Sejarah Militer

Kelemahan Kekuatan Udara Jepang dalam Perang Dunia II

Seperti negara-negara Blok Poros lainnya, Jepang tidak siap menghadapi perang jangka panjang. Namun sama seperti Jerman yang menjadi terlalu percaya diri karena pengalamannya dalam Perang Saudara Spanyol, Jepang juga merasakan hal yang sama karena kemenangannya melawan Rusia dan China. Masalahnya baik Jepang dan Jerman, mereka kalah dalam jumlah tenaga kerja, kapasitas industri, dan sumber daya dibanding dengan lawan-lawannya seperti Amerika dan Inggris. Pemerintah Jepang mengetahui hal ini, namun mereka begitu percaya bahwa perang akan berlangsung dalam waktu singkat dan terlalu meremehkan respons Sekutu terhadap agresi mereka. Kesalahan perhitungan militer Jepang ini, salah satunya tercermin dalam kekuatan udaranya.

Pesawat tempur dan pembom Jepang ditinggalkan di pangkalan udara Angkatan Laut Atsugi pada akhir perang. Pemerintah Jepang begitu percaya bahwa perang akan berlangsung dalam waktu singkat dan terlalu meremehkan respons Sekutu terhadap agresi mereka. Akibatnya selama perang kekuatan udara Jepang tidak bisa menandingi progres lawan mereka di medan tempur baik secara strategis maupun taktis. (Sumber: https://www.historynet.com/japans-fatally-flawed-air-forces-in-world-war-ii-2/?f)

LATAR BELAKANG

Perang Dunia II di Pasifik adalah perjuangan untuk merebut dan mempertahankan lapangan-lapangan udara. Jepang menjadikan perolehan dan pemeliharaan kendali udara sebagai persyaratan dalam strategi perang dasar mereka seperti halnya penghancuran Armada Pasifik AS. Namun seperti yang diutarakan Komandan Masatake Okumiya, “Perang Pasifik dimulai oleh orang-orang yang tidak memahami laut, dan dilancarkan oleh orang-orang yang tidak memahami udara.” Dia mungkin saja menambahkan bahwa perang tersebut direncanakan oleh orang-orang yang tidak memahami industri, tenaga kerja, dan logistik. Kepemimpinan Jepang sangat menyadari keterbatasan kemampuannya baik dalam sumber daya maupun kapasitas industri. Namun, mereka gagal menyatukan dua cabang Angkatan Bersenjata Jepang, terutama Angkatan Darat Kekaisaran Jepang dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang untuk fokus pada satu strategi pada tahun-tahun menjelang perang. Mengatakan bahwa angkatan darat dan laut Jepang tidak bekerja sama dalam urusan udara adalah sebuah pernyataan yang lebih halus. “Mereka (faktanya) saling membenci,” Lt. Cmdr. Masataka Chihaya mengenang, “(mereka) hampir (selalu) bertengkar. Pertukaran informasi rahasia dan pengalaman, penggunaan pesawat terbang dan instrumen lainnya, bahkan tidak terpikirkan.” Masalah pertukaran informasi ini berkisar dari ketiadaan pembagian informasi teknis tentang pesawat yang sedang dikembangkan untuk kedua layanan tersebut hingga kasus beberapa stasiun radar Angkatan Darat Jepang yang tidak memberi tahu rekan-rekan Angkatan Laut mereka tentang serangan udara AS yang akan datang. Kompetisi di kedua angkatan dimulai di Markas Besar dan berlangsung di setiap level hingga hari terakhir perang. Angkatan Darat sebagian besar memandang Rusia dan kemudian Uni Soviet sebagai musuh utama mereka, sedangkan Angkatan Laut menetapkan Amerika Serikat sebagai musuh utama mereka. Kedua cabang ini tidak dapat sepakat dan karena mereka bukan bawahan Pemerintah Jepang, tidak ada kekuatan pemersatu yang dapat memaksa mereka untuk bekerja sama. Hal ini menyebabkan dua strategi berbeda yang bersaing satu sama lain untuk mendapatkan sumber daya, tenaga kerja, dan peralatan.

Admiral Chuichi Nagumo, salah satu komandan awal Armada AL Jepang dalam Perang Pasifik. “Perang Pasifik dimulai oleh orang-orang yang tidak memahami laut, dan dilancarkan oleh orang-orang yang tidak memahami udara.” demikian yang dinyatakan Komandan Masatake Okumiya setelah perang. (Sumber: https://www.reddit.com)
Pembom AL Jepang Mitsubishi G3M “Nell”. Jepang, meskipun tampaknya maju dalam hal taktik udara, memasuki perang dengan doktrin udara yang sempit, jumlah pesawat yang tidak memadai dan desain yang umumnya buruk (tidak termasuk Mitsubishi A6M2 Zero, tentu saja), awak pesawat yang terlalu sedikit, dan logistik yang tidak memadai untuk menjalani perang atrisi. (Sumber: https://wallhaven.cc/w/9ddm18)
Lapangan Udara di Salamaua, Papua Nugini. Perang Dunia II di Pasifik adalah perjuangan untuk merebut dan mempertahankan lapangan-lapangan udara. Jepang menjadikan perolehan dan pemeliharaan kendali udara sebagai persyaratan dalam strategi perang dasar mereka seperti halnya penghancuran Armada Pasifik AS. (Sumber: https://wikimapia.org/1858612/Salamaua-Airfield-Site)

Jepang, meskipun tampaknya maju dalam hal taktik udara, memasuki perang dengan doktrin udara yang sempit, jumlah pesawat yang tidak memadai dan desain yang umumnya buruk (tidak termasuk Mitsubishi A6M2 Zero, tentu saja), awak pesawat yang terlalu sedikit, dan logistik yang tidak memadai untuk menjalani perang atrisi. Baik angkatan darat maupun angkatan lautnya tidak siap menghadapi durasi, kekerasan, atau perkembangan teknologi dari perang yang akan datang. Bahkan kepemimpinannya dalam taktik udara yang berumur pendek pun runtuh begitu kampanye Guadalcanal dimulai. Selain memiliki basis industri yang mampu memproduksi pesawat dalam jumlah yang cukup, angkatan udara suatu negara perlu menyeimbangkan antara jumlah pesawat terbang, awak tempur dan pemeliharaan, serta pangkalan udara. Jika Jepang ingin merebut sebuah kekaisaran, personel pembangun lapangan terbangnya harus mendampingi pasukan tempur di setiap langkahnya. Jika tidak ada unit konstruksi seperti itu, angkatan udara harus menggunakan pangkalan yang direbut. Kekuatan Udara Jepang secara doktrinal anakronistis. Unit udara berada di bawah komandan angkatan darat, bukan entitas independen yang memiliki kedudukan setara dengan komandan angkatan darat dan angkatan laut. Tentara Jepang telah mengembangkan kekuatan udaranya untuk peperangan kontinental melawan Soviet. Sebaliknya, kekuatan udara angkatan laut dikaitkan dengan operasi Armada Gabungan, dengan perwira angkatan laut, bukan perwira udara, yang mengambil keputusan besar di udara. Laksamana Isoroku Yamamoto telah memikirkan perang udara berbasis darat, dengan menyatakan pada tahun 1936 bahwa operasi angkatan laut pada perang berikutnya akan terdiri dari upaya merebut sebuah pulau, membangun lapangan terbang dan menggunakan pangkalan tersebut untuk menguasai perairan sekitarnya. Namun ide-idenya tidak berhasil. Orang-orang Jepang belajar dan berlatih keras mengenai taktik udara, tetapi mereka gagal mengembangkan teknik dan peralatan konstruksi lapangan terbang, serta unit-unit yang diperlukan untuk membangun pangkalan udara, fasilitas pemeliharaan, pasokan dan penyebaran kekuatan.

KELEMAHAN KEKUATAN UDARA ANGKATAN DARAT JEPANG

Karena Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang sebagian besar dikembangkan untuk memberikan dukungan taktis dalam perang darat melawan Uni Soviet, maka mereka tidak memiliki kemampuan bernavigasi di lautan dan kemampuan serang  jarak jauh, sesuatu yang sangat penting penggunaannya di Asia Tenggara dan khususnya pulau-pulau di Pasifik. Akibatnya Angkatan Laut harus melakukan misi pengeboman jarak jauh di Filipina untuk Angkatan Darat (menurut buku Osamu Tagaya: The Imperial Japanese Air Forces hal. 179-180) Salah satu masalah utamanya adalah Angkatan Darat Jepang tidak mempunyai dukungan yang kuat terhadap penggunaan kekuatan udara di jajarannya. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Jepang memiliki jumlah perwira militer yang memiliki pengalaman tempur udara yang sangat terbatas. Meskipun Jepang termasuk negara pertama yang menggunakan pesawat tempur pada Perang Dunia I, pengalaman tempur mereka hanya berlangsung singkat dan terbatas pada tahun 1914. Pengalaman ini terlalu terbatas untuk meyakinkan cukup banyak perwira akan pentingnya kekuatan udara. Di sisi lain, Angkatan Darat dua kali memprakarsai pembentukan angkatan udara independen sebagai kecabangan ketiga dalam militer Jepang, seperti Luftwaffe di Jerman dan Inggris dengan Royal Air Force. Namun, Angkatan Laut tidak setuju, karena mereka khawatir seperti RAF Inggris bahwa Fleet Air Arm (kekuatan udara Angkatan Laut) hanya akan memainkan peran kecil (Tagaya: hal. 180-185). Peran utama Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang terletak pada pengintaian dan pertempuran udara, sedangkan misi pengeboman hanya mendapat perhatian terbatas. Hal ini tercermin dalam lambatnya pembangunan skuadron pembomnya pada tahun 1920-an (Tagaya: hal. 182). Untuk waktu yang singkat Angkatan Darat seperti Angkatan Laut melihat Amerika Serikat sebagai lawan utama mereka, pada periode tersebut pengembangan pesawat pengebom bermesin empat besar dimulai. Selain itu, ada proyek untuk menggunakan ketapel pesawat di pangkalan darat untuk menghindari masalah kewajiban pembangunan landasan udara yang panjang setelah invasi ke Filipina.

Kekuatan udara Jepang selama intervensi di Siberia tahun 1920-an. eran utama Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang terletak pada pengintaian dan pertempuran udara, sedangkan misi pengeboman hanya mendapat perhatian terbatas. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Imperial_Japanese_Army_Air_Service)
Pembom Tupolev TB-3. Pengembangan pembom TB-3 oleh Soviet menempatkan pulau-pulau asal Jepang ke dalam jangkauan Angkatan Udara Soviet. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/482518547562201586/)
Lukisan pertempuran udara antara pesawat tempur Jepang dan China Nasionalis pada tahun 1930an. Dalam konflik di China dan Uni Soviet, Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang utamanya memberikan kontribusi pada tingkat taktis dan bukan strategis. (Sumber: http://www.aviationofjapan.com/2013/06/robert-short-first-flying-tiger.html)

Namun, ketika Angkatan Darat kembali fokus pada Rusia dan Asia, proyek-proyek ini dihentikan pada awal tahun 1930-an. Karena aneksasi Manchuria oleh Jepang, perluasan perbatasan darat dengan Uni Soviet telah mengubah situasi strategis. Selain itu, pengembangan pembom TB-3 oleh Soviet menempatkan pulau-pulau asal Jepang ke dalam jangkauan Angkatan Udara Soviet (Tagaya: hal. 182-185). Sekitar pertengahan tahun 1930-an Angkatan Darat memulai perluasan besar-besaran kekuatan udaranya dan pada tahun 1937 menyatakan penghancuran kekuatan udara musuh sebagai misi utama. Namun, dalam konflik di China dan Uni Soviet, Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang utamanya memberikan kontribusi pada tingkat taktis. Selain itu, pada tahun 1940 penekanan pada penghancuran kekuatan udara musuh melemah dan kekuatan ofensif sebagian besar tetap pada tingkat taktis (Tagaya: hal.185). Masalah utama Kekuatan Udara Angkatan Darat Jepang terletak pada kurangnya inisiatif dan kepemimpinan senior yang konservatif yang lebih banyak bereaksi terhadap perkembangan internasional daripada merumuskan doktrinnya sendiri. Hal ini menyebabkan kurangnya perwira dengan pengalaman yang memadai selama periode ekspansi yang pesat (Tagaya: hal.186). “Hal ini sering mengakibatkan kepemimpinan yang buruk dan kerja staf yang tidak imajinatif, sehingga menimbulkan operasi yang efektivitasnya dipertanyakan dan terlalu mudah diprediksi, serta bersifat konvensional.” (Tagaya: hal.186)

KELEMAHAN KEKUATAN UDARA ANGKATAN LAUT JEPANG

Angkatan Laut Jepang (IJN), tidak seperti Angkatan Darat, memiliki pendukung kuat kekuatan udara di jajarannya. Hal ini disebabkan Angkatan Laut modern biasanya memiliki sikap yang lebih terbuka terhadap teknologi dan inovasi. Lagipula, divisi infanteri sebagian besar terdiri dari para prajurit, sedangkan kapal tempur sebagian besar terdiri dari baja dengan banyak komponen teknologi dan hanya diawaki segelintir orang. Selain itu, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang adalah pionir dalam penerbangan angkatan laut. Mereka membangun kapal induk pertama di dunia yang dibuat khusus, HIJMS Hōshō pada tahun 1922. Selanjutnya, mereka memperkenalkan penerapan operasional pertama dari pesawat tempur monoplane kapal induk yang seluruhnya terbuat dari logam pada tahun 1937. Dan pada tahun 1940 mereka mampu melakukan pengerahan pengebom torpedo dan tukik secara massal berkoordinasi dengan pesawat-pesawat tempur yang diluncurkan dari beberapa kapal induk, sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh angkatan laut mana pun pada saat itu. Tepat sebelum Pearl Harbor, IJN memiliki lebih banyak kapal induk dibandingkan Angkatan Laut lainnya dan memiliki kekuatan udara angkatan laut yang paling maju di dunia. Selain itu, ada beberapa aspek lain di mana IJN menjadi yang terdepan. Dalam hal pesawat, kemampuan pesawat tempur Zero mengalahkan semua pesawat sejenisnya dan terkadang bahkan pesawat berbasis darat. Selain itu, IJN memiliki kekuatan pembom angkatan laut berbasis darat yang kuat yang disebut unit “rikko”, yang pada awalnya dikembangkan untuk melawan batasan jumlah kapal induk akibat Perjanjian Angkatan Laut. Unit-unit ini menenggelamkan kapal-kapal tempur Angkatan Laut Kerajaan Inggris HMS Prince of Wales dan HMS Repulse pada masa awal Perang. Juga serangan terhadap Pearl Harbor dan setengah tahun berikutnya IJN pada dasarnya menandai dimulainya dominasi kapal induk dalam peperangan laut. (Tagaya: hal. 186-187) Namun, terlepas dari semua pencapaian dalam unit penerbangan angkatan laut, cukup mengejutkan bahwa IJN tidak menghentikan kapal tempur sebagai senjata utama Angkatan Laut baik sebelum atau setelah keberhasilan awal operasi kapal induk. Organisasi armadanya masih fokus pada kapal tempur dan belum membentuk organisasi satuan tugas kapal induk yang lengkap, tidak seperti Angkatan Laut AS pada masa akhir Perang.

Sebuah pesawat Biplane mendarat di kapal induk Hōshō Selama Insiden Shanghai. Jepang membangun kapal induk pertama di dunia yang dibuat khusus, HIJMS Hōshō pada tahun 1922. (Sumber: https://www.destinationsjourney.com/historical-military-photographs/japanese-aircraft-carrier-hosho/)
Pesawat tempur Zero Jepang yang fenomenal. Kemampuan pesawat tempur Zero mengalahkan semua pesawat sejenisnya dan terkadang bahkan pesawat berbasis darat. (Sumber: http://www.aviationofjapan.com/2013/06/robert-short-first-flying-tiger.html)
Kapal tempur super Yamato dan Musashi. Organisasi armada AL Jepang masih fokus pada kapal tempur dan belum membentuk organisasi satuan tugas kapal induk yang lengkap, tidak seperti Angkatan Laut AS pada masa akhir Perang. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/595178906991931136/)

Meskipun demikian, sejumlah besar sumber daya yang dikerahkan untuk membangun kapal tempur super Yamato dan Musashi sampai batas tertentu dapat dimengerti, karena sebelum perang di Pasifik, tidak jelas seberapa penting kapal induk, namun ada keengganan untuk mengubah organisasi angkatan laut adalah kelemahan besar dalam militer Jepang. Hal ini juga tercermin dengan kehadiran armada Kapal Tempur Jepang pada Pertempuran Midway bulan Juni 1942 (Tagaya: p. 187-189). Salah satu kelemahan utama IJN adalah fokusnya yang hanya menargetkan kapal-kapal perang musuh dan sering mengabaikan kapal pasokan musuh. Seperti setelah kekalahan kapal penjelajah Sekutu dalam pertempuran di Pulau Savo, dimana kapal-kapal angkut dibiarkan tidak terganggu. Kejadian ini tidak hanya terjadi satu kali saja, doktrin kapal selam IJN juga berfokus pada penghancuran kapal perang musuh seperti yang dilakukan oleh para penerbang Jepang. Pada tingkat tertentu, hal ini mungkin merupakan pandangan yang bias, namun kesalahan menilai nilai strategis dari kapal dagang dan perbekalan, mungkin berasal dari fokus pada pemikiran pertempuran klasik yang menentukan. Dengan sedikit membela pemikiran Jepang, kita perlu memperhitungkan bahwa bahkan Sekutu Barat yang awalnya berfokus pada peperangan strategis tidak berfokus pada pasokan Jerman dalam kampanye pengeboman mereka, mereka memerlukan waktu hingga bulan Mei 1944 untuk fokus melancarkan serangan pada produksi bahan bakar, yang mana sangat membatasi mobilitas dan efektivitas tempur seluruh pasukan Jerman. Di Pasifik dengan jalur pasokan yang panjang antar pulau, nilai strategis serangan terhadap kapal dagang sama pentingnya dengan bahan bakar bagi Jerman. Sebab, tanpa pasokan dan bahan bakar, efektivitas angkatan laut dan kekuatan udara akan sangat terbatas. (Tagaya: hal. 188-189)

