengan rudal anti-kapal Styx, dari Uni Soviet. (Sumber: http://iraqimilitary.org/)

MILITER TERBESAR KEEMPAT DI DUNIA & PERANG TELUK 1991

Tentara Irak saat melakukan invasi ke Kuwait adalah kekuatan militer yang berpengalaman, sangat disiplin dan dilengkapi dengan baik – bahkan mampu melakukan serangan yang kompleks dengan helikopter seperti serangan komando yang merebut istana emir di kota Kuwait jauh sebelum tank-tank berat tiba untuk mengamankan ibukota yang direbutnya. Selain itu, Irak—setidaknya menurut standar negara Dunia Ketiga—telah mengembangkan industri amunisi yang tangguh, bahkan mengembangkan perangkat keras militer yang relatif canggih seperti rudal balistik, radar udara, serta senjata kimia dan nuklir. Namun, mereka ada beberapa kelemahannya. Staf senior militer Irak penuh dengan orang-orang tidak kompeten yang dipilih bukan karena kecakapan militer tetapi karena kesetiaan mereka kepada Saddam Hussein, menurut analis Amerika. Hanya sekitar sepertiga dari tentara besar yang berpengalaman ini, adalah pasukan tempur garis depan. Dan terlepas dari keahlian komandan lapangan veterannya dalam mempertahankan medan tempurnya, mereka dianggap kurang mengesankan saat ditugaskan untuk menyerang, dan berpotensi tidak kompeten dalam melakukan manuver pasukan dan tank dalam jumlah besar saat dihadapkan pada hal yang tidak terduga. Angkatan udara Irak besar tetapi lemah, pertahanan udaranya primitif menurut standar Barat, sementara angkatan lautnya hampir tidak ada. Pada bulan Agustus 1990, Irak memiliki angkatan udara terbesar di kawasan bahkan setelah Perang Iran-Irak yang panjang. Angkatan udara Irak saat itu memiliki 934 pesawat berkemampuan tempur (termasuk pesawat latih) dalam inventarisnya. Kekuatan ini termasuk termasuk helikopter buatan Soviet dan 500 atau lebih pesawat tempur dan pembom asal Prancis dan Soviet, yang bisa dipasang untuk membawa bom dan rudal termasuk rudal anti-kapal Exocet buatan Prancis. Lebih dari 500 pesawat tempur Irak ini dibentuk menjadi dua skuadron pembom, sebelas skuadron serang darat, lima skuadron pencegat, dan satu skuadron kontra-pemberontakan yang masing-masing terdiri dari 10 hingga 30 pesawat. Pesawat pendukung termasuk dua skuadron angkut. Sebanyak sepuluh skuadron helikopter juga beroperasi, meskipun ini menjadi bagian dari Korps Udara Angkatan Darat. Komando Pertahanan Udara Irak menggunakan MiG-25, MiG-21, dan berbagai pesawat pencegat Mirage serta mengawaki berbagai rudal permukaan ke udara (SAM) yang cukup banyak.

MiG-25 AU Irak. Pada bulan Agustus 1990, Irak memiliki angkatan udara terbesar di kawasan bahkan setelah Perang Iran-Irak yang panjang. Angkatan udara Irak saat itu memiliki 934 pesawat berkemampuan tempur (termasuk pesawat latih) dalam inventarisnya. (Sumber: https://www.hyperscale.com/)
Kekuatan AU Irak dalam Perang Teluk 1991. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Secara teoritis, IQAF seharusnya ‘semakin tangguh’ akibat konflik dengan Iran, tetapi pembersihan kepemimpinan IQAF pascaperang dan personel lainnya menghancurkan angkatan udara, karena rezim Irak berjuang untuk mengembalikannya di bawah kendali penuh. Pelatihan ada dibawa ke minimum selama seluruh tahun 1990. Dalam hal jumlah pesawat tempur, Angkatan Udara Irak adalah yang terbesar di Timur Tengah pada bulan Agustus 1990. Namun, kualitas pesawat dan awak pesawat sangat tidak merata. Efektivitasnya dibatasi oleh doktrin yang konservatif dan keterbatasan sistem pesawat. Sementara pilot Irak melakukan beberapa serangan yang mengesankan dan relatif kompleks dengan pesawat Mirage F-1, aksinya dalam pertempuran udara ke udara tidak mengesankan. Penguncian oleh pilot pesawat-pesawat tempur Iran umumnya akan menyebabkan pilot-pilot Irak yang melakukan misi udara kontra ofensif membatalkan misi mereka. Bagaimana bertahan hidup mendominasi taktik mereka, bahkan ketika peluangnya sangat menguntungkan mereka. Pertarungan udara ditandai dengan peluncuran rudal berkecepatan tinggi dengan jangkauan maksimum, dan kurangnya manuver yang agresif. Saddam terbukti enggan mengerahkan angkatan udara untuk bertempur, lebih memilih menyimpannya sebagai cadangan untuk pertahanan terakhir Baghdad dan rezimnya. Angkatan Udara Irak telah digunakan paling efektif dalam perang dengan Iran melawan sasaran ekonomi seperti fasilitas minyak dan kapal tanker. Selama perang, taktik berkembang dari pengeboman di ketinggian tinggi menjadi serangan di ketinggian rendah dengan amunisi berpemandu presisi (PGM). Irak tidak hanya mengimpor bom cluster dan napalm, tetapi juga telah memperoleh teknologi untuk memproduksi senjata ini. Pilot-pilotnya menjadi mahir dalam mengirimkan amunisi konvensional dan bahan kimia selama serangan terakhir tahun 1988. Penggunaan awal senjata kimia oleh Angkatan Udara Irak terbukti tidak efektif karena tekniknya yang buruk dan cuaca yang tidak mendukung. Irak awalnya menggunakan taktik yang sama dengan teknik pelepasan senjata konvensional dan tidak memperhitungkan faktor medan dan meteorologi, termasuk kecepatan dan arah angin, kelembapan, dan suhu. Juga, pilotnya mengirimkan persenjataan kimia pada ketinggian yang terlalu tinggi untuk menjadi efektif, atau terlalu rendah untuk bahan bakar bom berfungsi dengan baik, sehingga mencegah bom meledak. Orang Irak kemudian memperbaiki masalah ini dengan meningkatkan teknik pengiriman dan dengan menggunakan fuze impact.

Bom dengan gas saraf milik Irak. (Sumber: https://www.bbc.com/)

Pesawat-pesawat Irak dikerahkan di lebih dari 24 lapangan terbang utama dan 30 lapangan udara darurat di seluruh negeri. Pangkalan operasi utama dibangun dengan baik, dibangun untuk menahan serangan konvensional. Orang-orang Irak dapat melindungi hampir semua pesawat mereka di tempat perlindungan yang diperkeras, beberapa dibangun oleh kontraktor Yugoslavia dengan standar yang diyakini mampu menahan dampak serangan. AU Irak mempolakan jaringan pertahanan udaranya berdasarkan praktik standar Soviet, dengan sistem pertahanan udara yang sangat terhubung, redundan, dan berlapis yang memadukan radar, fasilitas komando dan kontrol yang dikeraskan dan dikubur di dalam tanah, rudal permukaan-ke-udara, pencegat, dan artileri antipesawat. Selama Perang Teluk Persia 1991, Angkatan Udara Irak dihancurkan oleh kekuatan udara koalisi, terutama kekuatan udara Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Sebagian besar lapangan terbang dihantam dengan keras, dan dalam pertempuran udara, Irak hanya mampu mendapatkan empat kemenangan udara terkonfirmasi atas lawannya (dan merusak empat lainnya serta satu kemungkinan udara lainnya), sementara mengalami 23 pesawatnya ditembak jatuh. Semua pesawat pembom Tupolev Tu-22 yang sudah tidak beroperasi (enam) yang dimiliki Irak dihancurkan oleh pengeboman pada awal Operasi Badai Gurun. Namun, pesawat-pesawat tersebut telah ditarik dari inventaris Angkatan Udara Irak dan hanya digunakan sebagai umpan dan tidak muncul dalam daftar operasional pesawat yang hilang dari Angkatan Udara Irak (seperti semua pesawat tua lainnya yang hanya digunakan untuk menangkis serangan terhadap aset-aset operasional).

Pilot MiG-25 Angkatan Udara Irak, Lt Zuhair Dawoud yang menembak jatuh F/A-18C Hornet Lt Cdr Scott “Spike” Speicher dalam Perang Teluk 1991. (Sumber: https://twitter.com/)

Unit MiG-25 (kode pelaporan NATO ‘Foxbat‘) mencatat kemenangan udara-ke-udara pertama selama perang. Sebuah MIG-25PDS, yang dikemudikan oleh Letnan Kolonel Zuhair Dawood dari Skuadron Tempur ke-84, menembak jatuh sebuah F/A-18 Hornet Angkatan Laut AS dari skuadron VFA-81 pada malam pertama perang. Pada tahun 2009, Pentagon mengumumkan bahwa mereka telah mengidentifikasi jasad sang pilot, Kapten Angkatan Laut AS Michael “Scott” Speicher, yang memecahkan misteri selama 18 tahun. Kapten Speicher, yang berpangkat Lieutenant Commander pada saat itu, rupanya dikuburkan oleh orang suku Badui nomaden di dekat tempat jetnya ditembak jatuh di daerah terpencil di provinsi Anbar. Kemenangan udara yang kedua dicatat oleh seorang pilot bernama Jameel Sayhood pada tanggal 19 Januari. Dengan menerbangkan MIG-29, ia menembak jatuh sebuah pesawat Tornado GR.1A milik Royal Air Force dengan rudal R-60. Letnan Penerbang D.J. Waddington, yang menerbangkan pesawat RAF nomor seri ZA396/GE, dan Letnan Penerbang R.J. Stewart itu jatuh di 51 mil laut (94 km) sebelah tenggara pangkalan udara Tallil. Dalam insiden lain, sebuah Mikoyan-Gurevich MiG-25 Irak menghindari delapan pesawat F-15C Eagle USAF, dan menembakkan tiga rudal ke pesawat peperangan elektronik EF-111 USAF, yang kemudian memaksa mereka untuk membatalkan misinya. Dalam insiden lain, dua MiG-25 mendekati sepasang F-15 Eagle, menembakkan rudal (yang berhasil dihindari oleh F-15), dan kemudian kabur lebih cepat dari pesawat tempur Amerika itu. Dua F-15 lainnya bergabung dalam pengejaran, dan total sepuluh rudal udara-ke-udara ditembakkan ke arah pesawat-pesawat Foxbat, namun tak satu pun yang bisa menjangkau mereka. Sementara itu dalam upaya untuk menunjukkan kemampuan serangan udara mereka sendiri, pada tanggal 24 Januari, Irak mencoba melakukan serangan terhadap kilang minyak utama Saudi di Abqaiq. Dua pesawat tempur Mirage F-1 yang sarat dengan bom pembakar dan dua MiG-23 (bersama dengan pesawat tempur lainnya) lepas landas. Mereka terlihat oleh pesawat AWACS Boeing E-3 Sentry milik USAF, dan dua pesawat F-15 milik Angkatan Udara Arab Saudi dikirim untuk mencegatnya. Ketika pesawat-pesawat Saudi muncul, MiG Irak berbelok ke belakang, tetapi pesawat- pesawat Mirage terus melaju. Kapten Ayedh Al-Shamrani, salah satu pilot Saudi, melakukan manuver di belakang pesawat Mirage dan menembak jatuh kedua pesawat tersebut. Setelah kejadian ini, Irak tidak lagi berupaya melakukan serangan udara, dan mengirimkan sebagian besar jet mereka ke Iran dengan harapan suatu hari nanti mereka bisa mendapatkan kembali Angkatan Udara mereka. (Iran kemudian mengembalikan tujuh Su-25 pada tahun 2014.)

Kapten Ayedh Al-Shamrani, pilot Saudi yang menembak jatuh dua pesawat Mirage Irak dalam Operasi Badai Gurun. (Sumber: https://akhbarnama.com/)

Selama Perang Teluk Persia, sebagian besar pilot dan pesawat Irak (yang berasal dari Prancis dan Soviet) melarikan diri ke Iran untuk menghindari kampanye pengeboman karena tidak ada negara lain yang mengizinkan mereka untuk berlindung. Iran lalu menyita pesawat-pesawat ini setelah perang dan mengembalikan tujuh Su-25 pada tahun 2014, sementara sisanya digunakan oleh Angkatan Udara Republik Islam Iran – mengklaimnya sebagai ganti kerugian akibat Perang Iran-Irak yang dikobarkan Irak. Karena itu, Saddam Hussein tidak mengirimkan sisa Angkatan Udaranya ke Iran sebelum Operasi Iraqi Freedom pada tahun 2003, dan memilih untuk menguburnya di dalam pasir. Saddam Hussein, yang disibukkan dengan Iran dan keseimbangan kekuatan regional, dilaporkan berkomentar: “Orang-orang Iran bahkan lebih kuat dari sebelumnya, mereka sekarang memiliki Angkatan Udara kita.” Pesawat-pesawat yang kabur ke Iran termasuk: Mirage F1 EQ1/2/4/5/6, Su-20 dan Su-22M2/3/4 Fitter, Su-24MK Fencer-D, Su-25K/UBK Frogfoot, MiG-23ML Flogger, MiG-29A/UB (9.12B) Fulcrum, dan sejumlah Il-76, termasuk prototipe pesawat AEW-AWACS Il-76 “ADNAN 1″. Selain itu, sebelum Operasi Badai Gurun, 19 Mig-21 dan MiG-23 Irak dikirim ke Yugoslavia untuk diservis, tetapi tidak pernah dikembalikan karena sanksi internasional. Pada tahun 2009, pemerintah Irak secara singkat mengupayakan kembalinya pesawat-pesawat tersebut, tetapi pesawat-pesawat tersebut telah dibongkar dan akan memakan biaya yang besar untuk diperbaiki dan dikembalikan ke dinas operasional. Angkatan udara Irak sendiri mencatat kerugian pesawatnya dalam perang udara-ke-udara di angka 23 pesawat, dibandingkan dengan klaim AS sebanyak 44 pesawat. Demikian pula, Sekutu awalnya mengakui tidak ada kerugian dalam pertempuran udara di pihak mereka akibat dari angkatan udara Irak, dan hanya pada tahun 1995 mengakui satu kehilangan. Setelah tahun 2003 Sekutu mengakui kerugian kedua, tetapi dua klaim Irak selanjutnya dan satu kemungkinan masih dicatat oleh Sekutu sebagai akibat “tembakan darat” daripada karena pesawat-pesawat tempur Irak. Umumnya setidaknya tiga pilot Irak relatif disepakati telah mencetak kemenangan melawan pesawat koalisi dalam pertempuran udara.

