Perang Vietnam

Operasi Rolling Thunder (1965-1968) yang Kontroversial dalam Perang Vietnam

Armada pesawat serang Angkatan Udara A.S. menderu melintasi langit menuju depot penyimpanan amunisi Vietnam Utara di Xom Bong, 10 mil (16 km) sebelah utara DMZ (garis perbatasan kedua Vietnam), pada tanggal 2 Maret 1965. Lebih dari dua lusin F-105 Thunderchief dan F-100 Super Sabre tiba lebih dulu untuk menekan pertahanan udara musuh. Mereka menembakkan sejumlah roket dan minigun model Gatling ke baterai AAA (Artileri Pertahanan Udara). Para penjaga yang terkejut menembakkan senapan serbu AK-47 mereka ke udara sementara kru artileri antipesawat kaliber 12,7 mm, 37 mm, dan 57 mm bergegas mengambil senjata mereka, bertekad untuk menjatuhkan pesawat-pesawat yang datang. Di belakang mereka datang 25 F-105 dan 20 pembom B-57 Canberra. Mereka menghujani tempat penimbunan amunisi yang luas dengan bom seberat 250 pon (113 kg), 500 pon (227 kg), dan bom tandan, yang ‘menyemprot’ area tersebut dengan pelet baja. Setelah melepaskan amunisi mereka di ketinggian kurang dari 10.000 kaki (3.048 meter), pilot-pilot Thud (F-105) keluar dari area target dengan kecepatan supersonik dan menanjak dengan cepat hingga ketinggian 24.000 kaki (7.315 meter)untuk menghindari tembakan AAA. F-105 dan beberapa F-100 terbang dari pangkalan udara Korat dan Takhli di Thailand, sedangkan F-100 dan B-57 lainnya terbang dari Da Nang dan Tan Son Nhut di Vietnam Selatan. Berdasarkan pengintaian udara setelahnya, pejabat Angkatan Udara melaporkan bahwa tiga perempat dari 49 bangunan di lokasi tersebut telah dilenyapkan. Pada hari yang sama, penerbang Vietnam Selatan berhasil mengebom pangkalan angkatan laut Vietnam Utara di Quang Khe, 65 mil (105 km) sebelah utara DMZ. Enam pesawat hilang dalam dua serangan tersebut. Serangan di Xom Bong merupakan pertama kalinya pesawat AS beroperasi sendirian terhadap sasaran Vietnam Utara tanpa melibatkan pesawat Vietnam Selatan. Kedua serangan tersebut menandai dimulainya Operasi Rolling Thunder

Ilustrasi pesawat F-105 Thunderchief menukik menyerang sasaran dalam Perang Vietnam. (Sumber: https://id.pinterest.com/pin/21814379434098228/)

LATAR BELAKANG OPERASI ROLLING THUNDER

Pilot-pilot AS telah melakukan misi dukungan darat di Asia Tenggara sejak tahun 1962 untuk mendukung pasukan Vietnam Selatan. Tiga hari setelah insiden Teluk Tonkin tanggal 2 Agustus 1964, di mana kapal perusak USS Maddox dan Turner Joy berhadapan dengan kapal-kapal torpedo Vietnam Utara, pesawat-pesawat serang dari kapal induk USS Ticonderoga dan Constellation membalas dengan menerbangkan 64 misi serangan terhadap empat pangkalan kapal torpedo musuh sebagai bagian dari Operasi Pierce Arrow. Letnan, pilot pesawat serang A-1 Skyraider Richard Sather kehilangan nyawanya ketika pesawatnya ditembak jatuh, dan Letnan pilot pesawat serang A-4 Skyhawk Lt. Everett Alvarez menjadi pilot AS pertama yang jatuh dan ditahan sebagai tawanan perang di Vietnam Utara. Pada musim semi tahun 1964, Kepala Staf Gabungan AS (JCS), yang dipimpin oleh Jenderal Angkatan Darat Earle Wheeler, membentuk kelompok kerja untuk menyusun daftar target di Vietnam Utara untuk serangan udara strategis guna melumpuhkan kemampuan negara komunis tersebut dalam mendukung pemberontakan gerilya di Vietnam Selatan. Kelompok kerja tersebut mengevaluasi 451 target potensial, yang kemudian dipersempit menjadi daftar awal sebanyak 99 target. Sasaran tersebut kemudian dibagi menjadi tiga kategori. Kategori pertama berisi 30 target militer yang diyakini kelompok tersebut akan segera mengurangi kemampuan Vietnam Utara untuk mendukung pasukan Viet Cong di Vietnam Selatan. Sasaran ini adalah lapangan terbang; jaringan jalan; barak dan markas militer; dan tempat penimbunan amunisi dan perbekalan. Sasaran militer dalam daftar tersebut sebagian besar berlokasi di sepanjang perbatasan Vietnam Utara dengan Laos. Kategori kedua terdiri dari 61 target lain yang berada jauh di dalam Vietnam Utara, dan kategori ketiga terdiri dari delapan pabrik besar dan pabrik industri yang mendukung upaya perang komunis. JCS menyerahkan daftar tersebut, yang dipersempit menjadi 94 target, kepada Menteri Pertahanan Robert McNamara pada tanggal 24 Agustus 1964. Pesawat-pesawat Angkatan Udara dan Angkatan Laut kemudian segera mulai beroperasi dari lapangan terbang di Vietnam Selatan. Ketika Angkatan Udara dan Angkatan Laut A.S. membangun aset udara mereka di wilayah tersebut setelah insiden Teluk Tonkin, Angkatan Udara mulai menempatkan sejumlah besar pesawat-pesawat pembom tempur di Thailand di pangkalan-pangkalan udara kerajaan negara sekutu Amerika tersebut. Adapun Angkatan Laut AS, memiliki tiga kapal induk yang beroperasi di Teluk Tonkin pada musim semi 1965. Menyusul serangan besar-besaran Viet Cong terhadap pangkalan helikopter AS di Pleiku di Dataran Tinggi Tengah Vietnam Selatan pada tanggal 7 Februari 1965 yang menewaskan 7 orang dan melukai 76 lainnya, Angkatan Udara dan Angkatan Laut menerima perintah untuk melakukan serangan udara balasan di atas DMZ. Dua rangkaian serangan udara tersebut diberi nama Operasi Flaming Dart; ketika pada tanggal 7 Februari, pesawat-pesawat AS dan Vietnam Selatan melakukan 49 misi serangan sebagai bagian dari operasi dengan nama sandi Flaming Dart I. Ketika Viet Cong kemudian mengebom tempat personel tamtama AS di Qui Nhon pada 11 Februari, yang menewaskan 23 orang, Angkatan Laut AS menerima perintah untuk melakukan serangan balasan lainnya di bawah nama Operasi Flaming Dart II. Pesawat-pesawat berbasis kapal induk dari USS RangerHancock, dan Coral Sea lalu menyerang sasaran-sasaran Vietnam Utara pada tanggal 11 Februari.

Lukisan Insiden Teluk Tonkin, saat kapal perusak USS Maddox dan Turner Joy berhadapan dengan kapal-kapal torpedo Vietnam Utara. (Sumber: https://www.history.navy.mil/our-collections/art/exhibits/communities/100th-anniversary-cno/admiral-david-l–mcdonald/tonkin-gulf-incident.html)
dr James Stockdale memimpin serangan Operasi Pierce Arrow di Vinh, Vietnam Utara akibat insiden Teluk Tonkin pada Agustus 1964 dalam lukisan karya R.G. Smith. (Sumber: http://rememberedsky.com/?p=3543)
“U.S. BOMBS N. VIET NAM BASES” dengan berbagai subjudul, foto dan peta terkait. Liputan laporan pertama tentang Operasi Flaming Dart sebagai pembalasan atas serangan Vietcong di Kamp Holloway. (Sumber: https://www.rarenewspapers.com/view/620258)

Tidak lama kemudian, JCS dan Menteri Pertahanan meneruskan proposal kampanye pengeboman selama delapan minggu terhadap Vietnam Utara, yang dikenal sebagai Operasi Rolling Thunder, kepada Presiden AS Lyndon Johnson untuk mendapat persetujuannya. Johnson awalnya membayangkan operasi tersebut sebagai kampanye udara strategis yang terdiri dari “aksi udara terukur dan terbatas.” Serangan udara “mungkin terjadi sekali atau dua kali seminggu dan melibatkan dua atau tiga sasaran pada setiap hari operasi,” katanya. Komandan militer senior yang bertanggung jawab atas operasi udara di Asia Tenggara ingin Johnson mengizinkan kedua angkatan militer tersebut melakukan serangan terhadap pabrik, lapangan terbang, dan fasilitas komando dan kendali Vietnam Utara di dan sekitar Hanoi dan Haiphong, namun Johnson pada awalnya melihat upaya serangan udara habis-habisan sebagai pendekatan yang terlalu berat. Dengan persetujuan Johnson, JCS lalu mengeluarkan perintah untuk melakukan serangan udara terhadap sasaran militer tertentu yang akan dimulai pada tanggal 20 Februari, namun, cuaca buruk menghalangi serangan pertama terjadi hingga tanggal 2 Maret. Apa yang awalnya merupakan kampanye udara singkat dan terbatas kemudian berkembang menjadi kampanye pengeboman strategis terpanjang yang pernah dilakukan oleh militer AS. Alih-alih hanya berlangsung dua atau tiga bulan, Operasi Rolling Thunder akhirnya berlangsung hampir empat tahun. Johnson berharap bahwa kampanye pengeboman yang berkelanjutan, dan bukan sekedar serangan balasan, tidak hanya akan meningkatkan moral pasukan Vietnam Selatan, namun juga memaksa Hanoi untuk berhenti mendukung pemberontakan komunis di Vietnam Selatan yang dikoordinir oleh Front Pembebasan Nasional (NLF). NLF adalah organisasi politik yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Vietnam Selatan dan menyatukan kembali Vietnam Utara dan Selatan. Para pemimpin NLF mengeluarkan perintah kepada Viet Cong untuk melakukan pemberontakan yang akan mengikis kemampuan militer Vietnam Selatan dan kemauan rakyatnya. Johnson dan McNamara mempertahankan kendali ketat atas Operasi Rolling Thunder selama durasinya yang lama. Ketika gagal memberikan hasil dalam jangka pendek, mereka secara bertahap memperluas cakupan target dan memperpanjang operasi. Pemerintah komunis di Hanoi, yang dipimpin oleh Presiden Vietnam Utara Ho Chi Minh, berulang kali menolak tawaran Johnson untuk merundingkan penyelesaian damai antara kedua Vietnam selama kampanye pemboman yang panjang. 

