Sejarah Militer

Perang Rif (1921-1926): Perang Gerilya Modern Di Maroko Yang Menginspirasi Nasionalisme Arab

Pemberontakan Arab yang melanda Syria dan Jazirah Arab dalam Perang Dunia I sering dipandang sebagai peristiwa transisional yang menandai evolusi ‘perang kecil’ dari perlawanan pra-nasionalistik yang gagal melawan kolonialisme Eropa menjadi pemberontakan pasca-Perang Dunia II yang berhasil, yang diilhami oleh pemikiran nasionalisme dan dipandu oleh strategi revolusioner ala Maois. Keberadaan T. E. Lawrence juga memperkuat persepsi ini. Pahlawan ‘Pemberontakan Arab’ ini membuktikan—setidaknya untuk beberapa orang—bahwa dengan organisasi dan strategi yang tepat, perlawanan penduduk asli dapat menang melawan kekuatan modern, atau setidaknya kekuatan konvensional yang dimodernisasi. Mengingat langkanya pahlawan militer yang muncul dari Front Barat yang berdarah, Lawrence yang karismatik, yang tanpa lelah dipromosikan oleh Lowell Thomas, berpendapat dalam Encyclopedia Britannica edisi 1929 bahwa dalam kondisi optimal maka pendulum kemenangan akan secara meyakinkan menguntungkan para pemberontak: ‘Mobilitas yang diberikan, keamanan (dalam wujud kemampuan menghindari untuk menjadi target empuk bagi musuh), waktu dan doktrin (gagasan untuk mengubah setiap penduduk menjadi kawan), maka kemenangan (biasanya) akan berada di tangan pemberontak.’ Meski demikian keyakinan Lawrence pada keunggulan inheren pemberontakan hampir tidak tidak relevan saat itu, karena pada tahun 1929, hanya beberapa gerakan perlawanan bisa menang melawan Kekuatan kolonial yang modern. Pemberontakan yang berhasil, seperti revolusi di Santo Domingo dan lainnya di koloni Inggris dan Spanyol di Amerika, telah berhasil karena faktor lain. Lawrence juga tidak mau mengakui bahwa dalam berbagai analisis terakhir, orang-orang Turki di Timur Tengah telah dikalahkan oleh tentara Inggris konvensional, bukan dihancurkan oleh Pemberontakan orang-orang Arab. Namun demikian, Lawrence mungkin berpikiran lain, meskipun ia juga tampaknya telah mengabaikan pemberontakan yang memang menandakan pergeseran dari pemberontakan pranasional ke perlawanan ‘modern’, yakni : pemberontakan Rif pada tahun 1921-26, yang dipimpin oleh Mohammed ben Abd el-Krim. Perang Rif kemudian akan dikenal sebagai tantangan terbesar kaum kolonialis Eropa hingga saat itu.

Ilustrasi T.E Lawrence (Lawrence Of Arabia) bersama dengan gerilya Arab. Aksi Lawrence kerap dipandang merevolusi perang gerilya dalam melawan kekuatan kolonial yang modern bersenjata lengkap. Meski demikian aksi gerilya yang lebih signifikan menurut beberapa pengamat justru terjadi dalam Perang Rif di Maroko dekade 1920an. (Sumber: https://pixels.com/)

KOLONIALISASI SPANYOL DI MAROKO

Sultan Maroko, Moulay Abd al-Hafiz (memerintah selama tahun 1907–1912), menandatangani Perjanjian Fez pada Maret 1912, untuk mempertahankan kekuasaan keluarganya di Maroko tetapi menyerahkan sebagian besar kedaulatan negaranya kepada Prancis di bawah pengaturan kolonial yang dikenal sebagai protektorat. Pada prinsipnya ini berarti bahwa Prancis akan melindungi pemerintah Maroko dari ancaman luar, meskipun dalam praktiknya Prancis memerintah secara mutlak, secara tidak langsung, melalui sultan dan para menterinya. Ironisnya hal pertama yang gagal dilindungi Prancis adalah integritas teritorial Kesultanan Maroko itu sendiri. Di sisi lain, saat itu Spanyol telah menjadi kekuatan penting di kawasan Afrika sejak pemerintahan Raja Philip II, tetapi hal itu nyaris saja tidak terjadi. Presidionya di Ceuta dan Melilla di Mediterania telah bertahan dari pengepungan orang-orang Muslim sejak abad keenam belas, dan mereka menjadi terfokus pada pertempuran yang tidak pasti dengan suku-suku lokal antara tahun 1860 dan 1893. Namun demikian, Madrid berhasil mendapatkan beberapa konsesi kecil dari sultan Maroko, dimana para imigran Iberia yang tidak memiliki uang sepeser pun mulai mengalir melintasi Selat Gibraltar ke Tangier, di mana mereka membuat marah penduduk setempat dengan berternak babi atau menjual alkohol. Dibiarkan dengan cukup nyaman, Madrid mungkin akan puas dengan status quo tersebut. Namun, pada abad kedua puluh Spanyol tertarik untuk melebarkan pengaruh di Maroko secara sembunyi-sembunyi, dengan izin dari Prancis dan London. Pada bulan November 1912, setelah lebih dari satu dekade semakin intensifnya anarki dan bentrokan bersenjata, yang diikuti oleh berbagai perjanjian, dimana sultan tidak berdaya untuk menegakkannya, Paris memutuskan untuk menyerahkan zona di utara benua Afrika ke Spanyol. Di bawah ketentuan perjanjian tersebut, Spanyol berhak mengklaim protektoratnya sendiri atas wilayah utara dan paling selatan Maroko. Zona utara terdiri dari wilayah sekitar seluas 20.000 kilometer persegi (8.000 mil persegi), yang membentang dari garis pantai Atlantik dan Mediterania dan area pedalaman, sedangkan zona selatan mencakup wilayah gurun seluas 23.000 kilometer persegi (9.200 mil persegi), yang kemudian dikenal sebagai daerah Sahara Spanyol atau Sahara Barat. Selain itu, kota pelabuhan Tangier di Selat Gibraltar ditempatkan di bawah kendali internasional. Setelah tahun 1912 bisa dibilang Sultan Maroko memerintah negeri yang telah sangat terpecah belah. 

Sultan Maroko, Moulay Abd al-Hafiz, yang menandatangani Perjanjian Fez pada Maret 1912. Dengan kekuasaannya yang terbatas, Sultan Maroko hanya menjadi pemimpin boneka dengan wilayah yang terpecah-pecah. (Sumber: https://de.wikipedia.org/)
Wilayah Protektorat Spanyol di Maroko. (Sumber: https://www.researchgate.net/)

‘Wilayah keras Jibala dan pegunungan Rif’ itu sendiri sebenarnya bukanlah sebuah hadiah bagi Spanyol. Sebaliknya, daerah itu terdiri dari topografi pegunungan yang menyiksa, yang tidak terpetakan, membentang sepanjang 225 mil di sepanjang area pantai dari Larache di tepi Samudera Atlantik ke Sungai Moulouya dekat perbatasan Aljazair, yang dihuni oleh suku-suku Berber yang sangat independen. Selama berabad-abad, orang Eropa telah melihat pegunungan Rif dan orang-orang di pegunungan dari kapal di Laut Mediterania, tetapi hampir tidak ada orang Eropa yang pernah menjelajah ke daerah tersebut. Walter Burton Harris, koresponden Maroko untuk The Times, yang meliput perang, menulis bahwa hingga tahun 1912 hanya “satu atau dua orang Eropa yang dapat mengunjungi hutan cedar yang terletak di selatan Fez. Beberapa telah melakukan perjalanan di Atlas selatan dan pergi hingga ke Sus…cuma sejauh itu saja”. Seperti yang ditulis Harris, orang Berber “sering tidak ramah kepada orang Arab seperti halnya mereka terhadap orang-orang asing”, dan umumnya akan membunuh orang luar yang masuk ke wilayah mereka. Di sisi lain, meskipun Maroko telah menikmati berabad-abad sebagai negara merdeka sebelum menjadi protektorat, para penguasanya tidak pernah berhasil memperluas otoritas mereka atas seluruh wilayah nasional mereka. Kontrol sultan yang terkuat selalu ada di kota-kota dan yang terlemah ada di pedesaan. Situasi ini hanya diperburuk ketika Maroko berada di bawah kekuasaan negara-negara kolonial Eropa. Tentara memberontak, banyak yang kembali ke suku mereka untuk memicu pemberontakan pedesaan. Sementara itu setelah mendapat ‘legitimasi’ untuk tetap tinggal di Maroko, orang-orang Spanyol lalu segera mulai membagi apa yang oleh seorang pejabat Spanyol dinilai sebagai wilayah yang dihuni oleh ‘orang-orang yang paling keras kepala di muka bumi’ ke dalam wilayah dan comandancias, yang dikelola oleh seorang komisaris tinggi militer melalui otoritas nominal seorang khalifah yang ditunjuk oleh sultan. Tétouan, yang terletak di bawah pegunungan granit suram yang didominasi oleh tepian megah di tepi Sungai Martin, diduduki pada bulan Februari 1913 dan segera ditunjuk sebagai ibu kota baru wilayah protektorat Spanyol. 

