Sejarah Militer

Pertempuran Na-San (23 November-2 Desember 1952): Ilusi Kemenangan Prancis Sebelum Dien Bien Phu

It Happened Here: The Last Days of an Empire. From Look and Learn no. 951 (12 April 1980). Original artwork loaned for scanning by the Illustration Art Gallery.

Pertempuran Na San, yang terjadi di sebuah pos garis depan yang terisolasi di pegunungan Tai, telah menjadi batu penghalang yang menghancurkan gerak ofensif pasukan Viet Minh yang semakin agresif menjelang tahun-tahun terakhir Perang Indochina. Namun, sementara kekalahan Prancis di Dien-Bien-Phu, yang menutup lembaran tragis perang Indochina, relatif masih terkenal hingga saat ini, anehnya kemenangan fenomenal Vietminh itu “akarnya” justru berasal dari kemenangan Prancis dalam pertempuran Na San yang berlangsung dari tanggal 23 November hingga 2 Desember 1952. Sesingkat intensitasnya, dalam pertempuran itu pasukan Vietminh berhadapan dengan kekuatan pasukan Uni Prancis, yang berhasil mengkonsolidasikan diri dan mengalahkan divisi-divisi Viet Minh pimpinan Giap dalam medan perang yang telah mereka siapkan. Namun laksana candu, kemenangan ini semakin memantapkan keyakinan Prancis akan strateginya, yang kemudian kembali mereka terapkan dalam pertempuran di Dien Bien Phu. Sebaliknya, dari kekalahan yang diderita, Giap mendapat banyak pelajaran berharga, yang membantunya dalam me-“nyemen” kemenangan akhir Vietminh pada tahun 1954, yang kemudian mengakhiri kolonialisasi Prancis atas Indochina untuk selama-lamanya.

Pasukan Vietminh mengibarkan bendera kemenangan diatas bunker kolonel de Castries, komandan tentara Prancis di Dien Bien Phu tahun 1954. Kemenangan Vietminh dalam Pertempuran Dien Bien Phu yang fenomenal, sebenarnya memiliki akar yang berasal dari kemenangan tentara Prancis dalam Pertempuran Na San tahun 1952. (Sumber: https://tiengkeng.com/)

LATAR BELAKANG

Pada suatu hari di musim dingin yang cerah di puncak bukit bertanah merah di Vietnam Utara, seorang pemuda California bernama Howard Simpson dengan enggan makan dengan sumpit pinjaman semangkuk sup pho saat makan siang, sambil mencoba mengabaikan bau dari mayat berantakan yang menghiasi kawat berduri beberapa meter jauhnya. Simpson, seorang veteran Perang Dunia II bertubuh gempal dengan senyum lebar dan kacamata tebal, adalah seorang petugas informasi dari Kedutaan Besar AS di Saigon. Bagian dari tugasnya adalah memantau penggunaan yang dilakukan Korps Ekspedisi Prancis atas aliran bantuan militer berlimpah asal Amerika yang diberikan melalui Military Advisory Assistance Group yang dibuat di Vietnam dua tahun sebelumnya. Dia telah menumpang terbang ke tempat itu dari Hanoi dengan pesawat angkut C-47 yang penuh dengan amunisi, untuk mengumpulkan fakta dan kesan dari sebuah kemenangan militer Prancis yang sangat signifikan atas pemberontak Komunis Viet Minh. Konsep militer Prancis yang diterapkan dalam kemenangan itu adalah bahwa bahkan di hutan belantara tanpa akses jalan memadai di ‘Kawasan yang Kritis’, sebuah pangkalan udara-darat kuat dapat dibangun dan dipasok dengan angkutan udara saja (sebuah konsep yang sudah ditunjukkan dalam kampanye militer unit khusus ‘Chindit’ asal Inggris di Burma pada tahun 1944) menunjukkan prospek yang menggembirakan. Sementara itu Viet Minh yang awalnya merupakan kelompok gerilyawan yang kerap bersembunyi; kini setelah selama dua tahun mendapat bantuan dari China, sudah bertransformasi menjadi tentara konvensional, dengan membentuk divisi-divisi yang masing-masing berjumlah 10.000 personel dan didukung oleh artileri bergerak yang ringan. Pasukan semacam itu jauh kurang lincah dan lebih sukar dipasok dibanding dengan unit-unit gerilya kecil yang bisa beraktivitas dengan sembunyi-sembunyi, dan dalam hal ini Angkatan Udara Prancis dapat berharap untuk bisa melacak dan mengganggu pergerakan mereka, serta menyerang mereka dengan tiba-tiba. Dengan menggunakan pesawat-pesawat  angkut yang dipasok oleh Amerika, Prancis membangun dan mempertahankan garnisun yang kuat di perbukitan, lengkap dengan artileri lapangan untuk pertahanan dan batalyon terjun payung guna melakukan serangan mendadak.

Awak senjata anti-pesawat Chindit mengawasi pesawat Dakota saat menjatuhkan perbekalan di perimeter pertahanan mereka. Operasi unit khusus asal Inggris di Burma tahun 1943-1944 dalam Perang Dunia II, yang beroperasi jauh didalam wilayah musuh, menginspirasi konsep perbentengan darat-udara Prancis dalam fase akhir Perang Indochina Pertama, satu dekade kemudian. Seperti Chindit di Burma, pasukan Prancis mengandalkan dukungan armada udara untuk mensuplai dan memperkuat pasukannya di pos-pos terpencil. (Sumber: https://chindits.wordpress.com/)