KAPABILITAS KEKUATAN UDARA JEPANG

Seperti disebutkan sebelumnya, fokus Angkatan Darat Jepang dan Angkatan Laut Jepang adalah lebih untuk mendukung pertempuran. Pandangan sempit ini menyebabkan pengabaian terhadap logistik dan elemen krusial lainnya. Mirip dengan Luftwaffe Jerman, ada pengabaian tertentu terhadap semua elemen yang tidak mendukung langsung pertempuran sebenarnya, namun pengabaian Jepang ada pada tingkat yang jauh lebih besar. Bagaimanapun, Luftwaffe memiliki salah satu armada transportasi udara paling maju di masa awal perang, berlawanan dengan Jepang yang kekurangan armada pesawat angkut. Misalnya Jepang kekurangan pilot untuk menerbangkan pesawat ke garis depan dan kemampuan mereka membangun lapangan terbang terbatas. Selain itu, peralatan peringatan dan komunikasi seperti radar dan radio yang efektif untuk pesawat tempur juga sangat kurang (Tagaya: hal. 189). Berbeda dengan Angkatan Udara Jerman di Eropa Barat, Jepang tidak dapat mengandalkan infrastruktur yang ada di Pasifik, sehingga kekurangan ini mengurangi efektivitas tempur dan kesiapan unit-unit mereka. Akibatnya beberapa pembom angkatan laut digunakan beberapa kali untuk menjatuhkan perbekalan, karena tidak tersedia pesawat angkut (Laksamana Yamamoto sendiri tewas ditembak jatuh di pesawat pembom Betty yang dipakai sebagai pesawat transport!). Hal ini sangat kontras dengan Sekutu yang mampu menerbangkan sebuah divisi infanteri dari Australia ke New Guinea. Selain itu, Jepang secara berkala menggunakan pilot tempur untuk menerbangkan pesawat ke garis depan karena kurangnya pilot penerbangan ferry. Kurangnya peralatan teknik mekanis untuk membuat dan memperbaiki lapangan terbang yang ada juga mempunyai dampak jangka panjang yang parah. Hal ini tidak hanya mengakibatkan penundaan besar dan perlunya kerja keras di pihak Jepang, selain itu, instalasi yang dihasilkan seringkali berukuran sangat terbatas. Akibatnya lapangan-lapangan udara Jepang biasanya dipenuhi oleh pesawat-pesawat yang diparkir berdekatan satu sama lain dalam beberapa kesempatan, dimana hal ini menyebabkan kerugian besar ketika lapangan udara tersebut diserang (Tagaya: hal. 189-190). Seringkali serangan ini terjadi tanpa peringatan apa pun, karena kurangnya peralatan radar di pihak Jepang. Meskipun Jepang pernah menjadi pemimpin dalam teknologi radar, mereka tertinggal karena tidak berinvestasi dan menggunakan teknologi tersebut untuk tujuan militer. Secara umum upaya dan kemampuan Jepang seputar komunikasi dan koordinasi masih terbatas. Radio gelombang pendek yang efektif juga kurang, sehingga pilot-pilot pesawat tempur Jepang pada dasarnya berkomunikasi dengan sinyal visual. Hal ini sangat menghalangi mereka untuk dapat memanfaatkan sepenuhnya keunggulan awal mereka dalam hal pelatihan dan peralatan. Selain itu, hal ini juga mencegah terciptanya kemampuan kontrol berbasis darat atau kapal induk seperti yang digunakan Inggris selama Battle of Britain atau yang dikembangkan Angkatan Laut AS selama perang (Tagaya: hal. 189-191).

Lukisan ditembak jatuhnya pembom G4M Betty yang ditumpangi oleh Laksamana Yamamoto. Karena tidak tersedia pesawat angkut, pesawat pembom Jepang terpaksa kerap dipakai sebagai pesawat transport. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/427208714623269906/)
Berbeda dengan Amerika, Jepang tidak pernah memanfaatkan keunggulan radar dan komunikasi dengan mengintegrasikannya pada titik komando dan sistem kendali terpusat. Nampak pada gambar meja plotting radar USS Lexington (CV-16) penuh sesak selama operasi di bulan Januari 1945. (Sumber: https://www.usni.org/magazines/naval-history-magazine/2007/june/ignoring-lessons-defeat)

PERBEDAAN KONSEP ANGKATAN DARAT DAN ANGKATAN LAUT JEPANG

Pertikaian antar angkatan darat dan laut yang sengit juga dipicu oleh pengaruh tutor masing-masing terhadap budaya dalam layanan. Kekuatan Udara Angkatan Darat Kekaisaran Jepang (IJAAF), yang diajari oleh Perancis dan kemudian dipengaruhi oleh Luftwaffe, berkonsentrasi pada dukungan udara tidak langsung dari pasukan darat. Di sisi lain Kekuatan Udara Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (IJNAF) yang belajar dari Inggris, mengadopsi pandangan yang lebih strategis, yang dipengaruhi oleh tradisi angkatan laut bahwa armada dengan senjata jarak jauh dan torpedo memiliki keunggulan. Mereka berangkat dari kebiasaan normal dengan mengembangkan kekuatan udara berbasis darat yang kuat untuk melengkapi kapal-kapal induk mereka. Dengan demikian, IJNAF mengambil bagian lebih besar dalam tugas ofensif di China di mana target yang sesuai sering kali berada jauh di dalam wilayah China. Mereka mendirikan pangkalan di China di mana pesawat pembom jarak jauhnya dapat beroperasi menyerang wilayah pedalaman dan menerbangkan sebagian besar misi, terutama yang mendapatkan publisitas yang berguna untuk propaganda, untuk memperkuat posisi IJNAF dalam pertarungan memperebutkan alokasi anggaran militer. Seperti angkatan laut lainnya pada saat itu, Angkatan Laut Jepang sebagian besar dikendalikan oleh laksamana pendukung kapal tempur bersenjata besar. Mereka percaya bahwa Jepang, dalam semangat Pertempuran Tsushima yang menentukan dalam Perang Rusia-Jepang, akan mencapai takdirnya dengan kemenangan besar di perairan Jepang melawan Angkatan Laut Amerika Serikat. Pada akhirnya, beberapa pemimpin tersebut, yang dipengaruhi oleh Laksamana Isoroku Yamamoto yang lebih fleksibel, melihat betapa baiknya kekuatan udara telah bekerja di China dan mulai menuntut agar pesawat jarak jauh menjadi ujung tombak kekuatan Jepang. IJNAF percaya bahwa dengan kekuatan udara jarak jauh, Jepang dapat memperoleh sumber daya alam yang paling dibutuhkannya—minyak—melalui penaklukan di wilayah Asia Tenggara.

Pembom AL Jepang Type 96/G3M Model 22 selama operasi pemboman di China. AL Jepang berangkat dari kebiasaan normal dengan mengembangkan kekuatan udara berbasis darat yang kuat untuk melengkapi kapal-kapal induk mereka. Dengan demikian, IJNAF mengambil bagian lebih besar dalam tugas ofensif di China di mana target yang sesuai sering kali berada jauh di dalam wilayah China. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bombing_of_Chongqing)