RULES OF ENGAGEMENT

Penyampaian petunjuk misi dalam Operasi Rolling Thunder dilakukan melalui rantai komando yang panjang sebelum mencapai Wing udara yang dikerahkan di Asia Tenggara. Pimpinan sipil dan JCS di Washington menyampaikan perintah mereka kepada Laksamana A.S. Grant Sharp, panglima Komando Pasifik Amerika Serikat, yang berbasis di Honolulu, Hawaii. Sharp menyampaikan instruksi kepada Divisi Udara ke-2 Angkatan Udara A.S., yang bermarkas di Pangkalan Udara Tan Son Nhut dekat Saigon, dan kepada pasukan penyerang kapal induk dari Satuan Tugas 77 yang dikerahkan di Stasiun Yankee di Teluk Tonkin. Komandan tingkat atas di teater kemudian mengeluarkan perintah kepada komandan Wing udara. Laksamana Sharp untuk memudahkan perencanaan dan navigasi, tanggung jawab pengeboman antara Angkatan Udara dan Angkatan Laut selama operasi di wilayah Vietnam Utara ke dalam apa yang dinamakan dengan route packages (RP) atau biasa disingkat RP. Para pilot biasa menyebut RP One atau bisa juga Pack Six, walau seharusnya mereka menyebut dengan lengkap Route Package I atau Route Package VI (dengan angka Romawi), namun ini jarang dilakukan sesama mereka. Angkatan Udara menangani misi yang paling dekat dengan pangkalan Thailand tempat mereka terbang—dalam route packages V dan VIA—sementara Angkatan Laut bertanggung jawab atas route packages II, III, IV, dan VIB di wilayah pesisir Vietnam Utara, dekat tempat kapal induk mereka dikerahkan di Teluk Tonkin. Sedangkan untuk route packages I, tepat di utara DMZ, berada di bawah kendali Jenderal William Westmoreland dari Komando Bantuan Militer Vietnam, yang memerintahkan serangan tepat di atas DMZ menggunakan pesawat-pesawat AS yang berbasis di Vietnam Selatan. Dari pembagian area ini, RP VI lah yang memuat target-target paling penting, paling kuat pertahanan udaranya, dan mencakup dua kota terpenting yakni Hanoi dan Haiphong. Bagi para pilot pembom taktis F-105D yang memikul beban terberat dalam kampanye udara terhadap Vietnam Utara, RP I merupakan wilayah untuk “latihan” bagi pemula. Bagi para pilot baru mereka akan ditugaskan untuk menerbangkan 10 misi tempur di wilayah yang tidak begitu kuat pertahanan udaranya sebelum ditugaskan untuk merambah wilayah RP VI dan kemudian di bagian akhir masa perang, “menusuk masuk” ke wilayah Hanoi itu sendiri. Wilayah RP VI dikenal sebagai wilayah udara yang paling berbahaya di dunia saat itu karena kuatnya pertahanan udara yang melindungi wilayah itu. Pembagian target antara AL dan AU sebenarnya sudah sangat tepat dilakukan. Namun, selama operasi yang sebenarnya, baik para awak USAF dan Angkatan Laut kerap kali saling melanggar pembatasan ini demi menjalankan misinya, terutama pada wilayah RP VI. 

Peta pembagian route packages (RP) untuk membagi area pengeboman antara Angkatan Udara dan Angkatan Laut. (Sumber: https://upload.wikimedia.org)
F-105 Thunderchief menjatuhkan bom selama Operasi Rolling Thunder. Bagi para pilot pembom taktis F-105D yang memikul beban terberat dalam kampanye udara terhadap Vietnam Utara, RP I merupakan wilayah untuk “latihan” bagi pemula. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Cuaca tropis di wilayah Vietnam Utara, tempat serangan udara fase pertama Operasi Rolling Thunder terkonsentrasi, sering kali mengganggu jadwal. Selama cuaca buruk, komandan Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang mengarahkan serangan diizinkan untuk memilih hari terbaik dalam seminggu untuk melancarkan misi-misi tersebut. Partisipasi pertama AU Amerika dalam operasi Rolling Thunder dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 1965, dengan mengerahkan pesawat pembom B-57, pesawat tempur F-100D, dan pesawat pembom tempur F-105D. Dari 150 pesawat yang tersedia di pangkalan-pangkalan di Thailand, 25 pesawat F-105D dari Skuadron Taktis Tempur ke-12 dan ke-67 (keduanya bagian dari Wing Taktis Tempur ke-18), ditemani dengan pesawat-pesawat pembom B-57 menyerang depot amunisi di Xom Bong, yang menimbulkan kerusakan besar. Untuk meminimalkan paparan tembakan dari darat, para pesawat penyerang diperintahkan untuk terbang melintas satu kali pada target-targetnya dan terbang pada kecepatan tinggi di ketinggian antara 10.000 – 15.000 kaki (3.048-4.572 meter). Bagaimanapun, dalam serangan pertama ini tidak kurang dari lima pesawat Amerika ditembak jatuh oleh tembakan darat, yakni dua F-100D Super Sabre (nomor 55-2857 dan 56-3150) dan tiga F-105D (nomor 61-214, 62-4260, dan 62-4325), serta pilot AU Amerika pertama, Kapten Hayden J. Lockhart menjadi tawanan. Dari serangan pertama ini, ilusi bahwa pemboman dapat dengan cepat menundukkan Vietnam Utara perlu untuk ditinjau ulang. Sementara itu, serangan ‘alfa’ pertama Angkatan Laut di bawah Operasi Rolling Thunder dilakukan pada tanggal 15 Maret. Sasarannya adalah depot amunisi Vietnam Utara yang luas di Phu Qui, 100 mil (161 km) selatan Hanoi dan 40 mil (64 km) dari perbatasan Laos. Misi tersebut melibatkan 94 pesawat Angkatan Laut, yang diluncurkan dari kapal induk USS Ranger dan Hancock di Stasiun Yankee di Teluk Tonkin. Sebanyak 64 unit A-4 Skyhawk dan A-1 Skyraider yang merupakan bagian unit route packages terjun menembus awan tebal menuju tembakan AAA yang besar untuk melepaskan bom-bom besi dan tembakan kanon ke 21 bangunan kompleks tersebut. Delapan pesawat tempur F-8 Crusader terbang mendahului pesawat-pesawat pembom untuk menekan senjata AAA musuh dengan tembakan roket, sementara 20 pesawat lainnya menjaga pesawat serang dari ancaman pesawat-pesawat pencegat MiG. Seperti serangan terhadap Xom Bong, pesawat pengintai memastikan bahwa tiga perempat bangunan telah hancur. Setelah mendapat persetujuan dari Johnson dan McNamara, Angkatan Udara dan Angkatan Laut melakukan serangan ‘alfa’ pada minggu tanggal 26 Maret, yang mana mereka melumpuhkan sembilan instalasi radar Vietnam Utara. Beberapa lokasi radar lebih mudah dihancurkan dibandingkan yang lain, sementara salah satu yang paling sulit untuk dihancurkan adalah Bach Long Vi, yang lebih dikenal oleh orang Amerika sebagai “Pulau Nightingale,” 120 mil (193 km) di Teluk Tonkin. Fasilitas radar Pulau Nightingale, yang dilindungi dengan kuat oleh baterai AAA, memberikan peringatan dini kepada Vietnam Utara mengenai pesawat-pesawat Angkatan Laut yang datang untuk menyerang dari Stasiun Yankee. Ketika 70 pesawat dari kapal induk USS Coral Sea dan Hancock gagal melumpuhkan antena utama pada serangan pertama tanggal 26 Maret, Angkatan Laut mengirimkan 70 pesawat lagi untuk menyerangnya tiga hari kemudian. Kali ini, pesawat-pesawat AL Amerika berhasil menghancurkan instalasi radar yang merepotkan tersebut. Di antara pesawat serang yang digunakan pada serangan kedua adalah enam pembom A-3B Skywarrior seberat 35 ton dari skuadron serang berat kapal induk USS Ranger

Pembom B-57 dalam Perang Vietnam. (Sumber: https://8thattacksqdnassoc.tripod.com/Vietnam.html)
Kapten Hayden J. Lockhart menjadi tawanan setelah pesawat ditembak jatuh di Vietnam Utara. (Sumber: https://supersabresociety.com/biography/lockhart-hayden-james/)
Pembom A-3B Skywarrior dalam penerbangan dari CVW-5. A-3B awalnya diklasifikasikan sebagai pembom strategis, tetapi juga berperan sebagai pesawat tanker, pengintaian foto, pengintaian elektronik, dan peperangan elektronik. CVW-5 dikerahkan ke Vietnam mulai 5 Januari 1967 hingga 22 Juli 1967. (Sumber: https://www.facebook.com)

Para komandan di teater Vietnam harus mengirimkan permintaan persetujuan target hingga ke Washington: Para komandan Divisi Udara ke-2 Angkatan Udara A.S. di Saigon dan Satuan Tugas 77 Angkatan Laut A.S. di stasiun Yankee menyerahkan rekomendasi target mingguan kepada Kantor pusat CINCPAC di Honolulu. Staf Sharp kemudian mengkonsolidasikan permintaan tersebut dan meneruskannya ke Washington. Pada saat itu, McNamara, dan Penasihat Keamanan Nasional McGeorge Bundy, serta Johnson sendiri berunding mengenai rekomendasi tersebut dan memutuskan mana yang akan disetujui. Untuk paket serangannya, Angkatan Udara terutama menggunakan pesawat-pesawat pembom tempur F-105 Thunderchief, F-100 Super Sabre, dan F-4 Phantom. Sedangkan untuk Angkatan Laut, sebagian besar melakukan serangan ‘alfa’ dengan pesawat-pesawat serang A-1 Skyraider, A-4 Skyhawk, A-6 Intruder, dan pesawat tempur F-8 Crusader. Selain serangan ‘alfa’, pesawat-pesawat A.S. juga melakukan misi pengintaian bersenjata sekunder terhadap sasaran resmi lainnya. Fase pertama berlangsung dari bulan Maret 1965 dan berlangsung hingga bulan Mei 1965. Selama waktu ini, pesawat-pesawat Angkatan Udara dan Angkatan Laut menargetkan tempat penimbunan amunisi, barak, dan lokasi radar. Pada tanggal 1 April, komando udara juga menerima instruksi untuk menargetkan jaringan kereta api dan transportasi. Serangan-serangan ini awalnya terbatas pada sasaran-sasaran di bawah garis paralel ke-20 di wilayah Vietnam Utara untuk menghindari jatuhnya korban sipil di bagian timur laut negara yang lebih padat penduduknya. Pada minggu pertama bulan April 1965, Angkatan Udara dan Angkatan Laut melakukan serangan dramatis terhadap jembatan-jembatan kereta api dan jalan-jalan raya yang merupakan titik hambatan utama pada jalur pasokan Vietnam Utara. Enam puluh dua pesawat Angkatan Laut menyerang jalur kereta api Dong Phoung Thoung dan jembatan jalan raya dekat Thanh Hoa pada tanggal 2 April. Mereka menjatuhkan 184 bom dan menembakkan roket-roket udara bersirip lipat kaliber 2,75 inci. Pesawat-pesawat pengintai memastikan bahwa mereka berhasil menghancurkan bentang tengah dari sasaran. Keesokan harinya, 46 unit 1F-105D dan 21 F-100D berpartisipasi dalam serangan ‘alfa’ terhadap Jembatan Thanh Hoa, yang dikenal sebagai Rahang Naga (Dragon Jaw), yang membentang di Song Ma. Mereka menggunakan rudal udara-ke-permukaan Bullpup seberat 250 pon (113 kg), dan bom serba guna seberat 750 pon (340 kg), tetapi gagal menimbulkan kerusakan nyata pada strukturnya. Serangan lanjutan oleh Angkatan Udara pada tanggal 4 April mengakibatkan kerusakan ringan. Bullpup, salah satu senjata berpemandu presisi paling awal, dipandu oleh pilot dengan joystickBullpup digunakan oleh awak udara yang menerbangkan berbagai pesawat, termasuk A-4, F-100, F-4, F-8, A-6, dan F-105. Pilot memandu Bullpup secara manual untuk membidik menggunakan tombol kecil di kokpit. Ini menandai tonggak penting dalam penggelaran rudal presisi, meskipun hanya akurat dalam jarak 33 kaki (10 meter) dari targetnya. Namun pilot tidak suka harus mengarahkan rudal ke sasaran secara manual karena memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai sasaran, yang berarti lebih banyak potensi terkena serangan senjata antipesawat dan ancaman rudal permukaan-ke-udara. Kedua dinas militer tersebut merasa hampir mustahil untuk merusak atau menghancurkan jembatan-jembatan besar dengan bom konvensional tanpa pemandu. Angkatan Udara mencoba selama Operasi Rolling Thunderuntuk merobohkan Jembatan Thanh Hoa dan tidak pernah berhasil. Jembatan tersebut tidak akan dihancurkan sampai bom berpemandu laser tersedia selama Operasi Linebacker II pada tahun 1972.

Menteri Pertahanan Robert McNamara (kanan), Presiden Lyndon Baines Johnson dan Menteri Luar Negeri Dean Rusk, duduk di meja setelah kembalinya McNamara dari Vietnam Selatan. Para komandan di teater Vietnam harus mengirimkan permintaan persetujuan target Operasi Rolling Thunder hingga ke Washington. (Sumber: https://www.loc.gov/item/2015647172/)
Bendera Vietnam Utara berkibar di atas Jembatan Thanh Hoa. (Sumber: https://donhollway.com/thanh_hoa/)
Ilustrasi serangan pesawat F-105 ke Jembatan Thanh Hoa. (Sumber: https://donhollway.com/thanh_hoa/)

PERTAHANAN UDARA VIETNAM UTARA

Sharp menganjurkan perluasan kampanye pengeboman di utara garis Paralel 20 derajat setelah hanya tiga minggu serangan ‘alfa’ untuk melumpuhkan jaringan logistik dan transportasi Vietnam Utara. Dia juga menginginkan izin bagi pesawat-pesawat Angkatan Laut untuk mengebom fasilitas pelabuhan di Haiphong dan pabrik industri besar di pinggiran Hanoi. McNamara dengan tegas menolak jadwal Sharp yang dipercepat. Laksamana tersebut sering bentrok dengan McNamara, yang dia yakini menyabotase keberhasilan kampanye pengeboman strategis. McNamara “secara konsisten mengabaikan nasihat penasihat militernya (dan) memberi musuh banyak waktu untuk mengatasi setiap gerakan kami,” kata Sharp. Para anggota JCS memiliki pemahaman yang lebih baik tentang apa yang mungkin dapat diterima oleh Johnson, McNamara, dan Bundy. Mereka merekomendasikan kepada McNamara pada tanggal 22 Maret kampanye pengeboman selama 12 minggu yang akan membatasi serangan terhadap jalur komunikasi, rute pasokan, dan titik-titik penyempitan (yaitu jembatan dan feri) di selatan garis Paralel 20 derajat. Sementara Amerika melakukan negosiasi di antara mereka sendiri mengenai aturan pengeboman, Vietnam Utara secara konsisten meningkatkan jaringan pertahanan udara mereka. Pada awal konflik pada tahun 1964, sebelum AS memulai kampanye pengeboman strategis yang berkelanjutan, pertahanan udara Vietnam Utara terdiri dari 1.425 senjata AAA ringan, sedang, dan berat. Ini termasuk senapan mesin berat kaliber 12,7 mm dan 14,5 mm, meriam ringan kaliber 37 mm dan 57 mm dengan tembakan cepat, dan bahkan beberapa senjata antipesawat berat kaliber 85 mm dan 100 mm yang dipandu radar. Inventaris radar Vietnam Utara pada saat itu mencakup 22 radar peringatan dini dan empat radar pengendali tembakan. Meskipun Vietnam Utara tidak memiliki jaringan pertahanan udara yang terintegrasi dengan baik pada tahun 1964, pertahanan udara negara komunis tersebut mengalami peningkatan dramatis dengan dukungan antusias dan murah hati dari Uni Soviet. Sekretaris Jenderal Partai Komunis Rusia Leonid Brezhnev, yang berkuasa pada bulan Oktober 1964, adalah pendukung setia pemerintah Vietnam Utara. Uni Soviet memasok pesawat tempur MiG, peluncur dan rudal SAM, serta peralatan radar senilai satu miliar dolar ke Vietnam Utara. Pada tahun 1964, pertahanan udara Vietnam Utara masih relatif primitif, hanya terdiri dari 22 radar peringatan dini, empat radar fire control, dan 700 senjata anti-pesawat, tapi pada saat dimulainya operasi Rolling Thunder pada bulan Maret 1965, Vietnam Utara telah meningkatkan jumlah situs AAA menjadi 5.000 unit. 70 peluncur SAM pertama tiba di Vietnam Utara pada bulan April 1965. Pada akhir tahun 1965, Vietnam Utara memiliki jaringan pertahanan udara dinamis yang terdiri dari baterai AAA, situs SAM, dan pesawat-pesawat pencegat MiG. Meskipun Vietnam Utara pada awalnya harus menggunakan MiG-15 dan MiG-17 yang berkecepatan subsonik, mereka akhirnya menerima MiG-21 dari Uni Soviet.

Sistem Senjata Antipesawat berlapis Vietnam Utara. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

SAM yang dipasok Soviet merupakan ancaman mematikan dan menakutkan bagi pilot-pilot pesawat AS. SA-2 Guideline pertama, juga dikenal sebagai sistem SAM S-75 Dvina, tiba di Hanoi pada bulan Mei 1965. S-75 adalah rudal sepanjang 35 kaki (10,6 meter) yang dapat menyerang sasaran sejauh 17 mil (27 km). Jika rudal SAM meledak dalam jarak 20 kaki (6 meter) dari sebuah pesawat, hal itu dapat menjatuhkannya. Situs SAM sulit ditemukan dan sulit dihancurkan. Ketika sedang dibangun, mereka tidak boleh diserang oleh pilot-pilot Amerika berdasarkan aturan keterlibatan AS, namun begitu mereka aktif, mereka dapat diserang dan dihancurkan. SAM paling berbahaya bagi pesawat AS yang terbang pada ketinggian 20.000 kaki (6.096 meter) atau lebih; namun, jika pesawat terbang di bawah ketinggian 20.000 kaki, mereka lebih rentan terhadap rentetan tembakan senjata AAA. Ketika Tentara Rakyat Vietnam menerima SAM pertamanya, mereka segera melatih para teknisinya di Delta Sungai Merah untuk menggunakan sistem tersebut dengan bantuan penasihat Soviet. Vietnam Utara, seperti yang diduga, mengerahkan sebagian besar sumber daya pertahanan udara mereka di sekitar Hanoi dan Haiphong di Delta Sungai Merah, tempat sebagian besar industri mereka berada. Daerah ini menjadi “pusat Neraka dengan Hanoi sebagai pusatnya,” tulis Kolonel Jack Broughton, seorang pemimpin penerbangan pesawat F-105 Angkatan Udara. Vietnam Utara biasanya mengerahkan empat atau enam peluncur bergerak SAM dalam lingkaran di sekitar unit radar Spoon Rest dan kendaraan van pengendali Fan Song. Setiap peluncur SAM bergerak membutuhkan lima awak. Fan Song adalah radar pengendali tembakan, pelacak, dan pengarah tembakan yang dipasang di trailer. Peluncurnya mengarah ke luar dan dilindungi oleh tanggul tanah. Radar pencarian Spoon Rest yang dipasang di truk memperoleh target dan meneruskan informasi jangkauan, arah, dan ketinggiannya ke radar pemandu Fan Song, yang memiliki kemampuan untuk melacak enam target secara bersamaan. Van pengendali Fan Song menampung tiga operator radar, satu pengontrol, dan seorang komandan baterai. Dua pilot pesawat tempur F-4 Phantom dari Angkatan Udara adalah korban pertama baterai SAM saat menjalankan misinya di Vietnam Utara. Awak SAM Vietnam Utara menembakkan tiga rudal, salah satunya meledak di bawah sayap pesawat. Kapten Richard P. Keirn dan petugas sistem senjata Kapten Roscoe H. Fobair adalah bagian dari empat pesawat F-4 yang melindungi dari atas pesawat-pesawat F-105 Thunderchief yang mengebom fasilitas produksi senjata di barat laut Hanoi pada tanggal 24 Juli 1965. Meskipun Fobair langsung terbunuh, Keirn berhasil keluar dan ditangkap. Vietnam Utara mengambil keuntungan penuh dari aturan keterlibatan A.S. yang membatasi, yang melarang formasi Wild Weasel, di mana pesawat serang yang dimodifikasi secara khusus menargetkan lokasi SAM, menyerang baterai SAM di Hanoi dan Haiphong, serta di wilayah penyangga terlarang pemerintahan Johnson di Zona perbatasan dengan Komunis China. Pihak komunis sengaja mengerahkan beberapa SAM untuk mempertahankan dua kota besar tersebut tepat di pusat kota untuk menghindari serangan Wild Weasel.

Baterai Peluncuran rusal SAM SA-2. (Sumber: https://www.pinterest.com.au/pin/322077810837400844/)
Pesawat pengintai RF-4C Amerika terkena tembakan rudal SA-2, 12 Agustus 1967. (Sumber: https://www.nationalmuseum.af.mil/Visit/Museum-Exhibits/Fact-Sheets/Display/Article/196037/sa-2-surface-to-air-missile/)

Ring pertama dari triad pertahanan udara Vietnam Utara terdiri dari sistem Artileri Anti-Pesawat, jumlahnya semakin banyak dari waktu ke waktu. Ini terutama berlaku untuk senjata kaliber besar yang dipandu dengan radar. Meriam kaliber 37 mm dan 57 mm selalu amat bagus di ketinggian sedang, kadang-kadang meledak begitu hebat seperti kembang api di udara. Tembakan anti-pesawat Vietnam Utara dikenal sangat hebat. Sistem pertahanan ini dimulai dengan system “Pertahanan Udara Rakyat” di mana warga biasa akan diperintahkan menembakkan senapan dan senapan mesin yang disediakan pemerintah dalam tembakan salvo berbarengan. Tembakan senjata kaliber kecil kemudian dilanjutkan dengan senjata kaliber berat mulai dari kaliber 20, 23, 37, 57, 85 hingga meriam antipesawat kaliber 100mm, yang mencakup berbagai ketinggian dari 1.500 hingga 20.000 kaki (457,2-6.096 meter). Pada 1967 saja, Vietnam Utara menembakkan 25.000 ton amunisi anti-pesawat setiap bulannya, hampir semuanya dibawa entah lewat transportasi darat dari China atau lewat transportasi laut dari Uni Soviet. Akurasi penembakan mereka semakin meningkat ketika sietem pelacakan yang dikontrol lewat radar menjadi umum pada tahun 1968. Ring kedua dari triad pertahanan udara Vietnam Utara adalah rudal SA-2 Guideline (sebutan NATO), yang dikenal oleh Uni Soviet sebagai S-75 Dvina. Hingga perang berakhir, Vietnam Utara akan menembakkan lebih dari 9.000 SA-2 dan menembak jatuh sekitar 150 pesawat AS dengan rudal itu. Berwujud seperti tiang telepon bertenaga roket dalam penerbangannya, rudal itu memiliki kecepatan tertinggi Mach 3.5 dan mampu menjangkau ketinggian lebih dari 90.000 kaki (27.432 meter). Ancaman SA-2 bisa dikalahkan dengan manuver “SAM break” jika awak udara mendapat peringatan akan adanya rudal yang mendekat atau kebetulan melihat berkas api dan debu saat rudal itu diluncurkan. Mereka akan berputar dan bermanuver sehingga SA-2 tidak dapat mengikuti, untuk kemudian jatuh tak terkendali. Kemampuan terbang tinggi SA-2 memaksa pesawat AS untuk terbang di ketinggian lebih rendah di mana mereka mau tidak mau akan menghadapi tembakan senjata anti pesawat yang rapat. Senjata anti pesawat yang dikendalikan radar terbukti menjadi ancaman serius bagi pesawat-pesawat Amerika, bersama dengan pesawat-pesawat MiG dan rudal-rudal SAM.

Pesawat RF-101C Voodoo. Perangkat penangkal elektronik (ECM-Electronic Counter Measures) pertama kali diperkenalkan di Vietnam pada tanggal 29 Maret 1965, ketika tiga pesawat RF-101C Voodoo, masing-masing membawa pod QRC-160 terbang menjalankan misi ECM menemani sebuah armada penyerang menuju targetnya. (Sumber: https://www.historynet.com)

Pada akhir 1965, Vietnam Utara telah mengerahkan lebih dari 2.000 senjata anti pesawat yang dikendalikan dengan radar. Untuk mengatasi hal ini, Amerika lalu mengerahkan berbagai perangkat penangkal elektronik. Perangkat penangkal elektronik (ECM-Electronic Counter Measures) pertama kali diperkenalkan di Vietnam pada tanggal 29 Maret 1965, ketika tiga pesawat RF-101C Voodoo, masing-masing membawa pod QRC-160 terbang menjalankan misi ECM menemani sebuah armada penyerang menuju targetnya. QRC-160 terbukti tidak memuaskan dan dengan cepat ditarik, namun ini adalah langkah awal dalam mengembangkan perangkat jamming untuk mengacaukan radar pertahanan lawan. Dengan diperkenalkannya perangkat ECM yang lebih baik dan penggunaan tim penekan pertahanan udara “Wild Weasel” membuat tingkat efektifitas ‘membunuh’ SAM menurun. Kill Rate SAM turun dari awalnya 20 persen menjadi sekitar 1,8 persen pada tahun 1968. Ring ketiga dari triad pertahanan udara musuh terdiri dari pesawat tempur MiG yang terhitung “tua” tapi efektif seperti MiG-17/19 dan pesawat bersayap delta, MiG-21 yang modern. MiG dioperasikan di bawah bimbingan yang ketat dari pusat control di darat. Mereka semua dilengkapi dengan kanon, sementara MiG-21 juga dilengkapi dengan rudal pencari panas Atoll, yang menurut veteran pilot Vietnam Utara Pham Ngoc Lon dan ace Nguyễn Nhật Chiêu (yang mencetak kemenangan saat terbang dengan menggunakan MiG-17 dan MiG-21) sangat akurat ditembakkan dari jarak dekat. Pham Ngoc Lan mengatakan kepada penulis Inggris Roger Boniface bahwa “MiG-21 terbang jauh lebih cepat, dan memiliki dua rudal Atoll yang sangat akurat dan dapat diandalkan ketika ditembak dari jarak antara 1.000 dan 1.200 meter.” Sementara Chiêu menegaskan bahwa “… bagi saya pribadi saya lebih menyukai MiG-21 karena lebih unggul dalam semua spesifikasi baik dalam pendakian, kecepatan dan persenjataan. Rudal Atoll sangat akurat dan saya mencetak empat kill dengan Atoll …. Dalam kondisi tempur umum saya selalu yakin bisa menembak jatuh F-4 Phantom saat menerbangkan MiG-21.”

ANCAMAN MIG

Pada akhir tahun 1965, pesawat Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika telah menerbangkan total 25.408 misi serangan sebagai bagian dari operasi Rolling Thunder. Selama serangan-serangan tersebut, Angkatan Udara dan Angkatan Laut kehilangan total 170 pesawat karena pertahanan udara Vietnam Utara. Dari kerugian tersebut, 50 disebabkan oleh pesawat pencegat MiG dan sisanya disebabkan oleh AAA dan SAM. Sifat terbatas dari kampanye Operasi Rolling Thunder dirancang untuk memaksa Vietnam Utara memberikan konsesi di meja perdamaian sambil menghindari tindakan yang mungkin memicu intervensi oleh komunis China. Dengan mempertimbangkan tujuan tersebut, Johnson secara berkala memerintahkan penghentian pengeboman, dan pada saat itulah Amerika Serikat akan melakukan pendekatan diplomatis terhadap Vietnam Utara. Johnson menyerukan penghentian pemboman selama lima hari pada tanggal 12 Mei 1965, dengan harapan Vietnam Utara siap untuk bernegosiasi, namun Ho Chi Minh tetap menentang. Orang-orang Vietnam Utara, yang mendapat dukungan dari Uni Soviet dan China, tidak punya niat untuk bernegosiasi. Johnson dan penasihat terdekatnya kemudian mengizinkan perluasan operasi Rolling Thunder pada bulan Juni 1965 yang menandai perubahan strategis dalam kampanye udara Amerika. Pada fase kedua ini, pesawat-pesawat serang Angkatan Udara dan Angkatan Laut juga akan menyerang sasaran transportasi dan infrastruktur. Pada awal bulan Desember 1965 Johnson juga mulai mengizinkan serangan terhadap sasaran industri tertentu di sekitar Hanoi. Angkatan Udara Vietnam Utara lalu meningkatkan kemampuan intersepsinya pada bulan Januari 1966 ketika menerima batch pertama MiG-21 “Fishbed” dari Uni Soviet. Namun, berbeda dengan penilaian pilot-pilot Vietnam Utara, sebagian besar pilot-pilot pesawat tempur Amerika menganggap MiG-17 “Fresco” subsonik yang lebih gesit sebagai ancaman yang lebih besar dibandingkan MiG-21. Hal ini karena MiG-21 mengalami banyak cacat desain; misalnya, kanonnya tidak stabil, dimana kanon tunggalnya hanya mampu menampung 60 butir amunisi, tidak memiliki tangki bahan bakar yang dapat menutup sendiri, dan tidak memiliki cukup lapisan baja untuk melindungi komponen paling vitalnya. Namun demikian, MiG-21 dipersenjatai dengan rudal Atoll pencari panas yang sangat akurat. Meskipun penerbang-penerbang MiG-17 akan melakukan serangan tembak lari di mana mereka akan menembakkan satu atau dua kali sebelum melesat pergi, MiG-21 menggunakan taktik yang berbeda: Untuk menghindari radar pesawat-pesawat F-4 Phantom, MiG-21 sering mendekati formasi pesawat-pesawat A.S. pada ketinggian rendah, sebelum kemudian akan muncul di belakang formasi. Pilot-pilot Fishbed kemudian akan meraung menembus formasi Amerika dengan kecepatan Mach 1, menembakkan satu rudal sebelum terbang pergi. Meskipun serangan-serangan mendadak ini mungkin tidak menimbulkan banyak korban pesawat-pesawat Amerika, ancaman yang ditimbulkan sering kali memaksa pilot-pilot AS yang membawa muatan bom untuk menjatuhkan persenjataan mereka sebelum mencapai sasaran yang dituju.

Sebagian besar pilot-pilot pesawat tempur Amerika menganggap MiG-17 “Fresco” subsonik yang lebih gesit sebagai ancaman yang lebih besar dibandingkan MiG-21. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/pin/803118546030527948/)
MiG-21 Vietnam Utara dipersenjatai dengan rudal Atoll pencari panas yang sangat akurat. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/pin/9218374225477358/)

Sementara itu untuk pertempuran udara-ke-udara melawan pesawat-pesawat pencegat MiG, pesawat tempur utama AU dan AL Amerika adalah pesawat F-4 Phantom, meskipun Angkatan Laut juga sangat bergantung pada F-8 Crusader untuk patroli udara tempur. Awalnya dirancang untuk Angkatan Laut AS, Phantom akhirnya dibuat untuk Angkatan Udara juga. Awalnya, awak udara F-4 Phantom dengan dua tempat duduk harus melawan pesawat-pesawat MiG dengan rudal udara-ke-udara AIM-7 Sparrow atau AIM-9 Sidewinder yang tidak akurat, karena pesawat Phantom tidak memiliki minigun untuk pertempuran udara jarak dekat. Namun kekurangan ini lalu diperbaiki dengan diperkenalkannya varian F-4E pada tahun 1968, yang dilengkapi dengan kanon otomatis. Adapun F-8 Crusader, dipuji sebagai “Last of the Gunfighters” karena dilengkapi dengan empat kanon otomatis kaliber 20mm yang ditempatkan di badan bagian bawah. Untuk lebih melindungi formasi AS terhadap pesawat-pesawat pencegat MiG, militer AS mengerahkan dua pesawat kontrol dan peringatan dini  EC-121D “Warning Star” ke Teluk Tonkin pada bulan April 1965. Sebuah EC-121D lainnya dikerahkan tak lama kemudian ke langit Laos untuk melindungi pesawat-pesawat Angkatan Udara A.S. yang terbang dari lapangan udara Kerajaan Thailand menyerang sasaran di Vietnam Utara. Awalnya EC-121 berpangkalan di Tainan, Taiwan, kemudian menjalankan misinya di pangkalan Udara Tan Son Nhut dekat Saigon. Ini merupakan untuk pertama kalinya EC-121D digunakan dalam pertempuran. Bekerjasama dengan kapal-kapal beradar milik angkatan laut yang berlayar di sekitar Vietnam, EC-121 yg memiliki Callsign Red Clown, memberikan gambaran secara “real time” kepada komandan pasukan penyerang atas apa yg dilakukan oleh elemen pertahanan udara pihak musuh. Pengerahan awal dari pesawat ini bukannya tanpa problem. Kru pesawat yang terdiri dari 16-30 orang, tergantung masing-masing misinya terbang dengan durasi cukup lama. Pangkalan udara Tan Son Nhut hanya memiliki fasilitas yg terbatas dan sudah mencapai batas limitnya, membuat pangkalan ini sukar untuk menyediakan akomodasi yang nyaman untuk awak EC-121 D. Semua unit di pangkalan ini, seperti banyak pangkalan lain yg tersebar di Vietnam Selatan (berbeda dengan pangkalan di Thailand, Korat misalnya), sering mendapat serangan dari unit-unit penghancur musuh dan serangan mortir secara berkala. Dikarenakan misi yang seringkali berdurasi hingga 10 jam, komandan menganggap bahwa moral crew amatlah penting, akan tetapi sangat disayangkan bahwa dia tidak dapat menyediakan suasana yg nyaman bagi crew sehingga semangat dan moral dapat tetap terjaga.

Awak udara F-4 Phantom dengan dua tempat duduk harus melawan pesawat-pesawat MiG dengan rudal udara-ke-udara AIM-7 Sparrow atau AIM-9 Sidewinder yang tidak akurat, karena pesawat Phantom tidak memiliki minigun untuk pertempuran udara jarak dekat. (Sumber: https://www.peakpx.com/en/hd-wallpaper-desktop-alxid)
F-8 Crusader, dipuji sebagai “Last of the Gunfighters” karena dilengkapi dengan empat kanon otomatis kaliber 20mm yang ditempatkan di badan bagian bawah. (Sumber: https://imgur.com/gallery/9FeHA)
Pesawat elektronik EC-121 D. (Sumber: https://www.flickr.com/photos/13476480@N07/27913135891)

Pada tahun 1967, mereka berpindah dari Tan Son Nhut ke Ubon dan kemudian ke Udorn, kode misi mereka kemudian diubah menjadi “Colledge Eye” dan EC-121 D dari 552nd Airborne Warning and Control Wing memiliki kode callsign radio “Disco“. Para pilot tempur mengakui bahwa keberadaan EC-121 berhasil menghindarkan mereka dari banyak pencegatan oleh pesawat MiG. Secara keseluruhan EC-121 bertugas di Vietnam dari 16 April 1965 sampai 1 Juni 1974, utamanya untuk mensupport operasi Rolling Thunder dan (nantinya) Operasi Linebecker. Pada tanggal 10 Juli 1965, adalah untuk pertama kalinya EC-121 memandu sepasang F-4C untuk menjatuhkan 2 MiG-17 Fresco milik Vietnam Utara. Sepanjang perang USAF kehilangan 2 EC-121 dikarenakan masalah saat take off dan proses landing (masing-masing satu). Sementara itu, di lautan, tiga kapal induk juga selalu berada di posisinya sebagai bagian dari Satuan Tugas 77 Armada Ketujuh A.S. di Stasiun Yankee selama Operasi Rolling Thunder. Sebuah kapal induk akan menjalani masa tugas selama enam bulan di Yankee Station dan kemudian digantikan oleh kapal induk lainnya. Secara keseluruhan, 14 kapal induk bertugas di Stasiun Yankee pada waktu yang berbeda-beda selama Perang Vietnam. Angkatan Laut mampu mengerahkan seluruh kekuatan udaranya melawan Vietnam Utara karena, tidak seperti Angkatan Udara, Angkatan Laut tidak perlu mengerahkan banyak aset udaranya untuk mendukung pasukan darat AS dan Vietnam Selatan di Vietnam Selatan. Pada bulan Desember 1965, Angkatan Laut mengerahkan kapal induk bertenaga nuklir USS Enterprise, kapal perang terbesar di dunia pada saat itu, ke Stasiun Yankee di Teluk Tonkin. Saat itu, USS Enterprise bergabung dengan USS Kitty Hawk dan USS Ticonderoga. USS Enterprise kemudian mencetak rekor serangan kapal induk terbanyak dalam satu hari ketika mengirim 165 pesawat terbang pada tanggal 3 Desember 1965. 

TARGET GRADUAL

Masih bertekad untuk membawa Vietnam Utara ke meja perdamaian, Johnson pada tanggal 24 Desember memerintahkan penghentian pengeboman lagi. Kali ini perdamaian berlangsung selama 37 hari, hingga tanggal 31 Januari 1966. Namun, Vietnam Utara terus menolak tawaran perdamaian AS. Penghentian pengeboman yang lama justru memungkinkan Vietnam Utara untuk memindahkan pasukan dan peralatan tanpa takut akan serangan dari udara. Selain itu, jeda pengeboman yang lama memungkinkan mereka untuk terus meningkatkan pertahanan udaranya. Pada fase ketiga Operasi Rolling Thunder yang dimulai pada bulan Februari 1966, Johnson memperluas cakupan operasinya dengan mencakup serangan terhadap fasilitas penyimpanan minyak bumi, minyak, dan pelumas (POL). Karena hampir semua fasilitas penyimpanan POL Vietnam Utara terletak di dekat Hanoi dan Haiphong, pesawat-pesawat A.S. harus terbang diatas pertahanan udara kuat negara komunis tersebut. Wing Tempur Taktis ke-355 dan ke-388 Angkatan Udara, serta Wing Udara ke-9 di di kapal induk USS Constellation dan Wing Udara ke-14 di kapal induk USS Ranger mulai melakukan serangan ‘alfa’ di fasilitas POL pada tanggal 29 Juni. Menuju ke Hanoi dan Haiphong membutuhkan perencanaan, keterampilan, dan keberanian yang luar biasa dari setiap awak pesawat Amerika, dan dari waktu ke waktu hal-hal itu terus diperlukan lagi dan lagi.

Fasilitas POL Hanoi terbakar setelah diserang oleh Angkatan Udara AS pada tanggal 29 Juni 1965. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Bagi para pilot tempur Amerika yang beroperasi di Vietnam Utara, sebuah tour tempur dianggap selesai ketika mereka sudah menjalankan 100 “misi tempur” terbang diatas wilayah Vietnam Utara. Pada 1966, para pilot F-105 berkomentar, “Pada misi ke-66, anda pasti sudah pernah ditembak dua kali dan diselamatkan SAR sekali.” Selama masa perang, peluang untuk menyelesaikan 100 misi tempur berkisar dari tidak mungkin hingga sangat kecil. Dengan musuh yang amat kuat seperti itu, jelas misi penyerangan ke Vietnam Utara bukanlah hal yang mudah, hal ini diperparah dengan aturan ketat yang dibuat bagi para pilot tempur Amerika. Sebagai contoh misalnya adalah mereka diperbolehkannya untuk membom truk di jalanan sementara dilarang untuk melakukan pengeboman di pabrik dimana truk tersebut dirakit. Seorang pilot pemberani yang memperoleh medali bisa saja disidang jika melanggar aturan yang telah dibuat, yakni diperbolehkannya untuk menghancurkan pesawat musuh dalam pertempuran udara namun dilarang untuk menghancurkannya saat masih berjajar di daratan. Seorang kapten pesawat F-105D dari pangkalan Takhli mengingat: “Kami yang terbang menjalankan misi ada dalam situasi yang membingungkan. Kita sudah dilatih dengan keras, bekerja dengan keras, untuk menjadi yang terbaik di dunia menerbangkan Thud (julukan F-105) melawan pertahanan udara musuh dan membawa bom keatas target. Namun tiba-tiba, kami diminta untuk menghafal ROE. Kami harus mempelajari pembatasan yang kompleks, membingungkan, yang mana adalah hal yang manusiawi untuk sukar menghindari melakukan kesalahan. Kamu tidak boleh terbang disini, kamu tidak boleh menembak ini, kamu tidak boleh terbang kesitu, tidak boleh menembak itu. Yang lebih buruk, kami diperingatkan, dan kami mempercayainya, bahwa hukuman serius akan mengikuti bila kami melanggar aturan yang ditetapkan.”

F-105D terkena rudal SA-2. Selama masa perang, peluang untuk menyelesaikan 100 misi tempur di pesawat F-105 berkisar dari tidak mungkin hingga sangat kecil. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Sementara itu, meskipun Sharp mendesak Johnson dan McNamara pada musim panas 1966 untuk mengizinkan serangan terhadap lapangan-lapangan udara Vietnam Utara pada saat itu, presiden tidak mengizinkan serangan terhadap lapangan-lapangan udara yang menjadi basis pesawat-pesawat MiG sampai musim semi tahun 1967. Setelah itu, Vietnam Utara bisa memindahkan sebagian besar pesawat MiG mereka ke lapangan udara di China, dan dari sana mereka melanjutkan serangan terhadap formasi pesawat-pesawat AS. Mengenai operasi Rolling Thunder sendiri perlu digarisbawahi bahwa tujuan operasi udara ini bukan untuk mengalahkan dan menguasai Vietnam Utara, yakni utamanya adalah memiliki tujuan sebagai berikut:  

1) Menciptakan pemerintahan Vietnam Selatan yang mampu berdiri sendiri 

2) Mencegah konflik terbuka dengan Komunis China dan USSR 

3) Mencegah reaksi berlebihan dari public Amerika atas Operasi Udara yang dilakukan atas Vietnam Utara.  

Pesawat A-4E Skyhawk menyerang jembatan Phuong Dinh pada tahun 1967. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Hampir setiap target sasaran di Vietnam Utara ditentukan oleh pejabat pemerintahan di Washington, jauh dari medan perang. Terkadang sasaran yang dipilih meragukan dari sisi nilai strategisnya karena pembatasan-pembatasan target yang dibuat. Saat operasi Rolling Thunder, biasanya list target yang telah dikelompokkan berdasarkan prioritas dan dampaknya akan direview setiap minggunya dalam rapat informal yang dihadiri oleh Presiden, Penasehat Pertahanan, Menteri Pertahanan, dan beberapa Jenderal.  Presiden Johnson kemudian akan meninjau nilai rata-rata target, kemudian secara pribadi memilih target untuk menyerang. Parameter-parameter serangan direview secara ketat. Pertimbangan yang diperhatikan diantaranya termasuk jumlah pesawat yang digunakan untuk menyerang, tanggal/waktu penyerangan, rute masuk atau keluar, senjata yang diperbolehkan atau dilarang digunakan, dan otoritas untuk melakukan penyerangan. Sebagai contoh, ketika penyerangan fasilitas POL (Petrolium, Oil and Lubricant) Hanoi dan Haiphong disahkan pada bulan Juni 1966, kondisi penyerangan dijalankan dengan ketentuan yang ditentukan oleh Gedung Putih sebagai berikut:  

1. lakukan penyerangan hanya dengan kondisi cuaca optimal, dengan jarak pandang yang baik dan tidak tertutup awan 

2. Memanfaatkan secara maksimal pilot-pilot Rolling Thunder yang berpengalaman

3. Menekankan perlunya menghindari korban sipil yang perlu dijelaskan secara rinci kepada para pilot 

4. Serangan dilakukan dari satu arah dengan menghindari daerah yang berpenduduk

5. Memaksimalkan penggunaan ECM untuk menghambat tembakan SAM dan AA, dengan tujuan mengurangi gangguan bagi pilot dan meningkatkan akurasi pengeboman  

6. Memaksimalkan penggunaan munisi presisi tinggi  

7. Memastikan risiko minimum timbulnya korban dari warga negara dan kapal-kapal negara pihak ketiga (Baca: USSR dan China) 

8. batasi penyerangan atas situs SAM/AA di wilayah yang berpenduduk padat. 

F-105D Thunderchief Angkatan Udara AS ditembak jatuh di Vietnam Utara, sekitar pertengahan tahun 1960-an. Pada akhir tahun 1966 kerugian AU Amerika di Asia Tenggara mencapai 379 pesawat, dengan F-105 menjadi penyumbang terbanyak. Tidak kurang dari 126 F-105 hancur, dimana 111 diantaranya diatas Vietnam Utara. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/wiki/File:U.S._Air_Force_Republic_F-105D_Thunderchief_shot_down_over_North_Vietnam,_circa_in_the_mid-1960s.jpg)

Pada akhir tahun 1966 kerugian AU Amerika di Asia Tenggara mencapai 379 pesawat, dengan F-105 menjadi penyumbang terbanyak. Tidak kurang dari 126 F-105 hancur, dimana 111 diantaranya diatas Vietnam Utara. Empat oleh SAM, tiga oleh MiG, sementara sisanya oleh senjata anti pesawat, yang kerap kali akibat berusaha menghindar dari SAM dan sergapan pesawat-pesaway MiG. Kerugian lainnya termasuk 56 F-4 Phantom (42 dalam pertempuran), 26 F-100 (diperkirakan seluruhnya di Vietnam Selatan) dan 41 pesawat serang A-1 Skyraider. Antara 1 Juli 1965 dan 31 Desember 1966, Vietnam Utara telah menembakkan 1.219 rudal SAM kepada pesawat-pesawat Amerika, yang menyebabkan kerugian 18 pesawat atau rasio 1,47 per 100 rudal yang ditembakkan. Dari sini terlihat rendahnya rasio perkenaan dari rudal SAM. Di sisi lain, artileri anti pesawat terbukti menjadi ‘pembunuh udara’ yang paling efektif, dimana sejak awal pemboman 2 tahun sebelumnya, 85 persen korban pesawat Amerika ditimbulkan oleh senjata ini. Dalam periode ini, berbagai upaya udara Amerika terbukti tidak mampu mengendurkan upaya perang Hanoi. 

KERAGUAN TERHADAP EFEKTIFITAS ROLLING THUNDER

Metode lain yang digunakan pasukan AS untuk menghalangi aliran pasokan dari Vietnam Utara ke Vietnam Selatan adalah dengan menggunakan pesawat-pesawat pembom B-52 Stratofortress untuk melakukan serangan, dengan nama sandi “Arc Light,” yang mana mereka akan menghujani suatu area dengan bom-bom konvensional. Serangan Arc Light pertama di wilayah Vietnam Utara terjadi pada tanggal 12 April 1966, ketika pembom-pembom B-52 Komando Udara Strategis Ameriia menghantam Celah Mu Gia, titik masuk utama dari Vietnam Utara ke Jalur Ho Chi Minh. Johnson membatasi penggunaan B-52 di wilayah Vietnam Utara pada titik-titik menuju Jalur Ho Chi Minh dan di area sekitar utara DMZ. Pada fase keempat, dari bulan Oktober 1966 hingga Mei 1967, pemerintahan Johnson meningkatkan frekuensi pengeboman fasilitas industri dan pembangkit listrik. Ketika hanya terjadi lima serangan terhadap fasilitas pembangkit listrik pada tahun 1965, Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika menyerang sasaran-sasaran tersebut sebanyak 39 kali pada tahun 1967. Tahap kelima dan terakhir—dari bulan Mei 1967 hingga Oktober 1968—berfokus pada sisa-sisa infrastruktur industri Vietnam Utara. Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika juga terus mengebom semua sasaran militer, logistik, dan transportasi yang sebelumnya telah disetujui oleh pemerintahan Johnson. Di sisi lain McNamara dengan tegas menentang Operasi Rolling Thunder sejak musim gugur 1966. Kampanye udara tersebut tidak “secara signifikan mempengaruhi infiltrasi (ke Vietnam Selatan) atau merusak moral Hanoi,” katanya kepada Johnson. McNamara menginginkan pendekatan berbeda untuk menghalangi aliran pasokan dari Hanoi ke pasukan Viet Cong dan Vietnam Utara yang bertempur di Vietnam Selatan. Menteri Pertahanan Amerika ini mengusulkan pendekatan baru untuk menghentikan aliran manusia dan material dari Vietnam Utara ke Vietnam Selatan pada bulan November 1966. Dia mengusulkan pembangunan penghalang fisik yang akan membentang di sepanjang DMZ dan ke wilayah Laos utara. Penghalang ini tidak hanya terdiri dari barikade fisik, tetapi juga peralatan sensor elektronik. Ketika ada bukti adanya ancaman besar dari pasukan darat Vietnam Utara, ia mengusulkan agar pasukan reaksi cepat menyerang mereka. 

Douglas A-4 Skyhawk Angkatan Laut AS menyerang kereta di Vietnam Utara dengan roket Zuni. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)
McNamara ragu dengan efektifitas Operasi Rolling Thunder. (Sumber: https://moumj.medium.com/robert-mcnamaras-words-on-the-cold-war-is-something-we-should-never-forget-ea4fffbbdc5c)

Mengenai pengeboman lanjutan di Vietnam Utara, McNamara mengupayakan tingkat pemboman yang stabil daripada karakteristik eskalasi yang berkelanjutan dari Operasi Rolling Thunder. Tidak mengherankan jika para pejabat senior militer sangat menolak upaya McNamara untuk membatasi cakupan pemboman tersebut. McNamara semakin menguat dalam penentangannya terhadap Operasi Rolling Thunder di bulan-bulan berikutnya. Pada musim semi 1967, ia bertindak lebih jauh dengan menentang pemboman lebih lanjut di Vietnam Utara. Wheeler dan Westmoreland segera mengecam usulan menteri pertahanan untuk membatasi serangan udara taktis dan strategis terhadap sasaran di Vietnam Utara. Westmoreland bahkan mengatakan kepada Johnson bahwa dia terkejut karena pemerintah bahkan mempertimbangkan untuk menghentikan Operasi Rolling Thunder. Namun pada saat itu, Johnson sendiri mempertanyakan seluruh upaya perang tersebut. Ketika CIA memberi tahu Johnson pada tahun 1968 bahwa Operasi Rolling Thunder tidak menurunkan moral maupun kemampuan perang Vietnam Utara, presiden mulai ragu apakah ia dapat mengakhiri perang dengan sukses. McNamara kemudian mengajukan pengunduran dirinya pada tanggal 28 November 1967, meskipun ia akan tetap menjabat di posisinya sampai tanggal 28 Februari 1968. Keputusan McNamara yang paling mengerikan selama Operasi Rolling Thunder adalah larangannya untuk menyerang situs SAM yang sedang dibangun dan penolakannya untuk mengizinkan pemboman lapangan terbang di masa-masa awal konflik. Terlepas dari kekacauan politik, pada bulan Oktober 1967 para perencana Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika mulai menyerang Vietnam Utara dengan serangan terhadap sasaran militer prioritas tinggi seperti lapangan-lapangan udara basis pesawat MiG. Serangan terhadap Lapangan Udara Kien An oleh Carrier Air Wing 19 yang terbang dari USS Ticonderogamelibatkan pesawat pembom tempur A-4 dan F-8, F-8 Iron Hand Escort untuk menekan situs-situs SAM, F-8 untuk menekan unit-unit baterai antipesawat konvensional, dan F-8 lainnya akan menerbangkan patroli udara tempur melawan pesawat-pesawat pencegat MiG. 

BERAKHIRNYA ROLLING THUNDER

Pengumuman Johnson pada tanggal 31 Maret 1968, bahwa ia tidak akan mencalonkan diri kembali pada pemilihan akhirnya menghancurkan Operasi Rolling Thunder. Perang Vietnam telah meningkat eskalasinya selama masa kepresidenannya, dan sejauh ini ia terbukti tidak mampu membuat Vietnam Utara terlibat dalam perundingan damai. Selain itu, Serangan Tet yang berdarah dan kacau, yang meletus pada tanggal 31 Januari dan di mana Vietnam Utara dan Viet Cong melancarkan serangkaian serangan di lebih dari 100 kota dan pos-pos terdepan di Vietnam Selatan, telah menunjukkan bahwa hingga saat itu Amerika Serikat tidak bisa memenangkan serangan tersebut dengan strategi perang darat dan udara. Ketika pemerintahan Johnson berakhir, Operasi Rolling Thunder hampir berakhir pada tanggal 31 Oktober 1968. Pada saat Presiden Johnson mengumumkan penghentian pemboman pada 1 November 1968, pertahanan udara Vietnam Utara telah berkembang menjadi sistem pertahanan udara terpadu yang terdiri dari 400 sistem radar, 8.050 senjata anti-pesawat, 150 pesawat tempur (termasuk cadangan yang berbasis di China), dan 40 situs rudal SA- 2. Pada akhir kampanye pengeboman strategis selama 43 bulan, para pejabat Angkatan Udara dan Angkatan Laut yang mengawasi serangan udara tersebut mengatakan bahwa mereka yakin bahwa tahapan operasi yang paling efektif adalah pada tahun 1967 dan 1968 yang menargetkan logistik dan infrastruktur Vietnam Utara. Salah satu dampak paling buruk dari Operasi Rolling Thunder bagi militer AS adalah banyaknya pilot yang menjadi tawanan perang di Hanoi. Sepanjang konflik, 771 orang Amerika menjadi tawanan perang. Dari jumlah tersebut, 113 orang tewas di penahanan, dimana 65 orang disiksa sampai mati ketika interogator mereka berusaha mendapatkan kerja sama mereka untuk tujuan propaganda. Para tawanan perang ini mengalami kondisi yang mengerikan dan biadab tanpa perawatan medis. Selama 43 bulan operasi tersebut, penerbang-penerbang AS melakukan 304.325 serangan taktis dan menjatuhkan 643.000 ton persenjataan. Selain itu, Komando Udara Strategis Amerika menerbangkan 2.273 misi Arc Light. Namun serangan-serangan pada Operasi Rolling Thunder hanya mencakup 28 persen dari seluruh serangan udara yang dilakukan selama periode yang sama ketika jumlah serangan yang dilakukan di Vietnam Selatan dan Laos turut diperhitungkan.

Pengumuman Johnson pada tanggal 31 Maret 1968, bahwa ia tidak akan mencalonkan diri kembali pada pemilihan akhirnya menghancurkan Operasi Rolling Thunder. (Sumber: https://millercenter.org/president/lbjohnson/life-in-brief)

DAMPAK ROLLING THUNDER

Operasi Rolling Thunder telah membangun momentum yang cukup besar pada tahun 1966, tetapi mencapai puncaknya pada tahun 1967. Pada tahun itu, Angkatan Udara dan Angkatan Laut Amerika mengebom 1.923 situs AAA, 236 situs SAM, 807 pangkalan dan lapangan terbang, 140 sasaran POL, 39 pembangkit listrik, dan 6.485 jalan setapak dan jalan raya. Secara keseluruhan, pasukan militer AS di Vietnam kehilangan 881 pesawat selama operasi tersebut. Menggunakan tahun 1967 sebagai contoh, dari 372 pesawat yang hilang pada tahun itu, 205 hilang karena tembakan AAA konvensional, 62 karena rudal permukaan ke udara, 25 karena aksi pencegat MiG, dan 37 karena kesalahan pilot, kerusakan mekanis, dan penyebab yang tidak diketahui. Terlepas dari campur tangan Johnson, McNamara, dan banyak penasihat utama presiden lainnya, awak pesawat yang melakukan serangan ‘alfa’ dan serangan pengintaian bersenjata menunjukkan kepahlawanan dan kecerdikan yang luar biasa dalam menghadapi struktur pertahanan udara yang dibangun oleh Vietnam Utara dengan bantuan erat dari Republik Rakyat China dan Uni Soviet. Meskipun para awak pesawat AS berhasil membom sasaran sasaran mereka selama Operasi Rolling Thunder, upaya mereka hanya berdampak kecil pada jalannya perang dalam jangka panjang. Sebagai bukti kemahiran mereka, para penerbang ini berhasil melumpuhkan 65 persen kapasitas penyimpanan bahan bakar Vietnam Utara pada puncak perang yang panjang.

Pembom segala cuaca A-6A Intruder Angkatan Laut AS, pada tahun 1968. Para penerbang Amerika berhasil melumpuhkan 65 persen kapasitas penyimpanan bahan bakar Vietnam Utara pada puncak perang yang panjang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Pada Saat Operasi Linebacker II, 18–29 December 1972 operasi gabungan dilakukan dilaksanakan dengan aturan yang dilonggarkan untuk memungkinkan dilakukannya serangan serangan secara simultan pada beberapa lapangan udara sekaligus. Terdapat pula dukungan intersepsi penyerangan yang dilakukan dari pesawat EC-121 dan kapal-kapal perang. Perangkat ECM baru diterapkan, termasuk penggunaan perangkat tua, Chaff. F-4E Phantom yang baru juga digunakan. Kemudian pembom B-52, yang walau sempat menggunakan taktik yang kurang tepat, namun kemudian terbukti mampu jadi faktor penting penentu operasi setelah taktik diubah. Tekanan atas target-target di Hanoi dilakukan sepanjang malam dan siang hari, dengan amunisi berpandu presisi menghantam banyak target yang sebelumnya dilarang diserang. Situs-situs SAM dihancurkan, begitu juga dengan lokasi-lokasi persediaannya. Singkatnya, dalam penerbangan terakhir atas RP VI selama operasi Linebacker II, membuktikan bahwa pertahanan udara Vietnam Utara dapat dipelajari, dilumpuhkan, dan dikalahkan, serta tidak mampu menahan serangan lebih lanjut, Vietnam Utara kemudian dipaksa kembali ke meja perundingan di Paris dan menyetujui persyaratan yang akan memungkinkan Amerika Serikat pada akhirnya melepaskan diri dari Perang Vietnam. Hasil yang sama sebenarnya bisa dilakukan dengan mudah dan dengan tidak terlalu memakan banyak korban jika dilakukan delapan tahun lebih awal dimana tidak akan perlu memakan korban tambahan hingga 47.000 jiwa bagi Amerika.  

Pada Saat Operasi Linebacker II, 18–29 December 1972 operasi gabungan dilakukan dilaksanakan dengan aturan yang dilonggarkan untuk memungkinkan dilakukannya serangan serangan secara simultan pada beberapa lapangan udara sekaligus. (Sumber: https://ar.inspiredpencil.com/pictures-2023/operation-linebacker)
Operasi Rolling Thunder, bagaimanapun memiliki pengaruh yang bertahan lama dan positif tidak hanya pada operasi-operasi udara yang dilakukan pada masa pemerintahan Nixon, seperti Operasi Linebacker II, tetapi juga pada doktrin udara AS dalam konflik di masa depan. (Sumber: https://en.wikipedia.org/wiki/Operation_Rolling_Thunder)

Sementara itu, Operasi Rolling Thunder, bagaimanapun memiliki pengaruh yang bertahan lama dan positif tidak hanya pada operasi-operasi udara yang dilakukan pada masa pemerintahan Nixon, seperti Operasi Linebacker II, tetapi juga pada doktrin udara AS dalam konflik di masa depan. Warisan inovasi taktis dan militernya sangat mengesankan, dimana Militer AS mengalami kemajuan teknologi yang dramatis pada tahun-tahun setelah Operasi Rolling Thunder. Yang paling menonjol adalah diperkenalkannya amunisi presisi tinggi yang dikenal sebagai “bom pintar”. Pada awal tahun 1970-an, AS menggunakan bom berpemandu laser Paveway di langit Indochina. Meluasnya penggunaan bom pintar sangat meningkatkan jumlah target yang dapat dihancurkan oleh pesawat atau pasukan penyerang dalam misi udara. Setelah perang, militer AS juga meningkatkan upaya penelitian dan pengembangannya dalam peperangan elektronik, sensor inframerah, dan rudal anti-radar. Operasi Rolling Thunder pada akhirnya membawa perubahan yang menguntungkan dalam strategi udara AS. Angkatan Udara A.S. beralih dari obsesi masa Perang Dingin dengan mengembangkan pesawat pengebom jarak jauh menuju armada pesawat yang lebih seimbang yang mencakup lebih banyak pembom taktis. Hal ini memungkinkan Angkatan Udara dan Angkatan Laut A.S. membuat kemajuan besar dalam meningkatkan kemampuan tempur udara-ke-udara mereka di era pasca-Perang Dingin. Militer AS juga mulai mengerahkan pesawat-pesawat siluman di era pasca-Vietnam, yang jauh lebih bisa bertahan terhadap ancaman baterai AAA dan SAM dibandingkan pendahulunya di Vietnam. Kemajuan dalam bidang-bidang ini, serta kesediaan di antara presiden AS pasca-era Vietnam untuk mengizinkan pejabat militer senior mengelola serangan udara strategis dan taktis dengan sedikit campur tangan, membuahkan hasil yang luar biasa. Perubahan teknologi dan doktrin dalam penerapan kekuatan udara A.S. terlihat jelas dalam Operasi Badai Gurun tahun 1991, yang merupakan ujian besar pertama bagi pasukan A.S. setelah Perang Dingin.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

To Hell And BackBy William E. Welsh

To Hell And Back

Route Pack 6 By Walter J. Boyne Nov. 1, 1999

https://www.airandspaceforces.com/article/1199pack

Rolling Thunder and the Law of War W. Hays Parks

https://biotech.law.lsu.edu/cases/nat-sec/Vietnam/Rolling-Thunder-and-the-Law-of-War.html

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Route_Package

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mikoyan-Gurevich_MiG-21

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Lockheed_EC-121_Warning_Star#

The Vietnam Air War, A Story of Planes, Battles, and the Pilots Who Fought, Rober F. Dorr & Chris Bishop, 1996; p 42, p 44-46, p 50-51, p 84

Air warfare in the missile age, Book by Lon O. Nordeen Jr, 1985; p 11, p 13, p 15, p 22

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *