Sejarah Militer

Perlawanan dan Kegigihan Awak Kapal Penjelajah SMS Königsberg di Afrika Timur saat Perang Dunia I

Telepon lapangan berdering di anjungan kapal penjelajah Jerman yang terperangkap, SMS Konigsberg. Di ujung telepon, pengawas pantai mengucapkan kata-kata yang telah ditakuti selama hampir delapan bulan – Inggris akan datang. Di sungai Afrika yang berlumpur, sebuah drama akan dimainkan oleh dua angkatan laut paling kuat di dunia saat itu. Di sudut dunia yang tidak jelas ini, jauh dari medan perang utama Perang Dunia I, Konigsberg akan memainkan peran yang tidak biasa seperti kapal perang Jerman lainnya dalam sejarah. Saat itu strategi angkatan laut Jerman pada masa awal perang ditentukan oleh keadaan. Kapal-kapal perang di Laut Utara harus menghindari pertarungan besar dengan armada Inggris yang jauh lebih kuat sambil berharap untuk bisa menjebak sebagian armada musuh dan menghancurkannya dengan kekuatan yang unggul secara taktis. Hal ini menyebabkan kebuntuan selama empat tahun, yang diselingi oleh Pertempuran Jutland. Situasi di laut lepas, bagaimanapun, sama sekali berbeda. Koloni-koloni Jerman di Afrika dan Pasifik menawarkan-setidaknya untuk sementara-suatu tempat berlindung yang aman dan titik-titik pasokan bagi kapal-kapal bajak Jerman. Selama mereka bisa menghindar dari situasi terpojok, kapal-kapal kaiser bisa mendatangkan malapetaka bagi armada kapal dagang Inggris Raya. Rencana pertempuran untuk Kreuzerkrieg, atau perang kapal penjelajah, adalah untuk memangsa kapal-kapal dagang musuh dan menggunakan kapal-kapal itu untuk memasok mereka kembali. Delapan kapal penjelajah ringan Jerman berada di posisinya pada awal konflik-lima di Pasifik, dua di Karibia, dan satu mengintai di Samudra Hindia. Yang terakhir adalah SMS Konigsberg.

Foto SMS Königsberg sebelum perang. Rencana pertempuran untuk Kreuzerkrieg, atau perang kapal penjelajah, bagi AL Jerman adalah untuk memangsa kapal-kapal dagang musuh dan menggunakan kapal-kapal itu untuk memasok mereka kembali. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

KONIGSBERG: KAPAL BAJAK DI AFRIKA TIMUR

Commander Max Looff, yang mengomandani SMS Konigsberg. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Konigsberg dibangun di Kiel pada tahun 1907. Panjangnya 378 kaki (115 meter) dan bobotnya 3.400 ton. Persenjataan utamanya terdiri dari 10 meriam kaliber 4,1 inci (104 mm), ditambah beberapa meriam upacara dan senapan mesin serta dua tabung torpedo kaliber 17,7 inci (449 mm). Dengan kecepatan 24 knot (44 km/jam), Konigsberg lebih cepat daripada hampir semua kapal lain di kelasnya dan dipersiapkan dengan baik untuk perannya dalam mengganggu jalur pelayaran Inggris. Di bawah dek terdapat dua meriam kaliber 88mm yang akan digunakan untuk mengubah kapal dagang yang dirampas menjadi kapal bajak tambahan Jerman. Saat pecahnya Perang Dunia Pertama, Angkatan Laut Kekaisaran Jerman memiliki delapan kapal penjelajah yang ditempatkan di berbagai belahan dunia. Kapal-kapal perang ini merupakan ancaman serius bagi kemampuan Inggris untuk berdagang dan gangguan rute perdagangan adalah sesuatu yang jelas ingin dihindari oleh First Lord of the Admiralty, Winston Churchill. Kapal penjelajah SMS Karlsruhe dan SMS Dresden berada di lepas pantai timur Meksiko; di Pasifik ada skuadron kapal yang kuat, termasuk SMS Emden yang terkenal, yang segera memulai pelayaran epik, yang menyebabkan banyak kepanikan pada arus perkapalan di Samudera Hindia. Sedangkan di lepas pantai Afrika Timur ada kapal penjelajah SMS KonigsbergKonigsberg berlayar dari Jerman pada tanggal 25 April 1914, dan tiba di Dar es Salaam, ibu kota dan pelabuhan utama Afrika Timur Jerman, pada tanggal 6 Juni. Dari sana, dia akan dapat mengancam jalur laut Inggris yang vital dari India di sekitar Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, serta jalur pelayaran Inggris di Laut Merah. Lawan utamanya adalah Skuadron Tanjung Harapan Inggris, yang terdiri dari tiga kapal penjelajah yang sudah tua-HMS Hyacinth, HMS Astrea, dan HMS Pegasus. Khawatir akan terkurung saat perang semakin dekat, Konigsberg meninggalkan pelabuhan pada tanggal 31 Juli. Mengambil keuntungan dari badai yang datang tiba-tiba, Kapten Max Looff dengan mudah kehilangan pengawalan Inggris yang tidak diinginkannya. Menuju ke utara, Konigsberg menangkap kapal City of Winchester seberat 6.600 ton, yang bermuatan teh Ceylon pilihan, di lepas pantai Aden pada tanggal 6 Agustus. Sial bagi Jerman, kapal dagang itu menggunakan batu bara Bombay yang lebih rendah kualitasnya, yang ditolak Looff untuk digunakan, meskipun ia hanya tinggal memiliki 200 ton yang tersisa. Orang-orang Jerman kemudian menenggelamkan Winchester tetapi menyimpan meriamnya – yang nantinya akan muncul di kapal meriam Jerman Kingani di Danau Tanganyika. Winchester kemudian akan menjadi kapal dagang pertama yang hilang oleh Inggris dalam Perang Dunia Pertama. Meski tidak diketahui juga pada saat itu, bahwa ini akan menjadi satu-satunya keberhasilan Konigsberg melawan kapal dagang Inggris.

Konigsberg dalam kartu pos Jerman masa Perang Dunia I. Dengan kecepatan 24 knot (44 km/jam), Konigsberg lebih cepat daripada hampir semua kapal lain di kelasnya dan dipersiapkan dengan baik untuk perannya dalam mengganggu jalur pelayaran Inggris. (Sumber: https://www.reddit.com/)
SMS Konigsberg di Dar es Salaam. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Peta yang menunjukkan saluran yang rumit dan banyak di dalam delta Rufiji. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Situasi stok batu bara adalah masalah paling mendesak bagi Looff; Konigsberg telah meninggalkan Dar es Salaam dengan hanya 830 ton batu bara di bunkernya. Tak lama setelah pertemuannya dengan Winchester, Konigsberg bertemu dengan dua kapal dagang Jerman, yang darinya dia mengambil 80 ton batu bara serta sejumlah marinir dan pelaut yang kembali ke Jerman dari tugas di China. Alih-alih pulang ke rumah, mereka justru terdorong ikut ke dalam petualangan baru, yang mana hanya sedikit di antara mereka yang akan tetap bertahan hidup. Pada saat Konigsberg akhirnya bertemu dengan kapal pasokannya di lepas pantai Somaliland Italia, dia hanya tinggal memiliki 14 ton batu bara, dan air minumnya dijatah secara ketat. Konigsberg lalu mengambil 850 ton batu bara, air, dan surat dari rumah, dan Looff merasa siap untuk memulai pembajakan kapal-kapal dagang dengan sungguh-sungguh. Yang diperlukan hanyalah target-target baru. Tetapi ini terbukti sulit dilakukan. Dengan pecahnya perang, kapal dagang Inggris telah mencari perlindungan di pelabuhan terdekat, sehingga Looff dan Konigsberg menuju ke selatan ke Madagaskar dengan harapan bisa menemukan kapal-kapal dagang Prancis untuk dimangsa. Di sana, juga, kapal-kapal dagang telah berlindung di pelabuhan Diego Suarez, yang dilindungi oleh meriam-meriam pantai. Selain membutuhkan perbaikan kecil serta pengisian bahan bakar, Konigsberg membutuhkan tempat berlabuh yang aman. Menyadari bahwa Inggris akan mengawasi pelabuhan-pelabuhan di Afrika Timur, Jerman telah menyiapkan tempat berlindung rahasia. Sebelum perang, rangkaian jalur air yang kompleks yang membentuk delta Sungai Rufiji, 100 mil (160 km) selatan Dar es Salaam, telah dipetakan, dan ditemukan empat jalur lintas yang cukup dalam untuk dilalui Konigsberg. Inggris tidak tahu bahwa Rufiji dapat dilayari untuk kapal seukuran Konigsberg, dan itu adalah tempat yang sempurna untuk mengisi bahan bakar dan melakukan perbaikan.

NASIB KITA SUDAH DITENTUKAN

Konigsberg dinyatakan layak melaut pada tanggal 19 September, ketika Looff menerima informasi intelijen bahwa sebuah kapal penjelajah Inggris berada di Zanzibar. Meninggalkan Rufiji yang berlumpur malam itu, Konigsberg menyelesaikan perjalanan 100 mil dan dengan berani memasuki pelabuhan Zanzibar pada pukul 5 pagi berikutnya. Di sana dia menemukan Pegasus, kapal penjelajah terkecil dan tertua dari Skuadron Tanjung Harapan, saat dia sedang memperbaiki ketel uapnya. Konigsberg perlahan-lahan mengurangi jaraknya dari 9000 yard (8.229 meter) menjadi 7000 yard (6.400 meter), tetapi dia tetap berhati-hati untuk menghindari jangkauan meriam di atas kapal Pegasus. Dalam waktu 20 menit Pegasus terbakar, turret depannya hancur. Letnan Richard Turner dari Pegasus, kakinya hancur terkena peluru. Saat dia terbaring berdarah sampai mati, dikatakan bahwa dia menyemangati para rekannya dengan berteriak “Teruskan, teman-teman” dan “Kita kalah dan (akan) selesai; tapi sial bagi mereka, dan pertahankan!” Bagaimanapun, itu adalah seperti latihan penembakan untuk kapal penjelajah Jerman itu. Dalam gempuran sepihak, Pegasus terkena 200 kali serangan, menderita 31 tewas dan 55 terluka. Situs bangkai kapal ini kemudian tetap berada di lepas pantai Zanzibar. Sepuluh korban jiwa lainnya dari pertempuran tersebut dimakamkan di Pemakaman Inggris di Zanzibar, tetapi kemudian dimakamkan kembali di Pemakaman Perang Dar es Salaam yang baru dibuat dilakukan pada tahun 1971. Salah satu versi kisah Pegasus muncul dalam ‘Deeds that Thrill The Empire‘, yang menyatakan: Selama pertempuran, bendera “Pegasus” dijatuhkan dari tiangnya. Seorang Marinir lalu segera berlari ke depan, mengambilnya dan melambaikannya tinggi-tinggi. Dia ditembak jatuh saat berdiri di geladak yang terkena tembakan musuh, tetapi yang lain maju untuk menggantikannya. Hingga akhirnya bendera itu terus berkibar. Sebagian besar korban terjadi di geladak, dan dengan penuh keberanian Staf Ahli Bedah Alfred J Hewitt memberikan setiap bantuan kepada yang terluka. Realitas cerita sebenarnya agak berbeda. Kapten Pegasus telah memerintahkan panji diturunkan dan bendera putih dikibarkan untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi awaknya. Fakta bahwa sebuah kapal perang Inggris telah menurunkan benderanya tidak pernah diungkapkan selama perang dan kisah para marinir pemberani mulai muncul.”

HMS Pegasus. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Lukisan Flying the flag on the Pegasus. Kejadian sebenarnya dari pertempuran Zanzibar tidaklah se-dramatis ini. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Sepuluh korban jiwa Inggris dimakamkan di Pemakaman Inggris di Zanzibar, tetapi kemudian dimakamkan kembali di Pemakaman Perang Dar es Salaam yang baru dibuat pada tahun 1971. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Konigsberg sendiri lalu lolos tanpa goresan. Dalam perjalanan keluar dari pelabuhan, Looff melihat kapal piket Helmuth, yang dia lewatkan saat masuk, dan kemudian segera ‘memompa’ tiga peluru ke dalamnya, yang menyebabkannya meledak juga. Dipaksa kembali ke tempat perlindungannya di Rufiji karena masalah ketel uap, Konigsberg lalu bergerak lebih jauh ke pedalaman ke Salale. Mesin-mesinnya hanya bisa diperbaiki oleh bengkel mesin di Dar es Salaam, 140 mil (225 km) jauhnya. Sebuah jalan kemudian dibuka melalui hutan, dan berton-ton ketel uap dan suku cadang mesin diseret di atas kereta luncur oleh ribuan orang Afrika yang dipaksa bekerja terlalu keras. Suku cadang baru dibuat dan dikembalikan dalam waktu 10 hari. Langkah-langkah pertahanan yang lebih besar diambil untuk melindungi kapal penjelajah itu. Kolonel Paul von Lettow-Vorbeck, komandan Schutztruppe, atau pasukan pertahanan, di Afrika Timur Jerman, mengirim pasukan yang terdiri dari 150 orang untuk menjaga jalur pendekatan. Rantai pos penjagaan didirikan di sepanjang pantai dan di Pulau Mafia yang kecil, empat mil (6 km) di lepas pantai. Di sepanjang jalur air itu terdapat posisi-posisi yang dipertahankan dengan baik dan pos-pos pengamatan di puncak-puncak pohon yang dilengkapi dengan senjata kecil, senjata ringan, dan perangkat komunikasi. Peluncur torpedo darurat dibangun dengan menyelipkan torpedo di antara dua batang pohon. Sebuah kru kecil akan naik dan memandu perangkat aneh itu hingga jarak 1.000 yard (914 meter) dan meluncurkan torpedo. Ide ini telah diuji dan bekerja dengan cukup baik. Meriam lapangan disiapkan untuk melindungi kemungkinan jalur pendekatan yang paling mungkin. Tersembunyi jauh di atas Rufiji, Looff tidak melewatkan trik lainnya. Karena tiang-tiang dan corong Konigsberg dapat dilihat dari kejauhan, dia mengikatkan pohon-pohon palem sebagai kamuflase. Tapi keberuntungan Konigsberg mulai habis. Sebelum bagian-bagian mesin dipasang kembali, Inggris telah menemukan tempat persembunyiannya. Kapal penjelajah Inggris Chatham telah menemukan catatan di kapal Jerman Prasident yang disita, yang menunjukkan bahwa batu bara telah ditransfer dalam pengangkutan ke desa Salale di Rufiji enam minggu sebelumnya. Tujuan akhirnya pastilah ke Konigsberg. Beberapa hari setelah Präsident dicegat, kapal Jerman lainnya – Kapal Tug Jerman Adjutant – dirampas dan diubah untuk digunakan oleh Inggris. Karena draftnya yang dangkal, ini adalah kapal yang ideal untuk digunakan di perairan delta.

Königsberg di Delta Rufiji. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Sebuah pos pengamatan artileri Jerman, bagian dari pertahanan darat yang didirikan di sekitar Königsberg di Delta Rufiji. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Kapal Tug Jerman Adjutant – dirampas dan diubah untuk digunakan oleh Inggris. Karena draftnya yang dangkal, ini adalah kapal yang ideal untuk digunakan di perairan delta. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Karena tidak dapat mencapai kapal perang Jerman itu, Inggris memutuskan untuk menggunakan pesawat untuk mengebom, atau paling tidak, mengamati Königsberg. Upaya ini penuh dengan masalah karena tidak ada pesawat atau pilot dalam jarak ratusan mil. Seorang pilot dan pesawat ditempatkan di Afrika Selatan dan dikirim ke utara. Dengan cepat ditugaskan sebagai sub-lieutenant di Royal Naval Reserve, Dennis Cutler melakukan pengintaian udara pertama di wilayah Afrika Timur. Penerbangan awal tidak berjalan dengan baik, dengan pesawatnya mogok. Satu-satunya cara untuk melakukan perbaikan adalah mengirim kapal perang sejauh 200 mil (321 km) ke Mombasa untuk mengambil radiator dari mobil Model T Ford. Namun demikian perbaikan bisa dilakukan. Pada tanggal 20 Oktober, salah satu pengintai Chatham yang bermata tajam melihat tiang kapal yang menjorok dari atas pohon palem yang tinggi. Konigsberg akhirnya ditemukan. Namun, karena pesawat yang digunakan sangat kurang bertenaga, dan hampir tidak bisa mengudara, apalagi membawa bom, tidak ada serangan yang dilakukan terhadap kapal perang Jerman itu. Dari jarak delapan mil (12,8 km), tepat di luar jangkauan KonigsbergChatham menembakkan tembakan. Tidak ada serangan yang berhasil, tetapi kebakaran terjadi di kapal pasokan Somalia, membuatnya terbakar habis dan mencegah Konigsberg mendapatkan pasokan batu bara, yang akan dibutuhkannya untuk melakukan pelayaran laut lepas yang berkepanjangan. “Kita telah ditemukan,” Looff memberi tahu krunya. “Nasib kita sudah ditentukan.”

SELAMAT TAHUN BARU SEMOGA KITA BERTEMU KEMBALI

Looff kemudian memindahkan kapalnya lebih jauh ke sungai yang dangkal, di luar jangkauan kapal perang Inggris. Chatham kemudian segera bergabung dengan Dartmouth dan Weymouth, dan blokade skala penuh diberlakukan. Di bawah bombardemen berat, Inggris mencoba dua kali untuk menantang pertahanan pantai Jerman, tetapi pendaratannya dihalau oleh musuh yang telah dipersiapkan dengan baik. Selanjutnya, mereka menenggelamkan sebuah collier tua, Newbridge seberat 3.800 ton, untuk memblokir saluran Simba Uranga dan menghilangkan salah satu jalur pelarian Konigsberg yang mungkin menuju laut. Pada saat yang sama, Inggris meminta bantuan pemburu besar Afrika Selatan Pieter Pretorious, yang mengenal lembah Rufiji dengan dekat. Pretorious naik kano hingga 300 meter dari kapal, di mana dia mengambil sounding kedalaman dan menghabiskan waktu sebulan dengan susah payah mengukur kenaikan pasang surut setiap jam. Jerat Inggris semakin ketat. Pada 12 Januari 1915, Inggris merebut Pulau Mafia dari pasukan kecil Jerman. Sebuah lapangan terbang dibangun dan beberapa pesawat didatangkan, sebuah stasiun coaling didirikan, dan lebih banyak kapal Inggris bergabung dalam blokade. Tempat perlindungan Konigsberg kini telah menjadi penjaranya. Yang lebih buruk lagi, iklim yang busuk mengubahnya menjadi kapal wabah. Pada awal bulan Januari, awak kapal Looff telah menderita 50 kasus malaria dan dua kematian akibat tifus. Seorang awak kapal lainnya meninggal setelah kehilangan kakinya karena diserang buaya. Pada Hari Tahun Baru, HMS Fox mengirim pesan radio yang riang kepada Konigsberg: “Selamat Tahun Baru. Berharap untuk segera bertemu dengan Anda.” Jerman menjawab: “Terima kasih banyak. Sama dengan Anda. Jika Anda ingin bertemu kami, kami selalu ada di rumah.” Konigsberg tidak bisa lari, tetapi dia masih bisa bertempur. Mengutip Goethe, Looff mendesak anak buahnya. “Lebih baik berakhir dalam teror, daripada (menjalani) teror tanpa akhir,” katanya. Bukan tipe orang yang membiarkan aset apa pun yang tersedia tidak terpakai, Lettow-Vorbeck bersikeras agar sebagian awak kapal dipindahkan kepadanya. Atas keberatan yang pahit dari Looff, 100 pelaut dan marinir dikirim untuk bergabung dalam perang darat bersama Schutztruppe di kawasan Afrika Timur Jerman.

Awak kapal pengangkut batu bara Newbridge meninggalkan kapal setelah mulai tenggelam. Newbridge seberat 3.800 ton, ditenggelamkan untuk memblokir saluran Simba Uranga dan menghilangkan salah satu jalur pelarian Konigsberg yang mungkin menuju laut. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Kolonel Paul von Lettow-Vorbeck, komandan Schutztruppe, atau pasukan pertahanan, di Afrika Timur Jerman. Bukan tipe orang yang membiarkan aset apa pun yang tersedia tidak terpakai, Lettow-Vorbeck bersikeras agar sebagian awak kapal Konigsberg dipindahkan kepadanya. (Sumber: https://www.allworldwars.com/)

PERBURUAN & BALA BANTUAN

Pesawat lain kemudian dikirim Inggris, termasuk beberapa pesawat amfibi jenis Sopwith ‘Folder’. Pesawat-pesawat ini dikirim dari Bombay pada awal bulan Februari 1915. Pesawat ‘Folder‘ ini sama-sama tidak berhasil digunakan karena panas iklim tropis telah melengkungkan kayu dan melelehkan lem yang menyatukan badan pesawat. Akhirnya dua pesawat baru tipe Henri Farman dan dua pesawat darat Caudron dikirim pada bulan Juni 1915 dan pangkalan didirikan di Pulau Mafia. Sementara itu, operasi untuk menemukan Königsberg berlanjut, dengan mantan kapal Adjutant Jerman – diawaki oleh pelaut Inggris dengan Sub-Lt Wilfred Price sebagai komandan – memburu kapal perang Jerman  itu melalui delta. Orang-orang Jerman tidak menunggu secara pasif – mereka telah menyiapkan pasukan di garis pantai dengan meriam dari Königsberg. Melihat Adjutant pada tanggal 6 Februari, mereka menembaki kapal tunda itu dan memotong pipa uapnya. Adjutant hanyut ke pantai dan dengan satu anggota awak – Edward Piddock – tewas. Edward lalu dimakamkan di Pemakaman Dar es Salaam (di Jalan Upanga). Sementara itu Konigsberg bagaimanapun tidak dilupakan oleh Berlin, dan upaya memberi pasokan ulang yang ambisius pun dimulai. Pada tanggal 19 Februari, Kronborg, kapal penembus blokade seberat 3.600 ton, meninggalkan Hamburg dengan menyamar sebagai kapal barang Denmark. Dia tiba di lepas pantai Afrika Timur pada bulan April dengan muatan berharga berupa 1.000 peluru untuk meriam Konigsberg, ribuan peluru untuk senjata artileri Lettow-Vorbeck, dua meriam 60mm baru, 1.800 senapan, 3 juta butir amunisi, enam senapan mesin, dan 3.000 ton batu bara.

Sopwith Folder No.920 di pantai di Niororo dengan mesin terbuka menyala sementara ekor pesawat mengantung dan sayap ditahan. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
SMS Konigsberg ditemukan. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Bangkai kapal perbekalan Kronborg yang terbakar habis. Kapal ini dikirim dari Jerman dengan perbekalan untuk pasukan Jerman di Afrika Timur. (Sumber: https://www.awm.gov.au/)

Looff berencana untuk bertemu dengan Kronborg 400 mil (643 km) timur laut Rufiji, tetapi komunikasi radio antara kedua kapal itu bisa dicegat oleh Inggris, dan mereka sedang menunggunya. Karena tidak dapat keluar, Looff menginstruksikan Kronborg untuk menuju Teluk Manza dekat Tanga. Pesan ini juga berhasil dicegat, dan Laksamana Inggris Herbert King-Hall, di atas kapal Hyacinth, menemukan Kronborg pada tanggal 14 April. Setelah melalui perjalanan sejauh 10.000 mil (16.093 km), kapten kapal penembus blokade Jerman itu jelas tidak ingin ditolak begitu dekat dengan tujuannya. Letnan Carl Christiansen lalu menuju perairan dangkal di belakang semenanjung berhutan, di mana Hyacinth tidak bisa mengikuti. Karena menerima hantaman tembakan yang berat, Christiansen memerintahkan keran-keran Kronborg untuk dibuka, untuk membanjiri palka. Orang-orang Jerman kemudian menyalakan api di dek untuk memberi kesan bahwa Kronborg telah rusak parah. Tipu muslihat itu berhasil. Para kru kemudian melarikan diri ke semak-semak dan bertemu dengan detasemen Askari Jerman, pasukan pribumi yang terlatih yang melanjutkan untuk mengusir para prajurit Inggris dari bangkai kapal. Yang terjadi kemudian adalah operasi penyelamatan yang benar-benar luar biasa. Semua tentara dan pelaut Jerman yang ada, bersama dengan 2.500 orang Afrika dan Arab, bekerja siang dan malam untuk menyelamatkan banyak muatan kargo yang tak ternilai harganya. Amunisi Konigsberg selamat, meskipun selongsong peluru-peluru senapan telah terkena oleh air garam dan tidak dapat digunakan dalam kondisi itu. Masing-masing dibongkar, dibersihkan, dikeringkan, dan dipasang kembali – butuh waktu berbulan-bulan dengan upaya yang membosankan. Kedatangan dan penyelamatan dari Kronborg “membangkitkan antusiasme yang luar biasa,” lapor Lettow-Vorbeck, “karena hal itu membuktikan bahwa komunikasi antara kami dan militer Jerman masih ada. Banyak orang yang tadinya putus asa sekarang kembali berani, karena mereka belajar bahwa apa yang tampaknya mustahil dapat dicapai jika usaha ditopang oleh tekad yang kuat.”

PERTEMPURAN TERAKHIR KONIGSBERG

Sementara itu, menemukan Konigsberg sudah cukup sulit, tetapi mendapatkannya terbukti lebih sulit lagi bagi Inggris. Pada awal tahun 1915, menjadi jelas bahwa ada kebuntuan yang membutuhkan tindakan radikal untuk menyelesaikannya. Mereka membutuhkan suatu kapal dengan draft yang cukup dangkal untuk bisa menembus Rufiji yang berkelok dan dengan daya tembak yang cukup berat untuk bisa mengalahkan kapal Jerman itu. Ternyata, mereka memiliki dua kapal yang sesuai dengan kondisi tersebut. Sebelum awal perang, angkatan laut Brasil telah memesan dua kapal meriam perairan dangkal untuk digunakan di sungai-sungai Amerika Selatan. Inggris kemudian mengambil alih “monitor” berlapis baja dan berturret itu, yang disebut demikian karena mereka menyerupai kapal Perang Saudara milik Union. Diberi nama HMS Severn dan HMS Mersey, kapal-kapal itu memiliki panjang 265 kaki (80 meter) dan lebar 49 kaki (15 meter). Yang paling penting, untuk misi mereka di Rufiji yang dangkal, kapal-kapal itu hanya menarik air kurang dari 61/2 kaki (1,98 meter) yang terisi penuh. Masing-masing kapal dipasangi dua meriam kaliber 6 inci (152 mm) yang kuat dan meriam 4,7 inci (119 mm) lainnya untuk mendukung 160 awak kapalnya. Pendaratan di Gallipoli telah dimulai pada tanggal 25 April dan tiga kapal monitor, HMS Humber, HMS Severn dan HMS Mersey telah tiba di Malta dalam melanjurkan perjalanan ke semenanjung untuk mendukung pendaratan.

Kapal Monitor HMS Severn. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Kapal Monitor HMS Mersey. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Terlambat dipakai efektif di Gallipoli, pihak Inggris menyadari bahwa kapal-kapal ini (yang sebelumnya telah digunakan untuk membombardir posisi Jerman di lepas pantai Belgia) berpotensi sangat efektif di sistem sungai Rufiji. Kedua kapal – HMS Severn dan HMS Mersey lalu menempuh perjalanan sejauh 5.000 mil (8.046 km). Mereka telah meninggalkan Malta pada tanggal 28 April dan ditarik oleh kapal tunda dengan kecepatan 6½ knot melintasi Mediterania, melalui Terusan Suez pada tanggal 6 Mei dan menyusuri Laut Merah. Mereka hampir tidak layak laut, dan untuk membantu daya apung untuk operasi yang akan mereka lakukan, palka mereka ditempati dengan 10.000 kaleng minyak tanah kosong. Selama beberapa hari berikutnya, suhu berangsur-angsur meningkat. Bahkan di malam hari, suhunya sangat panas, dengan termometer dilaporkan jarang turun di bawah angkat 87° Fahrenheit (30° Celcius). Di salah satu kapal tunda, Sarah Joliffe, dua orang dibuat tidak sadarkan diri ketika suhu di ruang mesin mencapai 145° Fahrenheit (63° Celsius). Pada tanggal 15 Mei, konvoi tersebut berlabuh di Aden. Sementara di sini, dua orang meninggal karena sengatan panas. Steward Assistant Kapal Edward Phair dan ahli mesin Henry Beaton kemudian dimakamkan di Pemakaman Maala. Konvoi tersebut tiba di Pulau Mafia pada tanggal 3 Juni. Persiapan kemudian dilakukan untuk menyerang Königsberg. Setelah mengetahui pasang surut yang berbeda, diputuskan untuk memulai serangan pada 6 Juli. Dengan orang-orang Jerman mengawaki meriam di jalur pendekatan ke delta, ada kemungkinan kerusakan serius – atau lebih buruk – dapat ditimbulkan pada dua monitor Angkatan Laut Kerajaan itu.

Kapal tunda Sarah Joliffe. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
Pemakaman Maala, di Aden di Republik Yaman. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Setelah melakukan pengeboman besar-besaran terhadap pertahanan pantai Jerman, kapal-kapal monitor Inggris memulai perjalanan mereka ke hulu sungai pada tanggal 6 Juli 1915. Saat mereka mendekati muara sistem sungai, Severn dan Mersey ditembaki oleh pertahanan pantai. Meskipun perlawanan melunak, mereka bergerak maju melalui hujan peluru meriam dan peluru dari kedua pantai. Sebuah torpedo ditembakkan dari pantai, tetapi dihancurkan oleh salah satu meriam Severn. Untungnya Kapten Königsberg telah memilih untuk tidak melucuti meriam yang lebih berat dari kapal penjelajah itu dan meskipun ada sejumlah serangan di kapal-kapal monitor (terutama pada HMS Mersey) kedua kapal berhasil memasuki delta. Setelah menembus pertahanan pantai, dan berlayar melalui sungai, dua jam kemudian Severn dan Mersey menjatuhkan jangkar dan – menggunakan instruksi yang datang dari pesawat pengintai – mulai menembaki Königsberg. Kapal-kapal itu berlabuh 11.000 yard (10.058 meter) dari Konigsberg sementara pesawat terbang melakukan pengeboman yang tidak efektif. Kapal penjelajah Jerman itu tidak tinggal diam, Kapten Looff mengoreksi tembakannya dengan pengamatan dari para kru yang telah ditempatkan di titik-titik strategis di semak-semak. Karena penggunaan pesawat pengintai untuk melaporkan jatuhnya tembakan tidak dilakukan oleh Inggris, meriam-meriam Jerman menemukan jangkauan mereka terlebih dahulu dan menembaki kapal-kalal monitor Inggris. Konigsberg lalu melakukan penembakan yang sangat baik seperti biasanya dan dengan cepat menemukan jarak yang tepat, serta menghantam Mersey dua kali pada pukul 07:40, yang melumpuhkan meriam 6 inci (152 mm) di depannya, dan membunuh empat kru kapal. Kapal-kapal Monitor membalas, dan sebuah peluru dari Severn menembus mess perwira Konigsberg, menewaskan seorang pelaut. Dua peluru lagi menghantam dek atas dan anjungan, menewaskan tiga awak kapal lainnya.

Salah satu senjata Königsberg ditempatkan di delta. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
SMS Königsberg diserang dari udara. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
HMS Mersey bertempur melawan SMS Königsberg. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Pada pukul 3:30 sore, kapal-kapal Monitor itu mundur, setelah menembakkan 635 peluru, hanya empat di antaranya mencetak tembakan tepat sasaran, satu menghantam Konigsberg di bawah garis air. Kapal Jerman itu telah terluka tetapi masih melakukan perlawanan penuh. Orang-orang Jerman kemudian menguburkan para korban yang tewas, mengevakuasi 35 orang yang terluka, dan menyingkirkan semua bahan bakar dari kapal sebagai persiapan untuk menghadapi langkah musuh berikutnya. Itu tidak lama lagi akan datang. Pada tanggal 11 Juli, Severn dan Mersey kembali mendekat, untuk bertukar tembakan dengan Konigsberg. Tembakan yang masuk dari pantai kembali intens, dan dua pelaut di Mersey terluka. Kedua kapal monitor kembali menemukan posisi yang cocok untuk menembak, tetapi bahkan sebelum mereka berlabuh, Königsberg telah melepaskan tembakan pada kedua kapal itu. Mersey terkena dua peluru, melukai dua pelaut lainnya. Berputar di atas adalah pesawat pengintai Inggris yang memandu tembakan dari Mersey dan Severn. Delapan peluru kini mendarat secara berurutan-Nasib Konigsberg sudah ditentukan. Namun semua tidak berjalan sesuai keinginan Inggris, karena pesawat mereka ditembak dan harus melakukan pendaratan darurat di samping kapal-kapal monitor. Pesawat lain lalu diterbangkan untuk menggantikan yang rusak, dan serangan lebih lanjut dilakukan pada Königsberg. Pada pukul 13.16, serangkaian ledakan mengguncang kapal penjelajah jerman itu; asap membubung 200 kaki (61 meter) ke udara. Api lalu berkobar dari haluan ke buritan. Tindakan terakhir kemudian diserahkan kepada para kru Konigsberg sendiri. George Koch, perwira pertama kapal, lalu meletakkan detonator di bawah dua torpedo dan meledakkan kapal itu. Di atas kapal-kapal monitor, serangkaian ledakan besar terdengar dari kapal penjelajah Jerman dan awan berbentuk jamur muncul di atas puncak pepohonan. Buku catatan di Mersey mencatat hal-hal berikut: “Königsberg telah berhenti menembak. Saya yakin dia benar-benar hancur, lima ledakan besar terdengar, dia terbakar habis-habisan sekarang.” Di atas kapal HMS Severn, kapten menaiki tiang dan dapat melihat bahwa Königsberg sebenarnya telah dihancurkan. Pada pukul 2:30, kapal-kapal Monitor mundur ke Pulau Mafia. 

Kehancuran di SMS Königsberg. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)
SMS Königsberg tidak ditenggelamkan Inggris, tetapi oleh awaknya sendiri. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

SMS KONIGSBERG DIHANCURKAN, TAPI TIDAK DITAKLUKKAN

Tindakan perlawanan terakhir Konigsberg harus dibayar mahal. Dari 213 orang di atas kapal selama pertempuran, 32 orang tewas (mereka kemudian dimakamkan di samping kapal. Sebuah plakat bertuliskan “Beim Untergang S.M.S. Königsberg am 11.7.15 gefallen…” ditempatkan di dekat kuburan, dengan daftar orang gugur) dan 123 lainnya terluka, termasuk Kapten Looff, yang kemudian dianugerahi medali Iron Cross, kelas satu. (Hampir setengah dari krunya menerima medali Iron Cross, kelas dua.) Komunikasi terakhirnya ke Berlin dengan bangga menyatakan: “SMS Konigsbergdihancurkan tetapi tidak ditaklukkan.” Kata-kata Looff akan terbukti profetik. Perang telah berakhir untuk kapal itu, tetapi tidak untuk senjata atau awaknya, banyak di antaranya yang dimasukkan oleh Lettow-Vorbeck ke dalam Schutztruppe. Satu kompi penuh ditambahkan di bawah komando Letnan Koch; orang-orang itu lalu dilatih dalam pertempuran di semak-semak dan diajari bahasa Swahili untuk memfasilitasi komunikasi dengan sesama prajurit infanteri mereka. Perwira dan kru lainnya lalu kembali ke laut dengan armada kecil kapal meriam di Danau Tanganyika. Dua meriam Konigsberg dipasang di Graf von Gotzen, sebuah kapal uap besar yang diluncurkan pada tanggal 1 Juni. Setahun kemudian kapal itu ditenggelamkan, dan Lettow-Vorbeck mengkanibalisasi senjatanya untuk pasukan daratnya. Senjata-senjata Konigsberg lainnya akan memberikan kontribusi terbesar dalam perang. Jerman memulai operasi penyelamatan pada malam hari pertempuran dimana Konigsberg ditenggelamkanSemua 10 meriam kaliber 4,1 inci Konigsberg berhasil diselamatkan dan diseret sejauh 140 mil (225 km) ke Dar es Salaam oleh 400 orang Afrika. Dilengkapi dengan pengangkut senjata, meriam-meriam kapal itu merupakan senjata artileri terbesar di medan perang Afrika. Dipasang di beberapa pelabuhan, meriam-meriam itu menyediakan senjata pertahanan angkatan laut jarak jauh dan memungkinkan Lettow-Vorbeck untuk melemahkan garnisun Inggris di sana.

JEJAK KONIGSBERG

Pada musim semi tahun 1916, serangan tentara Sekutu berjalan lancar. Pada tanggal 9 dan 10 Mei, pasukan Jerman melakukan serangan balik terhadap pasukan Afrika Selatan di persimpangan vital Kondoa Irangi. Beberapa meriam Konigsberg digunakan dengan dampak yang besar. Lettow-Vorbeck tahu bahwa Dar es Salaam tidak dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Dia lalu menempatkan Looff sebagai penanggung jawab pertahanan terakhir, yang sekarang kontingennya berjumlah 125 orang mantan awak kapal dan dua meriam 4,1 inci yang dikomandoi oleh Letnan Richard Wenig, yang telah kehilangan satu kakinya selama pertempuran terakhir Konigsberg. Pasukan Inggris melancarkan serangan utama mereka ke Dar es Salaam pada tanggal 16 Agustus. Lima kapal yang sarat dengan pasukan memasuki pelabuhan, didukung oleh 15 kapal lain yang terus melakukan pengeboman di lepas pantai. Salah satu meriam Konigsberg berhasil dihancurkan, tetapi tidak sebelum berhasil beberapa kali menghantam kapal-kapal pasukan Inggris. Serangan Inggris bisa dipukul mundur, tetapi pendaratan di Bagamoyo di dekatnya berhasil, menghancurkan meriam Konigsberg lainnya yang ditempatkan di sana. Dari Bagamoyo, ribuan pasukan Inggris maju ke Dar se Salaam, dan pasukan kecil Looff mundur dengan tertib pada tanggal 2 September.

Orang-orang Inggris mengunjungi Konigsberg untuk melihat apakah dia bisa diselamatkan. (Sumber: https://blog.nationalarchives.gov.uk/)
Foto udara Königsberg setelah ditenggelamkan; meriamnya sudah dicopot. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Kuburan Jerman di samping Königsberg. (Sumber: https://www.westernfrontassociation.com/)

Pada bulan November 1917, Lettow-Vorbeck dihadapkan pada pilihan untuk bertempur pada pertahanan terakhirnya di Afrika Timur Jerman atau menyerang Afrika Timur Portugis. Memilih jalan yang terakhir, ia mengurangi pasukannya menjadi 2.000 orang, yang lebih mudah dikelola dan meninggalkan Kapten Looff yang tidak senang untuk mengawasi penyerahan sisa pasukannya. Meriam besar Konigsberg yang terakhir ikut bersama Lettow-Vorbeck dalam invasinya, yang dikomandoi oleh Letnan Wenig yang gigih, yang menyeret senjata sepanjang 16 kaki (4,8 meter) itu sepanjang wilayah Afrika Timur Portugis dan kembali lagi, satu inci demi satu inci, sebelum meledakkan meriam besar Konigsberg yang terakhir alih-alih menyerahkannya kepada pihak Inggris. Bukan orang yang suka melimpahkan pujian yang tidak pantas, Lettow-Vorbeck menyimpulkan kinerja awak dan senjata Konigsberg: “Memberikan layanan yang sangat baik.” Mereka memang telah melakukannya. Awak kapal itu telah bertempur bersamanya selama lebih dari tiga tahun di hutan-hutan terlarang di kawasan Afrika Timur setelah menghabiskan tiga bulan di laut dan delapan bulan diblokade di delta Rufiji. Mereka membayar harga yang mahal untuk pencapaian mereka. Dari kru asli yang terdiri dari 250 perwira dan pria, hanya Kapten Looff, Letnan Wenig, dan 13 orang lainnya yang selamat dari perang. Pada tahun 1919, setelah perang, orang-orang itu ikut serta dalam parade melalui Gerbang Brandenburg di Berlin untuk merayakan pengabdian mereka dan kapal mereka. Dua meriam kaliber 4,1 inci Konigsbergdiketahui masih bertahan: satu di Pretoria, Afrika Selatan, dan yang lainnya di Mombasa, Kenya. Meriam di Kenya berdiri di samping satu meriam yang diselamatkan dari korban lama Konigsberg, HMS Pegasus.

Meriam Königsberg di medan tempur tahun 1916. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Baca juga:

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The German Cruiser Konigsberg by Michael Vogel

https://warfarehistorynetwork.com/the-german-cruiser-konigsberg/

Running the Rufiji Gauntlet: The destruction of SMS Königsberg

https://www.westernfrontassociation.com/world-war-i-articles/running-the-rufiji-gauntlet-the-destruction-of-sms-koenigsberg/

Sinking the German cruiser Konigsberg by | Martin Willis; Thursday 9 July 2015

https://blog.nationalarchives.gov.uk/sinking-german-cruiser-konigsberg/

HMS MERSEY and SEVERN V SMS KÖNIGSBERG – JULY 1915

https://www.naval-history.net/WW1Battle1507KonigsbergAction.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/SMS_K%C3%B6nigsberg_(1905)

Exit mobile version