Sejarah Militer

Operasi Orchard, 5-6 September 2007: Misi Rahasia Menghancurkan Reaktor Nuklir Suriah

Meskipun tidak pernah ada keraguan nyata, lebih dari satu dekade kemudian, pemerintah Israel akhirnya mengakui bahwa negara itu bertanggung jawab atas penghancuran reaktor nuklir rahasia Suriah dan membuka sejumlah rincian, bersama dengan video dan gambar, tentang proses intelijen dan serangan udara yang kompleks itu sendiri. Keputusan ini tampaknya merupakan respons terhadap berbagai faktor, termasuk situasi di Suriah (tahun 2018), perdebatan baru tentang program nuklir kontroversial Iran, dan persaingan politik dalam negeri. Pada tanggal 21 Maret 2018, Israel mencabut perintah rahasia atas pernyataan resmi tentang misi tersebut, yang secara resmi disebut sebagai Operation Orchard atau Operation Soft Melody, tetapi juga disebut dalam militer negara itu sebagai Operation Outside the Box. Kita sekarang tahu pasti bahwa setidaknya delapan pesawat ambil bagian dalam misi ini, termasuk empat pesawat tempur F-15I “Ra’am” (Guntur) dari Skuadron ke-69 Angkatan Udara Israel dan empat F-16I “Sufa” (Badai) masing-masing dari Skuadron ke-119 dan 253. Pada malam tanggal 5-6 September 2007, pesawat-pesawat itu melesat melintasi udara Lebanon dan melintasi hampir seluruh wilayah Suriah serta menjatuhkan sekitar 17 ton bom berpemandu presisi di gedung reaktor, yang dijuluki “Kubus Rubik” atau hanya “Kubus” saja, sebelum menuju ke utara dan meninggalkan daerah itu melalui wilayah udara Turki. “Reaktor nuklir yang dimiliki oleh (Rezim) Assad akan memiliki implikasi strategis yang parah di seluruh Timur Tengah,” kata Pasukan Pertahanan Israel (IDF) dalam sebuah pernyataan resmi, menurut Defense News. Dan mengingat bahwa situs itu berada di bagian terpencil dari provinsi Deir ez-Zor timur Suriah yang masih diperebutkan (tahun 2018), “implikasi keamanan dari reaktor nuklir yang jatuh ke tangan (ISIS) atau kelompok ekstremis lainnya selama perang di Suriah akan sangat luas. ”

Pada malam tanggal 5-6 September 2007, pesawat-pesawat F-15I “Ra’am” (Guntur) dan F-16I “Sufa” (Badai) AU Israel menjalankan misi rahasia menghancurkan reaktor nuklir Suriah. Misi ini disimpan rapat dan baru diakui secara resmi oleh pemerintah Israel, lebih dari 10 tahun kemudian. (Sumber: http://sophwareportable.blogspot.com/)

RIVALITAS MILITER ISRAEL VS SURIAH

Republik Arab Suriah dan Negara Israel memiliki hubungan sejarah berdarah panjang. Sejak berdirinya negara Yahudi itu, negara-negara Arab tetangga telah mencoba untuk menghancurkannya dengan kekerasan. Untuk waktu yang lama, Suriah telah menjadi musuh paling serius Israel dalam hal potensi militernya. Dalam serangkaian konflik bersenjata, kedua belah pihak kehilangan ribuan orang tewas dan menghabiskan biaya material yang signifikan. Sejauh ini, sejak tahun 1948, setelah berdirinya Israel, Suriah dan Israel secara resmi berperang, dan seperti yang ditulis salah satu orang Israel dalam komentarnya di “Military Review”: “Berkenaan dengan Angkatan Udara dan Pertahanan Udara, orang-orang Suriah adalah ‘guru’ kami (seperti orang-orang Swedia bagi pasukan Peter the Great Russia). Mereka membantu menyusun seluruh taktik serangan IDF di medan tempur. UAV pertama diuji pada mereka. Dan Angkatan Udara Suriah memberi kami pengalaman praktis yang berharga dalam penggunaan pesawat tempur generasi ke-4. Memandu pesawat tempur dengan bantuan radar pesawat tempur lain, dan lain sebagainya. ” Ya, dan militer Israel dalam secara informal telah berulang kali mengakui bahwa angkatan bersenjata Suriah adalah lawan paling serius bagi mereka. Tidak seperti, katakanlah, orang Mesir, tentara Suriah, dipersenjatai dengan peralatan Soviet yang setara, dimana di medan perang serangan mereka beberapa kali mencapai kesuksesan, dan dalam pertahanan sering menunjukkan perlawanan yang lebih kuat dibanding kebanyakan militer negara-negara Arab, dan yang paling utama, tidak seperti Mesir mereka menolak berdamai dengan Israel. Untuk waktu yang lama, Suriah adalah sekutu utama Uni Soviet di Timur Tengah dan menerima senjata-senjata modern Soviet. Dalam banyak kesempatan, pengiriman senjata dilakukan dari Uni Soviet secara kredit, dan seringkali gratis. Pada tahun 90an sumber “senjata gratis” ini berhenti, dan kemampuan Suriah untuk membeli senjata di pasar dunia sangatlah langka.

Ilustrasi pasukan Israel menyerbu kubu pasukan Suriah dalam perang 6 hari tahun 1967. Sejak berdirinya Israel, Suriah telah berulang kali berperang melawan Israel, dan menjadi salah satu lawan yang paling keras kepala. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Ilustrasi pertempuran antara AU Israel dan Suriah di lembah Beka’a tahun 1982. Konflik dengan Suriah yang berlangsung lama telah turut membantu membentuk doktrin AU Israel yang modern. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)
Pesawat tempur multirole MiG-29 Fulcrum Angkatan Udara Arab Suriah (SyAAF) yang dilengkapi dengan sistem jamming baru.  Untuk waktu yang lama, selama masa Perang Dingin Suriah adalah sekutu utama Uni Soviet di Timur Tengah dan menerima senjata-senjata modern Soviet. Dalam banyak kesempatan, pengiriman senjata dilakukan dari Uni Soviet secara kredit, dan seringkali gratis. (Sumber: https://fighterjetsworld.com/)

Dibiarkan tanpa bantuan Soviet, angkatan bersenjata Suriah mulai menurun kualitasnya secara bertahap, terutama di bidang yang paling berteknologi tinggi, yakni di Angkatan Udara dan Pertahanan Udara. Meskipun dalam hal ini kita harus memberi pujian kepada kepemimpinan di Suriah, dimana dengan kemampuan keuangannya yang pas-pasan, sebelum perang saudara dimulai di negara itu, mereka melakukan upaya serius untuk mempertahankan sistem anti-pesawat dan pesawat tempur yang diproduksi pada tahun 70-80-an, dan juga mengalokasikan uang untuk pembelian sistem pertahanan udara modern. Angkatan Udara Israel, sebaliknya, berkembang dan meningkat secara dinamis, menjadi yang paling kuat di kawasan Timur Tengah pada abad ke-21. Kemampuan Israel dan Suriah untuk mengembangkan angkatan bersenjata tidaklah sebanding, dan ini tidak diragukan lagi mempengaruhi aktivitas tentara Suriah di daerah perbatasan dan dalam kebijakan pemimpin Suriah yang lebih terbatas. Pada tahun-tahun terakhir kepresidenan Presiden Hafez Asad, yang menghabiskan seluruh masa tuanya memimpikan kehancuran Israel, tetapi pada saat yang sama menjadi politisi dan realis yang berpandangan jauh ke depan, dengan adanya kecenderungan ingin melakukan normalisasi hubungan diantara kedua negara. Pada saat yang sama, Suriah tetap mempersiapkan tanggapan asimetris terhadap kemungkinan serangan Israel, dan program persenjataan kimia berjalan dengan lancar. Untuk sistem rudal taktis dan operasional-taktis yang tersedia di tentara Suriah adalah: Sistem roket/rudal LunaElbrus dan Tochka. Unit tempur yang dilengkapi dengan zat beracun juga telah dibentuk. Menggunakannya di medan perang, tentu saja, tidak akan membantu memenangkan perang, tetapi senjata-senjata ini bisa dipakai sebagai pencegah, dan jika terjadi serangan terhadap kota-kota Israel, peran hulu ledak kimia dinilai sangat besar. Jarak dari perbatasan Suriah-Israel ke Tel Aviv adalah sekitar 130 km, dimana sekitar setengah dari wilayah Israel terletak di zona mematikan rudal OTR-21 “Tochka“. Namun, penggunaan senjata pemusnah massal terhadap negara yang memiliki senjata nuklir seperti Israel lebih mungkin berarti awal dari kiamat nuklir regional, dan pemimpin Suriah menyadari hal ini. Di saat yang sama penguasa Suriah menunjukkan ambisi memiliki senjata nuklir. Rupanya, pekerjaan ke arah ini disetujui ketika mendiang Presiden Hafez al-Assad masih berkuasa. Pada tahun 1990-an, Hafez al-Assad berusaha untuk membeli reaktor riset nuklir dari Argentina dan Rusia, tetapi kesepakatan itu gagal di bawah tekanan AS. Fakta berikutnya menunjukkan bahwa penelitian nuklir Suriah sudah diterima secara luas di bawah presiden Suriah saat ini, Bashar Assad, putra Hafez. Hal ini kemudian akan membawa kepada serangan Israel pada fasilitas nuklir Suriah pada tahun 2007.

Rudal balistik OTR-21 “Tochka“. Suriah dikatahui mengoperasikan rudal ini, yang memiliki kemampuan untuk menjangkau kota-kota di Israel Utara. (Sumber: https://www.scalehobbyist.com/)
Diktator Suriah Hafez al-Assad (kanan), diketahui memiliki ambisi untuk melengkapi militer Suriah dengan senjata nuklir, guna mengimbangi militer Israel. (Sumber: https://english.aawsat.com/)

TEKA-TEKI INTELIJEN

Pada awal tahun 2000, intelijen Israel merekam serangkaian pertemuan antara pejabat tinggi Suriah dan perwakilan Korea Utara yang berbicara tentang penyediaan teknologi nuklir dan bahan fisil dari Korea Utara. DPRK (Democratic People’s Republic of Korea/Korea Utara), sebenarnya tidak pernah menjadi lawan langsung Israel, tetapi karena defisit mata uang mereka yang permanen, Korea Utara secara aktif menjual rahasia teknologi nuklir dan roket kepada siapa pun yang menginginkannya. Selain itu, antara Suriah dan Iran (Israel memperkirakan bahwa Iran telah membayar Korea Utara antara $ 1 miliar dan $ 2 miliar untuk proyek nuklirnya), yang juga secara aktif berupaya memiliki senjata nuklir, terjalin hubungan persahabatan yang erat. Faktor ideologi pemersatu untuk Suriah dan Iran adalah kebencian terhadap Israel, dan mengingat Iran, yang telah maju dalam penelitian nuklir jauh melampaui Suriah, keduanya dapat dengan mudah berbagi bahan, teknologi, dan peralatan radioaktif. Tentu saja, Israel bereaksi sangat tajam terhadap keinginan negara-negara tetangga yang tidak bersahabat untuk memperoleh senjata nuklir. Perlu diketahui juga adalah bahwa perluasan negara anggota “klub pemilik nuklir” tentu saja merupakan faktor destabilisasi di arena internasional, dan tidak ada yang tertarik dengan hal ini, termasuk Rusia. Dalam masalah ini, terlepas dari sejumlah perbedaan sikap dalam topik lain, kepentingan Israel dan Rusia adalah sama. Israel sendiri dilaporkan memiliki senjata nuklir sejak sekitar tahun 1967, meskipun tidak pernah mengakui atau menyangkalnya; Institut Internasional untuk Studi Strategis yang berbasis di London memperkirakan bahwa saat ini Israel memiliki sebanyak dua ratus hulu ledak nuklir. Di luar catatan ini, para pejabat Israel menolak klaim kesetaraan moral antara kepemilikan senjata nuklir mereka yang terkenal dan milik Suriah. Salah satu alasannya, kata para pejabat Israel, adalah hubungan Suriah dengan Hizbullah dan Hamas, yang keduanya dianggap organisasi teroris oleh Departemen Luar Negeri AS.

