Perang Timur Tengah

Operasi Moked, 5 Juni 1967: 6 Jam Yang Mengubah Sejarah Timur Tengah

Saat itu pukul 7 waktu Israel, tiga jam setelah fajar pada hari Senin, tanggal 5 Juni 1967. Kabut pagi tebal yang muncul setiap hari di musim panas baru saja terangkat dari daerah pesisir, melintasi luasnya Delta Nil yang lembab, dan di sepanjang Terusan Suez. Udara saat itu tenang dan sudut dari sinar matahari membuat jarak pandang di seluruh wilayah pesisir sama baiknya dengan siang hari. Tepat pada waktunya, 40 jet tempur Israel lepas landas dari pangkalan mereka di Gurun Negev seperti yang biasa mereka lakukan di setiap pagi. Dan, seperti yang terjadi setiap pagi, formasi Israel kemudian terbang ke barat, melintasi Laut Mediterania yang netral. Di sebelah barat daya, operator radar Mesir mencatat penerbangan pagi reguler Israel dan tidak memikirkannya lebih lanjut. Alasan pertama mereka mengapa tidak berpikir, adalah karena bukanlah tugas mereka untuk berpikir. Alasan kedua—bahkan saat bahaya pecahnya perang bisa terjadi sewaktu-waktu— adalah mereka tidak perlu memberi tahu markas yang lebih tinggi karena aksi pesawat Israel semacam itu selama dua tahun penuh telah menjadi rutinitas yang begitu dikenali oleh operator-operator radar Mesir, Suriah, dan Yordania. Biasanya, tepat pada waktunya, jet-jet Israel akan menukik untuk terbang di ketinggian gelombang lautan dan berbalik untuk pulang. Dalam waktu singkat, langit di sudut tenggara Laut Mediterania, tempat daratan Afrika bersinggungan dengan benua Asia, akan bersih dari aktivitas udara. Di sepanjang wilayah pantai dan pedalaman Mesir, di 18 pangkalan udara militer Mesir yang tersebar di seluruh Mesir bagian atas dan di Semenanjung Sinai yang bermasalah, pilot dan awak darat Mesir sedang sarapan. Terdapat peringatan saat fajar—dan memang selalu ada peringatan setiap hari—tetapi tidak ada serangan Israel yang terjadi meskipun situasi sudah sangat tegang di sepanjang perbatasan Mesir-Israel di Sinai. Semua orang mengira perang akan dimulai sekarang, tetapi ternyata tidak. Untuk satu hari lagi, serangan fajar pendahuluan Israel yang ditakuti belum juga terjadi, begitu pikir mereka. Jadi, bagaimanapun, rutinitas normal hari itu harus dijalankan.

Formasi sebuah Mirage IIIB dan tiga Mirage IIIC AU Israel. Pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, pesawat-pesawat Mirage III Israel tergabung dalam serangan udara pendahuluan atas pangkalan-pangkalan udara Mesir. Dengan memanfaatkan rutinitas penerbangan harian, AU Israel berhasil mengelabui para pengamat radar negara-negara Arab. (Sumber: https://military-historian.squarespace.com/)

Angkatan Udara Mesir sudah siap memulai aktivitas hari itu. Sebelum fajar, lusinan pilot pesawat tempur Mesir telah berada di kokpit pesawat jet pencegat mereka, duduk di ujung berbagai landasan pacu, semuanya dalam keadaan siaga selama lima menit. Dari pukul 4 hingga 7:35, sepasang jet tempur pencegat MiG-17 dan MiG-21 Mesir telah menerbangkan patroli udara tempur setengah jam berturut-turut di sepanjang perbatasan Mesir-Israel di Sinai. Tetapi  pesawat tempur patroli terakhir telah mendarat, dan hampir semua pilot sedang sarapan. Memang, pada pukul 7:40, hampir setiap pilot di Angkatan Udara Mesir sedang sarapan. Di tempat lain di Mesir, komandan militer dan pemimpin pemerintah sedang dalam perjalanan untuk bekerja dengan menghadapi kemacetan kota Kairo; kebanyakan dari mereka tidak akan dapat menerima informasi atau membuat keputusan sampai jam 8. Satu-satunya komandan Mesir yang secara khusus berfokus pada apa yang mungkin dilakukan orang Israel pada saat itu adalah Marsekal Lapangan Abdel Hakim Amer, menteri perang Mesir, dan Jenderal Mohammed Sidki Mahmoud, kepala staf Angkatan Udara Mesir. Bersama dengan seorang brigadir jenderal Soviet yang saat itu menjabat sebagai perwira penghubung senior Angkatan Udara Mesir, Amer dan Sidki berada di udara dalam pesawat transportasi Ilyushin Il-14 bermesin ganda buatan Soviet yang digunakan sebagai pos komando terbang. Sidki telah menghabiskan satu jam terakhir memantau transmisi dari patroli udara tempur di sepanjang perbatasan, tetapi dia dan Menteri Perang Amer memutuskan untuk pulang pada pukul 7:40, lima menit setelah patroli terakhir dari pesawat tempur MiG mendarat. Saat Il-14 mereka berbelok ke pangkalan udara Kabrit dekat Kairo, pengawas darat melaporkan bahwa tidak ada lalu lintas di dekat Sinai, kecuali misi harian Israel di atas Laut Mediterania. Pukul 7:45, tepat sesuai jadwal, jet-jet Israel di layar radar Mesir menukik dan menghilang di bawah cakrawala semua radar di daerah itu—milik Mesir, Amerika, dan Soviet. Peristiwa harian rutin ini dicatat dengan baik. Pada saat yang sama, tepatnya, pilot dari pesawat pos komando terbang Il-14 melaporkan kepada Jenderal Sidki bahwa, setelah terjadi ledakan suara singkat, kontak radio dengan Kabrit telah mati. Tepat pada saat itulah bom mulai berjatuhan.

Menjelang pecahnya Perang 6 hari, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser telah melontarkan berbagai retorika tajam yang mengancam akan melenyapkan Israel dari muka bumi. Aksi Nasser ini kemudian didukung oleh fakta bahwa militer Mesir telah mengumpulkan lebih dari 90.000 tentara dan sebanyak 900 tank di perbatasan Sinai dengan Israel. (Sumber: AP Photo/https://www.timesofisrael.com/)
Karikatur yang menggambarkan Nasser “menendang” Israel ke lautan. Menanggapi sikap Nasser dan negara-negara Arab sekutunya, Israel tidak tinggal diam, dan memilih untuk menyerang terlebih dahulu. (Sumber: https://www.flickr.com/)

Pada bulan-bulan sebelum Israel melancarkan serangan pendahuluan terhadap Angkatan Udara Mesir pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, ketegangan antara Israel dan negara-negara tetangga Mesir, Yordania, dan Suriah sudah sangat tinggi. Berkat proses politik internasional yang serba salah—terutama karena Perserikatan Bangsa-Bangsa yang lemah dan bimbang—Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser telah memulai permainan intimidasi yang melampaui ambang batas yang, dimana pada akhirnya, dia tidak dapat mundur, dan dari situ Israel juga tidak akan tinggal diam. Dengan negara-negara Arab di sekitarnya, bersama Mesir, yang dilengkapi dengan kendaraan dan persenjataan Soviet, semakin memusuhi keberadaan Israel, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) kemudian meningkatkan persiapannya untuk melakukan tindakan ofensif. Mengingat kekuatan gabungan Mesir, Yordania dan Suriah, yang jauh lebih besar, ini bukanlah tugas yang mudah. Gabungan kekuatan dari tiga negara dapat menghadirkan sekitar 328.000 prajurit, 2.300 tank, 1800 APC, 2.200 emplasemen senjata anti-pesawat (termasuk baterai SAM), dan lebih dari 700 pesawat. Sebagian besar pesawat ini dioperasikan oleh Angkatan Udara Mesir, dan semuanya dipasok oleh Soviet, termasuk: pesawat tempur MiG-17, pesawat tempur supersonik MiG-19, pesawat tempur supersonik MiG-21, pembom strategis Tu-16, dan pembom menengah Il-28. Pada saat bom Israel mulai berjatuhan, Mesir telah mengumpulkan lebih dari 90.000 tentara dan sebanyak 900 tank di perbatasan Sinai dengan Israel. Mustahil bagi Israel untuk membiarkan diri mereka menunggu Pasukan Darat dan Angkatan Udara Mesir yang lebih kuat menyerang; jadi mereka harus menyerang terlebih dahulu. Untuk melawan kekuatan musuh yang mengesankan ini, IAF memiliki sekitar 196 pesawat tempur garis depan. Hampir semuanya ini adalah pesawat buatan Prancis yang kemampuannya telah ditingkatkan, seperti: pembom ringan Sud Aviation Vautours, pembom tempur Dassault Ouragon, pesawat tempur Dassault Super Mystere, dan 76 pesawat tempur Dassault Mirage IIICJ yang kemampuannya sangat baik. Bahwa Israel menggunakan angkatan udaranya untuk melakukan serangan pertama bukanlah suatu kebetulan; Israel telah merencanakan dan mempersiapkan serangan semacam itu selama hampir dua dekade. Strategi dan perencanaan serangan pendahuluan ini diwujudkan dalam operasi yang diberi nama Operasi Moked (Fokus), sebuah operasi dari Angkatan Udara Israel (IAF) yang dirancang untuk menghancurkan Angkatan Udara Mesir di darat.

KEBANGKITAN ANGKATAN UDARA ISRAEL

Adalah seorang prajurit infanteri, yakni Brig. Jenderal Chaim Laskov, yang memiliki pengaruh paling besar terhadap perkembangan doktrin Angkatan Udara Israel (IAF). Sebagai komandan IAF dari tahun 1951 hingga 1953, Laskov menahbiskan bahwa Israel perlu membangun angkatan udara ofensif, yang seluruhnya terdiri dari pesawat pengebom-tempur yang cepat dan kokoh, yang mampu mempertahankan diri dan melancarkan serangan bom presisi terhadap sasaran taktis, operasional, dan strategis musuh serta pasukan darat. IAF akan menjadi angkatan udara multiguna, yang mampu meluncurkan serangan udara kecil yang presisi dan serangan udara strategis, serta memberikan dukungan udara jarak dekat yang tepat untuk pasukan darat. Laskov memiliki tugas yang sulit—di luar kemampuan sebagian besar angkatan udara dunia saat itu—dan tetap berada di luar kemampuan Israel selama masa jabatan Laskov karena kendala dalam hal anggaran dan pembatasan yang dipaksakan oleh para produsen senjata yang tidak mau membangkitkan sentimen ketidaksukaan negara-negara Arab demi kelangsungan hidup Israel. Namun, dengan mengidentifikasi jenis pesawat tempur yang tepat, pemikiran Laskov kemudian memiliki dampak yang kuat pada pandangan strategis IAF, dan bahkan pada doktrin taktisnya. Pemikiran itu tetap dipertahankan, terutama oleh penerus Laskov, yakni Brig. Jenderal Dan Tolkowsky, untuk mencoba mewujudkan impian Laskov. Sejak pengangkatannya pada akhir tahun 1953, Tolkowsky bekerja tanpa kenal lelah untuk memperoleh material dan mengasah kemampuan pilot, tim teknisi pemeliharaan, dan persenjataannya yang kecil ke standar kelas dunia. Pesawat tempur jet pertama yang dipesan oleh Israel, pada bulan Juni 1952, adalah pesawat serang darat Ouragan asal Prancis, yang sekelas dengan jet tempur pencegat generasi pertama asal Rusia dan Amerika yang pada saat itu mendominasi langit dalam Perang Korea. 25 unit Ouragan pertama dikirim pada bulan Oktober 1954; Israel kemudian juga memperoleh jet latih Meteor asal Inggris, beberapa di antaranya dikonversi untuk tujuan tempur. Selanjutnya, pesawat pembom tempur Dassault Mystère-IV Prancis yang modern menyusul dikirim pada bulan April 1956. Bukan tanpa pertimbangan yang matang, masing-masing Mystère ini dipersenjatai dengan dua kanon kaliber 30mm yang juga memenuhi syarat untuk melumpuhkan atau menghancurkan tank-tank dan apapun yang terbang pada saat itu. Mereka juga bisa membawa seribu kilogram campuran bom dan roket di bawah sayap mereka.

Brigadir. Jenderal Chaim Laskov, bekas prajurit infanteri yang meletakkan dasar-dasar doktrin dan mengidentifikasi jenis pesawat tempur yang dibutuhkan AU Israel di masa depan. (Sumber: https://www.idf.il/)
Dassault MD 450 Ouragan buatan Prancis, jet tempur pertama yang melengkapi AU Israel. Ouragan kemudian lebih difokuskan untuk menjalankan misi serang darat dengan mengandalkan 4 kanon kaliber 20 mm dan kemampuan angkut lebih dari satu ton bom, roket dan senjata lainnya. (Sumber: https://ar.pinterest.com/)
Dassault Mystère-IV yang lebih modern menyusul pesawat Ouragan memperkuat AU Israel pada tahun 1956. Dengan dipersenjatai oleh dua kanon kaliber 30mm, Mystère juga memenuhi syarat untuk melumpuhkan atau menghancurkan tank-tank dan apapun yang terbang pada saat itu. (Sumber: https://www.goodfon.com/)

IAF memiliki 53 pesawat jet pengebom operasional (dan sekitar 50 pesawat tempur bertenaga piston) pada saat Israel bergabung dengan Prancis dan Inggris dalam Kampanye Suez-Sinai di bulan November 1956 untuk menginternasionalisasikan kembali Terusan Suez. Meskipun IAF kalah jumlah dengan Angkatan Udara Mesir, dengan cepat mereka mampu memperoleh supremasi udara atas Sinai. Ini karena keunggulan mereka yang luar biasa dalam hal kualitas personelnya. Menjelang Kampanye Sinai, kepala Komando Tempur operasional IAF, adalah Kolonel Ezer Weizman, yang bertanggung jawab dalam melakukan pemilihan dan pelatihan pilot. Selain itu ia adalah visioner sejati yang memahami faktor penting dari pemeliharaan dan persenjataan pesawat. Adalah hasil pengamatan Weizman juga bahwa kualitas angkatan udara dalam pertempuran tidak diukur dengan berapa banyak pesawat yang dipunyainya, tetapi dari berapa banyak pesawat tempur bersenjata yang bisa mereka terbangkan. Setelah Kampanye Sinai tahun 1956, sebagian besar menjadi tanggung jawab Kolonel Weizman untuk menganalisis penggunaan kekuatan udara di Sinai dan membuat rekomendasi berdasarkan temuan yang didapatnya. Hasil yang tak terelakkan dari penelitian ini adalah sebuah program modernisasi penerbangan yang energik. Tugas itu juga jatuh ke Weizman, menyusul pengangkatannya ke jabatan komandan IAF pada tahun 1958 dengan pangkat Brigadir jenderal, untuk mengawasi pengadaan sistem senjata baru. Puncak dari masa jabatan Brig. Jenderal Ezer Weizman yang panjang sebagai kepala IAF adalah upayanya yang tak henti-hentinya untuk lebih meningkatkan kualitas keseluruhan satu-satunya kecabangan tempur Israel yang benar-benar strategis. Sementara semua kecabangan militer Israel lainnya hanya berorientasi pada tingkat tempur taktis dan operasional, misi terpenting IAF pada saat perang adalah penghancuran aset perang strategis dari satu atau lebih negara musuh sekaligus—selain tugas taktis dan cakupan operasionalnya di medan perang.

Brigadir. Jenderal Ezer Weizman, seorang visioner sejati yang memahami faktor penting dari pemeliharaan dan persenjataan pesawat. Dibawah kepemimpinannya, kualitas pilot dan crew IAF terus ditingkatkan. (Sumber: https://sarahhonig.com/)

Dari semua kecabangan tempur Israel, IAF memiliki tanggung jawab terbesar untuk melakukan serangan pendahuluan terhadap musuh pada masa awal perang. Strategi dasar serangan awal Israel telah berkembang pesat sejak Israel mencapai status kemerdekaannya pada tahun 1948, tetapi dibutuhkan pendekatan artikulasi dari prinsip Ezer Weizman—“Pertahanan terbaik Israel adalah di langit di atas Kairo”—untuk membuat serangan udara pendahuluan strategis sebagai misi utama IAF. Selain dimodernisasi, IAF perlu dikembangkan, karena jelas terlihat bahwa Kampanye Sinai hanya menunda bahwa pada suatu hari pertarungan akan pecah antara Israel dan Mesir. Angkatan bersenjata Mesir pasti akan berkembang untuk melampaui Israel, sehingga akan ada lebih banyak yang harus dilakukan IAF dalam perang di masa depan. Selama bertahun-tahun, Israel mampu memperoleh beberapa ratus pembom tempur garis depan dari Prancis—satu-satunya negara produsen pesawat di dunia yang pada saat itu bersedia menentang boikot Arab terhadap Israel. Pada tahun 1966, Ezer Weizman digantikan sebagai kepala IAF oleh pilot yang sama terampilnya, Mordechai Hod. Meskipun pada prinsipnya Hod setuju dengan setiap program yang telah dijalankan pendahulunya, dia bahkan lebih bersemangat daripada Weizman dalam pandangannya yang sama bahwa IAF perlu mengembangkan kemampuan orang-orangnya hingga potensi tertinggi mereka. Tugas utamanya—dan pencapaiannya yang luar biasa—adalah memastikan bahwa IAF mencapai kemampuan combat turnaround tercepat di dunia. Karena pengejaran tanpa henti Hod akan kemampuan di luar kokpit, awak darat Israel dapat mempersenjatai kembali dan mengisi bahan bakar jet pembom tempur-nya dalam hitungan menit, yang berbeda dengan standar dunia yang memakan waktu selama beberapa jam. Jika IAF telah menjadi angkatan udara regional yang mumpuni hingga tahun 1956, secara diam-diam—faktanya, secara rahasia—telah nyaris menjadi yang terbaik di dunia menjelang tahun 1967. Merasa bahwa perang dengan Mesir tidak dapat dihindari pada tanggal yang tidak diketahui di masa depan—atau bahkan dalam menit berikutnya—skuadron IAF tanpa henti melatih banyak misi strategis, operasional, dan taktis yang mungkin harus mereka lakukan pada saat itu juga. Selain itu operasi intelijen yang luas dan berkelanjutan menghasilkan rencana yang diperbarui hampir setiap minggu dan yang dapat diubah pada saat itu juga, bahkan ketika masing-masing pesawat menyerang target mereka.

Mordechai Hod, yang menggantikan Ezer Weisman pada tahun 1966, sebagai kepala IAF, terus melanjutkan konsep dari pendahulunya dalam meningkatkan kualitas SDM AU Israel untuk menjadi salah satu yang terbaik di dunia. (Sumber: https://www.algemeiner.com/)
Dengan pelatihan ketat dan terus-menerus, para kru darat AU Israel, memampukan pesawat-pesawat Israel memiliki tingkat kesiapan tinggi dan combat turnaround yang tercepat di dunia. (Sumber: https://militarywatchmagazine.com/)

IAF juga telah membangun beberapa pangkalan di gurun yang dimodelkan seperti pangkalan udara Mesir, yang memungkinkan pilot untuk berlatih serangan sebelum operasi. Pada setiap menit setiap hari, cukup banyak pilot Israel yang bersiaga, duduk di kokpit pesawat tempur pencegat modern mereka, siap untuk melancarkan aksi ketika muncul tanda-tanda permusuhan dari lawan Israel. Memang, nyaris tidak ada momen yang berlalu tanpa adanya pesawat-pesawat tempur Israel mengudara. Seluruh organisasi—pilot, kru pemeliharaan, kru persenjataan, pengontrol udara, semua orang yang bertugas pada saat tertentu—disiagakan dalam kondisi perang, benar-benar siap untuk terbang langsung ke pertarungan ofensif atau defensif. Sementara itu, meskipun hanya memiliki 196 pesawat tempur garis depan dalam inventarisnya, namun terdapat tiga pilot IAF untuk setiap pesawat yang ada. Hal ini memastikan bahwa saat terdapat seorang pilot yang beristirahat, akan tetap tersedia penerbang lain untuk menggantikan penerbang yang lelah atau terluka. Pada tahun 1967, IAF memiliki kekuatan 8.000 personel, sekitar 800-1.000 (sekitar 10%) diantaranya adalah pilot-pilot atau calon pilot. Pada tahun 1967, latihan bagi para pilot sangat intens. Para sukarelawan bergabung di IAF pada usia 18 tahun dan setuju untuk bertugas selam 5 tahun. Para siswa dilatih selama lebih dari 2 tahun sebelum memenuhi kualifikasi menjalankan tugas operasional. Pelatihan pilot sangatlah ketat, pada kelas tahun 1960, misalnya, hanya ada satu pilot yang dinyatakan lulus. 

PERBANDINGAN KEKUATAN UDARA ISRAEL VS MESIR

Menjelang perang, kekuatan udara IAF terdiri dari: 72 pesawat pembom tempur Mirage IIIC (3 skuadron); 18 pembom tempur Super Mystere B2 (1 skuadron); 50 pembom tempur Mystere IV-A (2 skuadron); 40 pembom tempur Ouragan (2 skuadron); 25 pembom tempur Sud Vautour IIA (1 skuadron); dan 76 pesawat latih Fouga Magister (2 skuadron). Mirage IIIC, yang dikirimkan pertama kali tahun 1963, adalah pesawat pencegat paling canggih Israel, yang setara performanya dengan MiG-21 yang dipakai negara-negara Arab. Pembom tempur Super Mystere B2, juga merupakan pesawat yang bisa menjalankan misi tempur udara ke udara, cukup sebanding dengan MiG-19. Sementara itu, pesawat penyerang darat utama IAF adalah Mystere IV-A, yang dibekali dengan dua kanon DEFA kaliber 30 mm dan berbagai bom udara ke darat serta roket. Pesawat Ouragan yang bersayap lurus adalah pembom tempur tertua yang digunakan Israel dalam Perang 6 hari. Pesawat ini membawa 4 kanon kaliber 20 mm dan lebih dari satu ton bom, roket dan senjata lain. Sud Vautour IIA adalah satu-satunya pesawat khusus serang IAF. Dipersenjatai kuat dengan 4 kanon kaliber 30 mm, Vautour juga dapat membawa lebih dari 2 ton persenjataan. Yang terakhir pesawat latih Fouga Magister ditugaskan untuk menjalankan misi pendukung serangan darat, dengan dibekali dua senapan mesin kaliber 7.62 mm dan antara bom-bom berbobot 100 pon (45 kg) atau roket kaliber 80 mm dalam dua cantelan.

Pembom tempur Super Mystere B2 AU Israel, juga merupakan pesawat yang bisa menjalankan misi tempur udara ke udara. Pesawat ini cukup sebanding dengan MiG-19 yang digunakan oleh AU Mesir. (Sumber: https://www.super-hobby.com/)
Sud Vautour IIA, satu-satunya pesawat serang murni AU Israel. Dengan dilengkapi 4 kanon kaliber 30 mm, Vautour punya firepower yang besar. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Mirage IIIC buatan Prancis, pesawat tempur paling canggih yang dimiliki Israel menjelang pecahnya perang 6 hari. (Sumber: https://twitter.com/)

Pada saat perang 6 hari pecah, kekuatan AU Mesir berjumlah 20.000 personel dengan dilengkapi sekitar 600 pesawat. Dari jumlah ini, 450 merupakan pesawat tempur yang terbagi dalam lebih dari 20 skuadron, yang terdiri dari: 120 pesawat tempur/pencegat MiG-21 (6 skuadron); 80  pesawat tempur MiG-19 (4 skuadron); 150  pesawat tempur MiG-15 dan MiG-17 (5 skuadron); 30 pesawat pembom tempur Su-7B (1 skuadron); 30 pembom strategis Tu-16 (2 skuadron); dan 40 pembom Il-28 (3 skuadron). Keenam skuadron MiG-21 termasuk jenis MiG-21F Fishbed C standar  dan model MiG-21PF Fishbed D yang lebih baru. MiG-21 PF menampilkan badan yang lebih aerodinamis, mesin turbojet Tumansky yang menghasilkan daya dorong 800 pound lebih besar dari mesin MiG-21F Fishbed C, dan kerucut air intake yang lebih besar untuk menampung radar pengukur jarak yang berjangkauan lebih jauh. Senjata utama Fishbed D adalah sepasang rudal udara ke udara berpemandu infra merah Atoll. Melengkapi skuadron MiG-21, AU Mesir mengoperasikan 4 skuadron pesawat tempur MiG-19 dan 5 skuadron pesawat tempur MiG-15 dan MiG-17. Beberapa MiG-19 adalah tipe pesawat tempur siang hari Farmer C; sedangkan yang lain tipe segala cuaca Farmer D yang dilengkapi dengan radar. MiG-15 dan MiG-17 sendiri digunakan utamanya sebagai pesawat tempur siang hari dan menjalankan misi serang darat. Hingga bulan juni 1967, AU Mesir mengoperasikan satu skuadron pesawat serang darat Su-7B buatan Soviet, dan berencana untuk memesannya lagi. Pembom tempur besar berkecepatan 1.6 Mach ini dipersenjatai dengan dua kanon NR-30 dan mampu membawa lebih dari satu ton muatan senjata. 3 skuadron pembom ringan Il-28, mampu membawa 3.000 pon (1,361 ton) bom hingga radius 1.200 mil (1.931 km). Kekuatan ini masih ditambah dengan 2 skuadron pembom strategis Tu-16, dimana pembom ini mampu mengangkut 20.000 pon (9,072 ton) bom sampai radius 1.500 mil (2.414 km). Pesawat-pesawat AU Mesir berpangkalan di 25 lapangan udara, yang mayoritas ada di dekat Kairo dan kawasan Delta Nil. Untuk memperingatkan pangkalan-pangkalan ini dari kemungkinan serangan, terdapat lebih dari 20 stasiun radar, yang terkonsentrasi utamanya di gurun Sinai dan Mesir bagian timur. Sementara itu pertahanan udara Mesir terdiri atas lebih dari 1000 senjata anti pesawat buatan Soviet (kaliber 37 mm, 57 mm, dan 85 mm) ditambah sekitar 150 rudal SA-2 yang tersebar dalam 20 situs pertahanan udara.

MiG-21 Fishbed, pesawat tempur andalan negara-negara Arab. Pihak Israel sendiri mengakui bahwa MiG-21 merupakan pesawat yang sangat bagus dimasanya, terutama jika diterbangkan oleh pilot-pilot yang berpengalaman. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pembom strategis Tu-16 Badger AU Mesir di Pangkalan Kawasan Sungai Nil. Tu-16, yang memiliki jangkauan tempur jarak jauh, mampu mengancam kota-kota Israel. (Sumber: https://twitter.com/)
Pesawat serang darat Su-7B Fitter buatan Soviet milik AU Mesir. Pada saat pecah perang 6 hari, Mesir baru mengoperasikan 1 skuadron Fitter, dan berencana memesannya lagi. (Sumber: https://twitter.com/)

GELOMBANG PERTAMA SERANGAN UDARA PENDAHULUAN ISRAEL

Pada pukul 07.10 waktu Israel tanggal 5 Juni, enam belas pesawat latih Fouga Magister lepas landas dengan menggunakan pola patroli yang identik dengan pesawat-pesawat tempur Mirage, yang rutin terbang normal setiap harinya. Hanya lima menit kemudian, yang pertama dari 183 pesawat tempur mulai lepas landas untuk menyerang Mesir – ini mewakili 95% dari total pesawat tempur IAF. Hanya 12 pesawat tempur yang disisakan untuk memberikan pertahanan udara di seluruh wilayah Israel. Pada pagi hari tanggal 5 Juni 1967, ketika Jenderal Mohammed Sidki Mahmoud menatap awan gelap yang membentang dari tanah ke atas di atas bandara besar Kairo Barat, sembilan dari 18 lapangan udara garis depan Mesir—dari area pertengahan Sinai hingga barat Kairo— masing-masing diserang oleh empat jet pembom tempur Israel. Beberapa menit kemudian, landasan pacu Mesir kesepuluh, di Fayid, juga terkena serangan. Setiap empat pesawat serang Israel tiba dengan terbang rendah di atas targetnya tepat waktu, pada saat yang tepat yang dirinci dalam rencana yang telah dirumuskan IAF selama bertahun-tahun. Mereka telah lepas landas dari pangkalan mereka pada interval yang tepat dan telah mematuhi kriteria navigasi dan kecepatan udara yang tepat meskipun mereka semua terbang pada ketinggian yang sangat rendah (kurang dari 18 meter). Agar tidak memperingatkan musuh, rute dari 10 penerbangan di gelombang terdepan telah terbang memutar, jauh dari segala macam perangkat pengintai dan penyadap elektronik, sembari mematikan komunikasi radionya. Tindakan pencegahan ini berhasil. Akibatnya, landasan pacu di sembilan pangkalan udara Mesir sukses dinonaktifkan oleh bom-bom Israel pada saat yang bersamaan, dan Fayid dinonaktifkan beberapa menit kemudian, juga sesuai dengan jadwal. Masing-masing dari setiap bom meledak, dan masing-masing melakukannya dengan tepat sesuai yang direncanakan. Banyak dari bom Israel adalah tipe penghancur beton seberat 1.200 pon (544,31 kg) buatan Prancis yang dilengkapi dengan roket internal kecil dan parasut yang dirancang untuk memperlambat momentum kedepan dan mendorong bom menghunjam lurus ke bawah ke dalam dan bahkan menembus permukaan landasan beton. Sumbu waktu tunda mencegah bom meledak sampai sedalam mungkin—karena akan lebih baik dalam menimbulkan kerusakan yang permanen, meledakkan lubang yang lebih dalam dan tidak mudah diperbaiki. Pilot-pilot muda Israel—usia rata-rata mereka adalah 23 tahun—yang pesawat pembom tempurnya dilengkapi dengan bom “besi” berdaya ledak tinggi seberat 500 dan 1.000 pon (226,8 kg dan 453,6 kg), meningkatkan karakteristik penetrasi dari bom yang dibawa pesawat mereka dengan menanjak ke atas 9.000 kaki (2.743,2 meter) dan kemudian menukik dengan tajam pada saat terakhir sehingga mereka benar-benar bisa menghunjamkan bom ke landasan pacu. Sebagian besar bom dalam serangan awal meledak dalam sekejap, tetapi sejumlah bom dengan sumbu waktu yang diatur untuk meledak pada waktu yang berbeda-beda, beberapa jam setelah para pesawat penyerang Israel pergi. Dengan demikian, kru pemeliharaan akan dicegah untuk dapat menutupi kembali kawah bom dengan aman—atau mencegah mereka untuk melakukannya.

Pesawat latih Fouga Magister AU Israel dengan menggunakan pola-pola penerbangan rutin pesawat Mirage dikerahkan pada tanggal 5 Juni 1967 untuk mengelabui operator-operator radar negara-negara Arab. Magister kemudian dikerahkan untuk menyerang satuan darat Mesir di Sinai. (Sumber: https://www.scalemates.com/)
Saat serangan Israel terjadi Field Marshal Abd el Hakim Amer (nampak pada gambar) dan komandan angkatan udara Jenderal Mohammad Sidqi Mahmoud sedang memeriksa pasukan mereka di semenanjung Sinai dan telah memerintahkan orang-orang mereka untuk tidak menembaki pesawat yang lewat karena takut mereka akan ditembak jatuh. (Sumber: https://alchetron.com/)
Ilustrasi pesawat-pesawat Mystere Israel menyerang pesawat-pesawat MiG Mesir yang berjajar di landasan dalam Operasi Moked, 5 Juni 1967. Begitu akuratnya data intelijen Israel, sehingga serangan tersebut bisa dilakukan saat pilot-pilot AU Mesir sedang sarapan pagi. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Serangan udara IAF membuat Mesir terkejut. Situs radar Yordania sebenarnya telah mendeteksi armada pesawat penyerang IAF yang berangkat dan telah berusaha untuk memperingatkan orang-orang Mesir, tetapi yang terakhir telah mengubah kode radio mereka pada hari sebelumnya (tanpa perlu repot-repot memberitahu pihak Yordania) dan tidak memahami pesan yang dikirimkan. Lebih menguntungkan lagi bagi Israel adalah kenyataan bahwa Field Marshal Abd el Hakim Amer dan komandan angkatan udara Jenderal Mohammad Sidqi Mahmoud sedang memeriksa pasukan mereka di semenanjung Sinai dan telah memerintahkan orang-orang mereka untuk tidak menembaki pesawat yang lewat karena takut mereka akan ditembak jatuh. Dengan komandan udara utamanya “terjebak” di udara, AU Mesir lumpuh. Tanpa perintah spesifik, mayoritas perwira AU Mesir, dari komandan sektor hingga pilot, enggan bertindak, bahkan untuk sekedar menjalankan prosedur darurat. Sebagai contoh, menurut wartawan senior Mesir, Mohammed Heikal, pada salah satu pangkalan Mesir, serangan awal Israel menyisakan 3 pesawat serang Sukhoi Su-7 yang masih utuh di landasan pacu. Segera, para penasehat asal Soviet menyarankan pilot-pilot Mesir untuk menerbangkan pesawat-pesawat tersebut ke tempat yang aman sebelum pesawat-pesawat Israel kembali menyerang. Akan tetapi orang-orang Mesir menolak, karena tidak ada perintah untuk melakukan itu. 15 menit kemudian, serangan gelombang kedua Israel muncul dan menghancurkan ketiga pesawat yang tersisa itu. Sementara itu, dalam rentang waktu 20 menit, semua lapangan terbang Mesir yang ditargetkan telah terkena serangan tiga kali.

