Sejarah Militer

Operasi Rooster 53, 26-27 Desember 1969: Bingung Hadapi Radar Baru Lawan? Rebut Saja!

Peristiwa luar biasa ini terjadi pada akhir tahun 1969, di Mesir, pada puncak dari apa yang disebut sebagai “perang atrisi”. Pada malam tanggal 26 menuju 27 Desember, di sebuah tempat di pantai Laut Merah, sekelompok pasukan komando Israel berhasil merampas sebuah perangkat radar buatan Soviet milik Mesir dan menerbangkannya ke Semenanjung Sinai (saat itu masih diduduki oleh Israel) dengan menggunakan helikopter. Tiga puluh tahun kemudian, dewan redaksi majalah Soldier Of Fortune berhasil menemukan salah satu dari saksi langsung aksi spektakuler ini.

Bekas radar P-12 Mesir di Museum Angkatan Udara Israel di Hatzerim. Radar ini dicuri dari tepi laut merah, 51 tahun yang lampau. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

MENUJU GARIS DEPAN 

Bagi saya (Igor Kulikov), seorang mahasiswa Institut Militer Khusus Bahasa Asing, yang dikirim ke Mesir sebagai penerjemah militer, perang Arab-Israel ini dimulai pada tanggal 30 November tahun 1969. Pada hari itu, pagi-pagi sekali, bersama Mayor Taras Panchenko, seorang penasihat dari Divisi Mekanis ke-3, kami meninggalkan Kairo menuju garis depan. Kami menempuh perjalanan yang cukup jauh, menuju distrik militer Laut Merah (di Angkatan Bersenjata Mesir, wilayah militer mereka dibagi dalam distrik-distrik). Seperti Terusan Suez, wilayah itu juga dianggap sebagai bagian dari zona perang, meski kurang begitu aktif. Menjelang malam, setelah melewati perjalanan hampir 300 km, kami dengan selamat mencapai lokasi brigade infanteri ke-19, yang ditempatkan di kawasan pantai Teluk Suez. Dengan posisi bertahannya, satuan ini memblokir Lembah Zafarana yang luas, yang membentang jauh ke dalam gurun Arab hampir sampai ke Sungai Nil. Pada bulan September dan awal Oktober, brigade tersebut telah dibom secara brutal. Dalam salah satu penyerangan, penasihat kami ikut terbunuh. Namun ketika kami tiba, kondisi di tempat itu relatif tenang. Peristiwa tragis sebelumnya kini hanya nampak terlihat dalam wujud bekas kerangka mesin yang terbakar dan kawah besar hasil dari ledakan bom Israel seberat ribuan pon. Daerah terpencil ini, seperti seluruh pantai Laut Merah, tidak terlindungi oleh pertahanan udara Mesir, dan pilot Israel merasa sangat percaya diri di sini, yang mana berada dalam jangkauan kekuatan udara mereka. Dengan melihat panjang serpihan bom sekitar setengah meter dan setebal jari, saya sadar bahwa saya tidak akan sembarangan berenang, berjemur, dan memecah karang sebagai kenang-kenangan di tempat itu. Gambaran kehidupan Kairo yang tenang sebagai kota besar belahan bumi bagian timur yang eksotis entah bagaimana segera tinggal menjadi kenangan, dan digantikan oleh prospek kehidupan baru kami di garis depan peperangan yang nampaknya tidak begitu cerah.

Seorang tentara Israel melihat ke arah desa Mesir Kantara di seberang Terusan Suez pada tanggal 26 November 1970. Berakhirnya Perang 6 hari tahun 1967, tidak berujung dengan perdamaian yang langgeng. Israel dan Mesir kemudian terlibat dalam perang berkelanjutan, yang dikenal sebagai Perang Atrisi. (Sumber: Foto oleh Moshe Milner/https://honestreporting.com/)
Penasihat militer Soviet dengan latar belakang Piramida Khufre dan patung Sphinx, tahun 1972. Sebagai wujud kedekatan antara Soviet dan Mesir, beberapa penasehat militer asal Soviet sempat dikirimkan ke Mesir pada tahun 1960-1970an. (Sumber: https://limacharlienews.com/)

BATALION KE-504 DI RAS GHARIB

Di markas brigade, Batalyon Infanteri ke-504, tempat kami ditugaskan, dipindahkan sekitar 145 km ke selatan ke daerah Ras Gharib, sebuah desa kecil  tempat para karyawan tambang minyak Mesir tinggal. Sesampainya di markas dan mendengarkan pengarahan yang energik dari penasihat senior brigade, kami kemudian berhenti untuk bermalam di ruang istirahat “Habir” (sebagaimana orang-orang Mesir biasa memanggil penasihat dan spesialis adal Soviet). Di pagi hari kami mulai bersiap untuk memulai keberangkatan. Untuk melakukan perjalanan, kami diberi truk GAZ-63. Dua tempat tidur tentara sederhana dengan kasur penuh kutu busuk kami tempatkan di atas truk yang body-nya berlubang-lubang ditembusi peluru. Meski demikian, setidaknya, untuk pertama kalinya, kami memiliki kendaraan yang bahkan dilengkapi atap di atas kepala kami. Setelah mencicipi makanan yang terbuat dari roti datar kering khas Mesir, dan berpamitan dengan para penasihat brigade, kami berangkat. Sejujurnya, saat menyaksikan pemandangan jalan yang benar-benar kasar namun masih alami, dengan cara kami sendiri, kami bisa menikmati keindahan alam pantai Laut Merah, sehingga karenanya, kami tidak lagi merasakan bosan. Namun, bagi para prajurit Mesir, mereka tidak merasakan kegembiraan seperti yang dirasakan para “turis-turis” Rusia seperti kami. Batalyon itu, bagaimanapun harus bertugas secara terpisah dari pasukan utamanya, jadi jika terdapat masalah operasional-taktis, kekuatan dari brigade utama tidak akan dapat diandalkan bantuannya.

Zafarana. Suez 30 November 1969. Beberapa penasehat Soviet dikirimkan langsung ke garis depan menemani unit-unit kritikal dari pasukan Mesir. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Sepanjang jalan, bangkai-bangkai berwarna hitam-cokelat dari peralatan yang terbakar berserak di sisi jalan. Saya khususnya ingat terdapat sebuah kendaraan lapis baja BTR-152 Mesir diantaranya. Kendaraan lapis baja itu diam, terkubur di tebing pinggir jalan. Di bagian belakangnya terdapat lubang bergerigi besar hasil dari tembakan pesawat Skyhawk atau Mirage Israel. Jelas bahwa hal itu dilakukan oleh para pilot yang profesional. Saya ingat pesan perpisahan dari salah satu rekan kami dari Zafarana: “Jika sesuatu terjadi, tinggalkan mobil dan lari ke arah yang berbeda menuju padang pasir. Pesawat Israel tidak akan menembakkan roket untuk menyerang satu orang. ” setibanya di lokasi penugasan, Komandan batalyon, Letnan Kolonel Mustafa Zibib, dan perwira Mesir lainnya menyambut kami dengan ramah. Batalyon itu baru saja datang ke Ras Gharib dan sekarang sedang mulai bekerja dengan perlengkapannya. Ruang istirahat di sini, tidak seperti di Zafarana, karena masih belum jadi. Oleh karena itu, untuk beberapa waktu kami harus bermalam di bawah tenda yang dilepas dari truk kami. Di atas tenda, kami memasang jaring kamuflase. Kemudian segera menjadi jelas bahwa kita tidak memiliki banyak hal fasilitas penunjang di tempat yang baru ini. Dalam hal ini, orang-orang Mesir banyak membantu kami pada awalnya. Kejutan lain bagi kami adalah saat itu adalah masa bulan bulan Ramadhan (di hari-hari Ramadhan, Umat Islam dilarang makan dari matahari terbit hingga terbenam). Sarapan hanya diberikan di sore hari. Saat sudah gelap, kami duduk di tempat tidur di bawah tenda kami, makan makanan Arab yang tidak biasa, yang, apalagi, agak ditaburi dengan pasir. Adapun makan siang dan makan malam, karena jam tidur, kami memilih untuk melakukannya sama sekali. Jadi kami harus berpuasa diluar kemauan kami, seperti layaknya orang-orang Muslim yang taat. 

Selama perang atrisi, pesawat-pesawat Israel seperti pesawat penyerang A-4 Skyhawk secara rutin menyerang sasaran-sasaran strategis Mesir di seberang Terusan Suez. (Sumber: http://aviationtrivia.blogspot.com/)

Pada hari kedua, kami mulai berkenalan secara detail dengan situasi, kekuatan dan sarana yang kami miliki, serta area di mana batalyon ke-504 akan beroperasi. Batalyon bertanggung jawab untuk melindungi wilayah pantai sepanjang 120 km di depan dan 80 km dalamnya, dengan jumlah yang jelas tidak ideal dengan standar taktis militer manapun. Menurut tugas tempurnya, unit Mesir ini dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan pendaratan serangan amfibi musuh di pantai dan untuk memastikan keamanan “fasilitas penting” di sektor tersebut. Perhatian khusus diberikan untuk memastikan keamanan sebuah stasiun radar di dekatnya. Untuk memperkuat batalion, dari brigade dikirimkan tambahan kekuatan yang terdiri dari: tank-tank T-34, baterai mortir kaliber 120 mm dan baterai anti-tank campuran dari senjata kaliber 57 mm dan senjata B-11 tanpa tolak balik (recoilles). Namun, untuk mengusir serangan udara musuh hanya tersedia tiga senapan mesin DShK. Selain batalyon infanteri kami, di daerah Ras Garib terdapat batalyon “Pertahanan Rakyat”, yang diisi oleh para tentara di usia mendekati pensiun. Pasukan ini terlibat dalam misi menjaga fasilitas perusahaan minyak lokal, dan, sejujurnya, hanya ada sedikit manfaat nyata dari para prajurit semacam itu. 

Tank T-34 Mesir dalam parade di Kairo. Sejumlah tank T-34 turut dikerahkan untuk mengamankan area di Ras Gharib pada akhir tahun 1969. (Sumber: https://www.themodellingnews.com/)
Senjata Recoilless B-11 buatan Soviet. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Minyak dan segala sesuatu yang terkait dengannya tidak terlalu mengkhawatirkan kami. Menurut informasi kami, ada kesepakatan diam-diam antara Mesir dan Israel, untuk tidak mengganggu instalasi-instalasi tersebut. Selain itu, perusahaan Mesir yang sama mengekstraksi minyak bersama-sama dengan perusahaan Amerika di Shukeir, jadi Israel tentunya tidak mau mencari masalah dengan Amerika. Yang menjadi perhatian kami sebenarnya bagi kami adalah perusahaan yang berhubungan dengan teknik radio. Lebih tepatnya, bukan “perusahaan” dalam arti bisnis, tetapi sebuah stasiun radar, yang oleh orang-orang Arab disebut “radar” saja. Terletak di perbukitan sedalam 8 km dari pantai dan sejauh 5 – 6 km dari posisi batalion kami. Tugas stasiun radar tersebut adalam memonitor pesawat yang melintas di sektor tengah Teluk Suez. Keamanan yang disediakan bagi stasiun adalah selusin tentara yang bahkan tidak dilengkapi dengan parit pertahanan terbuka. Komandan kompi itu sendiri berada di posisi yang disebut sebagai “radar palsu”, lebih dekat ke pantai, sekitar 2 km dari stasiun radar sebenarnya. Radar palsu itu adalah sebuah bukit besar dengan sepotong besi menempel di dalamnya, yang tampaknya menggambarkan antena radar. Objek itu ditutupi dengan barisan kawat berduri dengan ranjau elektronik dan lima baterai senapan mesin anti-pesawat buatan Soviet dan Amerika. Posisi ini menampung lebih dari 400 personel. Diyakini bahwa dengan cara ini musuh akan disesatkan dari lokasi radar yang sebenarnya. 

Ras Gharib yang ada tepat di tepi Laut Merah. (Sumber: https://www.researchgate.net/)

Rencana komandan kompi yang “bijaksana” seperti itu digambarkan pada selembar kertas gambar besar dan disetujui oleh komandan unit teknik radar Mesir. Tentu saja, kami segera melaporkan ketidaksetujuan kami dengan rencana ini kepada penasihat senior brigade, yang kemudian berjanji untuk menyelidikinya. Pada saat itu, hampir seluruh wilayah Distrik Militer Laut Merah adalah zona operasi aktif tidak hanya bagi pesawat-pesawat pembom tempur Israel, tetapi juga helikopter-helikopter mereka. Dari keduanya, helikopter-lah yang menimbulkan ancaman nyata, karena mereka bisa terbang di ketinggian rendah, di luar jangkauan radar. Saya juga harus mengatakan bahwa di Zafarana, di sekitar posisi brigade, terdapat stasiun radar kedua. Israel mengebomnya beberapa kali, tetapi mereka tidak dapat menghancurkannya – artileri anti-pesawat Mesir telah memaksa pilot-pilot Israel untuk terbang hingga ketinggian dua hingga tiga ribu meter, karena itu akurasi pemboman mereka menurun tajam. Kami sejauh ini memang belum diganggu oleh pesawat-pesawat musuh. Tetapi untuk beberapa waktu setelah gelap, dan terutama pada malam yang diterangi cahaya bulan, helikopter-helikopter mulai muncul di sektor kami. Masuk dari arah laut, antara Zafarana dan Ras Gharib, mereka memasuki pedalaman gurun dan kembali ke Sinai hanya pada pukul tiga atau empat pagi. Tujuan kemunculan mereka di wilayah kita dan sifat aksinya mungkin hanya bisa ditebak. Dari perkiraan adalah cukup mungkin bagi helikopter musuh untuk mendarat di area lokasi stasiun radar dan menghancurkannya. Untuk mencegah operasi semacam itu, kami menyarankan untuk mengirimkan beberapa prajurit di batalion untuk bergerak maju ke posisi “radar” sebenarnya. Segera, di hadapan kepala staf brigade, mereka bahkan melakukan sesi pelatihan. 

Tentara Mesir dengan senjata anti pesawat. Tentara Mesir umumnya bukanlah tentara yang buruk namun pimpinannya kurang mampu untuk menggunakan inisiatifnya. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Dari pagi hingga larut malam, kami terlibat dalam berbagai operasi tempur: kami melakukan misi pengintaian, mengklarifikasi tugas untuk unit di lapangan, menentukan posisi menembak untuk meriam dan mortir. Pada malam hari, ketika helikopter musuh muncul kembali, mereka menanti di markas komandan batalion dan dengan cemas menunggu laporan aksi para prajurit mereka. Saat fajar, setelah memastikan bahwa helikopter musuh sudah meninggalkan daerah kami, dengan kelelahan, mereka pergi tidur di bawah tenda mereka. Selama beberapa minggu, situasi di sektor ini hampir tidak berubah. Pada malam hari, saya harus memikirkan tidak hanya tentang kemungkinan pendaratan, tetapi juga tentang keamanan saya sendiri. Kami sudah mempersiapkan diri. Pintu tempat tinggal kami tidak terkunci, selain itu tidak ada yang perlu dijaga. Setiap malam saya harus mengambil senapan otomatis dari sopir kami, Suleiman, untuk berjaga-jaga. Sungguh lucu mengingat bagaimana, bahkan sedari di Kairo, sebelum berangkat ke Laut Merah, beberapa petugas politik penting membuat kami takut dengan kata-kata perpisahannya: “Coba saja saat ditangkap oleh orang-orang Yahudi — letakkan kartu anggota partaimu di atas meja . ..” Sementara itu, setelah beberapa waktu, pesawat pengintai mulai sering muncul di langit. Semua aktivitas yang sudah terjadi jelas memperlihatkan bahwa pihak Israel dengan hati-hati sedang mempelajari daerah tersebut. Namun hingga kini, situasi di pantai tetap tenang. 

Helikopter angkut berat Super Frelon milik Israel. Untuk menguji pertahanan udara lawan dan menilai kemampuan jangkauan udara mereka, militer Israel kerap menerbangkan misi penerbangan lintas batas terusan Suez selama Perang Atrisi. (Sumber: http://idf-airforce.blogspot.com/)

Di malam hari, pada tanggal 26 Desember, setelah makan malam, seperti biasa kami datang ke ruang komando batalion. Hal itu perlu untuk mendiskusikan rencana kerja untuk hari berikutnya. Sekitar jam 20:00 sebuah pesan lewat telepon tiba, yang mengabarkan bahwa dua helikopter musuh telah menembus 50 km di utara lokasi batalion menuju ke wilayah kami. Ini telah kerap terjadi sebelumnya, jadi (sayangnya) kami tidak terlalu menganggap pesan ini. Kemudian selama percakapan tentang rencana kegiatan yang akan dilakukan kemudian, Mayor Panchenko tiba-tiba menyarankan agar komandan batalyon meningkatkan kesiagaan kompi pertama dan melakukan sesi pelatihan malam untuk memindahkan tempat pendaratan dimana musuh dimana mereka selama ini diperkirakan akan menyerang ke tempat pendaratan yang baru. Sejujurnya, bahkan hingga hari ini, tiga puluh tahun kemudian, sulit bagi saya untuk mengatakan dengan pasti apa yang terbaik seharusnya kami kerjakan: apakah untuk melakukan atau tidak melakukan pelatihan semacam ini. Jika skema pelatihan seperti itu benar-benar terjadi, kami mungkin akan menggagalkan operasi musuh. Pertanyaan berikutnya: “Konsekuensi apa yang akan kami alami?” Mungkin keesokan harinya, orang-orang Israel akan menyerang batalion dengan dengan serangan udara mereka. Dalam asumsi ini kami tidak berlebihan. Seorang penasihat batalion yang akrab dengan saya, seorang veteran Perang Patriotik Besar (istilah orang-orang Russia saat menyebut Perang Dunia II), telah belajar betul mengenai praktik pemboman Israel di Terusan Suez yang dilakukan dengan kekuatan penuh.

Serangan udara Israel dalam Perang 6 Hari tahun 1967. Dalam sejarahnya, kekuatan udara Israel selalu menghantam lawan-lawannya semaksimal mungkin dalam setiap operasi yang mereka gelar. Hal ini membuat pihak lawan berpikir dua kali jika melakukan tindakan yang bisa membuat Israel merasa terprovokasi. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Belakangan, saya menjadi yakin bahwa respons Israel memang selalu lebih kuat dan lebih besar dari yang kami pikirkan. Tentu saja, kami senantiasa siap untuk memenuhi tugas militer kami dan menyelesaikan tugas yang ditetapkan oleh komandan kami, tetapi faktanya tidak ada seorangpun yang ingin mati di tepi pasir Laut Merah ini. Pada akhirnya takdir menentukan dengan jalannya sendiri. Letnan Kolonel Zibib, setelah mengetahui tentang niat kami untuk mengadakan sesi pelatihan, menyatakan ketidaksenangannya. Saya pikir komandan batalion itu tidak ingin melakukan hal itu. Pelatihan biasanya akan berlangsung hingga pagi hari. Diskusi berakhir dengan fakta bahwa kami mendapat instruksi formal, yang melarang pelaksanaan latihan tempur apa pun. Pada kenyatannya kesiapan Batalion pada waktu itu benar-benar berada dalam kesiapan level kedua. Laporan baru tentang adanya penampakan helikopter musuh belum diterima, dan semua orang tetap tenang-tenang saja.

SERANGAN UDARA DI MALAM HARI 

Sebelum tengah malam, komandan batalion menyarankan semua orang untuk pergi tidur, dan itu juga yang kami lakukan. Zibib sendiri dan kepala staf tetap bertugas di ruang komando. Lelah karena aktivitas sepanjang hari itu, saya langsung tertidur. Taras, ternyata, tidak tidur. Kemudian dia mengatakan bahwa dia memiliki semacam firasat buruk. Di tengah malam, dia tiba-tiba membangunkan saya: “Igor! Apakah kau mendengar? Pesawat bergemuruh. Pergi ke luar! Lihat apa yang ada? ” Setengah tertidur, saya dengan enggan turun dari tempat tidur, meletakkan kaki saya di sepatu saya dan dengan celana pendek dan kaos keluar dari ruang istirahat. Malam itu udara di luar dingin, dimana angin yang dingin bertiup dari arah laut, sementara bulan purnama terlihat cerah. Di kejauhan, memang terdengar deru mesin jet dari beberapa pesawat yang luar biasa kuat- Ini mungkin pesawat pengintai! – Saya kemudian berteriak, bahkan tanpa berpikir: “Pengintaian udara seperti apa yang bisa dilakukan di malam hari?” Suara itu lalu semakin kuat. Salah satu pesawat berada di suatu tempat yang sangat dekat, meskipun tidak terlihat. Ketika saya hendak menuruni tangga, ledakan kuat terdengar dua ratus meter dari saya, dan sedetik kemudian, terdengar yang kedua. Kilatan terang muncul dari tempat istirahat. Serangan udara telah dimulai. Jam saat itu menunjukkan pukul dua puluh lebih lima menit. 

Radar tipe P-12 Spoonrest yang terpasang di Ras Gharib. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Cemas, dan dibom! Aku berteriak dan berguling jungkir balik menuju ke ruang istirahat. Dengan cepat berpakaian dan melompat keluar, para prajurit berlari ke markas komandan batalion, yang jaraknya tiga ratus meter. Deru mesin jet meraung di udara, sementara bom dan roket meledak di kanan dan kiri ditembakkan dari pesawat-pesawat yang menyerang. Di ruang komando, di mana, selain komandan batalyon, terdapat kepala staf, seorang perwira intelijen dan seorang perwira penghubung, pertama-tama kami diminta untuk melaporkan situasinya. “Bagaimana situasinya,” jawab Letnan Kolonel Zibib dengan gugup. – Apakah Anda tidak melihat bahwa kita dibom? Bagaimana dengan kondisi “radar”? tanya Taras. “Mereka juga dibom!”. Kami juga tahu bahwa instalasi radar sedang dibom, karena kami melihat tracer dari rudal anti-pesawat ditembakkan ke arah baterai radar palsu. Anehnya pleton senapan mesin kami malah terdiam. Faktanya memang dalam kegelapan pesawat musuh masih belum terlihat dan penembakan yang tepat tidak dimungkinkan. Disamping itu, “Jika kita melepaskan tembakan, musuh akan semakin banyak gencar mengebom,” kata Zibib. Orang-orang Mesir, karena takut cahaya di ruang komando bisa terlihat dari udara, buru-buru mematikan lampu. Melalui telepon mereka kemudian menghubungi kompi-kompi dan komandan instalasi radar. Di radio, mereka mencoba menjalin kontak dengan peleton “penyergapan” kami, yang, bahkan sebelum serangan, pada jam 20:00, seharusnya sudah mengambil posisinya di dekat stasiun radar.

Senjata pertahanan udara pasukan Mesir. Dalam beberapa kesempatan pasukan Mesir enggan menembakkan senjatanya ke pesawat Israel karena khawatir akan mendapat serangan balasan yang lebih gencar. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)

Kenyataannya selama ini peleton itu telah melanggar perintah, mereka tidak ada dalam posisi penyergapan, tetapi ada di dalam posisi radar palsu. Komandan peleton, seperti yang kita ketahui kemudian, malah minum teh dengan komandan kompi. Dengan peleton yang sama baru mulai bergerak hanya setelah dimulainya serangan udara. Pesan terakhir yang terdengar dari komandan peleton adalah: “Saya tidak bisa melanjutkan (pergerakan). Saya dibom. ” Setelah itu, letnan senior itu tidak menanggapi panggilan kami. Beberapa hari kemudian, selama survei menyeluruh terhadap area di rute gerak maju peleton tersebut, kami tidak menemukan satu pun kawah bekas bom, menunjukkan bahwa komandan kompi itu tidak menceritakan kondisi unitnya yang sebenarnya. Sementara itu, intensitas serangan udara musuh semakin meningkat. Pada beberapa saat sepertinya kami tidak akan bertahan hingga pagi hari. Salah satu bom meledak di antara tempat perlindungan batalyon dan pusat komunikasi batalion. Beberapa waktu setelah tengah malam, komandan kompi radar menghubungi kami. Dia mengatakan bahwa dia melihat adanya nyala api di sekitar posisi radar. Menurut dia, “stasiun itu sendiri tampaknya telah dihancurkan oleh ledakan bom, karena tidak ada lagi sambungan elektronik dengannya”. Setelah itu, koneksi terputus. Segera koneksi kabel berhenti dengan semua kompi lainnya. Komandan batalion kemudian menolak mengirim sinyal: “para prajurit mungkin bisa mati.” 

Posisi pertahanan Israel di tepi Terusan Suez selama Perang Atrisi. (Sumber: https://honestreporting.com/)

Pada pukul setengah empat pagi salah satu prajurit, yang ditugaskan oleh komandan batalion untuk melakukan observasi, melaporkan adanya suara aneh. Terdengar di udara, kami mendengar deru suara mesin helikopter yang sangat kuat dan khas. Asumsi pertama kami adalah: “Musuh, dengan di bawah perlindungan kekuatan udara, bermaksud untuk mendaratkan prajurit komando!” Terbang diatas puncak-puncak bukit terdekat, dari sana selama beberapa detik kami bisa melihat adanya siluet gelap yang bergerak menuju gurun. Kemudian kami tidak tahu mengapa para prajurit Mesir tidak menembaki helikopter ini. Kemudian segera terdengar keheningan. Hanya terdengar ada dengungan tunggal dari pesawat yang mendekat. Berdiam di puncak bukit, kami bahkan tidak punya waktu untuk mendiskusikan apa yang kami lihat. Semuanya terjadi secara tidak terduga. Dengan beberapa desisan dan suara lengkingan, roket yang ditembakkan dari pesawat terbang di atas kami ketika kami dengan segera bergegas pergi. Setelah melepaskan muatan dan menyalakan afterburner-nya, pesawat-pesawat itu melaju ke arah Semenanjung Sinai. Dan semua hening lagi. Dengan susah payah menggerakkan kaki kami karena kelelahan, kami berjalan dengan kecapekan ke ruang istirahat kami. Sopir kami sedang duduk di sana. “Nah, Suleiman, apakah itu menakutkan?” Saya bertanya sesantai mungkin. Sebagai tanggapan, prajurit itu hanya tersenyum kecil menunjukkan rasa takutnya. 

Pasukan Mesir dengan SMG Port Said. Selama serangan Israel di Ras Gharib 26-27 Desember 1969, pasukan Mesir nyaris tidak melakukan perlawanan yang berarti. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Tanpa membuka baju saya berbaring di tempat tidur. Setelah sekitar tiga puluh sampai empat puluh menit kemudian, telepon berdering. “Bapak. Igor,” komandan batalion itu memberitahuku. “Orang-orang Yahudi itu mencuri radar kami”. Dari keterkejutan, saya bahkan tidak bisa langsung memahami apa yang diucapkan oleh komandan batalion. “Bagaimana radar itu bisa dicuri? Apa sebenarnya yang dicuri?” Pertanyaan yang tidak dapat dipahami adalah: apakah mereka mencuri beberapa bagian penting saja, atau blok radar, atau sesuatu yang lain. Beberapa menit kemudian kami kembali berada di ruang komando Letnan Kolonel Zibib. Saya lalu mendengar hal-hal yang sangat buruk. Kami kemudian berupaya memahami apa yang terjadi, uniknya saya hampir tidak melihat adanya wajah sedih dari komandan batalion tersebut. Melalui penjelasan Zibib yang membingungkan, disebutkan bahwa “posisi stasiun radar tidak ada lagi. menghilang begitu saja!” Hal ini diceritakan oleh komandan peleton radar, yang baru sekarang akhirnya sampai di tempat “penyergapan” -nya. Kami memutuskan bahwa kami akan pergi ke situs radar itu saat fajar dan melihat dengan mata kepala sendiri. Yang mereka ketahui sejauh itu adalah bahwa sebagai akibat dari serangan di batalion itu, dua tentara tewas, lebih dari selusin terluka. Setelah setuju bahwa komandan batalyon akan memberi tahu kami tentang waktu keberangkatan keesokan harinya, kami kembali ke ruang istirahat kami, untuk tidur hingga agak siang. Namun, pada pukul sembilan pagi kami dibangunkan oleh seorang mayor, yang datang dari markas brigade untuk menyelidiki kejadian tersebut. 

INVESTIGASI

Investigasi ini dilakukan sebelum tahun baru. Kami awalnya belum menerima gambaran yang benar-benar akurat tentang operasi yang dilakukan oleh Israel, tetapi beberapa detailnya kemudian muncul belakangan. Dengan mengingat seringnya muncul helikopter dan pesawat pengintai Israel, musuh jelas telah mempersiapkan operasi malam itu dengan hati-hati. Menariknya, sepuluh hari sebelum kejadian, sebuah pesan sandi datang ke batalion melalui saluran intelijen militer tentang pelatihan pasukan terjun payung Israel di kawasan Sinai – mereka sedang berlatih merebut beberapa objek. Pihak militer Mesir bagaimanapun tidak memberi tahu kami apa pun tentang informasi telegram sandi ini. Ternyata sebelum dimulainya serangan udara, sekitar dua puluh tiga jam kemudian, dua helikopter berat Super Frelon buatan Prancis, helikopter pengangkat paling berat di Angkatan Udara Israel saat itu (kemudian belakangan disebutkan bahwa helikopter yang digunakan termasuk juga helikopter CH-53 baru buatan Amerika) dengan kelompok pasukan komando Israel terbang ke posisi radar kami. Helikopter-helikopter inilah yang diinformasikan ke kami oleh petugas di pos pengawasan udara. Kami menemukan adanya jejak roda salah satunya di lokasi pendaratan, di parit yang dalam, sekitar 300 m dari stasiun radar. Melihat bentuk roda khususnya di pasir, jenis helikopter yang digunakan dapat dipastikan. 

Pasukan payung Israel. Saat pesawat-pesawat udara melakukan serangan udara pengalihan, pasukan payung Israel beraksi merebut situs radar Mesir di Ras Gharib. (Sumber: https://georgy-konstantinovich-zhukov.tumblr.com/)

Stasiun radar itu sendiri tidak berfungsi pada saat itu, dan proses pengoperasiannya ada di ruang peralatan, akibatnya datangnya helikopter musuh ini tidak diperhatikan. Kemudian, saya secara tidak sengaja mengetahui bahwa dari sersan Haswood, bahwa dia secara pribadi melihat adanya penerbangan dua helikopter Israel sebelum pengeboman dimulai dan bahkan sempat melaporkannya kepada komandan batalion melalui telepon. Tetapi dia berkata kepadanya: “Kalian semua pasti bermimpi. Anda hanya seorang penakut. “Saya masih tidak tahu mengapa Zibib tidak memberi tahu kami tentang percakapannya dengan sersan itu.” Bagaimanapun, pada saat tengah malam posisi radar itu sudah dikuasai oleh musuh. Dengan mengikuti jejak sepatu tentara Israel yang mendarat di pasir, dimungkinkan untuk melacak rute mereka mencapai stasiun radar. Di dekatnya ditemukan posisi penembak senapan mesin, yang melindungi aktivitas prajurit terjun payung Israel. Dua tentara Mesir, yang menjaga radar tewas, sedangkan yang selamat melarikan diri padang belantara. Bagian utama dari operasi itu dilakukan di bawah perlindungan dari serangan udara. Musuh, tampaknya, memahami bahwa pendaratan pasukan pasti akan diketahui dan, oleh karena itu, mereka melakukan serangan udara: untuk menekan para prajurit batalion penjaga, dan tidak membiarkannya mereka mendekati stasiun radar. Orang-orang Israel bahkan mengebom jalur keluar dari Lembah Zafarana ke jalan menuju Ras Gharib. Secara keseluruhan, pada malam itu, pesawat Israel melakukan 36 sortie serangan udara. 

Tipikal situs radar P-12. Dalam operasi tanggal 26-27 Desember 1969, pihak Israel hanya mengambil perangkat radarnya, sementara 2 truk ZIL-157 pendukungnya dibiarkan tetap di tempatnya. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)

Setelah merebut posisi radar, dua helikopter berat lainnya lagi tiba di sana. Kehadiran mereka juga diperhatikan oleh petugas di pos pengawasan udara. Setelah memotong pelindung pengikat dengan autogen, Israel membongkar kedua bagian stasiun radar dengan sangat profesional: perangkat keras dan perangkat tiang antena radar, serta pada sistem suspensi eksternal untuk dibawa dua helikopter CH-53 mereka untuk dibawa pergi ke Semenanjung Sinai. Hanya sasis dua kendaraan truk ZIL-157 yang tetap dibiarkan di posisinya. Generator diesel, yang mentenagai radar, diledakkan oleh pasukan terjun payung Israel. Generator diesel yang terbakar inilah yang dilihat komandan kompi dari pos radar palsu. Bersama dengan perangkat radar, krunya juga ditangkap dan diculik. Sebelum berangkat pulang ke Sinai, orang-orang Israel dengan hati-hati meranjau posisi yang mereka tinggalkan: baik dengan bom waktu dan ranjau anti-personil biasa. Di kabin ZIL, para pasukan zeni menemukan “jebakan” ranjau. 

Berita pencurian radar P-12 Mesir oleh Israel di koran New York Times. (Sumber: https://www.nytimes.com/)

Seluruh kisah memalukan tentang pencurian radar ini kemudian membuat banyak berita. Di antara para penasihat dan spesialis kami di Kairo, satu-satunya pembicaraan yang beredar adalah tentang “bagaimana orang-orang Yahudi mencuri radar di tepi Laut Merah.” Kemudian, dengan sangat terkejut, kami mempelajari lebih banyak detail baru dari operasi Israel itu. Salah satu “pakar” dari semua peristiwa ini memberi tahu kami: “Karena kamu tahu bahwa pasukan musuh telah mendarat, kamu seharusnya naik keatas tank dan secara pribadi mengarahkan kompi itu ke stasiun radar. Dengan menghancurkan pasukan pendaratan, Anda bisa mendapatkan “medali” … ” Kemudian, seolah menanggapi monolog ini, Taras dengan marah berkomentar: “Lebih baik tidak memiliki “medali ” itu sama sekali, daripada nanti mengambilnya di bantalan merah”. Toh dampak dari aksi Israel ini tergolong serius. Musuh telah berhasil mencuri radar P-12PM Spoonrest yang terhitung modern, dan pada waktu itu melengkapi tidak hanya dengan pertahanan udara Mesir, tetapi juga Soviet. Radar ini memiliki jangkauan deteksi sekitar 200 km. Radar itu digunakan tidak hanya untuk mendeteksi target udara dan memberikan indikasi target ke berbagai senjata pertahanan udara, tetapi juga untuk berinteraksi dengan sistem pertahanan udara lainnya secara keseluruhan. Dengan direbutnya radar itu, musuh bisa mengenali secara detail sistem identifikasi tipe pesawat “Silicon-1” yang kami pasang di radar itu.

SUDUT PANDANG OPERASI DARI PIHAK ISRAEL

Di pihak Israel, Perang Atrisi mereka dengan Mesir telah berkecamuk di sepanjang Terusan Suez dari akhir Perang Enam Hari pada tahun 1967 hingga nantinya akan tercapai kesepakatan gencatan senjata diantara keduanya pada tahun 1970. Upaya militer Mesir, yang saat itu didukung oleh berbagai pengiriman peralatan militer Soviet yang tentunya sangat menarik bagi intelijen Israel. Seperti diketahui, IDF (Angkatan Bersenjata Israel) telah menggunakan beberapa perlengkapan militer yang dirampas dari negara-negara Arab selama Perang Enam Hari untuk mempelajari kelemahannya sehingga nantinya menghadapi ancaman musuh dengan lebih baik. Mereka menggunakan radar yang disita untuk mempelajari kelemahan pertahanan udara Mesir dan untuk mengembangkan metode peperangan elektronik untuk menanggulanginya. Pengetahuan yang diperoleh ini terbukti sangat membantu dan memberi IAF (AU Israel) keunggulan atas sistem pertahanan udara musuh, namun pada tahun 1969 menjadi jelas bahwa peperangan elektronik dan metode lain yang digunakan untuk mengelabui radar Mesir sudah menjadi kurang efektif dan bahwa operasi Israel terhambat oleh sistem deteksi dini pesawat yang dimiliki pihak musuh. Radar dari jenis yang lebih baru jelas telah tiba di Mesir dan berbagai upaya kemudian dilakukan untuk dapat mempelajari cara menghadapi ancaman baru ini. Terobosan teknologi di pihak Mesir ini terdeteksi setelah susunan pertahanan udara yang sempat dihancurkan selama serangan unit lapis baja pada bulan September 1969 (Operasi Raviv) kembali beroperasi dalam konfigurasi yang berbeda, dan jauh lebih sulit untuk ditembus (dalam operasi Raviv, serangan lapis baja yang dillancarkan Israel juga menggunakan tank dan pengangkut personel lapis baja buatan Soviet yang berhasil dirampas dalam perang sebelumnya untuk bisa beroperasi sepanjang hari di dalam wilayah Mesir).

Pasukan Israel menembus wilayah Mesir dalam Operasi Raviv, September 1969. (Sumber: https://sejarahmiliter.com/)

Misi pengintaian dengan cepat lalu diluncurkan untuk memotret susunan pertahanan udara baru dan segera radar tipe P-12 Soviet ditemukan ada di pantai Ras-Gharib. Dengan adanya radar baru tersebut, pilot-pilot Israel dalam misi belakangan untuk menghancurkan situs radar telah menemui tembakan darat dari Mesir tidak peduli seberapa cepat dan rendahnya pesawat mereka terbang saat akan menyerang. Tanggapan awal dari pihak Israel adalah mereka berupaya menghancurkan stasiun radar baru itu dengan serangan udara, tetapi penerbangan pesawat-pesawat penyerang dihentikan sesaat sebelum lepas landas ketika sebuah ide untuk merampas seluruh instalasi radar baru itu muncul. Dinamai sebagai “Rooster-53,” operasi itu direncanakan hanya dalam waktu beberapa hari, dan dimulai pada tanggal 24 Desember. Setelah mendapatkan persetujuan dari rantai struktur komando IDF, rincian dan mekanisme operasi segera diselesaikan dan pasukan yang terlibat memulai pelatihan mereka dengan menggunakan radar musuh yang disita selama Perang Enam Hari. Helikopter yang dipilih untuk mengangkut stasiun radar itu ke wilayah Israel adalah helikopter baru tipe Sikorsky CH-53D Yasur (Israel menggunakan tipe S-65C-3, versi komersil yang identik dengan CH-53D Marinir Amerika) yang baru tiba di Israel beberapa saat sebelumnya. Ini adalah satu-satunya helikopter yang dianggap mampu membawa seluruh perlengkapan stasiun radar, yang diperkirakan berbobot 7 ton.

Helikopter CH-53D dipilih Israel untuk mengangkut radar Mesir di Ras Gharib dalam 2 bagian. (Sumber: https://www.jetphotos.com/)

Operasi itu akhirnya diluncurkan pada sekitar pukul 21:00 malam tanggal 26 Desember 1969. Operasi dimulai dengan pesawat-pesawat A-4 Skyhawk dan F-4 Phantom mulai menyerang pasukan Mesir di sepanjang tepi barat terusan Suez dan Laut Merah. Tersembunyi dibalik suara jet-jet penyerang, tiga helikopter Aerospatiale Super Frelon buatan Prancis, membawa pasukan terjun payung Israel dari Brigade ke-35 pimpinan letnan kolonel Arie Sidon dan wakilnya Doron Rubin, terbang ke barat menuju target mereka. Membuat pendekatan dengan hati-hati agar tidak terlihat sebelumnya, pasukan payung Israel berhasil mengejutkan kontingen pengaman ringan di instalasi radar dan dengan cepat mengambil alih lokasi tersebut. Pada pukul 02:00, 27 Desember, ketika pasukan terjun payung telah membongkar stasiun radar dan menyiapkan berbagai bagian untuk dibawa CH-53, helikopter Yasur kedua dipanggil dari seberang Laut Merah. Satu helikopter CH-53 akan membawa karavan komunikasi dan antena radar, sementara yang lain membawa beban yang lebih berat seberat empat ton, yakni perangkat itu sendiri. Setelah selesai mengikatkan beban, kedua helikopter itu mulai terbang kembali melintasi Laut Merah ke wilayah yang dikuasai Israel. Radar seberat empat ton itu sebenarnya lebih berat dari beban standar yang dirancang untuk dapat dibawa CH-53 dan segera membahayakan pengoperasiannya. Kabel yang menghubungkan radar ke helikopter kemudian ditemui meregangkan tulang rusuk helikopter berat itu, yang pada gilirannya menyebabkan pipa hidrolisnya pecah. Dihadapkan dengan pilihan melepaskan radar atau kehilangan kendali atas helikopter dan jatuh, kapten helikopter itu berhasil melintasi garis batas air ke wilayah Israel. Dengan tekanan Hidrolik terakhirnya, Helikopter itu menurunkan radar dan mendarat di sampingnya. CH-53 kedua yang telah tiba dengan muatan yang lebih ringan, kemudian dikirim kembali untuk mengambil radar dari lokasi pendaratan darurat. Sekali lagi beban berat hampir menyebabkan helikopter itu jatuh tetapi radar akhirnya berhasil dikirim ke titik lokasi yang telah ditentukan, ke tangan para spesialis intelijen yang sudah menunggu. Bagi helikopter CH-53D Yasur ini adalah keberhasilan besar pertama dari helikopter itu dalam sebuah misi tempur. Dalam operasi tersebut dikabarkan hanya ada satu personel prajurit Israel yang terluka.

SIAPA SAJA YANG MENDAPAT UNTUNG? 

Israel sendiri memilih untuk tidak menggembar-gemborkan operasi tersebut. Bahkan, “Voice of Israel” dari Yerusalem dalam bahasa Rusia, yang biasanya suka menceritakan berita tentang keberhasilan tentara Israel, memilih bungkam mengenai operasi ini. Diyakini bahwa Israel, dalam upayanya untuk merahasiakan operasi tersebut, setidaknya sejauh menyangkut publisitas di surat kabar, adalah karena mereka ingin menghindari sebuah situasi yang pada akhirnya bisa mendorong Moskow untuk bereaksi dengan keras. Alasannya adalah bahwa rasa malu di depan publik dapat membuat Rusia berupaya menyediakan peralatan yang lebih mahal dan modern kepada orang Mesir untuk mendapatkan kembali prestise yang hilang. Jika insiden itu dirahasiakan, pihak Israel berharap agar para pejabat di Moskow berkeputusan untuk tidak perlu menambah potensi militer Kairo dan bahkan mungkin mulai mempertimbangkan kembali kelanjutan program bantuan militer mereka. Petunjuk tentang keberhasilan operasi itu bagaimanapun muncul juga ketika adanya laporan bahwa Kepala Staf Angkatan Bersenjata Israel, Letnan. Jenderal Haim Bar-Lev, telah bertemu dengan para prajurit yang terlibat dalam operasi setelah mereka kembali dan memuji mereka lewat ungkapan yang tidak biasa bagi sosok pemimpin pendiam seperti dirinya. Diceritakan bahwa ia berkata, “Apa yang kalian lakukan sangat rumit dan berbahaya serta dilakukan dengan sangat presisi meskipun menghadapi banyak rintangan yang tampaknya seperti sesuatu dari kisah film aksi daripada apa yang ada di dunia nyata.” “Itu adalah salah satu operasi paling berani, paling rumit dan terbaik yang pernah dilakukan oleh pasukan Israel,” katanya.

Operasi Rooster 53, 26-27 Desember 1969. Pada awalnya Israel ingin sedapat mungkin merahasiakan keberhasilan mereka untuk tidak memprovokasi Soviet. (Sumber: https://www.quora.com/)

Petunjuk lain muncul sehari kemudian ketika kartunis populer yang dikenal sebagai Dosh, menggambar di Maariv dan The Jerusalem Post, yang memberikan deskripsi grafis dari serangan itu. Dia membayangkan Israel, dalam bentuk seorang anak laki-laki, menyentak dua tangkapan dengan alat pancingnya. Salah satunya adalah sekelompok lima kapal cepat yang dicuri dari Prancis pada malam Natal tahun 1969 dan yang lainnya adalah paket, yang tidak teridentifikasi, dari Mesir. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk menyembunyikan keberadaan misi dan keberhasilannya, operasi itu akhirnya diumumkan seminggu setelah adanya publikasinya di pers asing. Dalam berita yang muncul juga diinformasikan bahwa ada empat tahanan turut dibawa, yang dikatakan sebagai teknisi terlatih asal Soviet yang ditemukan tidak bersenjata di bunker. Hanya beberapa bulan kemudian, Radio BBC melaporkan bahwa “ada sekelompok spesialis Amerika di Israel yang mempelajari radar buatan Soviet yang dirampas oleh pasukan terjun payung Israel di pantai Laut Merah.” Dengan demikian, apa yang diungkapkan oleh spesialis Soviet dari pasukan teknik radarnya di Mesir telah dikonfirmasi. Radar itu sendiri lalu dipelajari secara menyeluruh dan memberi IAF kemampuan untuk melakukan tindakan pencegahan baru terhadap sistem pertahanan udara Mesir, menghilangkan ancaman terhadap superioritas udara Israel di atas Terusan Suez. Peralatan itu kemudian diserahkan ke Amerika untuk dipelajari, sama seperti peralatan lain yang berhasil dirampas Israel sebelumnya.

EPILOG 

Sementara itu, ketidakpastian nasib masih membayangi para tokoh yang terlibat di pihak Mesir. Beberapa orang mengatakan bahwa kasus itu sekarang sudah diambil alih oleh Presiden Nasser sendiri. Dan keputusannya segera menyusul. Semua yang terlibat dalam peristiwa tersebut — komandan batalyon ke-504 kami, komandan kompi radar, komandan peleton penyergapan, komandan RTV, komandan batalyon teknik radio yang ada di kompi, dan delapan tentara yang melarikan diri diadili. Komandan distrik militer dicopot dari jabatannya dan diberhentikan dari Angkatan Darat. Atas perintah pribadi Nasser, salah satu jenderal Mesir terbaik saat itu, Mayor Jenderal Saad al-Din Shazly, yang berpartisipasi dalam perang enam hari tahun 1967 dan pertempuran di Yaman, diangkat menjadi komandan distrik yang baru. Sebagai bagian dari Korps Ekspedisi Mesir, ia memimpin pasukan khusus dan dianggap sebagai ahli taktik yang hebat oleh pasukan terjun payung Israel. Kemudian, menjelang perang Oktober tahun 1973, ia akan diangkat sebagai Kepala Staf Umum. Pengadilan militer itu sendiri berlangsung pada bulan Januari di salah satu markas besar Distrik Militer Laut Merah di Al-Gardak. Taras dan saya juga ada di sana. Komandan batalyon membawa kami sebagai saksi. Namun, kami tidak pernah diundang ke pengadilan, hanya untuk berbicara dengan salah satu staf perwira. 

Presiden Mesir, Nasser. Selepas operasi Israel di Ras Gharib, Nasser segera menghukum para perwira dan prajurit yang terlibat dalam peristiwa memalukan itu dan mengganti komandan distrik militer dengan perwira yang lebih kompeten. (Sumber: https://kalimanatan.wordpress.com/)

Awalnya kami mengira semuanya akan baik-baik saja dan hukumannya tidak akan terlalu keras. Namun, semuanya ternyata jauh lebih buruk, terutama untuk Zibib. Sampai sekarang, saya ingat bagaimana letnan kolonel setengah baya ini, dalam pertemuan terakhirnya dengan kami, bahkan sebelum akhir persidangan dan pengumuman hukuman, menangis tersedu-sedu, hanya mengulangi satu kata: “iadam” (hukuman mati) . Rupanya, dia sudah tahu nasibnya. Memang, keesokan harinya pengadilan menghukum Letnan Kolonel Zibib dan dua perwira lainnya di Ras Gharib untuk ditembak mati. Komandan pasukan radar dan komandan batalyon radar menerima hukuman dua puluh lima tahun penjara. Keputusan pengadilan yang begitu keras kemudian menimbulkan gejolak yang besar di antara para perwira Mesir, yang pada umumnya bersimpati kepada para terpidana. Sehubungan dengan insiden di Ras Gharib, Menteri Perang kemudian mengeluarkan perintah khusus, yang dikomunikasikan kepada semua perwira angkatan bersenjata Mesir. Sebulan kemudian, radar baru dibawa ke Ras Gharib. Sekarang dia dikelilingi tidak hanya dengan kawat berduri dan baterai anti-pesawat, tetapi juga siap untuk diledakan, meskipun sepertinya tidak mungkin Israel akan “mencuri” stasiun radar yang sama lagi. Dua tahun kemudian, selama perjalanan kedua ke Mesir, saya secara tidak sengaja bertemu di Kairo seorang mantan komandan kompi senapan mesin dari batalion kami. Saya mengetahui dari dia bahwa Presiden Mesir yang baru Anwar Sadat telah mengampuni para terpidana dan Letnan Kolonel Zibib dalam keadaan sehat. Pada saat itu, di Uni Soviet, radar ini sendiri sudah dimodernisasi, dengan belasan tahun kemudian mereka akan tetap beroperasi dengan distrik pertahanan udara dalam negeri.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Like the Israelites, the radar was stolen from the Egyptians. From the memoirs of a military translator by Igor Kulikov, Soldier of Fortune Magazine No. 1 / 2000

https://en.topwar.ru/26548-kak-izrailtyane-u-egiptyan-radar-ukrali-iz-vospominaniy-voennogo-perevodchika.html

The War of Attrition: Operation “Rooster” (December 1969)

https://www.jewishvirtuallibrary.org/operation-ldquo-rooster-rdquo-december-1969

Israelis Seize 7‐Ton Radar And Airlift It Out of Egypt By James Feron Special to The New York Times; Jan. 3, 1970

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Operation_Rooster_53

Fighters over Israel Book by Lon O. Nordeen, 1991; p 102

An Illustrated Guide to the Israeli Air Force Book by Bill Gunston, 1982; p 128

Exit mobile version