Dengan membangun perbentengan ini, Komando tinggi Prancis berharap jika tidak bisa memblokir seluruhnya, setidaknya mereka bisa menghambat pergerakan dari formasi reguler Giap yang besar di daerah-daerah terpencil, dan sekaligus memancing mereka agar menyerang posisi-posisi Prancis di tempat-tempat yang paling kuat. Howard Simpson kemudian akan mengetahui bahwa apa yang terjadi di Na San tampaknya membuktikan harapan Prancis itu. Garnisun yang mempertahankan Na San selama beberapa malam sebelumnya adalah mikrokosmos dari kondisi Korps Ekspedisi Prancis dan sekutu lokalnya yang ada di Indochina secara keseluruhan. Saat ia berkendara dengan Jip melintasi kamp, Simpson bisa melihat pasukan terjun payung Kolonial asal Prancis dan Legiun Asing, infanteri Legiun, pasukan bersenjata asal Afrika Utara, orang Vietnam dataran rendah dari delta Sungai Merah, dan orang Tai yang direkrut dari sekitar perbukitan. Hampir semua perwira dari satuan-satuan itu adalah orang Prancis daratan atau ‘Piet Noir’ dari koloni Afrika Utara Prancis. Pada kesempatan sebelumnya, Simpson tidak mendapat sambutan hangat dari para prajurit Angkatan Darat Prancis di medan perang. Namun, di sini, di Na San, sebagian besar petugas dari Troupes Aéroportées d’Indochine (TAPI) dan Légion Étrangère dengan senang hati meminum wiski ‘Amerloque’s’ dan membiarkannya melihat sekeliling. Mereka  jelas memiliki cerita yang layak untuk mereka banggakan.

Pasukan Prancis keturunan Senegal di Indochina. Dalam perang kolonialnya melawan Vietminh, pasukan Prancis bersifat multibangsa yang mencerminkan bangsa-bangsa anggota Uni Prancis. (Sumber: https://www.pinterest.ch/)
Pada tahun 1952, militer Vietminh sudah bukan lagi sekedar pasukan gerilya kecil dengan perlengkapan seadanya, namun sudah bertranformasi menjadi pasukan reguler yang terlatih dan diperlengkapi dengan baik. (Sumber: http://peacehistory-usfp.org/)

Sejak pertengahan Oktober 1952 panglima tertinggi militer Viet Minh, Jenderal Vo Nguyen Giap, telah memimpin tiga divisi pasukan terbaiknya, yang dilatih dan diperlengkapi oleh Komunis China, jauh ke dalam wilayah pegunungan Tai – kawasan perbukitan berhutan di utara yang campur aduk – di Tonkin barat yang dekat dengan perbatasan Laos di selatan. Sampai saat itu, dataran tinggi yang jarang penduduknya ini memainkan peran kecil dalam Perang Indochina yang berlangsung selama enam tahun bagi Prancis; kawasan utama pertempuran melawan pasukan reguler Jenderal Giap adalah di daerah delta Sungai Merah, 100 mil jauhnya ke timur. Tapi setelah upaya pertama pada bulan Oktober 1951, musim gugur tahun sebelumnya, Giap mulai membuka front baru di kawasan ini. Selama ini, orang-orang suku di pedesaan kawasan perbatasan dikenal tidak menyukai perjuangan Komunis yang didengungkan Ho Chi Minh, dan Prancis oleh karenanya tidak pernah merasa perlu untuk menjaga wilayah perbukitan, selain dengan lebih dari rangkaian benteng kecil yang tersebar di sepanjang punggung bukit antara sungai Merah dan Hitam, yang sebagian besar diawaki oleh personel yang berasal dari rekrutan penduduk setempat. Di daerah itu, nyaris tidak ada jalan yang dapat digunakan, dan selain jalan-jalan kecil melewati hutan, jalur komunikasi ke pos-pos terpencil ini telah dipertahankan melalui jalur udara. Beberapa garnisun memiliki landasan terbang hanya dapat menampung pesawat kecil, dan pasokan atau perkuatan skala besar harus dilakukan dengan parasut. Sejak bulan Oktober 1952, garnisun-garnisun kecil ini telah disapu oleh gerak maju pasukan Giap. Pada saat-saat kritis, pasukan terjun payung Prancis telah melakukan beberapa penerjunan berani mati untuk mengulur waktu mundur bagi pasukan Prancis, dan sekarang garnisun-garnisun terpencil Prancis yang tersisa telah didesak ke sebelah barat dari Sungai Hitam.

JALAN MENUJU PERTEMPURAN 

Pada tahun 1952, di Tonkin, wilayah yang diperintah Prancis pada bagian paling utara Vietnam saat ini, sebuah garnisun kecil menemukan dirinya dikepung oleh pasukan pejuang kemerdekaan Vietnam, Viet Minh yang dipimpin oleh orang-orang komunis. Garnisun di Gia Hoi, yang ditempati oleh perwira Prancis dan personel asal suku Tai dari pegunungan setempat, adalah pos terdepan yang terisolasi di perbukitan terjal antara sungai Merah dan Hitam. Para prajurit di Gia Hoi yang terbangun pada tanggal 15 Oktober 1952, menemukan bahwa seluruh resimen pasukan reguler Viet Minh telah berkumpul untuk melakukan penyerangan. Hal ini adalah pencapaian yang luar biasa dalam persiapan logistik dan penyamaran, dari Panglima Tertinggi Viet Minh Jenderal Vo Nguyen Giap, yang telah mampu menempatkan 30.000 tentara dan 20.000 kuli angkut di tepi timur hulu Sungai Merah di utara Yen Bai dan diam-diam memindahkan mereka ke seberang sungai pada tanggal 11 Oktober. Dia kemudian mengirim pasukannya ke arah barat daya. Pasukan Giap terdiri dari divisi ke-308, 312 dan 316 dan Resimen Independen ke-148, dipersenjatai dengan senjata recoilless kaliber 75 mm dan mortir berat kaliber 120 mm. Pada tanggal 16 Oktober, dimana sekarang telah menyadari ancaman dari pihak Viet Minh, Panglima Tertinggi Prancis, Raoul Salan menerjunkan Batalyon Parasut Kolonial ke-6 pimpinan Mayor Marcel Bigeard di dekat Tu Le, di mana ia mengambil alih pimpinan komando unit-unit lokal. Batalyon Bigeard terdiri dari 667 prajurit — setengahnya asal Prancis dan sisanya asal orang-orang keturunan Afrika dan pasukan reguler bangsa Vietnam dari kesatuan Tentara Nasional Vietnam, sekutu nonkomunis Prancis yang setia dengan Kaisar Boa Dai.

Peta yang menampilkan manuver militer Prancis vs Vietminh tahun 1952 di Nghĩa Lộ, Gia Hoi dan Tu Le serta Operasi Lorraine dan Nà Sản yang mengikuti setelahnya. Pada tahun 1952, kekuatan militer Vietminh terus berkembang, sedangkan militer Prancis semakin menunjukkan keterbatasannya. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Sementara itu, sebuah pangkalan Prancis di Nghia Lo diserang pada malam 17 Oktober dan jatuh pada keesokan paginya. Pada tanggal 19, Bigeard mengirim sebuah kompi untuk masuk ke garnisun kecil yang masih bertahan di Gia Hoi. Garnisun lain kemudian bergabung dengannya di Tu Le. Setelah memukul mundur serangan Viet Minh pada pagi hari tanggal 20 Oktober, batalion parasut dan garnisun lainnya memulai gerak mundur 40 mil dengan musuh mengejar mereka, menuju ke arah barat daya melalui pegunungan menuju posisi Prancis di Sungai Hitam. Hampir semua pasukan Prancis dan sekutunya berhasil mencapai area penyeberangan sungai dan benteng-benteng Prancis yang lebih besar — Moc Chau, Na San, Son La, dan Lai Chau — di dekat perbatasan Loas. Tapi penarikan itu membuat batalion elit pimpinan Bigeard menderita korban 91 personelnya terbunuh dan banyak lagi yang terluka parah. Sebagai tambahan, kemenangan Viet Minh ini memaksa Salan untuk mengerahkan kekuatan cadangannya yang berharga jauh dari basisnya di daerah Delta Sungai Merahnya. Selain itu, kondisi ini membuat sumber daya udara Prancis menjadi kewalahan dan akhirnya memungkinkan Giap mencapai tujuan berikutnya, yakni: invasi ke wilayah Laos utara. 

Jenderal Vo Nguyen Giap (berdiri), bersama Pangeran Souphanovong asal Laos pada tahun 1954. Pada tahun-tahun terakhir Perang Indochina Pertama, Jenderal Giap menunjukkan ketertarikan untuk menyerang kearah jurusan Laos, untuk memancing Prancis mengerahkan pasukan cadangannya jauh dari wilayah Tonkin yang strategis. (Photo by: SeM Studio/Fototeca/Universal Images Group via Getty Images/https://www.historynet.com/)

Tiga tahun sebelumnya, pada bulan Maret 1949, Prancis telah mengakui Kaisar Bao Dai sebagai kepala negara Vietnam yang secara nominal (terbatas) merdeka. Laos kemudian mencapai status yang sama pada bulan Juli, dan Kamboja menyusul di bulan November. Ketiga negara Indochina ini lalu menjadi anggota Associated States of the French Union, yang menggantikan sistem kolonial Prancis lama dan memiliki beberapa otonomi tertentu, tetapi Prancis masih memegang kendali yang cukup besar atas ketiganya. Giap, yang merupakan seorang guru sejarah dan komandan medan perang otodidak, tahu bahwa dia bisa menarik militer Prancis keluar dari pangkalan mereka dan berperang dengan menyerang Laos, yang memiliki sejarah panjang hubungan persahabatan dengan Prancis. Seperti perkiraan Giap, Salan segera bereaksi terhadap serangan Giap di Laos dengan memperkuat pertahanan di Lai Chau, Na San, dan Moc Chau. Salan juga memindahkan 30.000 prajuritnya ke sungai Merah dan menuju pangkalan Giap serta daerah garis belakang di utara Hanoi untuk mengurangi tekanan pada benteng-benteng Prancis di sekitarnya. Barisan satuan lapis baja Salan terus menekan barat laut dari Delta Sungai Merah pada 29 Oktober lewat Operasi Lorraine, yang berhasip merebut tiga kota dan menghancurkan gudang senjata dan amunisi besar milik Viet Minh. Tapi mereka gagal mengambil basis utama dan penimbunan pasokan.

Unit Pembantu / partisan asal Suku Tai di lembah Dien Bien Phu, akhir tahun 1953. Di kawasan Barat Laut Vietnam, Prancis banyak merekrut suku-suku pegunungan untuk bertempur bersama mereka. Orang-orang Suku Tai, misalnya diketahui tidak bersimpati pada Vietminh. (Sumber: http://foreignlegion.info/)
Pasukan payung Prancis di lembah Na San. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)

Sementara itu, jalur pasokan Prancis yang terentang panjang, seperti yang diharapkan Giap, dengan cepat menjadi terlalu panjang dan mengalami macet, memaksa Salan untuk mengakhiri operasi pada tanggal 14 November. Di sisi lain, Viet Minh, bagaimanapun, juga memiliki masalah mereka sendiri. Mereka mengalami kesulitan mendapatkan pasokan beras segar dan mendapati ribuan kuli dari suku Tai yang enggan mengangkut mereka, yang pada akhirnya memperlambat gerak maju Giap. Tiga divisi Viet Minh lalu menyeberangi Sungai Hitam pada pertengahan November dan mengarahkan sasaran mereka pada benteng Prancis yang merupakan penghalang terakhir mereka menuju ke ke kawasan utara Laos. Divisi ke-316 Vietminh lalu merebut dua pos, yakni Bac Lay dan Moc Chau, sedangkan Divisi ke-308 bergerak menuju pangkalan udara-darat Prancis yang dipertahankan dengan kuat di Na San. Lebih jauh ke utara, Divisi ke-312 melewati kamp yang dibentengi di Lai Chau dan menuju ke desa Dien Bien Phu, yang dikuasai oleh pasukan Laos kecil yang dikomandani oleh perwira-perwira Prancis. Na San, berada di jalur timur laut-barat daya yang digunakan oleh Viet Minh untuk memindahkan perbekalan mereka, sehingga dinilai sangat penting bagi Giap, yang membutuhkan akses tanpa hambatan ke jalur tersebut untuk mendukung gerakan ke selatan Divisi ke-316 yang direncanakan menuju ke Laos. Dia yakin Na San dipertahankan oleh tidak lebih dari lima batalion Prancis yang kurang kuat, yang terdiri dari sekitar 2.000 orang. 

Lapangan udara Na San pada tahun 1952, yang dipenuhi dengan pesawat yang mengirimkan pasukan, senjata, dan perbekalan untuk mempersiapkan menghadapi serangan oleh pasukan Viet Minh. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Pembangunan parit pertahanan di Na San. Pangkalan Na San utamanya terdiri dari sebuah landasan udara di dasar lembah yang dikelilingi oleh berbagai perbentengan yang bertebaran di bukit-bukit sekitarnya. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)

Pangkalan di Na San yang berada di Route Provinciale 41 (RP 41), terletak di lembah yang berukuran 2 km × 1 km, dan dikelilingi oleh lingkaran yang terdiri dari bukit 24 bukit. Jantung benteng terletak di dasar lembah, ditopang oleh lingkaran kawat berduri dan ladang ranjau yang menghalangi semua jalan potensial untuk mendekat. Terdapat ring bagian dalam yang dari 12 posisi pertahanan yang dibentengi — titik kuat, dalam bahasa Prancis points d’appui (posisi-posisi yang dipersenjatai). Mereka melindungi posisi-posisi artileri utama pangkalan dan emplasemen mortir, lapangan terbang, markas besar, rumah sakit, dan depot penyimpanan. Landasan udara tanah liat di Na San telah dilapisi dengan pelat baja berlubang untuk memungkinkannya digunakan oleh pesawat-pesawat C-47 Angkatan Udara Prancis. Landasan ini juga hanya berjarak kurang dari 1 jam penerbangan dari Hanoi, sehingga perkuatan dan pengiriman bala bantuan dianggap tidak terlalu sulit untuk dilakukan. Sementara itu, komandan pangkalan, Kolonel Jean Gilles, seorang perwira pasukan payung bermata satu yang bermuka masam, telah membangun 16 posisi kuat pertahanan tambahan di lingkar luar bukit, yang ditempati oleh kompi-kompi yang masing-masing terdiri dari sekitar 100 prajurit. Pengaturan ini dibuat untuk bisa memberikan serangkaian tembakan senapan mesin dan mortir yang saling mendukung. Salan kemudian juga mendukung Na San dengan 12 batalyon infanteri — terdiri dari tiga asal pasukan terjun payung Kolonial dan Legiun Asing Prancis, tiga dari Afrika Utara, tiga dari Suku Tai, dua dari satuan Legiun Asing, dan satu dari unit Vietnam. Unit-unit ini dikenal sebagai ‘Grup Operasi Sungai Hitam Tengah’ – disingkat GOMRN. Dia juga mengirim 500 tentara Viet Minh yang berhasil ditangkap ke Na San. Beberapa tawanan perang Viet Minh ditempatkan di kamp-kamp yang terbuka untuk pemeriksaan Palang Merah Internasional, tetapi ribuan lainnya digunakan sebagai porter atau kuli oleh orang-orang Prancis yang menangkap mereka. Pada akhir bulan November, ketika Viet Minh mulai memasuki daerah tersebut, pertahanan di Na San masih belum sempurna. Benteng-benteng tertutup pada lingkaran luar pangkalan kekurangan kawat berduri, dan hanya ada satu baterai mortir 120 mm yang berada di pusat kamp.

SERANGAN KE STRONGPOINT 8

Dalam keheningan total dan dalam kegelapan pada tanggal 23 November, seluruh Resimen ke-88 dari Divisi ke-308 Viet Minh melewati tanpa terdeteksi melalui lingkaran luar pos-pos di puncak bukit Na San. Mereka berpindah ke posisi yang mengelilingi Strongpoint Nomor 8 di batas utara lingkar dalam, sekitar setengah mil dari pusat kamp. Strongpoint 8 hanya dipertahankan oleh 110 prajurit pimpinan Kapten Marcel Letestu dari Kompi ke-11, Batalyon ke-3, Resimen Infantri Legiun Asing ke-5. Meski jumlah pasukannya terhitung kecil, namun Letustu yang saat mudanya pernah bertugas di Garis Maginot, mengerti persis bagaimana menyusun posisi pertahanan, dan anak buahnya telah membangun jaringan luas parit komunikasi zigzag, membersihkan ladang dan memasang penghalang kawat berduri yang mengelilingi lima posisi bangunan pertahanan yang diperkuat dan digali dengan dalam, yang berisi senapan mesin berat yang ditempatkan dengan baik untuk memberikan tembakan perlindungan ke semua jalur pendekatan. Pada saat penyerangan, Letestu sedang berada di posnya memimpin bagian selatan pertahanan Strongpoint 8. Saat itu prajurit-prajurit asal suku Tai yang tercerai berai saat mundurnya pasukan Prancis telah tiba sepanjang hari. Ketika Letestu mendengar suara tembakan berselang-seling sekitar pukul 8:30 malam dari bagian utara Strongpoint 8, yang dipimpin oleh Letnan Robert Durand, dia khawatir para tentara di posisi itu akan menembak ke arah orang-orang Suku Tai yang berdatangan. Namun, Letestu segera mendengar teriakan: “Orang-orang Vietnam ada di parit!” Dia segera meraih senjatanya dan memimpin para legiunernya ke utara. Dalam kegelapan, sekelompok kecil orang Viet Minh yang bisa berbicara bahasa Prancis dan mengaku sebagai orang-orang Tai telah mendekati gerbang utara dari Strongpoint 8. Ketika Durand membuka gerbang, orang-orang Viet Minh menyambutnya dengan tembakan senapan, mortir, dan senapan mesin, menewaskan si letnan dan anggota legiun lainnya.

Jenderal Henri-Eugene Navarre, komandan pasukan Prancis di Indocina, berbicara dengan Brigadir Jenderal Jean Gilles, komandan pasukan lintas udara. Jean Gilles, yang masih berpangkat kolonel adalah komandan pertahanan Prancis di Na San, November-Desember 1952. (Sumber: https://www.gettyimages.no/)
Para perwira Prancis meninjau pertahanan di Na San. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)

Sekitar dua peleton Viet Minh menerobos sementara para penyerang lainnya menjadi sasaran tembakan dan dihentikan gerak majunya. Letestu dan anak buahnya lalu melawan balik dalam pertempuran jarak dekat saat peleton-peleton Viet Minh menembus parit sebelah timur dan barat. Kedua belah pihak saling bertukar tembakan senjata otomatis pada jarak yang sangat dekat, melemparkan granat dan menggunakan bayonet, pisau, sekop dan parang dalam pertarungan liar. Pasukan Viet Minh membawa mitraliur M3A1 kaliber .45 Amerika versi China, atau “grease gun”, sedangkan Prancis menggunakan senapan mesin ringan FM 24/29. Pada pukul 9:30 malam. Legiuner pimpinan Letestu menang tetapi kehilangan 15 orang tewas atau hilang dan 15 lainnya luka parah, yang menghabiskan sepertiga dari kekuatan kompi. Yang terluka sekarang dirawat oleh petugas medis batalion Letnan Thomas, yang bersama Sersan Kepala Rinaldi telah melanggar perintah dan merangkak setengah mil dari kamp pusat untuk menyelinap melalui barisan musuh dan kawat berduri untuk menyelamatkan rekan-rekannya. Sementara itu, peluru mortir dari tentara komunis berjatuhan di bagian selatan dari Strongpoint 8. Letestu kemudian menjalin kontak radio dengan baterai satu-satunya baterai artileri pendukung tembakan di kamp pusat, sebuah kompi mortir dari unit Legiun Asing. Meskipun tidak memiliki rencana penembakan yang disiapkan, Letnan Bart berhasil menembakkan sepuluh senjatanya (empat tabung mortir kaliber 120 mm dan enam kaliber 81 mm milik kompinya) di sektor yang terancam oleh kelompok-kelompok Viet Minh yang bergerak maju ke parit-parit di perimeter tenggara Strongpoint 8. Sementara itu perbentengan-perbentengan pasukan Letestu terus menderita tembakan rentetan mortir dan tembakan senjata recoilless yang sengit.

Seorang perwira Prancis memberi isyarat kepada tentara di depannya selama Pertempuran Na San. (Photo by Keystone-France/Gamma-Rapho via Getty Images/https://www.historynet.com/)

Tim Sapper Viet Minh (pasukan komando yang sangat terampil) menyerbu perimeter, membawa bahan peledak dalam tabung (bangalore torpedo) atau tas yang bisa diledakkan untuk membersihkan ranjau dan membuat lubang di kawat berduri. Mereka diikuti oleh kelompok pembawa tangga, tim senapan mesin ringan yang beranggotakan tiga orang, pembawa amunisi dan pasukan penyerang infanteri utama. Tembakan konstan dari pasukan Prancis, yang didukung oleh tembakan mortir terus menerus dari kamp pusat, menghentikan gelombang pertama penyerangan Vietminh sebelum mereka dapat menembus kawat pertahanan. Meskipun Viet Minh mempersiapkan dengan cermat, taktik mereka sudah ketinggalan zaman dan mahal harganya, yang berdasarkan taktik yang digunakan oleh instruktur China mereka dan Korea Utara untuk melawan pasukan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Korea — serangan frontal yang tidak fleksibel dan besar-besaran diulang sampai sebuah penembusan perimeter pertahanan musuh akhirnya tercapai, biasanya pada malam hari dan tampaknya tidak memperhitungkan kehilangan yang diderita oleh pasukan penyerang. Sementara itu, bala bantuan Prancis mencapai pasukan pimpinan Letestu pada pukul 11:30 malam, dengan datangnya Kompi ke-5 pimpinan Kapten Alan Guilleminot dari Batalyon Lintas Udara Kolonial ke-3 di samping landasan udara Na San, yang dikirim dari unit pasukan cadangan. Anak buah Guilleminot kemudian membantu untuk memukul mundur pasukan penyerang gelombang kedua yang berhasil melewati pertahanan terluar.

Pasukan Batalyon Lintas Udara Kolonial ke-3 di tengah sengitnya Pertempuran Na San. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)

Setelah satu jam pertempuran sengit yang membingungkan, perimeter berhasil dibersihkan. Tetapi Letestu sangat marah ketika mendengar Kapten Guilleminot melaporkan bahwa dia (Guilleminot) dan pasukannnya telah tiba untuk ‘merebut kembali Strongpoint 8’. Letustu kemudian mewajibkan dia untuk kembali ke radio dan meluruskan informasi yang baru saja diberikannya. Sementara itu, setelah upaya terakhir untuk menyelamatkan personel mereka yang terluka dan senjata-senjata yang berharga, pasukan Viet Minh mundur, meninggalkan lima orang yang terluka dan 64 lainnya tewas, banyak yang tersangkut pada kawat berduri. Semua anggota dari salah satu awak mortir legiun asing Prancis juga terluka. Uniknya para tahanan Viet Minh mereka telah menggantikan mereka, dengan memuat amunisi dan menembakkan mortir ke bekas kawan-kawan sendiri sampai fajar. Banyak tawanan Viet Minh yang sangat setia kepada penawannya dan bersedia melakukan tugas berbahaya, seperti berjalan kaki setiap hari ke tempat penimbunan amunisi, bahkan dengan tanpa pengawasan. Sangat sedikit yang mencoba melarikan diri. Komandan markas, Gilles lali memberi tahu Letestu bahwa dia “telah menyelamatkan Na San” dan memuji “contoh bagus dari pertahanan lapangan” di Strongpoint 8. Letestu di kemudian hari akan mencapai pangkat jenderal dan menjadi komandan Legiun Asing Prancis. 

TARIK ULUR DI NA SAN

Di pihak Vietminh, Giap kemudian akan menghabiskan enam hari berikutnya untuk mempersiapkan serangan lain terhadap Na San sambil menunggu tiga divisinya yang lain tiba. Selama waktu itu, prajuritnya terus menyelidiki perimeter pangkalan Prancis saat setelah malam tiba, berpura-pura melakukan serangan kecil di berbagai titik untuk menguji pertahanan Prancis. Menanggapi ini, pihak Prancis akan mengirim patroli pengintaian di luar pangkalan pada siang harinya. Sementara itu, upaya untuk memperkuat pertahanan di Na San yang dimulai pada bulan Oktober terus berlanjut. Antara tanggal 11 Oktober dan 30 November, pesawat-pesawat kargo Dakota C-47 yang terisi penuh mendarat di lapangan terbang setiap 10 menit selama setidaknya enam jam setiap hari. Pesawat itu mengirimkan orang, senjata, perbekalan, sekitar 3.000 ton bahan bangunan dan 300 ton kawat berduri. Gilles juga menerima tiga baterai artileri kaliber 105 mm dan satu lagi batalion parasut, yang menambah kekuatan garnisunnya menjadi 15.000 orang. Pertempuran lalu berlanjut pada malam tanggal 30 November-1 Desember. Sebuah batalyon dari Resimen ke-141 Viet Minh, Divisi ke-312, menyerang Strongpoint 22 bis, sebuah pos terdepan dekat Strongpoint 22, di tepi barat lingkar luar bukit sekitar setengah mil dari landasan udara. Meskipun didukung dengan tembakan artileri dan mortir, pasukan pertahanan Prancis — satu kompi dari Batalyon Suku Tai ke-2 dan beberapa prajurit Maroko — meninggalkan bukit dalam waktu kurang dari satu jam dan mundur kembali ke landasan udara. Meskipun dikenal sebagai petempur pemberani, namun orang-orang Suku Tai tidak mendapat pelatihan memadai dan tekad untuk mempertahankan parit pertahanan di bawah pemboman berat.

Perbentengan dan lapangan terbang di Na San bersiap pada tahun 1952 untuk menghadapi serangan Vietminh. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Khawatir bahwa Viet Minh akan membombardir landasan udara, Gilles segera memerintahkan serangan balik yang dimulai dengan rentetan tembakan mortir 120 mm terhadap Strongpoint 22 bis yang baru saja direbut musuh. Dengan medan perang yang diterangi oleh parasut suar yang dijatuhkan oleh pesawat yang berputar-putar, Gilles menyaksikan pasukan Viet Minh di puncak bukit dihantam oleh badai bahan peledak dan baja terbang yang berlangsung selama hampir tiga jam. Dua kompi dari Batalyon Parasut Asing ke-2 dengan mudah merebut kembali posisi itu setelah fajar. Di tempat lain pada malam tanggal 30 November itu juga, pertempuran sengit terjadi di Strongpoint 24, yang dimulai sekitar jam 8 malam, di puncak bukit luar sekitar 500 meter timur laut kamp utama. Posisi tersebut, yang masing-masing dipertahankan oleh satu kompi dari orang-orang Suku Tai dan prajurit Maroko, menghadapi tembakan mortir berkelanjutan dan tembakan senapan yang tidak berakhir. Unit-unit Prancis ini menahan dua gelombang serangan yang dilakukan oleh Resimen ke-102 Viet Minh, dari Divisi ke-308, sebelum posisi itu diambil-alih musih pada jam 3 pagi tanggal 1 Desember. Pasukan dari Batalyon Parasut Kolonial ke-3 kemudian melancarkan serangan balik fajar, dengan didukung oleh dua kompi dari Batalyon Lintas Udara Legiun Asing ke-2 dan satu kompi dari Resimen Penembak jitu Maroko ke-6. 

Peta pertempuran Na San, 23 November – 2 Desember 1952. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Bertahan kuat di atas bukit, pasukan Viet Minh melakukan perlawanan sengit. Pertempuran sengit ini lalu berkecamuk sepanjang hari ketika pasukan terjun payung melakukan serangan berulang kali ke atas bukit dengan bayonet terpasang, dan didukung oleh tembakan artileri, mortir, serta bantuan tembakan pesawat udara, yang mencakup pesawat-pesawat tempur F6F Hellcat dan F8F Bearcat buatan Amerika. Ketika pasukan yang kelelahan merebut kembali Strongpoint 24 pada jam 4 sore, dan dengan demikian memulihkan kembali lingkar luar pertahanan Prancis, mereka menemukan seorang perwira Viet Minh yang tewas dengan membawa perintah dari Giap langsung yang menegaskan pentingnya untuk merebut dua posisi pertahanan kuat itu. Dia telah merencanakan untuk memindahkan senapan-senapan mesin anti-pesawat ke dalam perbentengan yang direbut untuk menembak jatuh pesawat-pesawat Prancis yang mendukung pasukan darat. Dia juga ingin menggunakan dataran tinggi di atas bukit untuk mengarahkan tembakan mortir secara lebih akurat ke landasan pesawat yang ada di bawah. Bagaimanapun, Giap gagal mencapai kedua tujuannya itu. Namun, tetap ada keberhasilan yang diraih Giap. Jauh dari pertempuran di Na San, Resimen Independen ke-148 berhasil merebut desa Dien Bien Phu, yang ada di pedalaman wilayah Suku Tai, pada tanggal 30 November, dengan pasukannya hampir tanpa melepaskan tembakan satu tembakan pun.

GIAP YANG KERAS KEPALA

Meskipun dua serangannya gagal dan menderita kerugian parah di Na San, karena dia meremehkan ukuran dan pertahanan prancis di pangkalan tersebut, Giap dengan keras kepala tetap memerintahkan serangan lagi ke dua pertahanan kuat, yakni titik pertahanan 21 bis dan 26, pada pukul 1 pagi tanggal 2 Desember, yang disusul dengan serangan di sepanjang hari. Strongpoint 21 bis, di sektor barat daya dari posisi puncak bukit luar, dipertahankan oleh Kompi ke-10 Letnan Gabriel Bonnet, dari Batalyon ke-3, Resimen Infantri Legiun Asing ke-5. Tembakan recoilles dan peluru mortir menghujani pasukan Bonnet dari segala arah. Sementara unit-unit Sapper Vietminh, dengan tubuh telanjang sampai ke pinggang, meledakkan sebuah celah di kawat berduri pertahanan. Namun serangan infanteri besar-besaran Viet Minh, yang dilakukan oleh dua batalyon dari Divisi ke-312 berhasil dipukul mundur. Pesawat-pesawat tempur F8F Bearcat dan pembom-pembom B-26 memberondong para penyerang dan menjatuhkan bom-bom napalm di medan perang yang diterangi oleh suar parasut. Howitzer kaliber 105 mm milik Prancis menghujani area tempat berkumpul dan jalur masuk pasukan Viet Minh. Tidak terpengaruh dengan kerugian yang diderita, Giap lalu mengirim satu lagi batalion ke medan pertempuran. Bala bantuan ini tidak membantu sama sekali. Para penyerang akhirnya mundur sekitar pukul 4 pagi. Viet Minh kemudian meninggalkan banyak senjata dan korban di medan pertempuran, termasuk 350 personel yang tewas dan 50 luka-luka. Kalah jumlah 10 banding 1, satu kompi legiuner pimpinan Bonnet telah berhasil memukul mundur seluruh resimen musuh. Bala bantuan Prancis lalu tiba pada pukul 7 pagi. 

Pembom B-26 kekuatan udara Prancis di Indochina. (Sumber: https://forum.warthunder.com/)
Pesawat tempur F8F Bearcat memegang peran penting dalam memberikan dukungan udara pada pertahanan Prancis di Na San. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Sementara itu, Strongpoint 26, yang ada di sisi timur lingkar pertahanan luar, terletak di atas bukit yang fitur dominannya adalah perbukitan sepanjang sekitar 500 yard dengan lereng curam di semua sisinya. Pos terdepan, yang ada di bawah komando Mayor Pierre Favreau, dipertahankan oleh seluruh personel Batalyon ke-3 dari Resimen Infantri Legiun Asing ke-3. Pasukan Prancis telah membangun perimeter kawat berduri dan ranjau di sekitar pos komando, yang juga dilindungi oleh bunker senapan mesin karung pasir dan rumah beton. Pasukan Viet Minh menyerang Strongpoint 26 dengan empat serangan yang dimulai pada pukul 1 pagi. Dilindungi oleh tembakan mortir dan tembakan recoilles, para sappers Vietminh berhasil menembus kawat berduri. Mereka lalu diikuti oleh beberapa gelombang pasukan infanteri yang hanya bersenjatakan granat tangan. Kemudian setalah itu datang serangan dari tiga batalion, tetapi mereka berhasil dihancurkan oleh volume tembakan pasukan Prancis yang mematikan. Para prajurit Komunis lalu mundur pada pukul 4 pagi, meninggalkan 260 orang yang tewas. Di pihak pasukan Prancis, mereka menderita enam personel tewas dan 30 lainnya luka-luka. Saat fajar menjelang, dengan gembira suara komandan Na San, Gilles terdengar di radio: “Nous ne sommes pas entamés! Ca tient partout! C’est un déluge de feu indescriptible.”/(pertahanan) Kita tidak bisa ditembus! Semua posisi masih bertahan! Itu adalah hujan tembakan yang tak terlukiskan. ” Serangan pada dini hari tanggal 2 Desember itu kemudian mengakhiri upaya Giap untuk merebut Na San. Dia lalu menarik pasukannya selama beberapa hari berikutnya dan melancarkan serangan ke Laos utara. Namun, karena pasukannya kelaparan, kelelahan, kekurangan amunisi dan menderita karena jalur suplai yang sangat berjauhan, Giap terpaksa membatalkan serangannya ke Laos. 

KEKALAHAN & PELAJARAN YANG DIDAPAT

Sementara itu, meskipun tidak berhasil dalam upayanya untuk merebut Na San, Giap telah memetik pelajaran berharga dalam pertempuran di tempat itu. Giap menyadari bahwa jika dia melancarkan lebih banyak serangan di kawasan perbukitan barat laut Tonkin dan Laos utara, Prancis akan memaksakan diri dengan mempertahankan pangkalan di tempat itu, yang jauh dari markas mereka di Delta Sungai Merah. Jika saja, dia bisa bertahan di tempat yang tinggi, dengan artileri beratnya akan menjangkau landasan udara, dan senjata antipesawat yang lebih berat bisa menghalangi pesawat-pesawat Prancis sebelum mereka bisa menjatuhkan pasokan, maka pasukan Vietminh punya potensi besar untuk sukses. Giap juga tahu bahwa taktik itu akan melibatkan persiapan logistik dan pekerjaan teknik besar-besaran yang belum pernah dilakukan Vietminh sebelumnya, tetapi itu akan memungkinkan pasukannya untuk melakukan pengepungan yang berkepanjangan. Uniknya, Giap sendiri tidak pernah mengakui kekalahannya di Na San. “Metode pertempurannya bagus,” Giap kemudian mengatakan kepada seorang jurnalis, mengacu pada keputusannya untuk bertempur dari bukit ke bukit daripada menyerang seluruh kamp. “Tapi pasukann kami belum terlatih. Kami memang berhasil memusnahkan, saya ingat — dua batalyon. Itu bukan kekalahan — tapi kami (hanya) menderita kerugian. ” Giap sendiri sepanjang karir militernya kerap disalahkan karena terlihat tidak peduli dengan korban yang mengerikan diantara pasukannya. Selama pertempuran 26 hari di kawasan Sungai Day pada tahun 1951, misalnya, Giap kehilangan 11.000 orang tewas, terluka, ditangkap atau hilang — setara dengan kekuatan sebuah divisi. Di Na San, Divisi ke-308 Viet Minh menderita 4.000 korban. Total kerugian Giap sendiri mungkin bisa mencapai 5.000 orang tewas dan 2.000 luka-luka, sementara kerugian Prancis sering dituliskan sekitar “dua batalyon” (300 tewas dan 640 luka-luka).

Tabel yang mencatat aktifitas “Jembatan Udara” dalam Pertahanan di Na San. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)
Pasukan kolonial Prancis dievakuasi dari Na San. Meski dalam pertempuran Na San, Prancis berhasil menimbulkan korban besar pada pasukan Jenderal Giap, namun pada akhirnya komandan tertinggi Prancis memutuskan untuk mengevakuasi pertahanan di Na San. (Sumber: https://armeehistoire.fr/)

Prancis jelas telah mencapai kemenangan taktis, tetapi keberhasilan pertahanan satu pangkalan itu tidak menghalangi pergerakan pasukan Viet Minh secara keseluruhan di keseluruhan wilayah tersebut. Sementara itu, Gilles, dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Setelah pertempuran, komandan area Tonkin, Mayor Jenderal René Cogny mulai meragukan kegunaan pangkalan udara-darat dalam memblokir serangan musuh. Prancis kemudian memutuskan bahwa akan terlalu mahal untuk terus mendukung pangkalan yang terisolasi di Na San, dan panglima tertinggi baru, Jenderal Henri Navarre, mengevakuasi pangkalan itu pada bulan Agustus 1953. Melihat perkembangan ini, Giap dengan cepat mengirim tim intelijen dan teknik untuk menganalisis benteng Na San secara menyeluruh. Meskipun Navarre meninggalkan Na San, dia pikir kesuksesan di sana telah memvalidasi keampuhan konsep pangkalan udara-darat yang dipilihnya. Di Na San, Prancis memenangkan “taruhan” mereka, dimana hasil akhir dari pertempuran itu sangat bergantung pada kekuatan udara yang sudah diandalkan di Indocina, di mana mereka tidak memiliki saingan, meski sangat sering kekurangan tenaga. Di Na-San, kekuatan udara Prancis terpaksa harus mengerahkan armada pesawat transport sipil di samping pesawat-pesawat mereka sendiri. Salan sendiri mengatakannya: “… sans elle (l’aviation), Nà Sản n’était pas possible et je perdais la bataille du Nord-Ouest”/tanpa itu (kekuatan udara), Na San tidak mungkin bertahan dan saya akan kalah dalam pertempuran (melawan Vietminh) di wilayah Barat Laut”. Maka dari itu, ketika pasukan Giap pada tahun 1953 mengancam di dua wilayah (Lai Chau dan Laos), dia tahu bahwa Prancis merasa harus bertahan. Navarre lalu menempatkan pangkalan udara-darat di jalur tersebut, kali ini dengan dukungan unit-unit lapis baja dan daya tembak yang lebih berat. Pangkalan itu berada di Lembah Dien Bien Phu. Pasukan Giap kemudian menyerang Dien Bien Phu pada tanggal 13 Maret 1954. Bertolak belakang dengan kemenangan yang mengejutkan di Na San, tentara Prancis menyerah di Dien Bien Phu pada tanggal 7 Mei 1954, setelah menjalani pengepungan selama 56 hari. Kemenangan di Dien Bien Phu menunjukkan bahwa Giap telah belajar dengan baik dari kegagalannya di Na San.

DAMPAK

Kekalahan di Dien Bien Phu, kemudian menghancurkan dan mengakhiri kendali Prancis atas Vietnam. Sebuah perjanjian internasional lalu ditandatangani pada tanggal 21 Juli 1954, yang membagi Vietnam pada gari Paralel 17 derajat, yang memisahkan Republik Rakyat Demokratik komunis pimpinan Ho Chi Minh di utara dari Republik Vietnam yang didukung AS di selatan. Pada pertengahan tahun 1954, Ho dan Giap, yang dibantu oleh China dan Uni Soviet, tampaknya telah mencapai hal yang mustahil, yakni mengubah pasukan pemberontak gerilya menjadi tentara konvensional yang sangat besar dan sukses mengalahkan tentara profesional Eropa yang didukung oleh kekuatan lapis baja dan kekuatan udara. Sementara itu komitmen AS untuk mempertahankan Vietnam Selatan, diperkuat dengan pembentukan Komando Bantuan Militer AS di Vietnam, pada bulan Februari 1962. Ini adalah awal dari keterlibatan militer langsung Amerika di Vietnam. Pasukan tempur konvensional AS yang besar, kemudian mulai berdatangan pada tahun 1965 untuk berperang dalam skala penuh yang berakhir dengan helikopter-helikopter mereka mengevakuasi orang Amerika dari Kedutaan Besar AS di Saigon pada tahun 1975 setelah Vietnam Selatan jatuh ke tangan pasukan Vietnam Utara — yang menteri pertahanannya saat itu adalah Vo Nguyen Giap. Sejarawan Kevin Boylan dan Luc Olivier, dalam buku mereka tentang pengepungan Dien Bien Phu tahun 1954, “Valley of the Shadow”, menulis bahwa Anda dapat “melacak hubungan kausalitas langsung yang mengaitkan kekalahan Prancis di Dien Bien Phu dengan petualangan bencana Amerika Serikat yang mengikuti kemudian di Vietnam.”

Pasukan nonkomunis asal Bangsa Vietnam yang bertempur bersama unit-unit Prancis dalam Perang Indochina Pertama. Pada perang Vietnam yang pecah di dekade tahun 1960an, peran Prancis digantikan oleh Amerika Serikat. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari: 

‘Deluge of Fire’: The Battle of Na San, 1952, John Walker; August 2020

NA SAN, DECEMBER 1952

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2018/03/25/na-san-december-1952/amp/

The Battle of Na-San, 23/11 to 2/12 1952 by Antoine Leclercq

https://armeehistoire.fr/la-bataille-de-na-san/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_N%C3%A0_S%E1%BA%A3n

Exit mobile version