SETELAH MENJATUHKAN BOM, MENEMBAKI LANDASAN

Ketika flight-flight awal pesawat pembom tempur Israel menyelesaikan pengeboman mereka, mereka berbalik dan, masih terbang pada ketinggian yang sangat rendah, meluncurkan rudal udara-ke-darat buatan Prancis dan memberondongkan peluru kanon kaliber 30mm ke setiap pesawat Mesir yang yang bisa mereka temukan. Penggunaan rudal udara-ke-darat sangat efektif karena sistem pencari panas inframerah pada rudal sangat efektif terhadap aksi pilot-pilot Mesir yang bereaksi cepat dengan baru saja menyalakan mesin ketika rudal ditembakkan. Rudal-rudal itu, tentu saja, dirancang untuk mengarah pada jejak panas yang ditimbulkan oleh mesin jet. Jika tidak ada pesawat Mesir yang bisa ditembaki, para penyerang Israel menembaki kendaraan dan bangunan, yang ada di sekitarnya. Setiap pembom tempur Israel melakukan dua kali penembakan—atau mungkin tiga, jika ada waktu. Secara umum, kemampuan angkut senjata pesawat tempur Israel (utamanya didesain untuk misi pertempuran udara ke udara dibandingkan misi udara ke darat, dimana kemampuan menjalankan misi terakhir menjadi kriteria utama dalam pengadaan pesawat tempur yang dipesan Israel di masa mendatang) terbatas, hal ini berarti mereka tidak dapat mengandalkan daya tembaknya, dan para pilot harus dilatih untuk bisa mengirimkan bom-bom-nya secara akurat. Untungnya selain mereka telah dilatih untuk membom secara akurat, berkat data intelijen yang luar biasa akurat dan pengarahan yang sangat rinci, pilot-pilot Israel—yang, bagaimanapun juga, melesat dengan kecepatan ratusan mil per jam—bisa membedakan pesawat-pesawat tiruan yang ditempatkan orang Mesir di lapangan terbang. Selain itu, IAF telah menemukan celah di layar radar Mesir dan mengatur agar pesawat-pesawatnya terbang melalui celah ini. Ketika gelombang pertama jet Israel tiba di atas targetnya—terbang rendah, jauh di bawah jangkauan deteksi radar Mesir dan hampir 4.000 kaki lebih rendah (1.219 meter) dari ketinggian efektif rudal antipesawat SA-2 yang dipasok Soviet, meski masih rentan terhadap serangan senjata ringan—gelombang pesawat pembom tempur kedua sudah setengah jalan menuju targetnya dan gelombang ketiga baru saja mengudara. Pada saat gelombang ketiga mencapai Sinai dan wilayah Mesir, luasnya serangan akan meluas hingga mencakup beberapa lapangan udara tambahan Mesir. Satu-satunya pesawat Mesir yang mengudara pada saat IAF melancarkan serangan adalah pesawat Il-14 milik Jenderal Sidki dan empat jet latih tak bersenjata—seorang instruktur yang melatih tiga siswa pilot. Il-14 itu berhasil menghindari pembom-tempur Israel, tetapi semua pesawat latih jatuh. Penerbangan pertama dari empat jet pembom tempur bersayap delta buatan Mirage-IIICJ Israel Dassault yang ditugaskan untuk mencapai pangkalan udara di Abu Sueir menghancurkan empat MiG-21 yang tampaknya secara kebetulan sedang meluncur secara rutin menuju ujung landasan.

Rudal SA-2 Guideline. Ketika gelombang pertama jet Israel tiba di atas targetnya—terbang rendah, jauh di bawah jangkauan deteksi radar Mesir dan hampir 4.000 kaki lebih rendah (1.219 meter) dari ketinggian efektif rudal antipesawat SA-2 yang dipasok Soviet. (Sumber: http://edokunscalemodelingpage.blogspot.com/)
Mirage Ill Israel membom deretan MiG 15 Mesir, dalam serangan pembuka Perang Enam Hari tahun 1967. Dalam serangan-serangan ini, pilot-pilot Israel mengandalkan akurasi pembomannya untuk menimbulkan kerusakan maksimal pada target-targetnya. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Dengan menggunakan manuver yang tepat dan bom khusus yang dilengkapi parasut dan roket kecil, pesawat-pesawat Israel menghancurkan landasan-landasan pacu AU Mesir dengan efektif. (Sumber: https://www.amazon.com/)

Jet Israel pertama yang menyerang wilayah Kairo Barat dan pangkalan udara Beni Sueif di dekatnya menjatuhkan bom-bom mereka dan kemudian kembali secara khusus untuk menghancurkan 30 pesawat pembom strategis bermesin jet kembar Tupolev Tu-16 Badger besar yang memperkuat dua skuadron Resimen Pengebom Strategis Angkatan Udara Mesir. Masing-masing  pembom Tu-16 bisa menjatuhkan sekitar sepuluh ton bom di kota-kota Israel. Delapan pesawat Mirage Israel membuat kawah di semua landasan pacu di kedua pangkalan dan kemudian menghancurkan 16 pembom Tu-16 dengan kanon kaliber 30mm mereka. Dengan demikian mereka menyingkirkan ancaman utama pemboman strategis terhadap kota-kota Israel. Tiga menit kemudian, gelombang kedua, yang terdiri dari delapan pesawat Mirage Israel mengebom landasan pacu lagi dan kemudian menghancurkan semua Tu-16 yang tersisa, juga dengan tembakan kanon 30mm. Pangkalan udara Mesir di sebelah barat Terusan Suez yang diserang oleh gelombang pertama pesawat-pesawat pengebom Mirage dan Dassault Super Mystère adalah Kairo Barat, Kabrit, Abu Sueir, Beni Sueif, Fayid, dan Inchas. Secara bersamaan, jet serang darat Ouragan Israel dan pembom tempur Mystère menyerang keempat pangkalan udara garis depan Mesir di Sinai—El Arish, Jebel Libni, Bir el-Thamada, dan Bir Gifgafa. Faktanya, serangan Sinai berkembang begitu cepat sehingga dua pesawat tempur MiG-17 yang siap tempur di Jebel Libni dibakar oleh pasangan kedua pesawat Mystères Israel sebelum pilot-pilot Mesir yang ada di kokpit dapat menyalakan mesin mereka. Sementara itu, pasangan-pesawat Mystères yang memimpin serangan di atas Jebel Libni menjatuhkan bom mereka di landasan pacu dan kemudian berkeliling untuk menghancurkan 13 pesawat MiG-17 dan MiG-19 yang tersisa yang diparkir di pangkalan. Pada akhirnya, keempat Mystères berhasil menghancurkan setiap pesawat tempur Mesir di Jebel Libni dengan tembakan kanon sebelum mereka berbalik untuk pulang. Bukan karena kebetulan, para pilot Mystère yang dilatih dengan cermat dan dengan seksama hanya menghancurkan setengah dari landasan pacu Jebel Libni sepanjang 7.000 kaki (2.134 meter). 3.500 kaki (1.067 meter) dari landasan pacu yang tersisa, sengaja mereka biarkan utuh, sekedar cukup panjang untuk mampu mendukung operasi oleh pesawat-pesawat angkut Israel setelah pangkalan yang diproyeksikan berhasil dikuasai oleh pasukan darat Israel. Sebuah serangan di senja hari oleh pesawat-pesawat Mystères dan Ouragan dijadwalkan untuk menaburkan bom anti-personil dengan sumbu tunda kecil di seluruh Pangkalan Jebel Libni untuk memperlambat atau mencegah sama sekali upaya Mesir untuk memperbaiki separuh landasan yang berlubang. 

Pembom Tu-16 Badger yang tidak rusak di tempat parkirnya, sementara asap mengepul dari Badger lain yang hancur, setelah serangan Israel. (Sumber: https://www.oocities.org/)
Bayangan Mirage Israel di atas deretan MiG-21 yang hancur di Inchas. (Sumber: https://www.oocities.org/)

Keenam MiG-17 berbaris di parkiran pangkalan udara pesisir Sinai di El Arish dihancurkan oleh tembakan roket yang presisi dari empat pembom tempur Super Mystère untuk mencegah kerusakan serius pada fasilitas. Sementara itu, landasan pacu di El Arish terhindar sepenuhnya dari pemboman karena pasukan darat Israel berencana untuk menguasainya hanya dalam waktu satu hari. Kemudian pangkalan itu direncanakan untuk menjadi depot evakuasi medis udara garis depan. Sementara itu, landasan pacu di dua pangkalan udara Sinai yang tersisa—Bir Gifgafa dan Bir el-Thamada—secara rutin dilubangi. Semua pesawat di dua pangkalan itu—pesawat transport dan beberapa helikopter—dihancurkan dengan tembakan kanon kaliber 30mm oleh pesawat-pesawat Mystère yang menyerang. Gelombang awal serangan Israel berangkat dari daerah sasaran setelah hanya tujuh menit. Rata-rata penerbangan pulang ke pangkalan udara di Israel adalah 20 menit. Begitu pesawat pengebom-tempur berada di darat, awak darat yang menunggu dapat mempersenjatai mereka kembali dengan bom dan amunisi kanon—bahkan mengisi bahan bakarnya—dalam waktu yang menjadi rekor dunia, yakni sekitar 10-15 menit! Dengan demikian, dalam waktu sekitar satu jam setelah peluncuran untuk serangan pertama, penyerang di gelombang awal ini telah siap untuk meluncurkan serangan lagi. Setiap pesawat tempur Israel mampu menerbangkan hingga delapan serangan per hari, sebuah pencapaian menakjubkan yang tidak pernah dicapai oleh angkatan udara lainnya di dunia. Setiap gelombang pesawat pembom tempur Israel tiba tepat 10 menit setelah gelombang sebelumnya tiba. Pilot-pilot Israel dibatasi hanya tujuh menit di atas target mereka — hanya cukup waktu untuk menjatuhkan bom dan melakukan dua atau tiga tembakan. Satu-satunya kesempatan yang dimiliki pesawat Mesir yang selamat untuk mencoba mengudara adalah selama jeda waktu tiga menit antar serangan yang telah diperhitungkan oleh para perencana Israel untuk alasan kesalahan navigasi. Selama 80 menit pertama perang, hanya delapan pasang pesawat pencegat Mesir yang berusaha terbang meskipun bom berjatuhan dan landasan pacu rusak. Namun, jet-jet Israel yang melesat untuk mengebom atau menembaki pangkalan udara menghancurkan semuanya. Memang, tidak satu pun dari jet Mesir yang selamat melintas sejauh ujung landasan pacu mereka.

Dalam duel-duel udara yang terjadi di hari pertama Perang 6 hari, pesawat-pesawat Mirage III Israel mengungguli sebagian besar pesawat-pesawat Mesir yang terbang ke udara. Nampak pada gambar sebuah MiG-21 ditembak jatuh oleh Mirage Israel. (Sumber: https://epdf.pub/)

Dua belas MiG-21 dan delapan MiG-19 telah dipindahkan beberapa hari sebelumnya ke pangkalan udara Hurghada di Sinai selatan, menyusul sejumlah tipuan oleh jet Israel yang memancing mereka ke arah itu. Kekuatan tempur pencegat lini pertama yang berpotensi tangguh ini diluncurkan segera setelah berita tentang serangan Israel mencapai pangkalannya. Setelah menunggu di Hurghada dengan sia-sia untuk sementara waktu, mereka kemudian di-arahkan ke utara untuk meredakan “pembantaian” yang terjadi di seberang Terusan Suez. Sekitar pukul 8:30, ketika 20 MiG yang baru tiba dengan penuh kecurigaan terbang di atas pangkalan udara Abu Sueir yang hancur dan sunyi, mereka bertemu dengan 16 pesawat tempur Mirage Israel yang bertugas melindungi gelombang serangan berikutnya. Pilot Mesir yang agresif lalu melakukan perlawanan sengit, tetapi empat dari pesawat MiG mereka ditembak jatuh dalam waktu singkat oleh tembakan kanon dan rudal udara-ke-udara pencari panas. Dalam pertempuran di Abu Sueir, di dekat terusan Suez, Letnan Satu Giora Romm sedang berpatroli dengan pesawat Mirage IIIC nya di ketinggian 25.000 kaki (7.620 meter), ketika ia dan pemimpin penerbangannya melihat sebuah MiG-21 mengudara. Setelah pemimpin penerbangannya menembak jatuh pesawat pertama, Giora melihat MiG-21 lainnya di udara. Seperti yang dikisahkannya dalam majalah Aviation Week & Space Technology:

“Ia melihatku dan kami segera bertarung. Setelah sekitar semenit, aku ada di belakang ekornya, dan dari jarak 350 meter, aku menembak selama 1-2 detik. Kemudian ekor pesawatnya mulai terbakar dan ia mulai berputar dan kemudian jatuh.”

Setelah kemenangannya ini, Giora kembali ke Abu Sueir, ketika ia melihat 2 pesawat Mirage menembaki pembom-pembom Il-28 di daratan. Menyadari adanya dua MiG-21 mendekati kedua Mirage dari belakang, Giora menyalakan afterburner mesinnya dan menyerang.

“Aku memilih pesawat sebelah kanan dan pemimpinku memilih pesawat sebelah kiri. Pada jarak 300 meter, ia melihatku dan mulai berbelok ke samping. Setelah 0,5 menit aku mendekat ke jarak 180 meter dan memberondong sebentar. Pesawat itu meledak dan jatuh.”

Mayor Jenderal Giora Romm. Dalam Perang 6 hari, Letnan Satu Romm mencetak 5 kemenangan udara, sehingga menjadikannya sebagai Ace Jet Israel yang pertama. Pada tanggal 5 Juni 1967, ia menembak jatuh 2 pesawat MiG-21 AU Mesir. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Kehabisan bahan bakar, Giora dan pemimpin penerbangannya kembali ke pangkalan udara di Israel. Sementara itu MiG yang tersisa, yang bahan bakarnya menipis, menghentikan pertempuran dan meloloskan diri dari kejaran pesawat-pesawat Mirage. Baru pada saat itulah pilot-pilot Mesir mengetahui bahwa bom-bom Israel telah melumpuhkan setiap landasan pacu yang ada dalam jangkauan mereka. Tak satu pun dari pesawat-pesawat MiG memiliki bahan bakar yang cukup untuk kembali ke pangkalan Hurghada, sehingga orang-orang Mesir berpencar dan mencoba untuk mendarat di mana pun mereka bisa. Sebagian besar MiG meluncur ke kawah landasan pacu atau penghalang lain sehingga hancur atau rusak parah. Meskipun diluncurkan dari pangkalan udara Hatzerim di Gurun Negev pada waktu yang sama dengan gelombang serangan pertama, 15 pembom serang ringan Israel jenis Sud Aviation Vautour-IIA  yang bermesin ganda harus terbang dengan rute yang panjang dan memutar untuk menyerang pangkalan udara Mesir di Ras Banas dan Luxor, target terjauh hari itu. Setelah melewati pantai Arab Saudi dan menerbangi sebagian besar panjang Laut Merah di ketinggian rendah, skuadron pesawat Vautour ini kemudian berbelok ke arah barat dan berpisah setelah terbang di atas Mesir. Tujuan mereka adalah landasan pacu dari mana Angkatan Udara Mesir pernah membomi pasukan Royalis Yaman dengan bebas selama beberapa tahun. Setelah landasan pacu di Ras Banas dilumpuhkan oleh bom berdaya ledak tinggi seberat 500 pon, 16 pembom ringan Ilyushin Il-28 Beagle yang diparkir dalam barisan rapi di sana semuanya dihancurkan oleh tembakan kanon kaliber 30mm dari hanya dua pesawat Vautour. Namun, di Luxor, tembakan antipesawat berat muncul untuk menghujani pesawat-pesawat Vautour saat mereka berbalik setelah melakukan pengeboman untuk menembaki skuadron pesawat-pesawat MiG-17 yang diparkir di sana. Salah satu pesawat Vautour meluncur ke samping dan kehilangan ketinggian setelah tertembak, tetapi pilotnya dengan sengaja menerbangkan jetnya yang lumpuh ke dalam deretan empat pesawat MiG yang diparkir, yang kemudian meledak dalam bola api besar. Pesawat-pesawat Vautour yang tersisa lalu menggunakan amunisi kanon 30mm mereka pada pesawat MiG yang tersisa dan area fasilitas pangkalan serta kemudian kembali ke Hatzerim dengan terbang di ketinggian tinggi.

