Sejarah Militer

Pengepungan Port Arthur (1 Agustus 1904 – 2 Februari 1905): Simbol Kemenangan Bangsa Asia Di Abad 20 Yang Mahal Harganya Bagi Jepang

Pada malam yang dingin pada tanggal 8 Februari 1904, Skuadron Pasifik Angkatan Laut Rusia bersandar dengan tenang, tepat di luar pelabuhan utama Port Arthur. Sebagian sebagai sebuah benteng, sebagian sebagai pangkalan angkatan laut, Port Arthur terletak di ujung Semenanjung Liaodong di China selatan. Dengan Laut Kuning di sebelah timur dan Laut Bohai di barat, perbentengan itu mengamati jalur menuju ke Peking (Beijing), ibu kota China kuno. Selain itu, Port Arthur juga berfungsi untuk melindungi kepentingan Rusia di wilayah tersebut, terutama melindungi klaimnya atas wilayah Manchuria yang kaya mineral. Sementara itu di lain pihak, Jepang juga mendambakan untuk bisa menguasai Manchuria, seperti halnya dengan wilayah negara tetangganya, yakni Korea. Kedua kerajaan yang bersaing itu kini telah berada di jalur menuju konflik terbuka, dan upaya setengah hati untuk menyelesaikan perbedaan diantara mereka, tampaknya hanya mempercepat kedua bangsa untuk masuk kedalam peperangan. Pada awal tahun 1904, orang-orang Russia di Port Arthur menerima kabar bahwa pihak Jepang telah memutuskan hubungan diplomatik, tetapi berita itu hampir tidak membuat mereka gentar. Toh siapa juga yang berani menyerang benteng besar kuat, dari Kekaisaran Suci Rusia itu?

Pemandangan benteng Port Arthur sebelum pecahnya Perang Rusia-Jepang (1904/1905), foto diambil sekitar tahun 1903. Bagi banyak orang pada masanya, pertahanan di Port Arthur adalah perbentengan yang sukar ditembus. (Photo by ullstein bild/ullstein bild via Getty Images/https://www.gettyimages.com/)

SERANGAN TANPA PEMBERITAHUAN JEPANG DI PORT ARTHUR 

Tujuh kapal tempur Rusia sedang berlabuh di Port Arthur, termasuk kapal andalannya Petropavlovsk, kapal yang berbobot 12.000 ton dengan memiliki empat meriam 12 inci (304,8 mm) dan 12 meriam 6 inci (152,4 mm). Tak kurang dari enam kapal penjelajah juga berada di situ, bersama dengan kapal pengangkut Angara. Sementara itu, kapal penjelajah Pallada dan Askold menyelidiki kegelapan laut dengan lampu sorot mereka, sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan serangan mendadak musuh. Vice Admiral Oskar Victorovitch Stark, komandan armada, telah memerintahkan lampu sorot digunakan untuk menjaga jalur masuk menuju ke kapal-kapal Rusia. Dia juga memerintahkan agar jaring torpedo masing-masing kapal diangkat, tetapi beberapa kapal mengabaikan perintah tersebut. Sebagian besar awaknya kurang terlatih, dan banyak perwira aristokrat yang sombong lebih tertarik pada menikmati cuti di daratan daripada memikirkan keselamatan dan kesejahteraan keseluruhan anak buah mereka. Pada pukul 11:50 malam, 10 kapal Jepang dari armada Destroyer ke-1, ke-2, dan ke-3 tiba-tiba muncul dari kegelapan dan meluncurkan serangkaian tembakan torpedo ke kapal-kapal Rusia. Ironisnya, lampu sorot Rusia telah menemukan kapal-kapal Jepang beberapa saat sebelum serangan dimulai. Orang-orang Jepang kemudian menahan napas selama jari-jari panjang cahaya lampu sorot menerangi kapal perusak mereka selama beberapa detik sebelum melanjutkan perjalanan. Anehnya tidak ada alarm yang dibunyikan, jadi Kapten Asai Shojiro yang lega memerintahkan kapal perusaknya untuk segera meluncurkan torpedo mereka secara serentak. Para pelaut Rusia yang bertugas mengoperasikan sorot rupanya telah salah mengira kapal-kapal Jepang itu sebagai kapal-kapal patroli Rusia yang sedang kembali. 

Lukisan yang menunjukkan, di latar depan, sebuah kapal perang Rusia meledak di bawah serangan dari kapal perang Jepang; barisan kapal perang Jepang, diposisikan di sebelah kanan, menembaki barisan kapal perang Rusia di sebelah kiri, dalam serangan angkatan laut mendadak terhadap armada Rusia di Pertempuran Port Arthur (Lüshun) dalam Perang Rusia-Jepang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Kapal-kapal perang Russia yang ditenggelamkan Jepang di Port Arthur. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Saat itu tidak ada deklarasi perang resmi antara kedua negara, dan serangan kejutan itu benar-benar sempurna. Ketika serangan malam itu selesai, tiga kapal perang yang paling dibanggakan di Rusia rusak. Pallada, Retvizan, dan Tsarevitch lumpuh; diketahui bahwa sekat pada kapal terakhir hancur dan kompartemen depannya kebanjiran. Ironisnya, hanya tiga dari 16 torpedo Jepang yang ditembakkan malam itu, yang menemukan sasarannya; sisanya meleset atau tidak berfungsi. Tapi itu tidak masalah. Jepang telah menyerang lebih dulu, dengan memberi pukulan psikologis yang membuat Rusia kacau di bulan-bulan awal konflik. Sementara itu ada alasan strategis yang masuk akal mengapa Jepang menginginkan Port Arthur. Pertama dan yang terpenting, mereka berharap untuk menghapus apa yang mereka anggap sebagai aib nasional. Pada tahun 1894-1895, Jepang yang baru dimodernisasi telah berperang melawan kekaisaran Cina yang tengah mengalami kemunduran. Itu adalah kemenangan yang mudah, dan Jepang yang menang memaksa Cina untuk menandatangani Perjanjian Shimonoseki. Pakta tersebut memberi kepada Jepang Semenanjung Liaodong dan mengizinkan mereka menduduki Korea, yang pada saat itu masih menjadi negara yang ada dibawah pengaruh China. Salah satu tindakan pertama para pemenang adalah mendarat di Port Arthur, dan segera setelah pasukan Jepang mendarat, mereka membantai garnisun Tiongkok. Sebanyak 2.000 orang China dibunuh, termasuk perempuan dan anak-anak.

GIBRALTAR DI TIMUR

Pada saat itu Rusia memandang peristiwa di China dengan campuran kecemburuan dan kekhawatiran. Di sisi lain, Tsar Nicholas II dan para menterinya merasa bahwa kemunduran China juga menawarkan peluang baru bagi ekspansi Rusia di kawasan Timur Jauh. Setelah Pemberontakan Boxer, berbagai kekuatan Eropa berebut untuk mengambil potongan-potongan wilayah yang mereka pilih dari daratan Cina, dan oleh karenanya wajar bagi Rusia untuk menuntut klaimnya sendiri. Manchuria adalah tanah suram, dingin dan didominasi oleh bukit-bukit tandus, tetapi di bawah permukaan tanahnya yang diterpa angin terdapat endapan batu bara, besi, dan tembaga yang sangat besar. Diluar potensi sumber daya alam itu, bagi Rusia, nilai utama sebenarnya di wilayah Manchuria adalah keberadaan Port Arthur dan Semenanjung Liaodong. Perbukitan di sekitar Port Arthur telah melindungi pelabuhannya dari efek terburuk dari hembusan angin musim dingin yang membekukan yang meluncur dari Kutub Utara, fitur geografis ini mampu menjaga fasilitas pelabuhannya tetap bebas es sepanjang tahun. Sebagai bandingan, Vladivostok, terminal dari Kereta Api Trans-Siberia, berjarak sekitar 1.220 mil ke utara, pelabuhannya membeku selama setidaknya tiga bulan dalam setahun. Karenanya, Rusia bergabung dengan Jerman dan Prancis untuk memaksa Jepang melepaskan kendali atas Semenanjung Liaodong dan mengembalikannya ke China. Jepang dengan enggan lalu menyerah pada apa yang disebut sebagai Intervensi Tripartit, tetapi kehilangan muka yang menyusul berikutnya, terbukti lebih sulit untuk ditanggung mereka. Tokyo kemudian akan menunggu waktunya, mengumpulkan kekuatan, dan memenangkan kembali apa mereka anggap telah “dicuri” dari mereka. Sementara itu, setelah Jepang diusir dari wilayah tersebut, Rusia tidak membuang waktu untuk menuntut China dengan serangkaian konsesi baru. Peking lalu menyetujui ijin sewa 25 tahun di Port Arthur dan jalur kereta api melalui wilayah Manchuria. Jalur rel juga dibangun yang menghubungkan Port Arthur ke rel kereta Trans-Siberia di Harbin. Insinyur Rusia lalu bekerja keras untuk memperkuat pertahanan di Port Arthur. Tujuannya adalah menjadikan kota itu sebagai Gibraltar di wilayah Timur. Keinginan Rusia untuk memiliki pelabuhan air hangat, mimpi yang sudah ada sejak Peter Agung, tampaknya akhirnya terpenuhi.

Posisi Port Arthur sebagai pelabuhan strategis jelang pecahnya perang Russia Jepang tahun 1904. Port Arthur diketahui mampu memberikan Kekaisaran Russia sebuah pelabuhan yang bisa digunakan sepanjang tahun. (Sumber: https://guides.loc.gov/)
Dengan pertahanan berlapisnya yang tangguh, Port Arthur dianggap laksana Gibraltar di Timur. (Sumber: https://line.17qq.com/)

BENTENG DAN PANGKALAN ANGKATAN LAUT

Pada tahun 1904, Port Arthur adalah salah satu tempat yang dibentengi paling kuat di dunia, dan sebagai posisi pertahanan yang menurut sebagian besar pengamat tidak dapat ditembus. Pelabuhan itu dinamai menurut nama Letnan William C. Arthur dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris, yang berlindung di sana pada tahun 1860 selama topan yang mengamuk. Dia menggambarkan situasi pelabuhan dengan sangat rinci, dan tak lama kemudian orang-orang mulai menyebut tempat itu sebagai Port Arthur untuk menghormati orang Inggris yang pemberani itu. Port Arthur dalam beberapa hal bukan hanya terdiri dari satu kota tetapi dua kota, yakni: Kota Tua dan embrio Kota Baru. Jalan-jalan Kota Tua yang sempit dan tidak beraspal dipenuhi dengan gudang-gudang bobrok, hotel-hotel yang lusuh, dan bangunan administrasi dan pemukiman yang dibangun dengan buruk. Sebaliknya, Kota Baru memiliki jalan lebar dengan deretan pepohonan dan bangunan modern — sebuah gambaran visual yang menegaskan bahwa orang-orang Rusia datang kesitu untuk tinggal lama. Bisa dibilang, Port Arthur adalah kota benteng dan pangkalan angkatan laut. Di East Basin pelabuhan terdapat dermaga, bengkel mesin, depo bahan bakar, dan gudang amunisi. Orang-orang Jepang sendiri menganggap Port Arthur sulit untuk ditaklukkan. Garis pertahanan pertama kota itu adalah serangkaian bukit berbenteng yang menjulang seperti tulang punggung raksasa yang menghadap langit kelabu. Mereka memanjang dalam bentuk setengah lingkaran besar sekitar 20 mil melalui lanskap abu-abu kecoklatan, yang dipenuhi dengan meriam-meriam kaliber 6 inci dan senapan-senapan mesin Maxim. Celah di antara benteng diisi dengan parit penghubung dan jalan tertutup, dan jalan yang bagus menjamin kemudahannya untuk digunakan memindahkan orang-orang, senjata, amunisi, dan perbekalan. Di antara benteng-benteng tersebut, yang paling menonjol adalah Little Orphan Hill dan Big Orphan Hill di timur dan Bukit 203 Meter, Bukit 174 Meter, dan False Hill di barat. Jalinan kawat berduri yang saling bersilang tebal digantung di lereng yang terjal, dan sedapat mungkin fitur-fitur alam dimasukkan ke dalam desain pertahanannya. Big Orphan dan Little Orphan Hills diketahui curam, dan Rusia sengaja membendung Sungai Tai untuk membuat parit alami di pangkalan mereka. Rusia juga memanfaatkan benteng China kuno yang dulunya mengelilingi dan melindungi Kota Tua. Yang paling menonjol adalah apa yang dikenal sebagai Tembok Cina, sebuah bangunan batu bata dan lumpur setinggi 10 kaki yang meliuk-liuk melalui pinggiran barat Port Arthur. Pertahanan ini dilindungi dari tembakan artileri dan dapat digunakan untuk tujuan perlindungan dan komunikasi.

Posisi infanteri dan artileri Rusia yang terjepit memanjang hingga 20 mil di atas Kota Tua dan Baru di Port Arthur. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Kota Pelabuhan Port Arthur. (Sumber: https://alchetron.com/)

“PORT ARTHUR AKAN MENJADI MAKAMKU!” 

Dalam minggu-minggu sebelum pengepungan, Mayor Jenderal Roman Kondratenko dan Unit Senapan Siberia ke-8 pimpinannya ditugaskan untuk memperkuat pertahanan di pelabuhan. Sementara itu, ratusan orang China menambah tenaga kerja di pihak Russia, dengan menggali tanah yang keras dan membuang sekeranjang penuh tanah. Karena ada kekurangan beton dan kawat berduri, jadi orang-orang Rusia berimprovisasi dengan memasang jalur telegraf. Anak buah Kondratenko juga menanam ranjau darat dan memasang saluran telepon baru untuk komunikasi dan pengendalian penembakan yang lebih baik. Jalur masuk ke benteng ditaburi dengan jebakan-jebakan yang sangat cerdik seperti papan paku, papan kayu yang dilapisi karpet paku berukuran 5 inci, dimana ujung-ujungnya menghadap ke luar. Karena pasukan Jepang sering memakai sandal jerami, papan paku terbukti sangat efektif. Pihak Rusia juga membangun parit di sisi bukit yang curam dan mengatapinya dengan penyangga kayu. Setelah tertutup tanah dan bebatuan, mereka tampak seperti bagian dari lereng alami dari bukit. Lubang menembak dan celah penglihatan lalu memungkinkan prajurit bertahan di parit untuk menembak ke bawah saat para penyerang bergerak maju dan menjatuhkan granat tangan.

Letnan Jenderal Baron Anatole Stoessel, komandan di Port Arthur. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Letnan Jenderal Baron Anatole Stoessel adalah komandan Port Arthur. Dia adalah seorang perwira pemberani tetapi tidak kompeten yang berusaha menutupi kekurangannya dengan mengeluarkan komunike yang dipenuhi dengan kata-kata gertakan dan keberanian. “Perpisahan selamanya” ditulisnya pada satu surat kepada seorang teman di luar kota. Kemudian disusul ucapan “Port Arthur akan menjadi kuburanku!” Stoessel menegakkan aturan disiplin tangan besi, dan beberapa tentara dicambuk karena mabuk — pelanggaran yang sering dilakukan Angkatan Darat Rusia. Perlakuan buruk pada pasukan ini, kemudian justru menyebabkan moral didalam garnisun merosot. Dengan segala pernyataannya yang bombastis, Stoessel tidak benar-benar percaya bahwa Jepang adalah suatu ancaman. Sebaliknya, dia mengizinkan Port Arthur berfungsi sebagai semacam depot pasokan untuk tentara Rusia di bagian lain China, yang pada prosesnya malah mengurangi jumlah stok makanan berharga yang akan dibutuhkan anak buahnya selama pengepungan. Stoessel seharusnya menyerahkan komando kepada Letnan Jenderal Konstantin Smirnov yang dihormati sementara dia mengambil alih Korps Siberia Ketiga, tetapi Stoessel dengan tegas menolak untuk mengalah. Tepat sebelum Tentara Ketiga Jepang tiba di tempatnya, Port Arthur memiliki garnisun yang terdiri dari hampir 50.000 orang dan 500 meriam. Ketika personel non-tempur ditambahkan ke total penghuni garnisun, total ada sekitar 87.000 jiwa untuk diberi makan. Stok makanan pada awalnya tampak mencukupi, tetapi harga kebutuhan pokok seperti itu dengan cepat naik.

BENCANA UNTUK ANGKATAN LAUT RUSSIA 

Rencana perang Jepang dalam merebut Port Arthur sebenarnya terhitung sederhana dan tanpa basa-basi. Vice Admiral Heihachiro Togo akan melumpuhkan dan menetralkan armada Rusia di Port Arthur dan memblokade pelabuhannya. Serangan torpedo mendadaknya adalah fase pertama dari rencana perang Jepang. Meski upaya untuk memblokir pintu masuk pelabuhan Port Arthur dengan kapal dagang Jepang tidak terlalu berhasil, namun kehadiran Togo tetap menjadi ancaman di lepas pantai. Rusia memang memiliki beberapa kapal perang permukaan yang terbaik, tetapi pelatihan dan moral yang buruk telah menetralkan efektivitas mereka. Sempat ada secercah harapan ketika Vice Admiral Stepan Makarov tiba di Port Arthur pada bulan Maret. Berbakat dan karismatik, Makarov dengan janggut bercabang menanamkan semangat juang pada perwira dan anak buahnya. Pada tanggal 13 April, Makarov memimpin skuadronnya untuk memancing pertempuran dengan musuh. Sayangnya bagi Rusia, kapal benderanya Petropavlovsk menabrak ranjau dan tenggelam dengan 600 pelaut di dalamnya. Hilangnya laksamana Makarov merupakan pukulan yang menyakitkan bagi Angkatan Laut Kekaisaran Rusia. Aksi angkatan laut yang setengah hati pada bulan Agustus juga berakhir dengan kegagalan. Setelah pertempuran besar yang singkat namun berdarah dengan Armada Togo, kapal-kapal perang Rusia dihantam dengan parah. Beberapa kapal tersebar dalam upaya untuk melarikan diri dari bencana tersebut, dan satu kapal yang babak belur berhasil mencapai Shanghai. Yang lainnya dengan pincang berhasil kembali ke Port Arthur. Meriam-meriam Skuadron Pasifik lalu ditugaskan untuk membantu pertahanan pelabuhan, tetapi sekarang mereka terjebak dan tidak efektif lagi sebagai kekuatan angkatan laut.

Vice Admiral Stepan Makarov. Makarov gugur dalam upayanya untuk memancing bertempur Armada Laut Jepang pimpinan Laksamana Togo. Gugurnya Makarov merupakan kerugian besar bagi Russia. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

MENGEPUNG PELABUHAN

Sementara itu, Angkatan Darat Pertama pimpinan Jenderal Takemoto Kuroki mendarat di Korea utara dan melawan pasukan Rusia segera setelah menyeberangi Sungai Yalu menuju ke Manchuria. Setelah dia dengan mudah mengalahkan pasukan Rusia, “gelombang kejut” dari kemenangan Jepang terasa di seluruh dunia. Pertempuran itu berskala relatif kecil, tetapi untuk pertama kalinya dalam sejarah modern sebuah kekuatan besar Eropa dikalahkan oleh orang-orang Asia yang dianggap inferior. Di tempat lain, Angkatan Darat Kedua Jepang di bawah pimpinan Jenderal Baron Yasukata Oku mendarat di Semenanjung Liaodong, menempatkan diri di antara Port Arthur dan pasukan Rusia pimpinan Jenderal Alexei Kuropatkin lebih jauh ke utara. Artinya, pada dasarnya, hubungan komunikasi antara kota benteng itu dengan Manchuria dan tentara Rusia lainnya telah terputus secara efektif. Oku kemudian secara meyakinkan mengalahkan pasukan bantuan Rusia di Telissu pada tanggal 15 Juni. Port Arthur kini dibiarkan sendirian. Kini, tugas untuk benar-benar merebut Port Arthur diberikan ke Angkatan Darat Ketiga pimpinan Jenderal Maresuke Nogi yang pasukannya berjumlah 90.000 orang. Nogi mendarat sekitar 27 mil di utara benteng pasukan Russia dan perlahan-lahan bergerak ke selatan. Port Arthur kini ditetapkan dalam kondisi siaga penuh, dan semua perbentengan, pertahanan, dan emplasemen diawaki oleh para prajurit yang bertahan. Kapal Skuadron Pasifik yang tersisa kemudian diawaki oleh sedikit personel setelah pelaut Rusia lainnya pergi ke darat untuk membantu pertahanan garnisun di perbentengan. Pengepungan atas Port Arthur resmi dibuka pada tanggal 7 Agustus dengan dilancarkannya pemboman di Kota Tua. Di dalam benteng, sebuah kebaktian gereja diadakan untuk meminta permohonan intervensi dari Tuhan. Doa yang sungguh-sungguh dari pendeta Ortodoks diselingi oleh gemuruh meriam di kejauhan dan deru peluru yang meledak. Itu adalah awal dari cobaan yang akan berlangsung selama lima bulan ke depan.

Tentara dari Resimen ke-9 Jepang berkumpul untuk menyerang Port Arthur. Dengan jumlah pasukan yang lebih besar, militer Jepang yakin akan bisa menaklukkan Port Arthur. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Maresuke Nogi, komandan pasukan Jepang yang ditugaskan untuk merebut Port Arthur. (Sumber: https://www.britannica.com/)

MEREBUT BIG ORPHAN DAN LITTLE ORPHAN

Di luar Port Arthur, Nogi memutuskan bahwa bukit Big Orphan dan Little Orphan harus diambil alih terlebih dahulu. Berada sekitar empat mil timur laut Port Arthur, kedua bukit ini akan memberi Jepang posisi pengamatan yang sangat bagus ke benteng lain yang lebih tangguh yang lebih dekat ke pelabuhan. Orang-orang Jepang sedari awal benar-benar merendahkan kemampuan orang-orang Rusia, sedemikian rupa sehingga mereka membutakan diri mereka sendiri terhadap kesulitan nyata yang menanti di depan. Intelijen Jepang gagal memahami kekuatan Port Arthur yang sebenarnya, dan satu atau dua laporan yang mendekati kebenaran diabaikan begitu saja oleh komando tertinggi. Nogi, seorang petempur tua yang keras dan mendalami tradisi samurai, yakin bahwa semangat “banzai” dari tentaranya bakal cukup untuk menaklukkan kedua bukit itu. Dia memerintahkan kedua tempat itu direbut dengan serangan frontal di sisi barat laut dan timur laut. Dengan begitu, kapal-kapal Rusia di pelabuhan tidak bisa memberikan dukungan artileri. Dalam menjalankan perintahnya, pasukan infanteri Jepang harus mengarungi Sungai Tai yang banjir, lalu mendaki lereng bukit yang curam di bawah tembakan senapan mesin berat, senapan, dan tembakan artileri. Setelah pemboman pendahuluan yang berlangsung sekitar 15 jam, akhirnya pasukan infanteri Jepang diperintahkan maju. Pada pukul 7:30 malam tanggal 7 Agustus, hujan lebat turun diatas pasukan infanteri Jepang yang sedang berjuang saat mereka meraba-raba jalan mereka melalui kegelapan pekat, sementara jalan mereka hanya diterangi oleh kilatan peluru artileri yang meledak dan lampu sorot orang-orang Rusia yang menyelidiki. Pasukan zeni Jepang berhasil mencapai bendungan Rusia dan membuat lubang di dalamnya, melepaskan air sungai Tai yang tertahan. Pasukan infanteri Jepang yang membawa muatan berat merasa sulit untuk menyeberangi sungai, dan beberapa tenggelam dalam upaya itu. Sebagian besar tentara Jepang yang basah kuyup berhasil mencapai kaki bukit, tetapi cobaan berat mereka masih jauh dari selesai. Dilihat dari permukaan tanah, bukit Big Orphan setinggi 600 kaki (182,88 meter) tampak sangat besar. Di tengah pembantaian itu, seorang perwira Jepang tidak bisa menahan diri untuk tidak menjadi puitis. “Di atas kami gunung terjal berdiri tinggi, mencium langit,” tulisnya. Bahkan monyet pun sulit memanjatnya.

Pasukan Rusia berpose di atas parit yang dipenuhi tentara Jepang yang tewas. Serangan frontal yang hanya mengandalkan “Semangat banzai” terbukti sangat merugikan bagi tentara Jepang. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Serangan itu terhenti, tetapi orang-orang Jepang yang kepayahan dan menderita banyak korban itu terus mencoba kembali mendaki Big Orphan Hill keesokan harinya. Prajurit-prajurit Rusia melawan dengan keras kepala, melemparkan batu-batu besar ke bawah ke musuh yang mendaki posisi mereka. Tentara Jepang akhirnya berhasil mencapai puncak Big Orphan Hill pada jam 8 malam berikutnya. Pasukan Rusia yang ada di puncak bertahan dengan gigih, dan pertempuran jarak dekat terjadi, tetapi pada akhirnya mereka kewalahan karena jumlah yang lebih superior dari tentara Jepang. Para pemenang yang kelelahan dengan bangga kemudian mengibarkan bendera Matahari Terbit — hanya untuk menemukannya sebagai magnet tembakan artileri dari benteng Rusia lainnya. Sementara itu Little Orphan Hill jatuh keesokan harinya. Dalam upaya untuk merebut dua bukit itu Angkatan Darat Ketiga Jepang telah menelan korban lebih dari 3.000 orang. Ini adalah gambaran yang suram, karena benteng di Big Orphan dan Little Orphan terhitung ringan dan garnisun mereka juga relatif kecil. Pekerjaan yang jauh lebih berat terbentang di depan. Tidak terpengaruh dengan hal itu, Nogi membentangkan petanya, mengamati cakrawala dengan teleskopnya, dan dengan keras kepala menyimpulkan bahwa serangan frontal infanteri masih akan berhasil. Pada tanggal 13 Agustus, Jepang meluncurkan balon pengintai foto yang gagal ditembak jatuh oleh orang-orang Rusia. Hebatnya, foto udara tersebut justru memperkuat pemikiran Nogi. “Kondisi benteng,” kata Nogi, “dan pasukan yang menjaganya, sejauh pengetahuan kita saat ini, tidak akan mampu menghalangi serangan kita.” Itu adalah penilaian yang terlalu optimis.

BERTEMPUR UNTUK MEREBUT BUKIT 173 METER

Serangan Jepang selanjutnya akan mencoba untuk merebut Wantai Ravine, di tengah-tengah benteng berbentuk setengah lingkaran di timur laut, kemudian melanjutkan untuk merebut bukit Two Dragon dan Pine Tree. Begitu mereka bisa diamankan, pasukan Jepang akan terus melaju melalui pertahanan Tembok Cina dan masuk ke Port Arthur sendiri. Rencana ini adalah rencana yang gila. Sebelumnya nyaris tidak pernah ada suatu posisi yang dibentengi dengan kuat yang pernah direbut oleh pasukan infanteri semata yang bersenjata, terutama hanya dengan senapan. Selain itu, Nogi juga mengabaikan peristiwa penting yang sudah terjadi beberapa minggu sebelumnya. Pada tanggal 15 Juni, kapal penjelajah Rusia, Gromobol menenggelamkan Hitachi Maru, kapal angkut Jepang yang membawa artileri berat buatan Krupp-Jerman, yang dikirimkan ke Angkatan Darat Ketiga. Senjata-senjata ini sebenarnya berpotensi untuk bisa menghancurkan lingkaran beton dan baja yang melindungi Port Arthur, serta mungkin bisa memperpendek waktu pengepungan selama berminggu-minggu. Sekarang mereka semua berada di dasar lautan. Serangan Jepang kemudian dimulai pada tanggal 19 Agustus. Divisi ke-1 dari Angkatan Darat Ketiga menyerang Bukit 174 Meter, tiga mil di barat laut Port Arthur, sebuah posisi yang mendominasi jalur masuk ke Bukit 203 Meter. Prajurit Russia yang mempertahankan bukit 174 Meter dipimpin oleh Kolonel Nikolai Tretyakov, yang ada di bawah komando Kondratenko secara keseluruhan. Kedua perwira ini menonjol sebagai perwira yang kompeten, imajinatif, dan banyak akal, dan bersama-sama mereka membentuk tim yang tangguh. Untuk memperkuat pertahanan bukit 174 Meter, tanjung itu telah dikelilingi oleh tiga baris parit. Bukit itu dipertahankan oleh Resimen Senapan Siberia Timur ke-5 dan ke-13 dan dua kompi pelaut. Impian Jepang untuk bisa meraih kemenangan dengan mudah akan segera musnah.

Nikolai Tretyakov, komandan kompeten asal Russia yang mempertahankan Bukit 173 Meter di Port Arthur. (Sumber: https://www.gutenberg.org/)

Pasukan Jepang bergerak maju di siang hari bolong, seolah menantang takdir. Mereka berhasil memotong kawat berduri di dasar Bukit 174 Meter dan mendapatkan pijakan di lereng utara. Sekali lagi Rusia mempertahankan setiap inci tanah yang mereka kuasai, tetapi pada tengah hari parit pertama telah jatuh ke tangan Jepang. Setelah dua jam parit kedua juga jatuh, tetapi parit ketiga dan puncak bukit masih bertahan dengan kokoh. Kondratenko lalu mengirim dua kompi lagi dan untuk memperbaiki pertahanan yang sebagian runtuh akibat tembakan artileri Jepang. Lebih banyak bala bantuan jelas sangat dibutuhkan, tetapi tepat ketika krisis mencapai puncaknya, Letnan Jenderal Alexander Fok tiba di bukit 174 Meter. Dia adalah seorang jenderal “belakang meja”, salah satu perwira yang cenderung membuat pernyataan heroik yang tidak dapat dia laksanakan. “Bukit 174 harus dipertahankan dengan segala cara!” Fok menyatakan hal itu, seolah-olah para perwira yang dalam tekanan itu belum menyadari yang kondisi yang sudah jelas. Ironisnya, Fok menolak untuk mendukung permintaan Kondratenko untuk menambah lebih banyak personel. Tanpa bantuan, prajurit Rusia yang bertahan mulai kehilangan harapan. Para prajurit mulai mundur tanpa perintah, meskipun inti pasukan, yang terdiri dari para veteran yang keras kepala masih mempertahankan puncak puncak bukit. Sedikit demi sedikit prajurit yang mundur kemudian menjadi gerak mundur massal, dan meskipun ada upaya terbaiknya, Tretyakov tidak bisa menghentikan aliran prajurit yang mundur. Kadang-kadang hanya jarak kisaran 50 yard (45,72 meter) yang memisahkan antara kedua kekuatan yang bertempur. Peluru artileri yang meledak mencerai-beraikan tubuh orang-orang dan mengubur parit dengan serpihan tanah, puing-puing, dan daging manusia. Ketika malam tiba, pertempuran memperebutkan bukit 174 Meter berlangsung dengan sengit. Koresponden perang asal Inggris, Frederick Villiers menulis dengan gaya seorang pelukis, dengan menulis seperti “cahaya pijar hangat dari bom suar, semburan kemerahan dari mulut meriam, dan kilatan kekuningan dari peluru artileri yang meledak.” untuk menggambarkan suasana pertempuran yang terjadi.

16.000 KORBAN DI PIHAK JEPANG

Bukit itu akhirnya jatuh ke tangan Jepang, tetapi bentrokan yang lebih berdarah terjadi tiga mil jauhnya di Waterworks Redoubt (benteng kecil yang tertutup). Daerah itu dikelilingi dengan jalur air kering dan tumpukan millet tebal yang tumbuh setinggi 15 kaki dan menyediakan penutup tanah tambahan. Tidak mengherankan, orang Jepang menganggap Waterworks Redoubt sulit ditaklukkan. Orang-orang Rusia dengan kejam juga menyetrum jaringan kawat disana, dan banyak tentara Jepang yang tersetrum sampai mati. Para penyerang lalu menemukan cara untuk melewati kawat yang dialiri listrik. Salah satu caranya adalah dengan menggunakan pemotong kawat khusus yang pegangannya dilapisi bambu. Begitu melewati kawat itu, pasukan infanteri Jepang yang berkeringat menghadapi badai tembakan dan peluru. Senapan mesin yang berderak memotong gerakan tentara yang maju, dan peluru artileri yang meledak melepaskan kepala dan anggota tubuh dengan mudah dan mengerikan. Segera, sebagian besar lereng bawah dipenuhi dengan tubuh orang-orang Jepang. Ketika Letnan Tadayoshi Sakurai mengingat kembali serangan itu kemudian, dia menggambarkannya dengan campuran puisi dan kenyataan yang menyayat hati. “Kami hidup dalam bau daging yang membusuk dan tulang yang hancur,” tulisnya, sambil menambahkan, “(namun) Kami masih merupakan cabang dari pohon sakura asli Yamato!”

Pasukan Jepang bertempur dengan gagah berani, demikian pula tentara Russia yang bertahan dengan gigih, akibatnya ribuan prajurit berguguran saat memperebutkan bukit-bukit di sekeliling Port Arthur. (Sumber: https://line.17qq.com/)

Sementara itu di benteng Pan Lung, yang ada di dekatnya, ceritanya hampir sama. parit-parit dipenuhi dengan orang Jepang yang tewas, sedemikian rupa sehingga barisan dibelakang yang bergerak maju dipaksa untuk menginjak mayat rekan-rekan mereka yang gugur. Akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos benteng Pan Lung Timur, dimana pertempuran berlangsung satu lawan satu. Orang Rusia saat itu memiliki motto: “Pulia duraka no shtyk molodets,” yang berarti, “Peluru itu idiot, tapi bayonet adalah kawan yang bagus.” Mereka unggul dalam pertempuran jarak dekat yang brutal ini. Pan Lung Barat jatuh pada tanggal 22 Agustus, dan Pan Lung Timur segera setelahnya. Dua benteng kecil, bersama dengan Bukit 174 Meter, telah menelan korban sekitar 16.000 orang di pihak Jepang. Lebih buruk lagi, pertahanan utama Rusia masih sekuat dan menantang seperti sebelumnya. Saat dia melihat jumlah korban di pihaknya, Nogi tetap tidak tergugah. Resimen ke-7 Jepang telah memulai serangan dengan 1.800 orang; pada saat Pan Lung Timur diambil alih, hanya menyisakan 200 yang masih hidup. Bahkan Nogi nampaknya harus mengakui bahwa senapan dan jiwa samurai saja tidak cukup untuk melawan beton, baja, dan senapan mesin.

PENGEPUNGAN YANG LAMBAT TAPI STABIL 

Saat tentara Jepang memantapkan posisinya di depan Port Arthur, pasukan utama kedua pihak yang berperang bentrok dalam Pertempuran Liaoyang. Di sini, pada tanggal 25 Agustus, sehari setelah serangan terakhir Nogi yang gagal, Marsekal Oyama bertempur melawan pasukan Rusia di bawah Kuropatkin. Pertempuran itu berlangsung selama sembilan hari dan memakan korban lebih dari 20.000 orang Jepang, yang tewas dan terluka, sedangkan di pihak Rusia menderita korban hampir 18.000 orang. Bagaimanapun, pertempuran itu adalah kemenangan bagi Jepang, yang memaksa Kuropatkin mundur untuk melindungi jalur komunikasinya dengan Mukden. Sementara itu, operasi pengepungan tradisional pada Port Arthur dimulai pada tanggal 25 Agustus. Personel-personel sapper Jepang menggali parit pengepungan menuju benteng Rusia, sebuah teknik yang berasal dari abad ke-17, sambil berharap rekan-rekan mereka dapat menggali di bawah tembok pertahanan Rusia, secara diam-diam, menempatkan bahan peledak bawah tanah, dan meledakkan celah di dalamnya sebelum pasukan Rusia menyadari apa yang sedang terjadi. Prospek cerah bagi Jepang menguat seiring berjalannya waktu. Bala bantuan juga terus mengalir dari Jepang, diantaranya 16.000 prajurit segar dari Jepang dan kapal-kapal yang membawa howitzer Armstrong berkaliber 11 inci (279,4 mm) untuk pengepungan guna menggantikan howitzer sebelumnya yang telah hilang. Howitzer-howitzer ini, yang dijuluki “bayi Osaka”, masing-masing memiliki berat 23 ton dan dapat melontarkan peluru seberat 500 pon (226,8 kg) hingga jarak sekitar 5½ mil (8,85 meter). Pada bulan Oktober, meriam-meriam raksasa ini mulai menembaki Port Arthur dan benteng sekitarnya. Kemajuan Jepang memang lambat tapi stabil. Pada pertengahan September, Jepang telah menggali parit mereka hingga jarak 70 meter dari Waterworks Redoubt, yang lalu mereka serang dan bisa mereka rebut pada tanggal 16 September. Temple Redoubt segera menyusul setelahnya jatuh ke tangan Jepang. Tapi sasaran utama Nogi adalah Bukit 203 Meter, yang dalam banyak hal merupakan kunci pertahanan Rusia secara keseluruhan. Jika Jepang bisa menguasai bukit itu, mereka akan memiliki titik pengamatan yang strategis dan tanpa halangan menuju ke Port Arthur dan pelabuhannya. Kapal yang tersisa dari Armada Pasifik Kekaisaran Rusia akan menjadi tidak berguna, dan tidak dapat melarikan diri dari hujan peluru yang diluncurkan dari bukit 203 Meter.

Meriam Howitzer kaliber 28 cm yang turut dikerahkan dalam pengepungan di Port Arthur. (Sumber: https://line.17qq.com/)
Pasukan Zeni Jepang dan Rusia yang terkejut secara tidak sengaja bertemu satu sama lain saat membuat terowongan di bawah Port Arthur untuk memasang ranjau dan melakukan counter atas upaya musuh. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

SERANGAN GELOMBANG MANUSIA DI BUKIT 203 METER

Pada akhir bulan November, Nogi berada di bawah tekanan untuk merebut Port Arthur. Armada Baltik Rusia sedang dalam perjalanan, melakukan perjalanan epik sejauh 18.000 mil dari Eropa untuk menghadapi Angkatan Laut Jepang. Oleh karena itu, Port Arthur harus direbut secepatnya sebelum Armada Baltik Russia dapat membantu kawan-kawan mereka yang terkepung. Rusia saat itu juga masih memiliki pasukan besar yang kuat di utara, dan pengepungan yang berkepanjangan akan mengikat Angkatan Darat Ketiga Nogi (pasukan yang bisa sangat dibutuhkan di tempat lain). Pertempuran untuk memperebutkan Bukit 203 Meter adalah perjuangan besar yang akan berlangsung selama beberapa hari. Kedua belah pihak tahu bahwa bukit itu adalah kunci menuju Port Arthur. Sebenarnya, bukit 203 meter bukanlah satu bukit, tetapi terdiri dari dua puncak bukit, yang masing-masing memiliki benteng pertahanan yang dilindungi dengan kayu berat dan pelat baja. Dua baris parit senapan mengelilingi puncaknya, dan kawat berduri yang saling berkaitan memblokir akses ke atas bukit. Garnisun di bukit itu terdiri dari tentara dan pelaut Rusia, yang ada di bawah komando Tretyakov yang tak diragukan lagi kemampuannya dan tampaknya ada di mana-mana. Stok makanan di bukit itu telah menipis, dan makanan utama para prajurit Russia adalah daging kuda atau keledai yang dikombinasi dengan ikan sesekali yang diambil dari sungai terdekat.

Bukit 203 meter pada tanggal 14 Desember 1904. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sekali lagi tentara Jepang maju dalam serangan ala gelombang manusia, hanya untuk dihadapi dengan artileri berat dan tembakan senapan dan senapan mesin. Baterai Rusia yang terdiri dari empat senjata 6 inci (152,4 mm) bekerja dengan gigih, penembak berkeringat memasukkan peluru baru ke dalam pangkal meriam dan menembakkannya dengan cepat. Perbukitan itu berpindah tangan beberapa kali; kedua belah pihak menunjukkan keberanian dan pengabdian yang luar biasa pada tugasnya. Akhirnya, beberapa tentara Rusia mulai menyerah di bawah tekanan. Ketika prajuritnya mulai goyah dalam pertempuran, Tretyakov menggunakan segala cara yang dimungkinkan untuk mengumpulkan mereka; kadang-kadang dia harus menggunakan pedangnya jika ada orang yang ragu-ragu untuk mematuhinya. Suatu saat, sang kolonel menunjuk ke sebuah bendera Jepang yang telah dipasang di puncak bukit. “Pergi dan ambillah bendera itu, anak-anakku!” dia berteriak, dan anak buahnya bergegas menaiki lereng untuk mematuhi perintahnya. Besarnya korban yang diderita Jepang dan kegagalan mereka untuk merebut bukit 203 meter ini, kemudian menyulut opini populer di Jepang yang mengecam Nogi. Jenderal Yamagata lalu mendesak diadakan pengadilan militer atas kegagalan Nogi, tetapi Nogi diselamatkan dari pengadilan ini hanya setelah datang intervensi pribadi dari Kaisar Meiji, yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Serangan infanteri ala “gelombang manusia” Jepang pada salah satu dari banyak pertahanan Rusia yang berada jauh di atas Port Arthur, sementara kota itu membara di kejauhan. Serangan langsung yang keras kepala seperti itu terbukti sangat mahal harganya. Banyaknya korban di pihak pasukannya, kemudian membuat Jenderal Nogi malu dan minta diijinkan untuk melakukan harakiri, namun ditolak oleg Kaisar Meiji. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Setelah pertempuran maju-mundur, pasukan Rusia masih bertahan di dua puncak Bukit 203 Meter. Tentara Jepang lalu meninggalkan taktik serangan gelombang manusia yang mahal dan membawa kedepan howitzer kaliber 11 inci. Lebih dari 1.000 peluru menghantam bukit dalam serangan yang hampir terus menerus berlangsung sepanjang hari. Benteng Rusia di atasnya dihancurkan menjadi serpihan kayu dan puing-puing beton. Awan debu besar menutupi puncaknya seperti kain kafan pemakaman. Pada saat ini, tentara dan pelaut Rusia bertahan teguh pada sisa-sisa benteng mereka yang hancur dengan campuran keberanian dan fatalisme yang suram. Sebagian besar perwira mereka telah tewas, dan Tretyakov sendiri terluka. Akhirnya, pada pukul 10:30 pada tanggal 5 Desember, tentara Jepang menyerbu Bukit 203 Meter. Hanya segelintir orang Rusia yang selamat dari pertempuran yang berlumuran darah itu. Serangan itu telah menelan korban besar sekitar 14.000 orang Jepang, sementara di pihak Rusia kehilangan 6.000 orang. Tentara Jepang tidak membuang-buang waktu untuk membawa howitzer 11 inci mereka ke Bukit 203 Meter. Pemandangan dari puncaknya sungguh sempurna, dan menembaki kapal Rusia di bawahnya seperti menembak ikan di dalam tong. Dalam beberapa hari, hampir semua kapal yang tersisa hancur atau rusak parah. Bagi pasukan Russia, yang lebih buruk masih akan berdatangan. Satu demi satu bukit yang tersisa berhasil direbut. Benteng Chikuan dihancurkan oleh ranjau bawah tanah yang ditempatkan tentara Jepang di sana.

JATUHNYA PORT ARTHUR

Pada pertengahan bulan Desember, terlihat jelas bahwa Port Arthur tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Makanan menjadi langka, dan penyakit mulai menyebar. Banyak personel di garnisun yang menderita sakit kudis, sementara yang lain berjuang melawan disentri. Sebagian besar perwira masih menolak untuk menyerah, dan terjadi perdebatan sengit mengenai tindakan yang harus diambil. Smirnov memaparkan bahwa persediaan amunisi menipis, hanya cukup untuk mengusir dua serangan besar. “Ketika amunisi senjata besar telah habis,” dia memperingatkan, “kita masih memiliki 10.000.000 butir amunisi senjata kecil. Setelah itu, kita akan menggunakan bayonet. ” Pada akhir bulan Desember, sebagian besar benteng kecil dan benteng utama sudah berada di tangan Jepang. Port Arthur telah menjadi tidak dapat dipertahankan secara militer. Pada tanggal 1 Januari 1905, Stoessel mengirim seorang perwiranya menghadap ke Nogi di bawah bendera gencatan senjata, mengusulkan untuk menyerahkan Port Arthur, dimana usul ini disetujui pada keesokan harinya, tanggal 2 Januari. Menurut ketentuan penyerahan, tentara Rusia yang masih hidup akan menjadi tawanan perang, tetapi perwira mereka diberi pilihan untuk ditawan bersama anak buah mereka atau dibebaskan bersyarat. Beberapa perwira kemudian memilih untuk menjadi tawanan perang. Di antara barang rampasan yang diperoleh oleh Jepang adalah kapal selam Rusia yang tidak bisa dioperasikan. Kapal ini adalah bagian dari 14 kapal selam kecil yang dikirim Russia lewat jalur kereta Trans Siberia menuju ke Vladivostok saat perang pecah. Orang-orang Jepang juga dibuat tercengang saat menemukan bahwa persediaan makanan dan amunisi yang sangat besar masih ada di Port Arthur saat penyerahan dilakukan, dimana hal ini menyiratkan bahwa Stoessel telah menyerah jauh sebelum pertarungan berakhir.

Jenderal Nogi meninggalkan rumah di mana kesepakatan penyerahan Rusia dibahas. (Desa Suichi Si). (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Nogi (kiri tengah), Stoessel (kanan tengah) dan stafnya, setelah penyerahan Russia di Port Arthur. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Di Port Arthur disebutkan bahwa sekitar 878 perwira, 23.500 tentara dan 9.000 pelaut, bersama dengan 14.000 orang sakit dan terluka menyerah kepada Jepang. Stoessel, Foch dan Smirnov lalu diadili di pengadilan militer sekembalinya mereka ke St Petersburg. Adapun Nogi, setelah meninggalkan garnisun di Port Arthur, ia memimpin sebagian besar pasukannya yang terdiri dari 120.000 orang ke utara untuk bergabung dengan Marsekal Oyama dalam Pertempuran Mukden. Sementara itu, dalam kemenangan ini, Port Arthur kemudian akan menjadi gladi resik untuk bencana perang dunia, yang terjadi satu dekade kemudian. Pengepungan tersebut diketahui menggunakan senapan mesin, senapan magasin bolt-action, howitzer cepat, artileri besar, kawat berduri, dan parit, serta pentingnya media, komunikasi nirkabel, gangguan radio, yang nantinya akan lazim digunakan dalam Perang Dunia I. Baterai artileri Jepang juga dikoordinasikan oleh pusat kendali penembakan yang dihubungkan dengan telepon lapangan. Sayangnya, para pemimpin militer Eropa ternyata telah mengabaikan pelajaran dari perang besar pertama di abad itu dengan risiko mereka sendiri — yang akan dirasakan tentara mereka nantinya di Front Barat. Seandainya para pengamat Barat memberi perhatian lebih, di sinilah pelajaran penting tentang perang di masa depan pertama kali muncul. Namun, ternyata bukan pengepungan Port Arthur yang akhirnya menjadi perhatian sebagian besar pengamat militer kontemporer saat itu. Sebaliknya, pertempuran darat yang paling banyak mendapat perhatian adalah Pertempuran Mukden pada tahun 1905, sebagai pertempuran terbesar di dunia yang pernah terjadi sejak Pertempuran Leipzig selama tiga hari pada tahun 1813. Di Mukden, pertempuran yang terjadi melibatkan 600.000 tentara dan akan menjadi pertempuran modern terbesar di Asia hingga Perang Dunia II. Tentara Kekaisaran Jepang (dilatih oleh perwira Jerman) berusaha mengubah Mukden menjadi pertempuran pengepungan yang menentukan. Cetak biru strategi mereka berasal dari kemenangan yang diraih oleh pasukan Prusia-Bavaria di Pertempuran Sedan melawan Prancis. Jika Mukden merefleksikan taktik pertempuran di masa lalu, Pengepungan Port Arthur selama lima bulan mendahului strategi pertempuran di masa depan perang. 

Pasukan Jerman menyerbu parit pertahanan pasukan sekutu dalam Perang Dunia I. Pola-pola pertempuran dalam Perang Dunia I memiliki banyak kemiripan dengan taktik tempur yang dikerahkan dalam perang Russia vs Jepang di Port Arthur. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Efektifitas penggunaan senapan mesin sebagai elemen pertahanan pada perang Russia-Jepang 1904/1905 kembali berulang pada saat Perang Dunia I. (Sumber: https://www.allworldwars.com/)

Bagaimanapun, toh kemenangan Jepang menelan korban yang besar, dengan biaya kemenangannya yang sangat tinggi. Angkatan Darat Ketiga telah kehilangan sedikitnya 60.000 orang tewas dan terluka, dan mungkin lebih banyak lagi. Tentara Jepang juga menderita masalah penyakit, yang tak terhindarkan selama pengepungan. Ribuan orang meninggal karena beri-beri yang dipicu malnutrisi. Sementara itu, orang-orang Rusia telah bertempur dengan baik dalam situasi tersebut. Dikatakan bahwa pasukan Rusia di Timur Jauh punya kualitas biasa-biasa saja, dan ketakutan akan pemberontakan revolusioner membuat resimen Pengawal dan unit elit lainnya tetap dipertahankan di dalam negeri. Namun resimen Siberia yang dicemooh itu, dengan dibantu oleh para pelaut, telah menunjukkan keberanian yang luar biasa setiap hari. Dari sisi jumlah korban, jika Pertempuran Sedan telah menelan korban jiwa di pihak Prusia 7,3 persen dan Prancis 18,9 persen, tingkat korban Jepang pada Pertempuran Mukden mencapai 27,2 persen. Jumlah korban bahkan lebih tinggi dicatat selama Pengepungan Port Arthur, di mana pasukan Kekaisaran Jepang menderita korban hingga 45,6 persen. Di akhir perang, Nogi membuat laporan langsung kepada Kaisar Meiji selama “Gozen Kaigi” (konferensi di hadapan Kaisar). Ketika menjelaskan mengenai pertempuran dan pengepungan di Port Arthur secara rinci, Nogi merasa malu dan menangis, serta meminta maaf atas 56.000 nyawa yang gugur dalam kampanye militer itu dan meminta untuk diizinkan bunuh diri sebagai penebusan. Kaisar Meiji memberitahunya bahwa bunuh diri itu tidak dapat diterima, karena semua tanggung jawab perang adalah atas perintah kekaisaran, dan bahwa Nogi harus tetap hidup, setidaknya selama dia (Kaisar Meiji) sendiri masih hidup. Nogi tunduk pada titah Kaisar, hingga Kaisar Meiji meninggal tanggal 30 Juli 1912. Kemudian pada tanggal 13 September 1912, Nogi dan istrinya Shizuko bunuh diri dengan seppuku. Ritual bunuh diri ini sesuai dengan praktik samurai mengikuti tuannya sampai mati (junshi). Dalam surat bunuh dirinya, dia mengatakan bahwa dia ingin menebus aibnya di Kyushu, dan ribuan korban yang timbul dalam pengepungan di Port Arthur. Ia juga menyumbangkan tubuhnya untuk ilmu kedokteran. Sementara itu, seperti yang dikhawatirkan, kekalahan Rusia telah memicu revolusi yang gagal, yang akan mendahului jatuhnya tsar pada tahun 1917. Bagi Jepang, perebutan Port Arthur menandai awal dari fase nasionalisme mereka yang agresif di mana negara kepulauan itu berusaha untuk menciptakan kekaisaran mereka sendiri di daratan Asia. Korea lalu dianeksasi pada tahun 1910, dan pada tahun 1930-an Jepang telah menaklukkan Manchuria dan mendesak ke selatan ke jantung Cina. Tindakan agresi yang terang-terangan ini akhirnya menempatkan Jepang pada pertarungan mereka dengan Amerika Serikat, yang lalu dimulai (seperti Port Arthur)dengan serangan diam-diam di Pearl Harbor pada bulan Desember 1941. Apa yang dimulai dengan kemenangan di Port Arthur kemudian akan berakhir memalukan dengan kekalahan telak Jepang pada tahun 1945. Seperti yang dikatakan dalam ayat Alkitab, “Kecongkakan mendahului kehancuran, dan tinggi hati mendahului kejatuhan.” (Amsal 16:18). Militer Jepang saat itu jelas tidak memiliki perasaan lain, selain perasaan bangga.

Pasukan Jepang berbaris memasuki ke Manchuria pada awal Perang China-Jepang Kedua, sekitar tahun 1931-1932. Kemenangan Jepang atas Russia tahun 1905, semakin memperkuat tekad imperialisme Jepang untuk menaklukkan Asia 3 dekade kemudian. (Sumber: https://allthatsinteresting.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Baiting the Russian Bear: The Siege of Port Arthur By Eric Niderost

Siege of Port Arthur: Verdun in Manchuria By Joseph Hammond; November 04, 2014

https://thediplomat.com/2014/11/siege-of-port-arthur-verdun-in-manchuria/

Port Arthur – The Siege by Graham J. Morris (2005)

https://web.archive.org/web/20060824082623/http://www.battlefieldanomalies.com/port_arthur/05_siege.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Siege_of_Port_Arthurhttps://en.m.wikipedia.org/wiki/Nogi_Maresuke

Exit mobile version