MASALAH PRODUKSI PESAWAT & PILOT

Jepang sebelum dan segera setelah Perang Dunia Pertama bergantung pada teknologi Barat dan mengimpor pesawat serta peralatan pada saat itu. Selama tahun 1930-an mereka mencapai swasembada dalam desain mesin dan pesawat, namun siklus pengembangannya masih cukup panjang. Selain itu, pada komponen dan subsistem pesawat terbang, seperti radio, Jepang masih sangat bergantung pada impor dari negara-negara Barat. Insinyur penerbangan Jepang kemudian berusaha keras untuk memenuhi tantangan IJNAF, mencoba menyeimbangkan muatan bom, persenjataan, lapisan baja, bahan bakar, dan kekuatan struktural yang besar terhadap persyaratan kecepatan, ketinggian, dan jangkauan. Para insinyur dipanggil untuk merancang pesawat yang akan memenuhi prinsip baru filosofi militer Jepang, yakni: Semua perang di masa depan harus berlangsung singkat, tajam, dan cepat dimenangkan, dengan Jepang yang melakukan semua penembakan dan pemboman. Untuk mencapai hal ini, angkatan udara Jepang menginginkan pesawat dengan kecepatan dan jangkauan yang tinggi. Pesawat pembom harus memiliki muatan bom yang besar, sedangkan pesawat tempur harus memiliki kemampuan manuver yang sangat baik. Para insinyur berhasil mencapai tujuan ini, namun kelemahannya adalah mereka merancang pesawat tanpa lapisan baja, tangki bahan bakar yang dapat menyegel sendiri, atau integritas struktural yang redundan. Sepanjang tahun 1938, pengalaman militer di China tampaknya memvalidasi filosofi desain ini. Meskipun ada perlawanan keras dari Angkatan Udara China, Jepang bisa membangun superioritas udara dekat yang memungkinkan mereka mengebom sasaran-sasaran utama sesuka hati. Pengenalan pesawat yang luar biasa seperti pesawat pembom darat bermesin ganda Mitsubishi G3M dan pesawat tempur Mitsubishi A5M (yang kemudian masing-masing diberi nama kode Nell dan Claude) memperkuat pemikiran ini. IJNAF menjadi berita utama dunia karena pemboman-pemboman kejamnya terhadap kota-kota di China, dalam operasi yang dilakukan oleh sebanyak 90 pesawat di wilayah berjarak ratusan mil. Pesawat-pesawat Jepang memiliki kinerja yang baik karena diterbangkan oleh awak yang sangat terlatih, banyak yang berpengalaman dalam pertempuran, dimana misi tempurnya didukung oleh awak darat yang sama terlatihnya. Kombinasi pesawat dan awak terbaik ini membentuk pemikiran Jepang tentang jenis dan ukuran angkatan udara yang diperlukan untuk menyerang Amerika Serikat. Dengan mengabaikan fakta bahwa lawan mereka dari China tidak terlatih dan tidak memiliki perlengkapan yang memadai, para pemimpin Jepang kini percaya bahwa perang besar dapat dimenangkan dengan sejumlah kecil pesawat unggul yang diterbangkan oleh awak yang hebat. Hal ini diikuti dengan persyaratan pemilihan pesawat, jumlah produksi, dan standar pelatihan pilot—yang membuka jalan bagi kegagalan kekuatan udara Jepang dalam Perang Dunia II. Kepemimpinan Jepang memutuskan bahwa produksi tahunan sekitar 5.000 pesawat yang dirancang untuk operasi ofensif sudah cukup. Mungkin masih dibutakan oleh konsep kemenangan armada laut di perairan lokal melawan Amerika Serikat, para pemimpin tidak menyadari bahwa pesawat terbang saja tidak cukup, dan bahwa pangkalan udara, awak pesawat, dan personel pemeliharaan juga sama pentingnya. Dalam gaya samurai, kru diperoleh dengan metode pelatihan yang mendekati sadis.

Pesawat tempur Mitsubishi A5M Claude. Untuk memenuhi tuntutan dari militer Jepang, para insinyur Jepang merancang pesawat tanpa lapisan baja, tangki bahan bakar yang dapat menyegel sendiri, atau integritas struktural yang redundan. (Sumber: https://salepubsm.live/product_details/42841086.html)
Dengan kinerjanya, Zero selama beberapa tahun merupakan pesawat tempur kapal induk paling baik di dunia. Zero adalah “peluru perak” kekuatan udara Jepang—kinerjanya yang unggul dan pilotnya yang unggul akan memastikan bahwa hanya sedikit pesawat yang diperlukan untuk mengalahkan angkatan udara musuh. (Sumber: http://www.aviationofjapan.com/2012/08/)
Mayor Teruhiko Kobayashi, komandan skuadron sentai termuda IJAAF. Dalam memoarnya, Ace Jepang Saburo Sakai menulis tentang disiplin pelatihan pilot yang berlebihan di IJNAF. Ia mencatat bahwa lebih dari 1.500 orang melamar untuk ditempatkan di kelas pelatihan pilotnya, hanya 70 orang yang terpilih, dan 25 cuma orang yang lulus. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Imperial_Japanese_Army_Air_Service)

Dalam memoarnya, Ace Jepang Saburo Sakai menulis tentang disiplin pelatihan pilot yang berlebihan di IJNAF. Ia mencatat bahwa lebih dari 1.500 orang melamar untuk ditempatkan di kelas pelatihan pilotnya, hanya 70 orang yang terpilih, dan 25 cuma orang yang lulus. Sementara itu, pada tahun 1940, Jepang memproduksi beberapa pesawat yang setara atau lebih unggul dari pesawat-pesawat asing dalam banyak parameter kinerja. Ini termasuk pesawat tempur Mitsubishi A6M Zero, pembom Mitsubishi G4M, pembom tukik Aichi D3A, dan pesawat torpedo Nakajima B5N (yang kemudian masing-masing dijuluki ZekeBettyVal, dan Kate). Zero selama beberapa tahun merupakan pesawat tempur kapal induk paling baik di dunia. Memiliki kecepatan yang wajar (345 mph/555 km/jam) dan persenjataan (dua kanon kaliber 20 mm dan dua senapan mesin), pesawat ini sangat lincah bermanuver, dan jangkauan operasionalnya melebihi 1.000 mil (1.609 kl) tanpa memakai tangki bahan bakar eksternal. Setelah debut operasionalnya pada tahun 1940, performa luar biasa dari Zeromenyebabkan perubahan konseptual yang penting. Alih-alih pesawat tempur Angkatan Laut hanya mementingkan pertahanan udara armada, mereka kini dipandang sebagai senjata ofensif yang memiliki jangkauan jauh. Misi mereka diperluas hingga mencakup menghancurkan pertahanan udara musuh dan memberondong kapal untuk menekan tembakan senjata antipesawat. Zero adalah “peluru perak” kekuatan udara Jepang—kinerjanya yang unggul dan pilotnya yang unggul akan memastikan bahwa hanya sedikit pesawat yang diperlukan untuk mengalahkan angkatan udara musuh. Kemenangan Jerman pada tahun 1940 telah melemahkan kekuasaan Eropa atas wilayah jajahannya di Asia Tenggara. Pada musim gugur tahun 1941, Jepang, yang terdesak oleh kurangnya sumber daya alam dan sanksi Amerika terhadap impor, memutuskan untuk merebut wilayah kaya minyak yang telah lama mereka dambakan. Faktor geopolitik semakin penting. Ketika Inggris diganggu oleh pesawat dan kapal selam Jerman, Jepang mengabaikan kemampuan Inggris untuk bereaksi di Pasifik. Yang lebih penting lagi, Jerman tampaknya berada di ambang menghancurkan Uni Soviet, sehingga menghilangkan ketakutan terbesar Angkatan Darat Jepang, yakni invasi Rusia ke negara bonekanya, Manchukuo. Kesalahpahaman ini berasal dari kegagalan di dalam Markas Besar Kekaisaran yang mencakup intelijen yang buruk, pemikiran para pemimpin militer yang bersifat provinsial, dan ketidakmampuan mereka untuk belajar dari pengalaman mereka di lapangan. Meskipun mereka berhasil mengatasi perlawanan China, mereka tetap menderita kerugian besar akibat serangan pesawat-pesawat tempur, senjata antipesawat, dan kecelakaan yang tak terhindarkan yang biasa terjadi dalam pelaksanaan operasi bertempo tinggi dan jarak jauh.

Pabrik pesawat tempur Amerika dalam Perang Dunia II. Total produksi pesawat Jepang dari tahun 1941 hingga 1945 adalah sekitar 66.000, dibandingkan dengan lebih dari 300.000 yang diproduksi Amerika Serikat pada periode yang sama. (Sumber: https://www.quora.com/How-many-aircraft-were-produced-by-the-Allies-during-World-War-II)
Pesawat tempur Corsair Amerika terbukti lebih unggul dari pesawat-pesawat tempur Jepang di Pasifik. (Sumber: https://www.wallpaperflare.com)
Mitsubishi A7M “Reppu” gagal menggantikan Zero. (Sumber: https://gimt-tezpur.ac.in/?q=mitsubishi-a7m-repp%C5%AB-returns-aeroscale-zz-1Y8Wwum)

Kepemimpinan Jepang, yang anehnya tidak terhambat oleh kebuntuan di China, memutuskan untuk menambahkan Amerika Serikat, Inggris Raya, Belanda, dan Australia ke dalam daftar musuh mereka. Mereka mengawali perang dengan total 2.625 pesawat lini pertama dan jumlah pilot sekitar 6.000 orang, 900 di antaranya adalah pilot kelas satu. Kekuatan ini, yang kecil jika dibandingkan dengan standar perang di kemudian hari, diharapkan akan menimbulkan kekalahan telak yang akan memaksa Amerika Serikat yang mengalami demoralisasi untuk melakukan negosiasi perdamaian. Jepang kemudian akan mengontrol sumber daya “Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.” Serangan Jepang terhadap Pearl Harbor dilakukan dengan sangat terampil dan beraninya awak pesawatnya, dan selama enam bulan berikutnya, kemenangan Jepang menyusul kemenangan lainnya hingga dihinggapi apa yang disebut “penyakit kemenangan” memenuhi pemikiran Jepang. Namun, rakyat Amerika tidak bereaksi seperti yang direncanakan, dan secara perlahan namun pasti, kekuatan industri Amerika Serikat merespons dengan cara yang tidak pernah dibayangkan oleh semua orang, kecuali beberapa pemimpin Jepang. Selama empat tahun berikutnya, Jepang perlahan-lahan meningkatkan jumlah pesawat yang diproduksi dari sekitar 5.000 pada tahun 1941 menjadi lebih dari 28.000 pada tahun 1944. Total produksi pesawat Jepang dari tahun 1941 hingga 1945 adalah sekitar 66.000, dibandingkan dengan lebih dari 300.000 yang diproduksi Amerika Serikat pada periode yang sama. Selain itu, ketika AS mengembangkan pesawat baru dan lebih canggih dalam jumlah besar, Jepang terpaksa mengandalkan versi perbaikan dari pesawat yang mereka pakai untuk memulai perang. Durasi siklus pengembangan menjadi masalah. Namun, hal ini dapat diatasi dengan memesan pesawat tipe baru sejak dini. Sebelum bulan April 1942, ada upaya serius yang dilakukan untuk menciptakan penerus pesawat tempur Zero. Jika langkah-langkah ini diambil pada tahun 1940, maka Jepang bisa saja memiliki pesawat untuk melawan pesawat-pesawat tempur Corsair atau Hellcat ketika mereka muncul, tetapi ketika pesawat-pesawat baru Amerika hadir, Jepang masih harus melawan mereka dengan versi pesawat Zero yang dimodifikasi. Selain itu, penerus awal dari Zero, A7M “Reppu” gagal dan tidak segera ditinggalkan sehingga menunda pengenalan N1K1-J “Shiden”, yang baru memasuki pertempuran pada bulan Oktober 1944 dan versi perbaikannya “Shiden-Kai” baru siap pada bulan Maret 1945. Oleh karena itu, meskipun siklus pengembangan Jepang tidak secepat Amerika Serikat, masalah ini dapat dihindari dengan memesan penggantinya jauh-jauh hari (Tagaya: hal. 193-195).

MASALAH PEMELIHARAAN DI PANGKALAN GARIS DEPAN

Jepang melancarkan serangannya pada bulan Desember 1941 dari pangkalan-pangkalan yang berkembang dengan baik. Selama gerak maju ke selatan, dimana Armada Udara ke-22 angkatan laut Jepang mendukung serangan ke Malaya dari tiga lapangan udara di dan sekitar Saigon. Unit-unit ini memiliki kekuatan penuh dalam jumlah pesawat dan awak. Bahan bakar dan suku cadang juga tersedia dalam jumlah banyak. Pesawat menerima perawatan yang sangat baik. Pesawat-pesawat Zero, misalnya, mengalami perombakan menyeluruh setiap 150 jam penerbangan. Ketika pasukan Jepang bergerak ke selatan, unit-unit udara Jepang menduduki, memperbaiki dan mengeksploitasi pangkalan musuh yang direbut. Namun masalah nyata muncul ketika unit-unit tersebut mencapai wilayah yang belum dikembangkan. Pengiriman bahan bakar, makanan, dan material ke pangkalan-pangkalan tersebut menentukan apakah pesawat-pesawat mereka dapat terbang. Namun, apakah sebuah pangkalan telah direbut atau dibangun, pangkalan itu hampir tidak ada gunanya jika pasokan melalui laut tidak dapat mencapainya. Kompleksitas mekanis, kerusakan akibat pertempuran, dan tekanan lingkungan menjadikan pemeliharaan sebagai kunci ketersediaan pesawat, kinerjanya, dan kelangsungan hidup awak pesawatnya. Mengingat perekonomian Jepang yang tertekan, dalam hal produksi dan transportasi, mereka tidak dapat menerima hilangnya peralatan yang sebenarnya bisa diperbaiki. Hebatnya, Jepang menoleransi kerugian tersebut. Meskipun pasukan pemeliharaan dan kru persenjataan unit udara angkatan darat dan angkatan laut yang terlatih mengikuti pesawat-pesawat mereka ke selatan, unit pemeliharaan tertinggal di belakang pada gerak maju awal dan jumlahnya terlalu sedikit bahkan ketika mereka berhasil menyusul unit-unit udara Jepang. Angkatan Darat menanggapinya dengan mengirimkan unit pemeliharaan individu untuk menutup kesenjangan dalam cakupan pemeliharaan. Angkatan Laut, sebaliknya mengurangi dukungan pangkalan udara dalam negeri seminimal mungkin, untuk memperkuat pangkalan di garis depan. Karena personel layanan datang terlambat atau terlalu sedikit, pemeliharaan – dan bahkan pembangunan tempat tinggal serta fasilitas lainnya – menjadi tanggung jawab awak pesawat itu sendiri. Tugas-tugas tersebut menguras energi orang-orang yang tugas utamanya adalah terbang.

Mitsubishi G3M Nell dari Mihoro Air Group, membawa bom secara eksternal. Jepang melancarkan serangannya pada bulan Desember 1941 dari pangkalan-pangkalan yang berkembang dengan baik. Selama gerak maju ke selatan, dimana Armada Udara ke-22 angkatan laut Jepang mendukung serangan ke Malaya dari tiga lapangan udara di dan sekitar Saigon. Unit-unit ini memiliki kekuatan penuh dalam jumlah pesawat dan awak. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Bombing_of_Singapore_%281941%29)

Semakin mobile suatu unit pemeliharaan, semakin sedikit yang bisa dilakukannya tanpa alat berat. Namun, semakin baik suatu unit dalam memperbaiki, semakin sulit unit tersebut dikirimkan ke garis depan. Jepang sendiri selalu kekurangan pengangkutan. Memindahkan unit perawatan berat ke garis depan selalu menjadi masalah. Membongkar alat berat di lokasi yang tidak memiliki dermaga, dok, dan jalan raya membuat pemeliharaan pangkalan udara menjadi jauh lebih sulit. Pengerahan yang sedikit demi sedikit dari angkatan darat terhadap unit pemeliharaan penerbangan disebabkan oleh tidak adanya rencana strategis untuk menempatkan pasukan militer dalam jumlah besar di Pasifik Barat Daya. Namun, meningkatnya kehilangan kendali udara di Kepulauan Solomon membuat angkatan laut meminta angkatan darat untuk mendatangkan pesawat-pesawatnya. Namun tanpa rencana jangka panjang atau doktrin yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, tidak ada yang bisa menyiapkan dukungan logistik yang diperlukan. Depo tempat penggantian mesin dan perbaikan besar-besaran hanya sedikit dan tersebar. Peralatan berat Armada Udara Keempat Angkatan Darat untuk penggantian mesin dan perbaikan struktural besar-besaran di New Guinea, misalnya, sangat buruk. Inspeksi berkala, perbaikan, overhaul, dan bahkan servis rutin terhenti karena kurangnya perawatan. Jepang terpaksa harus meninggalkan banyak pesawat saat bergerak maju atau mundur yang sebenarnya dapat dengan mudah diperbaiki di area belakang. Perbaikan yang buruk juga membuat mereka tidak mempunyai kesempatan untuk menggunakan pesawat-pesawat usang dalam peran pelatihan, seperti yang umumnya dilakukan oleh kekuatan udara sekutu. Bahan bakar penerbangan di New Guinea berkualitas buruk dan mengakibatkan masalah mesin. Pangkalan utama perbaikan pesawat-pesawat Angkatan Darat di Halmahera, 1.000 mil (1.609 km) dari garis depan, tidak pernah berfungsi dengan baik karena kekurangan peralatan dan mekanik. Kelembapan tinggi dan hujan menyebabkan korosi pada bagian logam dan kabel, sementara peralatan listrik ditumbuhi jamur. Minyak pelumas menguap atau luntur pada peralatan. Ini masih ditambah dengan pengeboman Sekutu yang menewaskan mekanik terampil dan menunda perawatan pesawat. Awak darat mengalami atrisi akibat pesawat yang tidak terkendali, baling-baling yang berputar, dan karena bekerja di sekitar benda-benda berbobot berat. Karena angkatan darat dan angkatan laut tidak bekerja sama, pesawat angkatan darat di New Guinea harus terbang sejauh 1.500 mil (2.414 km) ke Manila untuk mengganti mesin meskipun angkatan laut memiliki aset perawatan yang besar di dekat Rabaul. Sementara itu bahkan di Rabaul sendiri, perawatan pesawat sangat terbatas sehingga dari 60 pesawat tempur dan 40 pembom yang ada, hanya 30 pesawat yang biasanya dapat terbang pada kurun waktu tertentu.