Rudal balistik Korea Utara. DPRK (Democratic People’s Republic of Korea/Korea Utara), sebenarnya tidak pernah menjadi lawan langsung Israel, tetapi karena defisit mata uang mereka yang permanen, Korea Utara secara aktif menjual rahasia teknologi nuklir dan roket kepada siapa pun yang menginginkannya. (Sumber: https://www.dw.com/)
Sebagian dari laporan intelijen Israel dari akhir tahun 2004 di mana mengatakan ada kemungkinan bahwa Suriah sedang membangun reaktor nuklir dengan bantuan dari Korea Utara, Pakistan, atau negara ketiga yang tidak diketahui. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)
Petempur gerakan perlawanan Lebanon Hizbullah nampak pada foto ini. Hubungan segitiga antara Iran-Suriah-Hizbullah, membuat Israel curiga dengan agenda nuklir Suriah. (Sumber: https://www.presstv.ir/)

Sementara itu, awal dari misi di tahun 2007, kemudian dapat dilacak langsung kembali ke setidaknya tahun 2004, ketika badan intelijen nasional Israel Mossad dan elemen intelijen militer IDF mulai mendapat beberapa laporan tentang program nuklir potensial Suriah dan personel spesialis asing yang membantu upaya itu. Kemudian pada tahun 2004, Intelijen AS, CIA melaporkan beberapa panggilan telepon antara DPRK dan Suriah yang membuat Mossad tidak bisa tidur. Pada tahun yang sama, sebuah kereta api yang membawa bahan bakar fosil dan komponen petrokimia mengalami kecelakaan yang mengakibatkan ledakan besar dan kematian 12 teknisi Nuklir Suriah. Seorang agen MI6 mengatakan bahwa Israel berada di balik pengeboman kereta ini tetapi tidak ada bukti yang ditemukan untuk hal yang sama. Ketika tubuh mereka ditelitik, Mossad melihat sesuatu yang aneh! Orang-orang Korea imengenakan pakaian pelindung Nuklir ketika mereka mengevakuasi mayat-mayat teknisi Suriah! Ini membuat Mossad meyakini ada sesuatu yang sangat tidak beres terjadi. Menurut berbagai Laporan media Israel dan internasional yang kini telah bermunculan, komunitas intelijen Israel menghabiskan sepanjang tahun berikutnya untuk mengumpulkan berbagai informasi ini. Ada indikasi jelas bahwa pemerintah Suriah telah tertarik untuk memperoleh senjata nuklir selama beberapa dekade, sejak rezim Hafez Al Assad berkuasa. Tetapi analis lama Suriah di dalam pemerintah Israel dilaporkan mempertanyakan apakah putranya, Bashar Al Assad, yang mengambil alih negara itu setelah kematian ayahnya pada tahun 2000, akan benar-benar mendorong berjalannya proyek ini. Perdebatan ini berkecamuk bahkan setelah citra satelit mengungkapkan keberadaan bangunan Kubus di Al Kibar di Suriah Timur pada bulan bulan April 2006. Tidak ada yang lain di dekat bangunan itu dan meskipun lokasinya yang tidak jelas, tampaknya dengan jelas menunjukkan keinginan untuk menyembunyikannya dari upaya mata-mata. Di sana hanya ada sedikit informasi terverifikasi tentang apa yang ada di dalamnya. Pembangunan pipa selanjutnya menunjuk adanya sistem pendingin untuk reaktor nuklir, tetapi sekali lagi tidak ada bukti yang menguatkan.

Citra satelit Cube yang tidak bertanggal. Bangunan ini ditengarai menjadi lokasi reaktor nuklir yang dibangun Suriah. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Ibrahim Othman, anggota delegasi Republik Arab Suriah, pada pertemuan dewan Badan Energi Atom Internasional, IAEA, di Pusat Internasional Wina, pada 27 November 2008. Dari laptop Othman yang disadap Mossad mengalir informasi penting mengenai program nuklir Suriah. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)
Meir Dagan, kiri, Ariel Sharon, tengah, dan mantan kepala Mossad Efraim Halevy pada upacara penyambutan Dagan sebagai kepala Mossad, pada 12 Desember 2002. Meir Dagan bertanggung jawab atas dinas mata-mata itu saat mengumpulkan informasi tentang reaktor Suriah dan menjelang serangan sebenarnya pada tahun 2007. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Terobosan besar terjadi pada tahun 2007, ketika agen-agen Israel memperoleh foto-foto aktual dari reaktor yang sedang dibangun di dalam gedung dan apa yang tampak seperti spesialis Korea Utara yang bekerja di lokasi tersebut. Bagaimana ini benar-benar terjadi adalah salah satu dari banyak detail tentang bagaimana Israel pertama kali mengungkap proyek nuklir Suriah dan operasi untuk menghancurkan fasilitas yang masih menjadi rahasia negara itu. Namun, sebuah laporan tahun 2012 di The New Yorker mengatakan ini terjadi karena keteledoran yang mencolok dari Ibrahim Othman, kepala Komisi Energi Atom Suriah. Dalam perjalanan ke Wina Austria pada bulan Maret 2007 untuk menghadiri pertemuan Dewan Gubernur Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Othman, untuk alasan yang masih belum jelas, membawa laptop dengan gambar dan sejumlah informasi sensitif lainnya. Mossadkemudian mengirim setidaknya sepuluh agen yang menyamar. Beberapa operator Mossad berasal dari Divisi Kidon, yang mengkhususkan diri dalam pembunuhan, dan Divisi Neviot, yang mengkhususkan diri dalam membobol rumah, kedutaan, dan kamar hotel untuk memasang perangkat penyadap. Agen Mossad kemudian dilaporkan masuk ke rumah Othman di Austria, sementara pejabat Suriah itu keluar untuk menghadiri salah satu pertemuan IAEA. Mereka lalu memasang spyware dan perangkat teknis di laptopnya. Para agen Mossad tinggal di situ dan dalam waktu kurang dari satu jam “menyedot” informasi yang ada di komputer pribadi Othman, yang tetap berada di apartemen saat dia mengambil bagian dalam konferensi. Dari sini agen-agen Israel kemudian memperoleh informasi berharga tentang program nuklir Suriah. “Sebuah tim agen Mossad berhasil membawa informasi dengan cara yang mereka ketahui. Selain itu, saya tidak akan menjelaskan lebih lanjut,” kata mantan kepala Mossad Tamir Pardo pada konferensi pada 21 Maret 2018. “Itu adalah keberuntungan murni bahwa kelompok agen ini berhasil membawa pergi informasi ini.” Pardo hadir dalam pertemuan itu untuk mengenang pendahulunya Meir Dagan, yang bertanggung jawab atas dinas mata-mata itu saat mengumpulkan informasi tentang reaktor Suriah dan menjelang serangan sebenarnya pada tahun 2007. Dagan meninggal pada tahun 2016. Bagaimanapun, jika kisah ini benar, maka ini menjadi salah satu aksi khas spionase Israel. Metode-metode mereka seringkali sangat “nekad”, jauh melampaui kerangka hukum internasional. Baik di masa lalu maupun sekarang, dinas intelijen Israel, yang bertindak di wilayah negara lain, tidak peduli dengan kepatuhan terhadap hukum pidana antar negara, dan menempatkan kepentingan mereka sendiri di atas segalanya.

Foto dengan resolusi rendah dan kasar di Al Kibar dari bangunan reaktor yang sedang dibangun. (Sumber: https://www.thedrive.com/the-war-zone/)
Gambar lubang reaktor Al Kibar, yang mungkin berasal dari komputer Ibrahim Othman. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Inti reaktor dan sistem pendinginnya. Gambar ini dicuri dari laptop direktur Komisi Energi Atom Suriah. (Sumber: https://www.haaretz.com/)

REAKTOR TERSEMBUNYI

Pada tanggal 8 Maret, beberapa hari setelah penyadapan informasi, Meir Dagan, direktur Mossad, dan dua pejabat senior bertemu dengan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dan mempresentasikan temuan tersebut. Selama penampilannua di ruang sidang tahun 2017, di mana Olmert menghadapi tuduhan korupsi (yang sebagian besar dibebaskan), dia tidak pernah secara langsung menyebutkan Dagan atau situs Suriah, tetapi dia merujuk secara tidak langsung ke “sepotong informasi” yang telah diletakkan di mejanya ” seperti yang jarang terjadi di negara ini.” Dia menambahkan, “Saya tahu sejak saat itu, tidak akan ada yang sama lagi. Bobot informasi ini, pada tingkat eksistensial, memiliki skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.” Olmert kemudian berjanji untuk menghancurkan reaktor secepat mungkin; karena jika menjadi “kritikal”, radiasi dari kehancurannya dapat mencemari sungai Efrat. Berdasarkan data dari laptop pejabat Suriah, yang disadap itu, diketahui tentang niat Iran untuk membangun fasilitas pengayaan uranium di wilayah Suriah, jika fasilitas Iran yang serupa tidak dapat berfungsi. Selain itu informasi baru ini menegaskan tanpa keraguan bahwa Suriah sedang membangun reaktor nuklir dan itu dilakukan dengan bantuan dari Korea Utara (Salah satu foto menunjukkan pertemuan pejabat nuklir Korea Utara Chon Chibu dengan Ibrahim Othman). Informasi yang ditemukan oleh operasi Mossad sangat mengkhawatirkan: kira-kira tiga lusin foto berwarna diambil dari dalam gedung Suriah, yang menunjukkan bahwa itu adalah reaktor nuklir plutonium rahasia. Reaktor itu, Al Kibar itu, hanya berjarak sembilan ratus meter dari Sungai Efrat dan di tengah-tengah antara perbatasan dengan Turki dan Irak. Dalam gambar terlihat bagian dalam reaktor, dan di dalamnya ada silinder dan batang fusi dan juga beberapa pekerja Korea, di lokasi, yang jauh dari kota-kota terbesar Suriah. Satu-satunya tujuan reaktor plutonium jenis ini, dalam analisis Mossad, adalah untuk menghasilkan bom atom. Di dalam, reaktor ini memiliki banyak elemen teknik yang sama dengan reaktor Korea Utara di Yongbyon—model yang tidak dibuat oleh siapa pun kecuali Korea Utara selama tiga puluh lima tahun terakhir, yang pada gilirannya merupakan salinan dari reaktor usang Inggris yang dibangun pada tahun 1950-an. “Materinya (intelijen) dianalisis pada Rabu malam,” kenang Amnon Sufrin. “Pertemuan mingguan Dagan dengan perdana menteri di Tel Aviv dijadwalkan pada pukul 8 pagi. hari berikutnya. “Ini adalah reaktor plutogenik,” kata kepala Mossad kepada Olmert. Orang-orang intelijen mengatakan mereka mengatakan kepadanya: “Tidak ada lagi tanda tanya. Sekarang hanya ada tanda seru.” Perdana menteri “menghela nafas dan bertanya: ‘Apa yang kita lakukan dengan ini?’ Kami berkata kepadanya: ‘Kita hancurkan.’” (Dalam catatan lain, dialog ini berbunyi sebagai berikut: “Dagan bertanya: ‘Tuan Perdana Menteri, apa yang kita lakukan?’ Olmert menjawab: ‘kita hancurkan’). 

Citra satelit dari fasilitas nuklir Suriah di Deir el-Zor. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Sebuah struktur yang dibangun di atas reaktor untuk menyembunyikannya. Gambar diambil dari presentasi intelijen AS. (Sumber: https://www.haaretz.com/)
Batang bahan bakar uranium. Gambar itu dicuri dari laptop direktur Komisi Energi Atom Suriah. (Sumber: https://www.haaretz.com/)

Pada bulan April tahun itu, Unit Intelijen Militer 9900, yang mengkhususkan diri dalam menganalisis citra satelit memberikan informasi tambahan. Berdasarkan citra satelit mata-mata Ofeq-7, diketahui mengkonfirmasi informasi sebelumnya mengenai desain reaktor Suriah mencerminkan reaktor yang ada di Yongbyon, yang digunakan Korea Utara untuk memproduksi bahan fisil untuk senjata nuklir, yang menunjukkan dengan kuat tujuannya adalah untuk mendukung program senjata yang lebih besar. Gedung kubus yang dicurigai itu adalah bangunan persegi dengan luas sekitar 1.600 meter persegi (lebih dari 17.200 kaki persegi), yang tingginya 20 meter (hampir 66 kaki). “Kami memiliki citra satelit sebuah bangunan besar di tengah gurun, tanpa penjelasan,” kata ketua MI saat itu, Jenderal  Amos Yadlin. Puing-puing berserakan di sekitar gedung dan tempat itu tampak agak terbengkalai, mungkin sengaja dibuat begitu. Tidak ada banyak lalu lintas di daerah itu. Orang-orang yang terlihat di sekitar sebagian besar datang dengan sepeda motor; tampak seolah-olah bangunan itu kosong di malam hari. Tidak ada pengaturan keamanan – pagar atau penjaga – yang terlihat di sana, juga tidak ada baterai rudal darat-ke-udara yang ditempatkan di sana untuk pertahanan dari serangan udara. Situasi di Suriah lalu menjadi lebih rumit setelah Ali Reza Asgari, Jenderal Korps Pengawal Revolusi Islam, menghilang. Ia diisukan melarikan diri dari Iran ke Amerika Serikat (sampai kini kabar keberadaannya tidak pernah jelas). Asgari disebut memiliki akses ke rahasia nuklir negaranya, dan memberi Amerika dokumen tentang pengembangan rahasia program nuklir Suriah. Menurut kesaksian informasi ini dukungan teknis diberikan oleh para ilmuwan Korea Utara, dan Iran menyediakan uang untuk pelaksanaan program (sekitar satu miliar dolar). Juga diketahui tentang fasilitas yang terletak di pangkalan militer di sekitar kota Marj al-Sultan, di mana direncanakan untuk memperkaya uranium dari konsentrat Iran. Siap untuk digunakan, Suriah diduga berencana untuk mengangkut uranium itu ke reaktor di Al-Kibar (Deir el-Zor, kota terbesar di Suriah timur). Namun, informasi itu tampaknya tidak membuat memutuskan apa yang harus dilakukan kemudian lebih mudah. Ketika agen dan analis intelijen Israel telah membongkar upaya nuklir Suriah yang baru lahir, negara itu telah menemukan dirinya terlibat dalam konflik singkat namun keras dengan Hizbullah, sebuah kelompok militan Lebanon yang menerima dukungan dari Suriah dan Iran, di Lebanon. Pertempuran di Lebanon telah mengungkap masalah serius dengan kesiapan IDF, sekaligus menunjukkan Hizbullah sebagai kekuatan tempur yang cakap, dan secara umum konflik itu terbukti menjadi bencana bagi pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Ehud Olmert yang sudah tidak populer. Pihak berwenang Israel kemudian akan merilis ulasan yang memberatkan tentang operasi di Lebanon, yang secara blak-blakan menggambarkannya sebagai kegagalan mencapai tujuan yang berarti. Dengan pengalaman ini dalam pikiran, dan reformasi di IDF masih berlangsung, ada pertanyaan serius tentang apakah negara itu dapat melawan pembalasan dari Suriah, atau bahkan proksinya seperti Hizbullah, dalam menanggapi serangan terhadap kompleks reaktor itu. Di luar itu, Olmert telah membawa mantan Perdana Menteri Ehud Barak untuk menjabat sebagai menteri pertahanannya setelah merombak kabinetnya setelah konflik dan hubungan antara kedua orang itu ternyata tidak positif.

Reaktor di Pusat Penelitian Ilmiah Nuklir Yongbyon di Korea Utara. Desain reaktor Suriah mencerminkan reaktor yang ada di Yongbyon. (Sumber: https://www.bloomberg.com/)
Tentara Israel mengevakuasi kawannya yang terluka selama Perang Lebanon Kedua pada tanggal 24 Juli 2006. Kegagalan Israel di Lebanon setahun sebelumnya telah menggerus kepercayaan Amerika terhadap Israel. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)
PM Olmert dan Presiden Bush. Pada akhirnya Amerika menyerahkan eksekusi serangan ke reaktor nuklir Suriah pada Israel. (Sumber: https://www.spiegel.de/)

Sampai hari ini, kedua mantan pemimpin tersebut memberikan laporan yang kontradiktif tentang bagaimana mereka akhirnya sampai pada keputusan untuk meledakkan gedung reaktor Suriah. Meskipun dia dengan cerdik menolak menyebutkan nama, mantan kepala Mossad Pardo mengatakan keberhasilan operasi terakhir itu dikaburkan oleh “perang ego.” Akibatnya, dalam minggu-minggu sebelum serangan, para pejabat Israel membahas sejumlah opsi yang berbeda, termasuk secara terbuka mengumumkan program nuklir Suriah, secara pribadi mendekati Assad melalui perantara, atau melancarkan beberapa jenis operasi militer. Mereka bahkan bertemu dengan Presiden AS saat itu George W. Bush dan anggota pemerintahannya tentang masalah ini, sembari berharap militer AS dapat menangani masalah ini dan bertanggung jawab atas akibatnya. Di sisi lain, Pemerintahan Bush, yang masih kesal dengan kegagalan intelijen sehubungan dengan invasi ke Irak pada tahun 2003, menolak untuk ambil bagian dalam kemungkinan melancarkan serangan rudal jelajah jarak jauh. Komunitas intelijen A.S. walau setuju dengan rekan-rekan Israel mereka bahwa “Cube” adalah reaktor nuklir rahasia, tetapi tanpa informasi tentang program senjata nuklir aktif yang menyertainya, dilaporkan melihatnya sebagai masalah prioritas rendah. Dalam hal ini orang-orang Israel tidak setuju dengan rekan-rekan Amerika-nya. Pada tahun 1981, Perdana Menteri Menachem Begin telah membuat sebuah kebijakan negara bahwa Israel tidak akan membiarkan musuh potensialnya mengancam penghancuran negara itu dengan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya. Tahun itu, IDF telah meluncurkan misi yang sukses untuk menghancurkan reaktor nuklir Irak di Osirak, dengan nama sandi Operasi Opera.

Mendiang PM Israel Menachem Begin. Begin telah membuat sebuah kebijakan negara bahwa Israel tidak akan membiarkan musuh potensialnya mengancam penghancuran negara itu dengan senjata nuklir atau senjata pemusnah massal lainnya. (Sumber: https://www.begincenter.org.il/)
Ilustrasi operasi Opera tahun 1981, saat Israel menghancurkan reaktor nuklir Irak. (Sumber: https://israelnoticias.com/)

MERENCANAKAN SERANGAN

Berkaca dari doktrin Begin, Israel lalu memulai persiapan untuk melancarkan serangan dimana I.D.F. dan Angkatan Udara Israel mempertimbangkan tiga pilihan strategi, yakni: serangan luas yang dilakukan oleh Angkatan Udara Israel, dinamai Fat Shkedi, diambil dari nama kepala Angkatan Udara Israel, Jenderal Eliezer Shkedi; serangan yang lebih kecil, dinamai Skinny Shkedi; dan serangan darat oleh pasukan khusus. Cara terbaik untuk meluncurkan serangan tetap terbuka untuk diperdebatkan. Pertimbangan utama adalah keinginan untuk meminimalkan potensi tanggapan dari Damaskus. “Saya tidak pernah khawatir tentang keberhasilan operasional dari serangan itu, tetapi (yang lebih dikhawatirkan) tentang bahayanya memicu perang,” demikian kata Mayor Jenderal Angkatan Udara Israel Amos Yadlin, yang adalah kepala badan intelijen militer utama IDF pada saat itu dan adalah salah satu pilot yang melakukan serangan tahun 1981 di Irak. “Suriah bisa saja meluncurkan 100 rudal ke arah kami keesokan paginya dan kami akan berada dalam situasi yang sama sekali berbeda.” Ditambahkan ke kekhawatiran ini adalah fakta bahwa semakin lama Israel menghabiskan waktu mencoba untuk menyusun rencana yang sempurna, semakin besar kemungkinan bahwa Suriah akan menambahkan bahan bakar nuklir yang sebenarnya ke reaktor dan itu mungkin menjadi segera menjadi operasional. Jika itu terjadi, akan ada risiko tambahan bahwa penyerangan dapat menimbulkan bencana radiologis. Ada juga bahaya bahwa kebocoran informasi di kalangan pers atau di tempat lain, yang mungkin mengungkapkan sejauh mana pengetahuan Israel tentang program nuklir Suriah dan mendorong Assad untuk membentengi daerah itu dengan pertahanan udara terbaiknya, sehingga pada akhirnya membuat operasi itu bahkan menjadi lebih berisiko. Sejak menemukan reaktor, banyak pejabat Israel telah menyimpulkan bahwa semakin kecil jejak serangan, semakin kecil kemungkinan Suriah untuk membalas. Israel merasa perlu memberi Assad ruang untuk secara masuk akal menyangkal bahwa Cube sebenarnya adalah fasilitas nuklir yang dirancang Korea Utara, sehingga dapat membantu mengurangi kemungkinan tanggapan Suriah. Sebuah serangan kecil dan cepat, juga akan membatasi kemungkinan orang-orang Suriah melihat operasi tersebut sebagai awal dari perang habis-habisan lainnya.

Kepala Angkatan Udara Israel, Jenderal Eliezer Shkedi. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Lokasi di sekitar target. (Sumber: https://www.nairaland.com/)
Tangkapan layar model komputer CIA dari reaktor nuklir Suriah di Al Kibar. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu dengan tidak melaporkan keberadaan reaktor nuklir, Assad akan melanggar kewajibannya kepada Badan Energi Atom Internasional. Untuk menghindari menarik perhatian lebih lanjut atas pelanggaran ini—belum lagi penghinaan karena ambisi nuklirnya diekspos dan digagalkan oleh Israel—Assad mungkin lebih memilih untuk mengubur dalam-dalam masalah ini. Psikolog yang diajak berkonsultasi oleh IDF, yang telah mengamati profil Assad selama bertahun-tahun, berpendapat bahwa pembalasan Suriah dapat dihindari jika Israel tidak memojokkan Presiden Suriah itu dengan secara terbuka mengklaim kesuksesan atas serangan tersebut, sehingga memberi opsi bagi Assad apa yang disebut oleh pejabat keamanan Israel sebagai “zona penyangkalan. ” Keputusan Assad untuk tidak mengambil tindakan permusuhan langsung terhadap Israel selama perang 2006 dengan Hizbullah, di Lebanon, menunjukkan bahwa ia melihat keuntungan dari menghindari konfrontasi militer dengan Israel. Juga, dari apa yang bisa dilihat orang-orang Israel, reaktor Al Kibar berada di lokasi terpencil; sehingga penyerangan tidak akan menyebabkan kematian warga sipil atau bahkan menarik perhatian publik. Tak lama kemudian, sebuah kapal Korea Utara yang membawa muatan batang uranium untuk reaktor nuklir Suriah terlihat berlabuh di pelabuhan Tartus, Suriah. Kedatangan kapal Korea Utara dengan uranium ini menjadi titik awal fase implementasi praktis dari upaya serangan Israel. Pada akhirnya, berita bahwa seorang jurnalis AS mulai mengajukan pertanyaan tentang pekerjaan Suriah yang dilaporkan di daerah ini mendorong pemerintah Israel untuk menyetujui operasi tersebut. Pada tanggal 1 September, Israel mengatakan kepada Gedung Putih bahwa persiapannya hampir selesai. Israel juga memberi tahu satu dinas intelijen negara lain sebelum serangan itu—yakni MI6 Inggris—tetapi tidak menginformasikan waktu yang tepat dari serangan itu dengan kedua negara tersebut. Sebuah serangan udara harus dilancarkan sebelum reaktor mulai bekerja, karena penghancuran fasilitas nuklir yang sudah beroperasi dan terletak di tepi sungai Efrat dapat menyebabkan kontaminasi radioaktif yang kuat di perairannya. 

Perdana Menteri Ehud Olmert (tengah), menteri pertahanan Ehud Barak (kanan) dan kepala staf IDF Gabi Ashkenazi, selama kunjungan ke Komando Utara IDF di Galilea, 14 Agustus 2007. Ketiganya bertanggung-jawab atas keputusan Israel menyerang reaktor nuklir Suriah bulan berikutnya. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Pada tanggal 5 September, kabinet keamanan Israel berunding untuk terakhir kalinya, dan memilih untuk melancarkan serangan. (Satu-satunya menteri yang abstain dari pemungutan suara adalah Avi Dichter.) Kabinet juga memberikan suara kepada Olmert, Barak, dan Menteri Urusan Luar Negeri Tzipi Livni, satu-satunya kekuatan untuk menyetujui langkah-langkah militer dan waktu penyerangan. Barak dan Olmert telah membuat beberapa amandemen tulisan tangan pada teks resolusi yang memerintahkan penyerangan, termasuk secara eksplisit menunjukkan potensi perang. Setelah sesi kabinet, Olmert, Barak, dan Livni berkumpul kembali di ruang pengarahan yang berdekatan dengan kantor Olmert. Kepala staf masuk ke ruangan dan merekomendasikan untuk menyerang malam itu, menggunakan opsi Skinny Shkedi. Setelah kepala staf pergi, Olmert, Barak, dan Livni memilih dengan suara bulat untuk melanjutkan serangan. Banyak informasi tentang misi itu sendiri masih tetap rahasia, namun beberapa informasi cukup jelas. Gabi Ashkenazi, kepala staf IDF saat itu, memerintahkan agar serangan dilaksanakan malam itu juga. Sampai saat itu, hanya sejumlah kecil orang yang diberitahu tentang operasi itu untuk memastikan kerahasiaan. Siapa pun yang mengetahuinya dipaksa untuk menandatangani perjanjian kerahasiaan yang ketat. Bahkan tidak semua pilot yang melakukan serangan itu mengetahuinya sampai sebelum mereka lepas landas. Pada bulan-bulan sebelum serangan, tim penyerang tanpa sadar telah berlatih untuk operasi itu, mempraktikkan jenis pengeboman tukik yang nantinya akan mereka lakukan secara nyata di Deir Ezzor. “Mereka tidak tahu targetnya; mereka tidak mengerti mengapa. Di setiap skuadron hanya ada satu pilot yang menjadi contact person. Tim lain hanya diberitahu tentang targetnya hanya beberapa jam sebelum operasi,” kata Kepala Angkatan Udara Israel Mayor Jenderal Amikam Norkin, yang merupakan kepala operasi angkatan udara saat itu, dalam sebuah pernyataan yang dirilis tahun 2018. Karena serangan terhadap fasilitas nuklir Assad berpotensi memicu perang habis-habisan, beberapa perwira senior militer diberitahu tentang hal itu beberapa jam sebelum operasi dimulai, untuk menempatkan pasukan mereka dalam siaga tinggi. “Sehari sebelumnya, saya membawa semua kepala divisi. Saya memberi mereka hasil penilaian intelijen — secara umum, maksud saya; Saya tidak memberi mereka detail tentang target dan sifatnya. Tetapi saya mengatakan kepada mereka bahwa akan ada serangan yang sangat serius dalam 24 hingga 48 jam mendatang, yang memiliki kemungkinan yang relatif rendah untuk menyebabkan perang,” kata kepala IDF Eisenkot, yang pada saat itu menjabat sebagai kepala Komando Utara Angkatan Darat, dalam pernyataan video yang dirilis tahun 2018. Eisenkot mencatat bahwa karena pihak tentara berusaha untuk merahasiakan serangan itu, mereka tidak membuat persiapan sebelumnya, yang pada dasarnya “mengorbankan kesiapsiagaan demi unsur kejutan serangan.”

Sebuah F-15I Raam Lepas landas dari Pangkalan Udara Hatzerim. F-15I adalah pesawat tempur tercangih Israel di tahun 2007. (Sumber: https://fineartamerica.com/)
F-16I Sufa, yang turut dikerahkan dalam misi serangan ke reaktor nuklir Suriah tahun 2007. Saat menyerang reaktor nuklir Irak 26 tahun sebelumnya, Israel juga menggunakan varian pesawat tempur F-16 dan F-15, namun dari generasi yang lebih lama. (Sumber: https://www.alamy.com/)
Catatan yang disiapkan oleh kepala Skuadron F-16I ke-119 Angkatan Udara Israel menjelang operasi untuk menghancurkan reaktor nuklir Suriah pada bulan September 2007, di mana ia mengatakan bahwa misi tersebut akan “mengubah wajah Timur Tengah.” (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Para penerbang yang ikut dalam operasi tersebut berasal dari tiga skuadron, yakni Skuadron ke-119 dan 253 yang sama-sama menerbangkan F-16I, dan Skuadron ke-69 yang menerbangkan F-15I. Selama pengarahan sebelum misi, komandan Skuadron ke-119 menulis dalam catatannya bahwa operasi itu “akan mengubah wajah Timur Tengah.” Pada tanggal 5 September, kepala angkatan udara pada saat itu, Eliezer Shkedi, memberi perintah resmi kepada pilot dan navigator, mengatakan kepada mereka bahwa operasi itu “sangat penting bagi Negara Israel dan orang-orang Yahudi.” Dokumen tersebut mengatakan kepada mereka bahwa misi mereka adalah untuk “menghancurkan target, memutuskan kontak tanpa kehilangan pesawat, dan terbang dengan ‘meninggalkan jejak’ seminim mungkin.” “Tujuannya adalah agar operasi itu tidak akan terhubung, setidaknya tidak pada awalnya, dengan Negara Israel, dan dengan demikian membatasi potensi perang yang meluas,” perintah Shkedi. Empat jet tempur F-15I dan empat F-16I yang ditugaskan dalam misi ini membawa berbagai bom berpemandu presisi, termasuk jenis penghancur bunker. Keputusan untuk menggunakan kombinasi kedua pesawat ini, yang membawa apa yang tampak dari video dan gambar resmi yang dirilis sebagai amunisi berpemandu laser dan GPS/INS, adalah untuk menyediakan redundansi dan fleksibilitas guna memastikan bahwa akan ada cukup persenjataan yang dibawa untuk menghancurkan target sepenuhnya di lokasi dan bahwa pilot dapat mencapai sasaran mereka terlepas dari faktor lingkungan atau faktor lainnya. Senjata yang dipandu laser umumnya lebih presisi, tetapi awan, debu, dan penghalang lainnya dapat menghalangi pancaran sinar laser dan menjatuhkan bom keluar dari jalur yang seharusnya. Dan meskipun F-15I dan F-16I dioptimalkan untuk misi jarak jauh dengan tangki bahan bakar konformal dan tangki di bawah sayap, gugus tugas itu tetap menyertakan juga tanker pengisian bahan bakar udara. Pesawat-pesawat ini kemungkinan mengorbit di laut Mediterania untuk membantu jet-jet tempur itu kembali ke pangkalan dalam penerbangan tahap akhir mereka setelah meninggalkan wilayah udara Turki. 

SERANGAN

F-15I berkursi ganda Israel, yang dipakai dalam serangan ini, sangat canggih baik dalam kemampuan untuk melakukan pertempuran udara, maupun dalam hal menyerang target darat dan kendaraan tempur. Dalam banyak karakteristik, mereka bahkan melampaui F-15 yang dipakai Amerika sendiri. Selama terbang, F-15I didampingi oleh F-16I Sufa, yang merupakan versi pesawat tempur F-16D Block 50/52 dua tempat duduk yang kemampuannya sangat ditingkatkan. Sebuah pesawat perang elektronik juga berpartisipasi dalam serangan itu, yang disebut dalam sejumlah sumber sebagai pesawat ELINT (Electronic intelligence, data-data intelijen yang dikumpulkan dengan menggunakan sensor elektronik), mungkin itu adalah pesawat EW CAEW (Conformal Airborne Early Warning), dilengkapi dengan sistem radar IAI Elta EL/W-2085, yang dibuat atas dasar pesawat G550 Gulfstream Aerospace. Pada malam tanggal 5-6 September 2007, di wilayah Israel sendiri, di Suriah dan di barat daya Turki, terjadi kegagalan dalam pengoperasian sistem telekomunikasi. Ini adalah konsekuensi dari interferensi radio-elektronik paling kuat yang dihasilkan dengan tujuan membutakan sistem pertahanan udara Suriah. Tercatat bahwa tidak ada gangguan elektronik seperti itu dari Israel sejak tahun 1982 setelah serangan udara Israel di lembah Beka’a. Rupanya, peralatan EW juga dibawa oleh pesawat-pesawat tempur yang terlibat langsung dalam serangan itu. Jalur penerbangan Israel-Suriah dan perbatasan dengan Lebanon dari arah Suriah pada tahun 2007 sangat dilindungi oleh sistem pertahanan udara, dan di daerah ini tingkat kesiapan tempur sistem pertahanan udara Suriah secara umum dipertahankan pada level tinggi. Untuk mengelabui pertahanan udara Suriah dan meminimalkan risiko hilangnya pesawat tempur, serangan ke wilayah udara Suriah dilakukan dari arah Turki, dari arah yang tidak diperkirakan. Konsentrasi sistem rudal pertahanan udara Suriah di sepanjang perbatasan Turki pada waktu itu tergolong rendah, dan sebagian besar stasiun radarnya tidak berfungsi, akibatnya Israel bisa memanfaatkannya. Pesawat-pesawat F-15I dan F-16I terbang menembus wilayah udara Turki dari barat daya. Sesaat sebelum operasi dimulai, sebuah detasemen pasukan khusus Israel didaratkan dari helikopter di daerah sasaran. Perwira Pasukan Khusus yang ditugaskan seharusnya menyorot target dengan perangkat penanda target laser. Kemungkinan besar mereka adalah pasukan khusus Angkatan Udara Shaldag, yang para personelnya telah menjalani pelatihan khusus untuk misi semacam itu. Sebelumnya, personel intelijen Israel diduga juga telah mendarat di area tersebut untuk mengumpulkan sampel tanah dan air guna mendeteksi zat radioaktif. Untuk misi ini personel Komando Sayeret Matkalmenggunakan tiga helikopter Sikorsky CH-53 yang mampu terbang di ketinggian yang sangat rendah dan tentunya tidak bersuara. Misi mendapatkan sampel air dan tanah di luar reaktor Suriah berhasil dilakukan oleh pasukan komando Israel. Sampel ini dikirim ke pusat pengujian nuklir Israel dan untungnya saat itu dinyatakan bahwa reaktor belum beroperasi penuh.

Pesawat Gulfstream EW CAEW, yang diperkirakan turut dikerahkan Israel dalam Operasi Orchard. (Sumber: https://defbrief.com/)
Pesawat-pesawat Israel lepas landas dari pangkalan udara Hatzerim di gurun Negev dan dari pangkalan Ramon. (Sumber: https://theaviationist.com/)
Rencana serangan Israel. (Sumber: https://www.thejc.com/)

Kembali ke misi serangan, tepat sebelum tengah malam pada pukul 10.30 malam tanggal 5 September 2007, empat F-15I lepas landas dari pangkalan udara Hatzerim di gurun Negev dan empat F-16I dari pangkalan Ramon, dekat Beersheba. Setelah terbang ke utara di sepanjang Pantai Mediterania, pesawat berbelok ke timur dan mengikuti perbatasan Suriah-Turki, untuk menghindari deteksi radar. Menggunakan alat pengacakan elektronik standar, pesawat-pesawat Israel membutakan sistem pertahanan udara Suriah. “Kami berangkat sekitar pukul 22.30,” kenang Kolonel Amir, salah satu pilot F-15I yang terlibat dalam serangan. “Ini adalah penerbangan yang sangat panjang, rahasia, di malam yang gelap dan ketinggian rendah 100 meter di atas permukaan laut. Anda harus membuat segala macam keputusan sepersekian detik. Sebagian besar berjalan sesuai rencana, tetapi tidak semuanya. Cuaca di sepanjang perjalanan mengejutkan kami di sejumlah tempat. Kami harus mencari tahu jawaban di tempat. Menurut apa yang telah disepakati sebelumnya, tidak ada komunikasi antara pesawat: Kami mempertahankan keheningan total selama penerbangan. Masing-masing dari kami memecahkan masalah di kokpitnya sendiri, dengan segala dilema dan rasa was-was. Di satu pesawat, masalah terpecahkan, setelah (menjadi jelas) tidak semua sistem berfungsi. Kami terbang di daerah yang tidak bersahabat. Jika sistem pertahanan darat-ke-udara musuh mendeteksi kami, Anda sadar bahwa anda berada di sarang ular beludak. Tetapi penerbangan ke sasaran relatif tenang, tanpa kami ketahuan dan tanpa ancaman langsung.” Di Tel Aviv, di sebuah ruangan bawah tanah I.A.F. pusat komando dan kendali yang dikenal sebagai “lubang,” (Habor, dalam bahasa Ibrani) Olmert, Barak, Livni, dan pejabat keamanan senior mengikuti pesawat dengan radar. Ruangan itu akan berfungsi sebagai bunker bagi Olmert jika penyerangan itu memicu perang; Israel juga telah menyiapkan rencana darurat militer. Jenderal Shkedi melacak para pilot dengan audio di ruangan yang berdekatan. Sekitar tengah malam, jet-jet tempur Israel mencapai target mereka dan menjatuhkan bom di lokasi, yang oleh angkatan udara disebut Ein Habesor, atau Habesor Spring, yang mereferensikan lokasi di Israel selatan di mana, dalam Alkitab, Raja Daud dikatakan telah berperang dan membunuh orang-orang Amalek. Atas serangan ini kolonel Amir mengingat, “Dan kemudian Anda sampai ke area target, naik sedikit lebih tinggi, terbang menanjak ke mode eksekusi. Semuanya berjalan sesuai dengan pengarahan sebelumnya. Setiap pesawat menjatuhkan dua bom. Anda merasakan sedikit guncangan pada sayap saat bom dilepaskan. Ada sedikit kegembiraan sebelum bom meledak. Kami memastikan lima kali bahwa ‘semua sistem berjalan.’” Bahkan hari ini, dia ingat momen ledakan. “Semuanya terjadi dalam beberapa detik. Saya melihat pada sistem termal yang saya miliki di pesawat dan juga di luar – bom menghantam struktur. Ada ledakan luar biasa yang Anda lihat dalam kegelapan dan setelah itu, kehancuran total. Target tertutup asap dan setelah itu Anda melihat bahwa target itu telah dihancurkan. Kami melewati target selama dua atau tiga menit. Dan kemudian kami mulai terbang kembali, sesuai dengan rencana, di ketinggian yang rendah. Ada saat singkat ketika Anda merasa sangat baik, karena Anda telah mencapai apa yang diminta – dan kemudian Anda kembali sangat waspada. Kami masih harus menempuh ratusan mil jarak yang harus diterbangi, beberapa di antaranya di daerah yang penuh dengan rudal. Kami sangat fokus pada rute pulang karena bisa menimbulkan kejutan tidak menyenangkan.”

Grafik timing serangan udara Israel. (Sumber: https://www.nairaland.com/)
Grafik jalannya serangan udara Israel. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Tangkapan video serangan udara Israel yang tepat menghantam sasaran. (Sumber: https://www.thejc.com/)

Sementara itu tak lama setelah tengah malam, penduduk kota provinsi Suriah Deir el-Zor, yang namanya diterjemahkan sebagai “Biara di tengah Hutan”, mendengar serangkaian ledakan dan melihat kilatan terang di gurun di luar Eufrat. Semua ini menandakan aksi terakhir dari serangan oleh Angkatan Udara Israel untuk menghancurkan fasilitas nuklir yang diduga milik Suriah. Serangan ini berlangsung hanya dalam waktu sekitar 3 menit saja. Menurut laporan media, pesawat tempur Israel menyerang dengan  bom-bom 500 pound (226 kg), yang dapat disesuaikan dan rudal AGM-65 Maverick. Rekaman video dari serangan itu, yang dirilis oleh Israel tahun 2018, menunjukkan beberapa bom menghantam gedung utama yang diyakini menampung reaktor nuklir, membuatnya menjadi bola api dan kemudian menjadi puing-puing. Pesawat-pesawat itu kemudian dapat terlihat membuat lintasan kedua dan mengebom puing-puing, menghancurkan situs dan membunuh semua orang di dalamnya. Antara pukul 12:40 dan 12:53 pagi, pilot mengucapkan kata sandi yang dihasilkan komputer hari itu yakni, “Arizona,” yang menunjukkan bahwa sekitar tujuh belas ton bahan peledak telah dijatuhkan ke sasaran mereka. “Ada perasaan gembira,” kenang seorang peserta serangan itu. “Reaktor hancur dan kami tidak kehilangan pilot.” Rekaman dari pusat kendali angkatan udara di “lubang” menunjukkan saat-saat bom menghantam target mereka. Jenderal Yohanan Locker, yang saat itu menjadi kepala pelatihan dan kegiatan udara angkatan udara, terlihat mengangkat tangannya dengan penuh kemenangan, sementara Shkedi mengangguk puas. Gambar dari saat-saat setelah serangan itu menunjukkan penghancuran situs al-Kibar. Nantinya, gambar-gambar satelit akan menunjukkan hasil serangan itu secara lebih rinci. Tak lama kemudian, Ashkenazi memuji kepala skuadron angkatan udara yang ambil bagian dalam operasi tersebut. “Tujuan serangan itu adalah penghancuran reaktor, pencegahan eskalasi perang, dan menguatkan deterrence Israel di wilayah tersebut. Saya pikir kami telah mencapai target ini, setidaknya untuk saat ini, dengan sukses besar, ”katanya. Barak kemudian bergabung dengannya dalam memuji pilot-pilot angkatan udara, mengatakan bahwa misi tersebut tidak hanya sukses secara langsung, tetapi juga akan berdampak pada masa depan. “Operasi itu menghilangkan ancaman eksistensial yang sebenarnya terhadap Israel. Operasi tersebut memperkuat kemampuan Israel untuk mencegah negara dan organisasi yang bermusuhan, dan kemampuan operasional kami telah sangat diberdayakan – mulai dari perencanaan, hingga kemampuan mengidentifikasi intelijen, hingga melaksanakan misi, ”kata Barak kepada komandan skuadron. Sementara itu, setelah berhasil menghancurkan fasilitas Suriah, semua tentara Israel, yang ditempatkan secara ilegal di wilayah itu, kemudian dievakuasi dengan aman menggunakan helikopter.

Operator Sayeret Matkal diduga terlibat dalam Operation Orchard. (Sumber: https://special-ops.org/)
Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. Erdoğan yang marah menuntut permintaan maaf dari Israel yang melanggar kedaulatan udaranya. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Gambar satelit sebelum dan sesudah dari reaktor nuklir Suriah di al-Kibar, yang dilaporkan diserang oleh Israel pada tahun 2007. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Kemudian dalam perjalanan pulang pesawat-pesawat F-15I dan F-16I diasumsikan, dengan bersembunyi di balik perlindungan gangguan elektronik aktif pada perlengkapan deteksi Suriah, mundur ke arah barat, melintasi wilayah Suriah dan Turki menuju Laut Mediterania. Rute ini memungkinkan mereka untuk menghindari sebagian besar posisi sistem pertahanan udara Suriah di barat laut negara itu. Mempertimbangkan jarak yang ditempuh dan waktu yang dihabiskan di udara, saat kembali, F-15I Israel mengisi bahan bakar di udara di atas Laut Mediterania. Dalam perjalanan kembali, untuk mengurangi berat dan menghemat bahan bakar, salah satu pesawat membuang tempat bahan bakar eksternal yang kosong. Tangki ini mendarat di sisi Turki perbatasan Suriah-Turki, yang kemudian menciptakan dua masalah: Pertama, insiden itu, dan foto-foto tangki dengan tulisan Ibrani di atasnya, adalah bukti bahwa pasukan Israel telah berada di daerah tersebut. Kedua, hal itu menyebabkan rasa malu yang sangat besar terhadap Turki, yang pada saat itu adalah negara yang bersahabat dengan Israel, meskipun Recep Tayyip Erdogan sudah menjabat sebagai perdana menteri. Di angkatan udara, mereka menganggap pelepasan tangki bahan bakar ke Turki sebagai kesalahan operasional, meskipun secara taktis mungkin untuk membenarkan pertimbangan kru. Namun, problem ini tidak menyurutkan keberhasilan operasi. Kemudian, belakangan diketahui bahwa pilot-pilot Israel diyakinkan keselamatannya oleh keberadaan kapal-kapal perang Amerika dengan helikopter di dalamnya, yang jika diperlukan dapat melakukan penyelamatan darurat di dekat perairan teritorial Suriah. Dari sini dapat disimpulkan bahwa Amerika mengetahui apa yang terjadi. Ketika pesawat-pesawat Israel kembali ke pangkalan mereka, Olmert pergi ke kantor sekundernya, di kompleks pertahanan Kirya, di Tel Aviv, dan meminta untuk dihubungkan dengan Bush, yang berada di Australia. “Saya hanya ingin melaporkan kepada Anda bahwa sesuatu yang dulunya ada, sekarang tidak ada lagi,” kata Olmert kepadanya. “Itu dilakukan dengan kesuksesan penuh.” “Bagus sekali,” jawab Bush. Dari sini, jika kita mengesampingkan latar belakang politik dan pelanggaran Israel terhadap norma-norma hukum internasional yang telah terjadi, maka kita dapat mencatat tingginya profesionalisme militer Israel selama operasi ini.

BANYAK DETAIL MASIH RAHASIA

Anehnya, serangan udara Israel di situs Suriah tidak menimbulkan banyak kehebohan. Informasi pertama tentang serangan udara Israel muncul di CNN. Keesokan harinya, media Turki melaporkan penemuan tangki bahan bakar eksternal pesawat-pesawat Israel di daerah Hatay dan Gaziantep. Kemudian, Presiden George W. Bush menulis dalam memoarnya bahwa dalam percakapan telepon dengan Olmert, dia menyarankan agar operasi ini dirahasiakan untuk sementara waktu, dan kemudian diumumkan untuk menekan pemerintah Suriah. Tapi Olmert meminta kerahasiaan sepenuhnya, dan ingin menghindari publisitas, takut bahwa ini dapat memicu babak baru eskalasi antara Suriah dan Israel, serta memprovokasi serangan balasan Suriah. Sementara itu meski keberadaan operasi ini telah diakui, namun beberapa detailnya masih dirahasiakan. Misalnya, aset intelijen dan peralatan peperangan elektronik canggih lainnya tentu harus ikut memainkan peran penting dalam perencanaan dan pelaksanaan misi itu. Hanya ada kemungkinan kecil bahwa delapan jet Israel generasi keempat tanpa fitur stealth akan mampu melintasi Suriah, bahkan dengan terbang di ketinggian rendah, dan kemudian keluar melalui Turki tanpa kedua negara itu menyadarinya. Pihak berwenang Turki dilaporkan hanya tahu pesawat itu keluar melalui negara mereka setelah beberapa pesawat membuang tangki bahan bakar mereka. Hal ini sangat memalukan bagi Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan, yang saat itu masih memiliki hubungan baik dengan Israel dan belum mendapat pemberitahuan sebelumnya tentang operasi tersebut, dan mendesak permintaan maaf resmi dari Perdana Menteri Olmert. Menteri Luar Negeri Turki lalu membuat protes resmi kepada duta besar Israel. Namun, pejabat Israel dan Amerika menolak berkomentar. 

Berbagai gambar yang dirilis pejabat Israel bersama dengan deklasifikasi informasi operasi ke Suriah pada tahun 2007. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
Penerbang dari Skuadron ke-253 Angkatan Udara Israel berpelukan setelah mengebom reaktor nuklir Suriah di Deir Ezzor pada 6 September 2007. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)
Perdana menteri saat itu Ehud Olmert, menteri pertahanan Ehud Barak, kepala staf IDF Gabi Ashkenazi, kepala angkatan udara Eliezer Shkedi, bersama dengan semua pejabat pertahanan dan penerbang yang mengambil bagian dalam operasi rahasia untuk menghancurkan reaktor nuklir Suriah pada bulan September. 2007, berpose untuk foto bersama dua bulan kemudian, pada 18 Desember 2007. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Dipercaya secara luas bahwa Israel mengganggu atau menonaktifkan sistem pertahanan udara dan komunikasi Suriah menggunakan program komputer yang dikenal sebagai Suter, yang pertama kali dikembangkan oleh BAE Systems untuk Angkatan Udara AS. Versi berbeda dari sistem ini dilaporkan memungkinkan pengguna untuk memantau informasi radar musuh atau bahkan mengendalikan sistem tersebut untuk secara aktif salah mengarahkan atau menonaktifkannya. Ada juga laporan bahwa pesawat tak berawak mungkin terlibat dalam misi tersebut. Drone-drone ini bisa saja mengawasi situs sebelum serangan atau membantu memberikan penilaian kerusakan bom setelahnya untuk mengkonfirmasi kehancuran total situs yang disasar. Hari berikutnya, Kantor Berita Arab Suriah mengumumkan bahwa pesawat-pesawat Israel telah memasuki wilayah udara Suriah tetapi telah dihalau: “Unit-unit pertahanan udara menghadapi mereka dan memaksa mereka untuk pergi setelah mereka menjatuhkan beberapa amunisi di daerah-daerah sepi tanpa menyebabkan kerusakan manusia atau material. ” Israel mengatakan bahwa tidak ada satu pun rudal pertahanan udara Suriah yang diluncurkan. Setidaknya sepuluh, dan mungkin sebanyak tiga lusin, pekerja tewas dalam penyerangan. Pengakuan publik pertama oleh perwakilan tingkat tinggi Israel adalah pada tanggal 19 September, ketika pemimpin oposisi Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa dia mendukung operasi tersebut dan memberi selamat kepada Perdana Menteri Olmert atas keberhasilannya. Sebelum ini, tanggal 17 September, Perdana Menteri Olmert mengumumkan bahwa dia siap untuk berdamai dengan Suriah: “tanpa prasyarat dan tanpa ultimatum”. Pada tanggal 28 Oktober, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert mengumumkan pada pertemuan pemerintah Israel bahwa dia meminta maaf kepada Recep Tayyip Erdogan atas kemungkinan pelanggaran Israel terhadap wilayah udara Turki. 

ZONA PENYANGKALAN

Perwakilan Suriah kemudian membuat pernyataan di mana dikatakan bahwa pasukan pertahanan udara mereka telah menembaki pesawat Israel yang telah menjatuhkan bom di padang pasir. Suriah secara konsisten menyangkal bahwa mereka memiliki reaktor, dan tanggapan dari pejabat pemerintahannya saling bertentangan. Tiga minggu setelah serangan itu, Presiden Assad mengatakan kepada BBC bahwa pesawat-pesawat tempur Israel telah menyerang sebuah gedung militer yang tidak digunakan dan mengatakan bahwa Damaskus memiliki “hak untuk membalas,” meskipun tidak harus dengan cara “bom lawan bom”. Sementara itu, Bashar Ja’afari, Duta Besar Suriah untuk PBB, terus bersikeras bahwa tidak ada yang dibom di Suriah dan bahwa pesawat-pesawat Israel “dihadapi oleh tembakan pertahanan udara kami” dan terpaksa menjatuhkan amunisi dan tangki bahan bakar mereka. Dalam seruan kepada Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, dinyatakan bahwa hal ini adalah “pelanggaran wilayah udara Republik Arab Suriah” dan mengatakan: “Ini bukan pertama kalinya Israel melanggar wilayah udara Suriah.” Pihak berwenang Israel kemudian mengeluarkan perintah pembungkaman tentang perincian tentang misi tersebut, bahkan mengecam Benjamin Netanyahu, yang partai Likud-nya saat itu merupakan pemimpin di antara kelompok oposisi politik negara itu, karena merilis terlalu banyak informasi. Netanyahu telah menyiratkan kepada pers bahwa dialah yang mendorong Olmert untuk bertindak. Mengingat dengan adanya apa yang dikenal sebagai “zona penyangkalan”, Assad dapat mengklaim secara salah bahwa pertahanan udaranya telah menghalau para penyerang, yang tidak dapat menyebabkan kerusakan substansial. “Tidak ada seorang pun di Suriah yang percaya bahwa Israel melakukan ini,” Andrew Tabler, seorang ahli Suriah yang bekerja di Institut Washington dan berada di Damaskus pada saat itu, mengatakan. “Orang-orang (Suriah) percaya pada rezim.” Warga Suriah tidak percaya pada dua hal, Tabler mengatakan, yakni: bahwa Assad diam-diam membangun sebuah reaktor dan bahwa Israel telah menghancurkannya. Bahkan ketika konfirmasi dari beberapa pihak mengenai serangan ini keluar di pers dunia, Suriah tidak berupaya menyangkal. Ini memperkuat analisa psikologis awal Israel: selama Assad dapat menyangkal keberadaan reaktor, dia tidak akan merasa tertekan untuk harus membalas. Olmert kemudian mengirim pesan ke Suriah melalui Erdogan, untuk memberi tahu Assad bahwa Israel tidak akan mentolerir upaya Suriah lainnya untuk membangun reaktor, dan bahwa Yerusalem siap untuk diam tentang serangan itu selama Damaskus melakukan hal yang sama, menurut laporan Der Spiegel tahun 2009.

Sesuai prediksi dan keinginan Israel, Presiden Bashar al Assad menyangkal keberhasilan serangan udara Israel dan memilih menahan diri untuk tidak membalas balik. (Sumber: https://www.republika.co.id/)

Israel bagaimanapun juga secara aktif turut membantu mengamankan “zona penyangkalan” itu. Mereka memberi pengarahan kepada sekutu regional mereka, termasuk Mesir dan Yordania, dan mendesak para pemimpin mereka untuk menahan diri dari membuat pernyataan publik tentang serangan itu. Olmert kemudian terbang ke Moskow untuk memberi tahu Rusia, yang memiliki hubungan dekat dengan Assad. Di tempat lain, Wakil Presiden Dick Cheney sangat ingin mengekspos peran mencolok Korea Utara dalam proyek Suriah dan berpendapat bahwa perlu untuk melakukan pengungkapan. Namun Condoleezza Rice, yang ingin mempertahankan pembicaraan diplomatik enam pihak dengan Korea Utara, mendesak agar permintaan untuk diam dari Israel itu dihormati. Dia berhasil. Pada tanggal 23 Oktober, Olmert bertemu Erdogan di London untuk menjelaskan kepadanya tentang serangan itu dan motif Israel. Selama pertemuan itu, Olmert meminta Erdogan untuk mengukur minat Suriah dalam memulai kembali negosiasi perdamaian. Assad kabarnya menyetujui pembicaraan damai tidak langsung, yang dimulai di Ankara pada Februari 2008. Namun upaya ini berakhir di bulan Desember tahun itu, ketika Suriah dan Turki mundur dari pembicaraan damai sebagai protes atas serangan Israel di Gaza. Walau demikian Israel mengatakan bahwa kedua belah pihak tidak pernah membahas mengenai serangan di Al Kibar. Faktanya hampir dengan cepat menjadi jelas bahwa hampir pasti serangan Israel telah meratakan reaktor nuklir rahasia Suriah itu. Kabar itu secara bertahap bocor dan beberapa rincian operasi telah dipublikasikan. Pada bulan April 2008, setelah beberapa bulan dirahasiakan, pejabat intelijen AS akhirnya memberi tahu Kongres tentang evaluasi reaktor atas reaktor Suriah. Anggota paling senior dari Pemerintahan Bush, termasuk Bush sendiri, menyebutkan dalam memoar mereka bagaimana AS menanggapi bukti atas reaktor Suriah. Dalam memoarnya tahun 2010, “Decision Points,” Bush tidak ragu mengatakan keberhasilan serangan Israel, dengan menulis bahwa aksi itu “menggantikan kepercayaan saya yang telah hilang dari Israel selama perang (tahun 2006) di Lebanon.”

Citra satelit dari Google earth menampilkan sebuah bangunan yang baru didirikan di lokasi serangan udara yang hancur pada tahun 2013. Suriah sampai sekarang menyangkal keberadaan reaktor nuklir yang dihancurkan Israel tahun 2007. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Investigasi IAEA mulai tahun 2008 memberikan bukti publik bahwa Suriah telah menjalankan program nuklir yang tidak diumumkan. Informasi ini muncul pada bulan Juni 2008, saat tim ahli IAEA mengunjungi lokasi yang dibom. Orang-orang Suriah telah melakukan segala yang mereka bisa untuk menyingkirkan bukti-bukti. Pertama-tama, mereka memindahkan semua puing-puing bangunan yang hancur dan memenuhi seluruh situs dengan beton. Para inspektur diberitahu bahwa di tempat ini sebelum serangan udara Israel ada pabrik senjata konvensional, dan bukan reaktor nuklir, yang wajib mereka laporkan kepada IAEA. Suriah juga bersikeras bahwa orang-orang asing sebelumnya tidak pernah berpartisipasi dalam pembangunan objek yang dihancurkan. Namun pada sampel tanah yang diambil selama pemeriksaan, terdeteksi adanya uranium. Tetapi pihak Suriah menjawab semua tuduhan itu dengan mengatakan bahwa uranium itu ada dalam amunisi pesawat-pesawat Israel yang digunakan dalam pemboman itu. Pada saat kedatangan inspektur di lokasi bangunan yang hancur, bangunan yang baru telah dibangun. Citra satelit berikutnya dari wilayah Al Kibar menunjukkan pihak berwenang Suriah pertama kali mendirikan struktur lain untuk menutupi sisa-sisa situs reaktor dan kemudian membongkar banyak peralatan sebelum daerah itu terus jatuh ke tangan Front Al Nusra yang terkait dengan Al Qaeda pada tahun 2012 dan kemudian area itu berada di bawah kendali ISIS. Hal ini menimbulkan keprihatinanan, karena jika bahan radioaktif dari reaktor yang berfungsi bisa jatuh ke tangan kaum teroris, konsekuensinya bisa sangat parah. Seperti diketahui, untuk membuat “bom kotor” dari bahan-bahan radioaktif tidak memerlukan pengetahuan khusus dan teknologi tinggi. Kini setelah runtuhnya kekuasaan ISIS di Suriah, Pasukan kelompok Arab dan Kurdi yang didukung AS menduduki sebagian besar wilayah Kegubernuran Deir ez-Zor.

UPAYA PERKUATAN SEBAGAI TANGGAPAN SURIAH

Setelah serangan tanggal 6 September 2007, para pemimpin Suriah kemudian secara serius memperkuat sistem pertahanan udaranya. Sebuah kontrak ditandatangani dengan Rusia untuk mendapatkan pasokan tambahan pesawat-pesawat tempur MiG-29, sistem rudal pertahanan udara Buk-M2E dan S-300, serta Pantsir-S1 (Pada saat Operasi Orchard, Suriah telah mengoperasikan dua puluh sembilan sistem pertahanan udara canggih ini) dan modernisasi sebagian dari sistem pertahanan udara S-125A yang ada ke standar S-125M untuk menyasar target di ketinggian rendah. Dari RRC, sistem radar modern juga dibeli. Saat ini, sistem pertahanan udara Suriah dibantu oleh kehadiran kelompok pertahanan udara VKS dari Rusia. Sementara itu, Teheran membuat beberapa kesimpulan dari apa yang terjadi. Setelah serangan Israel di Suriah, upaya dilakukan untuk secara radikal memperkuat sistem pertahanan udaranya sendiri dengan membeli sistem modern di Rusia. Namun di bawah tekanan dari Amerika Serikat dan Israel, pimpinan Rusia kemudian membatalkan kontrak sistem pertahanan udara S-300P, yang dipesan Iran. Keputusan ini berubah kemudian, dan elemen pertama dari sistem rudal anti-pesawat ini Rusia dikiri pada tahun 2016. Selain itu, Iran juga mulai menyembunyikan peralatan sentrifugal untuk pengayaan uranium dengan menempatkannya di terowongan bawah tanah yang dalam, di mana mereka menjadi tidak mempan dihancurkan, bahkan dengan bom anti-bunker terberat.

Sistem rudal pertahanan udara Buk-M2E Suriah. (Sumber: https://www.airspace-review.com/)
Sistem pertahanan udara S-300. (Sumber: https://www.rt.com/)

MENGAPA MEMBUKA RAHASIA SEKARANG?

Bahwa hubungan Israel dengan serangan itu sudah bukan rahasia lagi, walau tidak secara resmi, dan bahwa tidak ada pertanyaan nyata tentang keberadaan program nuklir Suriah atau hubungannya dengan Korea Utara, yang menimbulkan pertanyaan kemudian adalah mengapa negara itu memutuskan untuk mengakui operasi ini sekarang. Alasan yang paling jelas adalah hal ini untuk mengirim sinyal ke Suriah, Iran, dan lawan potensial lainnya bahwa Israel tetap mampu dan bersedia untuk menanggapi ancaman semacam itu. “Pesan serangan terhadap reaktor Suriah pada tahun 2007 adalah bahwa Israel tidak akan menerima pembangunan kemampuan yang mengancam keberadaan Negara Israel,” kata Kepala Staf IDF Letnan Jenderal Gadi Eisenkot dalam sebuah pernyataan. “Itu adalah pesan di tahun ’81 (merujuk pada serangan di Irak). Itu adalah pesan di tahun 2007. Dan itu adalah pesan untuk musuh kita di masa depan.” Israel mungkin merasa penting untuk mengulangi Doktrin Begin mengingat bahwa Assad tampaknya sangat berkuasa di Suriah, hampir seluruhnya berkat bantuan Rusia dan Iran, bahkan jika masih bisa diperdebatkan seberapa besar kontrol yang sebenarnya dari rezim ini di sebagian besar wilayahnya. Stabilitas ini, dan perlindungan yang diberikan terutama oleh keterlibatan Rusia di negara itu, tampaknya telah mendorong militer Suriah untuk melanjutkan serangan brutal dan tanpa pandang bulu di daerah-daerah yang dikuasai oleh pemberontak. Operasi-operasi ini terus dilakukan, termasuk menggunakan senjata kimia meskipun ada ancaman yang sangat terbuka dari Amerika Serikat dan negara-negara lain. Ada juga laporan tentang kelanjutan dan potensi meningkatnya koneksi Korea Utara dan Iran ke program senjata canggih Suriah, termasuk senjata kimia dan produksi rudal balistik.

Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Bushehr. Dibukanya informasi mengenai Operasi Orchard, menjadi pesan terselubung Israel bagi negara-negara semacam Iran, bahwa Israel siap melakukan apa saja untuk mengeliminasi ancaman yang diarahkan ke mereka. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Di luar ancaman Suriah, ada kemungkinan yang sangat nyata bahwa Amerika Serikat dapat membatalkan kesepakatan internasional dengan Iran mengenai program nuklirnya. Apa pun manfaat sebenarnya dari kesepakatan itu, ada kekhawatiran nyata bahwa tanpa itu, Iran dapat memutuskan untuk terus membangun senjata nuklir. Israel dilaporkan telah secara aktif mempertimbangkan untuk menyerang situs nuklir Iran di masa lalu, tetapi sebelumnya telah menyetujui tekanan pemerintah AS untuk tidak melakukannya secara sepihak. Merilis informasi tentang serangan tahun 2007 dapat membantu Israel memastikan rezim di Teheran memahami bahwa ancaman itu dan tetap kredibel, serta tidak ada perdebatan tentang kesediaan Israel untuk membela diri dalam hal ini. Sejak Suriah dilanda perang saudara pada tahun 2011, pesawat-pesawat Israel telah menyerang sasaran-sasaran di negara itu, terutama yang terkait dengan Hizbullah, dalam beberapa kesempatan. Belakangan, Angkatan Udara Israel telah memperluas serangan itu untuk memasukkan lebih banyak target rezim Damaskus, termasuk yang berpotensi penuh dengan pasukan yang didukung Iran atau tentara Iran sendiri. Dan sejalan dengan Doktrin Begin, Israel telah menyerang situs-situs yang terkait dengan senjata kimia Suriah dan proyek senjata canggih lainnya. Ini tidak termasuk operasi lebih jauh sejak 2007. Pada tahun 2009, jetnya dilaporkan terbang ke Sudan untuk menghancurkan senjata yang ditujukan untuk kelompok militan Palestina Hamas. Operasi semacam ini telah lama menjadi komponen inti dari kebijakan luar negeri Israel dan kemampuan untuk melakukannya menjadi kekuatan pendorong negara itu untuk mengubah F-15 lamanya menjadi pesawat tempur multi-peran jarak jauh lebih dari empat dekade lalu. Empat tahun setelah misi ke Osirak, Israel menggunakan jet-jet itu untuk terbang menyusuri Mediterania dan menyerang markas Organisasi Pembebasan Palestina di luar Tunis di Tunisia. Dan pesawat Israel telah melakukan operasi di Suriah meskipun ada ancaman dari Assad dan risiko terhadap personelnya sendiri. Pada bulan Februari 2018, sebagai tanggapan atas drone Iran yang memasuki wilayah udara Israel dari Suriah, Israel melancarkan serangan udara yang mengakibatkan hilangnya beberapa pesawat akibat pertahanan udara Suriah.

PERANG EGO YANG MASIH BERLANGSUNG

Pada kenyataannya, politik dalam negeri mungkin menjadi kekuatan pendorong yang lebih besar di balik keputusan Israel untuk mendeklasifikasi rincian tentang operasi tersebut. Pada tanggal 14 Mei 2018, negara ini akan merayakan ulang tahun ke-70 pendiriannya dan penyerangan tahun 2007 mencerminkan salah satu keputusan kebijakan luar negeri paling penting dan sukses yang dilakukan negara tersebut dalam 30 tahun terakhir. Selain itu, IDF mungkin tertarik untuk menyajikan fakta versinya sendiri menjelang publikasi memoar “duel” dari Ehud Olmert dan Ehud Barak, yang akan keluar pada tahun 2018. Kedua pria itu terus berdebat tentang catatan masing-masing dan dengan keras dan terbuka tidak setuju tentang siapa yang mengambil keputusan krusial atas masalah nuklir Suriah. “Perang ego” ini kemungkinan meluas ke Benjamin Netanyahu, yang tahun 2018 menjadi Perdana Menteri Israel, dan adalah kritikus keras atas Kesepakatan Iran, serta kebetulan sedang diselidiki karena korupsi. Dia juga mempertimbangkan untuk mengadakan pemilihan cepat, yang beberapa orang menuduhnya ia gunakan sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dari penyelidikan ke dalam urusan bisnisnya. “Saya tidak yakin ini adalah saat yang tepat untuk merilis informasi tentang operasi ini sekarang,” kata mantan Kepala Mossad Pardo. “Mungkin delapan tahun yang lalu, atau mungkin delapan tahun dari sekarang.” Apa pun alasan yang tepat di balik rilis tersebut, ia hanya dapat mengirim pesan lain kepada lawan potensial Israel bahwa ia tetap sangat bersedia untuk meluncurkan serangan yang kompleks dan berisiko sebagai tanggapan terhadap ancaman eksistensialnya. Hampir pasti kita akan terus melihat lebih banyak operasi Israel semacam itu di Suriah, dan berpotensi di tempat lain, di masa depan. Bagi Olmert pribadi, operasi itu adalah saat-saat terbaiknya sebagai perdana menteri, yang setahun sebelumnya telah membawa Israel ke dalam perang yang gagal di Lebanon dan yang kurang dari dua tahun kemudian akan dipaksa untuk mengundurkan diri sebelum menjalani hukuman penjara karena kasus korupsi.

Bekas Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Netanyahu mengklaim bahwa ia mendorong Olmert untuk menyerang reaktor Suriah di tahun 2007. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

EPILOG

Sementara itu, bahkan setelah reaktor nuklirnya dibom, poros Suriah-Iran terus berlanjut, dengan keterlibatan Hizbullah yang tak henti-hentinya. Jenderal Mohammed Suleiman, komandan “pasukan bayangan” Suriah, adalah penghubung bagi para pemimpin Korps Pengawal Revolusi dan untuk Imad Mughniyeh, yang memimpin upaya terorisme Hizbullah. Mughniyeh mengetahui tentang misi paling rahasia dari pelindung Hizbullah, yakni Iran dan Suriah. Tahun sebelumnya, ia memerintahkan misi untuk menculik dua tentara cadangan Israel di perbatasan Israel utara dekat Zarit yang memicu Perang Lebanon Kedua. Sejauh yang diketahui, itu dilakukan tanpa izin terlebih dahulu atau keterlibatan Iran atau Suriah. Rezim Suriah kemudian menyelesaikan penghancuran sisa-sisa gedung reaktor yang masih berdiri. Ketika IAEA ingin mengunjungi situs tersebut, menyusul laporan serangan dan bocoran tuduhan bahwa itu benar-benar sebuah reaktor nuklir, Suriah mengklaim tidak ada yang bisa dilihat karena tidak ada apa-apa di sana. Pada saat itu, Mughniyeh sudah mati. Dia terbunuh pada tahun 2008 di Damaskus saat meninggalkan resepsi di kedutaan Iran. Ketika dia menyalakan kunci kontak jipnya, mobil itu meledak. Menurut laporan di media Amerika, pembunuhannya adalah operasi gabungan Mossad-CIA sebagai pembalasan atas peran Mughniyeh dalam membajak sebuah pesawat TWA di Beirut pada 1985, dan karena menyerang Marinir AS di Lebanon dua tahun sebelumnya. Hizbullah lalu menuduh Israel melakukan serangan itu, tetapi Israel tidak pernah secara resmi menanggapinya. Menurut berbagai laporan pada saat itu, teman Mughniyeh, Jenderal Suleiman, juga tidak memiliki nasib yang lebih baik. Setengah tahun kemudian, komandan “pasukan bayangan” itu sedang menghadiri perjamuan di rumah liburannya di kota tepi laut Suriah, Latakia, ketika dia ditembak oleh sniper dari atas kapal. Seperti dalam kasus Mughniyeh, Israel dituduh melakukan pembunuhan Suleiman, tetapi Yerusalem tidak pernah secara resmi menanggapinya. Terlepas dari bayang-bayang kegagalan di Lebanon, jika semua klaim ini benar, pemerintahan Olmert menunjukkan kebijakan agresif dan khususnya aktif melawan ancaman nuklir dan melawan ancaman terorisme dan perang gerilya di negara-negara tetangga. Pada saat Olmert meninggalkan kantor kurang dari dua tahun kemudian, Israel – lagi-lagi menurut pers asing – mengebom berat konvoi Iran di jantung Sudan yang sedang dalam perjalanan menuju ke Gaza. Dan sebelum itu, pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009, terjadi operasi militer Israel yang dikenal dengan Operasi Cast Lead melawan Hamas di Gaza. Sumber-sumber intelijen Barat mengatakan kepada Washington Post pada tahun 2015 bahwa Jenderal Qasem Soleimani, komandan Pasukan Quds dari Korps Pengawal Revolusi Islam Iran, telah bersama Mughniyeh di Damaskus malam itu, tetapi entah bagaimana dia tidak mati dalam ledakan yang menewaskan teroris Lebanon itu. Soleimani yang sama kemudian akan memimpin gerakan militer Iran di Timur Tengah, termasuk pangkalan milisi Syiah di Lebanon selatan, front berikutnya di mana Israel kemungkinan besar akan menghadapi Suriah dan Iran. Soleimani sendiri kemudian akan tewas dalam serangan drone Amerika pada tanggal 3 Januari 2020. 

Komandan Angkatan Darat Suriah, Jenderal Muhammad Suleiman memberi hormat saat upacara di Jounieh, Lebanon, 6 Oktober 2007. Dia dibunuh pada 1 Agustus 2008, di Tartus. Pembunuhan itu dianggap sebagai bagian dari Operasi Orchard. (Sumber: https://special-ops.org/)
Komandan Hizbullah Imad Mughniyeh. Mughniyeh terbunuh tahun 2008. (Sumber: http://kerbela.info/)
Jenderal Qasem Soleimani, yang dibunuh Amerika pada tanggal 3 Januari 2020. (Sumber: https://news.detik.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Israel Details Long Secret Raid On Syrian Nuclear Reactor, Says It’s Willing To Do It Again BY JOSEPH TREVITHICK | UPDATED JUN 30, 2019 3:09 PM

https://www.thedrive.com/the-war-zone/19492/israel-details-long-secret-raid-on-syrian-nuclear-reactor-says-its-willing-to-do-it-again

The Silent Strike: How Israel bombed a Syrian nuclear installation and kept it secret By David Makovsky; September 10, 2012

https://www.newyorker.com/magazine/2012/09/17/the-silent-strike

Operation “Orchard” by Sergey Linnik; 30 May 2016

https://en.topwar.ru/95852-operaciya-fruktovyy-sad.html

Ending a decade of silence, Israel confirms it blew up Assad’s nuclear reactor BY JUDAH ARI GROSS; 21 MAR 2018, 5:00 AM

https://www.timesofisrael.com/ending-a-decade-of-silence-israel-reveals-it-blew-up-assads-nuclear-reactor/

No Longer a Secret: How Israel Destroyed Syria’s Nuclear Reactor by Amos Harel $ Aluf Benn; Mar 23, 2018

https://www.google.com/amp/s/www.haaretz.com/world-news/2018-03-23/ty-article-magazine/no-longer-a-secret-how-israel-destroyed-syrias-nuclear-reactor/0000017f-e518-d9aa-afff-fd58293e0000%3F_amp%3Dtrue

Special Ops Org: Operation Orchard: Bombing of the Syrian Nuclear Reactor Author: Eric Sof; Updated: March 31, 2022

How Israel destroyed a nuclear site in Syria BY ANSHEL PFEFFER; MARCH 21, 2018 09:05

https://www.thejc.com/news/israel/how-israel-destroyed-a-nuclear-site-in-syria-1.461050?reloadTime=1664323200011

Operation Orchard: How A Syrian Nuclear Facility Was Destroyed By The Israeli Air Force by Dario Leone

https://theaviationist.com/2014/09/06/operation-orchard-anniversary/amp/

OUTSIDE THE BOX: Israel’s strike on Syria’s nuclear plant By YOSSI MELMAN   Published: APRIL 6, 2018 10:16

https://www.google.com/amp/s/m.jpost.com/arab-israeli-conflict/outside-the-box-israels-strike-on-syrias-nuclear-plant-547870/amp

Qasem Soleimani: US kills top Iranian general in Baghdad air strike; 3 January 2020

https://www.bbc.com/news/world-middle-east-50979463

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Operation_Outside_the_Box

Exit mobile version