Sejarah Militer

Peran Kekuatan Udara Dalam Perang Saudara Antara Pemerintah Federal Nigeria vs Pemberontak Biafra (1967-1970)

Dua puluh tahun setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, hampir semua negara di benua Afrika telah merdeka dari belenggu kolonialisme, kecuali beberapa wilayah kecil milik Spanyol di pantai barat Afrika dan koloni Portugis yang besar di Mozambik dan Angola. Namun, tercapainya kemerdekaan tidak serta merta membawa perdamaian dan stabilitas di negara-negara Afrika yang baru merdeka ini. Revolusi, separatisme lokal, dan peperangan antar suku membuat “benua hitam” ini terus-menerus berada dalam ketegangan. Hampir tidak ada negara di Afrika selepas merdeka yang lolos dari konflik internal dan eksternal. Salah satu diantara berbagai konflik di benua Afrika yang paling masif, brutal dan berdarah adalah perang saudara yang terjadi di Nigeria. Konflik di Nigeria diakibatkan oleh ketegangan dalam hal politik, ekonomi, etnis, budaya dan agama yang didahului oleh dekolonisasi pihak Inggris atas Nigeria dari tahun 1960 hingga 1963. Penyebab langsung perang dari konflik yang pecah mulai sejak tahun 1966 termasuk kekerasan berdasar etnis-agama dan aksi pogrom anti-suku Igbo, kudeta militer, kudeta balasan dan serta penganiayaan terhadap Igbo yang tinggal di Nigeria Utara. Selain itu daya tarik atas kontrol produksi minyak yang menguntungkan di kawasan Delta Niger juga memainkan peran strategis yang vital dalam konflik yang memakan banyak korban jiwa ini. Perang saudara yang kemudian pecah di negeri itu mengadu pemerintah Nigeria yang dipimpin oleh Jenderal Yakubu Gowon dengan negara bagian Biafra yang memisahkan diri dan dipimpin oleh Letnan Kolonel Odumegwu Ojukwu. Dalam Perang Saudara yang berlangsung dari tanggal 6 Juli 1967 hingga 15 Januari 1970, kekuatan udara dari kedua belah pihak diketahui memegang peran cukup vital dalam menentukan jalan dan hasil akhir peperangan.

Para penerbang bayaran Angkatan Udara Biafra di depan armada pesawat serang yang mereka terbangkan. Dalam perang saudara Nigeria tahun (1967-1970), kekuatan udara memegang peran yang cukup penting bagi kedua pihak yang bertikai. (Sumber: https://www.reddit.com/)

LATAR BELAKANG PERANG SAUDARA

Pada tahun 1960, koloni Inggris di Nigeria menerima status republik federatif di dalam lingkup Persemakmuran Inggris. Pada saat itu, Nigeria memiliki populasi sekitar 60 juta orang, yang terdiri lebih dari 300 kelompok etnis dan budaya yang berbeda. Negara itu adalah kumpulan dari beberapa wilayah administratif suku berbeda, yang “dalam perkembangan zaman” kemudian diganti namanya menjadi provinsi. Ketika koloni Nigeria telah dibuat, terdapat tiga kelompok etnis terbesar, dimana suku Igbo, membentuk sekitar 60-70% dari populasi di wilayah tenggara; Hausa-Fulani dari Kekhalifahan Sokoto, membentuk sekitar 65% dari populasi di bagian utara wilayah itu; dan suku Yoruba, membentuk sekitar 75% populasi di bagian barat daya. Meskipun kelompok-kelompok ini memiliki tanah air mereka sendiri, pada tahun 1960-an, orang-orangnya tersebar di seluruh Nigeria, dengan ketiga kelompok etnis tersebut terwakili secara substansial di kota-kota besar. Tanah subur terkaya dan banyak sumber daya mineral (terutama minyak) ada di Provinsi Timur, yang dihuni oleh suku Igbo. Meski demikian otoritas di negara itu secara tradisional adalah milik para imigran dari suku Yuruba (Yoruba) barat laut. Kontradiksi ini semakin diperparah oleh masalah agama, karena suku Igbo mayoritas menganut agama Kristen, sedangkan suku Yoruba serta orang-orang Hausa utara yang besar dan mendukung mereka adalah penganut agama Islam. Pada tanggal 15 Januari 1966, sekelompok perwira muda dari suku Igbo mengorganisir kudeta militer, untuk dalam waktu singkat merebut kekuasaan di negara itu. Orang-orang suku Yuruba dan Hausa kemudian menanggapi kudeta ini dengan pogrom dan pembantaian, yang korbannya adalah beberapa ribu orang, kebanyakan dari suku Igbo. Meski demikian suku-suku lain dan sebagian besar pihak tentara juga tidak mendukung kudeta, akibatnya terjadi aksi kontra-revolusi pada tanggal 29 Juli, yang mengarah pada berkuasanya seorang Kolonel bernama Yakubu Gowon dari suku kecil Angas utara. Pemilihan Gowon sebagai pemimpin bukannya tanpa alasan, ia beragama Kristen dan berasal dari suku minoritas, sehingga dianggap lebih netral dan tidak memihak salah satu diantara suku-suku besar lainnya, serta punya reputasi bagus di kalangan tentara.

Kepala Negara ke-3 Nigeria, Jenderal Yakubu Gowon, difoto pada tanggal 27 Mei 1968. Pemilihan Gowon sebagai pemimpin Nigeria, tidak serta merta menghentikan ketidakpuasan orang-orang di provinsi Biafra yang ingin memerdekakan diri. (Photo by Terry Fincher/Daily Express/Hulton Archive/https://www.gettyimages.dk/)
Provinsi Biafra yang memerdekakan diri tahun 1967. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
C. Odumegwu Ojukwu, pemimpin pemberontak Biafra. (Sumber: https://nigerianinfopedia.com.ng/)

Meski demikian, Otoritas baru Nigeria, nyatanya tidak dapat mengendalikan situasi. Kerusuhan dan pembantaian suku terus berlanjut, yang meliputi semua wilayah baru di Nigeria. Konflik ini mencapai skala besar pada bulan September 1966. Sementara itu, dari bulan Juni hingga Oktober 1966, aksi pogrom di wilayah Utara membunuh sekitar 8.000 hingga 30.000 orang suku Igbo, yang setengah dari mereka adalah anak-anak, dan menyebabkan lebih dari satu juta hingga dua juta orang mengungsi ke Wilayah Timur. Pada awal tahun 1967, gubernur Provinsi Timur, Kolonel Chukwuemeka Odumegwu Ojukwu, memutuskan wilayahnya untuk berpisah dari federasi Nigeria dan membentuk negara merdeka sendiri yang disebut Biafra. Mayoritas penduduk provinsi itu yang ketakutan dengan gelombang pogrom menyambut baik keputusan ini. Penyitaan properti milik pemerintahan federal segera dimulai di Biafra. Sebagai tanggapan, Presiden Gowon lalu melancarkan blokade laut di wilayah tersebut. Alasan resmi untuk proklamasi kemerdekaan kemudian dinyatakan lewat dekrit yang diumumkan pada tanggal 27 Mei 1967, yang menurut dekrit tersebut pembagian negara menjadi empat provinsi dihapuskan, dan sebagai gantinya 12 negara bagian diperkenalkan. Karena itu, jabatan gubernur kemudian dihapuskan. Proklamasi Ojukwu atas keputusan ini segera menyusul. Pada tanggal 30 Mei Provinsi Timur dideklarasikan sebagai Republik Biafra yang berdaulat. Dengan memerdekakan diri, Biafra memiliki potensi besar sebagai sebuah negara yang baru merdeka, selain kemerdekaan ini didukung luas oleh penduduk setempat, mereka juga menguasai sumber daya minyaknya, dan memiliki pantai yang panjang dengan beberapa pelabuhan penting. Rencana pemisahan diri ini telah dipersiapkan oleh Ojukwu dalam waktu yang cukup lama, dan sejumlah besar dana milik pemerintah Nigeria telah ditransfer ke rekening bank Swiss untuk membiayai negara baru ini. Presiden Gowon, tentu saja, tidak bisa menerima kehilangan wilayah terkaya di negerinya itu. Pada tanggal 6 Juni ia memerintahkan penindakan atas pemberontakan tersebut dan mengumumkan mobilisasi di wilayah Muslim utara dan barat. Sementara itu, di Biafra, mobilisasi tersembunyi dimulai bahkan sebelum kemerdekaan diumumkan. Pasukan dari kedua pihak mulai digerakkan di tepi Sungai Niger, yang segera berubah menjadi garis depan dari konfrontasi yang segera pecah.

PERIMBANGAN KEKUATAN UDARA PIHAK YANG BERTIKAI

Angkatan Udara Nigeria (NAF) sebagai salah satu kecabangan  dalam Angkatan Bersenjata Nigeria resmi berdiri pada tanggal 18 April 1964, dengan dukungan teknis dari Italia, India, dan Jerman Barat. Jerman Barat sebelumnya telah menerima kontrak pada tahun 1963 untuk membentuk angkatan udara Nigeria dari awal, termasuk merancang dan menyiapkan kerangka hukum dan organisasinya; merekrut dan melatih personelnyq; menyediakan peralatan dan perlengkapan, pemeliharaan, serta jasa konstruksi. Sebuah kelompok penasehat yang disediakan oleh angkatan udara Jerman Barat berangkat ke Nigeria pada tahun 1966, dan pada saat permulaan perang saudara, telah meninggalkan angkatan udara Nigeria yang terdiri dari 800 perwira dan personel tamtama. Pada awalnya AU Nigeria didasarkan pada armada yang terdiri dari 20 pesawat mesin tunggal multifungsi Dornier Do-27, 12 pesawat latih Piaggio 149, dan 6 pesawat angkut Nord Noratlas. Tahun-tahun berikutnya, beberapa helikopter lagi dari berbagai jenis dan dua jet latih telah diperoleh. Para pilot Nigeria dilatih di Jerman dan Kanada. Pada bulan Juni 1967, otoritas militer memobilisasi enam pesawat pengangkut DC milik maskapai penerbangan “Nigerian Airways”, dan setahun kemudian lima lagi pesawat serupa dibeli. Pada titik ini untuk masalah transportasi setidaknya, tentara Nigeria telah mencukupi, tetapi dengan pecahnya perang saudara, mereka segera menghadapi dua masalah penting, yakni masalah akuisisi pesawat tempur dan penggantian para pilot, yang sebagian besar berasal dari suku Igbo yang melarikan diri ke Biafra dan berdiri di bawah pimpinan Ojukwu. Situasi semakin diperparah oleh fakta bahwa sejumlah negara Barat (termasuk Prancis, Spanyol dan Portugal) secara diam-diam mendukung gerakan separatis dalam berbagai bentuk bantuan. Sementara itu Amerika Serikat mengumumkan sikap non-intervensi dan memberlakukan embargo pasokan senjata kepada kedua pihak yang berperang. Tetapi untuk membantu pemerintah Nigeria datanglah bantuan dari negara-negara mayoritas Muslim di Afrika Utara, terutama Mesir dan Aljazair.

Pesawat multifungsi Dornier Do-27, salah satu armada pertama dalam AU Nigeria. (Sumber: https://radiobiafrafreedom.wordpress.com/)
Helikopter Westland Widgeon yang dirampas oleh pemberontak Biafra di bandara Harcourt. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Pada sebelah kanan tampak tentara bayaran asal Jerman “Hank Wharton” (Heinrich Wartsky) di Biafra. Sedari awal konflik, para pemberontak Biafra telah melibatkan beberapa tentara bayaran untuk mendongkrak kekuatan militernya. Seperti Wharton, ia terlibat dalam upaya pengiriman personel dan senjata masuk wilayah Biafra dari luar negeri. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Di pihak lain pada bulan Juni 1967, orang-orang Biafra dengan cepat memahami pentingnya kekuatan udara dan mulai mengorganisir angkatan udara yang compang-campng, serta menggunakan pesawat angkut untuk memasukkan pasokan senjata ke negara itu. Untuk tujuan itu, penerbangan reguler dari pesawat-pesawat DC-7 maskapai Air Trans Africa dari Afrika Selatan dilakukan sejak musim panas 1966. Sementara itu, pesawat-pesawat lain juga dioperasikan dari Portugal, melalui Guinea Portugis (sekarang Guinea-Bissau), dan Kamerun. Pada bulan Oktober 1966, misalnya, pesawat DC-4M Argonaut dari Royal Air Burundi, yang diterbangkan oleh tentara bayaran bernama Henry Wharton / Heinrich Wartski, mendarat darurat di Garoua, Cameroun, saat membawa muatan tentara dari Rotteerdam. Pilot yang sama diketahui juga menerbangkan pesawat transport Super Constellation (5T-TAF) dari Transportes Aereos Portugueses (TAP), yang disita karena membawa muatan senjata di Malta, pada bulan September 1967. Lebih banyak pesawat lagi yang akan terlibat kemudian, termasuk pesawat-pesawat Constellation yang sudah tua (beberapa mengenakan nomor registrasi Nigeria palsu seperti 5N83H, 5N84H, dan 5N86H), DC-4, DC-6, dan DC-7 (VP-WBO / ZP-WBO) dari AirTrans-Africa, diterbangkan oleh Ernest Koenig, Jack Malloch asal Rhodesia, dan tentara bayaran asal Inggris, Alistair Wickes. Salah satu armada pertama kekuatan udara Biafra adalah pesawat penumpang Hawker-Siddeley HS.125, yang awalnya dimiliki oleh pemerintah Provinsi Timur pada saat masuk bergabung dengan Nigeria. Pesawat ini sebelumnya digunakan sebagai “pesawat pribadi” gubernur, dan kemudian digunakan oleh presiden Biafra. Pada tanggal 23 April (bahkan sebelum deklarasi resmi kemerdekaan Biafra), di ibu kota masa depan Biafra, Enugu dirampas sebuah pesawat Fokker F.27 Friendship dari Nigerian Airways yang sedang dalam perjalanan dari Benin ke Lagos. Teknisi lokal lalu memodifikasi pesawat ini menjadi pesawat pembom darurat. Selain itu, di awal konflik, beberapa pesawat sipil dan helikopter “dimobilisasi” (atau lebih tepatnya dirampas) di bandara Harcourt, termasuk empat helikopter ringan Hiller UH-12E, dua helikopter Westland Widgeon, dan satu pesawat helikopter Westland Whirlwind, yang dimiliki oleh berbagai perusahaan (sebagian besar milik perusahaan Bristow Group asal Amerika yang menyewakan helikopter untuk industri perminyakan) dan individu. Pesawat transport kedua, sebuah DC-3 (9G-AAD) dari Ghana Airways, ditambahkan dalam armada udara Biafra pada tanggal 15 Juni, setelah dibajak dari Port Harcourt. Sementara itu, sebagai Kepala Penerbangan Biafra, ditunjuklah Kolonel (kemudian – Jenderal) Godwin Ezeilo. 

B-26 INVADER BIAFRA

Sementara itu konflik terus berkembang secara bertahap. Pada tanggal 2 Juli, pasukan federal melancarkan serangan dari utara ke arah Enugu. Operasi yang dinamai “Unicord” itu direncanakan sebagai aksi polisionil singkat. Komandan tentara pemerintah, Kolonel (kemudian menjadi Brigjen) Hassan Katsina dengan optimis menyatakan bahwa pemberontakan akan berakhir “dalam waktu 48 jam.” Namun, dia terbukti meremehkan kegigihan pasukan pemberontak. Para penyerang segera berhadapan dengan pertahanan yang tangguh dan pertempuran tersebut menjadi berlarut-larut dan alot. Pengeboman udara terhadap posisi Batalyon Infanteri ke-21 Nigeria oleh pesawat B-26 “Invader” menunjukkan bahwa kekuatan militer Biafra benar-benar mengejutkan para prajurit tentara federal. Di sisi lain sejarah kemunculan pesawat ini diantara kekuatan pemberontak patut mendapat cerita tersendiri. Sebelumnya, B-26R “Invader” (dengan nomor kode 41-39531) ini adalah milik Angkatan Udara Prancis, yang berpartisipasi dalam kampanye militer Aljazair, dan kemudian dianggap usang dan dilucuti. Pada bulan Juni 1967, seorang pedagang senjata memperoleh pesawat itu di Lisbon, yang kemudian menjualnya kembali kepada seorang Prancis, bernama Pierre Laurey. Dari sana, pesawat dengan nomor registrasi Amerika palsu dan tanpa sertifikat kelaikan terbang itu diterbangkan ke Dakar, lalu ke Abidjan dan, akhirnya, pada 27 Juni mencapai ibu kota Biafra, Enugu. Deskripsi unik dari “pengembaraan” pembom tua ini, menunjukkan dengan jelas bagaimana cara berliku yang dilalui orang-orang Biafra dalam melengkapi persenjataan mereka. Di Enugu, pesawat itu kembali dipersenjatai dengan perangkat pelepas bom. Sebagai pilot diambilah seorang “veteran” tentara bayaran yang berasal dari Polandia, yang bernama Jan Zumbach, yang sebelumnya juga telah dikenal terlibat dalam kampanye militer di Kongo 1960-63. Di Biafra, dia muncul dengan nama samaran John Brown, mengambil nama seorang pemberontak asal Amerika yang terkenal. Segera, karena aksi beraninya yang gila-gilaan, rekan-rekannya memanggilnya sebagai “kamikaze” (di sebuah satu artikel ditulis bahwa Invader itu diterbangkan oleh seorang pilot Yahudi bernama Johnny, meskipun ini mungkin saja itu adalah orang yang sama).

Salah satu dari 2 unit B-26 Invader AU Biafra. (Sumber: https://flyvertossetsaviationblog.wordpress.com/)
Jan Zumbach dan di sebelah kirinya Jacques Lestrade. Zumbach, yang merupakan veteran Perang Dunia II adalah pilot pertama B-26 Invader AU Biafra. (Sumber: https://napoleon130.tripod.com/)

Di Nigeria, Zumbach melakukan debutnya pada tanggal 10 Juli, dengan menjatuhkan bom di lapangan terbang pasukan federal di Makurdi, di mana beberapa pesawat DC-3 sipil – digunakan untuk mengangkut pasukan federal – rusak. Pada hari-hari berikutnya, satu-satunya B-26R Biafra digunakan untuk menyerang Lagos dan Kano, yang hanya menyebabkan sedikit kerusakan, karena NAF (AU Nigeria) masih tidak beroperasi, sehingga hampir tidak ada sasaran berarti yang bisa dihancurkan di kedua tempat tersebut. Hingga pertengahan September, ketika pesawat “Invader” yang sudah tua itu benar-benar kehilangan kemampuan tempurnya karena berbagai kerusakan, pilot Polandia itu mati-matian secara teratur membom pasukan pemerintah. Dari waktu ke waktu dia juga melakukan serangan jarak jauh ke kota Makurdi dan Kaduna, di mana disitu lapangan udara dan pangkalan perbekalan pasukan federal berada. Sejak tanggal 12 Juli, sebuah DC-3, yang disita oleh pasukan pemberontak di Bristouse mulai turut mendukung serangan. Pada tanggal 26 Juli 1967, pesawat Invader dan Dakota, berupaya menjatuhkan bom pada kapal fregat Nigeria, yang memblokir kota Harcourt dari laut. Hasil dari serangan itu tidak diketahui, tetapi, dilihat dari blokade yang terus berlanjut, target nampaknya tidak dapat dikenai. Tentu saja, dengaj cuma mengandalkan beberapa “pembom modifikasi” tidak akan dapat benar-benar mempengaruhi jalannya perang. Pada bulan Juli juga, sebuah pesawat Riley Dove (N477PM) yang terdaftar di AS dikirim ke Port Harcourt dari Swiss, oleh Andre Juillard / Girard / Gerard, yang membawa muatan 2.000 senapan buatan Hongaria. Pesawat itu lalu digunakan untuk pengintaian, tetapi pada tanggal 13 Juli 1967 pesawat itu dipaksa turun di wilayah Aljazair, yang berpihak pada pemerintah Nigeria dan kemudian menggunakannya ke dalam dinas operasional angkatan udara setempat.

Setelah bertahun-tahun masih ada beberapa hal yang tidak diketahui mengenai latar belakang beberapa pesawat yang terlibat dalam Perang Biafra: deHavilland DH.104 Riley Dove (serial tidak diketahui) dari Angkatan Udara Biafra ini ditemukan dalam kondisi rusak setelah perang, pada tahun 1970 , di lapangan bermain sebuah sekolah di Uli. Biafra tidak diketahui memiliki Dove kedua – kecuali Riley Dove N477PM yang terdaftar di AS yang dikirim ke Port Harcourt dari Swiss, oleh Andre Juillard, bagaimanapun Dove ini diketahui telah disita di Aljazair, pada musim panas 1967. (Sumber: https://web.archive.org/)
Invader kedua AU Biafra asal Perancis, tipe RB-26P, adalah satu dari lima pesawat dijual ke perusahaan survei udara Société Carta oleh Armée de l’Air pada tahun 1966, dan terakhir terlihat di Creil dekat Paris pada bulan Juni 1967. Pesawat ini lalu diterbangkan ke Biafra pada bulan Agustus 1967 oleh dua pilot asal Amerika. Pesawat ini dijual ke Biafra melalui pedagang senjata Prancis Pierre Laurey, yang juga terlibat dalam penjualan Invader pertama ke republik pemberontak itu. (Sumber: https://napoleon130.tripod.com/)

Antara bulan Juli dan Agustus, tentara Nigeria yang mulai memobilisasi tentaranya pada tanggal 6 juli, berhasil mengatasi perlawanan keras kepala pasukan pemberontak, kemudian melanjutkan serangan ke Enugu, merebut kota Ogojha dan Nsukka, serta pangkalan minyak di Bonny. Di saat yang sama Angkatan Udara Biafra diperkuat kembali dengan “barang langka” lainnya, yakni pembom medium B-25 “Mitchell”. Menurut beberapa sumber, pesawat itu diujicobakan oleh tentara bayaran asal Jerman, mantan pilot Luftwaffe, bernama “Fred Hertz” (tentara bayaran biasanya menggunakan nama samaran, dan oleh karena itu nama-nama yang disajikan disini berdasarkan nama-nama samaran semacam itu). Sumber lain mencatat bahwa pilot pesawat Mitchell itu berasal dari emigran Kuba yang telah menetap di Miami, dan awaknya termasuk dua orang asal Amerika dan Portugis. Pesawat itu berbasis di Harcourt, namun sayangnya hampir tidak ada yang diketahui tentang pengoperasiannya di medan tempur. Pada  bulan Mei 1968, pesawat ini dirampas di bandara kota itu oleh pasukan federal yang memasuki kota. Pada awal bulan Agustus, sebuah B-26 lain (dengan nomor registrasi 41-34531) muncul di Biafra, juga diperoleh melalui perantara Pierre Laurey asal Prancis, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Tentara bayaran Prancis “Jean Bonnet” dan “Hank Wharton” asal Jerman (alias Heinrich Wartski) diketahui menerbangkan pesawat ini. Pada tanggal 12 Agustus dua pesawat “Invader” Biafra mengebom posisi pasukan pemerintah di tepi barat sungai Niger dan berhasil menenggelamkan sebuah kapal feri. Aksi ini diawali dengan serangan pemberontak yang kuat ke arah ibu kota Nigeria, Lagos. Pada tanggal 9 Agustus, sebuah brigade dari tentara Biafra berjumlah 3000 orang, dengan dukungan artileri dan kendaraan lapis baja, bergerak menyeberang ke arah pantai barat Niger, meluncurkan ofensif yang disebut sebagai “pawai ke barat laut”. Serangan pertama berkembang dengan baik. Orang-orang Biafra kini memasuki wilayah negara bagian Midwest, dengan hampir tanpa menemui perlawanan terorganisir, karena pasukan federal yang ditempatkan di sana sebagian besar terdiri dari suku Igbo, yang sama dengan orang-orang Biafra. Beberapa lainnya memilih melarikan diri atau membelot ke pihak pemberontak. Ibu kota negara bagian di kawasan itu, yakni Benin City menyerah tanpa perlawanan hanya dalam waktu sepuluh jam setelah dimulainya operasi penyerangan. Tetapi beberapa hari kemudian pawai kemenangan pasukan Biafra dihentikan di dekat kota Åre. Setelah melakukan mobilisasi umum di daerah metropolitan yang padat penduduk, kepemimpinan militer Nigeria berhasil menghimpun pasukan yang jumlahlah secara signifikan mengungguli pihak musuh.

KEHADIRAN MIG AU NIGERIA

Sementara itu, masalah utama yang dihadapi oleh Angkatan Udara federal pada bulan-bulan pertama konflik adalah ketersediaan pesawat untuk melakukan misi serangan. Tentu saja, orang Nigeria seperti yang dilakukan oleh orang-orang Biafra, bisa saja mengubah pesawat angkut “Noratlas”, “Dakota” dan “Dornier” mereka menjadi pembom “buatan sendiri”. Tetapi cara-cara seperti itu dianggap tidak rasional dan efektif. Mereka kemudian memutuskan untuk membeli peralatan dari luar negeri. Saat itu satu-satunya negara barat yang memberikan dukungan diplomatik dan moral kepada pemerintah pusat Nigeria adalah Inggris Raya. Namun permintaan Nigeria untuk bisa membeli pesawat tempur, ditolak oleh pihak Inggris. Satu-satunya yang bisa diperoleh dari Inggris adalah sembilan helikopter Westland Whirlwind II (salinan berlisensi Inggris dari helikopter asal Amerika Sikorsky S-55). Karena gagal mendapatkan pesawat tempur dari negara-negara Barat, kemudian pihak berwenang Lagos mengajukan permintaan ke Uni Soviet. Permintaan ini tidak sia-sia, Kepemimpinan Soviet, jelas berharap dari waktu ke waktu Nigeria akan “mengikuti jalan sosialisme mereka,” sehingga bereaksi positif terhadap proposal tersebut. Pada musim gugur tahun 1967, menteri luar negeri Nigeria, Edwin Ogbu, tiba di Moskow dan mengatur pembelian 27 pesawat tempur MiG-17F Fresco, 20 pesawat latih tempur MiG-15UTI dan enam pembom medium Il-28 Beagle. Pada saat yang sama, Moskow “mengizinkan” penjualan 26 pesawat latih tempur L-29 “Dolphin” oleh Cekoslovakia. Orang-orang Nigeria lalu membayar pesawat-pesawat tersebut dengan mengirimkan biji kakao dalam jumlah besar, yang memberi “kesempatan” anak-anak Soviet untuk bisa menikmati cokelat untuk waktu yang lama. Pada tanggal 13 Agustus, bandara Kano 1967 di Severo-Nigeria ditutup untuk penerbangan sipil. Di sini dari Uni Soviet dan Cekoslowakia, pesawat angkut An-12 Cub mulai tiba melalui Mesir dan Aljazair dengan membawa pesawat-pesawat MiG dan Dolphin yang dibongkar di kompartemen kargo. Secara total, 12 pesawat transport berpartisipasi dalam operasi pengiriman pesawat-pesawat ini. Di Kano, pesawat-pesawat tempur dikumpulkan dan mulai diterbangkan. Sementara itu, Pembom-pembom Ilyushin tiba langsung dari Mesir.

Pesawat tempur MiG-17F Fresco AU Nigeria yang disuplai oleh Uni Soviet. Kehadiran Fresco, memunculkan energi baru bagi AU Nigeria dalam melawan pasukan pemberontak Biafra. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Bomber medium Ilyushin Il-28 Beagle AU Nigeria yang turut dibeli bersama dengan pesawat-pesawat MiG dari Soviet. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Sudan juga diketahui meminjamkan dua Jet Provost, tetapi pesawat-pesawat ini segera tidak dapat dioperasikan. Menanggapi penguatan yang terjadi di AU Nigeria, BiAF (AU Biafra) bereaksi dengan melakukan serangkaian serangan terhadap Kano, pada tanggal 19 dan 20 Agustus, yang kabarnya berhasil menghancurkan beberapa pesawat MiG di darat. Karena kekurangan bom konvensional, pihak Biafra berimprovisasi dengan memakai bom rakitan, namun demikian, pesawat-pesawat MiG mulai beroperasi dan menerbangkan serangan pertama mereka pada tanggal 30 di bulan yang sama, untuk menyerang lapangan udara Onitsha. AU Nigeria mencapai kesuksesan pertamanya pada tanggal 10 September ketika pesawat MiG berhasil menghancurkan salah satu dari pesawat B-26 Biafra di Enugu. Di Kano, AU Federal lalu mendirikan pangkalan perbaikan dan pusat pelatihan penerbangan. Soviet dikabarkan mengirim 200 teknisi untuk melatih personel Nigeria. Tetapi pelatihan lokal jelas akan memakan banyak waktu. Oleh karena itu, pada awalnya, mereka memutuskan untuk menggunakan jasa “sukarelawan” asal Arab dan tentara bayaran Eropa. Mesir, yang memiliki banyak pilot yang mampu menerbangkan pesawat-pesawat Soviet, tanpa ragu mengirim beberapa di antaranya, yang disamarkan seolah-olah sedang melakukan “perjalanan bisnis Nigeria”. Sementara itu, di sisi lain garis depan, musuh bebuyutan Mesir juga tidak tinggal diam, para penasihat militer Israel diketahui melatih tentara Biafra. Pers Barat pada masa itu berpendapat bahwa, selain Mesir dan Nigeria, para pilot asal Cekoslovakia, Jerman Timur dan bahkan Soviet juga bertempur dengan menerbangkan pesawat-pesawat MiG di atas langit Biafra. Pemerintah Nigeria dengan tegas membantahnya, dan Soviet sendiri bahkan tidak menganggap perlu untuk berkomentar. Namun demikian, masih belum ada bukti atas pernyataan tersebut. Sementara itu, orang-orang Nigeria pun tak menyembunyikan fakta bahwa beberapa kendaraan tempur mereka dikemudikan oleh tentara bayaran dari negara-negara barat, khususnya dari Inggris. Pemerintahan Kerajaan Inggris sendiri “menutup mata” terhadap fakta bahwa seseorang bernama John Peters, yang sebelumnya memimpin salah satu tim tentara bayaran di Kongo, pada tahun 1967 telah meluncurkan aktivitas masif di Inggris untuk merekrut pilot-pilot bagi Angkatan Udara Nigeria. Masing-masing rekrutan dijanjikan gaji seribu pound sebulan. Karena itu, banyak petualang dari Inggris, Australia, dan Afrika Selatan yang datang mendaftar untuk menerbangkan pesawat-pesawat AU Nigeria. Prancis, sebaliknya, memihak pada Ojukwu. Sejumlah besar senjata dan amunisi asal Prancis dikirim ke Biafra melalui “jembatan udara” yang diterbangkan dari Libreville, Sao Tome, dan Abidjan. Bahkan berbagai jenis senjata, seperti kendaraan lapis baja bermeriam Panhard dan howitzer kaliber 155 mm, berdatangan ke republik yang tidak diakui itu dari Prancis. 

AKSI PEMBOMAN UDARA ATAS KOTA-KOTA

Kehadiran pesawat-pesawat MiG, dengan cepat mengubah perimbangan kekuatan di medan perang. Pada awal bulan September, dua divisi pasukan pemerintah sudah beroperasi menghadapi satu brigade dan beberapa batalyon tentara pemberontak yang terpisah di front barat. Hal ini lalu memungkinkan pasukan federal untuk melakukan serangan dan mendesak musuh kembali ke kota Benin City. Pada tanggal 22 September, kota itu diserbu, dan setelah itu orang-orang Biafra dengan tergesa-gesa mundur ke pantai timur Niger. “Kampanye ke Barat Laut” Orang-orang Biafra berakhir dengan posisi yang sama pada saat operasi militer mereka dimulainya. Mencoba untuk mengubah peruntungan mereka, pemberontak kemudian melancarkan serangan udara reguler di ibu kota Nigeria pada bulan September. Tentara bayaran yang menerbangkan pesawat-pesawat Biafra yang menyerang nyaris tidak menghadapi risiko apa pun. Artileri antipesawat milik pemerintah terdiri dari beberapa senjata asal masa Perang Dunia Kedua, dan mereka sama sekali tidak memiliki pesawat tempur yang efektif digunakan. Yang perlu mereka khawatirkan hanyalah jika pesawat mereka yang usang bermasalah. Tetapi kerusakan akibat penyerangan ini, yang dilakukan oleh sepasang Invader, pesawat penumpang Fokker dan Dakota yang menjatuhkan bom rakitan dari potongan pipa, tidaklah signifikan, demikian juga efek psikologis tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jika pada penyerangan pertama, mereka sempat menyebabkan kepanikan di antara penduduk, maka segera setelah itu warga sipil menjadi terbiasa dan pemboman berikutnya hanya meningkatkan kebencian mereka terhadap para pemberontak.

Satu dari 2 pembom B-26 milik AU Biafra. Ketika kondisi di medan perang mulai tidak menguntungkan, pesawat-pesawat Invader Biafra dikirim untuk menyerang kota-kota pemerintah Federal Nigeria. Namun hasil dari serangan ini tidaklah signifikan, demikian juga efek psikologis tidak sesuai dengan yang diharapkan. (Sumber: https://78.media.tumblr.com/)

Serangan udara di ibu kota berakhir pada malam tanggal pada 7 Oktober, ketika sebuah pesawat Fokker meledak tepat di atas Lagos. Peristiwa inilah yang kemudian ditulis oleh duta besar Uni Soviet di Nigeria, A.I. Romanov dalam memoarnya: “Di pagi hari ada ledakan dahsyat, kami melompat dari tempat tidur, dan keluar ke jalan. Hanya ada suara mesin yang terdengar, tetapi tidak mungkin untuk memastikan di mana bom itu dijatuhkan. Kemudian deru pesawat semakin kencang, diikuti dengan ledakan bom baru. Beberapa menit kemudian ledakan kembali terjadi. Dan tiba-tiba, rupanya, di suatu tempat di pulau Victoria terjadi ledakan dahsyat, nyala api menyala di malam sebelum fajar … dan semuanya hening. Lima menit kemudian, telepon berdering, dan petugas kedutaan yang sedang bertugas berkata dengan suara gelisah bahwa gedung kedutaan telah dibom. Dua jam kemudian, kami mengetahui bahwa tidak ada ledakan bom, tetapi sesuatu yang lain terjadi: di udara, hampir di atas gedung kedutaan, pesawat pemberontak meledak, dan gelombang ledakannya yang kuat menyebabkan bangunan tersebut banyak mengalami kerusakan. ” Di lokasi jatuhnya bangkai pesawat, 12 mayat ditemukan, empat di antaranya adalah mayat tentara bayaran berkulit putih – awak pesawat yang meledak. Belakangan diketahui bahwa pilot dari “pembom modifikasi” tersebut adalah seorang bernamw “Jacques Langhuum”, yang sebelumnya berhasil selamat dari pendaratan darurat di Enugu dengan membawa muatan senjata selundupan. Tapi kali ini dia tidak beruntung. Kemungkinan besar, “Fokker” yang diterbangkannya hancur karena ledakan tak disengaja pada bom rakitan yang dibawanya. Sementara itu ada juga versi yang mengatakan bahwa pesawat itu ditembak jatuh oleh pertahanan udara tentara Nigeria, tetapi tampaknya sangat tidak mungkin (Romanov sendiri tidak menulis apa pun dalam memoarnya tentang penembakan oleh aksi senjata antipesawat Nigeria).

Pasukan federal Nigeria selama operasi melawan pasukan Biafra di dekat kota Ore, Nigeria, pada tahun 1967. Dengan berjalannya waktu, pasukan Federal Nigeria semakin mendesak dan mengurung posisi pemberontak Biafra. (Sumber: https://www.nytimes.com/)

Sementara itu, di utara, pasukan pemerintah, berhasil mengatasi perlawanan keras kepala pasukan pemberontak, dan mendekati ibu kota Biafra, Enugu. Kota tersebut direbut pada tanggal 4 Oktober. Di lapangan terbang, para pemberontak meninggalkan sebuah pesawat Invader yang rusak, dimana pesawat ini menjadi trofi udara pertama yang dirampas pasukan federal. Dengan jatuhnya Enugu, Ojukwu mendeklarasikan kota kecil Umuahia sebagai ibu kota sementara Biafra. Pada tanggal 18 Oktober, setelah dilakukan penembakan intensif dari kapal-kapal perang, enam batalyon marinir mendarat di pelabuhan Calabar, yang dipertahankan oleh satu batalion pemberontak dan unit polisi sipil yang bersenjata buruk. Bersamaan dengan itu, batalion ke-8 pasukan infanteri pemerintah mendekati kota dari arah utara. Perlawanan orang Biafra di antara dua posisi pertahanan ini berhasil dipatahkan, dan pelabuhan terbesar di Nigeria selatan itu kini berada di bawah kendali pasukan pemerintah. Beberapa hari sebelumnya, pasukan penyerang angkatan laut Nigeria lainnya telah merebut ladang minyak di Pulau Bonny, 30 kilometer dari Harcourt. Akibatnya, Biafra kehilangan sumber utama devisa mereka. Para pemberontak kemudian mencoba menghantam musuh di Bonny. Satu-satunya pesawat “Invader ” yang tersisa dikirim untuk mengebom posisi pasukan terjun payung Nigeria setiap hari disana, yang menyebabkan kerugian besar pada mereka. Namun, meskipun demikian, pasukan federal mempertahankan diri dengan berani, dan menangkis semua serangan balik.

Pasukan Nigeria terlihat di salah satu kota utama Biafra, Port Harcourt, pada tahun 1968 setelah pertempuran sengit. (Sumber: https://www.bbc.com/)
Perpindahan ibukota Biafra tahun 1967-1970. (Sumber: https://www.bbc.com/)

Dalam keputusasaan, komando tinggi pemberontak memerintahkan pilot untuk mengebom tangki penyimpanan minyak, berharap api yang kuat akan memaksa pasukan terjun payung untuk mengungsi. Tapi upaya itu tidak banyak membantu. Dalam panas yang sangat panas dan asap tebal, tentara federal Nigeria terus bertahan. Segera pertempuran memperebutkan Bonny berhenti. Pulau dengan reruntuhan ladang minyak yang terbakar itu tetap ada di tangan pasukan federal. Saat militer Biafra yang terpukul mengalami musibah tersebut pada bulan November 1967, pesawat-pesawat serang Nigeria mulai digunakan dalam pertempuran. Sebagai target, pesawat-pesawat AU Nigeria lebih sering ditugaskan bukan untuk menyerang objek militer para pemberontak, tetapi justru menyerang kota-kota di garis belakang. Dengan demikian, Pemerintah Federal berharap untuk dapat menghancurkan infrastruktur para pemberontak, merusak ekonomi mereka dan menyebarkan kepanikan di antara penduduknya. Tapi, seperti halnya pemboman di Lagos, hasil dari serangan-serangan semacam ini tidak sesuai dengan harapan, meski menimbulkan lebih banyak korban dan kehancuran. Pada tanggal 21 Desember Pesawat Ilyushin AU Nigeria mengebom kota industri dan perdagangan besar Aba. Banyak rumah hancur, termasuk dua sekolah, 15 warga sipil tewas. Pada bulan Desember 1967, pasukan pemerintah sudah memenangkan sejumlah kemenangan penting, tetapi jelas bagi semua orang bahwa pasukan pemerintah masih sangat jauh dari usai memadamkan pemberontakan. Alih-alih sebagai “aksi polisionil” kilat ternyata perang Melawan pemberontak menjadi berlarut-larut dan melelahkan.

UPAYA BIAFRA MENDAPATKAN PESAWAT TEMPUR

Sementara menanggapi kehadiran pesawat MiG di pihak pasukan Federal, militer Biafra sendiri mencoba untuk membeli pesawat tempur dari Prancis. Pilihan mereka jatuh pada pesawat Fouga CM.170 “Magister” yang telah banyak digunakan dalam berbagai konflik lokal di Afrika. Pada bulan Mei 1968 lima pesawat ini dibeli melalui sebuah perusahaan Austria palsu dan segera dibongkar, dengan sayap dilepas yang dikirim melalui udara ke Portugal, dan dari sana ke Biafra. Namun saat singgah di Bissau (Guinea Portugis), salah satu pesaawat transport, yang membawa sayap “Magister”, jatuh dan terbakar. Insiden itu sempat diduga terjadi karena sabotase, tetapi tampaknya dinas rahasia Nigeria tidak dapat “melakukan” tindakan serius semacam itu. Badan pesawat tanpa sayap yang tidak lagi berguna itu lalu dibiarkan jadi rongsokan di tepi salah satu lapangan terbang Portugis. Sementara itu, pengeboman atas Aba berlanjut hingga kota itu diduduki oleh pasukan federal pada bulan September 1968. Penyerangan pada tanggal 23-25 April 1968 berlangsung sangat intens, seperti yang dijelaskan dengan jelas oleh jurnalis Inggris dari Sunday Times, William Norris: “Saya melihat sesuatu yang tidak pantas untuk disaksikan. Saya melihat mayat anak-anak, penuh pecahan peluru, laki-laki tua dan perempuan hamil, tercabik-cabik oleh bom. Semua ini dilakukan oleh pembom jet Rusia milik pemerintah federal Nigeria! Norris tidak menyebutkan bahwa tidak hanya orang Arab dan Nigeria, tetapi juga ada rekan senegaranya yang duduk di kabin para pembom itu sendiri … Selain Aba, kota Onich, Umuahia, Oguta, Uyo dan lainnya juga diserang oleh AU Nigeria. Secara total, paling sedikit 2.000 orang tewas dalam penyerangan-penyerangan itu. Akibatnya beragam tuduhan aksi perang yang tidak manusiawi menghujani pemerintah Nigeria. Seorang Amerika pada tahun 1969 bahkan membakar dirinya sendiri sebagai protes di depan gedung PBB atas pengeboman brutal di Biafra. Untuk membela diri, Presiden Nigeria Yakubu Gowon menyatakan bahwa para pemberontak diduga “bersembunyi di balik warga sipil dan dalam kasus ini sangat sulit untuk menghindari korban yang tidak perlu”. Namun, foto-foto anak-anak yang terbunuh itu menangkal berbagai argumen apa pun yang digunakan oleh pemerintah Nigeria. Pada akhirnya, Nigeria, untuk mempertahankan prestise mereka di mata internasional, terpaksa meninggalkan penggunaan IL-28 dalam pemboman terhadap kota-kota sipil di Biafra.

Pesawat latih tempur Fouga CM.170 “Magister” milik AU Israel beraksi di Sinai dalam Perang 6 hari tahun 1967. Pada bulan Mei 1968, pihak pemberontak Biafra mencoba membeli pesawat ini, namun gagal dalam mendatangkannya masuk ke Biafra. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Warga desa Umuahia ditengah reruntuhan pemboman yang dilakukan oleh AU Nigeria. Pemboman pada populasi sipil ini segera menimbulkan kecaman dari pihak internasional yang memaksa pemerintah Nigeria menghentikan aksi semacam ini. (Sumber: https://www.ebay.com/)

Pada bulan Januari 1968, pasukan pemerintah melancarkan serangan dari jurusan Calabar ke arah Harcourt. Selama hampir empat bulan, para pemberontak berhasil menahan serangan tersebut, tetapi pada tanggal 19 Mei kota itu jatuh. Biafra kini kehilangan pelabuhan terakhir dan lapangan terbangnya yang besar. Di Harcourt, militer Nigeria merampas semua pesawat pembom musuh – Mitchell, Invader, dan Dakota. Namun, karena kerusakan dan kurangnya suku cadang, tidak satu pun dari pesawat-pesawat ini yang bisa digunakan dalam waktu lama. Dalam perang melawan angkatan udara pemerintah, kini pemberontak hanya bisa mengandalkan artileri antipesawat. Mereka memusatkan hampir semua senjata anti-pesawat mereka di sekitar lapangan terbang Uli dan Augu, menyadari bahwa dengan hilangnya akses ke laut, hubungan antara Biafra dan dunia luar hanya bisa bergantung pada landasan pacu ini. Pada tanggal 18 Juni 1968 lapangan udara Augu direbut oleh tentara federal. Biafra kini hanya memiliki satu landasan pacu dengan landasan beton yang tersisa, yang bisa digunakan untuk lepas landas dan mendaratkan pesawat berat. Selain itu bandara di Uli-Anambra, yang juga dikenal sebagai “bandara Annabel”, dan menjadi simbol kemerdekaan Biafra, pada saat yang sama menjadi sasaran utama pasukan pemerintah. Semua orang mengerti bahwa jika Uli jatuh, maka tanpa adanya bantuan dari luar, pemberontak tidak akan dapat bertahan lama. Palang Merah Internasional kemudian membangun lapangan terbang lain di dekat Afikpo. Lapangan terbang itu akan digunakan tidak hanya oleh pesawat C-97G, tetapi juga oleh pesawat-pesawat DC-4 dan C-130 yang masing-masing digunakan oleh Palang Merah Prancis dan Swedia, dan pesawat yang disewa oleh Joint Church Aid dan Dewan Gereja Dunia dengan pesawat dari Belair serta banyak lainnya, termasuk organisasi bantuan yang lebih kecil, yang terutama menerbangkan pesawat-pesawat Avro Anson eks-RAF, untuk mengangkut makanan dan persediaan medis (hingga bulan November 1968, rata-rata 20 ton makanan dan perbekalan diterbangkan ke Biafra setiap malam).

OPERASI JEMBATAN UDARA DI BIAFRA

Kebergantungan pasokan dari luar, bagi Biafra semakin besar saat kelaparan mulai muncul di provinsi tersebut akibat perang dan blokade laut. Pada masa itu, berita-berita di banyak stasiun televisi Eropa menyiarkan laporan tentang bayi-bayi Suku Igbo yang kelaparan dan kengerian perang lainnya. Dan itu bukanlah semata-mata propaganda. Pada tahun 1968, di wilayah terkaya di Nigeria ini, kelaparan sudah menjadi hal biasa. Krisis ini semakin mencapai puncaknya, seperti apa yang dikatakan oleh kandidat presiden, AS Richard Nixon dalam pidatonya selama kampanye pemilihan Amerika: “Apa yang terjadi di Nigeria sekarang adalah genosida, dan kelaparan adalah pembunuh yang kejam. Sekarang bukan waktunya untuk mengikuti segala macam aturan, menggunakan jalur normal atau mematuhi protokol diplomatik. Bahkan dalam perang yang paling adil, penghancuran populasi manusia adalah suatu tujuan yang tidak bermoral. Itu tidak bisa dibenarkan. Anda tidak membiarkan hal ini terjadi. ” Sementara itu, meskipun pemerintah AS tidak mendorong adanya pengakuan diplomatik atas republik pemberontak ini, empat pesawat angkut “Super Constellation” dengan kru Amerika mulai mengirimkan makanan dan obat-obatan ke Biafra tanpa izin dari otoritas Nigeria. Pada saat yang sama, pengumpulan bantuan kemanusiaan untuk Biafra dimulai di seluruh dunia. Sejak musim gugur tahun 1968, puluhan ton kargo telah dikirim setiap hari ke wilayah yang dikuasai oleh pemberontak dengan pesawat yang disewa oleh berbagai organisasi amal. Seringkali, selain “bantuan kemanusiaan” ada juga yang mengirimkan senjata. 

Warga Biafra mengantri makanan. Kelaparan segera pecah di Biafra akibat perang dan blokade pemerintah Nigeria. (Sumber: https://www.bbc.com/)
Demonstrasi di berbagai negara di dunia muncul untuk memohon bantuan makanan guna mengatasi kelaparan di Biafra. (Sumber: https://www.bbc.com/)

Sebagai tanggapan, Pemerintah federal lalu memerintahkan pemeriksaan wajib semua pesawat yang melintasi perbatasan negaranya, dan menyatakan bahwa mereka akan menembak jatuh pesawat apa pun jika tidak mendarat untuk menjalani pemeriksaan semacam itu. Selama beberapa bulan, pihak Nigeria tidak bisa merealisasikan ancaman mereka, meskipun penerbangan ilegal ke Biafra terus dilakukan. Hal ini terus berlanjut hingga pada tanggal 21 Maret 1969, ketika seorang pilot salah satu MiG-17 mencegat sebuah pesawat DC-3, yang krunya tidak menanggapi pesan radio dan mencoba melarikan diri dari pengejaran. Saat pilot Nigeria itu hendak memberi tembakan peringatan, tiba-tiba pesawat Dakota menabrak pohon dan jatuh ke tanah. Pemilik pesawat ini, yang jatuh dan terbakar di hutan, tetap tidak diketahui. Sementara itu, meskipun sebuah DC-3 “tidak dikenal” telah jatuh, namun operasi “jembatan udara” bantuan ke Biafra terus mengalir. Palang Merah Swiss menyewa dua pesawat DC-6A dari Belair, Dewan Gereja Dunia menyewa empat pesawat C-97 dari perusahaan yang sama, Palang Merah Prancis menggunakan pesawat DC-4, dan Swedia dengan pesawat Hercules, yang sebelumnya dimiliki oleh angkatan udara. Sementara itu, Pemerintah Jerman Barat menggunakan konflik tersebut sebagai tempat uji coba untuk menguji prototipe ketiga dari pesawat angkut terbaru C-160 Transall. Pilot-pilot Jerman, terbang dari Cotonou-Dahomey, dan melakukan 198 penerbangan ke area pertempuran.

Pengangkutan udara pertama ke kota Port Harcourt, yang diorganisir oleh Pastor Anthony Byrne, yang juga mengelola operasi bantuan Umat Katolik di Biafra. (Sumber: https://rememberingbiafra.com/)
Penerbangan pesawat ICRC bersiap untuk meninggalkan Jenewa menuju Santa-Isabel, dari sana mereka akan mengangkut obat-obatan dan vitamin ke Biafra. (Photographer: Vaslav Markevitch. Copyright: ICRC/https://rememberingbiafra.com/)
Bandara darurat di Calabar, Nigeria, tempat bantuan untuk membantu korban kelaparan dikirim dengan menggunakan helikopter. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada musim semi tahun 1969, pemberontak Biafra melakukan upaya lain untuk membalikkan keadaan. Pada saat itu, moral pasukan pemerintah, yang kelelahan karena perang yang berkepanjangan, sangat terguncang. Desersi dan aksi melukai diri sendiri meningkat tajam, yang kemudian harus diperangi dengan cara radikal, hingga termasuk dengan cara eksekusi di tempat. Mengambil keuntungan dari kondisi ini, para pemberontak lalu melancarkan serangan balasan pada bulan Maret dan mengepung brigade ke-16 tentara Nigeria di kota Owerri, yang baru saja diduduki. Upaya untuk membebaskan mereka yang dikepung tidak berhasil. Pihak Nigeria kemudian terpaksa mengirim pasokan kepada brigade yang terkepung melalui udara. Situasi diperumit oleh fakta bahwa seluruh wilayah yang terkepung tidak memungkinkan untuk bisa menampung pendaratan pesawat berat. Oleh karenanya pasokan harus dikirimkan dengan menggunakan parasut, tetapi pada saat yang sama sebagian besar dari kiriman hilang atau jatuh ke tangan para pemberontak. Selain itu, saat mendekati wilayah udara Owerri, para kru pesawat transport mendapat serangan dari berbagai jenis senjata. Seringkali, serangan-serangan tersebut membuat lubang-lubang pada badan pesawat dan melukai awak pesawat. Setelah enam minggu, tentara Nigeria berhasil memecahkan diri menjadi kelompok-kelompok kecil, untuk “menembus” pengepungan dan mundur ke Harcourt. Saat tentara Nigeria mundur, para pemberontak kembali menguasai Owerri. Keberhasilan parsial ini, bagaimanapun, membuat orang Biafra kembali percaya pada diri mereka sendiri lagi. Dan segera setelah itu muncul perkembangan lain yang memberi para pemberontak harapan akan hasil perang yang menguntungkan. Count asal Swedia, Carl Gustav von Rosen tiba di republik Biafra. Pada tanggal 13 Agustus, Carl Gustav von Rosen, mendaratkan pesawat DC-7 bermesin empat di landasan pacu kecil di Biafra. Pesawat itu, yang membawa sepuluh ton makanan dan obat-obatan, yang datang melewati rute baru yang bebas dari senjata antipesawat yang dipandu radar milik pemerintah federal Nigeria. Pada akhir 1968 dan awal 1969 von Rosen menerbangkan pasokan ke Biafra dengan pesawat DC-7B Transair atas nama Dewan Gereja Dunia.

VON ROSEN & AKSI MINICON BIAFRA

Carl Gustav von Rosen sendiri adalah pribadi yang sangat luar biasa – seorang pria pemberani, seorang pilot “berbakat” dan seorang petualang tulen. Sebagai keluarga ningrat, bibi von Rosen diketahui menikah dengan komandan Luftwaffe, Herman Goering. Pada pertengahan tahun 1930an, dia terbang sebagai bagian dari misi Palang Merah di Ethiopia selama agresi Italia terhadap negara ini. Kemudian, pada tahun 1939, setelah dimulainya Perang Musim Dingin antara Uni Soviet dan Finlandia, von Rosen menjadi sukarelawan untuk tentara Finlandia. Pada akhir Perang Dunia II, ia turut membantu membangun kembali Angkatan Udara Ethiopia. Dan sekarang di usia menjelang 60 tahun memutuskan untuk “berpetualang lagi” dengan mendaftar sebagai seorang pilot sederhana untuk Transair dan menerbangkan misi-misi berbahaya ke Biafra yang terkepung. Tetapi von Rosen tidak akan menjadi dirinya sendiri, jika dia hanya puas dengan pekerjaan semacam itu. Dia ingin bertarung. Count tua itu secara langsung menghadap kepada pemimpin pemberontak Ojukwu, dengan proposal untuk mengatur sebuah skuadron penyerang di Biafra. Idenya adalah sebagai berikut: dia akan menyewa pilot-pilot Swedia dan membeli di Swedia (tentu saja, dengan uang Biafra) beberapa pesawat latih ringan Malmo MFI-9B Mili Trainer. Pemilihan pesawat latih ini bukan sebuah kebetulan. Dengan cara ini hitungannya mereka akan bisa menghindari aturan embargo pasokan senjata ke Biafra. Pada saat yang sama, dia tahu betul bahwa MFI-9B, meskipun ukurannya kecil (dengan bentang sayap 7,43 meter dan panjang badan 5,45 m), aslinya dapat dipasangi dua unit peluncur roket udara MATRA kaliber 68 milimeter. Pihak pemberontak menanggapi positif gagasan itu, dan von Rosen dengan penuh semangat pergi untuk mewujudkannya. Pada bulan April 1969, melalui beberapa perusahaan palsu, dia membeli dan mengirim lima pesawat Malmo ke Gabon. Perlu dicatat bahwa pada saat itu pemerintah Gabon sangat aktif mendukung pemberontak Biafra, misalnya, pesawat-pesawat angkut Angkatan Udara Gabon diketahui mentransfer senjata dan peralatan militer yang dibeli oleh Ojukwu di “negara ketiga”. 

Carl Gustav Von Rosen, bersiap-siap untuk melakukan penyerangan. Kedatangan Von Rosen memberi energi baru bagi kekuatan udara kaum pemberontak Biafra. (Sumber: https://flyvertossetsaviationblog.wordpress.com/)

Sementara itu, bersama dengan von Rosen, ada empat “mercenaries” dari Swedia yang juga bergabung, yakni: Gunnar Haglund, Martin Lang, Sigvard Torsten Nielsen, dan Bengst Weitz. Segera setelah pesawat-pesawat pesanan datang, pekerjaan merakit dan mempersenjatai Mili-Trainer mulai dilakukan (di Afrika pesawat ini mendapat julukan lain, yakni Minicon, yang diambil dari kata bahasa Inggris MiniCOIN, dimana COIN adalah singkatan dari anti-gerilya. Hal yang ironis bahwa para pemberontak menggunakan pesawat anti-gerilya). Pesawat dilengkapi dengan unit roket yang dibeli secara terpisah dengan peralatan untuk meluncurkan roket. Di kokpit Minicon kemudian dipasangi dengan perangkat pembidik pesawat tempur Swedia SAAB J-22 yang sudah ketinggalan zaman, dan dibeli dengan harga murah. Untuk menambah jarak penerbangan, sebagai ganti dari kursi pilot kedua, tangki bahan bakar tambahan dipasang. Pekerjaan modifikasi itu lalu diselesaikan dengan pengecatan kamuflase tempur pada pesawat. Karena tidak ada cat khusus pesawat, sehingga pesawat ini dicat dengan cat mobil berwarna hijau enamel yang ditemukan di bengkel mobil terdekat. Dicat dengan kuas tanpa stensil, jadi setiap pesawat memiliki tampikan kamuflase yang unik. Kemudian, tidak lama setelah itu, mereka membeli empat Minicon lagi. Pesawat pesanan baru ini tidak lagi dicat kamuflase, dan dibiarkan menggunakan kode penomoran sipil (M-14, M-41, M-47 dan M-74), dan tidak dilengkapi dengan tangki bahan bakar tambahan, karena dimaksudkan untuk digunakan melatih pilot biafra. Jadi, total jumlah “Minicon” di Angkatan Udara Biafra saat itu adalah berjumlah sembilan pesawat. 

Count Carl Gustav von Rosen, bangsawan tua Swedia yang mereformasi Angkatan Udara Biafra pada tahun 1969, terlihat di kokpit sebuah `pesawat latih ringan ‘MFI-9B Mili Trainer. Hingga 18 pesawat MFI-9B diubah menjadi pesawat serang ringan yang dilengkapi dengan peluncur roket dan melakukan serangkaian serangan yang sukses antara bulan Mei dan Oktober 1969. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Pada pertengahan bulan Mei, lima pesawat dipindahkan ke lapangan terbang Eagle di dekat garis depan. Skuadron tempur pemberontak pertama di bawah komando von Rosen, karena ukuran armadanya yang kecil, mereka menerima julukan tidak resmi sebagai “Bayi Biafra”. Misi tempur pertama dari Minicon dilakukan pada tanggal 22 Mei 1969, ketika kelimanya menyerang bandara di Harcourt. Menurut para pilot bayaran, sebagai akibat dari serangan itu, empat pesawat Nigeria (2 MiG-17 dan 2 Il-28) berhasil dinonaktifkan dan “sejumlah besar” personel dieliminasi. Pihak Nigeria sendiri menanggapi klaim itu dengan mengatakan bahwa selama penyerangan, sayap salah satu pesawat MiG-17 rusak dan beberapa drum bensin meledak. Dalam penyerangan tersebut, para pilot bayaran Swedia menggunakan taktik mendekati target pada ketinggian sangat rendah (2-5 meter), yang membuatnya sulit untuk dibidik oleh tembakan anti-pesawat. Peluncuran roket kemudian dilakukan dari penerbangan horizontal. Dari saat lepas landas dan hingga saat serangan, para pilot sengaja mematikan radionya. Para pilot asal Swedia juga sama sekali tidak takut dengan ancaman senjata anti-pesawat, terutama karena menurut memoar Jenderal Obasanjo, seluruh sektor tenggara front dari Sungai Niger ke Calabar (yang hampir 200 kilometer panjangnya) tentara Federal hanya memiliki dua senjata anti pesawat Oerlikon tua. Ancaman yang dianggap jauh lebih serius malah berasal dari tembakan senjata-senjata kecil. Seringkali, “Minicon” Biafra kembali dari medan tempur dengan badan berlubang terkena tembakan peluru, dan pada salah satu pesawat pernah suatu kali ditemukan 12 lubang bekas tembakan. Akan tetapi, tidak ada dari peluru-peluru tersebut yang mengenai bagian vital pesawat. 

Minicon AU Biafra, Mei 1969. Minicon yang dijuluki “Baby Biafra” kemudian menjadi buruan utama AU Nigeria. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Minicon sedang dipasangi peluncur roket kaliber 68 mm. (Sumber: https://flyvertossetsaviationblog.wordpress.com/)

Pada tanggal 24 Mei pesawat-pesawat Minicon Biafra menyerang Bandara Benin City. Di sini, menurut laporan para tentara bayaran, mereka berhasil menghancurkan sebuah pesawat MiG-17 dan merusak sebuah IL-28. Faktanya, pesawat penumpang “Douglas” DC-4 dari Pan African Airlines yang hancur dalam serangan tersebut. Roket yang dilepaskan Minicon menghantam hidungnya. Pada tanggal 26 Mei, pilot-pilot Swedia menyerang lapangan terbang di Enugu. Data hasil penyerangan dari kedua pihak sekali lagi sangat kontradiktif. Pilot-pilot bayaran Swedia mengklaim bahwa sebuah pembom Il-28 rusak berat atau hancur di tempat parkir, sementara pihak berwenang Nigeria menyatakan bahwa yang hancur adalah bekas pesawat Invader Biafra yang rusak pada tahun 1967 dan sejak itu dibiarkan terbengkelai di tepian lapangan terbang. Setelah itu, di tanggal 28 Mei pilot-pilot Swedia “menyerang” pembangkit listrik di Ughelli, yang memasok listrik ke seluruh bagian tenggara Nigeria. Dengan kegunaan se vital itu, tempat ini tidak mungkin dilewatkan, dan instalasi di tempat itu dinonaktifkan selama hampir setengah tahun. Setelah serangan-serangan itu, kesabaran Pihak Federal habis. Membalas aksi-aksi ini, maka hampir seluruh armada udara Nigeria dialihkan ke misi pencarian dan penghancuran pesawat “Minikon” yang berbahaya. Beberapa lusin serangan bom dilakukan di tempat-tempat yang diperkirakan menjadi pangkalan udara pemberontak Biafra, terutama pangkalan udara para pemberontak yang terbesar di Uli. Pada tanggal 2 Juni, roket-roket yang ditembakkan dari pesawat jet tempur MiG-17 menghancurkan sebuah pesawat angkut DC-6. Tetapi pilot-pilot Nigeria gagal menemukan lapangan terbang sebenarnya yang menampung “bayi-bayi Biafra”. 

Pilot-pilot bayaran asal Swedia didepan pesawat Minicon andalan mereka. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Sementara itu, serangan-serangan pertama Minikon memancing reaksi keras di media internasional. Fakta bahwa tentara bayaran dari Swedia berhasil menjalankan tugasnya berperang di Nigeria diungkap oleh berbagai surat kabar di seluruh dunia. Kementerian Luar Negeri Swedia, jelas sama sekali tidak tertarik dengan “kisah” semacam itu, dengan tegas menuntut agar warganya segera kembali ke tanah air mereka (terutama karena mereka semua, kecuali von Rosen, yang secara resmi menjadi staf Angkatan Udara, di Biafra mereka tercatat sedang “menghabiskan liburan mereka”). Setelah melakukan serangan “terakhir” lainnya pada tanggal 30 Mei pada peringatan 2 tahun kemerdekaan Biafra, orang-orang Swedia yang taat hukum mulai mengemasi barang-barang mereka untuk pulang ke negaranya. Bagi Biafra, ini merupakan pukulan telak, karena pada saat itu, hanya ada tiga pilot lokal yang telah belajar terbang dengan “Minikon”, dan tidak satupun dari mereka memiliki pengalaman menembak dalam pertempuran. Sementara itu, pada tanggal 5 Juni 1969 Angkatan Udara Nigeria memenangkan “kemenangan udara” pertama dan satu-satunya yang mereka dapatkan sampai saat ini, yakni menembak jatuh sebuah pesawat Douglas DC-7, milik Palang Merah Swedia. Mungkin ini mencerminkan keinginan pihak Nigeria untuk membalas dendam atas aksi tentara bayaran Swedia di Biafra. Menurut versi resmi, peristiwa itu terjadi sebagai berikut. Kapten Gbadamo terbang dengan menggunakan pesawat tempur MiG-17F untuk mencari “pesawat pemberontak”. Ia secara kasar mengetahui arah penerbangan pesawat, kecepatan dan waktu keberangkatannya dari Sao Tome. Ketika bahan bakar sudah hampir habis, pilot MiG-17 itu menemukan targetnya. Pilot dari pesawat “Douglas” tidak mematuhi perintah untuk mendarat guna menjalani pemeriksaan di Calabar atau Harcourt, dan pilot Nigeria itu kemudian menembak jatuh pesawat itu. Semua yang berada di dalam pesawat, yakni pilot asal Amerika David Brown dan tiga anggota awak asal Swedia tewas. Pihak Nigeria kemudian mengumumkan bahwa senjata telah ditemukan di antara reruntuhan pesawat. Swedia lalu memprotes, dan mengklaim bahwa tidak ada kargo militer di atas warga pesawat, tetapi kemudian tidak ada tindak lanjut atas protes yang dilayangkan. 

Letak lapangan-lapangan udara di Biafra tahun 1968-1970. Lapangan-lapangan udara ini menjadi urat nadi kelangsungan Republik Biafra, apalagi setelah blokade diberlakukan oleh pemerintah Federal Nigeria. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

UPAYA KEDUA BIAFRA MENDAPATKAN PESAWAT TEMPUR

Setelah kejadian ini, pemberontak Biafra mulai mencari kemungkinan membeli pesawat tempur untuk mengawal pesawat-pesawat transport yang sangat mereka butuhkan. Jalan keluar, tampaknya ditemukan, setelah menggunakan perusahaan bernama Templewood Evolution, di Inggris, mereka berhasil memperoleh dua pesawat tempur Meteor NF.11. Namun, mereka tidak berhasil dibawa masuk ke Biafra. Satu “Meteor” menghilang tanpa jejak saat terbang dari Bordeaux ke Bissau, dan yang kedua pada tanggal 10 November jatuh ke air karena kekurangan bahan bakar di dekat Cape Verde. Seorang pilot tentara bayaran, asal Belanda berdasarkan kewarganegaraan, bisa menyelamatkan diri. Cerita ini kemudian berkembang saat empat karyawan Templewood Aviation pada bulan April 1970 ditangkap oleh otoritas Inggris dan dihukum karena tuduhan penyelundupan senjata. Sementara itu, tentara pemerintah, yang sedang mengumpulkan kekuatannya, kembali melancarkan serangan. Wilayah Biafra secara perlahan tapi pasti terus menyusut. Hingga saat itu, “Perburuan” angkatan udara federal atas pesawat asing, yang mengabaikan semua larangan dan terus tiba di Annabel, tidak berhenti sampai akhir perang. Dalam upaya ini tercatat beberapa “prestasi” dari pilot-pilot Nigeria. Pada bulan Juli 1969 roket yang dilepaskan dari pesawat MiG-17F Nigeria berhasil menghancurkan di tempat parkir pesawat angkut C-54 Skymaster, dan pada tanggal 2 November bom berhasil menghancurkan pesawat transport lainnya, yakni sebuah pesawat DC-6, serta pada tanggal 17 Desember pesawat transport dan penumpang Super Constellation juga berhasil dihancurkan dengan bom yang dilepaskan oleh pesawat AU Nigeria. Secara total, selama dua tahun keberadaan “Jembatan Udara Biafra”, 5.513 penerbangan telah diterbangkan ke wilayah republik yang tidak diakui itu dan 61.000 ton berbagai muatan kargo telah dikirimkan. Enam atau tujuh pesawat diketahui jatuh dalam kecelakaan dan bencana, sementara lima lainnya dihancurkan oleh militer Nigeria. 

Pesawat tempur Meteor NF.11 yang sempat diincar oleh AU Biafra, namun lagi-lagi upaya mereka berujung dengan kegagalan. (Sumber: http://kits.kitreview.com/)

Pada bulan Juli, von Rosen bersama pilot Swedia lainnya kembali ke Biafra, tetapi mereka tidak berpartisipasi dalam misi tempur, dengan lebih berfokus pada pelatihan personel lokal. Hingga akhir perang, mereka berhasil mempersiapkan sembilan orang Afrika untuk menerbangkan Minikon. Dua dari mereka tewas dalam pertempuran itu, dan seorang lainnya kemudian menjadi pilot Nigerian Airways. Di akhir perang, tentara bayaran Jerman yang terkenal Fred Hertz juga terbang di salah satu pesawat Minikon Biafra. Pada bulan Agustus, Biafra melancarkan operasi untuk mengganggu ekspor minyak dari Nigeria dengan menghancurkan infrastruktur industri minyaknya. Lima pesawat Minikon menyerang stasiun pompa Gulf Oil dan tempat pendaratan helikopter angkatan udara federal di muara Sungai Escravos. Penyerangan itu berhasil merusak stasiun pompa, tangki penyimpanan dan tiga helikopter. Selain itu, terdapat juga serangan terhadap tongkang minyak dan stasiun pompa minyak di Ugeli, Kvale, Kokori dan Harcourt. Tetapi pada umumnya, semua “serangan kecil” ini tidak dapat secara serius mempengaruhi bisnis minyak pemerintah Nigeria, yang memberi mereka sarana untuk terus mendapatkan dana untuknmelanjutkan perang. Catatan resmi  dari pihak Biafra mendokumentasikan 29 serangan pertama yang dilakukan dengan menggunakan “Minikon” yang dipiloti oleh pilot asal Afrika dan Swedia dari tanggal 22 Mei hingga akhir bulan Agustus 1969.

Pesawat MiG-17 AU Nigeria. Pesawat-pesawat ini mencatat beberapa kesuksesan dengan menembak jatuh pesawat yang menembus blokade dan menyerang armada pesawat AU Biafra di landasan. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Menurut laporan itu menyatakan bahwa “Minikon Biafra” telah meluncurkan 432 roket ke sasaran musuh (dengan akurasi 50%), yang menghancurkan setidaknya tiga pesawat tempur MiG-17F (satu lagi rusak), satu pembom IL-28, satu pesawat angkut bermesin ganda, satu pesawat Invader, satu pembom Canberra (di Nigeria, diketahui tidak ada pesawat tipe ini), dua helikopter (satu rusak), dua instalasi senjata antipesawat, tujuh truk, satu situs radar, satu pos komando dan lebih dari 500 tentara dan perwira musuh (300 di pangkalan udara dan 200 di garis depan), tanpa korban di pihak pilot Biafra saat melakukan serangan. Dari daftar panjang peralatan pesawat yang “dihancurkan”, yang bisa dipastikan benar-benar dihancurkan adalah pesawat Invader yang telah lama dinonaktifkan dan pesawat transport, yang bukan bermesin dua, tetapi bermesin empat. Kehilangan pertama “Minicon” Biafra dialami pada tanggal 28 November, ketika, selama serangan terhadap posisi pasukan federal dekat desa Obiofu di sebelah barat Owerri, salah satu “Minicon” ditembak jatuh oleh tembakan senapan mesin. Pilotnya, Alex Abgafuna meninggal. Bulan berikutnya, pasukan Federal berhasil “menemukan” area lepas landas “Minicon”. Selama penyerangan yang dilakukan oleh pesawat MiG di lapangan terbang itu, pilot-pilot Nigeria berhasil menjatuhkan bom dan menghancurkan dua MFI-9B dan merusak lainnya, tetapi masih bisa diperbaiki. “Minicon” keempat hancur pada tanggal 4 Januari 1970. Dalam serangan berikutnya, seperti biasa, seorang pilot baru, Ibi Brown, menabrak pohon. Setelah Pertempuran terakhir dalam perang saudara itu, “Minikon” yang tersisa dari pasukan pemberontak, dirampas pasukan pemerintah setelah penyerahan Biafra. Total 18 “Minicon” diketahui sempat digunakan oleh kekuatan udara Biafra. Kini pesawat-pesawat ini dipamerkan di Museum Militer Nasional Nigeria. Nigeria diketahui juga mendapatkan dua versi latih dari MFI-9B yang tidak bersenjata. Nasib kedua pesawat ini kemudian tidak diketahui.

AT-6 HARVARD BIAFRA & PILOT ASAL PORTUGIS

Sementara itu melihat sedikit ke belakang. Pada bulan bulan Juli 1969, Angkatan Udara Biafra menerima bantuan substansial dari orang-orang Portugis yang bersimpati dengan mengirimkan pesawat multi guna T-6 Texan (Harvard) dari Prancis. Pesawat latih tempur yang andal, sederhana dan, paling tidak murah digunakan ini secara aktif dipakai di hampir semua perang gerilya dan anti-gerilya di Afrika pada tahun 60-an. Dengan bayaran 1.960 dollar sebulan, pilot-tentara bayaran asal Portugis Arthur Alvis Pereira, Gil Pinto de Saus, José Eduardo Peralto dan Armando Cro Braz mau terbang dengan pesawat ini. Pada bulan September, empat “Harvard” pertama tiba di Abidjan. Di dekat jalur terakhir menuju Biafra, salah seorang Portugis tidak beruntung. Gil Pinto de Sausa tersesat keluar jalur dan secara keliru mendarat di wilayah yang dikuasai oleh pasukan Nigeria. Pilot itu kemudian ditawan dan tetap di penjara disana sampai akhir perang. Foto-fotonya kemudian digunakan oleh orang-orang Nigeria untuk tujuan propaganda, sebagai bukti lain bahwa angkatan udara Biafra menggunakan jasa tentara bayaran. Sementara itu, tiga pesawat yang tersisa bisa dengan selamat mencapai tujuan mereka. Di Biafra, mereka dilengkapi dengan kontainer pada sayapnya dengan empat senapan mesin MAG 52 dan pylon universal untuk menggantung dua bom seberat 50 kilogram atau pod roket SNEB kaliber 68 mm. Pesawat-pesawat ini menggunakan kamuflase yang agak rumit, tetapi tidak menggunakan tanda pengenal sama sekali. Lapangan udara lapangan Uga lalu dipilih sebagai pangkalan-pangkalan pesawat Harvard (setelah pasukan federal mengebom lapangan udara rahasianya, Minicon yang masih tersisa diterbangkan ke sana). Pada bulan Oktober, sisa pesawat Harvard yang dibeli dibawa ke Biafra, dan dua pilot lagi (José Manuel Ferreira dan José da Cunha Pinatelli) bergabung dengan tiga orang Portugis yang lebih dulu datang. Armada dari pesawat-pesawat “Harvard” ini kemudian membentuk sebuah skuadron penyerang, yang dipimpin oleh Arthur Alvis Pereira. Selain pilot-pilot Portugis, terdapat juga beberapa pilot lokal. Pada awal bulan Oktober, skuadron ini memasuki arena pertempuran. Karena peningkatan pertahanan antipesawat dari pasukan pemerintah dan patroli udara dari pesawat-pesawat MiG, Harvard diputuskan untuk digunakan hanya pada saat malam dan senja hari. Serangan pertama dilakukan, oleh komandan skuadron Pereira. Penembak di pesawatnya adalah seorang mekanik lokal, bernama Johnny Chuko. Pereira berhasil menjatuhkan bom di barak pasukan Nigeria di Onitsha.

Pesawat latih serbaguna T-6 Texan (Harvard) AU Biafra di pangkalan udara Uga, Oktober 1969. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Komandan tentara bayaran Portugis, Arthur Alvis Pereira di kokpit salah satu pesawat Harvard AU Biafra. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Pilot tentara bayaran Portugis Gil Pinto de Sausa ditangkap oleh orang Nigeria. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Selanjutnya, tentara bayaran membom pasukan federal di Onitsha, Harcourt, Aba, Calabar, dan permukiman lainnya. Dalam serangan lampu pendaratan terkadang digunakan untuk menyoroti target. Serangan empat pesawat Harvard di lapangan terbang Harcourt pada tanggal 10 November, dalam serangan yang terkenal itu, pilot-pilot bayaran Portugis berhasil menghancurkan gedung terminal, menghancurkan pesawat transport DC-4 Pan African Airways dan juga merusak parah pesawat AU Nigeria, yang masing-masing terdiri dari sebuah pesawat MiG-17 dan L-29. Dalam penyerangan ini, Pereira mencoba menjatuhkan sebuah pesawat MiG-17, yang sedang bertugas di atas lapangan terbang, tetapi gagal. Pada gilirannya, AU Nigeria mulai menerbangkan patroli udara tempur di atas area tersebut, dan salah satu tentara bayaran asal Inggris yang menerbangkan MiG-17 mengklaim menembak jatuh salah satu pesawat AT-6 Biafra. Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar penerbangan dilakukan pada malam hari, kerugian jelas tidak dapat dihindari. Di bulan yang sama juga Fred Olsen yang menerbangkan pesawat DC-6 jatuh di Uli, saat mencoba mendarat di malam hari. Pada bulan Desember, Pinatelli tidak kembali ke lapangan terbang setelah pergi menjalankan misinya. Apa yang sebenarnya terjadi padanya, tidak diketahui dengan pasti, apakah ia terkena tembakan senjata anti-pesawat, menghadapi masalah teknik, atau dia sendiri membuat kesalahan fatal. Dalam beberapa sumber mengatakan bahwa pilot-pilot Portugis, untuk “menghilangkan stres”, secara aktif bersandar pada minuman keras lokal. Sementara itu dalam sebuah serangan satu pesawat “Harvard” dihancurkan di landasan. Berikut adalah kutipan dari memoar Pilot Mesir Mayor Jenderal (Pensiunan) Nabil Shahri, yang terbang di atas Biafra dengan pesawat tempur MiG-17: “Selama perjalanan “bisnis” saya ke Nigeria, saya melakukan banyak misi pengintaian dan penyerangan. Satu penerbangan saya ingat dengan sangat baik. Selama penyerangan, saya menemukan sebuah pesawat yang di kamuflase di landasan. Meskipun ada tembakan kuat dari bawah, saya berhasil menembaknya dengan kanon. Saya pikir itu adalah salah satu pesawat Count Rosen yang menyebabkan banyak masalah bagi Nigeria. Bagaimanapun kesalahan Nabil Shahri dalam mengidentifikasi operator pesawat Harvard itu tidaklah mengherankan. Tidak hanya dia, tetapi juga pimpinan tentara Nigeria pada masa itu percaya bahwa semua pilot-tentara bayaran di Biafra tunduk pada komando Count von Rosen, yang namanya dikenal di kedua sisi garis depan. Tapi musuh utama pilot-pilot Portugis bukanlah MiG, bukan senjata anti-pesawat dari pasukan federal, tetapi masalah kerusakan sepele dan kurangnya suku cadang. Untuk beberapa waktu, beberapa pesawat dapat dipertahankan dalam kesiapan tempur dengan mengkanibalisasi sisanya, tetapi pesawat “cadangan” inipun secara bertahap menyusut. Akibatnya, pada awal tahun 1970, hanya ada satu Harvard yang bisa lepas landas. Pada 13 Januari, setelah mendengar tentang penyerahan Biafra di radio, Arthur Alves Pereira terbang ke Gabon dengan pesawat itu.

AKHIR PEPERANGAN

Jatuhnya Biafra diawali dengan serangan besar-besaran oleh tentara pemerintah yang dipimpin oleh Jenderal Obasanjo. Operasi dimulai pada tanggal 22 Desember 1969. Tujuannya adalah untuk memotong wilayah yang ada di bawah kendali pemberontak dari utara dan selatan dan merebut ibu kota sementara Biafra, Umuahia. Operasi tersebut melibatkan pasukan yang berjumlah ribuan orang dengan didukung oleh senjata artileri berat, pesawat terbang, dan kendaraan lapis baja. Untuk menangkis pukulan itu, pasukan pemberontak republik Biafra tidak lagi memiliki kekuatan atau sarana. Pada saat itu, pasukan Biafra, yang terdiri dari sekitar 30 ribu personil dalam keadaan kelaparan dan compang-camping, yang jatah hariannya berupa sepotong labu rebus. Pada hari pertama, Pasukan federal berhasil menerobos garis depan, dan pada tanggal 25 Desember, kelompok utara dan selatan bergabung di wilayah Umuahia. Segera kota itu direbut. Wilayah para pemberontak kini terpotong menjadi dua. Setelah itu, menjadi jelas bagi semua orang bahwa hari-hari terakhir Biafra sudah bisa dihitung. Untuk memberi kekalahan terakhir bagi para pemberontak, Obasanjo melakukan operasi lain, yang menjadi operasi terakhir dalam perang. Pada tanggal 7 Januari 1970, tentara Nigeria menyerang dari tenggara di Uli, dan pada tanggal 9 Januari, landasan pacu Annabel telah berada dalam jangkauan meriam howitzer 122 mm yang baru-baru ini diterima oleh orang-orang Nigeria dari Uni Soviet. Ini adalah hari terakhir operasi jembatan udara di Biafra. Dan keesokan paginya, tentara Nigeria yang gembira sudah menari di lapangan udara tersebut. Pada malam pukul 10 tanggal 11 Januari, Presiden Ojukwu bersama keluarganya dan beberapa anggota pemerintahan Biafra melarikan diri dari negara itu dengan pesawat Super Constellation, yang entah bagaimana secara ajaib berhasil lepas landas dari jalan raya di wilayah Biafra. Pada pukul 6 pagi tanggal 12 Januari, pesawat mereka mendarat di lapangan terbang militer di Abidjan. Pada tanggal 12 Januari, Jenderal Philip Efiong, yang mengemban tanggung jawab sebagai pemimpin sementara Biafra, menandatangani penyerahan tanpa syarat republik Biafra.

Koran Nigeria tanggal 12 Januari 1970, yang memberitakan hari-hari terakhir dari perang saudara Nigeria dengan Biafra. “Owerri sekarang direbut. Ojukwu melarikan diri dari tempat pertahananya.” Terlihat foto-foto tokoh militer yang terlibat dalam perang, seperti Obasanjo, Jallo, Bissalo, Gowon. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Perang saudara sudah berakhir. Menurut berbagai perkiraan, itu perang ini menewaskan sekitar 700 ribu hingga dua juta orang, yang sebagian besar adalah penduduk Biafra, yang meninggal karena kelaparan dan penyakit. Kerugian kekuatan Biafra sudah disinggung diatas. Sementara itu, pertanyaan tentang kerugian yang dialami angkatan udara federal lebih rumit untuk bisa didapat. Tidak ada daftar dan jumlah pasti yang dapat ditemukan. Secara resmi, Angkatan Udara Nigeria hanya mengakui satu Pesawat latih L-29 Dolphin, yang ditembak jatuh oleh senjata anti-pesawat pada tahun 1968. Sementara itu, pihak Biafra sendiri mengklaim bahwa hanya di area lapangan udara Uli pertahanan udara mereka menembak jatuh pesawat tempur dan pesawat pembom. Dengan menganalisis berbagai data, sebagian besar penulis sejarah konflik ini cenderung percaya bahwa jumlah total kerugian pihak Nigeria sekitar dua lusin pesawat tempur dan latih tempur, yang sebagian besar diakibatkan oleh kecelakaan. Seorang pilot federal, Kolonel Shittu Alao, yang mengalami kecelakaan saat melakukan penerbangan pelatihan dengan L-29, juga menjadi korban akibat kecelakaan pesawat. Sebagai catatan akhir secara singkat berikut adalah nasib beberapa tokoh dalam artikel ini. Penakluk Biafra, Jenderal Obasanjo, kemudian terpilih sebagai Presiden Nigeria pada tahun 1999, sempat melakukan kunjungan resmi ke Rusia dan bertemu dengan Presiden Putin. Sementara itu, pemimpin separatis Biafra, Ojukwu hidup di pengasingan hingga tahun 1982, sebelum kemudian diampuni oleh pemerintah Nigeria, kembali ke tanah airnya, dan bahkan bergabung dengan Partai Nasional yang berkuasa. Komandan AU Biafra, Godwin Ezelio melarikan diri ke Pantai Gading, dan dari sana ia pindah ke Angola, di mana ia memimpin sebuah maskapai penerbangan swasta kecil. Yang terakhir Count Gustav von Rosen kembali ke Swedia, tetapi segera jiwa petualangannya muncul lagi, setelah mengetahui pecahnya perang antara Ethiopia dan Somalia, dia terbang ke Ethiopia dengan misi Palang Merah Swedia. Pada tanggal 13 Juli 1977, count itu terbunuh di kota Gode oleh pasukan komando Somalia.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Goodbye Biafra! Air war in Nigeria 1967-70 YY by Mikhail Zhirokhov, Obunigve Monogon Aviamaster Magazine No. 4 / 2002; 8 June 2013

https://en.topwar.ru/28594-proschay-biafra-vozdushnaya-voyna-v-nigerii-1967-70-gg.html

Civil War in Nigeria (Biafra),1967-1970 By Tom Cooper; Nov 13, 2003, 02:38

https://web.archive.org/web/20060613025711/http://www.acig.org/artman/publish/article_351.shtml

Nigeria Air Force 

https://photius.com/countries/nigeria/national_security/nigeria_national_security_air_force.html

Biafran War – How it affected Bristows Nigeria

http://www.helitavia.com/Skyweaver/article_biafranwar.htm

BIAFRA, Nigerian Civil War Air-to-Ground Victorie

http://aces.safarikovi.org/victories/biafra.html

Carl Gustav von Rosen and Biafra

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2018/04/08/carl-gustav-von-rosen-and-biafra/amp/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Nigerian_Civil_War

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Jan_Zumbach

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Biafran_Armed_Forces

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Biafran_airlift

Exit mobile version