Sejarah Militer

Penumpasan Pemberontakan Komunis di Dhofar dan Kebangkitan Kesultanan Oman Modern (9 Juni 1963 – 11 Maret 1976)

Kesultanan Oman, yang menempati wilayah pantai selatan Jazirah Arab, adalah merupakan salah satu negara tertua di dunia Arab. Dalam abad ke-XVII hingga paruh pertama abad-XIX, Kesultanan Muscat dan Oman telah memainkan peran kunci di Samudra Hindia bagian barat. Faktanya, mereka adalah kerajaan perdagangan yang kuat yang menguasai pantai Afrika Timur dan Arab Selatan, serta Teluk Persia. Namun dengan berjalannya waktu dan desakan dari negara-negara kolonialis barat di abad ke XVII-XIX, wilayah kesultanan Oman terus menyusut, dan diawal abad ke-XX, mereka sudah menjadi bagian dari wilayah protektorat Inggris. Antara tahun 1963 dan 1975, Kesultanan Oman kemudian menjadi tempat salah satu dari konflik masa Perang Dingin yang paling luar biasa namun terlupakan. Di sini Sultan’s Armed Forces (SAF) pimpinan militer Inggris akan bertempur dan mengalahkan gerakan gerilyawan komunis yang tangguh yang berbasis di provinsi selatan Dhofar. Perang di Dhofar lalu akan menjadi salah satu dari sedikit contoh keberhasilan aksi militer kontra-pemberontakan pimpinan negara Barat di kawasan negara-negara Timur Tengah pasca Perang Dunia II. Sementara itu selepas konflik, Kesultanan Oman baru, yang memulai pemerintahannya dengan banyak masalah dalam negeri, kini menjadi salah satu negara Timur Tengah yang paling damai dan stabil di tengah kawasan yang senantiasa bergejolak dan dirundung konflik bersenjata.

Dibanding dengan tetangga-tetangganya, Kesultanan Oman relatif damai dan bebas konflik, namun dibalik semua ini, Oman menyimpan sejarah kelam yang kerap terlupakan. (Sumber: https://en.shafaqna.com/)

KESULTANAN MUSCAT: DARI KEMAHARAJAAN MENJADI WILAYAH PROTEKTORAT

Pada masanya, kekuasaan Sultan Muscat tidak hanya mencakup wilayah kesultanan modern Oman, tetapi juga wilayah Pantai Bajak Laut (sekarang Uni Emirat Arab), Bahrain, Hormuz, pantai Afrika Timur dari Somalia hingga Mozambik Utara (termasuk pulau-pulau utama seperti Zanzibar, Lamu, Kilwa, Malindi, Mombasa, Paté, dll.), Komoro dan Seychelles, bagian utara Madagaskar, beberapa pelabuhan besar di wilayah Iran modern (Bandar Abbas) dan Pakistan (Gwadar). Kekuatan ekonomi Muscat dan Oman didasarkan, pertama, pada pencarian dan ekspor mutiara, serta kemenyan, dan kedua, pada perdagangan maritim. Para pedagang Oman memainkan peran penting dalam perdagangan gading, emas, perak, rempah-rempah dan dupa, kain di bagian timur Samudra Hindia. Pada abad ke-XVIII, angkatan laut Oman adalah salah satu yang terkuat di perairan Samudera Hindia, nomor dua setelah armada Inggris Raya. Gambaran ini cukup untuk menunjukkan bahwa kesultanan ini tidak hanya mampu membebaskan diri dari kekuatan Portugis yang bertahan dari tahun 1515 hingga 1650, tetapi juga bisa sepenuhnya mengusir Portugis dari daerah Teluk Persia dan Samudra Hindia bagian timur. Selain itu salah satu pendapatan utama kesultanan hingga akhir abad ke-XIX, yakni perdagangan budak juga masih ada. Adalah karena pelarangan dan tindakan keras dari pihak kekuatan Eropa terhadap pedagang budak jugalah yang menjadi salah satu alasan penurunan ekonomi Kesultanan Maritim Oman pada paruh kedua abad ke-XIX. 

Pada masa puncak kejayaannya, Kesultanan Maritim Oman membentang dari pantai timur benua Afrika hingga ke wilayah modern Iran dan Pakistan. (Sumber: https://twitter.com/)
Sebuah pasar budak di Muscat Oman. Perdagangan budak merupakan salah satu sumber pendapatan Kesultanan Oman pada masanya. Pelarangan perdagangan budak oleh negara-negara Barat turut menjadi pendorong penurunan ekonomi Oman. (Sumber: http://slaveryimages.org/)

Pada tahun 1783, negara ini dibagi menjadi dua bagian untuk pertama kalinya, yakni Kesultanan Muscat dan Imamat Oman. Kesultanan Muscat secara resmi menguasai seluruh negeri, tetapi kenyataannya mereka adalah kerajaan “maritim” murni yang menguasai pelabuhan dan perdagangan laut, serta pos perdagangan luar negeri. Imamat Oman, sebaliknya menguasai pedalaman negeri yang dihuni suku Arab Bedouin. Imamat ini dipimpin oleh para imam dari golongan Ibadi, gerakan Islam tertua yang tetap setia pada peraturan Islam yang asli. Sementara itu Muscat memiliki pengaruh yang luar biasa pada pembentukan citra budaya di wilayah pantai Afrika Timur. Kehadiran orang Arab Oman di wilayah tersebut menyebabkan terbentuknya bahasa Arab Negro nadetnos “Zinj” (“hitam”), yang menjembatani bahasa Arab dengan Bahasa Swahili – bahasa paling umum di wilayah Afrika Timur. Setelah pada tahun 1837 ibu kota kesultanan dipindahkan ke pulau Zanzibar di Afrika Timur, Kesultanan Oman yang bersejarah mulai dengan cepat kehilangan posisi politik dan ekonominya. Pada tahun 1856, setelah kematian Sultan Said, negeri ini terbagi diantara putra-putranya. Majid ibn Said memerintah di pantai Afrika Timur, yang lalu menjadi bagian dari Kesultanan Zanzibar. Bagian Asia dari negeri itu lalu terpecah dengan membentuk Kesultanan Muscat dan Oman, yang dipimpin oleh Suwaini ibn Saeed. Pembagian kerajaan maritim Oman lalu menjadi ambang akhir dari negara ini. Segera setelahnya, kedua kesultanan pecahan yang terbentuk menjadi wilayah protektorat dari Kerajaan Inggris.

Pada awal abad ke-20 dalam kemundurannya, wilayah Oman menyusut menjadi seukuran Kesultanan Oman sekarang. Pada masa itu mereka sudah menjadi bagian dari Protektorat Inggris. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Faktanya, Inggris mulai menunjukkan ketertarikan pada wilayah Arab Selatan jauh lebih awal sebelum mereka menguasai Oman. Jadi, pada tahun 1820, British East India Company mempengaruhi para emir bawahan dan syekh dari wilayah Pantai Bajak Laut dalam hubungannya dengan Sultan Muscat. Mereka lalu menandatangani “Perjanjian Umum”, yang mendasari perubahan wilayah itu menjadi daerah protektorat Inggris. Pada tahun 1853, wilayah Pantai Bajak Laut dinamai sebagai wilayah Kontrak Oman dan diperintah oleh emir dan syekh setempat yang ada di bawah kendali pemerintahan Inggris. Hingga pertengahan abad kedua puluh, Kesultanan Muscat dan Oman tetap menjadi salah satu negara paling tertutup di dunia. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara lain di Timur Arab, perkembangan kehidupan di Oman sepertinya terhenti. Masyarakat Oman dibedakan oleh tingkat konservatisme yang tinggi, kekuasaan sultan bersifat absolut dan tak terbantahkan, tetapi dalam hal-hal strategis sultan mengikuti sepenuhnya setelah kebijakan luar negeri Inggris. Pada pertengahan tahun 1960-an, Oman memiliki satu rumah sakit. Angka kematian bayi disana adalah 75% dan harapan hidup warganya cuma sekitar 55 tahun. Di Oman hanya ada tiga sekolah dasar – yang sering diancam ditutup oleh sultan – dan tidak ada sekolah menengah. Hasilnya, hanya 5% populasi yang bisa membaca dan menulis. Tidak ada telepon atau infrastruktur lainnya, selain serangkaian saluran air kuno. Sultan melarang benda apa pun yang dianggapnya dekaden, yang berarti bahwa orang-orang Oman dilarang memiliki radio, mengendarai sepeda, bermain sepak bola, mengenakan kacamata hitam, sepatu atau celana panjang, dan menggunakan pompa listrik di sumur mereka. Mereka yang melanggar hukum sultan bisa mengharapkan hukuman yang kejam. Saat itu terdapat beberapa eksekusi publik. Kondisi di penjaranya – di mana para penjaga keturunan Pakistan kerap menerima perintah dari para sipir Inggris – dikatakan mengerikan, dengan sejumlah besar narapidana dibelenggu bersama di sel yang gelap, tanpa makanan yang layak atau perhatian medis. Orang-orang Oman membenci dan takut sekaligus pada sultan mereka dan pada Inggris yang dianggap membantu mempertahankan Sultan tetap berkuasa dan berkolusi dalam kebijakan Sultan. Tidak mengherankan, sultan kemudian sering kali harus meminta bantuan Inggris untuk menyediakan kekuatan militer yang diperlukan untuk melindunginya dari rakyatnya sendiri. Perlu dicatat juga di sini bahwa sejak Abad Pertengahan di Oman ada konfrontasi antara dua pusat politik, yakni Sultan Muscat dan Imam Oman. Sultan adalah kepala negara, namun imam juga menikmati jabatan prestise yang tinggi di antara penduduk di wilayah pedalaman negari. Perbedaan pandangan lama antara sultan dan imam diaktualisasikan pada abad ke-20. Pada tahun 1920, imam menolak untuk membayar pajak ke Muscat, dan mencetak paspornya sendiri di Najd (kemudian Najd menjadi basis kekuasaan Arab Saudi), dan ia mendeklarasikan Imamat Oman sebagai negara merdeka. 

Kota Matrah di Oman pada tahun 1970. Hingga paruh kedua abad ke-20, kondisi Sosio-Ekonomi dari Oman masih terbelakang, dengan minimnya fasilitas pelayanan dan rendahnya kesejahteraan masyrakatnya. (Sumber: https://www.flickr.com/photos)
Sultan Said bin Taimur, penguasa Oman sejak tahun 1930an. Dibawah kepemimpinannya, Oman tidak banyak berkembang dan dia tidak ubahnya menjadi kepanjangan tangan kolonialis Inggris. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Pada tahun 1945, imamat Oman diterima masuk ke dalam di Liga Arab. Sedangkan di awal tahun 1950-an. Sultan Muscat Said mulai menunjukkan minat khusus di daerah pedalaman negara itu, terkait dengan penemuan minyak di Oman. Inggris ada berdiri di belakang Sultan Muscat, sementara imam Oman mendapat dukungan dari lingkaran penguasa Arab Saudi. Pada tahun 1954, Kesultanan Muscat memulai agresinya terhadap imamat Oman, akibatnya sang imam terpaksa mengungsi ke Arab Saudi. Imam Ghalib ben Ali al-Hinawi, yang muncul pada tahun 1954, menyerukan penggulingan kekuasaan protektorat Inggris atas Oman dan Muscat. Selain itu, imam bersikeras pada diterimanya kemerdekaan de facto imamat yang terletak di bagian pedalaman negara itu dari otoritas pusat sultan. Pada tahun 1957, detasemen militer di bawah kendali Galib ben Ali melakukan operasi militer terhadap Sultan Muscat. Untuk menekan pemberontakan, Sultan terpaksa harus menjual kota Gwadar di pantai Balochistan ke Pakistan. Dengan demikian, Kesultanan ini kehilangan kepemilikan wilayah luar negerinya yang terakhir. Namun peran yang menentukan dalam menekan perjuangan kemerdekaan politik Imamat Oman dimainkan oleh pasukan Inggris di bawah komando Jenderal Robertson. Adalah satuan Inggris yang berhasil menghancurkan perlawanan milisi suku Ibadi dan menyerbu ibu kota Imamat di kota Nama. Setelah penindasan pemberontakan ini, Imam Ghalib ben Ali untuk selamanya meninggalkan negara itu. Perlu diketahui di sini bahwa pada paruh pertama tahun 1960-an, merupakan awal dari perubahan besar-besaran di bagian selatan wilayah Jazirah Arab. Secara khusus, pada tahun 1962 kekuasaan Imam di Yaman digulingkan. Sementara itu, di wilayah protektorat Inggris di Arab Selatan, sedang berlangsung pembentukan gerakan pembebasan nasional revolusioner, yang tujuannya tidak hanya untuk membebaskan diri dari kendali Inggris, tetapi juga untuk melakukan reformasi politik skala besar masyarakat Arab Selatan. Untuk Oman, tahun-tahun ini ditandai dengan dimulainya perang yang panjang di Dhofar.

DHOFAR

Dhofar adalah salah satu bagian bersejarah dari Oman. Yang paling barat, berbatasan dengan wilayah Yaman (yang selama periode peristiwa yang dikisahkan ini dikenal dengan nama negara Federasi Arab Selatan), provinsi Oman ini berbeda tidak hanya dalam kondisi alam, tetapi juga dalam komposisi etnis penduduk. Tidak seperti wilayah Oman lainnya, di Dhofar, selain orang Arab, terdapat juga komponen orang-orang non-Arab yang signifikan, yang disebut “Kara”. Di bawah nama ini, kelompok suku lokal yang berbicara bahasa Arab Selatan, terutama Zofari. Mereka berbeda dari penduduk Oman lainnya berdasarkan jenis ras mereka, dengan kulit lebih gelap, yang secara jelas dimanifestasikan oleh penampilan mirip orang Etiopia dan kulit hitam. Kara telah melestarikan budayanya yang unik, yang berbeda dari budaya Oman lainnya. Dalam sejarah dunia, Dhofar dikenal sebagai tempat lahirnya kemenyan. Dari sinilah dupa terkenal di dunia ini berasal, yang digunakan dalam kebaktian di gereja-gereja. Di zaman kuno dan Abad Pertengahan, kapal pengangkut yang memuat dupa, komoditas lokal utama, berangkat dari pelabuhan Dhofar. Dhofar memiliki hubungan perdagangan tidak hanya dengan wilayah pantai Afrika Timur – dengan Eritrea, Somalia, Zanzibar, tetapi juga dengan Iran dan Irak, serta dengan India. Untuk waktu yang lama, tanah Dhofar berada di bawah kendali penguasa Yaman, tetapi akhirnya berada di bawah kendali Kesultanan Muscat dan Oman. Penduduk Dhofar berbahasa Arab Selatan menganggap diri mereka sebagai bagian dari populasi yang tertindas di wilayah kesultanan, yang sebagian besar pendapat tersebut cukup masuk akal. Apalagi jika memandang bahwa Dhofar menjadi sasaran eksploitasi ekonomi oleh para Sultan, namun, para Sultan itu tidak peduli dengan standar hidup penduduk di wilayah tersebut. Sultan Muscat dengan mudah mengambil semua pendapatan dari eksploitasi sumber daya alam di wilayah itu, tanpa meninggalkan dana tersisa untuk memelihara infrastruktur sosial di provinsi tersebut. Ketika pengembangan intensif ladang minyak dimulai di Dhofar, penduduk setempat memutuskan untuk menyatakan hak-hak mereka dengan perjuangan bersenjata. Patut dicatat bahwa, terlepas dari keterbelakangan kondisi sosial dan ekonomi secara umum di Dhofar, di sinilah kediaman Sultan Muscat Said bin Taimur berada. Tidak seperti wilayah Kesultanan lainnya, Dhofar dianggap sebagai milik pribadi Sultan. Untuk kediaman raja dipilih iklim yang paling cocok, yakni kota Salalah. 

Dhofar diantara Provinsi-provinsi Oman lainnya. (Sumber: https://www.worldatlas.com/)
Tanaman tebu ditanam dengan sistem irigasi Rizat di Dhofar Governorate, tahun 1948. Dhofar merupakan provinsi terbesar di Kesultanan Oman, namun paling terbelakang, hal ini menimbulkan ketidakpuasan diantara masyarakatnya. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)

Namun, wilayah Dhofar yang tersisa tetap tidak dapat diakses dan sangat terbelakang, penduduk mereka hidup terutama dari pertanian subsistence, dengan menjalankan pola pertanian primitif, peternakan, dan penangkapan ikan. Di Dhofar ada banyak orang yang buta huruf, dengan hampir tidak ada tempat perawatan medis dan sekolah modern. Sheikh Mussalim Ibn Nafl, salah satu pemimpin suku Dhofar, tidak senang dengan kebijakan Sultan dan terinspirasi oleh seruan anti-Inggris dari Imam Oman, Ghalib ben Ali Al-Hin, yang mendorongnya untuk mendirikan Front Pembebasan Dhofar/Dhofar Liberation Front/DLF. Karena pada saat itu telah terjadi konflik perbatasan antara Muscat dan Arab Saudi, yang terakhir ini tidak gagal untuk menikam kesultan Muscat dengan mengalokasikan sejumlah uang untuk kelompok Front Pembebasan Dhofar, serta senjata dan alat transportasi. Karena DLF pertama-tama memposisikan dirinya sebagai, sebuah organisasi anti-kolonial, serangan pertama mereka ditujukan pada sasaran-sasaran Inggris di Dhofar. Pada bulan Desember 1962, para militan melakukan serangan pengalihan ke pangkalan udara di ibu kota Dofar Salalah, dan juga menyerang beberapa kargo minyak. Setelah serangan di pangkalan dan kargo minyak, dinas rahasia Saudi mengumpulkan kelompok Ibn Nafl dan mengirimnya ke Irak, di mana para pendukung kemerdekaan Dhofar meningkatkan pengetahuan mereka dalam melakukan peperangan. Setelah kembali dari pelatihan unit-unit DFL, pada tahun 1964, menyerang tempat-tempat penambangan minyak yang sedang mulai dibangun. Sejalan dengan serangan-serangan itu, Front Pembebasan Dhofar meningkatkan kualitas pelatihan para pejuangnya, dan di antara instruktur yang melatih para partisan dalam dasar-dasar operasi militer, ada mantan tentara tentara Sultan Muscat dan mantan personel Trucial Oman Scout, sebuah unit paramiliter bentukan Inggris.

PECAHNYA PEMBERONTAKAN DI DHOFAR

Sultan Muscat, Said bin Taimur adalah contoh khas dari apa yang disebut sebagai golongan “Elit kolonial”. Dia dididik di Mayo College di India, yang dikenal sebagai “College of Princes”, dan setelah mendapat persetujuan atas takhta sultan, dia menempatkan perwira dan pejabat Inggris di hampir semua pos penting di negara itu. Satu-satunya menteri asal Oman adalah Ahmed bin Ibrahim, yang menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dan sebenarnya adalah kepala pemerintahan Oman, yang mengelola negara atas nama Sultan. Said bin Taimur awalnya meremehkan bahaya pemberontakan di Dhofar dan membentuk milisi Dhofar yang terdiri dari 60 pejuang untuk melawan kaum pemberontak. Para pemberontak ini awalnya hanya dianggap cuma bisa mengganggu Angkatan Bersenjata Sultan (Sultan Armed Force/SAF). Dalam Angkatan Bersenjata Sultan, para perwira yang diperbantukan dan yang dikontrak dari Inggris memegang jabatan di kepemimpinan, yang terdiri dari dua ribu prajurit, termasuk sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Sultan (CSAF). Para perwira dan prajurit yang lebih rendah terdiri dari orang-orang Arab dan Baluchi, dimana yang terakhir merupakan gambaran warisan koloni luar negeri Oman di Gwadar, Pakistan. Setelah menjalin hubungan dengan Kesultanan pada tahun 1646, Inggris sangat ingin mempertahankan kekuasaan Sultan. Kepentingan Inggris yang berkelanjutan di Oman terletak pada keberadaan cadangan energi dan lokasi geostrategisnya, yang mengendalikan pesisir selatan Selat Hormuz. Namun, karena terhambat oleh kendala ekonomi dan masalah politik, keterlibatan Inggris di Oman tetaplah terbatas. Sementara itu keraguan besar akan kemampuan milisi bentukan Sultan dalam menekan pemberontak semakin terlihat.

Sultan Oman, Said bin Taimur menyaksikan manuver militer di Aldershot Inggris tahun 1938. Sedari awal, Sultan Oman merupakan sekutu dekat Inggris, kelangsungan kekuasaannya amatlah penting bagi Inggris. (Sumber: https://www.theguardian.com/)
Seorang prajurit Angkatan Bersenjata Sultan Oman pada tahun 1970. Pada awal pemberontakan di Dhofar, pasukan yang setia pada Sultan tidak kompeten dan punya perlengkapan yang buruk. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada bulan April 1966, orang-orang dari pasukan milisi Dhofar malah berusaha membunuh Sultan. Said bin Taimur tidak terluka, tetapi kemudian memilih bersembunyi di wilayah kediamannya di Salalah, dan tidak lagi muncul ke publik. Pada saat yang sama, pasukan sultan mulai berperang melawan para pemberontak. Perlu dicatat bahwa tentara Sultan berperilaku sangat kejam terhadap para penduduk Dhofar. Desa-desa dibakar, dan sumur-sumur dibeton. secara umum, ini bukan hanya perang melawan pemberontak, melainkan sebuah genosida penduduk sipil. Sementara itu, kejadian berskala besar sedang berlangsung di wilayah tetangga Kesultanan, yakni di Federasi Arab Selatan. Bahkan pada 1963, di wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Yaman, terdapat Front Nasional, yang memimpin perjuangan partisan melawan penjajah Inggris. Para pemberontak, bercokol di daerah pegunungan Radfan, membuat markas dan tempat berlindung di sana. Para pejuang kemerdekaan Arab Selatan lalu terinspirasi oleh contoh yang ada negara tetangganya Yaman Utara, di mana pada tahun 1962 imamat di sana digulingkan dan pembentukan negara Arab sekuler diluncurkan, dengan fokus pada bekerjasama dengan kaum Nasserite Mesir. Beberapa imigran dari Yaman Selatan turut mengambil bagian paling langsung dalam penggulingan imamat, setelah itu mereka kembali ke komunitas mereka dengan senjata di tangan, dan memulai perlawanan terhadap pasukan Inggris. Pada bulan Januari 1967 terjadi kerusuhan di kota pelabuhan Aden. Akhirnya, Inggris mulai menarik pasukan dari Aden. Pada tanggal 29 November 1967 Wilayah Aden akhirnya ditinggalkan oleh pasukan Inggris, dan pada tanggal 30 November 1967 dideklarasikan kemerdekaan Republik Rakyat Yaman Selatan. Presiden pertamanya adalah Kahtan al-Shaabi. Di Yaman Selatan, tanah para sultan di wilayah bekas Federasi Arab Selatan dinasionalisasi. 

Pasukan Inggris mundur dari wlayah Aden, Yaman bulan November 1967. Kepergian Inggris dan lahirnya Yaman Selatan mendorong para pemberontak Dhofar untuk mengobarkan perang pembebasan. (Sumber: https://www.youtube.com/)
Republik Marxist Yaman Selatan yang berbatasan langsung dengan Dhofar di Oman. Yaman Selatan diketahui aktif membantu para pemberontak kiri di Dhofar bersama dengan negara-negara komunis lainnya. (Sumber: https://www.internal-displacement.org/)

Penarikan pasukan Inggris dari Aden dan terjadinya revolusi republik di negara tetangga Yaman Selatan jelas membuat kesan yang tak terlupakan pada kaum oposisi di Oman. Di dalam barisannya, kelompok sayap kiri, yang diwakili oleh para pendukung sosialisme Arab, juga meningkat. Banyak tokoh oposisi Oman sempat menetap di Yaman Selatan, di mana basis pelatihan Front Pembebasan Dhofar didirikan beberapa kilometer dari perbatasan dengan Kesultanan Muscat dan Oman. Pada bulan September 1968 diadakan kongres kedua Front Pembebasan Dhofar, yang berakibat para tokoh politik radikal dari kelompok kiri mengambil alih pimpinan. Front pembebasan Dafar lalu berganti nama menjadi Popular Front for the Liberation of the Occupied Arabian Gulf/PFLOAG (kemudian berubah lagi menjadi Popular Front for the Liberation of Oman). Sheikh Ibn Nafl, yang memperjuangkan tentang otonomi Dhofar, disingkirkan dari kepemimpinan organisasi. Ia digantikan oleh para pemimpin yang lebih muda dan lebih agresif, yang telah merasa mendapatkan sedikit otonomi dan adanya modernisasi sosio-ekonomi di wilayah Dhofar. Mereka punya cita-cita yang lebih besar, dengan menganjurkan penggulingan pemerintahan sultan dan menggantikannya dengan model seperti negara tetangganya, Yaman Selatan dan membentuk republik rakyat demokratis. Republik Rakyat Yaman Selatan kini menjadi sekutu strategis utama kelompok itu, dengan memberikan pelatihan dan dukungan logistik bagi para militan. Di antara negara “kelas berat” dunia, yang tertarik dengan pemberontakan di Dhofar adalah China. Berusaha untuk memperluas kendali atas gerakan revolusioner dunia, kaum Maois China menjalin hubungan diplomatik dengan Yaman Selatan dan membuka hubungan dengan Popular Front for the Liberation of the Occupied Arabian Gulf. Dukungan dari Yaman Selatan dan RRC telah sangat membantu posisi pemberontak kiri Dhofar, yang dalam bahasa Arab kerap disebut sebagai “Adoo” (artinya musuh) oleh pasukan Sultan. Orang-orang China selain memberikan pelatihan dan indoktrinasi untuk pemimpin gerilya DLF di China, para penasehatnya konon turur menemani DLF dalam operasi militer. Dukungan dari negara komunis lainnya juga mengalir, seperti Korea Utara yang melatih pemberontak Dhofari dalam teknik pembunuhan dan sabotase, sementara Uni Soviet dan Kuba juga menyediakan senjata dan pelatihan.

Petempur wanita pemberontak Dhofar. Banyak personel pemberontak Dhofar memperoleh pelatihan dari Soviet dan China. (Sumber: https://www.facebook.com/)

Pada tahun 1969, kelompok militan Dhofar berhasil merebut satu-satunya jalan raya yang mengarah ke utara negara itu. Pada bulan Agustus 1969 kota Rakhyut direbut. Pemberontak lalu merebut sebagian besar wilayah Jebel di Dhofar. Kebijakan transformasi radikal sebagai fondasi sosial di Dhofar kemudian diluncurkan. Secara khusus, pemberontak menembak beberapa syekh Dofar, sementara yang lainnya dilemparkan dari tebing. Pada saat ini, front akhirnya menentukan ideologinya, dengan menyatakan berorientasi pada paham Marxis-Leninis. Para Partisan baru dan yang masih aktif lalu dilatih di negara tetangga Yaman Selatan, di RRC, dan di Uni Soviet. Di Uni Soviet, kelompok pemberontak dari Dhofar dilatih di Krimea, dimana di sana, di desa Perevalnoe, terdapat Pusat Pelatihan ke-165 untuk melatih personel militer asing dari Staf Umum Kementerian Pertahanan Uni Soviet. Para pemberontak kemudian dibagi menjadi unit-unit senapan bersenjatakan AK-47, dan senapan karaben semi otomatis SKS. Mereka juga diketahui menggunakan senapan mesin berat (DShK), mortir dengan kaliber 82mm dan roket 140mm BM-14 atau 122mm “Katyusha”. Pada saat yang sama, sebagian besar pemberontak dipersenjatai dengan senjata usang. Namun, faktor terakhir ini tidak mencegah mereka unggul dalam merebut kendali atas wilayah Dhofar. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa di berbagai provinsi, jumlah pasukan bawahan Sultan Muscat dan Oman sangat kecil, yakni tidak lebih dari 1.000 orang yang bertugas di unit-unit yang tersebar di bawah komando para perwira junior, bersenjata buruk dan praktis tidak terlatih.

Pejuang Front Populer untuk Pembebasan Oman, tahun 1977. Persenjataan gerilyawan Dhofar umumnya berasal dari negara-negara blok timur. (Sumber: https://thestrategybridge.org/)
Pasukan Oman dengan senapan FN-FAL. Senapan modern baru diterima militer Oman pada akhir tahun 1969, sebelumnya mereka hanya mengandalkan senjata-senjata era masa Perang Dunia II. (Sumber: https://thestrategybridge.org/)

Mereka dipersenjatai, dengan terutama senjata-senjata antik era Perang Dunia II seperti senapan bolt-action, yang daya tembaknya lebih rendah dari senjata api modern PFLOAG. Senapan ini baru diganti oleh senapan FN FAL pada akhir tahun 1969. Bahkan pakaian dan sepatu SAF compang-camping dan tidak cocok untuk medan tempat mereka dikirimkan. Sebaliknya di pihak pemberontak dengan mengalirnya berbagai persenjataan modern, mereka sekarang berjumlah sekitar 6.000 orang. Jumlah bentrokan antara pasukan pemerintah dan pemberontak meningkat dari satu atau dua setiap minggunya pada tahun 1967 menjadi dua atau tiga per hari pada tahun 1969. Pada tahun 1970, PFLOAG menguasai sekitar 80% wilayah Dhofar. Dengan perkembangan ini, Inggris ragu bahwa Sultan dapat mempertahankan provinsi tersebut pada tahun berikutnya. Inggris khawatir kemenangan komunis di Dhofar akan memiliki efek domino di negara-negara Teluk Arab lainnya, yang mendorong gerakan radikal regional lainnya untuk bangkit melawan pemerintah mereka (yang umumnya memiliki hubungan cukup dekat dengan Inggris). Apa yang dimulai sebagai pemberontakan suku kecil bisa segera bermetamorfosis menjadi gerilyawan terkemuka dengan dukungan dari pihak asing yang signifikan dan punya implikasi geostrategis yang serius. Pada 1960-an, lebih dari 60% minyak mentah dunia barat berasal dari Teluk, dimana kapal tanker raksasa yang melewati kemacetan selat Hormuz melintas setiap 10 menit. Saat minyak mengalir, ekonomi lokal berkembang dan menjadi pasar penting bagi barang-barang ekspor Inggris. London tentu ingin melindungi kepentingannya di kawasan itu dan sekaligus penguasa lokal yang mendukung mereka.

SULTAN QABOOS DAN TITIK BALIK PEMBERONTAKAN

Sementara itu, titik balik tidak hanya untuk Perang Dhofar, tetapi juga untuk seluruh sejarah modern Oman, terjadi pada tahun 1970. Di Oman Utara, pihak yang berpikiran sama pemberontak Dhofar, pada tahun 1969 membentuk National Democratic Front for the Liberation of Oman and the Arabian Gulf. Setelah gerilyawan Dhofar melakukan beberapa serangan terhadap pejabat pemerintah, beberapa anak buah Sultan dan perwira Inggris di belakangnya menyimpulkan bahwa, untuk mencegah perkembangan buruk di Kesultanan, agar tidak mengikuti skenario yang terjadi di Yaman sebelumnya, maka dianggap perlu untuk dilakukan pergantian penguasa negara dari Sultan Said bin Taimur, setelah Sultan enggan melakukan perubahan dalam kebijakannya memerintah. Komplotan dalam melawan Sultan ini dipimpin tidak lain oleh putranya sendiri, Qaboos bin Said. Tidak seperti ayahnya, Qaboos yang berusia dua puluh sembilan tahun (ia lahir pada tanggal 18 November 1940 tahun itu) adalah seorang politikus yang lebih kompeten dan cerdas. Mengenai hal ini mungkin beberapa peristiwa penting dalam kisah hidupnya turut berkontribusi. Qaboos lulus dari Akademi Militer Kerajaan yang terkenal dari Angkatan Darat Inggris di Sandhurst, setelah itu dia bertugas selama dua tahun di batalion infanteri Inggris, dia belajar di mata kuliah kepala staf di Republik Federal Jerman. Pada tahun 1964, Qaboos kembali ke Oman, tetapi setahun kemudian ia ditempatkan di bawah tahanan rumah oleh Sultan yang takut putranya sendiri akan menuntut takhtanya dan bersikap kritis terhadap kebijakannya yang lemah. Pada tanggal 23 Juli 1970 di Salalah – tempat kediaman Sultan – terjadi kudeta militer. Sebuah Resimen dari tentara Sultan diperintahkan untuk mengepung istana di Salalah. Sheikh Barak bin Hamoud, seorang perwira Inggris Timothy Landan, yang menjabat sebagai perwira senior dinas intelijen Sultan di provinsi Dhofar dan beberapa pasukan khusus SAS Inggris, berbaris ke kediaman Sultan. Sultan Said mencoba melawan. Dia melukai dengan menembak perut salah satu pemimpin konspirasi, Sheikh Braik Al Ghafri, dengan pistol, dan juga, berusaha mengisi ulang pistolnya, yang secara tidak sengaja menembak kakinya sendiri. Said bin Taymur yang terluka kemudian dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri dari tahtanya, setelah itu dia dirawat dan dikirim ke London. Di ibu kota Inggris, Sultan tinggal sampai kematiannya. Sultan Qaboos bin Said, yang nantinya akan memerintah Oman selama 50 tahun, kini menjadi penguasa baru negara tersebut. Aksi skala besar pertama Qaboos adalah mengganti nama negaranya menjadi Kesultanan Oman. 

Sultan Qaboos mengkudeta ayahnya Sultan Said bin Taimur dengan dukungan Inggris. Naiknya Qaboos menjadi titik balik sejarah Oman dan Pemberontakan di Dhofar. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Berbeda dengan Said yang dipaksa mundur, Qaboos memahami perlunya modernisasi sosial, ekonomi dan budaya di Oman. Dia mengizinkan adanya penyiaran di dalam negeri, mulai mengembangkan sistem kesehatan dan pendidikan, infrastruktur sosial. Tetapi tugas utama Qaboos di tahun-tahun awal pemerintahan adalah berjuang melawan pemberontak Dhofar. Untuk tujuan ini, Sultan baru ini memulai modernisasi besar-besaran tentara Oman. Sultan memutuskan untuk mencari basis keuangan untuk reformasi yang akan datang, baik sosial maupun militer, dari eksploitasi dan ekspor sumber daya alam negara itu. Produksi minyak kemudian telah secara signifikan memperbaiki situasi negara, termasuk kesejahteraan warga negaranya. Qaboos juga mengirimkan sejumlah besar uang untuk memodernisasi Dhofar, yang merupakan provinsi paling terbelakang pada tahun 1970 di negara itu. Sementara itu, reorganisasi angkatan bersenjata Oman dimulai dengan bantuan spesialis asal Inggris. Pelatihan tentara Sultan melibatkan instruktur dari Korps Marinir Inggris dan resimen SAS ke-22. Perwira dan sersan Inggris, serta tentara Pakistan, ditempatkan pada semua unit tentara Sultan. Selain itu, para ahli Inggris terlibat dalam penyediaan radar dan pengintaian artileri bagi tentara Oman. Inggris juga membantu menciptakan hampir semua jenis kelengkapan dalam angkatan bersenjata Kesultanan Oman, termasuk badan intelijen dan kontraintelijen. Selain itu, untuk memimpin banyak struktur kekuasaan kesultanan, Qaboos mempekerjakan mantan dan perwira tentara Inggris serta unit-unit khusus. Bantuan Inggrislah yang sebagian besar berkontribusi pada fakta bahwa Sultan lalu berhasil memperoleh keunggulan atas para pemberontak dan akhirnya mengatasi perlawanan mereka. Pertama-tama, perlu dicatat bahwa operasi di Dhofar mencontoh dari operasi serupa, yang sebelumnya dilakukan oleh Inggris dan Pemerintah Malaysia di Malaya saat melawan partisan dari Partai Komunis Malaya. Secara khusus, pembangunan institusi medis, dan sekolah dimulai di Dhofar, sementara penduduk setempat disulut untuk melawan pemberontak, dengan fokus pada ateisme dari ideologi Marxis dan “dampaknya” bagi kaum Muslim. Ditekankan bahwa orang-orang Komunis menyangkal Tuhan dan pada akhirnya akan mengambil dari para petani tidak hanya harta benda mereka, tetapi juga istri-istri mereka. Pada saat yang sama, para dokter Inggris dari Korps Marinir menyelenggarakan layanan medis untuk penduduk Dhofar, yang dengan demikian mereka mendapatkan lebih banyak simpati dari orang-orang yang belum pernah mendapatkan sikap yang begitu baik dari pihak berwenang. 

Tentara Inggris dari Special Air Service memberikan perawatan medis kepada penduduk desa di Dataran Yanqul yang terpencil sebagai bagian dari kampanye merebut “hati dan pikiran” mereka. (Original Source: http://www.iwm.org.uk/collections/item/object/205194968)
Keterangan pada poster Inggris: “Tangan Tuhan Menghancurkan Komunisme”. Isu atheis dari komunisme menjadi sarana pihak Inggris dan Kesultanan Oman untuk mempengaruhi pemikiran rakyat Dhofar yang mayoritas Muslim. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Untuk melawan para pemberontak, unit-unit milisi direkrut, dibuat dengan bantuan instruktur SAS dan disebut SEP (Surrendered Enemy Personnel). Pasukan lokal yang direkrut oleh pemerintah Sultan, serta para pembelot dari kelompok pemberontak, direkrut ke dalam unit-unit ini. Yang terakhir ini jumlahnya lebih dari 800 orang. Semua pemberontak yang memutuskan untuk menyeberang ke sisi Sultan dijanjikan amnesti, yang pada akhirnya juga turut berkontribusi pada banyaknya desersi di unit-unit pemberontak Dhofar. Dalam waktu 6 bulan, lebih dari 300 orang telah memutuskan untuk menyerah, termasuk pencetus pemberontakan, Mussalim al Nafl. Penggunaan para desertir dan pembelot, pertama-tama, memungkinkan pihak Sultan untuk memperoleh informasi tentang keberadaan di kamp pemberontak, lokasi posisi pertahanan utama dan kamp pelatihan, kepribadian para pemimpin organisasi serta aktivis utamanya. Mereka yang membelot ini, kemudian dimasukkan ke dalam pasukan non reguler baru yang disebut firqat. Strategi ini adalah gagasan SAS, berdasar pengalaman mereka memperkerjakan personel suku asli sebagai pengintai dan pelacak selama kampanye anti pemberontak di Malaya dan Konfrontasi melawan Indonesia di pulau Kalimantan. Firqat berukuran setingkat peleton hingga satuan seukuran kompi yang dipimpin oleh para personel SAS. Delapan belas unit Firqat, masing-masing berjumlah antara 50 dan 150 orang, akhirnya dibentuk. Mereka biasanya menamai diri mereka dengan nama-nama tokoh militer Islam, seperti Firqat Salahuddin atau Firqat Khalid Ibn Walid (sebaliknya, beberapa unit PFLOAG juga menamai diri mereka sendiri dengan nama tokoh-tokoh ideologi komunis, seperti Ho Chi Minh atau Che Guevara). SAS kemudian memperkenalkan dua senjata baru untuk mendukung firqat yang lincah bergerak tetapi dilengkapi dengan ringan, yakni senapan mesin GPMG yang bisa menembak dengan cepat, dan dapat memberikan daya tembak yang lebih berat daripada senapan mesin ringan Bren yang sebelumnya tersedia untuk SAF, dan senapan mesin berat Browning M2, yang digunakan untuk menandingi senapan mesin DShK yang digunakan oleh Adoo.

Unit Firqat yang direkrut dari warga Dhofar untuk memerangi gerilyawan komunis. (Sumber: https://www.atheer.om/)
Tampilan pasukan khusus SAS Inggris dan gerilyawan Dhofar tahun 1973. Nampak pada gambar prajurit SAS menyandang senapan mesin GPMG, sedangkan pemberontak Dhofar menyandang varian senapan AK. (Sumber: https://forums.taleworlds.com/)

Unit-unit penduduk lokal ini terbukti sangat berharga dalam hal-hal tertentu, karena memiliki pengetahuan yang mendalam tentang para pemberontak, medan, dan punya kepekaan terhadap budaya lokal yang tidak dimiliki SAF. Sebelum adanya firqat, hampir tidak ada warga Dhofar yang bertugas di SAF, yang berarti bahwa SAF sering dipandang sebagai tentara pendudukan asing. Selain berfungsi sebagai pelacak dan pemandu, mereka juga berguna dalam peran tambahan, yakni mempertahankan area yang telah dibuka oleh SAF. Untuk melemahkan pemberontak, SAF juga berusaha untuk mengganggu dukungan Yaman Selatan bagi pemberontak Dhofar dengan gantian mensponsori gerilyawan proksi di wilayah gurun di perbatasan Yaman-Oman. Pada awal tahun 1969, dinas intelijen MI6 Inggris berhasil membujuk suku nomaden Mahra, yang mendiami wilayah tersebut, untuk melancarkan pemberontakan anti-komunis untuk mengganggu jalur suplai PFLOAG. Mahra, dengan menggabungkan keterampilan penyerbuan orang-orang nomaden dengan menggunakan senjata modern dan Land Rover yang dipasok Inggris, menyerang perbentengan yang diandalkan PFLOAG untuk menjaga jalur pasokan mereka. Mahra terbukti mampu melakukan kerusakan parah di garis belakang musuh dan mengurangi tekanan pada SAF. Pada tahun 1972, Mahra yang dipimpin oleh para personel SAS, berhasil mengikat setidaknya empat batalyon pasukan Yaman Selatan hingga akhir perang. Sementara itu, Wali Dhofar (Sheikh Barak bin Hamoud) lalu diangkat menjadi Gubernur, Brigadir Inggris Jack Fletcher diangkat menjadi Gubernur Militer (Brigjen John Akehurst menggantikannya pada tahun 1972). Pasukan Inggris juga mengambil bagian langsung dalam perang melawan partisan. Setelah itu, operasi terpenting adalah mengusir pemberontak dari wilayah dataran tinggi timur provinsi Dhofar. Skuadron “G” SAS, sebuah batalyon pasukan Sultan dan 5 detasemen SEP berpartisipasi dalam operasi yang dinamai Operasi Jaguar. Keseluruhan komando dari satuan-satuan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel dari “Royal Irish Rangers” Johnny Watts. Sementara untuk unit cadangan dipegang oleh skuadron B SAS di bawah komando Richard “Duke” Pirie.

OPERASI JAGUAR

Tujuan dari Operasi Jaguar adalah untuk mendapatkan kembali kendali atas djeble (pegunungan) dan membangun basis permanen di sana. Saat itu Pemerintah Inggris hanya mengizinkan satu skuadron SAS untuk beroperasi di Dhofar dalam satu waktu. Namun, karena besarnya operasi, Watts diizinkan untuk membawa Skuadron B SAS juga untuk bertindak sebagai pasukan cadangan. Dilibatkannya Skuadron B yang dipimpin oleh Richard Pirie ini terbukti sangat penting. Pada saat operasi dimulai, hanya 40 anggota dari Skuadron G yang cukup fit untuk turun ke lapangan karena banyak pasukan yang dikirimkan telah tertular hepatitis dari air yang tercemar. Komandan dari Skuadron G adalah salah satu dari orang-orang ini. Untuk sementara, Komando Skuadron G lalu diserahkan kepada Shaun Brogan. Rencananya dalam Operasi Jaguar, pasukan utama untuk memasuki pegunungan dari arah utara sementara kekuatan pengalihan yang lebih kecil akan menyerang unit-unit Adoo di sebelah timur. Kekuatan yang lebih kecil, yang dipimpin oleh Brogan segera berada di bawah tembakan penembak jitu jarak jauh dari para Adoo saat mereka maju ke djeble. Adoo menembak dalam jarak yang sangat jauh sehingga banyak peluru mereka dihabiskan sebelum mereka tiba di target yang mereka pilih. Ketika Brogan memimpin anak buahnya lebih jauh ke dalam djeble, serangan frekuensi serangan semakin meningkat. Pada malam ketiga, personel SAS telah melakukan kontak besar pertama mereka dalam operasi saat mereka bergerak menuju sekelompok bukit rendah. Personel SAS diserang dari atas bukit, namun terus menyerang. Brogan dan anak buahnya dengan mudah mengambil alih bukit itu dan mengatur posisi bertahan. Keesokan paginya mereka diserang musuh dengan hebat dan Sersan Steve Moores terluka parah di perutnya. Serangan itu kemudian berhasil dipukul balik oleh personel SAS dan Firqat dengan menggunakan mortir. Sgt. Moores lalu dibawa dengan helikopter ke pangkalan RAF di Salalah tempat dia dioperasi. Sayangnya dia meninggal di pesawat saat diterbangkan kembali ke Inggris untuk menjalani perawatan lebih lanjut. 

Mayor Richard (‘Duke’) Pirie M.C. Perwira Komandan Skuadron B Resimen SAS ke-22. Pirie berperan aktif dalam Operasi Jaguar melawan gerilyawan Dhofar pada bulan Oktober tahun 1971. (Sumber: https://twitter.com/)
Tampilan seragam pasukan SAS dalam Operasi Jaguar. (Sumber: https://www.sites.google.com/)

Sementara itu, kedua kekuatan SAS bergabung segera setelah itu dan membentuk pertahanan yang kuat di djeble. Sebelum Operasi Jaguar, pasukan Sultan telah mencoba berkali-kali untuk mengusir Adoo dari djeble. Tetapi, pada setiap kesempatan, Adoo menemukan bahwa jika mereka berjuang gigih selama beberapa hari maka pasukan pemerintah akan mundur dan meninggalkan djeble. Kali ini situasinya akan berbeda. SAS kini menempatkan diri mereka di atas bukit yang mereka sebut sebagai “Porkchop Hill”. Adoo kemudian menyerang dengan kekuatan penuh dengan berpikir bahwa mereka akan bisa mengusir orang-orang asing itu dalam beberapa hari. Pertempuran lalu berlangsung selama 4 hari dengan lebih dari 40 serangan terjadi. Di sini, personel SAS akan mendapat lebih banyak tembakan musuh daripada tentara Inggris mana pun sejak Perang Korea berakhir. Adoo yang menyerang mereka dipersenjatai dengan senapan varian AK-47, senapan semi-otomatis SKS, senapan ringan kaliber 7.62 mm, senapan mesin berat kaliber 12,7 mm, dan mortir. Semua daya tembak ini diarahkan ke dalam posisi pasukan SAS. Para personel SAS kemudian memberikan membalas dengan apapun yang mereka punya, termasuk tembakan mortir dan senapan mesin, tetapi posisi mereka makin kritis. Pada satu titik sekelompok Adoo berhasil mendekati posisi Sersan. Mick Seal, sehingga ia harus mengangkat kaki belakang dari tripod senapan mesinnya agar dapat menembak Adoo yang ada di bawah. Pada akhirnya serangan itu dapat dipatahkan. Watts, kini memantapkan posisinya di salah satu bagian djeble, dan mulai menyebarkan kekuatannya dan membangun titik-titik kuat lainnya di seluruh djeble. Diharapkan bahwa titik-titik kuat ini akan menghalangi Adoo untuk membawa senjata dan pasokan dari Yaman. Watt lalu menamakan garis yang terbentuk dari posisi-posisi ini sebagai Garis Macan Tutul/Leopard. Selain itu, para personel SAS juga membangun posisi pertahanan yang lebih kecil yang disebut sangar, yang merupakan bunker batu kecil; sebuah trik yang telah dipelajari resimen ini selama mereka berada di Jebel Akhbar pada tahun 1958. 

Pertahanan ala “landak” yang dikenal dengan nama Sangar, terbuat dari drum minyak berisi pasir, untuk melindungi lapangan terbang Salalah di Dhofar yang dikuasai Inggris. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pasukan SAS dan sekutu Firqatnya. Hubungan antara personel SAS dan Firqat dikenal dekat, namun hal ini tidak berarti semuanya berjalan mulus. (Sumber: https://www.pinterest.fr/)

Dari benteng-benteng ini, Watts mengirimkan patroli-patroli untuk melakukan kontak dengan Adoo. Watts kerap memimpin dari garis depan dan terkadang dia dan dua komandan skuadronnya turut memimpin patroli. Semua perwira SAS dan para prajurit sangat dekat dengan personel Firqat mereka, yang membentuk persahabatan yang luar biasa di medan tempur. Para Firqat terbukti kerap berjuang keras tetapi kadang-kadang agak sulit untuk diajak bekerja sama. Suatu hari mereka akan melawan Adoo dengan mati-matian, namun di hari berikutnya mereka akan memutuskan untuk mengambil cuti. Jika ini terjadi selama kontak besar dengan Adoo, Watts akan dipaksa untuk menggunakan personel Skuadron B cadangannya untuk bertarung sebagai bagian dari kekuatan utamanya. Pertarungan memperebutkan djeble kemudian berubah menjadi pertarungan sengit, dengan kedua belah pihak saling bersaing untuk mendapatkan kendali atas wilayah tersebut. Kedua Skuadron SAS mulai kelelahan selama periode pertempuran yang lama tetapi Adoo menderita lebih banyak korban. Mereka kini tidak lagi ingin menghadapi SAS dari jarak dekat tetapi lebih memilih untuk menembak dari jarak jauh. Skuadron B telah menderita banyak korban selama operasi dan ketegangan mulai terlihat. Pada satu titik, Duke Pirie, komandan Skuadron B, menolak untuk mengirim anak buahnya ke medan perang ketika diperintahkan oleh Watts. Ini sama sekali bukan tindakan pengecut dari Pirie, dia hanya muak kehilangan anak buahnya. Dia akhirnya hanya setuju untuk membawa Skuadronnya beraksi setelah Watts mengancam akan menembaknya di tempat. Skuadron B kemudian akan bertempur dan bertarung dengan keras melawan Adoo. Lebih banyak personel SAS terbunuh dalam pertempuran ini, tapi akhirnya mereka berhasil mematahkan cengkeraman Adoo di kawasan djeble.

Ilustrasi pertempuran di Mirbat, dimana pasukan SAS dan SAF bertempur dan menang melawan para Adoo. (Sumber: https://www.pinterest.fr/)

Pada musim panas tahun 1972 hampir semua Adoo telah diusir dari djeble. SAS sekarang mengkonsolidasikan cengkeraman mereka di pegunungan dan melakukan jenis peperangan lain. Kali ini adalah operasi merebut hati dan pikiran rakyat. Sebuah basis permanen didirikan di tempat yang disebut sebagai “Kota Putih” dan kemudian namanya diubah menjadi Medinat Al Haq, atau tempat harapan. Sementara itu, operasi penting Inggris lainnya adalah pertahanan kota Mirbat, yang diserang oleh detasemen pemberontak yang terdiri dari 250 orang. Pada dini hari tanggal 19 Juli 1972, tim SAS yang beranggotakan sembilan orang dan 51 personel SAF-Firqat-Baluchi harus menghadapi gelombang serbuan pasukan pemberontak. Setelah empat jam pertempuran, delapan puluh enam adoo terbunuh, dan hampir lima puluh lainnya luka-luka. SAS, sebagai bandingan, kehilangan satu tentara, dan tiga lainnya luka-luka. Dengan bantuan Inggris, pasukan Sultan akhirnya berhasil merebut wilayah Dhofar Timur, mendirikan benteng strategis yang diperkuat dengan garnisun sebesar satu peleton atau setingkat kompi tentara di tempat-tempat strategis di pegunungan. 

BANTUAN BERDATANGAN DARI PARA TETANGGA

Pada bulan Januari 1974, pemberontak Dhofar diubah namanya menjadi Popular Front for the Liberation of Oman. Namun, saat ini mereka tidak lagi memiliki posisi yang mereka miliki sebelumnya – pada pergantian tahun 1960-an dan 1970-an. Faktanya, unit pemberontak hanya bisa beroperasi di wilayah Dhofar Barat, yang perbatasan dengan Yaman Selatan, utamanya didorong oleh dukungan yang berasal dari sana. Sementara itu bantuan dari Soviet dan China kepada para pejuang kemerdekaan Dhofar berangsur-angsur mulai menurun. Pada saat yang sama, Sultan Qaboos berhasil mendapatkan dukungan dari Shah Iran. Shah Iran, Reza Shah Pahlavi, menyaksikan situasi yang sedang berlangsung di Oman dengan perhatian besar. Selain memiliki ambisi agar Iran bisa mendapatkan kembali tempatnya sebagai kekuatan regional di Timur Tengah, Shah mengkhawatirkan penyebaran komunisme ke Teluk Persia. Shah juga sangat ingin mendukung sesama teman Sultannya, serta sekaligus untuk menguji kekuatan militernya yang diperlengkapi dengan peralatan canggih dalam pertempuran. Pada tanggal 15 dan 16 Februari 1973, Shah mengirim enam helikopter Iran untuk mendukung garnisun SAF di Sarfait yang terpencil, yang telah menghadapi kemungkinan nyata untuk dikalahkan oleh para pemberontak. Pengiriman bantuan ke Sarfait menandakan dimulainya intervensi skala besar oleh Iran. Pada tahun 1974, lebih dari 3.000 tentara Iran sudah bertugas di Oman, termasuk kelompok tempur setingkat brigade Iran dan dengan didukung oleh enam belas jet tempur. Dibandingkan dengan SAF yang kekurangan uang, tentara Iran sangat dimanjakan. Kemampuan transportasi udara yang mereka disediakan oleh pesawat angkut C-130 dan helikopter-helikopter Chinook. Elemen transport ini merupakan kontribusi mereka yang paling menonjol, karena sebelum keterlibatan Iran, helikopter Sultan sendiri sudah mencapai batas kemampuannya. Angkatan Laut Iran kemudian bekerja bersama Angkatan Laut Oman untuk menghalangi jalur pasokan pemberontak di sepanjang garis pantai, serta memberikan dukungan tembakan angkatan laut untuk pasukan di darat. Dengan bantuan Iran, tentara Sultan berhasil membebaskan distrik barat Dhofar dan mendesak unit utama pemberontak kembali ke Republik Yaman Selatan. 

Pasukan Sultan Oman berpatroli dengan kendaraan tempur Panser Saladin buatan Inggris di kawasan Dhofar. (Sumber: https://thestrategybridge.org/)

Sementara itu, bantuan dari tetangga Arab Oman terbukti lebih rumit. Oman telah diisolasi secara diplomatis ketika Qaboos naik tahta, karena banyak negara Arab memandang Sultan sebagai boneka Inggris. Diplomat Inggris dan Oman pada akhirnya dengan sabar menggunakan kemampuan diplomasinya untuk mendamaikan Kesultanan itu dengan Saudi, yang hubungan sebelumnya sangat dingin. Dengan dukungan baru dari Saudi, Kesultanan Oman dapat masuk Liga Arab pada bulan September 1971, dan kemudian diikuti dengan bergabung kedalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengakuan Oman di organisasi-organisasi internasional ini kemudian memiliki efek politik penting selama perang, karena berhasil merampas legitimasi PFLOAG sebagai gerakan perlawanan anti-kolonial yang setara dengan Aljazair Front de Libération Nationale (FLN) atau Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). Setelah itu, dukungan dari negara-negara Arab berdatangan. Raja Hussein dari Yordania yang terbukti sangat ingin membantu, akhirnya mengirim pasukan zeni tempur, pasukan khusus, meriam howitzer, dan jet tempur. Abu Dhabi kemudian mengirim pasukan infanteri untuk menjaga keamanan internal di Oman utara, yang mana hal ini telah membebaskan lebih banyak personel keamanan Oman untuk bisa bertugas di Dhofar. Saudi lalu turut mengirim howitzer dan para pelatih militer. Semua negara Arab yang ikut campur juga akan memberikan bantuan keuangan. Banyak monarki konservatif di Teluk menyadari bahwa kemenangan komunis di Oman mungkin dapat menginspirasi gerakan radikal didalam negeri mereka sendiri. Toh PFLOAG juga tidak pernah merahasiakan tujuan mereka untuk “membebaskan” keseluruhan negara Teluk dari para penguasa lama mereka.

Pasukan Iran bersiap untuk dilibatkan dalam Operasi Nader, Desember 1974. (Sumber: https://thestrategybridge.org/)
Gerilyawan Oman yang kerap disebut sebagai Adoo. Dengan hadirnya berbagai bantuan dari negara-negara tetangganya, militer Oman pada akhirnya mampu untuk mendesak dan menetralisir pemberontakan di Dhofar. (Sumber: https://www.theguardian.com/)

Masuknya dukungan berbagai negara asing ini memungkinkan Qaboos akhirnya membalikkan keadaan melawan para pemberontak. Pada tahun 1975, Sultan memiliki 11.000 tentara di bawah komandonya, termasuk 5.000 orang Oman, 3.000 orang Iran, 1.200 firqat, 1.000 orang Inggris, dan 800 orang Yordania. Ekspansi besar-besaran tenaga dan sumber daya ini memungkinkan SAF berhasil melaksanakan kebijakan pengendalian populasi. Sebuah garis pertahanan yang disebut ‘Hornbeam’ dibangun antara bulan Desember 1973 hingga Juni 1974 dengan bantuan dari para pasukan zeni Yordania dan pasukan khusus Iran. Garis ini membentang sejauh 60 kilometer dari laut ke gurun bagian dalam, dan terbukti berhasil secara serius mengganggu keberlangsungan PFLOAG. Para pemberontak kemudian terpaksa beralih dari menggunakan karavan unta untuk membawa perbekalan senjata dan amunisi dengan berjalan kaki. Untuk memantapkan kesuksesan Hornbeam, pada tahun 1974 Iran membangun garis pertahanan kedua ke arah barat, yang disebut Damavand. Pada bulan Desember 1973 pasukan terjun payung Iran dapat membuka Jalan Tengah, yang menghubungkan Dhofar dengan seluruh wilayah Kesultanan, dan yang kemudian dengan dibantu oleh pasukan khusus Yordania, menjaganya untuk tetap terbuka. Setelah mencatat bahwa orang Iran cenderung mudah menembaki penduduk asli, Inggris lalu membujuk Qaboos untuk menyebarkan pasukan Iran ke wilayah barat yang kurang berpenduduk. Setelah ditempatkan kembali, Iran bersama SAF dan firqat melakukan serangkaian serangan tanpa henti dan bertempur dalam berbagai pertempuran hingga akhir tahun 1975; yang sukses membersihkan Dhofar barat dari kehadiran pemberontak. Seiring dengan pertumbuhan dukungan eksternal untuk Oman, kebalikannya terjadi bagi PFLOAG. Dinamika ini sebagian besar juga disebabkan oleh aliansi asing baru yang dibuat oleh Oman. Mesir di bawah Sadat mencabut dukungan mereka untuk perjuangan pemberontak Dhofar karena Kairo sedang mencari hubungan yang lebih baik dengan negara-negara Teluk Arab. Irak juga meninggalkan dukungan untuk PFLOAG setelah menandatangani Perjanjian Algiers dengan Iran pada bulan Maret 1975. China sendiri pada akhirnya juga akan mengakhiri dukungan untuk pemberontak karena mereka mencari hubungan yang lebih baik dengan Shah Iran. Ketika Oman mulai memantapkan dirinya di kancah diplomatik global, PFLOAG mendapati dirinya semakin terisolasi.

RUNTUHNYA PEMBERONTAKAN DHOFAR

Pada tahun 1975, pemberontak Dhofar hampir telah menghentikan permusuhan, dan pada bulan Januari 1976 secara resmi mengumumkan akhir dari kampanye militer mereka di Dhofar. Hanya beberapa unit garis depan yang terus melanjutkan perlawanan hingga tahun 1979. Saat ini, organisasi tersebut sudah ada di pengasingan di luar negeri dan tidak memainkan peran penting dalam politik Oman. Dalam penumpasan pemberontak kiri di Dhofar, pasukan Oman menderita 187 personelnya tewas dan 559 lainnya luka-luka. Di pihak Inggris, diberitakan 24 personelnya tewas dan 55 luka-luka. Korban terbesar ada di pihak Iran, dengan 719 tentaranya tewas dan 1.404 lainnya terluka. Di pihak pemberontak diperkirakan 1.400 tewas dan 2.000 lainnya ditangkap. Sedangkan diantara warga sipil sekitar 10.000 orang terbunuh. Sementara itu, penumpasan terhadap pemberontak pro-Soviet di Dhofar adalah salah satu kemunduran paling serius dalam perebutan pengaruh politik di Timur Tengah oleh kelompok kiri. Setelah pembentukan rezim revolusioner di Yaman Selatan, tampaknya semua monarki tradisional yang berusia berabad-abad – kesultanan, Emirates, dan kerajaan-kerajaan di Jazirah Arab akan segera runtuh. Akan tetapi, di Dhofar-lah gerakan revolusioner dihentikan. Kegagalan berikutnya adalah reunifikasi Yaman Selatan dengan Utara, runtuhnya rezim nasionalis kiri di Irak dan Libya dan, akhirnya, pecahnya perang saudara di Suriah, yang juga terkait dengan transformasi utama dari negara terakhir Timur Arab, yang dikontrol oleh kelompok Sosialis Arab. Sedangkan untuk Oman, Kesultanan saat ini lebih banyak bekerja sama dengan Amerika Serikat. Inggris, yang telah menarik diri dari masalah politik dan militer di kawasan Teluk, sudah kehilangan pengaruhnya di istana sultan Oman setelah rezim Shah digulingkan di Iran pada 1979. Sultan Qaboos menyadari bahwa dalam situasi sosial-politik yang berubah, Inggris tidak lagi dapat menjamin stabilitas sistem politik di kesultanan, setelah itu ia beralih bekerja sama lebih erat dengan Amerika Serikat.

Sultan Qaboos dengan kemampuan diplomasi dan kebijaksanaannya mampu mempertahankan Kesultanan Oman dan memodernisasinya sebagai sebuah negara yang relatif stabil di wilayah Teluk Persia. Qaboos kemudian akan berkuasa hingga 50 tahun dan wafat pada tahun 2020 lalu. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Dofar War: Reds in the homeland of incense; 4 December 2014

https://en.topwar.ru/63990-dofarskaya-voyna-krasnye-na-rodine-ladana.html

The Dhofar War and the Myth of ‘Localized’ Conflicts by Imran Shamsunahar

https://thestrategybridge.org/the-bridge/2018/1/12/the-dhofar-war-and-the-myth-of-localized-conflicts#_edn3

Operation Jaguar

http://britains-smallwars.com/campaigns/oman/page.php?art_url=jaguar

Britain’s secret wars by Ian Cobain

https://www.theguardian.com/uk-news/2016/sep/08/britains-secret-wars-oman

Counterinsurgency Strategy in the Dhofar Rebellion by Alexander Schade; 04/20/2017

https://smallwarsjournal.com/jrnl/art/counterinsurgency-strategy-in-the-dhofar-rebellion

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Dhofar_Rebellion

Exit mobile version