Plaza di Tetouan, ibukota wilayah protektorat Spanyol di Maroko. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Lukisan pegunungan Rif. Wilayah protektorat Spanyol yang didominasi oleh pegunungan Rif bukanlah tempat yang ramah, dengan iklim dan topografi berat, membuat tempat ini susah untuk ditaklukkan. (Sumber: https://fineartamerica.com/)

Gerombolan imigran Iberia yang tak terhindarkan, kemudian mengikuti kehadiran tentara Spanyol yang kurang disiplin dan bergaji kecil untuk mengisi populasi koloni baru ini. Dipimpin oleh unit-unit yang direkrut secara khusus seperti Regulares, pasukan Muslim yang dibentuk pada tahun 1911, dan Legiun Asing Spanyol, didirikan pada tahun 1920 dan dikenal sebagai Tercio untuk mengenang pasukan Kemaharajaan Spanyol, serta wajib militer Spanyol yang berkutu. Mereka dipimpin oleh klik para Jendral yang bertubuh gemuk dan berkorset, yang dengan hati-hati bergerak melewati pinggiran Mediterania pada bulan Oktober 1920. Tujuan mereka adalah Chechaouen, sebuah kumpulan indah dari rumah-rumah bercat putih di bawah atap genting merah runcing yang berdiri di ngarai pegunungan empat puluh mil dari Tétouan di Pegunungan Rif tengah. Sersan Arturo Barea mendapati jalan-jalan sempit berliku-liku Chechaouen yang bergema dengan suara kuku keledai yang memesona, lebih mirip daerah Spanyol daripada Maroko, seperti Toledo di abad pertengahan pada malam yang diterangi cahaya bulan. Namun, tatapan penuh kebencian dari penduduk dikombinasikan dengan suara angin ‘menggeram di kedalaman selokan’ memberikan suasana melankolis yang mengintimidasi di tempat itu. Pada tahun 1921 tiga ratus mil jalan yang dilindungi oleh blokade dan pos-pos kecil melintasi wilayah koloni, sebuah jalur kereta api sempit menghubungkan Ceuta dengan Tétouan, dan para Africanistas—orang Spanyol yang mendukung panggilan kolonialis Spanyol di kawasan Afrika—dengan angkuh menganggap Maroko sebagai bagian dari permata kemaharajaan Spanyol, menggantikan Kuba, Puerto Riko, dan Filipina, koloni yang direbut Amerika Serikat pada tahun 1898. Namun demikian, Barea menemukan bahwa misi kolonialisasi Spanyol di Afrika sebagai upaya sia-sia, kombinasi dari peperangan, rumah bordil, dan ‘kedai minum besar’. Yang lebih tidak menyenangkan, para pengamat lain mencatat bahwa otoritas Spanyol atas suku-suku yang sangat independen hanya dipandang sebagai ‘penguasa tidak langsung’ sehingga selama itu mereka hanya berkuasa atas sepertiga wilayah Riffian. Namun demikian, wilayah Rif juga kaya akan bijih besi bermutu tinggi, yang dapat dengan mudah diekstraksi melalui penambangan terbuka. Potensi Spanyol untuk bisa mengumpulkan pendapatan dalam bentuk pajak dan royalti dari penambangan besi di tempat itu adalah manfaat yang dapat mereka peroleh untuk membawa Rif di bawah kendalinya. Keuntungan ini toh tidak bisa didapat dengan mudah.

ABD-EL KRIM MEMPECUNDANGI SPANYOL

Wilayah koloni Spanyol di Maroko tetap berbahaya, bahkan menjelajah ke luar tembok kota Tétouan saja bisa mengundang peluru dari para pacos—penembak jitu yang dipersenjatai dengan senapan Remington yang mudah dibeli di zona Prancis, dimana mereka mengintai di sepanjang jalan utama dan yang bahkan menyasar ‘kereta ikan’ (dinamakan demikian karena membawa ikan tangkap harian dari Ceuta ke Tétouan). Lebih buruk lagi bagi orang-orang Spanyol, kekerasan kasual yang menyelingi kehidupan sehari-hari di Rif menutupi arus perlawanan yang lebih dalam yang diorganisir di luar wilayah kendali Pemerintah Spanyol. Perlawanan itu diatur dan dipimpin oleh seorang pemimpin yang luar biasa, yakni Abd el-Krim. Pada pandangan pertama, Krim tidak tampak seperti Mahdi (pemimpin pemberontakan) di masa-masa puncak pemberontakannya di Sudan. Lahir sekitar tahun 1882 di Adjie, dekat teluk Alhucemas di Maroko Utara, ayah dari Krim memindahkan keluarganya ke Tetouan pada tahun 1892. Pendek dan berjanggut, dengan mata cokelat yang tajam, Krim lulus dari sekolah-sekolah Spanyol, dan setelah beberapa waktu belajar hukum Islam di medersa yang terkenal di Fez, ia sempat menjabat sebagai editor suplemen berbahasa Arab dari surat kabar berbahasa Spanyol Melilla, dan menduduki posisi penting di otoritas Spanyol- menjalankan Biro Urusan Pribumi, serta bertindak sebagai cadi, atau hakim Muslim. Tetapi seringkali mereka yang paling dekat dengan pemerintahan, justru seringkali berubah menjadi musuh mereka yang paling ulet. Krim terbukti tidak terkecuali. Ide pemikiran Krim adalah sebagai berikut: “Saya ingin membuat Rif menjadi negara merdeka seperti layaknya Prancis dan Spanyol, dan menjadi negara bebas dengan kedaulatan penuh,” jelasnya. “Kemerdekaan yang menjamin kami memiliki kebebasan penuh untuk menentukan nasib sendiri dan menjalankan urusan kami, dan untuk membuat perjanjian serta aliansi yang kami lihat cocok.” Pada tahun 1917 Krim yang berusia tiga puluh lima tahun dipenjara karena pandangan anti-Spanyol-nya. Dibebaskan pada tahun berikutnya, dia akhirnya pergi ke perbukitan pada tahun 1919 karena dia takut pihak berwenang Spanyol akan mengekstradisi dia ke zona Prancis. Pada tahun 1921, ketika Spanyol merayakan keberhasilan mereka dalam menduduki Chechaouen, Krim, bersama dengan adiknya (ayahnya meninggal setelah makan telur beracun yang diduga dipasok oleh orang-orang Spanyol), mengumpulkn antara tiga dan enam ribu suku yang terkenal terpecah belah untuk melancarkan kampanye membebaskan Riffian dari kekuasaan Spanyol. Hal itu terbukti cukup mudah untuk dilakukan—banyak suku telah didesak menuju ke kelaparan, dan ke Aljazair, oleh serangan orang-orang Spanyol dan kampanye penghukuman. 

Abd el-Krim, tokoh kharismatik Rif yang menginspirasi pemberontakan melawan kolonialis Spanyol di Maroko. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Rencana Krim sederhana: memanfaatkan kurangnya jumlah personel dari dua puluh lima ribu pasukan di bawah jenderal Africanista Manuel Silvestre, yang sedang bergerak dengan hati-hati ke arah barat dari Melilla menuju Teluk Alhucemas dengan tujuan menenangkan suku Beni Urriaguel. Silvestre, sementara itu sengaja mencari pertempuran yang bisa mengintimidasi orang-orang Moor agar tunduk pada orang-orang Spanyol. Ini adalah tindakan yang tidak bijaksana, mengingat keadaan pasukannya. Semangat tidak pernah tinggi di antara para wajib militer Spanyol pada saat-saat terbaiknya, dan kini mereka telah mencapai titik terendah dibawah komando Silvestre, yang pasukannya tersebar di sepanjang jalan yang mencapai Buy Meyan, beberapa kilometer melewati pos terdepan Anual, sebuah kamp pedalaman yang terbentang di atas tiga kamp kecil di perbukitan yang terbungkus lembah berdebu. Di sepanjang jalan Melilla ke Anual, para tentara berminggu-minggu tinggal berlama-lama di ratusan benteng pertahanan yang kotor, dibangun dengan buruk, dan dipenuhi kutu yang diselingi dengan benteng-benteng berukuran batalion yang lebih besar. Di pegunungan, tentara Spanyol tinggal di pos-pos kecil yang dikenal sebagai blocaos, yang diamati oleh sejarawan Amerika Stanley Payne: “Banyak dari mereka tidak memiliki toilet apa pun, dan prajurit yang keluar dari bunker kotor berisiko terkena tembakan yang mengintai dari suku-suku di sekitarnya”. Karena layanan medis terbatas tentara Spanyol hanya tersedia di garis belakang, luka atau penyakit yang terlalu umum seperti tifus bisa menyebabkan kematian bagi prajurit di garis depan. Banyak tentara menggigil menderita karena malaria. Rata-rata tentara Spanyol di Maroko pada tahun 1921 dibayar setara dengan tiga puluh empat sen AS per hari, dan mereka hidup dengan makanan sederhana berupa kopi, roti, kacang-kacangan, nasi, dan potongan daging yang aneh. Banyak tentara yang lalu menukar senapan dan amunisi mereka di pasar lokal dengan imbalan sayuran segar. Namun, ketika sekelompok anggota suku lokal datang menghadap ke Silvestre pada bulan Mei 1921 dan memintanya mengirimkan pasukan menyeberangi Sungai Amekran untuk mendirikan pos guna melindungi mereka dari orang-orang Krim, Silvestre melihatnya sebagai sebuah kesempatan. Keputusannya itu terbukti menjadi sebuah kesalahan besar. Pada tanggal 1 Juni, ketika pasukan Spanyol yang berjumlah 250 orang melintasi Amekran di sebuah tempat bernama Abarran, mereka masuk ke dalam penyergapan yang dibuat dengan baik. Polisi lokal yang digaji orang-orang Spanyol membelot dan bergabung dalam penjagalan tersebut. Para penyintas lalu melarikan diri kembali ke Buy Meyan dengan meninggalkan 179 mayat rekan-rekan mereka. 

Pasukan Spanyol di Maroko. Selain bergaji buruk dan berperlengkapan menyedihkan, moral pasukan Spanyol di Maroko juga rendah. (Sumber: https://www.gettyimages.com/)
Jenderal Manuel Silvestre. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Di antara para penduduk Riffian, berita tentang kemenangan Krim di Abarran, terutama ketika orang-orang Spanyol meninggalkan rekan-rekan mereka yang mati ‘secara tragis’, seperti bau amis ikan di depan kucing yang kelaparan. Gerombolan suku-suku keluar dari perbukitan dengan semangat yang semakin diperkuat. Ketika pada tanggal 17 Juli Krim memimpin harka, atau kelompok perangnya, menyerang barisan prajurit Spanyol pos yang terpencil, dia benar-benar mengejutkan Silvestre. Apa yang terjadi selanjutnya akan menjadi cerita yang akrab terjadi selama lima tahun ke depan: Pos, dikepung dan terputus dengan kekuatan lainnya, memohon bantuan dengan mengumumkan bahwa mereka akan segera kehabisan amunisi dan air. Orang-orang Riffian menyergap barisan penyelamat dan menghabisi mereka yang berupaya melarikan diri hingga hancur berkeping-keping. Para prajurit Spanyol terpaksa minum dari berbagai cairan yang tersisa mulai dari tomat kaleng dan bumbu cengkeh, cuka, tinta, atau cologne sebelum mereka mulai minum air seni mereka sendiri yang dimaniskan dengan gula. Kemudian, satu per satu, pos pertahanan itu menjadi sunyi sepi. Di Anual, Silvestre bersumpah akan menghancurkan para pemberontak saat pos-pos terdepannya menyerah.

Lukisan Pasukan berkuda Spanyol menyerang posisi pemberontak Rif pada tahun 1921. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Gerak mundur pasukan Spanyol ke Melilla yang berujung bencana. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Jenderal Silvestre dan staff-nya tahun 1921. Silvestre kemudian akan termasuk menjadi korban dalam gerak mundur tentara Spanyol ke Melilla. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Akhirnya, pada tanggal 22 Juli, ia memerintahkan semua pasukannya mundur ke Melilla. Itu terbukti akan menjadi salah satu perintah terakhir yang pernah dia berikan. Apa yang dimaksudkan sebagai penarikan yang terukur dan teratur berubah menjadi kepanikan ketika tentara Spanyol meninggalkan benteng pertahanan mereka, membuang senjata mereka, dan bergabung dengan sauve-qui-peut bergerak melalui panas yang menyengat menuju Melilla. Sedikit yang berhasil sampai, termasuk Silvestre. Jenazah sang jenderal tidak pernah ditemukan, meskipun Krim dikabarkan telah mengenakan selempang warna-warni Silvestre dan bahkan membawa kepalanya yang terpenggal ke dinding kota Melilla. Para tentara yang panik dalam gerak mundurnya hanya membawa lebih banyak orang Riffian mendatangi mereka. Bertempur secara mengagumkan dan ekonomis, mereka lebih suka mencekik atau menusuk mereka yang sakit, terluka, dan kelelahan, sambil menyimpan peluru senjata mereka yang berharga untuk menyerang para pelarian yang bergerak lebih mobile. Para Regulares Lokal, menyadari bagaimana situasi yang tidak menguntungkan, dan memilih menggorok leher para perwira mereka dan bergabung dengan pemberontak. Beberapa pengungsi kemudian melarikan diri ke zona Prancis, sementara angkatan laut Spanyol menyelamatkan yang lain dari pantai. Kadang-kadang seorang perwira berusaha memimpin anak buahnya bertahan atau malah dengan bodohnya merundingkan penyerahan, yang justru hanya menyerahkan pasukannya untuk dibantai. Para penerbang yang terbang di atas jalan menuju Anual melaporkan bahwa senapan dan tubuh yang hancur, membusuk di cuaca bulan Juli yang panas, tergeletak di mana-mana. 

FIRST MISTAKE

Pada minggu kedua bulan Agustus, orang-orang Riffian berkemah di bawah tembok Melilla, sebuah kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang selamat dan ketakutan. Kota ini dipertahankan oleh 1.800 personel wajib militer yang tidak terlatih. Pos terdepan Spanyol di Maroko timur ada di sana, siap untuk direbut, tetapi anehnya, para harka Krim memilih membubarkan diri kembali ke perbukitan, seolah-olah sudah dipuaskan oleh pembantaian dan dengan barang rampasan yang mereka dapatkan. Krim kemudian memberi tahu penulis J. Roger-Matthieu bahwa karena ada warga negara Eropa lainnya yang tinggal di Melilla, dikhawatirkan jika pasukannya menyerang kota itu, maka akan dapat mengundang campur tangan negara-negara tersebut dalam perang jika warganya sampai terluka. Alasan lainnya, adalah termasuk bubarnya sebagian pejuang Riffian dari beberapa suku yang bersekutu setelah kemenangan di Annual; dan kedatangan bala bantuan yang substansial dari Legiun dan unit Spanyol lainnya, yang ditarik dari operasi di wilayah Maroko barat di Melilla. Pada akhir bulan Agustus, pasukan Spanyol di Melilla berjumlah 36.000 di bawah Jenderal Jose Sanjurjo dan proses lambat untuk mengembalikan wilayah Spanyol yang hilang dapat dimulai dari situ. Dengan demikian Spanyol masih dapat mempertahankan basis terbesar mereka di wilayah Rif timur. Atas hal ini, kemudian Abd el-Krim akan mengakui: “Saya sangat menyesali perintah ini. Itu adalah kesalahan terbesar saya. Semua peristiwa berikutnya akan terjadi karena kesalahan ini.” Sementara itu, orang-orang Spanyol juga memilih menangguhkan operasi di Maroko barat melawan Raisuli, seorang panglima perang yang cerdik, dan mengirim misi penyelamatan melalui laut ke Melilla.

Para perwira Spanyol memeriksa sisa-sisa dari garnisun di Monte Arruit pada bulan Januari 1922. Dalam perang Rif kejadian yang sering berulang adalah pengepungan dan penghancuran tanpa ampun garnisun-garnisun Spanyol yang terisolasi oleh para pemberontak. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Barea, seorang anggota dari kelompok bantuan ini, menemukan banyak mayat membusuk di mana-mana. “Saya tidak bisa menggambarkan baunya,” kenangnya. ‘Bau itu menempel di pakaian dan kulit, menembus melalui hidung ke tenggorokan dan paru-paru, dan membuat kita bersin, batuk, dan muntah.’ Ingatannya yang tak terhapuskan tentang Melilla pada bulan Juli 1921 adalah ‘muntah tanpa henti, bau mayat, setiap kali ia melangkah, akan menemukan mayat lain, lebih mengerikan daripada yang pernah kukenal sebelumnya.’ Otoritas Spanyol secara resmi mengakui kerugian mereka sebanyak 13.192 tewas, meskipun banyak yang menganggap jumlah ini terlalu rendah. Lebih buruk lagi, 20.000 senapan, 400 senapan mesin, dan 129 meriam telah telah dihancurkan atau dirampas oleh musuh. Spanyol telah menderita bencana militer terburuk dalam sejarah kolonialisme bangsa Eropa, mengalahkan beberapa ribu kematian yang diderita tentara Italia dalam bencana di Adowa, Ethiopia pada tahun 1896. Berita tentang kemenangan Krim sangat memalukan, dimana hal ini dilakukan oleh kurang dari empat ribu prajurit. Situasi ini memperburuk hubungan yang sudah renggang antara politisi dan militer di Spanyol. Para perwira dan pendukung vokal faksi sayap kanan menyalahkan pemerintah atas kekalahan tersebut. Di sisi lain partai-partai sayap kiri dan regional yang antimiliteristik mengecam ketidakmampuan dari pihak militer, ‘praetorianisme,’ dan kepengecutan mereka.

Pemberontak suku Berber membawa senapan rampasan yang terdiri dari senapan Mauser Spanyol dan Berthier Carbine buatan Prancis. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Cortes Spanyol memerintahkan penyelidikan, dan kemudian mengungkapkan adanya korupsi raksasa di pihak tentara, yang dijalankan oleh hampir keseluruhan perwira senior, yang menyedot uang dana untuk jalan dan barak, sedangkan para perwira junior dan NCO menjual jatah makanan dan bahkan senjata langsung ke pihak Riffian. Di antara para prajurit, Barea mencatat bahwa bencana di Anual memperkuat rasa lesu yang sudah jelas, perlawanan pasif, dan penghindaran tugas dari pihak tentara. Dia juga melaporkan upaya para prajurit mensimulasikan berbagai penyakit dengan meletakkan kertas mustard di uretra, makan tembakau untuk menimbulkan gejala seperti penyakit kuning, mengoleskan koin tembaga yang dipanaskan ke kaki untuk menghasilkan ‘maag’, atau mengantri di rumah bordil yang dikenal mempekerjakan wanita yang berpenyakit. “Ketika para perwira mencoba memperketat disiplin, keadaan menjadi lebih buruk,” tulisnya. Apalagi kabar-kabar dari Anual menggemparkan kawasan Rif. Pos-pos yang masih bertahan mendapat serangan berulang kali oleh suku-suku yang ingin ikut-ikutan berperang bersama Krim. Pada bulan Maret 1922, orang-orang Riffian bahkan berhasil menggunakan meriam yang dirampasnya untuk menenggelamkan sebuah kapal perang Spanyol, Juan de Joanes yang berlayar terlalu dekat ke pantai di Teluk Alhucemas. Namun situasi untuk Spanyol mungkin lebih baik daripada yang terlihat. Prestise Krim memang mencapai puncaknya. Dia bahkan menciptakan bendera, mencetak uang, dan bahkan mengirim diplomat untuk mencari dukungan buat perjuangannya dengan mencapai beberapa keberhasilan. Terlepas dari kondisi wilayahnya yang semi modern yang belum sempurna ini, kawasan Rif tetaplah didominasi oleh kelompok-kelompok dari abad pertengahan, yang orang-orangnya terkenal sulit diatur dan sangat korup. Ini adalah problem akut yang harus dihadapi Krim.

Calon diktator Francisco Franco dengan rekan-rekan prajuritnya di Ras Medua, 1921. (Sumber: http://bleaseworld.blogspot.com/)

Pihak Spanyol kemudian mulai mengatur rencana “comeback” nya dengan kombinasi taktik suap dan gerak maju yang berhati-hati dari Melilla. Mereka membuat kesepakatan dengan Raisuli yang licik di Jibala di utara Tangier, yang memungkinkan mereka untuk fokus pada pengikut Krim di wilayah timur. Batalyon wajib militer lalu berdatangan dari Spanyol, bersama dengan mobil lapis baja dan pesawat, meningkatkan pasukan pendudukan Spanyol menjadi seratus lima puluh ribu orang. Namun, beban pertempuran tetap harus dilakukan oleh unit-unit Regulares dan legiuner di bawah pimpinan para perwira yang keras, bahkan kejam, seperti Kolonel José Millán Astray Terreros yang berusia empat puluh dua tahun, seorang veteran dari kampanye militer di Filipina melawan Amerika, dan Francisco Franco Bahamonde yang masih muda. ‘Percayalah, berhati-hatilah dengan Franco,’ Barea diberitahu oleh salah satu teman sekamarnya. ‘Dia hanya menatap kosong pada seorang pria, dengan mata yang sangat besar dan sangat serius, dan berkata: ‘Eksekusi dia,’ dan berjalan pergi, begitu saja. Saya telah melihat para pembunuh menjadi pucat pasi karena Franco telah melihat mereka dari sudut matanya …. Anda tahu, pria itu bukan manusia biasa.’ Namun demikian, kemajuan Spanyol di sepanjang tahun 1922 tetap tidak berjalan lancar, terbatas pada pergerakan mereka di sepanjang jalan Anual yang dikombinasikan dengan operasi amfibi skala kecil di pantai yang ditentukan, tetapi ini semua tidak berhasil, untuk menekan Krim agar menyerahkan para tahanan Spanyol yang ditangkapi di Anual. Pasukan Spanyol lalu membuat desa-desa menjadi timbunan jerami yang membara, beberapa mayat yang hancur, dan hamburan bulu ayam yang mereka rampas. Kemudian mereka mundur ke kamp mereka yang berbau goni dari ribuan karung pasir…daging panggang, kuda, dan tentara berkeringat dengan kutu di setiap lipatan seragam mereka,” kenang Barea. Sedikit keberhasilan Spanyol ini tidak mencegah Krim untuk mengkonsolidasikan kekuatannya di kawasan Rif tengah. Dia mengatur mehalla, atau pasukannya, di sekitar inti yang terdiri dari enam hingga tujuh ribu pasukan reguler. Dia mengharuskan mereka untuk sholat lima waktu, tidak merokok kef (hashish), dan menangguhkan segala permusuhan antar suku dan pribadi. Dia melengkapi pasukan reguler ini dengan personel-personel dari suku-suku yang jumlahnya dibatasi sekitar dua puluh ribu orang dengan bermacam-macam senapan seperti: Mauser, Remington tua, Chassepot, Gras, dan bahkan Lebel 1886 yang dimilikinya. Dia juga membentuk unit artileri, yang berjumlah sekitar dua ratus meriam kaliber 155, 75, dan 65 mm yang direbut dari tentara Spanyol. 

PUNCAK PEMBERONTAKAN KRIM

Pada tahun 1923 Krim telah membentuk hierarki pangkat, garnisun reguler, dan gudang amunisi pada posisi-posisi kuat yang telah ditentukan, dengan sistem distribusi menggunakan kereta bagal dan bahkan juga membentuk layanan medis primitif. Sementara itu, Tangier, sebuah pelabuhan internasional, tetap menjadi duri dalam daging bagi Spanyol. Di sana Krim dapat mengimpor perbekalan, senjata, dan amunisi; menarik simpati pihak asing; dan menggalang dana, terutama dengan menjanjikan konsesi pertambangan kepada perusahaan asal Inggris dan Jerman. Selanjutnya, Spanyol juga terganggu oleh masalah industri dan regional serta oleh tekanan politik untuk menebus tawanan perangnya. Kondisi internal tentara mencerminkan ketegangan di Spanyol. Junta bermunculan di banyak resimen di Spanyol, yang menuntut reformasi di kalangan tentara. Tuntutan semakin besar berkaitan dengan masalah gaji dan promosi, belum lagi tentang masa depan keberadaan Spanyol di Maroko, berkembang antara junteros Iberia dan Africanista Maroko, keretakan yang berkembang memuncak pada pengunduran diri Kolonel Astray sebagai kepala Legiun Asing. Pada bulan Januari 1923, Abd el-Krim mendapatkan lebih dari empat juta peseta dari pemerintah Spanyol untuk membebaskan tentara yang ditawan oleh para Riffian sejak dimulainya perang. Jumlah yang sangat besar ini mampu mendanai rencana ambisius Abd el-Krim untuk memperkuat pemberontakannya untuk mendirikan negara merdeka. Pada bulan Februari 1923, Krim memproklamirkan dirinya sebagai amir Rif, dan pada musim panas dia melancarkan serangan ke pos terdepan pasukan Spanyol di Tizi Azza, yang dengan gigih dipertahankan oleh ‘orang-orang Amerika,’ demikian para serdadu Tercios sering disebut karena begitu banyak diantaranya berasal dari rekrutan yang Pengungsi Kuba pro-Spanyol. Kebuntuan yang terjadi, ditambah dengan fakta bahwa komando tertinggi Spanyol jelas tidak memiliki rencana untuk memenangkan perang, menyebabkan munculnya negosiasi antara delegasi pihak Riffian dan Spanyol di Melilla.

Primo de Rivera (baris depan kiri) bersama Raja Alfonso XIII dan perwira tinggi Spanyol lainnya. Ketika kondisi politik di Spanyol bergejolak, Jenderal Primo de Rivera mendirikan pemerintahan diktator di Spanyol. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Namun, perang telah menyebabkan keributan di Spanyol, di mana kisah sikap pengabaian pemerintah, yang dikobarkan oleh pers antiperang, diperkuat pada bulan Agustus oleh pemberontakan di Barcelona dan Málaga di antara para wajib militer yang dikirim menuju Maroko. Begitu kuatnya opini publik yang menentang ‘kuburan para pemuda Spanyol’ di Maroko, sehingga ketika tentara mencoba mendisiplinkan para pemberontak, pemerintah turun tangan dan menghentikan hukuman. Ketika Spanyol terhuyung-huyung di ambang anarki, Jenderal Miguel Primo de Rivera y Orbaeja yang berusia lima puluh tiga tahun, seorang marquis Estella dan kapten jenderal Catalonia, turun tangan untuk mengesampingkan konstitusi, membubarkan Cortes, dan memerintah negeri melalui direktorat militer, yang terdiri dari delapan brigadir dan seorang laksamana. Kemelut di Maroko kini telah menyerahkan Spanyol ke tangan kediktatoran militer. Sementara itu pada tahun 1924 orang-orang Riffian telah meningkatkan aktivitas melawan pos-pos Spanyol yang terisolasi. Lebih buruk lagi bagi Madrid, seorang anak didik Krim dan mantan personel Regulerales, Ahmed Heriro, muncul sebagai pemimpin pemberontak yang efektif di kawasan pedalaman di belakang Chechaouen. Sebaliknya Raisuli, yang sekarang dibayar oleh Spanyol sebagai pangeran untuk menjaga wilayah ini bebas dari pemberontakan, tampak tidak berdaya untuk menghentikan Heriro. Sebagai pembalasan atas serangan yang semakin efektif terhadap mobil-mobil lapis baja mereka—orang Riffian kerap menggali parit untuk menghentikan mobil, lalu menyerang mereka dengan granat—orang-orang Spanyol mulai membom desa-desa Riffian tanpa pandang bulu. Pada bulan Juli, Primo de Rivera sudah merasa cukup muak dengan masalah di Maroko. Dengan biaya perang yang tinggi, jumlah korban di pihak Spanyol yang sangat tinggi, moral pasukan di titik terendah, dan tidak ada prosepek kemenangan yang terlihat, ia memerintahkan penarikan pasukan dari Chechaouen ke ‘Jalur Primo,’ serangkaian benteng pertahanan yang terletak di dataran tinggi untuk melindungi Tétouan dan wilayah pantai. Untuk menenangkan pihak militer, ia mengampuni dan bahkan mempromosikan empat perwira yang terlibat dalam bencana di Anual. 

Reruntuhan kamp Spanyol dekat Chefchaouen. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada bulan September proses evakuasi pos-pos di sekitar Chechaouen dimulai. Orang-orang Maroko tidak melakukan perlawanan besar, tetapi para paco menangkapi tentara yang terisolasi, dan pada tanggal 1 Oktober menghancurkan empat puluh kendaraan Spanyol dalam sebuah penyergapan. Para Africanista terombang-ambing antara kemarahan dan depresi; Franco bahkan berbicara tentang kemungkinan penangkapan Primo ketika dia melakukan perjalanan ke Maroko untuk mengawasi evakuasi. Pada tanggal 15 November 1924, empat puluh ribu garnisun Chechaouen mulai berangsur mundur ke jalur pegunungan menuju Tétouan dan pantai, empat puluh mil jauhnya. Orang-orang Maroko, tujuh ribu Riffian dan Jibali yang dikomandani oleh Krim bersaudara, menunggu waktu yang tepat, dengan membiarkan orang-orang Spanyol itu berkumpul di sepanjang jalur pegunungan sebelum menyerang pada tanggal 19 November di tengah badai petir. Hasilnya dapat diprediksi: Tanpa peta, kompas, atau informasi intelijen yang tepat, para perwira yang umumnya tidak kompeten, memimpin membabi buta di depan pasukan mereka menuju pantai. Meskipun serangan para Riffian tidak menimbulkan kepanikan yang serupa dengan yang terjadi di Anual, hasilnya mungkin lebih buruk. Setiap sungai harus diarungi, setiap tikungan di jalan dipenuhi bayangan penyergapan. Serangan-serangan itu mampu memecah barisan Spanyol menjadi kelompok-kelompok kecil orang-orang yang putus asa. Yang terluka terpaksa ditinggalkan, dan bahkan Franco sendiri, yang memimpin barisan belakang, harus kehilangan lima ratus personel legiuner. Ketika yang terakhir selamat berjalan terseok ke Tétouan sebulan kemudian, kerugian di pihak Spanyol diperkirakan antara tujuh belas ribu dan dua puluh ribu orang. Krim tidak hanya berhasil merebut Chechaouen tetapi orang-orang Spanyol juga telah memberinya kemenangan strategis besar lainnya untuk meningkatkan prestisenya, menyatukan suku Rif dan Jibala, serta mendapat jarahan yang melimpah untuk dibagikan di antara para pengikutnya. 

MASUKNYA PRANCIS DALAM PERANG

Krim kemudian mengirim Ahmed Heriro untuk menangkap Raisuli, yang kemudian meninggal di penahanan, sehingga hal ini telah menghilangkan sekutu penting Spanyol di wilayah barat. Suku-suku di antara wilayah Ceuta dan Tétouan, yang sampai saat itu masih setia, lalu memberontak, sehingga membutuhkan kampanye penaklukan yang mahal yang dipimpin oleh Franco, yang legiunernya secara teratur mengirimkan ‘kumpulan bagian tubuh manusia yang dimutilasi yang mengerikan—lengan yang terputus, kuping yang ditusukkan, hati, dan sebagainya’ dari musuh mereka, yang dalam kata-kata seorang pengamat, untuk ditampilkan di depan umum di Plaza de Espaa Tétouan. Kaum Muslim di zona Prancis dan bahkan di Aljazair mulai membicarakan tentang pemberontakan Krim dengan nada kekaguman. Namun, pada titik ini, Krim mengambil keputusan secara berlebihan, dengan menyerang orang-orang Prancis. Alasan mengapa, tepatnya, ia memilih untuk menyerang Prancis tetap menjadi misteri. Sampai saat itu ia hanya bertikai dengan pihak Spanyol. Prancis tetap pasif saat Krim terus mendesak pasukan Spanyol. Memang benar, Krim menolak untuk mengakui perbatasan Sungai Ouerha yang ditetapkan oleh Perjanjian Fez tahun 1912, yang membagi beberapa suku antara zona Prancis dan Spanyol. Namun sebagian besar suku di selatan Ouerha adalah suku non-Berber yang di-Arabisasi, yang tidak tergerak oleh perjuangan Republik Rif. Namun demikian, prospek pembentukan sebuah negara Muslim merdeka di kawasan Maghreb (terutama di wilayah yang kini menjadi Maroko, Aljazair, dan Tunisia) telah memicu ketidakamanan Prancis. Hanya butuh lompatan kecil imajinasi orang-orang Prancis untuk bisa membayangkan pemberontakan Krim akan memicu pemberontakan yang mungkin bisa mengusir mereka sama sekali keluar dari wilayah Afrika Utara. Mundurnya pasukan Primo de Rivera dari Chechaouen hanya menambah kecemasan mereka. 

Wilayah Republik Rif pada masa puncaknya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Jadi pada bulan Mei 1924, Prancis memindahkan dua belas ribu tentaranya melintasi Sungai Ouerrha dan mulai membangun benteng pertahanan sepanjang tujuh puluh lima mil yang dijaga oleh para tirailleurs Senegal dan Aljazair, seolah-olah untuk bisa mengawasi dengan lebih baik suku Beni Zerwal dan melindungi mereka dari intimidasi orang-orang Riffian. Hal ini mungkin bisa dianggap sebagai langkah pencegahan daripada upaya memulai perang, sebagai kelanjutan dari upaya Prancis untuk memperkuat kontrol atas suku-suku di perbatasan utara. Benar saja, gerak maju Prancis ini memang mengancam untuk memotong sumber bahan makanan utama untuk orang-orang Rif. Krim, yang sudah terlibat dalam kampanye dua front melawan pasukan Spanyol, jelas tidak membutuhkan perang berkelanjutan melawan tentara Prancis yang jauh lebih tangguh. Pemberontakan umum di zona Prancis yang menguntungkannya tidak mungkin dilakukan mengingat tangan besi yang digunakan Prancis untuk menguasai wilayah mereka. Upaya untuk merebut sasaran yang signifikan secara politis seperti Fez hanya akan mengumpankan pasukannya, yang kekuatannya terletak pada mobilitas dan pengerahannya, ke dalam daya tembak pasukan Prancis yang besar. Selain itu, penduduk Fez memandang Riffian sebagai orang-orang barbar yang kasar dan tidak mungkin bersatu dengan Krim. Disamping itu, sultan, yang dianggap sebagai tokoh suci di Maroko dan yang sikapnya sangat penting bagi keberhasilan pemberontakan rakyat, kenyataannya adalah boneka Prancis. Gabungan antara kebanggaan, terprovokasi oleh aksi Prancis, dan sikap terlalu percaya diri, kemudian telah menyebabkan Krim mengirimkan orang-orang mehalla ke posisi Prancis pada tanggal 13 April 1925.

Jenderal Louis Hubert Lyautey, administrator Prancis di Maroko. (Sumber: https://gallerix.org/)

Tujuannya kemungkinan besar untuk mencegah pasukan Prancis mengkonsolidasikan posisi mereka di Lembah Ouerrha, menimbulkan kerugian pada mereka, dan memaksa Paris untuk bernegosiasi. Pada hari itu Krim mengirimkan lima “Harka”, yang terdiri dari sekitar empat ribu orang, dengan 4.000 lainnya sebagai cadangan. Pada awalnya tampaknya strategi Krim akan berhasil — meskipun serangan itu tidak mengejutkan Prancis, keganasannya telah membuat mereka mundur. Jenderal residen Prancis, Jenderal Louis Hubert Lyautey, administrator kolonial veteran Prancis yang mengajarkan strategi ‘pemerintahan tidak langsung’, dengan menggunakan intrik untuk mengendalikan politik orang-orang pribumi daripada kekerasan, percaya bahwa ia memiliki pengaruh suku-suku di zona Prancis dengan baik. Seperti semua orang Prancis di Maroko, ia menghubungkan keberhasilan militer Krim dengan ketidakmampuan Spanyol daripada kualitas tempur orang-orang Riffian. Dia merasa enam puluh empat ribu tentara yang dimiliki Prancis di Maroko, yang didukung oleh artileri modern dan kekuatan udara, kemungkinan cukup untuk menangani perlawanan orang-orang Rif. Namun bagaimanapun Prancis kewalahan, pendudukan mereka di Rhineland dan untuk menjaga koloni mereka di Suriah dan Libanon, Pemerintah Prancis tidak bisa menyisihkan orang-orang dan perlengkapan yang mana menurut Lyautey minimum mutlak disediakan untuk mempertahankan posisinya di Maroko. Sedangkan saat dia meminta pengiriman segera empat batalyon infanteri, pemerintah Paris hanya bisa mengerahkan dua.

LEGIUN YANG TIDAK LEBIH BAIK DARI ORANG-ORANG SPANYOL

Kondisi ini diperburuk dengan fakta, bahwa postur pertahanan Spanyol di Maroko memungkinkan Krim untuk memindahkan sebagian besar pasukannya ke wilayah selatan. Selanjutnya, setelah empat tahun pertempuran melawan Spanyol, memungkinkan Riffian untuk menyempurnakan seni menghancurkan blokade. Pada bulan Juni, empat puluh empat dari enam puluh enam pos Prancis telah dikuasai, dan dalam 2 bulan saja mereka menderita 1.500 prajurit tewas dan 4.700 terluka atau hilang (jumlah korban adalah 20% dari total kekuatan Prancis yang dikirimkan) dalam aksi melawan para pemberontak Rif. Seperti rekan-rekan Spanyol mereka, Prancis mulai memahami bahwa pos-pos yang terisolasi sulit untuk dibebaskan begitu pengepungan terjadi, karena para Riffian membuat parit pengepungan dari tanah yang tak kenal ampun dan melakukan penyergapan di sepanjang semua rute pendekatan menuju pos-pos tersebut. Pasukan bala bantuan harus berbaris dalam formasi ketat di atas bukit-bukit tanpa jalan, dalam panasnya musim panas Maroko dengan bisa bersuhu mencapai 130 derajat Fahrenheit (54 derajat Celciud), melalui berbagai ancaman penembak jitu. Garnisun di Aulai bertahan selama dua puluh dua hari di bawah tembakan mortir terus-menerus sampai bisa diselamatkan, meskipun orang-orang Riffian menaklukkan beberapa benteng di luar dan membantai garnisun mereka. Pada garnisun nomor 7, yang ditempati oleh 30 orang telah dibantai oleh pemberontak. Tubuh para korban dimutilasi dan dilemparkan keluar pagar kawat berduri posisi tentara Prancis, dimana mayat-mayat ini membusuk dengan cepat di musim panas Maroko yang menyengat. Dua pos Legiun Asing yang ada di puncak bukit berbentuk tapal kuda yang disebut Biban berpindah tangan empat kali sebelum dapat diamankan lewat serangan granat pada bulan September yang menewaskan 103 prajurit Legiun Asing Prancis dan melukai 300 lainnya. Di Beni Derkul, beberapa mil dari Biban, Letnan Pol Lapeyre meledakkan gudang amunisi dan tewas bersama beberapa orang Senegal yang selamat setelah pengepungan selama dua bulan yang melampaui batas ketahanan. Banyak pos lalu ditinggalkan tanpa perlawanan, sementara pos-pos yang bertahan menderita kerugian besar meskipun ada upaya untuk memasok mereka melalui udara yang diupayakan sebaik-baiknya oleh Kapten Jean de Lattre de Tassigny untuk mengirimkan es dan medali, guna meningkatkan moral para prajurit yang terkepung.

Kapten Jean de Lattre de Tassigny yang mengorganisasikan bantuan udara pada garnisun-garnisun Prancis yang terkepung oleh pemberontak Rif. Tassingny, nantinya akan menjadi komandan terkemukan Prancis dalam Perang Dunia II dan Perang Indochina Pertama. (Sumber: https://www.alamy.com/)
Legiun Asing Prancis dalam Perang Rif. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

“Kampanye militer Riff pada bulan Mei 1925 di Lembah Wergha ini sangat sulit,” tulis calon jenderal André Beaufre, yang bertugas bersama unit tirailleurs Aljazair. “Para pendatang baru seperti saya tidak menyadari hal ini, tetapi para veteran Maroko menggelengkan kepala: kami melawan para pejuang terlatih yang bermanuver dengan terampil.” Orang-orang Maroko yang sulit ditangkap dengan tidak sportif menolak untuk mempertahankan wilayahnya, dan lebih memilih untuk menimbulkan korban lalu kemudian menghilang. “Barisan berhenti di kaki bukit tempat para partisan (goum) baru saja mundur,” Beaufre mengingat salah satu serangan. ‘Penjaga di depan telah melakukan kontak dengan musuh. Bukit-bukit di depan kami tampak sepi tetapi segera udara dipenuhi dengan teriakan melengking yang bergema dari balik batu ke batu, dan tembakan sporadis kemudian pecah. Di depan, satu batalion Legiun dengan topi képi putih dikerahkan secara teratur seolah-olah mereka sedang berolahraga. Unit artileri (yang terdiri dari empat meriam gunung kaliber 65 mm) membuka tembakan. Kami harus menyerang melewati para legiuner. Kami memanjat batu dan pohon zaitun, peluru berdesing melewati kami; lalu tidak ada apa-apa kecuali beberapa pemberontak Riff yang mati tergeletak di lubang mereka. Kami memanjat, sambil kehabisan napas. Kemudian sebuah desa yang sepi—desa miskin yang berbau minyak tengik, satu-satunya tanda kehidupan adalah sekumpulan ayam kurus yang ditakdirkan untuk masuk panci  makan kamu malam itu. Kami berhasil mencapai puncak, berkumpul kembali dan mengumpulkan yang menjadi korban, yakni: segelintir mereka yang terluka, dan satu orang yang terbunuh.’ 

Prajurit Legiun Asing Prancis dalam Perang Rif. Pada mulanya performa pasukan Prancis tidak lebih baik dari rekan-rekan Spanyol mereka. (Sumber: https://www.militaryimages.net/)

Malam hari tidak membuat semuanya berhenti. Tembakan penembak jitu yang konstan membuat semua yang tinggal di perkemahan tetap terjaga dengan sesekali terdengar teriakan ‘aux armes!’ Para Riffian bekerja berpasangan untuk menyerang para penjaga, satu menarik perhatiannya sementara yang kedua membunuhnya. Setelah beberapa tentara Prancis bangun untuk menemukan bahwa senapan mereka telah dicuri dari tengah bivak mereka, tentara mulai tidur dengan senapan mereka diikatkan ke pergelangan tangan mereka. Ini toh hanya menyebabkan orang-orang Riffian yang diam-diam, dengan tubuh telanjang dan diminyaki, menyelinap dan menggorok leher para prajurit Prancis sebelum mengambil alih senjata mereka, sebuah praktik yang memberikan tekanan psikologis yang parah pada para prajurit. Tidak mengherankan, pagi hari mendapati para prajurit kelelahan, menarik kaki bengkak kami kembali masuk ke sepatu bot kami, kami minum kopi panas, mengikat peralatan kami, memuat hewan, melipat tenda, menyimpan perlengkapan dan, ketika hari sudah siang, berangkat mengulang hari lain seperti hari sebelumnya,’ demikian Beaufre mengingat. Senjata artileri kerap gagal menemukan target produktif di antara para Riffian yang tersebar di selokan dan di belakang batu besar. Kekuatan udara, yang sangat dipercayai Prancis, juga memberikan hasil yang mengecewakan, terutama setelah para pemberontak menyerbu pangkalan udara garis depan di Ain Mediouna. Pesawat juga tidak dapat mensuplai kembali pos-pos yang terisolasi. Pengeboman mereka juga tidak efektif, karena jarang dikoordinasikan sasaran dengan para prajurit kawan di daratan. Di pihak militer Prancis, mereka juga menghadapi masalah desersi, meski Krim sendiri mengakui jumlahnya tidak lebih dari 50 orang, dimana sebagian besar orang-orang keturunan Jerman, meski tidak jelas benar, apakah mereka berasal dari unit Prancis atau Spanyol. Jadi meski Prancis tidak menderita kekalahan seperti tentara Spanyol di Anual atau Chechaouen yang melemahkan, serangan para pemberontak Krim tetap mempermalukan mereka — ia kini melaju hanya berjarak dua puluh mil saja dari Fez, yang dalam prosesnya mewajibkan kepala suku yang setia kepada Prancis untuk membelot, melarikan diri, atau menghadapi kematian. Gerak maju ini berhasil menambahkan pada sebanyak 51 meriam, 16.000 peluru, 35 mortir dengan 10.000 butir peluru, 200 senapan mesin, 5.000 senapan, 60.000 granat, dan sekitar 2.000 tahanan (sebagian besar berasal dari unit-unit ‘non reguler’ Maroko), sementara menimbulkan banyak korban di pihak Prancis. 

KEMUNDURAN KRIM

Para perunding perdamaian asal Prancis-Spanyol pada musim panas 1925 menawarkan kepada Rif suatu tingkatan pemerintahan otonomi, yang mana beberapa penasihat Krim mendesaknya untuk mengambil tawaran ini. Sebaliknya, Krim, yang didukung oleh saudaranya, malah menuntut pengakuan penuh atas kemerdekaan Republik Rif. Dalam retrospeksi, ini tampaknya merupakan keputusan bodoh yang disebabkan oleh ketidakpercayaannya terhadap kaum imperialis dan keyakinannya bahwa perlawanan yang terus-menerus akan merenggut lebih banyak konsesi dari kekuatan kolonial. Namun, mungkin Krim menyadari bahwa dia menghadapi dilema yang tak terpecahkan: Perdamaian kemungkinan hanya bisa menghasilkan gencatan senjata. Paris tidak akan pernah bisa mentolerir adanya gerakan kemerdekaan yang sukses, yang akan mengancam kesultanan bonekanya dan membutuhkan garnisun besar ditempatkan di zona Prancis. Mungkin juga, mereka menilai bahwa perdamaian hanya akan mendorong kecenderungan orang-orang Riffian untuk bersikap anarki dengan lebih kreatif, yang untuk sementara dihentikan oleh masa gencatan senjata, sembari mengkonsolidasikan kembali diri mereka sendiri. Krim kini telah mencapai titik puncak dari kemenangannya. Dia mungkin menyadarinya, tetapi dia tidak berdaya untuk mengambil langkah mundur. Keberhasilan militernya, meski spektakuler dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam perang melawan Kekuatan kolonial, telah berhasil mengulur waktu tetapi tidak menghasilkan manfaat yang strategis. Sementara itu, mesin perang Prancis mulai beraksi, perlahan-lahan membangun momentum yang disengaja tetapi menghancurkan. Sultan Mulay Yussef, yang dihormati di Maroko sebagai keturunan Nabi, kemudian melakukan perjalanan ke garis depan untuk menopang kesetiaan berbagai suku-suku yang ragu-ragu dan untuk memberikan kepercayaan pada argumen Prancis bahwa mereka bermaksud membela integritas wilayah Maroko, legitimasi Islam, dan perjanjian yang diakui secara internasional. Dihadapkan pada pilihan antara gerakan pembebasan nasional yang bercita-cita tinggi dari Rif dan berbagai instrumen kekuasaan kolonialisme Prancis yang sudah mapan, para cendekiawan Muslim di Fez percaya bahwa sistem yang ditawarkan Lyautey lebih kuat diantara keduanya. Krim belakangan menyalahkan kekalahan yang dialaminya kemudian pada para pemuka setempat yang mungkin dipekerjakan oleh Prancis dan Spanyol untuk memberikan pengaruh mereka melawan pemberontakan. Dengan begitu, koalisi suku Krim terpecah. 

Para perwira Prancis menginterogasi tawanan perang dari suku Berber. Ketidakmampuan Krim untuk mengurangi pengaruh para pemuka Maroko untuk mendukung perjuangannya menjadi biang keladi pecahnya dukungan koalisi suku-suku yang memihak pada Krim. (Sumber: https://www.militaryimages.net/)

PERTEMPURAN AKHIR

Pada bulan Juni 1925, Paris dan Madrid mulai menyusun rencana bersama untuk mengalahkan para pemberontak. Bulan berikutnya, Paris mengirim seorang pahlawan Perang Dunia I, Marsekal Henri Philippe Pétain, ke Maroko untuk mengambil alih komando di sektor Prancis, yang diperkuat dengan seratus ribu pasukan baru. Bagi Lyautey, kedatangan Pétain adalah penanda akhir kariernya di Maroko. Dia dengan jelas melihat penunjukan seorang pria yang dikenal karena aksinya yang menghancurkan di Front Barat sebagai bentuk kritikan terhadap kebijakannya selama ini yang lebih bernuansa pada persuasi daripada menggunakan kekuatan militer. Merasa dipermalukan oleh pesan yang jelas bahwa dia tidak lagi mendapat kepercayaan dari pemerintah, Lyautey mengundurkan diri sebagai residen jenderal dan kembali ke Prancis. Pada akhir musim panas, tiga ratus enam puluh ribu tentara Prancis dan Spanyol dikonsentrasikan untuk melawan pemberontakan yang telah dilemahkan oleh panen yang buruk dan wabah tifus yang melanda kawasan pegunungan. Selain itu, para Riffian umumnya adalah perampok dan bukan penakluk, orang-orang yang mampu melakukan pembantaian besar-besaran tetapi kemudian gagal mengatur wilayah yang telah mereka kuasai. Pada tanggal 10 September, pasukan Pétain bergerak maju dalam serangan yang menghancurkan yang merebut kembali Biban dan merebut kembali semua wilayah yang hilang ke tangan Krim sejak bulan April. Pihak Prancis secara bertahap bisa mengukur dan mengimbangi kekuatan musuh mereka. Mereka meninggalkan aksi serangan siang hari yang mahal begitu mereka menyadari bahwa orang-orang Maroko biasanya beristirahat pada malam hari di gua-gua dan desa-desa, meninggalkan posisi mereka tanpa pertahanan. Sebaliknya, pasukan Prancis akan bergerak maju di bawah naungan kegelapan dan menempatkan dinding batu dan kawat berduri di sekitar dataran tinggi. Kemudian mereka akan mengirimkan sekawanan ‘partisan’, sekitar lima ribu laskar Maroko yang disediakan oleh suku-suku yang masih setia kepada Prancis, yang dimaksudkan untuk menjaga agar orang-orang Riffian tetap terjaga. Efisiensi dari perang partisan ini mungkin meragukan—orang-orang ini sangat enggan untuk memberikan nyawa mereka untuk orang-orang Prancis, meskipun mereka mungkin malah menjual senjata mereka, atau setidaknya beberapa peluru berharga mereka, kepada para pemberontak. Bagi orang-orang Eropa, toh adalah hal yang menenangkan melihat orang-orang sesama Maroko berlari kencang ke atas bukit, menjarah desa-desa dengan ketelitian yang mengagumkan sebelum membakarnya, lalu berlari ke tempat penjarahan berikutnya. 

Personel Legiun Spanyol mengangkat kepala orang-orang Maroko yang dipenggal, pada tahun 1922. Perang Krim dikenal sebagai perang yang brutal, dimana kekejaman umum dilakukan oleh kedua pihak yang bertikai. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu, diktator Spanyol Primo de Rivera telah merencanakan, melatih, dan mengawasi pendaratan amfibi di sepanjang Teluk Alhucemas. Pada tanggal 8 September, enam puluh tiga kapal, beberapa di antaranya milik Prancis, mendaratkan delapan ribu tentara Spanyol yang dipelopori oleh Franco sendiri dan Legiun Spanyol di pantai di Cebadilla. Didukung oleh artileri milik angkatan laut, mereka mulai bergerak maju melewati tujuh mil medan berbatu yang memisahkan pantai invasi dari ‘ibu kota’ Krim di Ajdir. Para pejuang Riffian, yang bersembunyi di Monte Malmusi, dengan keras melawan orang-orang Spanyol dengan artileri dan tembakan senapan. Tentara Spanyol bagaimanapun kemudian merebut Monte Malmusi pada tanggal 23 September, tetapi Legiun mereka harus membayar kesuksesan ini dengan tujuh ratus orang personelnya. Pesawat, artileri angkatan laut, dan gas beracun lalu dikirimkan untuk menyerang para pemberontak yang bertahan, yang akhirnya meninggalkan Ajdir pada tanggal 2 Oktober. Orang-orang Spanyol kemudian bersukacita atas berita positif pertama yang datang dari Maroko ini, setelah bertahun-tahun mendengar hanya berita buruk dan memuji Francisco Franco, brigadir berusia tiga puluh tiga tahun yang keberaniannya membara dan tampaknya kebal terhadap tembakan musuhnya. Untuk menenangkan opini publik Spanyol dan mengirim pesan bahwa pemberontakan telah diatasi, Primo de Rivera mulai mengurangi kehadiran pasukan Spanyol menjadi sekitar seratus ribu orang. Awal musim dingin memberi Krim waktu untuk mengatur napas. Memindahkan ibu kotanya ke Tamasint, dia masih bisa mengandalkan sekitar dua belas ribu prajurit yang menggali pertahanan di tebing di Rif tengah. Pada bulan Februari ia melancarkan serangan besar-besaran di Tétouan untuk menunjukkan bahwa pemberontakan masih tetap mampu melakukan pukulan ofensif pada pihak lawan.

Pendaratan amfibi pasukan Spanyol di Teluk Alhucemas, 8 September 1925. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Namun, jelas bahwa dengan sekitar setengah juta pasukan musuh ada di Lembah Ouerha dan berkemah di Teluk Alhucemas, kekalahan Krim hanyalah masalah waktu. Moral berangsur anjlok di pihak pemberontak Rif. Tekanan pasukan sekutu di Tangier telah memutus aliran pengiriman senjata ke pihak Riffian, sehingga masing-masing sebanyak delapan pemberontak harus berbagi setiap senapan. Kelaparan mengintai di kawasan pegunungan, dan harga-harga meroket. Saat para Riffian menggerutu, Krim menjadi mudah tersinggung dan memperlakukan setiap nasihat untuk melakukan kompromi sebagai sebuah pengkhianatan dan sikap patah semangat. Satu-satunya harapannya adalah di Paris dan Madrid, dimana faksi perdamaian yang vokal dan melihat Krim sebagai pemimpin perlawanan yang mulia, akan berusaha bernegosiasi. Ketika ia menawarkan untuk melakukan membicarakan perdamaian pada musim semi 1926, pihak sekutu terikat oleh opini internasional dan domestik terpaksa menerimanya. (Memang, tekanan dari pihak Amerika Serikat telah menyebabkan Paris membubarkan Escadrille Cheériffian pada November 1925 setelah protes publik atas pengeboman mereka di Chechaouen. Charles Sweeney, seorang tentara Amerika yang kaya dan lulusan Notre Dame, telah memimpin tuntutan itu.) Sayangnya untuk Republik Rif, para sekutu memahami bahwa konsesi apa pun yang memberi imbalan pada pemberontakan Krim akan mengancam stabilitas di kawasan Afrika Utara dan, tentu saja, kepentingan Kemaharajaan Spanyol. Tentara Spanyol di satu sisi dibakar semangat untuk membalas bencana tragis mereka di Anual dan Chechaouen, sementara tentara Prancis memiliki beberapa “hutang pahit” untuk diselesaikan juga dengan para pemberontak. Mereka menuntut Krim menyerahkan titik-titik strategis di wilayah Rif kepada tentara pendudukan Prancis-Spanyol dan menolak berkompromi dalam masalah otonomi—posisi yang dianggap sengaja untuk merusak proses negosiasi. Perundingan gagal pada minggu pertama di bulan Mei. 

Berita menyerahnya Abd el-Krim pada tahun 1926. (Sumber: https://www.rarenewspapers.com/)

Prancis tidak perlu menunggu sampai perwakilan Krim keluar dari negosiasi. Pada pertengahan bulan April tiga divisi Perancis mendesak ke arah utara dan barat, diikuti dengan sebuah serangan dari pihak Spanyol pada tanggal 1 Mei. Suku-suku yang setia pada Krim membuat perlawanan terhadap tentara Spanyol di Aith Hishim (Bukit Orang Suci), tenggara Ajdir. Meskipun mereka menimbulkan lebih dari seribu korban di pihak Spanyol dan terus melawan kemajuan para prajurit Iberia dalam pertempuran skala kecil, para pemberontak telah kelelahan. Untuk serangan terakhir yang dimulai pada tanggal 8 Mei 1925, Prancis dan Spanyol mengerahkan 123.000 orang, didukung oleh 150 pesawat, melawan 12.000 orang pemberontak Rif. Jumlah personel dan teknologi yang unggul segera mengubah jalannya perang menguntungkan pihak Prancis dan Spanyol. Segera lima barisan pasukan Prancis dan Spanyol bergerak melalui ngarai dan lembah Rif, menerima penyerahan para penduduk desa, dalam sebuah upacara yang ditutup dengan ritual menggorok leher anak sapi. Pada tanggal 22 Mei, ketika pasukan Spanyol menduduki kembali Anual, pemberontakan telah mendekati akhir. Krim, yang sekarang jelas-jelas berada di ujung tanduk dengan koalisinya yang memudar dan memiliki harga atas kepalanya, menjadi semakin putus asa. Pada tanggal 18 Mei, Prancis, yang mungkin telah diberi tahu oleh sekretaris Krim sendiri, mengebom tempat persembunyiannya. Krim kemudian berusaha mencari suaka dengan kedutaan Amerika atau Italia di Tangier. Namun, dengan tentara Spanyol mendekat dan pasti akan mengeksekusinya, dia memilih untuk menyerahkan dirinya pada belas kasihan pihak Prancis. Pada tanggal 26 Mei, ia membebaskan 283 tawanan Spanyol, Prancis, Senegal, dan Aljazair, semuanya dalam kondisi kekurangan gizi dan menderita pneumonia. (Semua tawanan perang Spanyol telah ditembak sebagai pembalasan atas pemboman Spanyol atas desa-desa Riffian.) Saat fajar pada tanggal 27 Mei, Krim pergi ke kamp Prancis di Targuist memimpin keluarganya, membuntuti di belakangnya adalah kereta keledai dengan muatan harta yang diduga bernilai sekitar seperempat juta dolar. Atas desakan kemarahan orang-orang Spanyol yang menuntut pengadilan kejahatan perang bagi pemimpin pemberontak Riffian dan para komandan pentingnya, Prancis memilih mengasingkan Krim ke tempat yang nyaman di pulau Réunion dengan uang pensiun tahunan seratus ribu franc. Pada tahun 1947, pemerintah Prancis memutuskan untuk memindahkan Krim dan empat puluh dua anggota rombongannya ke pengasingan yang lebih elegan dan mewah di Rivera Prancis. Pada tanggal 31 Mei, saat kapal yang membawanya ke Prancis singgah sebentar di Port Said, Krim menyelinap dari pengawasannya dan mencari suaka di Mesir. Dia meninggal di sana pada tahun 1963. 

DAMPAK PERANG RIF

Sementara itu, dengan diasingkannya Krim, proses pengamanan di wilayah Rif berlangsung dengan relatif mudah, meskipun para pemberontak yang terisolasi masih bisa menyebabkan baku tembak. Sebagian besar kolaborator dekat Krim telah menerima tawaran pengasingan dari Prancis. Begitu mereka telah membuang keinginan mereka untuk membalas dendam, bahkan orang-orang Spanyol menyadari bahwa kebijakan terbaik yang bisa mereka lakukan adalah menawarkan posisi dalam pemerintahan kolonial kepada bekas musuh lama mereka. Rif telah dipasifiksi, dan pihak Paris serta Madrid bersukacita atas akhir ‘masalah mereka di Maroko.’ Meski demikian mereka yang peduli untuk melihat dari lebih dekat mengenali adanya fenomena baru. Pemberontakan Krim kemudian telah menjadi simbol yang menuntun dan menginspirasi keinginan orang-orang Maroko untuk merdeka. Orang-orang Maroko telah melihat orang-orang yang berpura-pura sebelumnya, orang-orang yang mengklaim sebagai keturunan Nabi membangun pengaruh diatas para pengikutnya. Sementara Krim jelas membangun tradisi seperti itu juga, namun ia telah mengambil langkah lebih jauh dengan mencoba membangun sebuah negara baru di Maroko utara yang menggabungkan tradisi Muslim dengan inovasi dari orang-orang Eropa, sebuah pemerintahan yang belum sempurna, dan dengan kekuatan militer yang terorganisir, yang memiliki kemiripan dengan semangat nasionalisme modern. Gerakan Krim kemudian memberikan pengaruh yang kuat pada kaum idealis dan nasionalis muda Maroko yang, meskipun tidak bergabung dengan para pemberontak Riffian, mulai membentuk organisasi nasionalis klandestin di kota-kota besar Maroko. Kelompok-kelompok ini lalu menjadi cikal bakal Partai Istiqlal (Kemerdekaan) yang muncul pada tahun 1940-an. Pada tahun 1958, dua tahun setelah Maroko merdeka, Sultan Mohammed V mendeklarasikan Krim sebagai pahlawan nasional, mengembalikan harta sitaannya, dan mengundangnya untuk kembali ke Maroko, yang ironisnya tawaran ini ditolak oleh Krim.

Foto Sheikh Hilal al-Atrash, pemimpin pemberontak Druze, selama upacara merayakan pembebasan pemberontak yang dipenjara di Hauran, Syria, 14 Agustus 1925. Meski pada akhirnya gagal, pemberontakan Krim telah menginspirasi munculnya berbagai gerakan nasionalis di dunia Arab. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Perang Rif telah menjungkirbalikkan demokrasi di Spanyol, yang berujung pada perang saudara Spanyol tepat 10 tahun setelah berakhirnya perlawanan Abd el-Krim. Perang saudara ini pada akhirnya membawa veteran perang Rif, yakni Jenderal Fransisco Franco ke tampuk kekuasaan Spanyol. (Sumber: https://www.thetimes.co.uk/)

Di luar Maroko, meskipun Perang Rif tidak menimbulkan perlawanan berkelanjutan terhadap Prancis atau Spanyol di Maroko, Abd el-Krim dan gerakannya telah memicu imajinasi kaum nasionalis di seluruh dunia Arab. Mereka melihat kaum Riffian sebagai orang Arab (bukan sebagai orang Berber) yang telah memimpin perlawanan heroik terhadap kekuasaan Eropa dan telah menimbulkan banyak kekalahan pada tentara modern dalam mempertahankan tanah dan keyakinan mereka. Pemberontakan lima tahun mereka (1921–1926) melawan Spanyol dan Prancis mengilhami beberapa kelompok nasionalis Suriah untuk melakukan pemberontakan mereka sendiri melawan Prancis pada tahun 1925. Dampak dari pemberontakan Rif juga terasa di utara Selat Gibraltar. Spanyol telah membayar harga yang mahal untuk sebuah kemenangan, yang tidak hanya dihitung dalam jumlah mereka yang tewas. Perang Rif telah mempolitisasi tentara Spanyol. Bencana di Anual menjungkirbalikkan demokrasi Spanyol dan membenarkan kudeta Primo de Rivera pada bulan September 1923, mengakhiri konstitusi paling lama yang pernah dijalani Spanyol serta merusak kekuasaan monarki Bourbon. Africanistas di Melilla awalnya memulai konspirasi pada bulan Juli 1936 untuk melawan kekuasaan republik, dan pengaruh mereka menyebar di wilayah protektorat, dengan diatur oleh komisaris tinggi di Tétouan, Jenderal Francisco Franco, sebelum menyeberangi selat Andalusia, dengan dipelopori oleh enam puluh dua ribu personel Regular dan legiuner. Banyak komandan Nasionalis kemudian telah memanfaatkan pengalaman mereka Perang Rif dengan baik untuk melawan pasukan Republik. Dengan cara itu kaum kolonis telah kembali mendominasi politik di Spanyol, seperti halnya konflik Aljazair tahun 1954-62 berhasil meyakinkan konstituen penting dalam militer Prancis bahwa prestise dan keamanan Prancis bergantung pada pemeliharaan kekuasaan di wilayah koloni-koloninya.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Rif War by Douglas Porch 

Rif War

The Rif War

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2020/05/15/the-rif-war/amp/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Rif_War

The French Foreign Legion: A Complete History of the Legendary Fighting Force, Book by Douglas Porch, 2010; p 396-397, p 399

Exit mobile version