Pembom Il-28 Beagle AU Mesir. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Lukisan karya Adam Tooby, dan berasal dari buku Air Campaign 10: Six-Day War 1967 terbitan Osprey. Ini menunjukkan tiga formasi pesawat Vautour dari Skuadron 110 menyerang Beni Suef pada tanggal 5 Juni 1967. Pola serangan Vautour ini melibatkan dua kali pengeboman – menjatuhkan empat bom seberay 70kg di masing-masing landasan pacu – diikuti dengan beberapa kali pemberondongan. Berbekal empat kanon kaliber 30mm, daya tembak dari pesawat Vautour dalam memberondong pesawat yang diparkir sangat dahsyat. (Sumber: https://ospreypublishing.com/)

Selama rangkaian serangan selama 80 menit yang kedua di pagi hari, orang-orang Mesir berhasil mengudarakan delapan pesawat MiG, sebagian besar dari Pangkalan Abu Sueir. Dua pesawat Mystère Israel jatuh ketika mereka tiba untuk melakukan serangan lanjutan, tetapi semua pesawat Mesir ditembak jatuh oleh skuadron Mirage yang bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan pada pesawat-pesawat penyerang. Semua pilot Israel menggunakan kanon 30mm mereka, yang lebih mereka sukai daripada rudal udara-ke-udara buatan Prancis yang juga melengkapi pesawat tempur mereka. Satu-satunya pesawat Mesir yang mendarat dengan selamat selama periode ini adalah pesawat yang ditumpangi Jenderal Sidki. Pos komando Il-14 nya akhirnya mendarat di Bandara Internasional Kairo pada pukul 09:45, setelah berpaling dari selusin landasan pacu yang tidak dapat digunakan di zona pertempuran yang meluas. Dalam dua jam pesawat Sidki telah terbang dari awalnya menjalankan tugas komando hingga berupaya keras mencari tempat mendarat yang aman. Sementara itu, tamu Sidki, yakni Marsekal Amer, menteri perang Mesir, telah kehilangan kontak efektif dengan para komandan lapangannya—‘bonus’ tak terduga bagi para perencana perang Israel yang begitu sibuk. Mereka puas dan sangat gembira mengetahui berita itu.

Jenis pesawat Il-14 yang digunakan oleh Marsekal Lapangan Abdel Hakim Amer, menteri perang Mesir, dan Jenderal Mohammed Sidki Mahmoud, kepala staf Angkatan Udara Mesir sebagai pesawat komando pada tanggal 5 Juni 1967. (Sumber: http://www.radfanhunters.co.uk/)

PENGHANCURAN ANGKATAN UDARA MESIR, YORDANIA, DAN SURIAH

Pada saat  serangan kedua berakhir pada pukul 10:35, setidaknya 13 dari 18 pangkalan udara Mesir di Sinai dan Mesir bagian atas tidak dapat beroperasi, dan lima lapangan terbang kecil atau terpencil—tidak satupun menampung pesawat tempur hari itu—akan dihancurkan sebelum tengah malam. Satu-satunya pangkalan udara garis depan di wilayah itu yang akan dibiarkan tanpa mengalami kehancuran keesokan paginya—dengan sengaja, pada saat itu—adalah El Arish. Lebih dari 250 pesawat Mesir hancur atau rusak parah. Kerugian ini termasuk hingga 75 dari 150 pesawat tempur pendukung serangan darat MiG-15 dan MiG-17, 20 dari 80 pesawat tempur pencegat MiG-19, 90 dari 120 pencegat pesawat tempur garis depan MiG-21, diperkirakan 10 dari 30 pesawat pendukung serangan darat Sukhoi Su-7M, sebanyak 27 dari 40 pembom ringan Il-28, semua 30 pembom strategis Tu-16, dan sekitar 25 unit campuran pesawat angkut dan helikopter. Selain itu, 23 instalasi radar dan situs rudal antipesawat telah hancur atau lumpuh. Sekitar seratus dari 350 pilot tempur Mesir yang memenuhi syarat tewas, dan lebih banyak lagi yang terluka, sebagian besar dalam serangan penembakan oleh pesawat-pesawat Israel. Jadi, pada pukul 10:35, Angkatan Udara Mesir tidak lagi menjadi faktor penting dalam perang yang saat itu sedang terjadi di sudut penting Timur Tengah ini. Sebagai ganti dari “kematian mengerikan” Angkatan Udara Mesir, Angkatan Udara Israel kehilangan 19 pesawat pembom dan pembom tempurnya sendiri dalam serangan pagi itu. Namun, hanya satu pesawat Vautour yang ditembak jatuh oleh tembakan darat dan dua pesawat Mystères jatuh dalam pertempuran udara-ke-udara, sisanya merupakan kerugian operasional.

Sebuah pesawat Mesir terbakar di pangkalan El Auth, Sinai, selama Perang Enam Hari. Dalam serangan hari pertama perang 6 hari, lebih dari 250 pesawat Mesir berhasil dihancurkan oleh Israel. (Photo by Express Newspapers/Getty Images/https://www.gettyimages.com/)

Meski demikian, pilot-pilot Mesir tidak gentar untuk bertempur. Meski menelan kerugian berat di jam-jam awal perang, selama 4 hari berikutnya, walau armadanya terus menyusut, pesawat-pesawat tempur Mesir mampu melancarkan 150 misi serangan pada formasi-formasi pasukan darat Israel di Sinai. Namun jelas dominasi udara sudah ada di tangan Israel. Berbagai perencanaan dan pelatihan IAF terbukti membuahkan hasil, dimana IAF memiliki tingkat kesiapan pesawat 90%, yang memungkinkan hampir semua pesawat tempurnya mengudara pada tanggal 5, sementara Mesir hanya dapat mencapai tingkat kesiapan maksimum 70%. Pada hari pertama perang, 20% pesawat-pesawat Mesir tidak bisa beroperasi karena para pilot dan kru daratnya masih belum mampu menguasai serta merawat pesawat buatan Soviet yang relatif sederhana. Akibatnya armada pesawat tempur MiG-21 Mesir hanya memiliki tingkat kesiapan 60-65%. Padahal, menurut Israel sendiri, MiG-21 merupakan pesawat tempur yang bagus di masanya dan di tangan pilot yang baik, pesawat ini bisa menjadi sangat berbahaya. Akan tetapi mayoritas pilot Mesir tidak mampu memaksimalkan kapabilitas pesawat, disamping mereka lambat bereaksi, kurang imajinasi, dan tidak fleksibel dalam bertempur. Pilot-pilot Mesir juga hanya mendapat jam terbang yang jauh lebih sedikit dibanding pilot-pilot Israel. Dan tiap pilot hanya menerbangkan satu jenis misi (udara ke udara, serangan darat, pengintaian, atau semacam itu), yang semakin membatasi kemampuan operasi udara pihak Mesir. Perbedaan tingkat kesiapan ini telah memperkuat teori yang dikembangkan Ezer Weizman sebelumnya. Sementara itu, sejumlah serangan masih tetap akan diluncurkan terhadap Angkatan Udara Mesir, terutama situs rudal dan beberapa pangkalan udara terpencil. Tapi, karena keberhasilan luar biasa dari serangan pendahuluan, pada tengah hari sebagian besar Angkatan Udara Israel bebas untuk menghancurkan Angkatan Udara Yordania, Suriah, dan Irak, dan untuk terlibat langsung dalam penghancuran formasi lapis baja Mesir di Jalur Gaza. dan di kawasan Sinai.

Sebuah MiG-17 Mesir menyerang konvoi Israel di Sinai selama Perang Enam Hari, sementara pesawat yang kedua mengikuti di belakang. Dengan Israel menikmati dominasi total di udara karena serangan pembuka mereka, serangan seperti pesawat-pesawat Mesir seperti ini sangat jarang terjadi. Disamping itu tingkat keselamatan untuk beberapa pilot Mesir yang mampu mengudara selama perang tergolong rendah. Mereka yang mampu mengudara, umumnya segera dibinasakan oleh pilot-pilot AU Israel yang lebih terlatih. Meski demikian AU Mesir terus melawan hingga perang usai. (Sumber: https://georgy-konstantinovich-zhukov.tumblr.com/)

Sementara itu merespon serangan yang dialami oleh Mesir, Yordania membalas Israel. Setelah pukul 11:00, pesawat Hawker Hunter Yordania menyerang Pangkalan Israel di Netanya. Pihak Yordania mengklaim menghancurkan 4 pesawat, akan tetapi pihak Israel secara resmi hanya mengakui kehilangan satu pesawat transport Noratlas. Setengah jam kemudian, 12 MiG-21 dan MiG-17 Suriah menyerang tempat pengolahan minyak di Haifa dan menembaki pesawat-pesawat palsu di Pangkalan Udara Megiddo. Dua MiG-17 ditembak jatuh diatas pangkalan udara dan sebuah diatas Tawafik. Kemudian, 4 flight pesawat Mystere menyerang pangkalan-pangkalan Suriah di Damaskus, Marj Riyal, T-4, dan Seikal. Bom-bom menghancurkan landasan dan berondongan kanon menghancurkan banyak pesawat. Dalam serangan-serangan udara ini total 61 pesawat Suriah rusak atau hancur diatas tanah, sementara 7 MiG-21 dan 3 MiG-17 ditembak jatuh dalam pertempuran udara. Karena unsur kejutan telah hilang, pesawat-pesawat penyerang IAF harus menghadapi tembakan gencar senjata-senjata anti pesawat dan beberapa pesawat MiG yang mengudara. 2 pesawat Mystere jatuh tertembak senjata anti pesawat diatas Damaskus. Pada pukul 12:45, IAF mengalihkan pandangannya pada Yordania, dengan menyerang pangkalan-pangkalan udara di Mafraq dan Amman, serta menghancurkan stasiun radar di Mount Ajlun. Dalam 20 menit, Raja Hussein kehilangan sebagian besar pesawatnya (setidaknya 18 pesawat). Satu pesawat Israel ditembak jatuh oleh tembakan darat, pilotnya terjun dengan parasut ke Danau Galilea dan dikabarkan dijemput oleh kapal patroli Israel. Sepanjang siang dan sore hari, Israel terus menyerang pangkalan-pangkalan udara Mesir. Sementara itu, ketika pasukan lapis baja Israel bergerak, pesawat-pesawat Fouga Magister menerbangkan beberapa misi tempur melawan pasukan-pasukan Arab yang ada di Mesir dan Yordania. Pesawat-pesawat Mystere Israel juga menyebabkan banyak korban pada sebuah Brigade Irak dan satu batalion orang-orang Palestina diserang di tempat terbuka ketika sedang bergerak menuju ke front Yordania. Pada hari pertama AU Yordania telah dihancurkan, AU Mesir dan Syria mendapatkan pukulan berat. 25 pangkalan udara Arab telah diserang, dan pilot-pilot Israel mengklaim menghancurkan 300 pesawat. Israel sendiri total kehilangan 19 pesawat di hari pertama, yang terdiri dari: 4 Super Mystere, 4 Mystere IV-A, 4 Ouragan, 4 Fouga Magister, 2 Mirage, dan 1 Vautour. Bersama ini 19 pilot hilang, dengan 8 gugur dan 11 dinyatakan hilang dalam tugas. Menurut pernyataan dari pihak Israel setelah perang, pada tanggal 5 Juni, Israel bertempur melawan pesawat-pesawat tempur Mesir 18 kali, dengan menjatuhkan 26 pesawat Mesir, sedangkan dalam 16 pertempuran udara melawan negara-negara Arab lain, pihak Israel menembak 12 pesawat tambahan. Mayoritas kemenangan dicetak oleh pesawat-pesawat Mirage (selama perang, Mirage IIICJ bertanggung jawab atas 80% kemenangan udara yang didapat Israel). Dalam pertempuran-pertempuran ini, setidaknya 2 pesawat Israel ditembak jatuh oleh pesawat-pesawat Mesir dan sebuah oleh pesawat Hunter Yordania.

Simbol Kekuatan Udara Israel: Formasi 2 jet tempur F-16 dan satu jet F-15 Angkatan Udara Israel terbang di atas pegunungan Yudea di wilayah Laut Mati. Kesuksesan Operasi Moked pada tanggal 5 Juni 1967, telah memantapkan AU Israel dalam jajaran elit kekuatan udara dunia. Mereka adalah salah satu yang terbaik, kalau tidak mau dibilang merupakan yang terbaik di dunia. Kualitas ini terus mereka pertahankan hingga saat ini. (Sumber: https://www.picfair.com/)

Secara keseluruhan, selama perang, Israel menghancurkan 452 pesawat Arab sementara hanya kehilangan kerugian 46 pesawat. Sebagai perbandingan, 46 pesawat ini mewakili sekitar seperempat dari kekuatan tempur IAF, tetapi dengan seluruh Angkatan Udara Yordania, seluruh Angkatan Udara Suriah dan sebagian besar Angkatan Udara Mesir dieliminasi, ini tampaknya merupakan jumlah kerugian yang bisa diterima. Setelah dua hari pertama pertempuran, kekuatan udara negara-negara Arab pada dasarnya sudah tidak ada lagi, dan IAF bebas untuk memberikan dukungan udara taktis kepada pasukan darat IDF yang bergerak maju, menimbulkan kerugian besar pada personel dan material pada unit-unit Mesir yang terjebak dalam jalur perlintasan yang sempit. Sementara itu meski berdasarkan survei setelah perang menunjukkan bahwa kekuatan udara Israel hanya berperan menghancurkan sekitar 15% tank Mesir, namun dominasi IAF di langit dan dukungan taktis yang efektif kemudian membantu IDF dengan cepat mengalahkan beberapa tentara Arab dan menguasai seluruh semenanjung Sinai dalam hitungan hari, tanpa terganggu secara signifikan oleh aksi pesawat-pesawat tempur Mesir. Operasi Moked kemudian tetap dikenal menjadi salah satu serangan udara paling sukses dalam sejarah militer, yang mungkin secara skala dan besarnya hanya bisa dikalahkan oleh serangan udara pembukaan Luftwaffe di Uni Soviet pada awal Operasi Barbarossa. Meskipun kalah jumlah, IAF telah sepenuhnya memusnahkan angkatan udara negara-negara Arab melalui kombinasi perencanaan yang cermat dan pelatihan yang sangat baik. Secara taktis, dalam menjalankan serangan udara, orang-orang Israel diuntungkan oleh beberapa hal. Yang pertama mereka bisa mengandalkan ketersediaan langit yang cerah di kawasan Timur Tengah, suatu hal yang belum tentu didapat oleh kekuatan udara lain (misalnya Amerika di Vietnam). Kedua, Israel telah jauh-jauh hari merancang serangannya, sehingga mereka dapat memperhitungkan dengan matang segala risiko yang mungkin mereka hadapi. Yang terakhir, mereka tidak perlu menyediakan banyak pesawat khusus untuk menjalankan misi perlindungan udara, karena pesawat tempur mereka sekaligus juga berfungsi sebagai pesawat pembom! Hal ini telah dipertimbangkan dengan matang dalam perencanaan yang menggunakan unsur pendadakan, dimana waktu yang dipersiapkan memampukan pesawat-pesawat yang telah menjatuhkan bom-nya, untuk segera menanjak dengan tugas menggunakan kanon-nya untuk melindungi kawan-kawannya yang mundur sekaligus untuk memberondong sasaran di sekitar pangkalan musuh. Menurut Israel, pesawat-pesawat mereka menerbangkan 1.000 misi tempur pada hari pertama. Mungkin 750 ditujukan untuk menyerang sasaran-sasaran di pangkalan udara, situs radar Mesir, dan menjalankan misi patroli udara. Sisanya ditujukan untuk menyerang target-target di negara-negara Arab lainnya, dan mempertahankan wilayah udara Israel. Sementara itu, terlepas dari kahancuran berat yang mereka derita, angkatan udara negara-negara Arab, khususnya Mesir dengan cepat pulih berkat mengalirnya peralatan pengganti dari Soviet, dan Mesir akan terus mengganggu Israel selama Perang Atrisi dan Perang Yom Kippur tahun 1973. Namun, Moked secara definitif membuktikan bahwa IAF adalah salah satu angkatan udara paling elit di dunia dan menunjukkan potensi mematikan dari serangan udara yang sangat terkoordinasi dan terencana dengan baik.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Sinai Air Strike: June 5, 1967 By Eric Hammel

https://warfarehistorynetwork.com/2015/11/15/the-sinai-air-strike-june-5-1967/

The Israeli Air Force & Operation Moked By Seth Marshall; September 07, 2015

https://military-historian.squarespace.com/blog/2015/9/7/the-israeli-air-force-operation-moked

Operation Moked: How Israel Dominated the Air during the Six Day War by Michael Peck

https://nationalinterest.org/blog/reboot/operation-moked-how-israel-dominated-air-during-six-day-war-185315

Attributed Israeli Air Combat Victories, Last revised: November 19 2006

http://aces.safarikovi.org/victories/victories-israel.html

Air warfare in the missile age, Book by Lon O. Nordeen, 1985; p 111-115, p 118-119

Arabs at War: Military Effectiveness, 1948-1991 (Studies in War, Society, and the Military) by Kenneth M. Pollack; September 1, 2004; P 63, p 74-75, p 85

Jane’s Fighter Combat in the Jet Age (Jane’s Air War, 1) by David C. Isby; 1997; p 100-101

Fighters Over Israel: The Story of the Israeli Air Force from the War of Independence to the Bekaa Valley by Lon Nordeen, 1990; p 67

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *