Sejarah Militer

Mitos Persenjataan Dan Konsep Perang Ala Soviet dalam Militer Negara-Negara Arab (1948-1990)

Berikut adalah berbagai mitos yang tak terhitung jumlahnya tentang angkatan bersenjata Arab yang tetap tersebar luas – tidak hanya di Barat, tetapi bahkan di dunia Arab: mitos di mana semua peralatan Soviet yang beroperasi di negara-negara itu ‘dilatih oleh Soviet’, dan memang, ‘digunakan bertempur dengan gaya Soviet’ – yang berarti harus menggunakan doktrin, strategi, dan taktik Soviet. Legenda ini semakin jauh bahkan orang Rusia pun mulai meyakinkan diri mereka sendiri tentangnya. Tidak mengherankan, beberapa kelompok ultra-nasionalis mereka tidak bisa berhenti mengumandangkan tentang ‘persahabatan lama’ dan menyatakan Suriah sebagai ‘tanah kami’ ketika Putin melancarkan intervensi di negara itu, pada tahun 2015… Baiklah, mari kita tinjau kisah ‘Persenjataan dan Taktik Soviet di Timur Tengah’, mulai dari periode 1940-an-1990-an.

Mitos persahabatan: Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) menjamu presiden Suriah Bashar al-Assad (kiri) untuk membahas perdamaian usai kekalahan ISIS. Sejak dulu hubungan dekat antara Soviet/Russia selalu dikumandangkan, meski faktanya dalam sejarah kedua pihak tidak selalu se-iya-se-kata, terutana dalam hal militer. (Sumber: https://www.cnnindonesia.com/)

DARI PERANG PALESTINA KE KRISIS SUEZ

Selama Perang Palestina (sebutan orang-orang Arab) atau Perang Kemerdekaan (sebutan orang-orang Israel), yang terjadi pada tahun 1947-1949, tidak ada pihak yang menggunakan senjata, taktik, atau lainnya yang berhubungan dengan ‘Soviet’. Semua tentara Arab dilengkapi dengan sisa-sisa senjata yang secara de-facto diberikan kepada mereka oleh mantan administrator Inggris dan Prancis, atau apa pun yang dapat diperoleh perwakilan mereka dari luar negeri meskipun ada banyak embargo senjata. Misalnya, angkatan bersenjata Mesir berperang dengan mengendarai tank-tank M4 Sherman dan kendaraan pengangkut buatan Vickers, dan menerbangkan pesawat-pesawat Spitfire Inggris, sedangkan Tentara Suriah memakai tank Hotchkiss dan Renault buatan Prancis dan berbagai truk lapis baja, dan menerbangkan pesawat-pesawat T-6 Texan Amerika, sementara ‘Tentara Yordania’ (dinamai sebagai ‘Legiun Arab’ dan terdiri dari dua brigade dan beberapa batalion independen, yang semuanya dipimpin oleh orang-orang Inggris) tidak memiliki perlengkapan serupa. Selama dan setelah perang itu, orang-orang Mesir dan Suriah membeli lebih banyak pesawat tempur dari Italia, bukan dari bekas Uni Soviet. Justru, Israel-lah yang membeli banyak senjatanya dari Cekoslovakia (salah satu dari lima pengekspor senjata terkemuka pada periode tahun 1940-an-1970-an) – dan bahkan senjata-senjata ini berasal dari blok Barat dan Timur (lihat pesawat Avia S.199 yang dibuat berdasarkan desain Messerschmitt Bf.109 asal Jerman, pesawat Spitfire, dll). Memang, pada satu titik orang-orang Israel ingin mencuri radar Amerika yang ‘sangat rahasia’ dari AS dan membawanya ke Cekoslovakia untuk menyerahkannya kepada Soviet dan dengan demikian mendapatkan izin untuk terus melatih pasukan mereka dan membeli senjata di sana. Di sisi lain, Israel juga mendapatkan banyak senjata dari AS dan Italia.

Tank M4A4 Sherman Mesir selama kudeta tahun 1952. Selama Perang Palestina (sebutan orang-orang Arab) atau Perang Kemerdekaan (sebutan orang-orang Israel), yang terjadi pada tahun 1947-1949, tidak ada pihak yang menggunakan senjata, taktik, atau lainnya yang berhubungan dengan ‘Soviet’. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Pesawat T-6 Texan buatan Amerika milik AU Suriah. (Sumber: https://nl.pinterest.com/)
Pesawat tempur Avia S.199 Angkatan Udara Israel. Israel membeli banyak senjatanya dari Cekoslovakia. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)

Setelah perang itu, AS, Inggris Raya, dan Prancis mengeluarkan ‘Deklarasi Tripartit’, di mana mereka harus mempertahankan status quo dan menghindari mempersenjatai pihak mana pun (baik negara-negara Arab dan/atau Israel). Prancis adalah yang pertama mengabaikan deklarasi ini ketika mereka mulai mengirimkan senjata besar-besaran ke Israel, pada tahun 1951. Inggris juga menandatangani sejumlah kontrak dengan Mesir dan Suriah, pada periode tahun 1950-1955, tetapi sebagian besar dari pesanan ini dikenakan embargo tambahan. Misalnya, dari sekitar 300 pesawat yang dipesan Mesir di Inggris pada periode itu, hanya sekitar 100 yang benar-benar dikirimkan, dan semuanya sudah usang. AS sendiri sangat menghormati deklarasi tersebut (setidaknya sampai Kennedy menjanjikan sistem rudal anti pesawat MIM-23 HAWK ke Israel, pada awal tahun 1960-an). Hal-hal ini mengalami perubahan dramatis pada tahun 1954, ketika Israel melancarkan upayanya untuk mendapatkan pesawat tempur bersayap menyayung, sementara klik di sekitar Ben Gurion menyabotase pembicaraan damai rahasia dengan Nasser, dan mulai melancarkan serangan ke pos-pos perbatasan Mesir. Setelah ditolak di AS dan Kanada (untuk mendapatkan F-86 Sabre), orang-orang Israel akhirnya memesan pesawat tempur Mystére II di Prancis.

Sistem rudal anti pesawat MIM-23 HAWK, yang dijual Amerika ke Israel. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)
Canadair F-86 Sabre. Setelah ditolak di AS dan Kanada (untuk mendapatkan F-86 Sabre), orang-orang Israel akhirnya memesan pesawat tempur Mystére II di Prancis. (Sumber: https://ingeniumcanada.org/)

Mesir pertama-tama mencoba meluncurkan kembali permintaan pembelian senjata dari Inggris, sebelum kemudian mencari senjata dari AS. Orang-orang Inggris menolak sebagian besar permintaan. Ketika Washington kemudian mengkondisikan kemitraan semacam itu pada hak untuk menempatkan pasukan AS di Mesir, Nasser – yang baru saja membuat Inggris akhirnya mengosongkan pangkalan mereka di negara itu, dan dengan demikian tidak mampu membiarkan pasukan asing baru berdiam di Mesir – pertama-tama berpaling ke China, lalu di Uni Soviet. Negosiasi terkait pembelian senjata lalu menghasilkan ‘Kesepakatan Senjata Ceko’ yang terkenal pada tanggal 27 Oktober 1955, dinamai demikian sebagai upaya sia-sia Nasser untuk mencegah intervensi militer oleh Inggris Raya, Prancis, dan / atau AS sebagai reaksi terhadapnya. Yakni, Nasser (yang oleh CIA dianggap sebagai ‘aset kami’ sebelum dia naik ke tampuk kekuasaan!) dan Soviet sangat memahami bahwa AS melihat konflik Arab-Israel semata-mata melalui sudut pandang Perang Dingin, bukan dari apa yang sebenarnya terjadi. Invasi tripartit tahun 1956 (yang disebut ‘Krisis Suez’), kemudian membuktikan bahwa asumsi dia adalah benar. Pada bulan Oktober 1956, Mesir memperoleh 230 tank (utamanya tipe T-34/85), 200 APC (umumnya tipe BTR), 100 meriam serbu Su-100, 500 pucuk artileri, dan 200 pesawat (120 jet tempur MiG-15, 50 pembom Il-28, dan 20 pesawat angkut Il-14), begitu juga beberapa kapal perusak, kapal selam dan kapal motor torpedo. Kehadiran persenjataan ini mengubah perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Sebagai contoh sebelum kesepakatan pembelian senjata ini, Mesir dan Israel cuma punya kurang dari 200 tank. Lebih lagi tank-tank T-34/85 lebih superior. Sebagian besar tank-tank Mesir sebelumnya adalah surplus Inggris dari masa Perang Dunia II, sementara tank-tank Israel adalah M-4 Sherman, yang diambil dari berbagai tempat rongsokan. Sama juga sebelum kesepakatan senjata itu, Mesir hanya memiliki sekitar 80 jet generasi pertama buatan Inggris (umumnya tipe Vampire), sedangkan Israel hanya punya 50 pesawat jet buatan Inggris dan Prancis (tipe Meteor dan Ouragan). Dengan ini pesawat-pesawat MiG Mesir yang baru, tidak hanya mengungguli kekuatan udara Israel dari sisi kuantitas tetapi juga kualitas. Selama Perang Suez tahun 1956, orang-orang Mesir memang mengerahkan senjata-senjata buatan Soviet, tetapi masih berperang dengan cara mereka sendiri – tidak mengikuti ‘taktik Soviet’ apa pun. Satu-satunya ‘pelatihan Soviet’ yang mereka terima terkait dengan pengoperasian persenjataan yang mereka beli (MiG, tank buatan Soviet, dll.): yaitu mengajari mereka cara terbang atau mengemudi, tidak ada yang lain. Semua taktik yang diterapkan tetaplah taktik Mesir sendiri. 

Tank T-34/85 Angkatan Darat Mesir. Tidak mendapat akses pembelian senjata dari negara-negara Barat, Mesir berpaling ke negara-negara blok timur. Negosiasi terkait pembelian senjata lalu menghasilkan ‘Kesepakatan Senjata Ceko’ yang terkenal pada tanggal 27 Oktober 1955, dinamai demikian sebagai upaya sia-sia Nasser untuk mencegah intervensi militer oleh Inggris Raya, Prancis, dan / atau AS sebagai reaksi terhadapnya. (Sumber: https://www.themodellingnews.com/)
Meriam serbu SU-100 Angkatan Darat Mesir. Selama Perang Suez tahun 1956, orang-orang Mesir memang mengerahkan senjata-senjata buatan Soviet, tetapi masih berperang dengan cara mereka sendiri – tidak mengikuti ‘taktik Soviet’ apa pun. (Sumber: http://edokunscalemodelingpage.blogspot.com/)
MiG-15 Mesir (Pra 1958). Satu-satunya ‘pelatihan Soviet’ yang Mesir terima terkait dengan pengoperasian persenjataan yang mereka beli (MiG, tank buatan Soviet, dll.) adalah dalam hal mengajari mereka cara terbang atau mengemudi, tidak ada yang lain. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Selama dan setelah konflik itu, Suriah bergabung dengan Mesir dalam membeli persenjataan Soviet. Kedua negara ini terus melakukannya selama akhir tahun 1950-an dan hingga tahun 1960-an juga. Alasan utamanya adalah tidak ada negara lain yang siap untuk memasok mereka. Contoh yang baik untuk fakta ini adalah Suriah. Negara itu kehilangan pemerintahan demokratis pertamanya karena kudeta militer yang diorganisir CIA. Kemudian, pada tahun 1958, ia bergabung dengan Mesir ke dalam Republik Persatuan Arab (UAR), dan militernya dibubarkan secara de-facto, dimana semua unit utama dikerahkan kembali ke Mesir, semua perwira dan NCO diintegrasikan ke dalam militer UAR, sementara hanya sebagian kecil Unit Mesir yang dikerahkan ke ‘Provinsi Timur’. Ketika perwira Suriah melakukan kudeta dan mengusir orang-orang Mesir, pada tahun 1961, tidak ada yang tersisa dari militer Suriah. Selama dua tahun berikutnya, orang-orang Suriah melakukan apapun yang mungkin untuk mendapatkan persenjataan dari Barat, dan Eropa (Italia dan Prancis) pada khususnya – tanpa hasil apapun. Hanya ketika semua upaya mereka tidak membuahkan hasil barulah mereka beralih ke Moskow untuk mempersenjatai kembali. Bahkan kemudian, orang-orang Suriah sebenarnya lebih suka bekerja sama dengan Cekoslovakia. Masalahnya adalah – karena ‘distribusi ulang’ tugas-tugas terkait industri tertentu dalam Pakta Warsawa tahun 1960-an (misalnya: tidak ada negara lain selain Uni Soviet yang memproduksi jet tempur ) – negara itu keluar dari bisnis pembuatan jenis senjata ‘berteknologi tinggi’, dan dengan demikian tidak mampu untuk mengirimkan apa pun yang sebanding dengan, katakanlah, pesawat tempur MiG-21.

MiG-19PM AU Cekoslovakia. orang-orang Suriah sebenarnya lebih suka bekerja sama dengan Cekoslovakia ketimbang dengan pihak Soviet. (Sumber: https://czechairforce.com/)
Tank Renault R35 Tentara Lebanon selama parade militer pada akhir 1940-an. Sama seperti Lebanon, Suriah sebagai bekas jajahan Prancis banyak memakai perlengkapan buatan Prancis setelah Perang Dunia II. (Sumber: https://milinme.wordpress.com/)
BTR-152 adalah salah satu kendaraan tempur Soviet pertama yang banyak dipakai di Timur Tengah dan Afrika. Dalam foto adalah BTR-152B yang dipersenjatai dengan senapan mesin DShK quad-mounted dan satu senapan mesin Goryunov. Karena tentara Arab payah dalam berperang, Israel akhirnya bisa mengumpulkan armada BTR mereka sendiri yang cukup besar. Suriah merupakan salah satu negara Arab yang menggunakan kendaraan tempur BTR. (Sumber: https://thesovietarmourblog.blogspot.com/)

Masalah lain adalah ‘persaingan Soviet’, dimana Moskow secara teratur, namun secara harfiah, bahkan mengalahkan Cekoslovakia dan Polandia dalam banyak kesepakatan senjata besar dengan negara-negara Arab. Pada tahun 1948, saat perang Kemerdekaan Israel, tentara Suriah masih dilengkapi dengan peralatan-peralatan buatan Prancis, misal pasukan lapis bajanya memakai tank-tank buatan Renault. Setelah Mesir mencapai kesepakatan penjualan senjata dengan Soviet di tahun 1955, pemerintah Damaskus bergabung dengan beberapa negara Arab untuk meminta bantuan militer ke Moskow. Meski kesepakatan ditandatangani pada tahun 1956, pengiriman peralatan militer buatan Soviet baru mencapai Suriah pada tahun 1958. Sedari itu para penasehat Soviet mulai melatih pasukan Suriah  taktik dan doktrin tempur Soviet. Meskipun mereka hanya berjumlah beberapa ratus orang hingga awal tahun 1960an, mereka memegang peran penting dalam mengembangkan militer Suriah. Pada satu titik mereka adalah satu-satunya perwira yang serius mengajari tentara Suriah bagaimana harus bertempur. Karena para perwira Suriah lebih tertarik pada politik, beban pelatihan jatuh ke tangan para penasehat Soviet. Meski demikian, menjelang pecahnya perang 6 hari, tentara Suriah mencapai 70.000 orang. Mereka memiliki sekitar 500 tank dan meriam serbu (mayoritas tipe T-54, T-55, dan Su-100), 500 APC (umumnya tipe BTR), sekitar 300 pucuk artileri, dan 136 pesawat MiG (36 diantaranya tipe MiG-21). Tentu, Mesir sementara itu terus membeli senjata Soviet dengan jumlah besar. Namun, di situlah kemitraan itu berakhir. Jumlah dan pengaruh penasihat Soviet di negara itu tetap minim. Sebaliknya, rencana utama (sebenarnya: satu-satunya) Mesir untuk berperang dengan Israel – Operasi Qaher, yang sebenarnya adalah rencana untuk mempertahankan Sinai – dikembangkan oleh perwira kontrak mantan Wehrmacht.

PERANG 6 HARI, PERANG ATRISI, DAN PERANG YOM KIPPUR

Hubungan Mesir-Soviet mulai berubah pada tahun 1966, ketika Nasser membuat marah Presiden Johnson sehingga menghentikan penjualan gandum ke Mesir, yang membawa Kairo ke ambang kebangkrutan. Mesir kemudian meminta bantuan dari Moskow, dan Soviet menghapus sekitar 50% (jika tidak lebih) utang Mesir. Meski begitu, Soviet mengerahkan 36 penasihat mereka ke Mesir. Sementara itu, Suriah menerima sekitar 32 penasihat Soviet, tetapi terutama perwira angkatan udaranya tidak tahan dengan para penasihat Soviet. Kabarnya salah satu penasihat mereka akhirnya ditampar oleh salah satu Mayor dari SyAAF, dan yang lain menjadi pemabuk dan bunuh diri tak lama setelah kembali ke Uni Soviet (BTW, hanya beberapa tahun sebelumnya, perwira yang malang itu menjadi pengganti Gagarin, meskipun Gagarin tidak pernah sakit). Demikian pula, di Irak, sebagian besar pemerintah yang merebut kekuasaan dalam lebih dari 20 kudeta antara tahun 1930-an-1960-an, secara tradisional membeli senjata dari Inggris. Pengecualian dari ‘kebijakan’ ini adalah pemerintah yang berkuasa dari tahun 1958 hingga 1963, yang memasukkan beberapa orang Komunis (seperti kepala angkatan udaranya), dan membeli pesawat tempur MiG dan tank T-55 dari Moskow. Pengiriman senjata Soviet pertama datang pada tahun 1958. Pengiriman pertama terdiri dari sebuah skuadron MiG-15, yang kemudian diikuti oleh MiG-17/19/21, pesawat-pesawat transport dan helikopter. Pada bulan Februari 1959 sekitar 150 tank (mayoritas tipe T-34/85) dikirimkan ke Angkatan Darat Irak. Sementara itu, para penasehat Soviet dalam jumlah kecil mulai berdatangan, utamanya untuk melatih orang-orang Irak menggunakan peralatan Soviet, meski beberapa mulai bekerja untuk menganalisa problem-problem yang dihadapi AU Irak. Segera setelah pemerintah jenderal Qassim digulingkan, pada tahun 1963, pemerintah yang baru menempatkan pesanan yang lebih besar untuk pesawat tempur Hawker Hunter daripada sebelumnya, dan bahkan mempertimbangkan untuk membeli Lightning. Angkatan Udara Irak khususnya tidak begitu menyukai pesawat-pesawat buatan Soviet, seperti MiG-19 yang hanya berdinas sebentar. Seperti di Mesir, situasi di Irak mulai berubah pada tahun 1966, dan kemudian karena alasan yang tidak terkait dengan Perang Dingin, apalagi ideologi, yaitu, saat itu Irak sedang berperang melawan pemberontakan Kurdi yang telah berlangsung selama empat tahun. Orang-orang Irak bernegosiasi dan memesan Mirage dalam jumlah besar pada tahun 1967-1968, tetapi upaya tersebut gagal karena protes di Perancis yang pro-Israel dan kemudian kudeta yang dilakukan orang-orang partai Ba’ath. Dengan demikian, Baghdad dibiarkan tanpa solusi selain harus membeli MiG, Sukhoi, dan tank T-55 tambahan (ditambah banyak persenjataan lainnya) dari Moskow.

MiG-17 AU Irak. Di Irak, sebagian besar pemerintah yang merebut kekuasaan dalam lebih dari 20 kudeta antara tahun 1930-an-1960-an, secara tradisional membeli senjata dari Inggris. Pengecualian dari ‘kebijakan’ ini adalah pemerintah yang berkuasa dari tahun 1958 hingga 1963, yang memasukkan beberapa orang Komunis (seperti kepala angkatan udaranya), dan membeli pesawat tempur MiG dan tank T-55 dari Moskow. (Sumber: https://www.key.aero/)
Hawker Hunter AU Irak. Segera setelah pemerintah jenderal Qassim digulingkan, pada tahun 1963, pemerintah yang baru menempatkan pesanan yang lebih besar untuk pesawat tempur Hawker Hunter daripada sebelumnya, dan bahkan mempertimbangkan untuk membeli pesawat Lightning dari Inggris. (Sumber: http://edokunscalemodelingpage.blogspot.com/)
Tank T-55 Irak. Orang-orang Irak bernegosiasi dan memesan Mirage dalam jumlah besar pada tahun 1967-1968, tetapi upaya tersebut gagal karena protes di Perancis yang pro-Israel dan kemudian kudeta yang dilakukan orang-orang partai Ba’ath. Dengan demikian, Baghdad dibiarkan tanpa solusi selain harus membeli MiG, Sukhoi, dan tank T-55 tambahan (ditambah banyak persenjataan lainnya) dari Moskow. (Sumber: https://www.italeri.com/)

Meski begitu, walaupun ketiga tentara ‘besar’ Arab ini pada tahun 1967 sebagian besar dilengkapi dengan persenjataan Soviet, doktrin, strategi, dan taktik mereka merupakan campuran dari Inggris, dengan beberapa ide dari AS dan Prancis, tetapi terutama berbekal pengalaman mereka sendiri serta, dan apa pun yang bukan dari ‘Soviet’. Di sisi lain, tentara Yordania masih ‘murni berkiblat ke Inggris’, meskipun kemudian akan segera beralih ke Amerika Serikat sebagai sumber utama persenjataan dan penasihat (Yordania telah mengoperasikan tank-tank M47 dan M48, dan akan mendapatkan pesawat-pesawat tempur F-104 Starfighter ketika Perang Arab-Israel meletus pada bulan Juni 1967). Kekalahan besar dalam Perang Arab-Israel pada bulan Juni 1967 itulah yang mengubah banyak hal – tetapi hanya di Mesir, dan Angkatan Darat Mesir. Meski Soviet menyimpulkan bahwa merekalah yang harus disalahkan atas perang tersebut – dan dengan cepat mengganti kerugian Mesir dengan basis penggantian 1-untuk-1, tanpa biaya apa pun (itu adalah satu-satunya kasus seperti itu dalam seluruh sejarah hubungan Mesir-Soviet: yaitu, semua persenjataan lainnya yang dijual ke Mesir, Kairo harus membayarnya) – Moskow mengeksploitasi kesempatan itu untuk meluncurkan upaya besar untuk memperkuat posisi pengaruhnya di Mesir. Sejalan dengan itu, dan tentu saja dengan persetujuan Nasser, Uni Soviet mengerahkan sekitar 900 penasihat militer ke Mesir, dan meluncurkan upaya untuk membentuk kembali seluruh Angkatan Bersenjata Mesir sesuai dengan garis Soviet. Meski demikian tidak ada hal serupa yang terjadi pada Angkatan Udara Mesir. Walaupun karena kerugiannya sudah diganti pada akhir bulan Juni 1967, tetapi para perwiranya juga tak mau mendengarkan saran-saran penasehat Soviet (beberapa kali mereka melakukan hal itu selama Perang Atrisi, mereka selalu mengalami kerugian besar). Dari sisi perlengkapan tempur, karena berusaha meredakan ketegangan dengan Amerika, Soviet menolak untuk menjual beberapa peralatan militer tertentu ke Mesir, seperti pesawat tempur MiG-23. Mereka juga hanya menjual sejumlah kecil peralatan semacam rudal balistik SS-1 Scud dan memperlama pengiriman tank T-62 untuk mencegah Mesir berperang kembali.

Tank M48 dalam dinas operasional AD Yordania. Tentara Yordania masih ‘murni berkiblat ke Inggris’, meskipun kemudian akan segera beralih ke Amerika Serikat sebagai sumber utama persenjataan dan penasihat. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pesawat tempur F-104 Starfighter buatan Amerika milik AU Yordania. (Sumber: https://www.facebook.com/)
Personel Mesir menyiapkan rudal Scud. karena berusaha meredakan ketegangan dengan Amerika, Soviet menolak untuk menjual beberapa peralatan militer tertentu ke Mesir, seperti pesawat tempur MiG-23. Mereka juga hanya menjual sejumlah kecil peralatan semacam rudal balistik SS-1 Scud dan memperlama pengiriman tank T-62 untuk mencegah Mesir berperang kembali. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Tentu saja, pada tahun 1970, Soviet kemudian mengerahkan divisi pertahanan udara penuh ke Mesir (sebanyak 7000 tentara), tetapi mereka adalah pasukan angkatan bersenjata Soviet yang dibiayai oleh Mesir dan tak pernah bertindak sebagai ‘penasihat’. Kecuali beberapa situs SAM SA-3 Soviet selama musim panas 1970-an, mereka juga tak pernah secara langsung bekerja sama (yakni berperang) dengan angkatan bersenjata Mesir. Secara keseluruhan, ya, militer Mesir benar-benar dilengkapi dengan persenjataan buatan Soviet pada periode 1967-1973: namun, hanya angkatan darat dan pertahanan udaranya yang bertempur dengan ‘gaya Soviet’. Angkatan udara memiliki formasi dan taktiknya sendiri, dan – bahkan setelah mengganti nama ‘Grup Udara’ menjadi brigade udara ‘gaya Soviet’ – masih mempertahankan formasi ‘skuadron’ sebagai unit dasar dan sejumlah tradisi ‘berbasis RAF’. Dengan demikian, hanya sebagian saja yang benar bahwa Mesir bertempur dengan ‘gaya Soviet’ pada bulan Oktober 1973. Sementara itu, tidak ada hal serupa yang terjadi di Irak, Suriah, Yordania, atau di mana pun – kecuali di Yaman Selatan. Ya, tentu saja, Irak dan Suriah pada awal tahun 1970-an memang terus membeli persenjataan Soviet, tetapi militer mereka terus mengembangkan doktrin, strategi, dan taktik mereka sendiri. Jika pun ada, Irak dan Suriah (terutama Suriah) hanya meminta nasihat dari Cekoslovakia, bukan dari Uni Soviet (terutama Suriah yang dengan cepat menyimpulkan bahwa Cekoslovakia memberikan layanan yang jauh lebih baik dalam hal ini, daripada Soviet). Sedari sebelum tahun 1967, Hafez al-Assad, penguasa Suriah membatasi kontak dengan Moskow untuk menghindari mereka mencampuri urusan internal Suriah. Hal-hal ini berubah di Suriah pada musim semi tahun 1973, ketika Hafez al-Assad menyadari bahwa ia harus mendekati Soviet dengan alasan sederhana bahwa ia membutuhkan lebih banyak persenjataan daripada yang ia miliki – jika ia ingin mencoba membebaskan Dataran Tinggi Golan. Sejalan dengan itu, Moskow bergegas untuk melengkapi kembali militer Suriah (Soviet bahkan membentuk sebuah cabang yang sama sekali baru, yaitu pasukan pertahanan udara), sebagai imbalan – yang sifatnya lebih bersifat sementara – penempatan ‘ribuan’ penasihatnya di negara itu.

Situs rudal SA-3 Mesir direbut oleh Israel selama Perang Arab-Israel. Kecuali beberapa situs SAM SA-3 Soviet selama musim panas 1970-an, para penasehat Soviet juga tak pernah secara langsung bekerja sama (yakni berperang) dengan angkatan bersenjata Mesir. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Pesawat tempur MiG-25. Pada akhir tahun 1970an Soviet lalu tidak hanya setuju untuk memulai kembali pengiriman senjata, dan bahkan beberapa ‘persenjataan yang agak canggih’ (seperti pesawat-pesawat tempur MiG-23MF dan MiG-25), tetapi juga meluncurkan intervensi militer langsung di Suriah, dengan mengerahkan sekitar 8.000 tentara. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)

Setelah Perang Arab-Israel di bulan Oktober 1973, dan bertentangan dengan ‘kesan’ yang biasa muncul di Barat, pengaruh militer Soviet di Timur Tengah secara de-facto menghilang. Mesir sudah keluar dari ‘kubu Soviet’ (mereka sudah mengusir orang-orang Soviet pada tahun 1972). Selain itu, Suriah segera mengikuti. Tidak hanya karena Assad yang anti-Komunis, tetapi pada tahun 1975 ada keretakan hubungan antara Damaskus dan Moskow yang disebabkan oleh perbedaan pandangan dalam hal Organisasi Pembebasan Palestina. Hasilnya adalah embargo senjata Soviet untuk Suriah. Embargo ini bersifat total dan berlangsung hingga tahun 1978. Pada tahun itu, Assad – yang sementara itu ‘berhasil’ menghancurkan perekonomian negaranya dan menyebabkan pemberontakan besar (namun: sedikit diketahui) – pergi ke Moskow untuk memohon bantuan. Soviet lalu tidak hanya setuju untuk memulai kembali pengiriman senjata, dan bahkan beberapa ‘persenjataan yang agak canggih’ (seperti pesawat-pesawat tempur MiG-23MF dan MiG-25), tetapi juga meluncurkan intervensi militer langsung di Suriah, dengan mengerahkan sekitar 8.000 tentara. (Ya, ini terjadi sekitar setahun sebelum invasi ke Afghanistan.) Pemberontakan terus berlanjut, dan mulai menyerang tidak hanya rezim, tetapi juga penasihat Soviet di Suriah. Pada tahun 1981, pasukan ini harus ditarik dari posisi biasanya dan dipusatkan di pangkalan seperti ‘di gurun’ (Hamad), juga seperti di T-4. Pada awal tahun 1982, bahkan angkatan udara berbalik melawan Assad dan mulai merencanakan kudeta yang akan terjadi bersamaan dengan pemberontakan di Hama. Upaya itu terungkap, dan ratusan perwira yang terlibat dieksekusi atau dibersihkan.

PERANG IRAN-IRAK

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Yaman Selatan sebagai satu-satunya pengecualian dalam hal tidak hanya diperlengkapi oleh Soviet yang, tetapi juga angkatan bersenjatanya dilatih ala Soviet, dan juga menerapkan ‘taktik Soviet’. Ironisnya, pengalaman negara yang berumur pendek itu dan angkatan bersenjatanya paling sedikit dipelajari, di mana pun. Militer Yaman Selatan awalnya diciptakan oleh Kuba (pada tahun 1970-1973), dan kemudian diambil alih oleh Soviet. Misi Kuba ke Yaman Selatan dikerahkan kembali ke Ethiopia pada tahun 1977, yang lalu meninggalkan Soviet ‘sendirian’ di negara tersebut. Pengaruh penasihat dan senjata Soviet (dalam satu kasus, hampir selalu diberikan secara gratis) sedemikian rupa sehingga angkatan bersenjata Yaman Selatan dapat digambarkan sebagai ‘Angkatan Bersenjata Soviet di Selatan’. Sejauh ini bahkan pesawat angkatan udaranya biasanya ditandai hanya dengan ‘terjemahan’ dari ‘nomor bort‘ Soviet mereka – selalu setia dengan warna merah. ‘Dan tetap saja’, militer itu dengan mudah dikalahkan militer Yaman Utara yang kurang terlatih, tidak diperlengkapi dengan baik, dan secara de-facto diabaikan bahkan oleh pemerintahnya sendiri – selama perang singkat pada tahun 1979. Konflik itu mengejutkan dan menyiagakan Saudi sampai pada tingkat di mana mereka meminta AS menyediakan pesawat-pesawat tempur F-5E dan tank M60 MBT (antara lain), ditambah meyakinkan Taiwan untuk melayani sebagai penasihat di Yaman Utara selama satu dekade penuh pada tahun 1980-an. Selain itu, meskipun secara de-facto ditinggalkan oleh Moskow setelah upaya kudeta yang mengerikan dan perang saudara pada tahun 1986, sisa-sisa militer Yaman Selatan yang telah dibentuk kembali terbukti merupakan hal yang sulit untuk ditaklukkan oleh angkatan bersenjata Yaman Utara selama Perang Saudara tahun 1994. 

F-5 Tiger AU Yaman Utara. (Sumber: https://twitter.com/)
CH-47 Chinook milik Libya. (Sumber: https://www.facebook.com/)

Sementara itu, Libya bergabung dengan ‘Klub Klien Soviet’, pada tahun 1974. Meski awalnya membeli persenjataan dari Prancis (110 pesawat tempur Mirage pada tahun 1970) dan Italia (yang terakhir ini sering kali dirancang oleh AS, lihat contohnya seperti kendaraan lapis baja M113 APC atau helikopter CH-47 Chinook), Tripoli mendapati bahwa Uni Soviet mampu dan siap untuk memberikan senjata dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu yang sangat singkat – yang mana hal ini ‘sangat baik’ bagi pemerintah yang menjalankan program ‘Sejuta Pasukan’. Kesepakatan senjata besar tahun 1974 antara Tripoli dan Moskow sebesar $ 500 juta (untuk 2.000 tank, pembom Tu-22, dan setidaknya 40 MiG-23) kemudian menghasilkan beberapa pengalaman ‘mimpi buruk’ yang berkaitan dengan persenjataan Soviet. ‘Contoh terburuk’ dari semuanya adalah MiG-23, yang diiklankan Soviet sebagai ‘pesawat tempur F-14 bermesin tunggal’, tetapi ternyata diproduksi dengan buruk, tak dapat diandalkan, dipersenjatai dengan buruk, dan diberikan dengan dokumentasi teknis yang buruk. Bahkan kualitas pelatihan konversi yang diberikan kepada pilot-pilot Libya di Uni Soviet dinilai sangat buruk oleh rakyat Libya. Karena merasa jijik dengan Soviet, Libya tidak hanya menghentikan praktik pengiriman pilot mereka untuk berlatih di sana, tetapi juga merekrut dua pilot AS (keduanya mantan penerbang F-4 yang pernah melakukan tur tempur di Vietnam) untuk menguji coba MiG-23 dan menulis buku panduan penerbangan baru untuk jenis pesawat tersebut (hal ini sebenarnya lebih dari sekadar rumor, penulis Tom Cooper benar-benar menemukan dan mewawancarai salah satu dari mereka).

MiG-23 AU Libya. MiG-23, yang diiklankan Soviet sebagai ‘pesawat tempur F-14 bermesin tunggal’, tetapi ternyata diproduksi dengan buruk, tak dapat diandalkan, dipersenjatai dengan buruk, dan diberikan dengan dokumentasi teknis yang buruk. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Tank T-72 Libya. Yang menarik dari persenjataan buatan Soviet adalah hargaya yang murah. (Sumber: https://horstwesselied.angelfire.com/)

Selain itu, mereka menjalin kerja sama erat dengan Yugoslavia (Yugoslavia membangun Akademi Angkatan Udara mereka di Misurata); mengontrak Cekoslovakia untuk membangun tiga sekolah penerbangan untuk pilot-pilot jet di Libya (yang menghasilkan lebih dari 1.000 pilot dalam kurun waktu 6-7 tahun); mengontrak orang Polandia untuk mengelola sekolah pilot helikopter, dan orang-orang Italia untuk mengelola sekolah pilot pesawat transport… Tentu saja, pesanan besar untuk persenjataan berdesain Soviet (seperti T-72 dan BMP-1) tetap dilakukan – tetapi di Cekoslovakia dan Polandia, bukan di Uni Soviet – sementara MiG-21 Libya pun dirombak di Yugoslavia, bukan di Uni Soviet. Hanya ancaman invasi AS, pada tahun 1985-1986, yang mendorong Libya untuk membeli persenjataan Soviet lagi (tank-tank T-72, pesawat tempur MiG-23MLD, MiG-25PDS, dan sejenisnya). Pada saat itu, sebagian dari angkatan udara Libya benar-benar dilatih ulang untuk bertempur sesuai doktrin mereka sendiri (yang merupakan perpaduan antara pengalaman AS, Inggris, Prancis, dan Libya sendiri, hanya saja tidak ada unsur “Soviet”). Ironisnya, LAAF tidak pernah diizinkan untuk menguji semua kemampuan barunya secara serius – bahkan ketika ada lebih dari cukup kesempatan untuk melakukannya, pada bulan Maret-April 1986 – dan itu dilakukan oleh para jenderalnya sendiri. Bahkan setelah beberapa pengalaman positif sejak bulan Februari tahun itu, mereka tidak yakin angkatan udara dapat menghadapi kekuatan AL Amerika. Mereka lebih memilih solusi ‘mempertahankan kekuatan yang sudah ada’. Ironisnya, para jenderal yang dimaksud dididik di Amerika Serikat dan Inggris pada tahun 1960-an, bukan di Uni Soviet. Sementara itu, meski Soviet tetap menjadi suplier utama militer Libya (mencakup 2/3 pengeluaran militer Libya), Libya tetap membeli peralatan militer diluar Soviet, seperti sistem SAM Crotale dan jet tempur Mirage F-1 dari Prancis dan rudal anti kapal Otomat dari Italia.

Sistem SAM Crotale. meski Soviet tetap menjadi suplier utama militer Libya (mencakup 2/3 pengeluaran militer Libya), Libya tetap membeli peralatan militer diluar Soviet, seperti sistem SAM Crotale dan jet tempur Mirage F-1 dari Prancis dan rudal anti kapal Otomat dari Italia. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Mirage F-1 AU Libya. (Sumber: https://www.key.aero/)

Sementara itu, Angkatan Darat Suriah memang menerapkan ‘taktik Soviet’ di Lebanon pada tahun 1982, tetapi itu tidak berguna. Di darat, dua divisi Suriah menghadapi lima, kemudian enam divisi Israel, dan di udara… Sekali lagi, seperti di Mesir pada tahun 1973, angkatan udara Suriah tertinggal jauh di belakang teknologi tinggi yang disediakan AS, yang dioperasikan oleh IDF/AF, dan kemudian sangat dilemahkan oleh pembersihan pada awal tahun 1982, sehingga upayanya sama sekali tidak ada gunanya. Tidak mengherankan jika mereka diejek secara luas, hanya karena orang-orang yang mengejek mereka tidak tahu bahwa ‘kinerja’ Suriah pada tahun 1982 tidak terkait dengan ‘taktik Soviet’, atau karena mereka juga memiliki agenda lain yang beragam. Tentu saja, Soviet terkejut dengan apa yang terjadi di Lebanon tahun 1982 sampai pada tingkat di mana mereka tidak hanya bergegas untuk ‘memberikan bantuan tambahan’ (sejauh pengiriman rudal SAM jarak jauh SA-5 yang sudah berusia 20 tahun dan pengiriman pesawat-pesawat tempur MiG-23ML yang terlambat). Sebenarnya, Moskow setidaknya menjadi sama sibuknya dengan ‘membersihkan’ kekalahan Suriah pada tahun 1982 dengan segala macam rekayasa dan fantasi, karena mengabaikan upaya analisis serius atas kekalahan itu. Tidak mengherankan, persenjataan yang diberikannya hanya ‘terlalu sedikit, terlalu terlambat’: lebih dari 10 tahun di belakang apa yang diberikan Barat kepada Israel dalam hal rudal udara-ke-udara dan peperangan elektronik saja. Akhirnya, selama 1985-1986, menjadi jelas bahwa ekonomi Suriah tidak dapat mendukung upaya untuk mencapai ‘keseimbangan strategis’ dalam persenjataan dengan Israel. Dalam situasi seperti itu, Soviet tak punya cara untuk menjawab – dengan pahit – keluhan Suriah tentang buruknya kualitas persenjataan mereka. Pertikaian pun tak terhindarkan. Ketika Moskow secara resmi berhenti mendukung Suriah, pada tahun 1989, Damaskus pun berhenti membayar utangnya, yang bernilai antara 13 hingga 15 miliar dolar AS, sebagian besar untuk persenjataan yang dipasok sejak tahun 1955. Penjelasan resminya adalah (Tom Cooper telah mendengar hal ini berkali-kali dari beberapa perwira Suriah yang berbeda, secara independen satu sama lain), bahwa persenjataan Soviet ‘sudah usang’, ‘tidak membantu mereka memenangkan perang melawan Israel’, dan dengan demikian ‘untuk apa membayar untuk sampah Soviet…? Bahkan keputusan Putin untuk menghapus lebih dari 70% utang Suriah, hampir 30 tahun kemudian, tidak mengubah pandangan tersebut.

Pertempuran udara di Lebanon tahun 1982. Sebelum pertempuran usai, IAF (AU Israel) akan mengklaim 85 kemenangan udara-hampir 50 persen dari Angkatan Udara Suriah. IAF hanya kehilangan tiga pesawat, semuanya karena tembakan darat. (Sumber: https://www.aviationarthangar.com/)
Sistem rudal SAM SA-5. Soviet terkejut dengan apa yang terjadi di Lebanon tahun 1982 sampai pada tingkat di mana mereka tidak hanya bergegas untuk ‘memberikan bantuan tambahan’ (sejauh pengiriman rudal SAM jarak jauh SA-5 yang sudah berusia 20 tahun dan pengiriman pesawat-pesawat tempur MiG-23ML yang terlambat). (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)
Armada MiG-29 Fulcrum AU Suriah. Mulai tahun 1985-1986, menjadi jelas bahwa ekonomi Suriah tidak dapat mendukung upaya untuk mencapai ‘keseimbangan strategis’ dalam persenjataan dengan Israel. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Sementara itu, Irak terus membeli senjata Soviet dalam ‘jumlah besar’ – hanya karena senjata-senjata ini lebih terjangkau dan murah, dan juga karena Baghdad menghadapi Iran yang dipimpin oleh Shah yang didukung AS pada tahun 1970-an – dan bukan karena orang Irak akan menjadi penggemar berat komunisme, atau angkatan bersenjata mereka ingin bertempur dengan ‘gaya Soviet’. Mereka masih (dan sangat) dipengaruhi oleh ‘tradisi yang berhubungan dengan Inggris’ – bahkan meski tidak ada lagi penasihat Inggris di negara itu sejak sekitar tahun 1967. Itu sedikit mengejutkan mengingat bahkan pada pertengahan tahun 1970-an, sebagian besar perwira militer Irak menjalani setidaknya satu kursus pelatihan di Inggris. Antara tahun 1973-1980 Irak meningkatkan kekuatan militernya dua kali lipat dan membeli 1.600 tank baru dan APC, termasuk tank modern T-72 dan kendaraan tempur BMP-1, begitu juga sekitar 200 pesawat tempur baru, termasuk MiG-23 dan pesawat serang Su-22. Namun sampai disini saja kaitan Soviet dengan perkembangan militer Irak. Selanjutnya, Saddam melibatkan Irak ke dalam perang besar-besaran dengan Iran, di mana militernya terbukti tidak memiliki pasukan yang cukup untuk mengamankan garis depan yang tampaknya tak ada habisnya, belum lagi tentang senjata yang cukup. Dalam rencana serangan ke Iran, Irak juga tidak menggunakan taktik Soviet. Rencana invasi mereka didasarkan pada rencana Inggris dari tahun 1941, untuk merebut ladang-ladang minyak di Provinsi Khuzestan. Selain taktik Inggris, Irak juga menggunakan pola serangan udara pembuka atas Iran meniru konsep serangan Israel dalam perang tahun 1967. Soviet sendiri tidak mendukung rencana perang Saddam. Untuk menambah luka, Soviet-lah yang mengecewakan Irak. Soviet mencoba merayu Teheran, dan pada 1980 mereka memberlakukan embargo senjata. Tentu saja, ini sudah dicabut pada bulan Mei 1981, dan kemudian Soviet – untuk sekali ini – benar-benar mencoba memberikan ‘yang terbaik’. Irak mendapatkan ‘semua yang diinginkannya dan lebih’: senjata yang lebih baik daripada yang bisa diimpikan oleh sebagian besar anggota Pakta Warsawa (hanya kurang senjata nuklir, tentu saja), atau yang mampu membelinya. Tapi, tidak ada cara lagi untuk memulihkan citra Soviet di mata para pembuat keputusan militer lokal. ‘Klik Sukhoi’ – yang mendominasi angkatan udara Irak pada awal tahun 1980-an – tidak disukai Saddam. Pada tahun 1984, ia menunjuk mantan pilot Hunter dan tokoh penting yang memesan Mirage pada tahun 1970-an sebagai komandan IrAF: Mayor Jenderal Sha’ban. Jadi, untuk sebagian besar perang itu, Baghdad membeli apa pun yang bisa, di mana pun bisa, dan – setelah bangkrut pada akhir tahun 1981 – apa pun dan kapan pun Kuwait dan Saudi siap membayarnya. Pada tahun 1984, misalnya Irak menyewa dari Prancis lima pesawat serang Super Etendard dan melengkapinya dengan rudal Exocet. Apa yang terjadi setelah sekitar tahun 1984-1986 dengan Irak, angkatan bersenjatanya, IrAF, dan penampilan Irak dalam perang dengan Iran dll, semuanya tidak ada hubungannya dengan ‘taktik Soviet’ lagi.

Ilustrasi MiG-21 Irak bertarung melawan F-14 Tomcat Iran. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)
Pilot-pilot Irak disamping pesawat serang Super Etendard. Irak tidak pernah yakin dengan persenjataan buatan Soviet, sehingga mencarai alternatif pengadaan senjata dari negara lain, seperti Prancis. (Sumber: https://www.facebook.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Myth of Soviet Arms and Tactics in the Middle East, Part One: from Palestine War to Suez Crisis by Tom Cooper

https://theaviationgeekclub.com/the-myth-of-soviet-arms-and-tactics-in-the-middle-east-part-one-from-palestine-war-to-suez-crisis/amp/

The Myth of Soviet Arms and Tactics in the Middle East, Part Two: The Six-Day War, the War of Attrition and the Yom Kippur War by Tom Cooper

https://theaviationgeekclub.com/the-myth-of-soviet-arms-and-tactics-in-the-middle-east-part-two-the-six-day-war-the-war-of-attrition-and-the-yom-kippur-war/amp/

The Myth of Soviet Arms and Tactics in the Middle East, Part Three: Single-Engined F-14s and the Iran-Iraq War by Tom Cooper

https://theaviationgeekclub.com/the-myth-of-soviet-arms-and-tactics-in-the-middle-east-part-three-single-engined-f-14s-and-the-iran-iraq-war/amp/

Arabs at War: Military Effectiveness, 1948-1991 (Studies in War, Society, and the Military) by Kenneth M. Pollack; September 1, 2004; P 29-30, p 106, p 156, p 182, p 184, p 216, p 360, p 362, p 450, p 459-460, p 480

Exit mobile version