Sebuah pesawat MiG-29 Irak hancur setelah dihancurkan oleh pasukan koalisi selama Operasi Badai Gurun dalam Perang Teluk Persia. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Kekuatan AU Irak sebelum dan sesudah Operasi Badai Gurun berdasarkan tipe pesawat. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Dari tahun 1980 hingga 1989, Irak mengimpor lebih dari $25 miliar sistem senjata utama, dan total tagihan untuk semua pengadaan senjata ini mungkin mencapai $80 miliar — lebih dari Prancis ($68,6 miliar), Inggris ($69,5). miliar) atau Jerman Barat ($41,3 miliar). Institut Internasional untuk Kajian Strategis di London memperkirakan produk domestik bruto Irak saat itu sebesar $45 miliar, di mana $12,9 miliar—lebih dari 25%—dihabiskan untuk pertahanan. Tidak ada negara lain yang mendekati persentase kekayaan nasional yang dikhususkan untuk militer. Uni Soviet menghabiskan antara 15% dan 20% dari hasil ekonominya untuk persenjataan; Amerika Serikat mencurahkan sekitar 6% untuk militer, dan Israel — musuh bebuyutan Hussein — hanya di bawah 15%. Juga tidak ada negara lain yang memanggil begitu banyak orangnya untuk mengangkat senjata. Irak memiliki 2,1 juta pria berbadan sehat antara usia 15 dan 49. Menurut perkiraan AS, 1,1 juta dari mereka sudah menjadi tentara dan 400.000 lainnya telah dipanggil untuk bertugas dan ditugaskan ke unit militer. Menjelang Invasi Kuwait yang menyebabkan Perang Teluk Persia tahun 1991, tentara Angkatan Darat Irak diperkirakan berjumlah 1.000.000 orang. Tepat sebelum Perang Teluk Persia dimulai, pasukan tersebut terdiri dari 47 divisi infanteri ditambah 9 divisi lapis baja dan mekanis, yang dikelompokkan dalam 7 korps. Jumlah ini memberikan total sekitar 56 divisi, dan total divisi angkatan darat mencapai 68 ketika 12 divisi Pengawal Republik Irak dimasukkan. Eisenstadt mencatat bahwa empat divisi keamanan Pengawal Republik dibentuk antara invasi Kuwait dan pecahnya perang. Mereka tetap tinggal di Irak selama perang. Jumlah ini menjadikan militer Irak yang ke-4 terbesar di dunia. Pasukan darat Baghdad yang beranggotakan 900.000 orang hanya terlampaui oleh Cina, Uni Soviet, dan Vietnam. Mereka memiliki sekitar 6.000 tank, 4.000 kendaraan pengangkut personel lapis baja dan 3.200 unit artileri, sejumlah rudal permukaan-ke-permukaan FROG-7 dan Scud-B dengan jangkauan hingga 300 kilometer. Persenjataan ini sebagian besar berasal dari blok Soviet. Delapan dari 63 divisi tentara adalah Pengawal Republik, pasukan Saddam yang paling terlatih dan paling setia. Kemudian, mereka memiliki tank terbaik, T-72 asal Soviet dengan meriam kaliber 125mm, sementara unit lain mengandalkan kendaraan lapis baja Soviet yang berasal dari tahun 1960-an. Artilerinya juga sebagian besar buatan Soviet, tetapi termasuk juga G-5, howitzer asal Afrika Selatan yang ditingkatkan kemampuannya dengan jangkauan hingga 23 mil (37 km). Juga di dalam arsenal Irak adalah rudal anti-pesawat SAM buatan Soviet dan berbagai senjata anti-pesawat, rudal Scud, rudal anti-kapal Silkworm buatan China dan beberapa versi buatan sendiri dari rudal lain, dengan beberapa dapat menggunakan hulu ledak kimia.

Tank-tank T-72 Angkatan Darat Irak Era Saddam tahun 1990. Pada tahun 1990 Angkatan Bersenjata Irak disebut-sebut manjadi yang terbesar keempat di dunia. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Rudal balistik Al-Hussein (varian Scud) Irak. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Meriam Howitzer G-5. Artileri Irak sebagian besar buatan Soviet, tetapi terdapat juga G-5, howitzer asal Afrika Selatan yang ditingkatkan kemampuannya dengan jangkauan hingga 23 mil (37 km). (Sumber: https://www.reddit.com/)

Kelemahan dari susunan tentara Irak yang tangguh ini adalah “logistik yang lemah dan sistem komando dan kontrol terpusat di mana keputusan penting, bahkan di tengah panasnya pertempuran, hanya dapat dibuat oleh Saddam secara pribadi,” Jenderal H. Norman Schwarzkopf, komandan operasi Desert Storm, menulis dalam memoar pascaperangnya, “It Doesn’t Take a Hero.” Markas Besar Umum (GHQ) adalah eselon militer tertinggi di tentara Saddam. Dikendalikan oleh Angkatan Bersenjata Irak, mereka mengintegrasikan operasi tentara, angkatan udara, angkatan laut, dan tentara populer. Sementara GHQ pada dasarnya adalah elemen staf, ia dapat menyebarkan pos komando maju ke garis depan. GHQ mengendalikan korps tentara reguler dan cadangan strategis tingkat korps yang ditunjuk sebagai Komando Pasukan Pengawal Republik (RGFC). Korps itu adalah markas operasional utama di tentara Irak. Tidak ada markas perantara antara korps dan markas umum (GHQ). Dengan demikian, GHQ diperlukan untuk mengoordinasikan dan mengontrol operasi multikorps. Tentara reguler Irak memiliki tiga jenis divisi dasar, yakni: infanteri lapis baja, mekanis, dan infanteri. Struktur organisasi dasar dari setiap jenis divisi serupa. Mereka terdiri dari 3 brigade manuver, unit artileri divisi, dan berbagai unit pendukung tempur dan pendukung layanan. Biasanya divisi infanteri mekanis memiliki 3 brigade infanteri mekanis dan divisi lapis baja memiliki 3 brigade lapis baja. Divisi infanteri memiliki 3 brigade infanteri. Dalam teorinya, sebelum Operasi Badai Gurun, setiap Divisi Lapis Baja Irak memiliki kekuatan sebanyak 12.100 personel, dan 245 tank, sementara Divisi Infanteri memiliki 14.100 personel dan 78 tank. Ahli strategi Sekutu pada saat itu menyambut atas salah satu keputusan militer Irak, yakni untuk menyembunyikan ratusan tank dan artileri dalam posisi tetap di gurun Kuwait, di mana mereka rentan terhadap sensor termal pesawat AS dan dihancurkan secara sistematis dalam apa yang menyerupai permainan video Pac-Man raksasa. Nantinya, begitu perang darat dimulai, pasukan Pengawal Republik menjadi target utama. Kekuatan udara dan batalyon tank sekutu menghancurkan divisi lapis baja Tawakalna dan Medina dalam pertempuran di sepanjang sisi barat Kuwait. Kerugian Irak dalam hal persenjataan dan artileri akan menjadi lebih buruk, jika Irak tidak menarik beberapa tank T-72 dari Kuwait sebelum penyerangan, dan jika sekutu tidak menghentikan pertempuran setelah 100 jam, yang memungkinkan sejumlah besar unit Pengawal Republik untuk melarikan diri menggunakan tank dan pengangkut personel lapis baja mereka.

Meski jumlahnya besar, namun kualitas tentara Irak beragam. Kelemahan dari susunan tentara Irak yang tangguh ini adalah “logistik yang lemah dan sistem komando dan kontrol terpusat di mana keputusan penting, bahkan di tengah panasnya pertempuran, hanya dapat dibuat oleh Saddam secara pribadi,” Jenderal H. Norman Schwarzkopf, komandan operasi Desert Storm, menulis dalam memoar pascaperangnya, “It Doesn’t Take a Hero.” (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Kualitas kekuatan masif dari tentara Irak beragam, menurut sejumlah analis. Unit garis depan elit, termasuk Pengawal Republik yang teruji pertempuran dan sangat disiplin, berjumlah sekitar 240.000, dengan kader pendukung yang terampil sebanyak 60.000 lebih, menurut Anthony H. Cordesman, mantan spesialis intelijen pemerintah yang menjadi staf Senator. John McCain. 300.000 pasukan kualitas nomor satu ini termasuk 20 brigade pasukan khusus yang dapat melakukan serangan komando, melakukan pengintaian dan sabotase di belakang garis musuh dan melakukan serangan kilat malam hari seperti serangan yang berhasil di istana Kuwait tanggal 2 Agustus 1990. Pasukan elit Irak, juga termasuk korps kimia, yang mengasah keterampilannya dalam pertempuran melawan Iran. Eselon kedua tentara Irak mencakup sekitar 400.000 tentara reguler yang kualitasnya tidak setinggi kelompok pertama, kata Cordesman. “Beberapa unit kecil bisa sangat bagus, tapi keseluruhan unitnya mungkin tidak.” Kelompok ketiga, yang menjadikan total kekuatan militer Irak lebih dari 1 juta personel, termasuk sejumlah besar rekrutan mentah, banyak yang hanya menjalani pelatihan dua hingga empat minggu, sementara personel cadangan yang lebih tua dan veteran Perang Iran-Irak dipanggil kembali untuk bertugas, kata para ahli. Komposisi etnis dalam militer Irak mencerminkan masyarakatnya yang lebih besar, kira-kira 60% berasal dari Muslim Syiah dan 40% dari sekte Sunni yang berkuasa. Namun, pada peringkat yang lebih tinggi, tampaknya ada beberapa diskriminasi, dengan jumlah orang Sunni yang tidak proporsional menjabat sebagai komandan senior dan jenderal, kata analis AS. Cordesman juga melacak beberapa masalah militer Irak yang berkaitan langsung dengan Hussein. “Dia terlalu terpusat, dia sangat merasa tidak aman, dia tidak mengenali atau menghargai kompetensi dengan benar. Buat Saddam, akan berbahaya jika terdapat komandan yang menjadi terlalu baik. Hussein mentolerir beberapa korps dan komandan divisi yang kompeten. Tapi dia merotasi banyak diantara mereka, ada yang hilang, ada yang mengalami kecelakaan dan ada yang benar-benar ditembak mati, ”kata Cordesman. Hussein sendiri dikabarkan menembak jenderal yang bertanggung jawab dalam pertempuran penting di kota Iran Khorramshahr pada tahun 1982, pertempuran besar terakhir dari perang yang terjadi di wilayan Iran, kata beberapa pejabat. Setelah dianggap salah membaca niat musuh, salah mengerahkan pasukannya, dan salah menghitung kapan harus melakukan serangan balik, sang jenderal dipanggil di bawah penjagaan bersenjata ke Baghdad, di mana dia diadili di pengadilan militer. Hussein secara pribadi menembakkan peluru ke kepala perwira itu, menurut laporan AS.

Mayoritas pasukan lapis baja Irak masih menggunakan Type 59 dan Type 69 buatan China yang kuno, T-55 & T-62 buatan Soviet dari tahun 1950-an dan 1960-an, dan beberapa T-72 dari tahun 1970-an pada tahun 1991. Kendaraan-kendaraan ini tidak dilengkapi dengan peralatan terkini, seperti pembidik termal atau pengukur jarak laser, dan keefektifannya dalam pertempuran modern sangat terbatas. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Di sisi lain, meskipun dikatakan pada saat itu di media Barat bahwa pasukan Irak berjumlah sekitar 545.000 (bahkan 600.000), Friedman (1992) menulis bahwa deskripsi kuantitatif tentara Irak pada saat itu dilebih-lebihkan, karena berbagai alasan. Banyak pasukan Irak juga masih muda, kekurangan sumber daya, dan terdiri dari wajib militer yang kurang terlatih. Saddam tidak mempercayai Angkatan Darat; di antara pasukan keamanan penyeimbang adalah Tentara Populer Irak. Sementara itu berbagai macam pemasok peralatan Irak mengakibatkan kurangnya standarisasi. Mereka juga menderita karena pelatihan yang buruk dan motivasi yang buruk. Di bawah permukaan militer Irak yang terlihat berkualitas tinggi, terdapat persenjataan yang tidak dapat disangkal merupakan persenjataan kelas dua. Sebagai contoh, untuk setiap tank T-72 yang menakutkan di arsenal Irak, terdapat lima tank T-54 yang ketinggalan zaman. Mayoritas pasukan lapis baja Irak masih menggunakan Type 59 dan Type 69 buatan China yang kuno, T-55 & T-62 buatan Soviet dari tahun 1950-an dan 1960-an, dan beberapa T-72 dari tahun 1970-an pada tahun 1991. Kendaraan-kendaraan ini tidak dilengkapi dengan peralatan terkini, seperti pembidik termal atau pengukur jarak laser, dan keefektifannya dalam pertempuran modern sangat terbatas. Orang-orang Irak gagal menemukan tindakan balasan yang efektif terhadap pembidik termal dan peluru sabot yang digunakan oleh tank-tank M1 AbramsChallenger 1 dan tank lain dari pasukan Sekutu. Tank M1A1 AS dapat secara efektif menyerang dan menghancurkan tank Irak dari jauh di luar jarak (8.200 kaki/2.500 meter vs 6.600 kaki/2.000 meter) yang dapat dilakukan oleh tank Irak. Awak tank Irak menggunakan penetrator baja tua dan murah untuk melawan lapisan Armor Chobham canggih dari tank AS dan Inggris ini, dengan hasil yang mengecewakan bagi Irak.

Komparasi tank M1 Abrams vs T-72. (Sumber: https://m.facebook.com/)

Operasi Badai Gurun adalah konflik pertama yang melihat penggunaan secara ekstensif amunisi dan lapisan baja depleted uranium (DU). Peluru DU yang baru memberi pasukan koalisi keunggulan operasional yang nyata. Sejarah unit lapis baja dari Perang Teluk mengandung banyak anekdot yang membuktikan keefektifan “peluru perak” DU, sebagaimana mereka disebut oleh awak tank asal AS. Seorang komandan brigade lapis baja menggambarkan melihat dengan “takjub” ketika tentaranya – yang dalam pelatihan tidak pernah menembak sasaran di atas jarak 2.400 meter (1,5 mil) – secara rutin mencetak penghancuran tank musuh di tembakan pertama pada target hingga 3.000 meter (1,9 mil) dan di luar. Armor DU juga mendapatkan reputasi yang sama mengesankannya. Di sisi lain, tampaknya teknik Soviet yang digunakan oleh orang Irak untuk mengubur tank mereka hanya dengan membiarkan turret-nya terbuka, adalah penyebab utama hilangnya begitu banyak tank Irak. Senjata AS cenderung bekerja cukup baik untuk meledakkan bagian atas tank Irak. Dan ketika tank-tank AS mengalir di sekitar garis depan dari arah Barat, tank-tank yang terkubur tidak dapat mengeluarkan diri dan bergerak cepat, sehingga membuang keunggulan mereka sebagai kekuatan senjata yang sangat mobile. Pasukan Irak juga gagal memanfaatkan keuntungan yang dapat diperoleh dari penggunaan perang perkotaan — pertempuran di dalam Kota Kuwait — yang dapat menimbulkan korban yang signifikan pada pasukan penyerang. Pertempuran perkotaan mengurangi jarak pertempuran dan dapat meniadakan beberapa keunggulan teknologi yang dinikmati oleh pasukan yang dilengkapi dengan baik. Orang-orang Irak juga mencoba menggunakan doktrin militer Soviet, tetapi penerapannya gagal karena kurangnya keterampilan komandan mereka dan serangan udara preventif USAF dan RAF di pusat komunikasi dan bunker. Dilaporkan selama Perang Teluk 1991 bahwa unit Irak yang diperlengkapi dengan tank Tipe 69 bertempur lebih keras daripada unit elit Pengawal Republik, yang dilengkapi dengan MBT T-72. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa Saddam memerintahkan unit Pengawal Republiknya untuk mempertahankan kekuatan mereka, sambil mengirim sisa pasukan, yang dilengkapi dengan tank Tipe 69 yang kemampuannya lebih rendah, ke garis depan. 

Tank Irak mengubur diri dalam Operasi Badai Gurun. Tank-tank yang terkubur ini tidak dapat mengeluarkan diri dan bergerak cepat, sehingga membuang keunggulan mereka sebagai kekuatan senjata yang sangat mobile. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Mobil lapis baja EE-9 Cascavel Angkatan Darat Irak hancur saat terkubur di gurun pasir utara Arab Saudi selama Operasi Badai Gurun. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara jumlah pasti korban pertempuran Irak belum ditentukan dengan pasti, banyak sumber setuju bahwa kerugiannya besar. Perkiraan langsung mengatakan hingga 100.000 orang Irak tewas. Perkiraan yang lebih baru menunjukkan bahwa Irak mungkin menderita antara 20.000 dan 35.000 kematian, meskipun angka lain masih mempertahankan jumlah kematian bisa mencapai 200.000. Sebuah laporan yang diberikan oleh Angkatan Udara AS, memperkirakan 10.000-12.000 kematian akibat pertempuran di pihak Irak dalam kampanye udara dan sebanyak 10.000 korban dalam perang darat. Analisis ini didasarkan pada laporan tawanan perang Irak. Diketahui bahwa antara 20.000 dan 200.000 tentara Irak tewas. Menurut studi Proyek Alternatif Pertahanan, 3.664 warga sipil Irak dan antara 20.000 dan 26.000 personel militer tewas dalam konflik tersebut. Sementara itu 75.000 tentara Irak terluka dalam pertempuran itu. Pada 21 Februari 1991 Pentagon melaporkan bahwa pengeboman telah menghancurkan 1.400 dari perkiraan 4.280 tank Irak, 1.200 dari 3.110 artileri dan 800 dari 2.870 pengangkut personel lapis baja. Pada tanggal 23 Februari 1991 Brigadir Jenderal Richard Neal, juru bicara Marinir AS, mengatakan bahwa 1.685 tank Irak telah dihancurkan, ditambah dengan 925 kendaraan pengangkut personel lapis baja (APC) dan 1.485 senjata artileri. Menurut angka lain yang dipublikasikan, pada saat itu sekutu telah menghancurkan 37% tank Irak, 41% senjata artileri, dan 30% kendaraan pengangkut personel lapis baja musuh. Dengan rata-rata 100 tank dan 100 artileri dihancurkan setiap hari selama kampanye udara, hampir 2.000 tank mungkin telah dihancurkan, menyisakan lebih dari setengahnya. Dengan target senjata artileri, keberhasilannya mungkin lebih besar, yakni 1.800 dihancurkan, dengan hanya menyisakan 1.300, atau 42%. APC Irak, yang dinilai sebagai ancaman militer yang lebih kecil, mungkin telah dikurangi menjadi tinggal sekitar 1.500, atau lebih dari 50%. Namun, Central Intelligence Agency dilaporkan memperkirakan bahwa hanya 10 hingga 15 persen tank dan artileri Irak di Kuwait yang telah dihancurkan oleh pengeboman sekutu pada tanggal 20 Februari 1991, jauh di bawah angka 35 persen yang dikuarkan Pentagon.

Highway Of Death: Kendaraan militer Irak berserakan dihajar kekuatan udara pasukan koalisi. (Sumber: https://allthatsinteresting.com/)
Kekuatan tank Irak sejak tahun 1990. (Sumber: https://www.globalsecurity.org/)

Menurut satu perkiraan yang diterbitkan pada tahun 1993 (Kebijakan Luar Negeri Perang Teluk No. 90), kampanye udara Sekutu menghancurkan sekitar 1.600 tank Irak, 900 kendaraan pengangkut personel lapis baja, dan 1.400 artileri. Menurut perkiraan ini, 2.162 tank Irak lainnya dihancurkan dalam perang darat. Pada bulan Agustus 1993, Komite Angkatan Bersenjata Dewan Perwakilan Rakyat AS merilis sebuah laporan yang mencatat bahwa intelijen Amerika telah menilai bahwa 388 tank telah dihancurkan di zona tertentu di Kuwait. Namun, analisis foto yang diambil oleh pesawat U-2 di daerah ini segera setelah berakhirnya perang menunjukkan bahwa sebenarnya kampanye udara hanya menghancurkan 166 hingga 215 tank Irak di zona yang satu ini. Kesalahan yang dilakukan oleh intelijen Amerika disebabkan oleh tidak adanya sistem yang pasti untuk menilai kerusakan yang ditimbulkan pada musuh, dan badan intelijen mengubah metode untuk menilai perangkat keras Irak yang hancur beberapa kali selama perang. Menurut sebagian besar perkiraan yang diterbitkan, pada tahun 1990 Irak memiliki total sekitar 5.500 tank, yang tampaknya sebanyak 4.200 dikerahkan di medan operasi Kuwait. Dengan menerima klaim USCENTCOM tertinggi sekitar 3.700 tank yang dihancurkan selama operasi Badai Gurun, kendaraan lapis baja Irak pascaperang seharusnya berjumlah sekitar 1.800 tank. Jumlah tank terendah yang dilaporkan hancur adalah sekitar 3.000. Dan berdasarkan penilaian kerusakan yang dilaporkan oleh berbagai badan intelijen, perkiraan terendah dari tank yang dihancurkan mungkin sekitar setengah dari jumlah yang diklaim tertinggi, atau sekitar 1.800. Menurut satu perkiraan, dengan menggunakan suku cadang dan peralatan yang diselamatkan setelah perang, Irak berhasil mengembalikan sebagian besar dari 2.500 tank yang selamat dari operasi Badai Gurun. PBB dan Kuwait juga mengatakan Irak belum mengembalikan banyak peralatan militer Kuwait, termasuk 245 kendaraan tempur buatan Rusia, 90 kendaraan pengangkut personel lapis baja M113, dan 3.750 rudal TOW dan rudal anti-tank lainnya.

MASA JEDA PERANG

Institut Internasional untuk Kajian Strategis (IISS) memperkirakan komposisi tentara segera setelah perang 1991 menjadi enam divisi ‘lapis baja’/’mekanis’, 23 divisi infanteri, delapan divisi Garda Republik dan empat divisi keamanan internal Garda Republik. Jane’s Defense Weekly tanggal 18 Juli 1992 menyatakan bahwa 10.000 tentara dari lima divisi berperang melawan Muslim Syiah di daerah rawa selatan. IISS memberikan struktur kekuatan Angkatan Darat Irak per tanggal 1 Juli 1997 sebagai tujuh markas Korps, enam divisi lapis baja atau mekanis, 12 divisi infanteri, enam divisi RGF, empat Brigade Pengawal Republik Khusus, 10 komando, dan dua Brigade Pasukan Khusus. Diperkirakan mereka berjumlah 350.000 personel, termasuk 100.000 pasukan cadangan yang bisa dipanggil. Pada tahun 1994 Irak masih memiliki angkatan bersenjata terbesar di kawasan Teluk. Ini terdiri dari 400.000 orang yang diorganisasikan ke dalam enam korps dengan sekitar 30 divisi (delapan divisi Pengawal Republik, tujuh divisi lapis baja dan divisi mekanis reguler, dan 15 divisi infanteri reguler) dengan 2.200 tank, 2.500 APC, 1.650 artileri, dan sekitar 300 pesawat tempur. Irak tidak lagi memiliki kapal perang yang selamat setelah operasi Badai Gurun. Bahwa Saddam masih bisa mempertahankan militer yang besar setelah Badai Gurun disebabkan oleh sejumlah faktor, yakni: Kekuatan udara koalisi tidak menyebabkan banyak kerusakan pada unit Pengawal Republik seperti yang diyakini selama perang; pasukan koalisi gagal menutup rute mundur militer Irak sebelum gencatan senjata, yang memungkinkan beberapa pasukan Irak melarikan diri; AS menyetujui gencatan senjata sebelum pasukan yang melarikan diri dari Kuwait dapat dihancurkan; dan AS ingin meninggalkan militer Irak dengan kekuatan yang cukup untuk mempertahankan integritas teritorial Irak dan berfungsi sebagai lawan kekuatan militer Iran. Beberapa ahli mengatakan operasi Badai Gurun telah mengurangi Angkatan Darat Irak menjadi kekuatan yang cukup mampu mempertahankan Irak, tetapi tidak cukup kuat untuk melancarkan invasi lain di luar perbatasannya. Dengan perkiraan yang berbeda-beda, 500 hingga 700 dari 1.800 tank T-72 asli masih Irak tetap beroperasi – semuanya dengan unit Garda Republik. AD Irak juga masih memiliki sekitar 2.000 tank Soviet yang lebih tua, yang tidak cocok untuk melawan kekuatan lapis baja modern. Setelah operasi Badai Gurun, pasukan darat Irak ditata ulang. Pengawal Republik dan divisi lapis baja dan mekanis reguler dibentuk kembali dan sejumlah besar divisi infanteri reguler dibubarkan. Pengawal Republik muncul sebagai tulang punggung pasukan darat; dimana unit itu dibangun kembali dengan mentransfer orang dan peralatan dari divisi lapis baja dan mekanis terbaik tentara reguler. Namun, divisi ini lebih kecil dan kurang mampu dibandingkan sebelum operasi Badai Gurun, karena Irak kehilangan banyak sistem senjata paling modern dan mumpuni selama perang. Selain itu, pasukan darat terus mengalami sejumlah kekurangan kritis yang menghambat kemampuannya untuk terlibat dalam pertempuran berkelanjutan, termasuk perawatan yang buruk, kekurangan parah dalam sistem logistik (khususnya kekurangan alat transportasi beroda), kurangnya suku cadang, dan rendahnya moral. Selama sanksi tetap ada, tidak satu pun dari masalah ini yang mungkin dapat diperbaiki.

Saddam dan tentara Irak mengamati senjata anti pesawat. Empat tahun setelah operasi Badai Gurun, angkatan bersenjata Irak tetap menjadi ancaman bagi Kuwait dan kantong wilayah Kurdi di utara Irak. (Sumber: https://m.facebook.com/)

Angkatan Laut Irak hampir sepenuhnya dihancurkan oleh Angkatan Laut Inggris selama Perang Teluk tahun 1991. AL Irak menderita 19 kapalnya ditenggelamkan dan 6 lainnya rusak. Secara total, lebih dari 100 kapal Irak dihancurkan. Angkatan Laut Irak tidak akan dibangun kembali dan memainkan peran kecil dalam Perang Irak (2003). Satu pengecualian adalah dua kapal ranjau yang dirampas oleh unit Angkatan Laut dan Penjaga Pantai AS selama penyerangan di Al Faw. Kapal-kapal ini adalah kapal tunda Jumariya, yang menarik tongkang untuk memasang ranjau yang disamarkan dengan baik, dan kapal tunda Al Raya, yang telah dilengkapi dengan peralatan pemasang ranjaunya sendiri. Dari unit-unit yang tersisa hingga akhir tahun 2002, sebagian besar berada dalam kondisi perbaikan yang buruk dan awaknya dalam kondisi kesiapan yang buruk. Unit apa pun yang tersisa setelah tahun 1991 digunakan terutama untuk menjaga istana Saddam di sungai Tigris. Pada tahun 1994, Angkatan udara Irak memiliki sekitar 300 pesawat tempur operasional, meskipun kurang dari setengahnya dapat dianggap modern, dan kekurangan pilot yang agresif dan terlatih dengan baik; kelangkaan pencegat dan pesawat serang modern segala cuaca; ketidakmampuan untuk mengoordinasikan komponen udara dan darat dari pertahanan udaranya; ketergantungan berlebihan pada prosedur mencegat kontrol darat yang rentan; dan masalah memastikan pemeliharaan dan suku cadang yang memadai. Di sisi lain, pertahanan udara berbasis darat Irak sebagian besar tetap utuh. Pusat komando dan kontrolnya yang dihajar berat selamat dari pemboman berat selama operasi Badai Gurun dan tetap beroperasi; sebagian besar sistem SAM dan AAA selamat dari perang karena umumnya dinetralkan dengan cara non-destruktif (gangguan dan penipuan); dan sejumlah besar radar pertahanan udara selamat dari perang. Namun, sebagian besar mereka terus bergantung pada sistem SAM usang yang mudah macet, dan menderita demoralisasi yang menimpa sebagian besar militernya. Bagaimanapun di tahun 1994, Irak sempat memindahkan lebih dari lima divisi (termasuk divisi Hammurabi dan al-Nida dari Garda Republik), dengan 80.000 prajurit, 700 tank, 900 APC ke area beberapa kilometer dari perbatasan dengan Kuwait. Pasukan ini cukup untuk menyerbu Kuwait, atau merebut daerah yang disengketakan, seperti bagian dari pelabuhan Umm Qasr yang dipindahkan ke Kuwait setelah operasi Badai Gurun, ladang minyak Rumayla, atau Kepulauan Bubiyan atau Warba (yang telah lama menjadi sumber pertikaian antara Irak dan Kuwait). Dan sementara kekuatan ini lebih kecil dari kekuatan yang mempelopori invasi ke Kuwait pada tahun 1990 — tiga divisi Pengawal Republik dan elemen dari divisi keempat — dengan 1.500 tank dan APC (diikuti oleh elemen dari tujuh divisi lainnya) — ia masih memiliki margin keunggulan yang luar biasa terhadap angkatan bersenjata kecil Kuwait, yang berkekuatan 11.000-18.000 orang, 170 tank, dan 75 pesawat tempur. Kesimpulannya, empat tahun setelah operasi Badai Gurun, angkatan bersenjata Irak tetap menjadi ancaman bagi Kuwait dan kantong wilayah Kurdi di utara Irak.

Tank-tank Irak ditampilkan selama parade militer di Victory Square di Bagdad 31 Desember 2000. Presiden Irak Saddam Hussein mengawasi parade tank, pesawat tempur, dan rudal Irak yang dimaksudkan sebagai pertunjukan dukungan untuk intifada Palestina yang sedang berlangsung, atau pemberontakan, melawan pendudukan Israel atas wilayah Palestina. (Sumber: https://www.gettyimages.ae/)
Zona larangan terbang di Irak. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Sementara itu, selain perang Teluk Persia, AU Irak juga terlibat dalam penumpasan pemberontakan tahun 1991 di Irak. Bersama unit penerbangan Angkatan Darat, helikopter Mi-8, Mi-24, GazelleAlouette dan Puma digunakan untuk melawan upaya pemberontakan Syiah dan Kurdi antara tahun 1991 dan 1993. Setelah Perang Teluk Persia, angkatan udara Irak hanya memiliki satu-satunya Su-24 (dijuluki “waheeda” di angkatan udara Irak yang diterjemahkan menjadi “yang kesepian”) dan satu skuadron MiG-25 yang dibeli dari Uni Soviet pada tahun 1979. Beberapa Mirage, MiG-23ML dan Su-22 juga tetap digunakan, dengan MiG-29 ditarik dari penggunaan pada tahun 1995 karena keterbatasan pemakaian mesin, dan MiG-21 ditarik karena usang. Selama periode sanksi berikutnya, Angkatan Udara Irak sangat dibatasi oleh zona larangan terbang yang ditetapkan oleh pihak koalisi dan akses terbatas ke suku cadang karena sanksi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Banyak pesawat tidak dapat digunakan dan beberapa disembunyikan dari pengintaian Amerika untuk menghindari potensi kehancuran. Dalam patroli di zona larangan terbang, tiga MiG Irak tercatat hilang. Meskipun menghadapi beberapa serangan dari jet-jet F-15 dan F-14 AS yang menembakkan rudal AIM-54 dan AIM-120 ke pesawat-pesawat tempur Irak, manuver dari pilot-pilot Irak memastikan mereka dapat menghindari korban tambahan dalam perselisihan atas wilayah udara Irak. Kemenangan udara-ke-udara terakhir AU Irak yang tercatat terjadi pada tanggal 23 Desember 2002, ketika MiG-25 Foxbat Irak menembak jatuh pesawat tanpa awak RQ-1 Predator Amerika yang bersenjata.

INVASI AMERIKA TAHUN 2003

Kampanye udara operasi Badai Gurun selama tujuh minggu telah menghancurkan angkatan udara Saddam. Sementara komandan AS akhirnya mengakui bahwa hanya 15 persen dari pesawat tempur Irak – sekitar 75 pesawat – dihancurkan, sekitar 100 lainnya diterbangkan ke Iran untuk diamankan, hanya untuk disita oleh Iran. Pesawat-pesawat itu, bersama dengan sekitar 50 pesawat yang ditahan di negara-negara lain. Pada tahun 2003, kekuatan udara Irak berjumlah sekitar 180 pesawat tempur, yang hanya setengahnya yang dapat diterbangkan. Pada akhir tahun 2002, sebuah perusahaan senjata Yugoslavia menyediakan layanan untuk pesawat-pesawat MiG-21 dan MiG-23 Irak, yang melanggar sanksi PBB. Sebuah lembaga penerbangan di Bijeljina, Bosnia dan Herzegovina, disebutkan memasok mesin dan suku cadang. Namun, ini sudah terlambat untuk memperbaiki kondisi angkatan udara Irak. Di ambang invasi pimpinan AS, Saddam Hussein mengabaikan keinginan angkatan udaranya untuk mempertahankan wilayah udara negara itu dari pesawat koalisi dan memerintahkan sebagian besar pesawat tempurnya untuk dibongkar dan dikuburkan. Beberapa kemudian ditemukan oleh pasukan penggalian AS di sekitar pangkalan udara Al Taqqadum dan Al Asad, termasuk tipe MiG-25 dan Su-25. AU Irak terbukti sama sekali tidak ada selama invasi; beberapa helikopter terlihat tetapi tidak ada pesawat tempur yang terbang untuk memerangi pesawat koalisi. Sementara itu pada hari-hari menjelang invasi AS ke Irak pada tahun 2003 dan Perang Irak berikutnya, angkatan darat Irak terdiri dari 375.000 tentara, yang diorganisasikan ke dalam lima korps. Secara keseluruhan, ada 11 divisi infanteri, 3 divisi mekanis, dan 3 divisi lapis baja. Garda Republik terdiri dari antara 50.000 dan 60.000 tentara (meskipun beberapa sumber mengindikasikan kekuatan hingga 80.000). Saddam Hussein, sebagai komandan angkatan bersenjata tertinggi, membagi secara geografis tentara Irak menjadi empat komando regional. Pasukan ini memiliki tiga komponen utama: tentara reguler, Garda Republik, dan Garda Republik Khusus, dengan kualifikasi sebagai berikut:

Pasukan Fedayeen Saddam. Pada hari-hari menjelang invasi AS ke Irak pada tahun 2003 dan Perang Irak berikutnya, angkatan darat Irak terdiri dari 375.000 tentara, yang diorganisasikan ke dalam lima korps. (Sumber: https://www.wearethemighty.com/)

Pada bulan Januari 2003, sebelum dimulainya invasi ke Irak pada bulan Maret 2003, pasukan ini terutama ditempatkan di Irak timur. Kelima korps tersebut diorganisir sebagai berikut:

Irak menjelang invasi Amerika diyakini memiliki kekuatan pertahanan udara yang besar, unit beranggotakan 15.000 orang yang diyakini memiliki lebih dari 850 peluncur rudal darat-ke-udara dan sekitar 4.000 senjata anti-pesawat. Di sisi lain, meskipun Irak saat itu memiliki sekitar 40 pabrik yang memproduksi senjata konvensional, pasukan lapis bajanya 12 tahun “lebih tua”, jumlahnya lebih kecil dan jauh di belakang musuhnya, AS dan Inggris dalam teknologi medan perang. Tank terbaiknya, T-72 buatan Soviet, pernah dibandingkan dengan tank Abrams Amerika dan Challenger Inggris. Tetapi sebagian dari tank ini, yang hilang dalam Operasi Badai Gurun tidak diganti, dan banyak yang dikanibalisasi untuk suku cadang agar yang lain bisa tetap digunakan. Ketua Kepala Staf Gabungan, Jenderal Angkatan Udara Richard Myers, bersaksi di depan Komite Angkatan Bersenjata DPR pada tanggal 18 September 2002, menyatakan bahwa Irak memiliki lebih dari 2.000 tank tempur utama, 3.500 kendaraan pengangkut personel lapis baja, dan 2.000 senjata artileri. Sementara Angkatan Darat Irak kehilangan sejumlah besar senjata anti-tank selama perang sebelumnya, mereka diyakini masih mempertahankan jumlah peralatan yang bagus – termasuk peluru kendali portabel MILANHOT, AS-11 dan AS-12 dipasang pada helikopter PAH-1 dan SA.342; dan AT-2 yang dipasang pada helikopter Mi-8 dan Mi-24. Selain itu, ada berbagai senjata yang dipasang pada kendaraan lapis baja, termasuk peluru kendali HOTMILAN, AT-1, AT-3 dan AT-4. Angkatan Darat Irak masih memiliki beberapa ribu senjata anti-tank kaliber 85mm dan 100mm serta senjata recoilless yang berat. Diperkirakan mereka memiliki 150 senjata artileri self-propelled, mulai dari kaliber 122mm hingga 155mm dan mungkin sekitar 1.900 senjata artileri yang ditarik (kaliber 105mm hingga 155mm). Menurut laporan pertempuran dari invasi Irak tahun 2003, tank-tank Tipe 69-QM digunakan oleh unit Angkatan Darat Irak yang mempertahankan Nasiriyah pada bulan Maret 2003, kebanyakan digunakan sebagai artileri statis. Mereka memainkan peran penting dalam penyergapan yang dilakukan terhadap kompi Pemeliharaan ke-507 Angkatan Darat AS dan kompi Charlie dari Batalyon ke-1, Resimen Marinir ke-2, sebelum helikopter-helikopter AH-1 Cobra memusnahkan tank-tank Irak. Dua tank Tipe 69 dikabarkan menghancurkan setidaknya empat kendaraan dari kompi ke-507, di antaranya sebuah truk berat yang ditembak oleh salah satu tank. Ada juga catatan dari tangan pertama dari sekitar empat tank Tipe 69 yang tersembunyi di balik beberapa bangunan, menghantam Kompi Charlie Marinir dengan tembakan tidak langsung dan kemungkinan melumpuhkan beberapa kendaraan AAV. Sementara itu beberapa tank Tipe 59/69 yang tidak berguna untuk pertempuran ditempatkan sebagai umpan atau sekadar penghalang. Selama invasi Irak tahun 2003, Angkatan Darat Irak dikalahkan dalam sejumlah pertempuran, termasuk oleh Gugus Tugas Viking di utara, dan Pertempuran Nasiriyah dan Pertempuran Baghdad.

Tank Tempur Utama (MBT) Type 69 di utara Jembatan An Nu’maniyah di Highway 27 hancur selama Invasi AS ke Irak pada April 2003. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Tank T-72 Angkatan Darat Irak yang ditinggalkan, 2003. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
MiG-25 Foxbat Irak ditemukan terkubur di bawah pasir di sebelah barat Baghdad. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Angkatan Darat Irak kemudian dibubarkan oleh Perintah Otoritas Sementara Koalisi Nomor 2 yang dikeluarkan oleh Administrator AS di Irak Paul Bremer pada 23 Mei 2003, setelah kekalahannya yang menentukan. Bremer mengatakan bahwa tidak mungkin untuk membentuk kembali angkatan bersenjata. Pembenarannya atas pembubaran tersebut termasuk karena aksi penjarahan pascaperang, yang telah menghancurkan semua pangkalan; bahwa para wajib militer yang sebagian besar adalah orang Syiah tidak akan menanggapi permintaan pemanggilan kembali dari mantan komandan mereka, yang sebagian besar adalah orang Sunni, dan bahwa menarik kembali tentara “akan menjadi bencana politik karena bagi sebagian besar warga Irak, mereka adalah simbol kekuasaan Sunni yang dipimpin oleh orang-orang Partai Baath.” Satu perbedaan utama antara Jerman dan Jepang pasca-Perang Dunia II dan Irak pasca-Saddam adalah bahwa pasukan Sekutu secara militer mengalahkan tentara Jerman dan Jepang, dan kedua negara menyerah tanpa syarat. Di Irak, bagaimanapun, perang berakhir dengan kekuatan tentara Irak hampir memudar sebelum mereka dapat dikalahkan secara militer atau tentara Irak dikumpulkan dan dikurung di barak mereka. Selama fase pendudukan, sebagian besar pesawat tempur Irak (J-7, MiG-23, MiG-25, SU-20/22, Su-25 dan beberapa MiG-29) ditemukan oleh pasukan Amerika dan Australia dalam kondisi buruk di beberapa pangkalan udara di seluruh Irak sementara yang lain ditemukan terkubur. Sebagian besar pesawat AU Irak dihancurkan selama dan setelah invasi, dan semua peralatan yang tersisa dibuang atau dibesituakan segera setelah perang. Tak satu pun dari pesawat yang diperoleh selama era Saddam yang masih tetap beroperasi. Dengan ini berakhirlah kekuatan militer Irak yang sempat menjadi yang terbesar ke-4 di dunia.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Iraqi Army: World’s 5th Largest but Full of Vital Weaknesses : Military: It will soon be even larger. But its senior staff is full of incompetents and only a third of its troops are experienced BY JOHN M. BRODER AND DOUGLAS JEHL; AUG. 13, 1990 12 AM PT

https://www.latimes.com/archives/la-xpm-1990-08-13-mn-465-story.html

Iraq’s Army Was Once World’s 4th-Largest by RICHARD PYLE; March 31, 2003

https://www.ourmidland.com/news/article/Iraq-s-Army-Was-Once-World-s-4th-Largest-7151366.php

Iraq’s Military Capabilities: An Assessment by Michael Eisenstadt; Oct 14, 1994

https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/iraqs-military-capabilities-assessment

Baath Ground Forces Equipment

https://www.globalsecurity.org/military/world/iraq/ground-equipment-intro.htm

Iraqi Army

https://www.globalsecurity.org/military/world/iraq/army.htm

Iraqi Air Force [IQAF]

https://www.globalsecurity.org/military/world/iraq/airforce.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Ground_Forces

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Tanks_of_Iraq

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Air_Force

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Iraqi_Navy

IRAQ: Iraq’s Prewar Military Capabilities Backgrounder by Sharon Otterman; February 3, 2005 11:54 am (EST)

https://www.cfr.org/backgrounder/iraq-iraqs-prewar-military-capabilities?amp

Iraq’s Military Power: The German Connection by Jochen Hippler 

https://merip.org/1991/01/iraqs-military-power-the-german-connection/

Army

https://nuke.fas.org/guide/iraq/agency/army.htm

Exit mobile version