Pilot-pilot angkatan laut Jepang minum kelapa di Rabaul tahun 1942. Karena angkatan darat dan angkatan laut tidak bekerja sama, pesawat angkatan darat di New Guinea harus terbang sejauh 1.500 mil (2.414 km) ke Manila untuk mengganti mesin meskipun angkatan laut memiliki aset perawatan yang besar di dekat Rabaul. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/292311832048741781/)
Pemandangan dari ketinggian rendah dari landasan pacu Tarakan dengan banyak kawah bom akibat dari serangan bom Sekutu. (Sumber: https://pacificwrecks.com/airfields/indonesia/tarakan/1945/tarakan-airfield-runway-05-01-45-3891620.html)

Selama gerak maju ke arah selatan, pilot-pilot Jepang bertempur dari landasan udara yang belum diperbaiki, kebanyakan dari landasan tersebut kecil dan tidak beraspal. Meskipun pesawat-pesawat Jepang pada umumnya lebih ringan dibandingkan pesawat-pesawat Barat dan tidak memerlukan landasan beraspal, menduduki lapangan udara musuh tidak pernah mudah. Truk berbahan bakar bensin sangat langka dan hanya dapat ditemukan di beberapa lapangan udara yang luas. Awak-awak darat biasanya harus mengisi bahan bakar pesawat dengan pompa tangan dan tong-tong bahan bakar – sebuah proses membosankan yang memperlambat siklus penggunaan pesawat dan menghabiskan tenaga kerja. Bahkan pesawat-pesawat di Rabaul diisi bahan bakarnya dari drum berkapasitas 200 liter, bukan dari truk berbahan bakar bensin. Ketika angkatan laut Jepang menerbangkan sembilan pesawat tempur pertamanya ke bandara Legaspi Filipina pada bulan Desember 1941, dua di antaranya hancur total saat mendarat. Angkatan Darat menerbangkan dua skuadron pesawat tempur Nakajima Ki-27 ke Lapangan Singora yang baru saja direbut di Malaya, dan menghancurkan sembilan pesawat di wilayah miskin akomodasi tersebut. Sementara itu ketika 27 pesawat Zero dari Tainan Kokutai (kelompok udara) terbang ke Lapangan terbang Tarakan – salah satu yang terburuk di Hindia Timur – di Kalimantan pada bulan Januari 1942, dua pesawat mendarat melampaui landasan pacu dan hancur. Lumpur licin di lapangan itu membuat lepas landas dan mendarat menjadi berbahaya. Setengah dari pesawat Armada Udara ke-23 yang hilang dalam tiga bulan pertama perang adalah korban kecelakaan di landasan pacu yang buruk — sebagian memang disebabkan oleh roda pendaratan yang lemah dan rem yang buruk, namun sebagian besar disebabkan oleh medan yang buruk. 30 persen pesawat armada lainnya sudah rusak dan harus dibesituakan. Di sisi lain hanya 18 dari 88 pesawat yang dihapuskan jatuh dalam pertempuran udara. 

LANDASAN PACU PRIMITIF

Pesawat-pesawat angkatan laut Jepang terbang ke Lae di New Guinea pada awal bulan April 1942. Ace Zero Saburo Sakai menggambarkan landasan tersebut, yang dibangun oleh Australia sebelum perang untuk mengangkut pasokan ke dalam dan keluar emas dari tambang Kokoda, sebagai “lubang lumpur yang ditinggalkan.” Meskipun pihak berwenang Jepang menganggapnya sebagai lapangan terbang yang lebih baik, namun ukurannya sangat kecil sehingga pilot-pilot Jepang membandingkannya dengan pendaratan di kapal induk. Tiga truk tua memberikan dukungan di sana. Tabel organisasi dan perlengkapan angkatan laut Jepang menetapkan bahwa setiap unit udara harus memiliki pesawat tambahan dalam organisasinya yang setara dengan sepertiga kekuatan operasionalnya. Namun pada awal bulan April 1942, unit udara angkatan laut tidak memiliki pesawat tambahan dan berada di bawah kekuatan operasional resmi mereka. Staf umum angkatan laut menolak permintaan mendesak dari Armada Udara ke-11 yang berpangkalan di pantai untuk memberikan pesawat pengganti karena kapal-kapal induk dengan prioritas yang lebih tinggi pun tidak mempunyai kekuatan seperti seharusnya. Staf umum angkatan laut juga memiliki pandangan yang sempit dalam merencanakan pangkalan udara yang saling mendukung. Para perwira Jepang yang bisa melihat gambaran besarnya tidak punya solusi. “Tidak ada yang lebih mendesak daripada ide dan perangkat baru,” tulis Laksamana Muda Matome Ugaki, kepala staf Armada Gabungan, pada bulan Juli 1942. “Sesuatu harus dilakukan dengan segala cara.” Tidak ada seorang pun di kedua wilayah Pasifik yang meramalkan adanya serangan besar-besaran di Kepulauan Solomon dan Papua Nugini. Dalam 10 bulan pertama perang, angkatan laut Jepang hanya berhasil menyelesaikan satu pangkalan udara baru, di Buin di Bougainville, dan hanya memiliki satu landasan pacu. Meskipun pangkalan itu penting, namun medannya sulit, dan tujuh dari 15 pesawat Zero rusak parah ketika mereka mendarat di sana pada tanggal 8 Oktober 1942. Hujan lebat menunda pembangunan, dan bahkan penambahan pasukan pembangunan yang signifikan tidak banyak membantu. Landasan pacu tetap lunak dan licin saat hujan. Ketika awak unit penerbangan darat tiba dan melaporkan bahwa Buin tidak layak untuk beroperasi, Laksamana Ugaki, alih-alih mengatur aset konstruksi untuk menyelesaikan lapangan dengan baik, malah menggerutu di buku hariannya: “Betapa lemahnya pikiran mereka! Inilah saatnya setiap kesulitan harus diatasi. Jangan menggerutu, tapi cobalah menggunakannya dengan segala cara!” Para penerbang memang mencobanya – dan merusak sekitar 10 pesawat setiap hari ketika landasan pacu basah.

Lapangan udara Lae di New Guinea diserang oleh pesawat-pesawat sekutu. (Sumber: https://www.awm.gov.au/collection/128146)

Lapangan terbang di Guadalcanal membuahkan pengalaman yang pahit ketika Amerika merebutnya tepat sebelum Jepang membawa pesawat mereka sendiri. Jepang gagal membangun lokasi-lokasi ferry dan lapangan terbang tambahan antara Rabaul dan Guadalcanal, yang berjarak 675 mil (1.083 km) jauhnya, ketika mereka punya waktu. Kurangnya kapal yang mampu mengangkut personel dan peralatan untuk tugas tersebut merupakan masalah utama, namun pengabaian mereka terhadap radius tempur pesawat juga merupakan salah satu penyebabnya. Misalnya, 18 pesawat pengebom tukik AichiD3A1 terpaksa dijatuhkan ke laut dalam dua hari pertama kampanye karena kehabisan bahan bakar. Jepang juga belum mengembangkan infrastruktur teknik sipil yang kuat. Negara ini mempunyai mesin pemecah batu, alat pengaduk beton, gergaji listrik bergerak, dan peralatan pengeboran sumur bergerak, namun buldoser, sekop listrik, dan mesin pemindah tanah lainnya tidak banyak tersedia. Beliung, sekop, tenaga kerja, dan tenaga kuda menjadi tulang punggung aktivitas teknik Jepang. Anggaran militer Jepang sebelum perang dibelanjakan untuk kapal perang, divisi infanteri, dan pesawat terbang, bukan untuk peralatan konstruksi. Ketika perang terjadi, kurangnya aset konstruksi yang selama ini diabaikan mempengaruhi taktik. Misalnya, tanpa peralatan mekanis untuk membuat area penyebaran, pesawat-pesawat di garis depan rentan terhadap serangan di darat. Para perencana Jepang memang punya satu alasan bagus untuk berhemat pada unit pembangunan lapangan terbang. Daya dukung normal sebagian besar tanah cukup baik untuk menangani pesawat-pesawat ringan Jepang. Namun Jepang kekurangan baja untuk menghasilkan lembaran baja dalam jumlah besar, sementara Jepang berkonsentrasi pada pembuatan pesawat terbang, kapal perang, dan kapal dagang, serta kekurangan kapal angkut untuk mengangkutnya. Ini berarti Jepang bergantung pada tenaga kerja untuk membangun lapangan terbang. Pihak militer lalu menggunakan pekerja pribumi dimanapun mereka bisa, membayar mereka dengan rendah dan memberi mereka makan sedikit atau tidak sama sekali. Mereka mempekerjakan lebih dari 2.500 orang Jawa hingga tewas saat membangun ladang di Pulau Noemfoor. Tentara Jepang juga harus menggunakan pasukan infanteri untuk membantu membangun lapangan terbang. Pada bulan Desember 1942, misalnya, resimen insinyur dan tiga batalyon senapan Divisi ke-5 dikerahkan untuk membangun lapangan terbang di Kepulauan Solomon. “Ketika kami membandingkan hasil buruk (kami) dengan apa yang dicapai musuh kami,” kenang Komandan Chihaya, “membangun lapangan terbang yang besar dalam jumlah besar dengan kecepatan yang tak terbayangkan, kami tidak lagi bertanya-tanya mengapa kami dikalahkan habis-habisan. Musuh kami lebih unggul dalam segala hal.”

Lapangan udara Henderson di Guadalkanal. Amerika merebut lapangan udara ini tepat sebelum Jepang membawa pesawat mereka sendiri. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/633107660093139674/)

Makanan di lapangan terbang Jepang juga buruk. Barak mereka adalah daerah kumuh di dalam hutan. Tidak ada fasilitas binatu, dan para lelaki mencuci diri di sungai, atau di bawah kaleng berisi air. Penyakit kemudian mengurangi kesiapan pilot dan membuat pesawat yang masih bisa digunakan tidak dapat terbang. Kelelahan fisik menurunkan performa pilot, sehingga lawan yang kurang berketerampilan terkadang bisa menembak jatuh pilot Jepang yang veteran namun menderita demam. Tenaga kerja manusia menjadi sangat penting karena tidak adanya traktor, dan awak darat kelelahan mendorong pesawat di sekitar lapangan terbang. Mereka bekerja pada malam hari untuk menghindari serangan udara Sekutu, namun akibatnya malah menjadi korban nyamuk malaria, yang paling aktif pada malam hari. Para prajurit bekerja tujuh hari seminggu dalam cuaca buruk untuk melakukan tugas-tugas yang melelahkan dan mematikan pikiran. Awak darat menjadi gugup dan mudah tersinggung karena kurang tidur. Butuh waktu lebih lama dan lebih lama lagi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Kecelakaan kecil maupun besar kemudian meningkat. Otot manusia yang masih mentah bergulat dengan bom, peluru meriam, dan peluru senapan mesin yang dimasukkan ke dalam pesawat. Para mekanik melakukan perawatan di lapangan udara yang panas terkena sinar matahari tropis langsung, karena tidak ada hanggar. Ketika landasan udara yang tergenang air mengering setelah hujan, debu mengepul setelah setiap pesawat terbang, membuat interior kokpit tersedak dan mengikis mesin. “Awak pemeliharaan kelelahan, namun mereka menyeret tubuh mereka yang lelah ke lapangan, mengangkat dan menarik pesawat kembali ke hutan,” tulis seorang pilot angkatan laut di Buin pada bulan Juli 1943. “Mereka berdoa agar traktor seperti yang dimiliki Amerika berlimpah, namun mereka tahu impian mereka akan “kemewahan” seperti itu tidak akan terwujud. Para komandan dan perencana tidak memiliki pemahaman tentang banyaknya jumlah teknisi yang dibutuhkan untuk mendukung angkatan bersenjata modern. Meskipun selalu ada kekurangan mekanik terlatih, para komandan tidak menunjukkan minat untuk mengirim anak buahnya ke sekolah persenjataan di Jepang. Sekolah-sekolah dinas itu sendiri kurang memperhatikan logistik dan dukungan teknik pasukan tempur. Para komandan juga tidak mendirikan sekolah atau program pelatihan di unit taktis atau di wilayah geografis tentara.

TIDAK ADA STANDARISASI PERALATAN

Tidak adanya standarisasi senjata dan peralatan di Jepang berkisar dari jenis pesawat hingga mesin yang berbeda, hingga instrumen dan aksesori terkecil. Angkatan Darat menggunakan sistem kelistrikan 24 volt, sedangkan angkatan laut menggunakan standar tegangan yang berbeda. Dudukan untuk menahan senjata, kanon, dan peluncur roket bervariasi antara kedua layanan tersebut. Pada akhir perang, Jepang memproduksi setidaknya 90 tipe pesawat dasar (53 pesawat angkatan laut dan 37 pesawat angkatan darat) dan 164 variasi tipe dasar (112 varian angkatan laut dan 52 varian angkatan darat), sehingga membuat pekerjaan para petugas logistik menjadi jauh lebih sulit. Teknisi dan personel reparasi Jepang, yang jumlahnya sudah terlalu sedikit bahkan untuk menangani sistem pemeliharaan yang dikelola dengan baik, tersebar dalam kelompok-kelompok lemah untuk menangani berbagai macam peralatan. Mengidentifikasi, memisahkan, dan mengeluarkan banyak komponen secara tepat waktu kepada pengguna yang tepat berada di luar kemampuan mereka. Pihak Jepang kesulitan mengelola pemeliharaan normal, apalagi menyisihkan tenaga dan peralatan untuk improvisasi modifikasi di lapangan. Mekanik di lapangan terbang garis depan tidak cukup terlatih untuk memperbaiki banyak kesalahan pabrik yang ditemukan ketika pesawat baru tiba di lokasi penempatan. Militer Jepang juga gagal mengatasi masalah pasokan, pemeliharaan, dan medis yang muncul ketika unit udara mereka mencapai zona tropis yang jauh dari depot utama mereka. Komunikasi juga menjadi masalah. Angkatan Laut mengalami kesulitan besar dalam mengendalikan patroli udara tempurnya karena radio yang buruk. “Tampaknya bagi kami,” kenang Laksamana Muda Raizo Tanaka, “…setiap kali situasi pertempuran menjadi kritis, komunikasi radio kami akan mengalami hambatan, menyebabkan penundaan dalam pengiriman informasi penting…tetapi hal ini tampaknya tidak memberikan pelajaran bagi kami karena kegagalan komunikasi terus mengganggu kami sepanjang perang.” Perawatan radio pesawat sangat sulit, suku cadang sangat sedikit, dan keandalannya sangat buruk sehingga banyak pilot yang frustrasi justru memilih memindahkannya dari pesawat untuk menghemat berat.

Pesawat tempur Zero dan awak darat Korps Udara Chitose pindah ke Rabaul seminggu setelah pasukan Jepang tiba disana. Tidak adanya standar yang sama dalam hal peralatan antara Angkatan Darat dan Laut Jepang, membuat awak darat kerepotan dalam merawat pesawat-pesawat mereka. (Sumber: https://twitter.com/DWB55/status/1353661289025835008)

MASALAH PELATIHAN

Peningkatan produksi pesawat Jepang yang relatif terbatas tidak pernah diimbangi dengan peningkatan jumlah pilot yang dilatih, maupun kualitas pengajaran mereka. Akibatnya, tingkat keterampilan pilot Jepang menurun drastis setelah tahun 1942. Pada akhirnya, Jepang melatih sekitar 61.000 pilot, hampir setengahnya pada tahun 1944. Jumlah pilot Jepang yang hilang mencapai 40.000 dan sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan. Fokus Jepang pada pertempuran dan unit tempur merupakan faktor penentu sepanjang perang dan kurangnya strategi terpadu antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat menunjukkan kurangnya pandangan ke depan dan perspektif strategis. Hilangnya strategi terpadu menghalangi alokasi sumber daya Jepang yang terbatas secara tepat dan efektif sebelum dan selama perang. Sebaliknya meskipun Amerika Serikat mempunyai kapasitas industri dan tenaga kerja yang melimpah, Amerika Serikat bersama Inggris tetap berkomitmen pada Strategi Besar bahwa “Jerman menjadi fokus utama” (Tagaya: hal. 191-192). Industri pesawat terbang Jepang tertinggal dalam hal mesin yang bertenaga. Masalah ini kemudian diatasi dengan tidak menggunakan pelat baja dan tangki bahan bakar yang dapat menutup sendiri pada pesawat-pesawat model awal mereka, dimana karena pengalaman mereka melawan China hal tersebut dianggap sudah cukup. Berbeda dengan Jerman yang memperbaiki pesawatnya setelah pengalamannya dalam perang saudara Spanyol. Oleh karena itu, selama kampanye di Guadalcanal, kerugian Jepang meningkat dan jumlah penerbang mereka yang sangat terlatih dengan cepat berkurang. Kurangnya program pelatihan yang tepat serupa dengan yang terjadi di Jerman dan karena Sekutu Barat sangat menekankan pelatihan sejak dini, hal ini segera mengarah pada situasi di mana rata-rata pilot Jepang kurang terlatih dibandingkan rata-rata pilot Sekutu (Tagaya: hal. 191-193). “Pada akhirnya, margin awal dari pelatihan dan pengalaman unggul yang ditunjukkan oleh para penerbang terbukti tidak cukup untuk mencegah tingkat atrisi yang serius” (Tagaya: hal.193). Yang tidak kalah pentingnya, Jepang tetap mempertahankan pilot-pilot mereka yang berpengalaman dalam pertempuran terus-menerus, alih-alih menggunakan mereka untuk melatih sejumlah besar pilot yang kompeten. Pilot-pilot ahli yang tewas dalam pertempuran tidak pernah mendapat penggantian karena program pelatihan yang tidak memadai dan juga terganggu oleh kekurangan bahan bakar. Sebaliknya, program pelatihan pilot AS dalam Perang Dunia II terus ditingkatkan dengan rotasi pilot tempur ke posisi instruktur. Mulai tahun 1943, pilot Amerika, yang diajar oleh para veteran, memasuki pertempuran dengan waktu terbang ratusan jam, banyak di antaranya menggunakan pesawat operasional. Sebaliknya, waktu pelatihan pilot Jepang turun drastis hingga, pada akhir perang, pilot mereka mungkin memasuki pertempuran dengan waktu terbang kurang dari 100 jam dan hanya sedikit dalam pesawat tipe tempur. Keterbatasan lainnya adalah dalam hal instruktur penerbangan di wilayah Jepang karena dihadapkan dengan terlalu banyak siswa untuk melatih mereka secara efektif. Urgensi pelatihan pilot melebihi kurikulum. “Kami tidak bisa mengawasi kesalahan individu dan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyingkirkan kesalahan yang dilakukan oleh seorang peserta pelatihan,” kenang Sakai pada tahun 1943. “Hampir tidak ada satu hari pun yang berlalu ketika mobil pemadam kebakaran dan ambulans tidak melaju di landasan pacu, sirene memekik, untuk mengeluarkan satu atau lebih pilot dari pesawat yang mereka hancurkan saat lepas landas atau mendarat dengan canggung.” Keputusan untuk menekankan kuantitas daripada kualitas berarti bahwa penerbang yang kurang terlatih akan dipindahkan ke unit tempur. “Kami disuruh untuk mendesak orang-orang,” kata Sakai, “untuk melupakan poin-poin penting, ajari saja mereka cara terbang dan menembak.”

Pilot-pilot pesawat tempur Jepang dari Sentai ke-244 pada bulan November 1944. Peningkatan produksi pesawat Jepang yang relatif terbatas tidak pernah diimbangi dengan peningkatan jumlah pilot yang dilatih, maupun kualitas pengajaran mereka. Akibatnya, tingkat keterampilan pilot Jepang menurun drastis setelah tahun 1942. Pada akhirnya, Jepang melatih sekitar 61.000 pilot, hampir setengahnya pada tahun 1944. Jumlah pilot Jepang yang hilang mencapai 40.000 dan sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan. (Sumber: https://twitter.com/WW2Facts/status/611514312746778624/photo/1)

Pada akhir tahun 1943, angkatan darat dan angkatan laut telah kehilangan sekitar 10.000 pilot. Seperti yang dilaporkan oleh Letnan Jenderal Amerika George C. Kenney ke Washington, “Awak pesawat Jepang awalnya sangat terlatih dan sangat hebat tetapi mereka (sekarang) sudah mati.” Jika dicocokkan dengan produksi pilot sebanyak 5.400 di angkatan darat dan 5.000 angkatan laut pada periode yang sama, dan jika mempertimbangkan perluasan unit, misi, tempo dan pemisahan geografis, jelas bahwa kekuatan pilot Jepang tidak meningkat sama sekali. Yang lebih buruk lagi, sebagian besar veteran sebelum perang dan bahkan tahun 1942-1943 sudah tewas atau terluka, dan pengganti mereka tidak mempunyai pengalaman sama sekali dengan veteran tersebut. Ketika wilayah kekaisaran Jepang menyusut, kekuatan udaranya kembali menduduki basis logistik. Sistem perbaikan pesawat menjadi tidak terlalu berjauhan. Meski begitu, pada tahun 1944 terjadi kekurangan suku cadang untuk pesawat tua yang mulai memaksa mengistirahatkan beberapa pesawat tempur dan pembom. Kerusakan kecil akibat pertempuran pada pesawat yang secara struktural lemah, meskipun dapat diperbaiki dalam kondisi yang lebih baik, sering kali menyebabkan pesawat tersebut tidak pernah terbang lagi. Bahan bakar penerbangan memang tersedia dalam jumlah yang cukup di seluruh militer Jepang hingga pertengahan tahun 1944. Namun, pada awal tahun 1943, para komandan mulai mengajari pilot cara menghemat bahan bakar. Ketika kekurangan bahan bakar akhirnya terjadi, hal ini umumnya tidak berdampak langsung atau meluas pada operasi tempur, namun berdampak buruk pada program pelatihan. Ketika bensin penerbangan menjadi langka, peserta pelatihan militer menerbangkan pesawat layang selama bulan pertama pelatihan untuk menghemat bahan bakar. Kekurangan bahan bakar mulai mempengaruhi operasi tempur pada pertengahan tahun 1944, tepat ketika aktivitas udara Amerika mencapai puncaknya.

Kawasaki Ki-61 HienTony” Jepang yang dirampas di Clark Airfield, Luzon, Filipina, 1945. Buruknya perawatan dan peralatan pendukung membuat banyak pesawat Jepang tidak dapat diterbangkan meski sebenarnya hanya mengalami masalah kecil. (Sumber: https://www.flickr.com/photos/johntewell/5427243388)

Instruktur veteran, termasuk mereka yang bertugas terbatas secara permanen dan mereka yang baru pulih dari luka, mulai meninggalkan tugas pelatihan mereka untuk bergabung kembali dengan unit tempur. Banyak pilot garis depan yang tidak suka mengajar, terutama karena jumlah jam pelatihan menurun dan kualitas siswa menurun. Mereka yang telah ditolak untuk pelatihan pilot selama dua tahun sebelumnya kini terpaksa diterima. Pada tahun 1945, pesawat-pesawat Jepang di Clark Field di Luzon tersebar jauh dalam upaya pemencaran. Upaya pemeliharaan di lapangan telah gagal. Ratusan pesawat diistirahatkan hanya dengan masalah kecil. Misalnya, sebuah pesawat mungkin kehilangan karburatornya, namun karena tidak ada seorang pun yang mengatur penyelamatan karburator yang masih bagus dari pesawat yang kehilangan roda pendaratannya, kedua pesawat tersebut tidak ubahnya seperti ditembak jatuh. Seorang perwira intelijen Amerika yang memeriksa pangkalan Clark setelah perebutannya melaporkan, “Tidak mungkin untuk menggambarkan situasi secara keseluruhan selain mengatakan bahwa di mana-mana terdapat bukti disorganisasi dan kekacauan umum.” Pihak Amerika menemukan 200 mesin pesawat baru di sebuah desa dekat Clark, sebagian besar masih dalam peti pengiriman. Kru darat telah menyebarkan mereka jauh-jauh ke tempat penimbunan kecil yang terdiri dari tiga dan empat mesin. Mereka disembunyikan di bawah rumah, penggilingan padi, gubuk dan bangunan umum. Bagian-bagian seperti karburator, pompa bahan bakar, genset, dan baling-baling dalam jumlah besar juga berserakan di lapangan udara, kolong rumah, dan juga terkubur. Para mekanik mengubur perkakas tanpa pola yang jelas. Jumlah awal pesawat di dalam dan sekitar Clark mencapai 500, banyak di antaranya yang terbakar habis, namun banyak juga yang tampaknya siap terbang. Jepang belum mengalami tantangan logistik seperti yang dihadapi negara-negara Barat selama Perang Dunia I dan kemudian mereka harus mengalaminya kembali. Politisi, jenderal, dan laksamana Jepang telah salah dalam menilai karakter dan jangka waktu perang yang mereka lancarkan pada tahun 1941. Perencanaan logistik udara yang buruk, kurangnya pandangan ke depan, sikap rasis terhadap musuh-musuh mereka, basis industri yang lemah, dangkal, sempit, dan ketidakmampuan untuk menghargai kebutuhan pasokan atau belajar dari kegagalan mereka menjadi ciri upaya unit penerbangan mereka sepanjang perang. Pelajaran yang didapat dari pengalaman pahit kepemimpinan militer Jepang saat melawan Amerika Serikat pada Perang Dunia II adalah bahwa meskipun kualitas penting dalam membangun dominasi udara, mengabaikan kuantitas merupakan suatu kesalahan—terutama ketika menghadapi konflik yang berkepanjangan. Demikian pula, meskipun kekuatan udara dengan konsep “peluru perak” yang terdiri dari pesawat tempur dan pembom hebat, yang diawaki oleh kru hebat, mungkin memadai dalam peperangan (setidaknya di masa-masa awal), namun tidak ada cara yang bisa digunakan untuk memprediksi secara akurat kekuatan musuh di masa depan.

Sisa-sisa pesawat Angkatan Laut Jepang yang terlantar di Lapangan Udara Atsugi pada bulan November 1945. Di antara kegagalan dan kelemahan Jepang lainnya, adalah bahwa jumlah pilot pengganti yang berkualitas relatif sedikit dan teknologinya tertinggal dibandingkan Amerika Serikat. (Sumber: https://www.usni.org/magazines/naval-history-magazine/2007/june/ignoring-lessons-defeat)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

JAPAN’S FATALLY FLAWED AIR FORCES IN WORLD WAR II By JOHN W. WHITMAN; 7/28/2006

https://www.historynet.com/japans-fatally-flawed-air-forces-in-world-war-ii-2/?f

Why the Imperial Japanese Air Forces Failed in World War 2

http://militaryhistoryvisualized.com/why-imperial-japanese-air-forces-failed-in-world-war-2/

Silver Bullet Blunder By Walter J. Boyne; Dec. 1, 2009

https://www.airandspaceforces.com/article/1209bullet

Why The Imperial Japanese Air Forces Failed in World War 2 (Watch) by Shahan Russell

https://www.warhistoryonline.com/military-vehicle-news/imperial-japanese-air-forces-failed-world-war-2-x.html

Exit mobile version