Perang Timur Tengah

Perang Yahudi-Romawi Pertama (66-73 M): Pemberontakan Sengit Berujung Penghancuran Yerusalem

Pada tahun 64 M, bagian dari provinsi Syria yang dikenal sebagai Yudea berada di bawah kekuasaan procurator Romawi yang kejam dan serakah, serta tidak menghormati tradisi agama orang-orang Yahudi. Pelanggaran berkali-kali, dan reaksi dari kaum Zelot — orang-orang Yahudi yang telah lama menentang kehadiran Romawi di tanah air mereka — tidak lama lagi akan pecah menjadi konflik besar. Pemberontak yang kesabarannya telah habis kemudian membantai sebuah garnisun Romawi di Yerusalem. Yang lain merampas senjata-senjata di Masada, sebuah benteng di atas gunung dekat Laut Mati. Tindakan tersebut kemudian menyebabkan pecahnya Perang Yahudi-Romawi Pertama, perang yang mencapai klimaksnya dengan penghancuran Bait Suci di Yerusalem oleh legiun Romawi dan berakhir dengan jatuhnya benteng Masada. Perang Yahudi–Romawi Pertama  ini (66–73 M), yang kadang-kadang disebut Pemberontakan Besar Yahudi (Ibrani: הגדול ha-Mered Ha-Gadol), atau Perang Yahudi, adalah yang pertama dari tiga pemberontakan besar oleh orang-orang Yahudi melawan Kekaisaran Romawi, di Yudea yang dikuasai Romawi. Perang ini telah mengakibatkan penghancuran kota-kota Yahudi, pemindahan penduduknya dan perampasan tanah untuk penggunaan militer oleh pihak Romawi, serta diaspora dari orang-orang Yahudi ke seluruh penjuru dunia.

Perang Yahudi-Romawi Pertama (66-73 M) yang berdarah dan memakan banyak korban, berujung pada penghancuran kota Yerusalem di tahun 70 M. (Sumber: https://www.heritage-history.com/)

LATAR BELAKANG

Setelah kelaparan di musim panas dan pengepungan atas kota Yerusalem, Bait Suci Kedua yang agung akhirnya terbakar. Tidak ada yang tahu siapa yang melemparkan api, atau bagaimana kuil yang telah cukup lama bisa menghindari nasib seperti itu begitu lama, tetapi begitu kebakaran dimulai, tidak ada yang bisa menghentikannya. Para prajurit Yahudi, kalah jumlah, kelaparan dan hanya dipersenjatai dengan senjata yang mereka rampas dari tentara Romawi dalam pertempuran, sebelumnya telah membangun kembali keberanian dan fanatisme yang membantu mereka untuk bisa bertahan begitu lama. Perwujudan duniawi dari cita-cita mereka kini telah dihancurkan, dan kebebasan mereka sendiri dari pemerintahan Romawi dan bahkan kehidupan mereka sendiri kini tidak lagi ada artinya sekarang karena Bait Suci yang mereka cintai sedang menuju kehancuran. (Baca lebih lanjut tentang sejarah Yerusalem yang dilanda perang dan pertempuran kuno yang menentukan sejarah dunia pada pages majalah Military Heritage.) “Saat kobaran api membubung ke udara, orang-orang Yahudi berteriak dan berlari untuk menyelamatkan Bait Suci, tanpa menghiraukan diri mereka; karena apa yang telah mereka jaga dengan begitu setia menghilang di depan mata mereka,” tulis sejarawan Yahudi Flavius Josephus. Ketika Titus, putra kaisar baru Vespasianus dan jenderal Romawi yang bertanggung jawab atas pengepungan, mendengar berita itu, dia berlari ke tempat kejadian dan meminta agar api dipadamkan. Tentara Romawi pura-pura tidak mendengar, atau tidak patuh, dengan melemparkan lebih banyak kayu ke api. “Di mana-mana ada pembantaian dan orang melarikan diri,” tulis Josephus. “Sebagian besar korban adalah rakyat sipil, yang lemah dan tidak bersenjata.” Saat legiuner Romawi bergerak maju, tumpukan mayat di sekitar altar bertambah tinggi. Banyak perdebatan terjadi diantara pasukan Romawi seperti halnya dengan bagaimana api itu sendiri bisa menyala, menurut Josephus. Setelah beberapa pertempuran paling brutal dalam sejarah Romawi, dan setelah berbagai pertempuran antara orang-orang Romawi dan Yahudi, yang tampaknya tak berujung, api dan pertumpahan darah di Bait Suci adalah pelepasan total kebrutalan yang mengerikan. “Rasa hormat (para prajurit) terhadap Titus dan ketakutan mereka terhadap perwira staf tidak berdaya melawan kemarahan didalam diri mereka, kebencian mereka terhadap orang-orang Yahudi, dan nafsu bertempur yang tak terkendali,” tulisnya. Kompleks Kuil marmer putih besar, yang berkilauan dengan kilauan yang dapat dibandingkan dengan gunung yang tertutup salju, dan kota yang dipenuhi penduduk sipil, pemberontak, dan tentara Romawi, semuanya bercampur aduk dengan memuncak pada akhir yang penuh pembantaian, berdarah, dan berasap pada tanggal 8 September tahun 70 Masehi. 

Pompey menaklukkan Bait Suci di Yerusalem. (Sumber: https://www.lookandlearn.com/)
Pompey di bait Suci Yerusalem. Pompey kemudian dianggap telah menodai Bait Suci dengan memasuki Ruang Mahakudus, yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun kecuali oleh Imam Besar, hanya untuk mengamati keindahan kuilnya. (Sumber: https://www.lookandlearn.com/)
Kekaisaran Romawi pada tahun 41 M, termasuk negara-negara kliennya. Salah satu negara klien tersebut adalah Kerajaan Yudea (hijau), yang saat itu berada di bawah kendali Raja Herodes Agripa. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)

Hubungan antara orang-orang Yahudi dan Romawi memang tidak pernah baik. Setelah pengepungannya atas kota Yerusalem selama 3 tahun dari tahun 63 SM, Jenderal Romawi Pompey the Great telah menodai Bait Suci dengan memasuki Ruang Mahakudus, yang tidak boleh dilakukan oleh siapa pun kecuali oleh Imam Besar, hanya untuk mengamati keindahan kuilnya. Setelah lebih dari dua abad dibawah pemerintahan Helenistik, di mana pada saat itu hampir setiap aspek kehidupan Yunani, belum lagi paganismenya, dianggap menyinggung orang-orang Yahudi, orang-orang Romawi kemudian mengambil alih. Mereka sama-sama menyinggung di mata orang-orang Yahudi. Pompey yang Agung sendiri telah campur tangan secara militer dalam urusan wilayah Yudea pada tahun 63 SM. Sejak saat itu, Yudea menjadi kerajaan klien dari Republik Romawi. Beberapa penguasa yang memihak Roma — di antaranya Herodes Agung yang paling terkenal — kemudian memerintah Yudea. Roma lalu secara resmi mencaplok Yudea sebagai bagian dari provinsinya pada tahun ke-6 M. Atas perkembangan ini, perlawanan terhadap pemerintahan orang-orang Romawi langsung pecah. Muncullah Sicarii, atau pembunuh bersenjata pisau, yang melakukan serangan tiba-tiba pada mereka yang dianggap sebagai kolaborator Romawi. Para Sicarii ini kemudian bersembunyi di padang pasir untuk menghindar dari patroli Romawi yang mencoba menangkap atau membunuh mereka. Jika ungkapan klise lama tentang orang Romawi benar, bahwa mereka hanyalah orang-orang biadab yang meninggikan dirinya dengan banyak mengambil budaya Yunani, ketidakmampuan mereka untuk memerintah di Yudea dapat dengan mudah dipahami. Para procurator Romawi kerap tidak dapat memahami apa yang mereka anggap sebagai kebiasaan aneh dari bangsa asing. Tindakan yang tidak penting di mata mereka terkadang menyebabkan kegemparan. Misalnya. ketika procurator Pontius Pilatus memindahkan pasukannya dari Kaisarea ke Yerusalem, sekelompok orang Yahudi berjalan 70 mil ke Kaisarea dan berbaring tengkurap di sekitar rumah Pilatus selama lima hari. Mereka keberatan dengan patung kaisar Augustus pada lambang satuan infanterinya. Bagi orang Yahudi yang lebih radikal, simbol kaisar seperti dewa Romawi melanggar Perintah Kedua dari Hukum Taurat mereka mengenai ‘gambar patung’. Sementara birokrasi, organisasi, dan unjuk kekuatan seharusnya sudah cukup untuk menundukkan budaya minoritas yang tidak dikenal dengan kekuatan militernya, tetapi agama orang-orang Yahudi sungguh berbeda dan ini menjadi sumber kekeraskepalaan mereka. Bahkan kemenangan Roma pada akhirnya tidak akan memadamkan Yudaisme. 

Wilayah Yudea dan Galilea pada abad pertama. Sejak penaklukan oleh Pompey, Yudea menjadi kerajaan klien dari Republik Romawi. Beberapa penguasa yang memihak Roma — di antaranya Herodes Agung yang paling terkenal — kemudian memerintah Yudea. Roma lalu secara resmi mencaplok Yudea sebagai bagian dari provinsinya pada tahun ke-6 M. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Provinsi Romawi di Yudea tahun 44 M. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)
Selama Pemberontakan Besar orang-orang Yahudi, muncullah Sicarii, yakni sekelompok fanatik Yahudi yang berbaur dengan orang banyak dan melakukan pembunuhan dan operasi khusus. Senjata pilihan mereka adalah belati ‘sica‘ yang mudah disembunyikan dan kemudian memberi nama bagi kelompok mereka ini. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)

Di Yudea memang ada juga penduduk setempat yang bersedia bekerja sama dengan orang Romawi, tidak peduli seberapa aneh, bodoh, atau tidak efektifnya penguasa asing mereka. Tetapi tidak butuh waktu lama bagi orang-orang Yahudi seperti itu untuk kehilangan dukungan dari komunitasnya yang lebih besar. Melemahnya setiap aspek ritual Yahudi atau kehidupan hukum dipandang dengan penuh kecurigaan, dan jika muncul kecenderungan semacam ini, segera masyarakat Yahudi terpecah-pecah menjadi kelompok-kelompok yang saling bersaing. Orang-orang Yahudi merugikan diri mereka sendiri lewat pertikaian-pertikaian semacam ini dibanding yang bisa dilakukan oleh orang-orang Romawi. Hal ini pada dasarnya bermuara pada perang kelas, menurut Josephus jika menggunakan istilah yang masa kini. Dia mencatat bahwa mereka yang berkuasa menindas rakyat banyak, dan bahwa “rakyat banyak (sangat) ingin menghancurkan mereka yang kuat.” Bagi massa yang tertindas, yang mendukung kelompok garis keras Farisi yang lebih populer, musuh terbesar mereka adalah para elit Bait Suci dan tuan tanah terbesar, yakni orang-orang Saduki. Ada juga orang-orang Essena yang asketis dan apokaliptik, tetapi mereka pasif dan tinggal jauh dari kota dan menganggap kehidupan di Bait Suci sangat korup. Selain itu, pengaruh Romawi di daerah itu senantiasa lemah dan mudah diabaikan karena daerah itu tidak terlalu menarik bagi dunia Romawi yang lebih luas. Dari seperempat juta orang yang membentuk tentara reguler Romawi, hanya 3.000 personel yang ditempatkan di Yudea pada awal tahun 66 M. Dalam dekade terakhir sebelum Kristus dan setelah kematian Herodes Agung, walau ada pergolakan sesekali di provinsi itu, namun hanya ada sedikit yang bisa dianggap anti-Romawi, dan tidak ada yang bisa mengaitkannya sebagai pertanda kehancuran Yerusalem di akhir tahun 60-an. Sejarawan Romawi Tacitus hanya mencatat “semuanya tenang” mengacu pada Yudea selama tahun-tahun kekuasaan Kaisar Tiberius dari tahun 14 hingga 37 M. Tapi situasi disana mulai memburuk pada tahun 40 M ketika Kaisar Caligula menyimpang dari kebijakan toleransi beragama yang dilakukan oleh para pendahulunya. Rantai peristiwa selama 26 tahun ke depan akhirnya mengarah pada kekuasaan partai Zelot di wilayah Yudea. Menganggap Yudea sebagai provinsi yang tidak memiliki arti militer, orang-orang Romawi mempercayakan pemerintahannya kepada seorang gubernur berpangkat setingkat procuratorial. Banyak gubernur Yudea selama periode ini diketahui korup. Ditambah lagi, para gubernur ini cenderung bereaksi berlebihan terhadap kekacauan dan menekannya dengan kekuatan besar.

KETIDAKPUASAN PADA CALIGULA DAN BLUNDER GUBERNUR SYRIA

Caligula juga menyulut api ketidakpuasan. Dia menuntut agar patung dirinya ditempatkan untuk disembah di Bait Suci di Yerusalem. Publius Petronius, gubernur Romawi di wilayah Suriah, kemudian melakukan perjalanan ke Yerusalem untuk memadamkan kerusuhan. Dia bertanya kepada orang-orang Yahudi apakah mereka bersedia berperang melawan Caligula karena masalah ini. “Orang-orang Yahudi menjawab bahwa mereka telah mempersembahkan korban dua kali sehari untuk (Caligula) dan orang-orang Romawi, tetapi jika dia ingin mendirikan patung-patung ini, dia harus terlebih dahulu mengorbankan seluruh bangsa Yahudi; dan bahwa mereka akan menyerahkan diri mereka, istri dan anak-anak mereka, siap untuk dibantai,” tulis Josephus. Caligula kemudian dibunuh dan untuk sementara masalah itu mereda. Tanggapan orang-orang Yahudi bagaimanapun menjadi bukti yang cukup kuat yang memperlihatkan bahwa mereka bersedia mengorbankan diri mereka sendiri daripada tidak menghormati Tuhan mereka. Seperti yang kemudian terjadi, peristiwa yang menyebabkan kebangkitan orang-orang Zelot dan pemberontakan mereka selanjutnya dapat ditelusuri dari kesalahan perhitungan yang dapat dihindari oleh Procurator Romawi yang tidak kompeten, Gessius Florus. Dia membebaskan para perampok dari penjara dengan harga tertentu, lalu mengizinkan mereka melanjutkan pencurian mereka untuk mendapatkan bagian dari barang rampasan. Procurator selanjutnya mengambil 17 talenta dari perbendaharaan Bait Suci Yerusalem. Ketika orang-orang memprotes, dia membawa pasukannya ke kota dan melepaskan mereka untuk menjarah dan membunuh. Pada bulan Mei 66 M, gerombolan orang-orang non-Yahudi telah menodai sebuah sinagoga di Kaisarea, sebuah kota di pantai Mediterania 78 mil barat laut Yerusalem. Seorang Yunani, yang sadar akan hukum ketat yang dianut oleh orang-orang Yahudi sehubungan dengan kemurnian dan kebersihan ritual agamanya, ”menempatkan pispot terbalik di pintu masuk (sinagoga) dan mengorbankan burung di atasnya”, tulis Josephus. Provokasi serupa telah terjadi pada dekade sebelumnya; misalnya, tentara Romawi telah memperlihatkan pantat mereka kepada para peziarah Yahudi. Mereka juga telah menyita dan membakar gulungan kitab suci Yahudi. Kali ini peristiwa di Kaisarea akan melampaui apa pun yang pernah terjadi sebelumnya. Hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan lokal dan agama di Yerusalem selama ini menjadi kewenangan Imam Besar dan dewannya, Sanhedrin. Ketika orang-orang Yahudi di daerah itu mulai mengeluh mengenai Florus, kepada Cestius Gallus, Gubernur Syria atasan Florus, Gallus tidak bisa atau tidak mau mengendalikan Florus. 

Kaisar Caligula, yang edan menyimpan Abu dari Ibu dan Kakaknya di Makam Leluhurnya. Aksi gila Caligula juga menyulut api ketidakpuasan di Yudea. Dia menuntut agar patung dirinya ditempatkan untuk disembah di Bait Suci di Yerusalem. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Sebaliknya Florus memutuskan ini adalah saat yang tepat untuk memungut pajak yang telah jatuh tempo. Tuntutannya segera disambut dengan kemarahan di Yerusalem. Beberapa pemuda bahkan mengolok-oloknya dengan berkeliaran di jalan-jalan dengan keranjang, mengemis uang untuk gubernur yang tampaknya miskin. Florus menuntut agar para pemuda ini diserahkan untuk dihukum. Pihak berwenang Sanhedrin kemudian meminta maaf atas perilaku para pemuda tersebut, tetapi mereka menolak untuk menyerahkan mereka, dengan mengatakan bahwa tidak mungkin untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang bersalah dalam kerumunan sebesar itu. Dalam contoh yang jelas tentang penindasan brutal di Yudea yang dilakukan oleh orang Romawi, Florus memerintahkan tentaranya ke area pasar barat daya kota dengan instruksi untuk membunuh tanpa pandang bulu orang-orang yang mereka temui. “Kemudian mereka melalui jalan-jalan yang sempit, membantai orang-orang yang ditangkap, dan melakukan pemerkosaan dengan segala kengeriannya,” tulisnya. “Banyak warga yang bersalah ditangkap dan dibawa ke hadapan Florus, yang membuat mereka dicambuk dan kemudian disalibkan.” Hampir seketika, kaum radikal Yahudi yang menyerukan revolusi mengambil alih Bait Suci. Kaum radikal di Bait Suci melakukan pemberontakan pertama pada bulan Juli tahun 66 M, ketika mereka menghentikan persembahan dua kali sehari seekor lembu jantan dan dua anak domba atas nama kaisar dan orang-orang Romawi. Penolakan untuk melakukan pengorbanan harian adalah tindakan pemberontakan yang terang-terangan bagi orang-orang Romawi. Kaum radikal juga menghancurkan arsip publik, yang membangkitkan semangat revolusioner dari banyak orang miskin di pedesaan.

Sanhedrin mengadili Yesus. Pada masa kekuasaan Romawi, hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan lokal dan agama di Yerusalem menjadi kewenangan Imam Besar dan dewannya, Sanhedrin.

Kaum konservatif kemudian meminta pasukan dari Florus dan Agripa II, cucu Herodes Agung dan raja wilayah utara Galilea yang dikenal sebagai Chalcis. Agripa tidak memiliki otoritas politik di Yerusalem, tetapi ia memiliki sebuah istana di sana untuk dirinya sendiri dan saudara perempuannya Berenice. Dia juga bertanggung jawab atas Bait Suci. Pada bulan September, Agripa mengirim 2.000 penunggang kuda. Mereka memasuki Kota Atas Yerusalem dan melakukan pertempuran brutal melawan kaum Zelot yang dipimpin oleh Eleazar. Setelah tujuh hari pertempuran berdarah, bala bantuan dari kelompok Sicarii membantu orang-orang Zelot mengusir orang-orang Agrippa dari kota. Pada waktu yang hampir bersamaan, pemimpin Sicarii Menahem dan anak buahnya merebut benteng Masada dan kembali ke Yerusalem dengan banyak senjata. Dengan emosi yang naik, para pemenang di Yerusalem membakar rumah imam besar dan istana Agripa dan Berenice. Fraksi konservatif, sementara itu, melarikan diri ke istana Agripa, bersama dengan 500 tentara Romawi yang telah ditinggalkan Florus di kota sebelum dia sendiri pergi. Ketika tentara Romawi ini memutuskan untuk berdamai, para pemberontak meyakinkan bahwa mereka akan dibebaskan. Begitu mereka digiring keluar dan menyerahkan senjata mereka, para pemberontak “menyerang, mengepung dan membantai mereka; orang-orang Romawi tidak melawan atau menuntut belas kasihan, tetapi hanya memohon dengan teriakan keras untuk menghormati ‘perjanjian’ dan ‘sumpah,’” yang telah disetujui tulis Josephus. Bagi orang-orang Yerusalem, perang dengan Romawi tampaknya tak terelakkan pada saat itu, seperti halnya rasa bersalah kolektif dan kemarahan atas pembunuhan di hari Sabat itu. Kota Yerusalem kini berduka atas apa yang akan terjadi di masa depan, sementara mereka yang berada di faksi konservatif ketakutan saat mereka merenungkan penderitaan yang akan menimpa mereka atas kejahatan yang dilakukan oleh para pemberontak. 

Ilustrasi Pemberontak Yahudi yang melawan Romawi pada abad ke-1 M. (Sumber: https://www.deviantart.com/)

Waktu itu, keretakan berkembang antara para Sicarii dan kelompok fanatik lainnya. Faksi fanatik yang lebih besar mengusir Sicarii dan membunuh Menahem, tetapi perang antara kedua faksi itu masih jauh dari kata selesai. Sementara itu, meskipun terjadi perpecahan di antara otoritas Yahudi dan munculnya ancaman kekerasan mengerikan yang dilakukan para pemberontak kepada orang-orang Romawi sebagai pembalasan, perang yang lebih luas diharapkan masih dapat dihindari. Cestius Gallus, gubernur Romawi di Syria, dipanggil untuk memadamkan gangguan di Yudea. Dia awalnya mencoba menyelesaikan masalah lewat upaya diplomasi dengan mengirimkan tribunnya Neapolitanus ke Yerusalem. Neapolitanus dan Agripa mencoba menenangkan kerusuhan tetapi tidak berhasil. Gallus kemudian berbaris dari Antiokhia ke Palestina dengan pasukan besar berkekuatan 18.000 orang (ditambah unit bantuan dan pasukan sekutu – total sekitar 30.000–36.000 tentara), yang intinya adalah Legiun ke-XII. Dalam perjalanannya ke Yerusalem ia meninggalkan kehancuran di sepanjang pantai di belakangnya, membakar desa-desa dan membantai penduduknya. Legiun Suriah lalu merebut Narbata dan juga merebut Sepphoris, yang menyerah tanpa perlawanan. Pemberontak Yudea, yang mundur dari Sepphoris, berlindung di bukit Atzmon, tetapi dikalahkan setelah pengepungan singkat. Gallus kemudian mencapai Acre di Galilea Barat, dan kemudian berbaris di Kaisarea dan Jaffa, di mana ia membantai sekitar 8.400 orang. Melanjutkan kampanye militernya, Gallus merebut Lydda dan Afek (Antipatris) dan terlibat pertempuran dengan pemberontak Yerusalem di Geva, di mana ia kehilangan hampir 500 tentara Romawi atas pemberontak Yudea yang dipimpin oleh Simon bar Giora, yang diperkuat oleh relawan sekutu dari Adiabene. Sebelum dia mencapai Yerusalem, Agripa menyampaikan kepada para pemberontak sebuah proposal perjanjian damai atas nama Gallus. Itu termasuk pengampunan umum bagi para pemberontak, dengan syarat mereka mau melucuti senjatanya. Mungkin dengan mempertimbangkan pembantaian mereka sendiri terhadap pasukan pembantu Romawi yang tidak bersenjata, tawaran itu ditolak dan salah satu utusan dibunuh.

Pasukan pemberontak Yahudi menghancurkan tentara Romawi di Beth Horon, tahun 66 M. (Sumber: https://historica.fandom.com/)

Sebagai tanggapan, Gallus melanjutkan perjalanan ke Yerusalem. Sesampainya di Yerusalem pada awal Oktober, ia memasuki kota melalui tembok ketiga yang belum selesai, yang telah dibangun Agripa I selama bertahun-tahun sebelumnya di sekitar bagian utara kota. Dia kemudian berjuang masuk ke kota melalui pinggiran timur laut di mana dia berkemah selama lima hari sebelum menuju tembok kedua Yerusalem dekat Istana Herodes. Mendekati musim dingin dengan hujan lebat, serta kemungkinan serangan di jalur pasokannya, memaksa Gallus untuk mundur melalui Palestina. “Jika dia, pada saat itu, memutuskan untuk menerobos tembok, dia akan segera merebut kota itu, dan perang akan berakhir,” tulis Josephus. Orang-orang Yahudi lalu mengambil kesempatan dengan mengganggu gerak mundurnya, memaksanya membuang peralatan perangnya yang berharga untuk mempercepat penarikannya. Pasukan terbaiknya, yang dia tinggalkan sebagai penjaga belakang, dihancurkan di Celah Beth Horon. Gallus kemudian kehilangan 5.000 orang, 500 prajurit kavaleri, dan perangkat pengepungan serta kereta perbekalannya selama penarikannya. Orang-orang Yahudi juga merampas bendera legiunnya. Keberhasilan dari orang-orang Yahudi memperoleh perangkat artileri pengepungan yang tidak mereka miliki sebelumnya, kemudian meningkatkan kepercayaan diri mereka. Sebaliknya kerugian besar yang ditimbulkan pada pasukan Gallus menjamin bahwa orang-orang Romawi akan merespons dengan kekuatan yang lebih besar. Banyak orang Yahudi terkemuka kemudian meninggalkan Yerusalem untuk menghindari pembalasan orang-orang Romawi yang tak terhindarkan, tetapi para pemimpin pemberontak yang tetap bertahan di sana bersiap untuk membela negeri mereka. Mereka menyelesaikan tembok ketiga kota dan menunjuk orang-orang untuk memobilisasi perlawanan di berbagai daerah.

KAMPANYE MILITER VESPASIANUS DI YUDEA

Tentara Romawi tidak melancarkan serangan besar lainnya terhadap Yerusalem selama empat tahun. Sementara itu, kota itu bergolak dengan kekacauan. Orang-orang Romawi jelas lebih dari mau untuk menyaksikan faksi-faksi Yahudi di bawah pimpinan berbagai panglima perangnya berperang di antara mereka sendiri. Roma kemudian memberikan tugas untuk menekan pemberontakan orang-orang Yahudi kepada Vespasianus yang berusia 58 tahun. Keluarganya termasuk dalam golongan equites, kelas kedua orang-orang kaya Roma, yang peringkatnya tepat ada di bawah kelas senator. Pamannya pernah menjabat sebagai senator, dan kemudian sebagai praetor, kedudukan terhormat yang tercatat dalam silsilahnya. Meskipun tidak populer di dewan pada saat pengangkatannya, Vespasianus tampaknya merupakan orang yang tepat untuk pekerjaannya itu karena asal-usulnya yang relatif tidak begitu mencolok memastikan bahwa jika dia dipercayakan dengan komando tentara yang cukup besar, dia tidak akan memiliki rencana ambisius untuk menggunakan tentaranya guna kepentingannya sendiri. Vespasianus sendiri memiliki catatan panjang dalam dinas militer. Saat menjabat sebagai wakil unit Legio II Augusta selama penaklukan terakhir di Britania (Inggris) pada tahun 43 M, ia menunjukkan catatan tempur yang membuatnya mendapatkan triumphal regalia untuk jasa-jasanya. Vespasianus telah bertempur dalam 30 pertempuran di Inggris dan merebut lebih dari 20 kota di sana. Dia lalu melanjutkan penugasannya di Afrika dan memegang jabatan konsul pada tahun 51 M pada masa pemerintahan Kaisar Claudius. Sebagai anggota rombongan Nero yang melakukan perjalanan di Yunani pada tahun 66 M, ia hampir dieksekusi karena tertidur pada tahun 66 M dalam salah satu pertunjukan musik kaisar yang tak berkesudahan. Menghadapi ancaman teror yang mengancam hidupnya, Vespasianus memilih bersembunyi daripada menghadapi pembalasan Nero yang berubah-ubah dan aneh. Sementara itu, untuk menumpas pemberontakan di Yudea, ia diberi jabatan propraetorian legate dengan kewenangan komando atas empat legiun. Dalam menjalankan tugasnya ini, Vespasianus membawa putra sulungnya, Titus, sebagai perwira staf.

Vespasianus. Sebelum ditugaskan untuk memadamkan pemberontakan orang-orang Yahudi, Vespasianus sudah punya pengalaman tempur di Britania (Inggris) dan Afrika. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)

Vespasianus mengumpulkan 60.000 tentara di Ptolemais. Vespasianus membuka kampanye militernya pada bulan April 67 M di Galilea. Komandan pertahanan pemberontak Yahudi di Galilea tidak lain Joseph ben Mattathias atau dikenal sebagai Josephus sendiri. Josephus pernah mengunjungi Roma beberapa tahun sebelumnya dan mengetahui kekuatan dan disiplin dari pasukan Romawi. Dia melatih pasukan dengan model Romawi, yang dia hitung sekitar 65.000 (meskipun Josephus mungkin telah membesar-besarkan beberapa jumlah pasukannya). Dia juga membangun tembok di sekitar beberapa kota. Bagaimanapun tidak semua orang di Galilea menyambut Josephus. Lawannya yang paling gigih adalah Yohanes dari Gischala, yang memonopoli pasaran minyak halal dan mendapatkan keuntungan besar darinya. Disamping urusan ekonomi, ia juga menginginkan kekuasaan politik. Yohanes membenci campur tangan Josephus dan mencoba melabelinya sebagai pengkhianat. Dia juga melakukan upaya berulang kali ingin membunuh Josephus. Di Galilea, Vespasianus kemudian berulang kali mengalahkan pasukan yang telah dilatih Josephus, dan pada saat Vespasianus dan Titus memulai perjalanan mereka pada musim semi tahun 67 M, sebagian besar Galilea telah ditaklukkan. Setelah melihat pasukan Romawi yang perkasa itu memasuki Galilea, pasukan Josephus melarikan diri. Josephus dan beberapa orang lainnya kemudian berlindung di Jotapata, kota berbenteng paling kuat di Galilea. Vespasianus bertekad untuk merebutnya terlebih dahulu. Pertempuran di luar tembok kota itu mendahului pengepungannya selama 47 hari, di mana platform pengepungan, yang terdiri dari tiga menara pengepungan berlapis baja setinggi 50 kaki (15 meter) dan 160 mesin pengepungan terbukti tidak cukup untuk menembus tembok atau mengatasi pemberontak Yahudi Jotapata. Vespasianus sendiri terluka di kaki oleh panah dalam satu serangan yang sengit, namun tidak membuahkan hasil. Setelah memotong jalur barat ke Jotapata — dan dengan itu, memutus pasokan makanan dan air ke kota — orang-orang Romawi akhirnya menembus tembok kota setelah seorang pembelot Yahudi memberi tahu Vespasianus kapan para penjaganya akan tidur.

Flavius ​​Josephus, nama Aslinya adalah, Joseph Ben Mathias. Josephus adalah sejarawan Yahudi, yang detail mencatat sejarah Perang Yahudi-Romawi. (Sumber: https://fineartamerica.com/)
Vespasianus dan pasukan Romawinya bertekad untuk menangkap Jotapata, yang dipertahankan oleh pasukan pimpjnan Yosephus. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)

Josephus dan 40 rekannya kemudian berlindung di sebuah gua. Membayangkan akan menghadapi penangkapan dan kematian, mereka membuat perjanjian untuk bunuh diri bersama-sama, dengan mulai membunuh satu sama lain. Josephus entah bagaimana bisa mengatur untuk menjadi salah satu dari dua orang yang masih hidup. Dia kemudian menyerah kepada seorang perwira Romawi, yang membawanya ke Vespasianus. Josephus yang jago berbicara dengan cepat meyakinkan Vespasianus bahwa dia adalah seorang nabi. Dia meramalkan bahwa Vespasianus dan Titus suatu hari nanti akan menjadi kaisar. Sebagai imbalan atas kabar gembira ini, Vespasianus membiarkan nyawa Yosephus, tetapi menahannya sebagai tawanan perang. Pasukan Romawi kemudian melanjutkan kampanye militernya sampai akhir tahun 67 M, dengan merebut Yoppa, Tiberias, Tarichaeae dan Gamala. Gischala juga menyerah, tetapi Yohanes berhasil melarikan diri ke Yerusalem. Dengan selesainya penaklukan Galilea, Vespasianus menempatkan pasukannya di Kaisarea dan Scythopolis. Ketika Yohanes dari Gischala mencapai Yerusalem, orang-orang Zelot telah menduduki Bait Suci dan memilih seorang imam besar saingan bernama Phhanias. Menginginkan kepemimpinan yang telah ditolak oleh Josephus di Galilea, Yohanes menyebar berita bohong dengan memberi tahu para pemimpin Zelot bahwa imam besar lainnya, Ananus dan teman-temannya akan menyerahkan kota itu kepada orang Romawi. Orang-orang Zelot kemudian meminta bantuan pasukan dari Idumaea, sebuah negeri di selatan, untuk membantu mencegah pengkhianatan di ibu kota. Begitu berada di dalam tembok kota, orang-orang Idumea menjadi tidak terkendali. Bait Suci menjadi medan pertempuran dan kota itu mandi darah. Ananus dibunuh dan ditolak penguburannya. Orang-orang biasa berusaha berjuang untuk tetap hidup. Ketika rencana untuk mengkhianati kota itu terbukti tidak benar, sebagian besar orang Idumea pergi dengan jijik. Menilai saatnya sudah tepat, Yohanes lalu memutuskan hubungan dengan Zelot dan membentuk kelompoknya sendiri.

Buku Jewish War karya Josephus. (Sumber: https://www.metmuseum.org/)

Dalam karyanya, Jewish War, yang ditulis Josephus beberapa dekade setelah konflik, ia memberikan penjelasan rinci tentang peperangan di masa itu. Josephus adalah seorang penulis sejarah yang ideal mengingat bahwa keluarganya telah aktif dalam kehidupan politik sebelum Perang Yahudi-Romawi Pertama, yang juga dikenal sebagai Pemberontakan Besar. Setelah penangkapannya, Josephus mencatat peristiwa dari kedua belah pihak mengingat bahwa ia menyaksikan sisa kampanye militer itu dari pihak Romawi. Seorang bangsawan, imam, dan memiliki pendidikan Farisi, Josephus seperti yang sudah diceritakan diatas mempertimbangkan untuk melakukan bunuh diri sebelum penangkapannya, tetapi mimpi dari Tuhan meyakinkan dia bahwa dia harus tetap hidup dan bahwa kejatuhan Yerusalem tidak bisa dihindari. Josephus juga menubuatkan bahwa Vespasianus akan menjadi Kaisar, sebuah klaim yang pada saat itu tampaknya tidak masuk akal. Ini adalah tahun sebelum periode pergolakan yang dikenal sebagai Tahun Empat Kaisar di mana Romawi akan memiliki serangkaian kaisar setelah kematian Nero pada tanggal 9 Juni 68 M, sebelum stabilitas Romawi dipulihkan. Eksentrik, narsis, dan bahkan mungkin psikopat, akhirnya Nero jatuh dari kekuasaan. Dia telah memaksa banyak bangsawan dan cendekiawan, di antaranya Seneca, untuk bunuh diri karena peran mereka dalam konspirasi nyata atau imajiner melawannya. Saat baru berusia 30 tahun pada 68 M, ia telah menghabiskan hampir separuh hidupnya sebagai kaisar, menggunakan posisi dan otoritasnya sebagian besar untuk memenuhi keinginan keinginan gilanya dan mengejar karir di atas panggung. Pada musim semi tahun 68 M, Gaius Julius Vindex, gubernur Gallia Lugdunensis, menyatakan dirinya sebagai kaisar. Sementara pemberontakan ini bisa dipadamkan, Sulpicius Galba, gubernur Hispania Tarraconensis di Semenanjung Iberia, juga memberontak. Dia memutuskan untuk segera berbaris ke Roma saat Nero masih hidup. Galba kemudian dibunuh, dan Otho (Marcus Otho Caesar Augustus) bunuh diri menyusul kekalahannya pada Pertempuran Bedriacum Pertama pada tanggal 14 April 69 M, melawan pasukan Aulus Vitellius, komandan tentara Germania Inferior. Dua hari kemudian Vitellius menjadi kaisar. Sementara itu, Vespasianus telah membasmi aktivitas pemberontak di Yudea kecuali Yerusalem, mengamankan jalur pasokannya, dan mulai bergerak maju ke Yerusalem. Pada tahun 68, perlawanan orang-orang Yahudi di utara telah dihancurkan, dan Vespasianus menjadikan Caesarea Maritima sebagai markasnya dan secara metodis melanjutkan untuk membersihkan garis pantai negeri itu, menghindari konfrontasi langsung dengan para pemberontak di Yerusalem. Berdasarkan angka-angka yang meragukan dari Yosephus, diperkirakan bahwa penaklukan Romawi atas Galilea mengakibatkan 100.000 orang Yahudi dibunuh atau dijual sebagai budak. Nampaknya saat itu tidak ada keajaiban yang bisa menyelamatkan Yerusalem dari kehancuran. Keajaiban itu kemudian datang dalam bentuk kekacauan di Roma. Beberapa orang Yahudi mungkin telah menafsirkan kekacauan di Roma sebagai tanda akhir jaman seperti yang dinubuatkan dalam literatur apokaliptik pada masa itu. Jika Tuhan sedang menghancurkan Kekaisaran Romawi, orang-orang Zelot beralasan, tidak ada simpatisan Romawi yang layak untuk tetap hidup. Meninggalkan Yerusalem, Vespasianus lalu melakukan perjalanan ke Alexandria, Mesir, di mana ia menyatakan dirinya sebagai kaisar. Prefek dan legiun di Mesir menyetujui, begitu pula pasukannya.

Pembunuhan Galba (3 SM-69 M). Galba dibunuh oleh tentara Otho (32-69 M), di Roma, tahun 69. Di tengah kampanye militer Vespasianus di Yudea, gejolak politik berkecamuk di Roma, dimana dalam setahun terdapat 4 kaisar yang berbeda. (Photo by Leemage/Corbis via Getty Images/https://www.gettyimages.dk/)

Legiun-legiun Vespasianus di Suriah kemudian berbaris ke barat melalui Balkan dan mengalahkan legiun Vitellius pada Pertempuran Bedriacum Kedua pada tanggal 24 Oktober. Setelah itu, legiun di Inggris dan Spanyol menyatakan kesetiaan mereka kepada Vespasianus. Setibanya di Roma, pasukan Vespasianus memburu dan mengeksekusi Vitellius di forum. Mereka kemudian melemparkan tubuhnya ke Sungai Tiber. Saat itu, Vespasianus sendiri sedang berlayar dari Alexandria menuju Roma. Dengan latar belakang yang kurang meyakinkan posisinya sebagai kaisar dan tidak memiliki andil langsung dalam menaklukkan Vittelius, Vespasianus sangat membutuhkan kemenangan melawan kaum Zelot di Yerusalem. Vespasianus lalu mempercayakan komando kampanye militernya kepada putranya Titus, yang berbaris menghadapi kota Yerusalem pada bulan April 70 M. Sejarawan Romawi Suetonius melaporkan bahwa Titus dikenal terampil berkuda dan menggunakan senjata. Dalam serangan terakhirnya di Yerusalem, dia secara pribadi kabarnya membunuh 12 pemberontak dengan menggunakan panah berturut-turut. Dan sejarawan Romawi lainnya, Publius Cornelius Tacitus, mencatat bahwa Titus selalu menunjukkan kehebatan dan energinya dalam perang. Dengan kharismanya dia menimbulkan kepatuhan diantara para pasukannya, dan dia sering bergaul dengan prajurit biasa, saat bekerja atau berbaris, tanpa merusak martabatnya sebagai seorang jenderal. Sementara itu, dengan stabilitas politik dan logistik yang dimilikinya, Titus tidak membuang waktu untuk bergerak ke Yerusalem.

Kaisar Vespasianus. Setelah menjadi Kaisar, Vespasianus menugaskan putranya Titus untuk melanjutkan kampanye militer menghancurkan pemberontakan di Yudea. (Sumber: https://fineartamerica.com/)
Titus, putra Vespasianus dianggap sebagai komandan militer yang kompeten terutama karena pengepungan Yerusalem-nya yang berhasil. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Dengan kekuatan yang sebelumnya hanya sedikit untuk bisa mempertahankan Yudea, Titus kini diberi empat legiun berjumlah 60.000 prajurit. Pasukannya terdiri dari Legio V Macedonia, Legio X Fretensis, Legio XII Fulminata, dan Legio XV Apollinaris. Tentara ini didukung oleh kekuatan sekitar 16.000 personel non-kombatan yang bertanggung jawab atas perbekalan dan logistik. Josephus saat itu menjadi penerjemah bagi Titus. Di sisi lain, orang-orang Yahudi tidak memiliki apa-apa yang sebanding dengan tentara profesional pimpinan Titus. Pada saat pengepungan dimulai, beberapa pemimpin pemberontak telah datang ke garis depan. Mereka adalah Yohanes dari Gischala, Simon Bar Giora, dan Eleazar ben Simon. Yohanes adalah “yang paling licik dan tidak bermoral dari semua orang yang pernah mendapatkan ketenaran dengan cara jahat,” menurut Josephus. Realitas sosoknya, tampaknya jauh lebih menarik. Dia pada awalnya melawan para pemberontak, tetapi dia dengan cepat berubah sikap ketika orang-orang Romawi mengizinkan orang-orang Yunani dari Tirus didekatnya untuk menghancurkan Gischala, tempat asalnya. Dia kemudian bertempur sebentar melawan Josephus, dan akhirnya berakhir di Yerusalem sebagai pemberontak untuk faksi lain. Sementara itu, Simon telah menjadi bagian dari pemberontakan sejak awal, setelah memimpin pasukan Yahudi yang menyergap orang-orang Romawi di Beth Horon Pass. Pada tahun-tahun berikutnya, dia sempat tidak disukai di kota dan mundur bersama anak buahnya ke benteng gunung di Masada. Dia dipanggil kembali nantinya untuk memulihkan ketertiban dan dia tidak akan melepaskan kekuasaan lagi sampai pasukan Romawi menangkapnya. Adapun Eleazar, dia adalah seorang kepala suku Yahudi terkenal yang telah berperang dengan terhormat melawan garnisun Romawi di Yudea.

KEJATUHAN YERUSALEM: TENTARA TITUS VS PERTAHANAN ORANG-ORANG YAHUDI

Yang menunggu Pasukan Romawi di Yerusalem adalah sekitar 23.400 tentara pemberontak: 15.000 di bawah Simon, 6.000 di bawah Yohanes, dan 2.400 di bawah Eleazar. Orang-orang Yahudi ini diketahui memiliki ”ketabahan jiwa yang dapat mengatasi perpecahan, kelaparan, perang, dan berbagai macam malapetaka”, tulis Josephus. Yerusalem saat itu dibagi menjadi tiga bagian: kota atas dan bawah seluas 100 hektar di selatan, kota baru seluas 150 hektar di utara, dan Bukit Bait Suci (Temple Mount) seluas 50 hektar di timur. Temple Mount, yang menjadi pusat Yerusalem, diposisikan seperti kunci yang menghubungkan bagian utara dan selatan kota. Berada di sudut barat laut Temple Mount adalah Benteng Antonia yang tangguh. Di dalam kota ada dua tembok bagian dalam. Tembok pertama membagi bagian utara dan selatan kota sementara tembok kedua memberikan lapisan pertahanan tambahan di kota baru. Barisan depan tentara Titus kemudian memutuskan jalur komunikasi antara Yerusalem dan pedesaan sekitarnya setelah kedatangannya pada bulan April. Titus dengan cerdik menambah kebingungan di Yerusalem dengan mengizinkan para peziarah masuk untuk merayakan Paskah. Namun, dia tidak berniat membiarkan mereka pergi. Dia tahu bahwa kehadiran sejumlah besar non-kombatan akan membebani sumber makanan di dalam kota. Seperti yang diharapkan, kelaparan dengan cepat terjadi. Disamping itu, selama pertempuran di dalam tembok kota, persediaan makanan kering yang ditimbun sengaja dibakar oleh orang-orang Zelot untuk mendorong para pemberontak untuk melawan pengepungan, alih-alih merundingkan perdamaian; akibatnya banyak penduduk kota dan tentara mati kelaparan selama pengepungan. Tacitus, seorang sejarawan kontemporer, mencatat bahwa mereka yang terkepung di Yerusalem berjumlah tidak kurang dari enam ratus ribu, baik pria maupun wanita dari berbagai usia terlibat dalam perlawanan bersenjata. Bahwa di Yerusalem setiap orang yang dapat membawa senjata bertempur, dan bahwa baik pria maupun wanita menunjukkan tekad yang sama, dengan lebih memilih kematian daripada kehidupan yang melibatkan pengusiran dari negeri mereka. Josephus sendiri menyebutkan jumlah mereka yang terkepung mendekati angka 1 juta. Banyak peziarah dari orang diaspora Yahudi yang, tidak terpengaruh oleh perang, telah berjalan kaki ke Yerusalem untuk hadir di Bait Suci selama hari raya Paskah, terperangkap di Yerusalem selama pengepungan dan binasa.

Grafis pembagian kota Yerusalem, menjelang kehancurannya. (Sumber: http://www.joeledmundanderson.com/)

Titus lalu memerintahkan Legiun V, XII, dan XV untuk berkemah di Gunung Scopus di timur laut dan Legiun X berkemah di Bukit Zaitun di timur. Orang-orang Yahudi melakukan serangan mendadak berulang kali terhadap kamp-kamp ini yang memaksa Titus untuk memperketat pengepungannya. Sebelum melakukan serangan, Titus mengutus Yosephus untuk meminta penduduk Yerusalem membahas syarat penyerahan diri. Mereka menanggapi dengan penolakan pertama dari beberapa penolakan. Keesokan harinya, sejumlah orang Yahudi yang berpura-pura menjadi simpatisan Romawi keluar dari kota. Memancing beberapa legiun menjauh dari barisan mereka dan menuju gerbang kota, orang-orang Yahudi kemudian menyerang mereka. Para prajurit legiun ini lalu panik dan lari. Hal ini menyenangkan orang-orang Yahudi, sebaliknya Titus hampir mengeksekusi legiun ini karena dianggap pengecut. Kemenangan seperti itu meningkatkan kepercayaan orang Yahudi dan mengurangi ancaman Romawi di mata mereka — yang pada akhirnya hanya membuat faksi-faksi melanjutkan pertikaian mereka. Simon menguasai Kota Atas dan sebagian Kota Bawah dengan pengikut dan 5.000 orang Idumea.  Pengikut Yohanes menduduki Bait Suci dan benteng Antonia. Sementara Eleazar dan 2.400 orang Zelot-nya kemudian bekerja sama dengan Yohanes. Saat pengepungan berlangsung, kamp-kamp tentara Romawi akan bergerak lebih dekat ke garis depan, hingga akhirnya menempati bagian barat kota baru. Titus mengintai kota dan memutuskan untuk memulai serangannya di tanah datar di luar kota baru. Pasukan Romawi menembus tembok luar dan tembok dalam hanya dalam waktu 24 hari pertempuran. Mereka menggunakan peralatan pendobrak berkepala perunggu untuk memecahkan dinding kota. Selain itu, ketapel-ketapel Romawi melemparkan batu ke pusat kota untuk menghancurkan pertahanan dan menimbulkan korban

Grafis rekonstruksi Benteng Antonia dan Bait Suci. (Sumber: https://popular-archaeology.com/)

Tetapi keberhasilan awal Titus, dan korban yang ditimbulkannya pada pihak yang bertahan, tidak menghentikan orang-orang Yahudi untuk berperang di antara mereka sendiri. Yohanes melancarkan serangan mendadak terhadap pasukan Eleazar yang mempertahankan Kuil di mana pasukannya membantai orang-orang Eleazar. Ketika pertempuran kembali terjadi antara orang-orang Romawi dan Yahudi, pasukan Yohanes menguasai Bukit Bait Suci dan Benteng Antonia, sementara pasukan Simon ditempatkan di sepanjang tembok pertama untuk mempertahankan kota atas dan bawah serta Istana Herodes. Titus kemudian memisahkan pasukannya untuk menyerang masing-masing kelompok ini, tetapi fokus pengepungan dan pertempuran segera berpindah ke Bukit Bait Suci. Tentara Romawi lalu mulai membangun jalur landai pada Benteng Antonia, dan pembangunan mereka berlangsung siang dan malam, dengan pasukan Romawi diserang oleh ratusan penembak panah besar dan pelempar batu yang telah dirampas oleh orang-orang Yahudi dari tentara Romawi. Sementara beberapa orang-orang Yahudi menyerang orang Romawi dari atas, yang lain membuat terowongan di bawah posisi mereka dan mengisi ruangan dengan aspal dan ter. Tiba-tiba, tanah di bawah tentara Romawi runtuh, dan jalur landai pengepungan dan menaranya jatuh ke dalam lubang yang terbakar. Itu adalah kemunduran besar bagi tentara Romawi. Korban besar yang diderita orang Romawi dalam pertempuran dari rumah ke rumah dan dalam penghancuran jalur landai dan menara mereka memaksa Titus untuk memikirkan kembali strateginya. Titus telah kehilangan banyak orang dalam pertempuran hingga saat itu, dan dia takut akan kerugian yang lebih besar lagi ketika mencoba merebut benteng-benteng bagian dalam kota. Komandan Romawi itu kemudian memutuskan akan lebih menguntungkan untuk memperketat blokadenya atas kota itu. Oleh karena itu Titus memerintahkan pasukannya untuk membangun garis melingkar di sekitar kota untuk memastikan bahwa orang-orang Yahudi tidak dapat menyelundupkan perbekalan kedalam kota. Garis keliling sepanjang 41/2 mil itu diperkuat secara interval dengan 13 benteng. Selain itu, ia mengeluarkan perintah bahwa siapa pun yang ditemukan di luar kota harus disalibkan. “Tontonan yang menyedihkan, yang lebih kuat mengambil lebih dari bagian mereka, sementara yang lemah hanya bisa merintih,” tulis Josephus. “Istri akan merebut makanan dari suami mereka, anak-anak dari ayah mereka, dan—yang paling menyedihkan—ibu dari mulut bayi mereka.” Para desertir yang diizinkan keluar kota menceritakan bahwa mayat di mana-mana ditumpuk dan dibiarkan tidak dikubur. Meskipun dilarang oleh para pemimpin pemberontak, beberapa orang masih berhasil meninggalkan kota dan menyerah kepada tentara Romawi, beberapa diantara mereka menelan koin emas sebelum mereka pergi. Setelah seorang tentara pembantu asal Suriah melihat seorang pengungsi Yahudi mengambil koin dari kotorannya, dia dan orang-orang Suriah dan Arab lainnya mulai membunuhi para pelarian dan mencari koin di dalam perut mereka. Titus mengetahui hal ini dan selanjutnya membuat tindakan seperti itu sebagai kejahatan besar. 

Pengepungan Yerusalem oleh pasukan Titus. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Perangkat pengepungan pasukan Romawi. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)
Senjata Ballista pasukan Romawi. (Sumber: http://storieromane.altervista.org/)

Sementara itu, begitu hebatnya kelaparan yang melanda mereka yang bertahan, sehingga mereka terpaksa makan sabuk kulit dan tali kekang. Josephus sendiri mengimbau para pemberontak untuk menyerah, setidaknya bagi mereka yang kelaparan, tetapi dia diabaikan. Namun entah bagaimana para pemberontak menemukan kekuatan untuk melawan. Mereka memperbaiki celah di dinding yang disebabkan oleh perangkat pendobrakan dan memukul mundur serangan baru oleh orang-orang Romawi. Tentara Romawi mencari setiap celah yang mungkin digunakan untuk menyerang. Pada akhir bulan Juli, pasukan Romawi melakukan serangan mendadak pada malam hari yang membuat kewalahan para pemberontak Yahudi yang tertidur di pos penjagaan Benteng Antonia. Selanjutnya, Titus memfokuskan upayanya untuk merebut Bukit Bait Suci di mana pasukan Yahudi telah berkonsentrasi dengan harapan akan bisa melakukan pertempuran terakhir. Meskipun ujung utara kolom-kolom Temple Mount hampir hancur total pada saat itu, ujung baratnya masih utuh. Pada tanggal 27 Juli, orang-orang Romawi sedang mengerjakan serangkaian platform yang akan menghubungkannya dengan sisa-sisa ujung utara. Tiba-tiba, pemberontak Yahudi di ujung barat membubarkan diri, meninggalkannya tanpa pertahanan. Beberapa orang Romawi mungkin mengira itu adalah jebakan, tetapi kesempatan untuk menguasai atap dari barisan tiang yang ditinggikan terlalu bagus untuk dilewatkan. Mereka seharusnya memercayai insting mereka karena orang-orang Yahudi telah memasangi kasau kayu cedar di bawah barisan tiang dengan aspal, ter, dan kayu kering. Ketika orang-orang Romawi menaiki tangga mereka dan mencapai atap, kasau di bawah mereka terbakar. Barisan tiang setinggi 50 kaki runtuh, mengirim ratusan orang Romawi ke dalam kota. Mereka yang telah maju melampaui area yang runtuh tidak punya tempat lagi untuk pergi ketika api melahap tangga mereka. “Dikelilingi oleh kobaran api, beberapa orang mengundurkan diri ke kota di belakang mereka, beberapa ke tengah musuh; banyak yang berharap dapat melarikan diri dengan nyawa mereka melompat di antara orang-orang mereka sendiri dan mematahkan kaki mereka; kebanyakan karena tergesa-gesa mereka terlalu lambat untuk bisa menghindari kobaran api; beberapa menghindari terbakar dengan bunuh diri menggunakan belati mereka sendiri,” tulis Josephus. Orang-orang yang tersisa, banyak di antaranya terluka parah, akhirnya mati.

Legiun Romawi mengepung Yerusalem dalam sebuah karya oleh pelukis Skotlandia David Roberts. Saat pengepungan berlangsung, Titus memindahkan kamp legiun lebih dekat ke garis depan dan di kota baru itu sendiri. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Orang-orang Romawi yang telah menaiki tangga mengalami kematian yang mengerikan saat menghadapi perlawanan sengit orang-orang Yahudi. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)
Kekacauan dan penjarahan yang terjadi selama penyerangan tentara Romawi di Bait Suci digambarkan dalam lukisan karya seniman Italia, Francesco Hayez. Orang-orang Romawi kemudian melarang orang-orang Yahudi untuk membangun kembali Bait Suci. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Gembira sebentar atas keberhasilan mereka, orang-orang Yahudi sebenarnya hanya menunda bencana yang tak terhindarkan. Merasakan bahwa kemenangan sudah dekat, Titus terus menekan pengepungannya ke Bukit Bait Suci. Setiap hari dia mengirim para legiuner ke garis depan untuk mendobrak dan menghancurkan tembok. Tapi dindingnya dibuat terlalu bagus dan balok-baloknya terlalu tebal, sehingga mencongkel sebagian dari mereka tidak berpengaruh apa-apa pada keseluruhan integritas tembok. Frustrasi, Titus memerintahkan agar Temple Mount diserbu, tetapi ini hanya menyebabkan lebih banyak nyawa hilang dan lebih banyak bendera satuan Romawi dirampas oleh musuh. Penghancuran barisan tiang barat oleh pemberontak Yahudi, dalam waktu singkat memberikan keuntungan bagi para pemberontak, namun bagaimanapun juga ini membuat posisi mereka rentan. Ketika tentara Romawi memutuskan untuk menghancurkan barisan tiang utara, para pemberontak Yahudi mengamankan diri mereka di dalam tembok kompleks Bait Suci. Bukit Bait Suci dan halaman dalamnya dikelilingi oleh tembok tebal dan beberapa menara yang kuat. Kuil itu sendiri menjulang 150 kaki (45 meter) ke udara. Seluruh kompleks, yang dikenal sebagai Platform Mount, dibangun di atas sebuah mimbar raksasa. Rangkaian tembok, batas, langkan, gerbang, dan rintangan dimaksudkan untuk menghentikan kemajuan seseorang menuju rumah Tuhan orang Yahudi di balik gerbang emas. Di depan gerbang inilah sisa-sisa pemberontak Yahudi yang kelaparan membuat pertahanan terakhir mereka. Orang-orang Yahudi kemudian menyerbu kedepan pada tanggal 9 Agustus dan menyerang orang-orang Romawi yang mempertahankan pelataran luar. Setelah tiga jam pertempuran maju-mundur, di mana orang-orang Yahudi menanggung beban serangan pasukan kavaleri Romawi, orang-orang Yahudi mundur ke pelataran dalam sekali lagi. Hari berikutnya orang-orang Yahudi menyerang orang-orang Romawi di pelataran luar lagi tetapi menemukan diri mereka terjebak di dinding utara Platform Mount. Seseorang lalu melemparkan obor yang menyala ke dinding dan ke dalam Tempat Suci yang mengelilingi Kuil. Tidak ada yang tahu siapa yang melakukannya atau mengapa. Setelah melihat rangkaian pengorbanan yang melemahkan semangat orang-orang Yahudi, seluruh alasan pengorbanan itu, dan pemberontakan, tiba-tiba terancam dihancurkan. Garis pertahanan orang-orang Yahudi dan agama mereka sendiri, sumber kekuatan mereka baik fisik maupun spiritual, runtuh pada saat yang sama. Kekacauan dan penjarahan pun kemudian terjadi. Orang-orang Romawi tidak menahan diri mereka lagi. “Tidak ada belas kasihan, tidak ada pembedaan; anak-anak kecil dan orang tua, orang sipil dan imam sama-sama dibantai,” tulis Josephus. Dia menambahkan, “Teriakan dari bukit terdengar dari jalan-jalan yang ramai; dan sekarang banyak orang yang kelaparan dan kehabisan kata-kata menemukan kekuatan untuk mengerang dan meratap ketika mereka melihat tempat kudus itu terbakar.”

AKHIR PERANG

Simpati apa pun yang pernah dimiliki Titus terhadap orang-orang Yahudi, rasa hormat atau kekaguman apa pun yang pernah dia berikan kepada Bait Suci, dan kekhawatiran apa pun yang pernah dia lontarkan atas gagasan bahwa Roma bertindak terlalu keras terhadap pemberontakan menghilang sama sekali. Dia memerintahkan dilakukannya upacara pengorbanan kemenangan di dekat gerbang timur Bait Suci. Salah satu hewan yang dibakar di sana, dan yang paling menghina dan menghujat, ini adalah babi. Seperti yang dinubuatkan Yesus Kristus, menurut kitab Matius 24:2, Markus 13:2, dan Lukas 21:6, orang-orang Romawi kemudian tidak meninggalkan satu batu di atas batu lain yang tidak dihancurkan. Sementara itu, para pemberontak masih akan tetap bertahan selama berbulan-bulan. Istana Herodes dikepung dan akhirnya dihancurkan, dan pada musim panas berikutnya, bahkan ketika Titus dan Vespasianus merayakan kemenangan di Roma, pasukan mereka masih membersihkan Yudea dari para pemberontak. Pria-pria Yahudi yang ditangkap kemudian dikirim untuk menjalani hidup mereka dalam kerja paksa di Mesir atau dicabik-cabik oleh binatang buas dalam pertarungan gladiator, sementara wanita dan anak-anak mereka dicerai-beraikan dan dijual sebagai budak. Keinginan rezim baru Romawi juga berarti bahwa para pemimpin pemberontak menghadapi dengan nasib yang berbeda-beda. Yohanes dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, sementara Simon disiksa dan dicambuk secara sistematis sebelum dicekik. Orang-orang Yahudi di Masada bertahan selama tiga tahun lagi di benteng mereka yang ada di pegunungan tinggi. Akhirnya, di bawah komando Flavius Silva, Legio X Fratensis (Legiun ke-10), tentara Romawi membangun jalan besar dan memasang peralatan pendobrak di menara tinggi beroda. Mereka membawa mesin ini ke atas tanjakan dan kemudian menggebrak serta menerobos dinding benteng. Orang-orang Yahudi telah membangun tembok cadangan dari kayu dan tanah, tetapi orang Romawi membakarnya dan menghancurkannya juga. Alih-alih ditangkap, para pemberontak di Masada saling membunuh (untuk menghindari hukum Yahudi yang melarang bunuh diri). Menurut Josephus, ketika tentara Romawi akhirnya menerobos tembok benteng ini pada tahun 73, mereka menemukan bahwa 960 dari 967 pemberontak telah melakukan bunuh diri. Hanya dua wanita dan lima anak yang selamat. Pada tahun 73 M, tentara Romawi akhirnya menaklukkan benteng Masada, dan membawa akhir Perang Yahudi-Romawi Pertama dengan berdarah. Banyak pemberontak Yahudi telah diceraiberaikan atau dijual sebagai budak. Josephus mengklaim bahwa sekitar 1.100.000 orang (kemungkinan angkanya terlalu dibesar-besarkan) tewas selama pengepungan, 97.000 ditangkap dan diperbudak dan banyak lainnya melarikan diri ke daerah sekitar Mediterania. Sebagian besar kematian disebabkan oleh penyakit dan kelaparan yang dibawa oleh orang-orang Romawi. “Kehancuran menghampiri mereka, dan segera setelah itu kelaparan yang menghancurkan mereka datang tiba-tiba.”

Titus meminta kepada para prajuritnya untuk memadamkan api guna menyelamatkan Bait Suci, tetapi nafsu para prajuritnya untuk membalas dendam atas kerugian besar yang mereka derita terbukti terlalu kuat untuk dipadamkan. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Rampasan dari Bait Suci diarak melalui jalan-jalan Roma selama kemenangan Vespasianus dan Titus. (Sumber: http://turningpointsoftheancientworld.com/)
Masa akhir pengepungan di benteng Masada. Penaklukan Masada jadi akhir dari Perang Yahudi-Romawi Pertama. (Sumber: https://www.nationalgeographic.com/)

Sementara itu, Titus lalu membawa pulang ke Roma sebagai piala kemenangannya meja emas roti sajian, kandil bercabang tujuh, dan gulungan Kitab Taurat. Tak lama setelah kematian Titus pada tahun 81 M, saudaranya Domitianus lalu mendirikan Arch of Titus di Via Sacre di Roma. Dalam salah satu relief yang menggambarkan kehancuran Yerusalem, tentara Romawi terlihat membawa menorah dan kandil bercabang tujuh, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala mereka. Orang-orang Romawi kemudian melarang orang Yahudi membangun kembali Bait Suci, mendirikan garnisun permanen, dan menghapus Sanhedrin, serta menggantikannya dengan pengadilan procurator Romawi. Josephus, yang telah memprediksi dengan tepat kebangkitan karir Vespasianus, berada di sisi Titus selama kejatuhan Yerusalem. Setelah perang ia menjadi warga negara Romawi dan diberi pensiun dan tempat tinggal kekaisaran di Roma. Dia menghabiskan sisa hidupnya untuk menulis tidak hanya sejarah perang, tetapi juga tentang rakyatnya, menceritakan kepada para pembaca Yunani dan Romawi kisah orang-orang Yahudi dari penciptaan dunia hingga pemberontakan. Sampai akhir, Josephus mempertahankan budaya dan norma-norma Yahudi melawan superioritas pengetahuan dan filsafat Yunani. Bagaimanapun bagi beberapa oranh Yahudi dia dianggap sebagai pengkhianat. Sementara itu, ketika Bait Suci orang Yahudi menghilang dan Kekristenan menyebar ke seluruh dunia yang dikenal, keyakinan Yudaisme Rabinik bangkit dari berbagai kengerian dan pertumpahan darah pemberontakan dan dari abu dari Kuil mereka. Pada awal pengepungan Yerusalem, Rabbi Johanan ben Zakkai menyuruh beberapa muridnya menyelundupkannya ke luar kota dalam peti mati. Orang-orang Romawi lalu membawanya sebagai tawanan dan mengirimnya ke pusat penahanan di Jamnia (atau Jabneh). Namun demikian, ia menerima izin untuk mengajar sekelompok murid. Lingkaran cendekiawan itu kemudian berkembang menjadi para akademisi yang mendefinisikan ulang ajaran Yudaisme meski Bait Suci tidak ada lagi. Para rabbi ini menetapkan 24 buku yang mereka anggap sebagai Kitab Suci mereka. Doa kemudian menggantikan ritual pengorbanan di Bait Suci, dan penyembahan di sinagoga dan studi Taurat menjadi karakteristik utama dari iman orang-orang Yahudi. Dengan melakukan itu, para cendekiawan Yahudi berhasil merekonstruksi kembali bentuk asli ajaran Yudaisme, yang memberi panduan penting bagi kelangsungan agama Yahudi selama berabad-abad yang akan datang. Pada akhirnya, Yerusalem masih ada, dan keyakinan Yudaisme jauh melampaui masa kekuasaan Romawi.

Baca Juga:

Disciplina vs Virtus Tentara Romawi dalam Pengepungan & Penghancuran Yerusalem

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Fall of Jerusalem in 70 CE: A Story of Roman Revenge By Tim Miller

https://warfarehistorynetwork.com/2019/02/27/the-fall-of-jerusalem-in-70-ce-a-story-of-roman-revenge/

First Jewish-Roman War by Richard L. Mattis

https://www.historynet.com/first-jewish-roman-war.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/First_Jewish%E2%80%93Roman_War

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *