Sejarah Militer

Pierre Fauroux: Ikut Terjun Dalam D-Day, Bertempur Dan Ditawan di Dien Bien Phu

Pierre Fauroux adalah seorang prajurit Prancis veteran Perang Dunia II dan operator misi operasi khusus yang berpengalaman, saat ia kemudian kembali ke Indochina pada tahun 1952 sebagai pejabat eksekutif sebuah batalion parasut dan bertempur di Dien Bien Phu, tempat kekalahan Prancis yang lalu akan menggerakkan serangkaian langkah politik dan keputusan militer di Amerika Serikat, yang berujung dengan mengirimkan pasukan tempur darat ke Vietnam pada bulan Maret 1965. Fauroux kemudian ditangkap oleh Viet Minh, sebuah organisasi yang dikendalikan Komunis, yang berjuang untuk kemerdekaan Vietnam dari pemerintahan kolonial Prancis. Ia dipulangkan pada bulan September 1954 dan kemudian bertugas di Aljazair. Selama karir militernya, Fauroux dianugerahi medali Legion of Honor dari Prancis dan Silver Star dari Amerika. Fauroux meninggal pada tahun 2010. Memoarnya yang ditulis enam tahun sebelumnya mencakup kisah Pertempuran Dien Bien Phu berikut, yang kemudian diterjemahkan oleh pensiunan Kolonel Angkatan Darat AS Stephen Smith.

Pertempuran historis antara Vietminh dan Prancis meninggalkan banyak catatan dan kisah-kisah pengalaman saksi mata dari kedua belah pihak yang memaparkan keberanian, pengorbanan dan getirnya perang, mulai dari para komandan yang terlibat hingga para prajurit yang bertempur. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)

LATAR BELAKANG

Pierre Jean Fauroux lahir di St Girons di Ariège pada 18 Maret 1921, sebagai putra sulung Paul Fauroux, seorang petugas pos, dan Henriette Bouyssieres. Pierre bersekolah di sekolah menengah di Foix dan bersiap untuk ujian masuk Akademi Militer St. Cyr di Toulouse. Pada tahun 1941 ia memasuki St. Cyr di Aix en Provence sebagai anggota promosi Charles de Foucauld (1941-1942). Ia lulus dari Akademi Militer Prancis di St. Cyr pada tahun 1942, dibawah pemerintah Vichy. Pada bulan November 1942, pasukan Jerman menyerbu “zona bebas” Vichy di selatan Prancis dan Ecole Speciale Militaire dibubarkan. Diangkat sebagai letnan dua pada tanggal 25 November 1942, Pierre diberikan cuti gencatan senjata pada 12 Desember. Pierre Fauroux kemudian ditugaskan ke “Chantiers de Jeunesse” n°23 (organisasi paramiliter pemuda yang didedikasikan untuk pekerjaan kehutanan) di St Pons di distrik Hérault, dan kemudian ke Sylvanes dekat Fayet di distrik Aveyron. Pada tanggal 30 Juni 1943, dia melarikan diri dari Prancis dan tiba di Spanyol pada tanggal 6 Juli. Dia menghabiskan sekitar tiga bulan di sana, dipenjara selama 25 hari pertama di Kamp Lerida, kemudian menunggu dua setengah bulan di Barcelona sebelum dia bisa berlayar ke Casablanca, yang dicapainya pada 23 Oktober, untuk bergabung dengan Gerakan Prancis Merdeka pimpinan Charles de Gaulle. Pierre lalu ditugaskan ke Batalyon Tirailleurs Maroko ke-4 di Tazs sebelum dipindahkan ke Algiers, di mana dia mendaftar di BCRA (Biro Prancis Bebas untuk bagian Intelijen dan Aksi) pada tanggal 2 Desember, sehingga dia bisa ikut ambil bagian dalam operasi khusus. Dia kemudian berangkat dengan kapal pada tanggal 26 Desember ke Inggris; mencapai Liverpool pada tanggal 4 Januari 1944, dan tiba di London keesokan harinya. Hingga tanggal 10 Mei, Pierre mengikuti kursus Agen Intelijen Sussex di St Albans, di mana ia diajar oleh instruktur dari OSS dan SIS, serta dilatih untuk menjadi kepala tim intelijen. Pierre menerima wing-nya (lencana n°4680) di sekolah terjun payung Ringway dan misi operasional pertamanya seharusnya berlangsung pada tanggal 11 Mei 1944.  

Pierre Jean Fauroux. (Sumber: http://www.plan-sussex-1944.net/)
Tentara Jerman dengan bersepeda motor berfoto selama parade kemenangan di Arc de Triomphe setelah invasi Jerman ke Prancis di Paris, Prancis, 14 Juni 1940. Pendudukan Jerman atas Prancis kemudian mendesak para patriot Prancis untuk melarikan diri dan bergabung dengan pasukan sekutu untuk mengusir tentara Jerman dari Prancis. (Sumber: https://www.itv.com/)

MISI SAAT D-DAY

Di pangkalan RAF Tempsford, sebuah pangkalan udara untuk operasi khusus, pada malam tanggal 11 Mei 1944, letnan satu Pierre Fauroux dan rekan operator radionya berangkat untuk misi di Prancis yang diduduki Jerman. Namun, misi harus dibatalkan di tengah penerbangan karena tidak adanya tanda-tanda di darat yang terlihat. Keberangkatan mereka berikutnya kemudian direncanakan untuk bulan purnama berikutnya pada tanggal 6 Juni (Hari H Operasi Overlord di Normandia) untuk terjun di Drop Zone Charity di Preuilly sur Claise, 25 km sebelah timur Chatellerault. Pierre Fauroux, alias Jean Louis Corbin (lencana n°37), dan Louis Blandin, alias Jean Cremiux (lencana n°38) memulai Ossex Mission Justice. Mereka akan diterjunkan oleh Letnan Penerbangan Caldwell, kapten pesawat Halifax dari Skuadron Operasi Khusus ke-161. Mereka direncanakan untuk bertemu dengan “Ernest” dari jaringan ECARLATE Résistance dan oleh Jeannette Guyot dari unit Pathfinder jaringan Sussex. Misi pengumpulan intelijen mereka, yang semula direncanakan di sekitar Rennes (Brittany), terbukti tidak mungkin dilakukan karena jarak yang harus mereka tempuh melalui zona yang tidak aman, dengan membawa peralatan dan perangkat radio mereka. Mereka kemudian bersepeda untuk bergabung dengan Jeannette Guyot di Chateauroux. Pierre lalu memberi tahu London dan mereka ditugaskan dengan misi baru di daerah Sungai Loire dekat Saumur. Pada tanggal 6 Juli mereka mencapai Montsoreau (10 km tenggara Saumur) dan mulai membuat jaringan intelijen mereka sendiri, yang sebagian besar diawaki oleh agen kereta api di stasiun dekat Sungai Loire (Saumur, Doue-la-Fontaine, Loudun, Chinon dan Varennes/Loire). Pesan pertama mereka sampai ke London pada tanggal 7 Juli. Selama dua bulan tim mereka mengirimkan laporan intelijen tentang pergerakan pasukan Jerman, lokasi depot, kondisi jalan dan jaringan kereta api, serta hasil kerusakan akibat bom sekutu di wilayah mereka. Pekerjaan mereka lalu mengarah pada identifikasi Divisi Panzer SS ke-17 (Goetz von Berlichingen) dan dua divisi lainnya. OSS kemudian menilai nilai unit mereka sebagai: “Salah satu tim kami yang paling cerdas dan pekerja keras … (yang) dalam waktu singkat mereka bisa membuat jaringan efisien yang memungkinkan mereka mengirim informasi paling berharga.” Pierre Fauroux lalu dianugerahi medali Silver Star (penghargaan tertinggi ketiga di Amerika untuk keberanian di medan tempur) dan dia disebutkan dalam catatan Korps Angkatan Darat Prancis, serta dianugerahi medali Croix de Guerre. Pada tanggal 3 September, misi mereka selesai, dan setelah bergabung dengan unsur-unsur dari Divisi Infanteri ke-83, mereka dikirim ke markas Angkatan Darat AS ke-9 di Rennes dan diintegrasikan ke dalam Sel OSS-nya. Dari tanggal 7 September hingga 6 Oktober, Pierre Fauroux dan rekan operator radionya bertindak sebagai perwira intelijen untuk Angkatan Darat ke-9 di area antara Brittany dan Lembah Loire di sektor Orleans, sebagai perwira penghubung dengan FFI (Gerakan Perancis Bebas di wilayah pedalaman Prancis) dan memberikan informasi intelijen tentang zona-zona yang telah dibebaskan.

Pasukan komando Prancis yang tergabung dengan pasukan sekutu. Para prajurit Prancis yang tergabung dalam kelompok Prancis Bebas, berperan dalam berbagai misi pendukung selama operasi Overlord, Juni 1944, termasuk dalam tugas-tugas pengumpulan data intelijen. (Sumber: https://www.firearmsnews.com/)
Tim-tim kecil dinas intelijen sekutu dikirimkan ke Prancis untuk membina hubungan dengan kelompok-kelompok Ressistance di pedalaman Prancis dalam memantau pasukan Jerman, dan jika perlu melakukan misi ofensif dan sabotase. (Sumber: https://www.pinterest.com/)

MISI DGER (DINAS RAHASIA PRANCIS) DI INDOCHINA 1945-1946

Pierre Fauroux kemudian mengajukan diri untuk misi klandestin keduanya, kini bukan di Eropa, namun di Laos, yang saat itu masih diduduki oleh pasukan Jepang. Dikirim oleh DGER (Direction générale des études et recherches/Dinas Rahasia Prancis Bebas) ke Calcutta pada tanggal 5 Maret, ia terhubung kembali dengan tim DGER dan dinas operasi klandestin (SAS), bertindak di bawah kendali Satuan Tugas ke-136 yang dipimpin oleh SOE/Dinas Rahasia Inggris. Pada awalnya ia ditempatkan di Misi Militer Prancis (MMF) Kunming di Yunnan, Cina. Dia kembali ke Calcutta pada tanggal 25 April dan ditugaskan ke SRMS (akronim yang tidak diketahui dari sebuah cabang dinas rahasia). Sejak tanggal 29 Mei, ia bergabung kembali dengan markas Satuan Tugas ke-136 untuk mengatur bagian pelarian guna membebaskan tahanan sekutu yang dipenjara di kawasan Indochina. Pada tanggal 14 Juni dia pergi ke misi Inggris di Darjeeling, India. Inggris saat itu telah mendeteksi kamp-kamp penjara, kebanyakan dari mereka ada di wilayah Thailand, di sepanjang Sungai Mekong atau di Burma, di sepanjang Sungai Kwai, serta telah membuat Seksi “E” (diambil dari kata melarikan diri) untuk memfasilitasi pelarian para tahanan sekutu. Mereka menurunkan sekitar dua puluh tim untuk mengidentifikasi dan menguji rute pelarian bagi para tahanan dan unit komando parasut pembebas mereka. Pada tanggal 12 Juli Pierre Fauroux terjun ke hutan di kawasan Laos utara, utara dari Xieng Khouang (bekas desa di tengah Dataran “Plain of Jar” yang nantinya akan dihujani oleh serangan bom Amerika pada tahun 1970). Dia diterjunkan bersama dengan personel operator radio dan peralatannya sebagai bagian dari misi “Glazier/Reinette 3” oleh sersan penerbang McCulloch, kapten pesawat B-24 Liberator dari Skuadron ke-358 di pangkalan udara unit Operasi Khusus RAF Jessore (terletak 100 km timur Calcutta). Operator radionya adalah Georges Peutat, mantan agen Sussex lainnya yang pernah bertugas sebagai operator radio bersama Jean-Pierre Bissey. Mereka dan perlengkapannya kemudian disambut oleh kelompok gerilya pimpinan letnan Deuve. 

Pasukan sekutu dalam tawanan Jepang. Menjelang masa akhir Perang Pasifik, pihak sekutu membentuk unit-unit khusus untuk membantu proses pembebasan tawanan perang. Inggris saat itu telah mendeteksi kamp-kamp penjara, kebanyakan dari mereka ada di wilayah Thailand, di sepanjang Sungai Mekong atau di Burma, di sepanjang Sungai Kwai . (Sumber: https://www.expressandstar.com/)
Tentara Jepang yang kalah memberi hormat kepada pasukan komando Prancis di Indocina, di akhir Perang Pasifik. Masuknya Miiter Prancis membuka jalan upaya kolonialisasi mereka terhadap jajahannya di Indochina. (Sumber: https://twitter.com/)

Selama hampir dua bulan, Pierre Fauroux, bersama operator radionya dan kuli mereka, melintasi rute yang melelahkan melalui hutan selama musim hujan, sambil secara aktif terus dicari oleh tentara Jepang. Dia kemudian memetakan rute pelarian bagi para tahanan untuk mencapai Sungai Mekong dan Siam. Setelah diketahui bahwa Jepang telah menyerah pada tanggal 2 September 1945, Pierre bekerja sama dengan kelompok gerilya Prancis-Laos pimpinan kapten Fabre dan letnan Deuve, yang telah ditempatkan di Laos sejak bulan Januari 1945, untuk memfasilitasi pemulihan otoritas kolonial Prancis di wilayah Laos. Pada tanggal 5 September, ia memasuki Vientiane bersama kapten Fabre. Dia lalu meminta dan menerima pengedropan dari udara obat-obatan dan makanan untuk warga sipil Prancis yang terkepung di Vientiane, serta mengatur evakuasi mereka dengan perahu sungai dan kereta api melalui Siam menuju ke Bangkok. Kembali ke Calcutta pada tanggal 10 Oktober, misinya selesai, ia ditempatkan di Saigon pada tanggal 20 November 1945, dalam dinas dokumentasi Bagian Penghubung Perancis dari DGER untuk wilayah Timur Jauh (SLFEO). Dari sana, ia berangkat ke Prancis pada tanggal 6 Februari 1946. Pada tanggal 14 Desember 1945, Pierre sempat disebutkan dalam catatan tingkat Divisi oleh admiral d’Argenlieu, Komisaris Tinggi Prancis dan Panglima Tertinggi untuk wilayah Indochina. Catatannya sengaja dibuat tidak begitu detail dalam menggambarkan bagaimana misinya di Indochina dikerjakan: “Diterjunkan di Indochina pada tanggal 12 Juli 1945. Memimpin misi klandestin untuk membebaskan tahanan sekutu. Mengirimkan laporan intelijen bernilai tinggi meskipun menghadapi kesulitan besar bekerja di hutan selama musim hujan, dan meskipun dicari-cari oleh musuh. Selama seluruh misi dia menunjukkan keberanian yang besar dan tidak menyia-nyiakan usaha apapun.” Pierre tiba di Prancis pada tanggal 26 Februari 1946, dan dibebaskan dari dinas aktif sesuai dengan hukum tahun 1946 untuk pensiun dini dari tugas militer. Setelah pada awalnya ditempatkan pada posisi cuti yang diperpanjang selama dua tahun, ia lalu dikeluarkan dari daftar dinas aktif untuk pertama kalinya dalam karir militernya pada bulan Desember 1946. Selama periode ini dia lalu menikah dan memulai studi farmasi. Masa pensiun pertama Pierre dalam dinas militer berakhir 6 tahun kemudian, saat ia dipanggil kembali dalam penugasan sebagai kapten di bulan Januari 1952 untuk kemudian dikirim kembali ke Indochina. Penugasannya ini pada akhirnya akan membawanya dalam sebuah peristiwa besar bersejarah, yang mengakhiri kolonialisme Prancis di wilayah itu. Berikut adalah sebagian kutipan pengalamannya.

PENUGASAN KEDUA DI INDOCHINA 

Pada tanggal 2 Mei 1952 saya menerima perintah untuk melapor ke Quimper, di wilayah Brittany Prancis, tempat batalyon-batalyon pasukan penerjun payung dilatih, sebelum ditugaskan kembali ke Indocina untuk kedua kalinya. Waktu itu, Mayor Marcel Bigeard berada di Saint-Brieuc (sebuah kota di Brittany) sebagai komandan Batalyon ke-6 Pasukan Terjun Payung Kolonial. Batalion saya adalah Pasukan Terjun Payung Kolonial ke-10, yang dikomandoi oleh Mayor Jean Bréchignac. Pada bulan November 1952 kami pergi ke Marseilles untuk berangkat menuju ke Saigon. Selama di Marseilles kami menerima perintah bahwa pasukan kami akan dinamai ulang sebagai 2nd Battalion, 1st Regiment of Paratroop Chasseurs. Tak lama setelah kami tiba di Hanoi sekitar masa Natal tahun 1952, kami diangkut ke Na San di wilayah Ta’i (bagian dari Vietnam utara yang dihuni oleh orang-orang dari budaya Ta’i), di mana sebuah benteng yang penting telah diorganisir selama beberapa bulan sebelumnya. Dua divisi Viet Minh tercatat telah dikalahkan saat mencoba menyerangnya. Pasukan terjun payung Legiun Asing Prancis berhasil menunjukkan kemampuan mereka di sana. Na San tidak diragukan lagi merupakan kemenangan bagi Prancis, yang sangat merugikan Viet Minh. Pada saat kami tiba, pertempuran terburuk telah berakhir. Kami kini memikul tanggung jawab untuk melakukan semua patroli dalam radius 30 kilometer di sekitar Na San. Tujuannya adalah untuk melakukan “kontak” dengan Vietminh di sana, yang pada waktu itu menolak untuk melawan kami. Namun, itu tidak menghalangi kami untuk mencicipi pertempuran besar pertama kami pada tanggal 1 April 1953. Kami berhadapan dengan batalion musuh yang besar dan pertempuran itu berlangsung sengit. Kami menderita korban 10 tewas, termasuk satu perwira, 70 personel terluka dan lima atau enam prajurit hilang. Sebaliknya Batalyon Viet Minh yang melawan kami praktis dimusnahkan, pertama-tama akibat dari tembakan kami dan kemudian dari pesawat-pesawat tempur yang menembakkan senapan mesinnya ke seluruh area.

Pasukan penerjun payung Prancis dengan senapan semi otomatis MAS-36. Menjelang tahun-tahun terakhir Prancis di Indochina, pasukan payung banyak digunakan untuk membantu pertahanan dalam posisi-posisi yang kritikal. (Sumber: https://vintageairsoft.wordpress.com/)
“Pasukan terjun payung legiun asing Prancis selama Operasi Camargue, Provinsi Quang Tri, Indochina, 1953”. (Sumber: https://www.pinterest.com/)

Kami tetap berdiam di wilayah Ta’i sampai hari Paskah, tanggal 5 April 1953, dan kemudian kembali ke Hanoi untuk beristirahat dan mengorganisasi diri selama satu minggu. Selama beberapa bulan berikutnya kami mengambil bagian dalam berbagai operasi di kawasan delta Sungai Merah dan tempat-tempat lain di area Tonkin. Saya masih memiliki kenangan pahit tentang dua penugasan yang mana kami terlibat di dalamnya. Di Indochina waktu itu, terdapat beberapa kolonel yang dipromosikan untuk memimpin Grup Pengintai Mobil besar, yang terdiri dari berbagai jenis batalyon. Sebelum mengakhiri tugas mereka di Indochina dan kembali ke Prancis, mereka biasanya akan melakukan operasi untuk mendapatkan catatan kredensial dalam penugasan mereka di sini. Komando batalyon pasukan terjun payung meminjamkan sebagian unitnya untuk mendukung operasi-operasi semacam ini. Dua kali, dengan masing-masing selama periode sekitar 12 hari, kami sebagai batalion pasukan terjun payung dilibatkan, dan untuk itu menyebabkan kami kehilangan antara lain dua komandan kompi. Kami telah membayar mahal untuk kebodohan semacam ini, yang tidak memberikan kontribusi apa pun pada masa perang. Kami juga melakukan penerjunan operasional selama Operasi Camargue di utara Tourane (Da Nang), di wilayah pesisir yang dijuluki “Jalan Tanpa Sukacita/Street Without Joy.” (Disebut demikian karena tentara Prancis terus-menerus disergap oleh para pejuang Viet Minh di bentangan Jalan Raya Nomor 1 yang melintasi daerah itu.) Vietminh terus menolak untuk bertempur, tetapi kami mengambil sejumlah besar tahanan, yang kemudian kami bawa kembali ke Tourane dan diserahkan kepada pihak angkatan laut untuk dievakuasi. 

DIEN BIEN PHU, JALAN KELUAR PRANCIS

Pierre Fauroux sempat disebutkan dalam catatan laporan tingkat Divisi untuk aksi keberaniannya dalam menggunakan senapan-senapan mesin bersama kompi pendukungnya dalam pertempuran di Thon Ao pada tanggal 31 Oktober 1953. Sementara itu, pada musim semi tahun 1953, pemerintah Prancis memutuskan untuk mencari jalan keluar yang terhormat dari perang yang buntu di Indochina. Tidak dapat mencapai kemenangan atas Viet Minh, yang didukung oleh Soviet Rusia dan Komunis Cina, pemerintah Prancis kemudian menunjuk seorang panglima baru dan memberinya tugas untuk memperkuat Prancis dan pasukan Vietnam sekutunya. Mereka juga melakukan serangkaian inisiatif diplomatik yang bertujuan untuk mencapai solusi yang dinegosiasikan dalam upaya mengakhiri perang. Komandan baru yang ditunjuk, Jenderal Henri Navarre, diberi misi yang mencakup melawan ancaman sambil menahan divisi-divisi Viet Minh di kawasan delta Sungai Merah, meningkatkan operasi presisi di jantung zona perbekalan mereka dan menyerang daerah-daerah yang dipenuhi kekuatan Komunis di tengah area Annam (sebuah wilayah di bagian tengah dari apa yang sekarang disebut Vietnam), serta mengorganisir serangan besar yang didukung oleh pendaratan di sepanjang pantai. Navarre menggantikan Jenderal Raoul Salan, yang telah berada di Indocina sejak tahun 1948. Komandan senior lainnya di Vietnam utara, yakni Letnan Jenderal François de Linarès, dijadwalkan untuk dirotasi kembali ke Prancis. Penggantinya yang telah ditunjuk adalah Mayor Jenderal René Cogny, yang sudah berada di Indochina dan menjadi salah satu dari sedikit perwira senior yang tertarik dengan penugasannya di tempat itu. Sebelum berangkat, Linarès, teman sekelas Navarre di St. Cyr dan di ecole Militaire, memperingatkan panglima tertinggi yang baru bahwa Cogny tidak cocok untuk pekerjaan itu dan tidak siap untuk menduduki jabatan komando senior. Cogny-lah yang kemudian kabarnyq menasihati Navarre untuk memilih Dien Bien Phu, meskipun dia kemudian menyangkal telah melakukannya dan menolak mengirim bala bantuan dari kawasan delta Sungai Merah. 

Jenderal Henri Navarre, memiliki tugas berat dalam mempertahankan kawasan Delta Sungai Merah, sementara Pemerintah Prancis berupaya mencari penyelesaian diplomatik atas situasi yang buntu di Indochina. (Sumber: https://historica.fandom.com/)
Seorang prajurit penerjun payung Prancis memeriksa poster propaganda Vietminh yang ditemukan ketika pasukan para dijatuhkan di dekat kota Lang Son yang dikuasai Vietminh, posisi kunci di perbatasan China, 17 Juli 1953. Sekitar 5.000 ton perbekalan dihancurkan atau dirampas oleh oleh brigade Pasukan Payung, yang setelah hampir 48 jam di wilayah musuh, berhasil terhubung dengan bala bantuan dari Hanoi. Setelah mengambil alih komando, Jenderal Navarre tahu bahwa problem yang paling mendesak untuk diselesaikan adalah keadaan genting di kawasan Laos Utara. (Sumber: https://www.flickr.com/)

Segera setelah Navarre mengambil alih komando, masalahnya paling mendesak yang dihadapinya adalah kawasan Laos utara. Jika Viet Minh menyusup ke daerah itu dari Lembah Mekong dan dari Laos tengah, mereka akan dapat mengancam seluruh Indochina selatan. Dalam hal ini, dengan tidak mempertahankan Laos utara akan sama artinya dengan menerima bencana besar dalam beberapa bulan kedepan. Dengan demikian, diambilah keputusan untuk menduduki kembali area Dien Bien Phu, sebuah persimpangan hutan dan titik strategis yang telah diduduki Prancis secara berkala sejak awal abad ke-20. Dien Bien Phu rencananya akan diduduki kali ini melalui penerjunan pasukan payung dari udara. Batalyon ke-2, Pasukan Penerjun Ke-1, waktu itu sedang beroperasi di dataran Tonkin di sekitar area “Tujuh Pagoda” (dekat Chi Linh, setengah jalan antara kota Hanoi dan Haiphong), ketika kami diberitahu untuk segera kembali ke Hanoi. Kami mengerti bahwa sesuatu yang penting sedang terjadi. Dipanggil ke rapat di markas tingkat yang paling tinggi, Mayor Bréchignac membawa saya serta. Kami lalu mengetahui bahwa operasi udara bernama Castor akan menempatkan kami di tengah-tengah Dien Bien Phu. Para perwira yang hadir dari berbagai unit merasa lega. Akhirnya kami akan berhadapan dengan seluruh tentara Viet Minh, dan kami yakin kami akan memberikan pukulan KO. Medan drop zone yang dipilih berbentuk cekungan memanjang yang sumbu panjangnya kira-kira utara-selatan, dengan ketinggian rata-rata 500 sampai 700 meter. Tempat itu dikelilingi oleh bukit-bukit berhutan yang menghadap ke lembah di utara dan di timur, di mana landasan berada. Panjang cekungan dari utara ke selatan sekitar 14 kilometer, dan lebarnya 3 hingga 5 kilometer. 

OPERASI CASTOR

Operasi awal akan terdiri dari tiga elemen. Yang pertama Unit Markas Airborne, yang berada di bawah pimpinan Brig. Jenderal Jean Giles, komandan pasukan lintas udara di Indochina. Unit tersebut secara langsung mengendalikan kelompok artileri ringan yang terdiri dari dua baterai meriam kaliber 75mm, sebuah kompi zeni udara dan tim bedah udara. Elemen kedua adalah Satuan Tugas Lintas Udara ke-1, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Louis Fourcade, yang terdiri dari batalyon ke-1 dan 6 dari Pasukan Terjun Payung Kolonial dan Batalyon 2, Pasukan Penerjun Payung ke-1. Elemen terakhir, Gugus Tugas Lintas Udara ke-2, di bawah pimpinan Letnan Kolonel Pierre Langlais, terdiri dari Batalyon ke-1, Pasukan Terjun Payung Legiun Asing; Batalyon ke-5, Pasukan Terjun Payung Vietnam; dan Batalyon ke-8, Pasukan Terjun Payung Kolonial. Jumlah personel yang diterjunkan adalah sekitar 4.825. Itu adalah misi penerjunan udara terpenting yang pernah dilakukan oleh tentara Prancis di Indochina. Operasi tersebut melibatkan 65 pesawat angkut Douglas C-47 Dakota, 33 diantaranya akan terbang dari Bac Mai, sisanya dari Gia Lam (keduanya bandara di kawasan Hanoi). Pengedropan akan dieksekusi dalam dua gelombang pada ketinggian sekitar 200 meter. Waktu peluncuran dijadwalkan pada pukul 07:30 pada tanggal 20 November 1953. Sementara itu, pihak intelijen memperkirakan kekuatan musuh di darat berjumlah sekitar delapan kompi dan satu kompi senjata berat dengan empat mortir kaliber 120mm. Batalyon ke-2, Pasukan Penerjun Pertama, adalah bagian dari gelombang pertama, yang diangkut dengan 27 unit C-47. 

Pasukan terjun payung Prancis mengambil bagian dalam ‘Operasi Castor’, di Dien Bien Phu di distrik Ta’i selama perang Indo-China. (Photo by Hulton Archive/Getty Images/https://www.gettyimages.com/)
Posisi tengah Lembah Dien Bien Phu, foto diambil antara tanggal 20 dan 24 November 1953 pada awal Operasi Castor, dengan bagian selatan landasan ada di bagian tengah, sungai Nam Yum di kiri dan jalur Pavie di kanan (dengan satu cabang mengarah ke Jembatan Bailey di atas sungai Nam Yun). Semak yang dibakar digunakan untuk menunjukkan arah angin untuk penerjunan udara. (Sumber: http://indochine54.free.fr/)

Saya sendiri tidak ambil bagian dalam penerjunan awal Operasi Castor itu. Semua unit parasut yang dikerahkan paling awal jelas memerlukan detasemen garis belakang yang kokoh, yang siap untuk segera menyelesaikan masalah perbekalan dan penggantian apa pun. Mayor Bréchignac memintaku untuk memimpin detasemen itu. Batalyon pendahulu itu, bagaimanapun tidak menemui perlawanan ketika mendarat dan berhasil membawa dua tahanan. Enam tentara terluka ringan dalam lompatan itu. Pada akhir operasi hari pertama, total kerugian di pihak Prancis mencapai 15 orang tewas (satu selama penerjunan) dan 47 terluka. Viet Minh menderita 147 orang tewas, tetapi sebagian besar petempur mereka melarikan diri ke pegunungan. Dalam waktu tiga hari landasan telah diperbaiki, dan cukup untuk mengakomodasi pendaratan pesawat-pesawat C-47. Setelah tanggal 26 November, unit infanteri darat datang untuk memperkuat dan menggantikan pasukan terjun payung. Karena kedatangan bala bantuan, unit pasukan terjun payung diangkut melalui udara kembali ke Hanoi pada tanggal 8-17 Desember. Batalyon ke-2 ditarik pada 10 Desember. Dari tanggal 26 November 1953 hingga 13 Maret 1954, pangkalan di Dien Bien Phu terus ditingkatkan dan diperkuat (terutama dengan mendirikan delapan posisi pertahanan, atau titik kuat, masing-masing dengan nama perempuan). Pada bulan Desember garnisun tersebut berjumlah sekitar 12.000 orang. 

TERJEBAK DI DIEN BIEN PHU

Rasa optimisme menguasai kantor pusat tentara Prancis di Hanoi dan Saigon. Tujuan mereka adalah untuk menghabisi Vietminh. Dapat menarik Vietminh untuk ke lembah Dien Dien Phu, kemudian senantiasa menjadi impian seluruh staf tentara Prancis. Kami akhirnya akan mendapatkan apa yang kami inginkan—target terkonsentrasi yang bisa kami hancurkan. Kamp yang bercokol di Dien Bien Phu tampaknya juga tak tertembus, dan tidak ada pejabat sipil dan militer yang mengunjunginya, yang menyampaikan ungkapan kekhawatiran. Namun menjelang akhir bulan Desember Jenderal Navarre menyadari risiko yang kami hadapi di Dien Bien Phu. Laporan intelijen militer yang sangat andal menunjukkan bahwa musuh telah membawa senjata-senjata artileri berat. Terlambat untuk dia mengerti adalah bahwa pertempuran yang akan datang membutuhkan dukungan dari kekuatan udara yang jauh lebih kuat. Lebih buruk lagi, kamp yang ada di Dien Bien Phu hanya dapat menerima dukungan udara dari pangkalan-pangkalan yang posisinya jauh di delta Sungai Merah, yang berarti akan terjadi penundaan dalam mendapatkan bantuan. Sementara kami menunggu Viet Minh menyerang Dien Bien Phu, sebuah peristiwa yang sangat penting mengubah segalanya. Kami mengetahui pada tanggal 18 Februari bahwa para pemimpin nasional kami telah memutuskan untuk bertemu guna membahas masalah Indochina di Jenewa pada akhir bulan April. Jenderal Navarre tidak diperingatkan sebelumnya. Dia kemudian menyalahkan banyak kegagalan di Dien Bien Phu pada konferensi itu: Berita itu mendorong Viet Minh untuk melepaskan semua kekuatannya sehingga mereka bisa pergi ke konferensi dengan membawa kemenangan militer besar untuk memperkuat posisi mereka dalam proses negosiasi. 

Jenderal Vo Nguyen Giap, arsitek pengepungan pasukan Prancis di Dien Bien Phu. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)
Tembakan artileri Vietminh menghantam pesawat-pesawat angkut Prancis di Dien Bien Phu. (Sumber: https://www.pinterest.com/)

MISI PUTUS ASA

Pada awal bulan Maret, Viet Minh telah mengepung Dien Bien Phu dengan 60.000 hingga 80.000 tentara, yang terdiri dari 28 batalyon infanteri, tiga resimen artileri, satu resimen antipesawat dan satu resimen zeni. Mereka memiliki perbekalan yang sangat besar, yang ditambah dengan kecepatan pengiriman 50 ton per hari oleh rantai pasokan yang tak berkesudahan, yang mencakup kuli, sepeda bermuatan berat, dan 700 truk Molotova yang disediakan oleh Soviet Rusia. Di sisi lain, selain pasukan infanteri kami, kami memiliki dua batalyon artileri dengan meriam kaliber 105mm dan satu baterai artileri meriam kaliber 155mm, dua kompi mortir kaliber 120mm, 10 tank ringan M-24 dan dua kompi zeni. Kami memiliki jatah perbekalan sembilan hari, delapan hari untuk bahan bakar dan lima hari untuk amunisi artileri. Di Dien Bien Phu Kolonel Christian de Castries memimpin garnisun, dan Langlais, komandan Pasukan Lintas Udara ke-2, memimpin pasukan terjun payung. Namun, ketika pertempuran berlangsung, bagaimanapun, itu terutama akan menjadi pertarungan yang dilakukan oleh para letnan dan kapten. Pada tanggal 11 Maret artileri Viet Minh mulai menembak dan berhasil menghancurkan enam pesawat tempur Grumman F8F Bearcat di darat. Kami benar-benar terkejut melihat bahwa Viet Minh memiliki kemampuan artileri seperti itu, yang posisinya terlindung di terowongan yang praktis kebal dan dibuat di pegunungan di sekitarnya. Setiap kali mereka menembak, mereka berhasil mengenai sesuatu, dan artileri Prancis di Dien Bien Phu dinetralkan dengan cepat. Menghadapi kegagalan ini, komandan artileri Prancis, Kolonel Charles Piroth, bunuh diri di bunkernya.

Tank ringan M24 Chaffee Prancis menembak selama Pertempuran Dien Bien Phu, 1954. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)
Komandan artileri Prancis, Kolonel Charles Piroth, bunuh diri di bunkernya, setelah menyadari kegagalannya dalam mengantisipasi artileri Vietminh di Dien Bien Phu. (Sumber: https://www.timetoast.com/)

Serangan pertama, pada malam hari tanggal 13 Maret, ditujukan terhadap perbentengan yang diberi nama Béatrice, yang dipertahankan oleh 450 pasukan Demi-Brigade Legiun Asing ke-13. Posisi ini jatuh tepat setelah tengah malam. Pada tanggal 14 Maret, Batalyon ke-5, Pasukan Terjun Payung Vietnam, diterjunkan kembali sebagai bala bantuan. Dua hari kemudian Mayor Bigeard dan Batalyon ke-6, Pasukan Penerjun Kolonial, diterjunkan juga kembali. Tetapi perbentengan demi perbentengan jatuh tanpa henti saat pertempuran berlanjut sepanjang sisa bulan Maret. Ketika pertempuran dimulai pada tanggal 13 Maret, Batalyon ke-2, Paratroop Chasseurs ke-1, berada di Laos selatan di Savannakhet, di mana kami telah mengambil bagian dalam operasi pembersihan di wilayah itu. Kami kemudian segera kembali ke Hanoi dan segera bersiap untuk terjun ke Dien Bien Phu. Di Hanoi kami menemukan sikap orang-orang yang menjijikkan. Koresponden berita bertindak seperti paparazzi hari ini, mencoba mewawancarai setiap orang di jalanan. Istri Kolonel de Castries bahkan secara khusus dilecehkan. Edisi majalah berita L’Express dengan editorial yang bercorak anti-militer muncul di tribun. Kami merasa dikhianati. Kami tidak mengerti mengapa pemerintah Prancis tidak berbuat lebih banyak untuk mendukung kami. Dalam suasana itu kami berangkat menuju Dien Bien Phu. Kami tahu bahwa pertempuran itu sudah gagal sedari awal bagi kami. Kolonel Henri Sauvagnac, salah satu pendiri Pasukan Lintas Udara Prancis, datang untuk mengantar kami. Dia putus asa melihat orang-orang yang telah dilatih sepanjang hidupnya ditempatkan dalam situasi seperti itu. Saya ingat bahwa ketika kami menuju pesawat, kami melewati di bawah foto besar bintang film Amerika Ava Gardner yang tergantung di dinding aula keberangkatan. Bréchignac berkata kepada saya, “Dia benar-benar wanita yang cantik!” seolah-olah mengatakan, “Ini adalah dunia yang akan kita tinggalkan!” Dan di sanalah kami, seperti orang lain sebelum kami dan orang lain setelah kami, dengan sebuah parasut di punggung kami, satu lagi di perut kami, tas lompat di selempang berisi beberapa barang pribadi kecil, berangkat ke pertempuran yang tanpa harapan, berbaris seperti layaknya barisan penguin.

Pasukan terjun payung Prancis bersiap untuk menaiki pesawat C-47 Dakota untuk menuju ke Dien Bien Phu pada tahun 1954. Meski kegagalan sudah di depan mata, namun banyak tentara Prancis tetap bergegas ke Dien Bien Phu untuk menjaga dan mempertahankan kehormatan bangsanya. (Sumber: https://acesflyinghigh.wordpress.com/)

Penerjunan kami dimulai pada malam tanggal 1-2 April. Seluruh operasi dijadwalkan untuk dilaksanakan dalam tiga gelombang pada tiga malam berturut-turut. Saya melompat dengan gelombang pertama mendekati tengah malam. Tidak lama setelah parasut saya terbuka, saya mendapati diri saya berada di tengah-tengah tontonan yang luar biasa—tembakan anti-pesawat, suar iluminasi, peluru pelacak—itu adalah layaknya pertunjukan kembang api pada Hari Bastille yang sesungguhnya. Saya pergi ke tempat berkumpul secepat mungkin, dan segera menjadi jelas bahwa Bréchignac tidak melompat. Pesawat yang dia tumpangi telah melampaui zona penerjunan karena tembakan senjata anti-pesawat yang berat, dan tidak ada tempat di luar perimeter yang aman untuk diterjuni. Kami hanya memiliki dua kompi di lapangan. Saya lalu terhubung dengan pos komando, dan Kolonel Langlais mengirim kami untuk mengambil posisi di perbentengan Eliane 4. Bréchignac kemudian tiba pada malam berikutnya. Mendarat di kawat berduri, dia harus membiarkan celananya tergantung di sana untuk melepaskan diri. Batalyon lalu berkumpul kembali di Eliane 4. Seperti orang-orang di unit lain, kita tidak akan melihat hari yang tenang lagi sampai tanggal 7 Mei. Setelah pertempuran untuk mempertahankan Huguette selama hari-hari pertama di bulan April, pertempuran kemudian sebagian besar terkonsentrasi perbentengan Eliane. Kami menangkis serangan itu, seringkali menimbulkan kerugian yang cukup besar, tetapi tembakan artileri musuh tak henti-hentinya dan datang dari semua sisi. Saat kami kehilangan rekan-rekan kami, mereka yang masih siap tempur akan berkumpul kembali. Mulai malam tanggal 9-10 April lebih banyak bala bantuan yang datang, termasuk Batalyon ke-2, Pasukan Penerjun Payung Legiun Asing, dan sekitar 700 sukarelawan yang belum pernah melihat parasut dalam hidup mereka. 

BALA BANTUAN DI DIEN BIEN PHU

Saat bulan berlalu, situasi pasokan menjadi semakin menipis. Karena tembakan anti-pesawat yang intens, ransum dan perbekalan yang diangkut melalui udara harus dijatuhkan dari ketinggian yang lebih tinggi dan semakin lebih tinggi. Sejumlah besar diantaranya jatuh pada posisi musuh. Selama hari-hari terakhir pertempuran, kami mendapat bantuan berharga dari intervensi pesawat-pesawat kargo besar Amerika yang diterbangkan oleh pilot-pilot dari maskapai Transportasi Udara Sipil (Civil Air Transport/CAT) pimpinan Mayor Jenderal Claire Chennault (kemudian maskapai ini akan berganti nama menjadi Air America, yang dikendalikan oleh CIA), yang beroperasi dari wilayah kekuasaan kaum Nasionalis China di Pulau Taiwan. Chennault, sebelumnya pernah menjadi komandan American Volunteer Group (Flying Tigers) dalam Perang Dunia II. Di Dien Bien Phu, pesawat-pesawat CAT mengambil risiko besar dengan menjatuhkan perbekalan di ketinggian rendah. Dua di antaranya ditembak jatuh. Pada malam tanggal 1-3 Mei, Vietminh menembakkan konsentrasi tembakan artileri terpanjang dalam pertempuran di Dien Bien Phu. Serangan ini berlangsung tiga jam dan terutama diarahkan pada posisi Eliane. Batalyon kami menderita kerugian besar, termasuk satu komandan kompi dan satu letnan tewas, dua komandan kompi terluka parah dan sekitar 30 prajurit tewas.

Mereka yang terluka menunggu proses evakuasi udara di Dien Bien Phu. (Sumber: https://padresteve.com/)
Pasukan bala bantuan Prancis terus berdatangan meski pertempuran sudah tanpa harapan. (Sumber: https://safefordemocracy.com/)

Hanya tiga hari sebelum pertempuran berakhir, Batalyon ke-1, Pasukan Penerjun Payung Kolonial, mulai turun. Pada tanggal 4 dan 5 Mei serangan terhadap Eliane 2 dan 4 berlipat ganda. Hujan sementara itu mengganggu pengedropan udara. Hanya setengah kompi dari Batalyon ke-1, Pasukan Penerjun Payung Kolonial yang tiba pada tanggal 5 Mei. Pada sore hari tanggal 6 Mei, Bréchignac meminta saya untuk pergi dengan seorang operator radio menuju pusat pertempuran untuk mencari tempat yang tidak terlalu hancur di mana kami dapat mengumpulkan kembali orang-orang dari unsur-unsur batalyon yang masih selamat. Aku maju melalui parit di lumpur sampai ke dadaku. Peluru-peluru artileri tidak pernah berhenti jatuh. Di sebuah tikungan di parit, aku kehilangan operator radio saya. Dia pasti terbunuh oleh peluru artileri dan ditelan oleh lumpur. Aku kemudian menyadari bahwa akhir dari pertempuran sudah dekat. Aku berhasil kembali ke pos komando. Di sana aku masih bisa melihat ruang istirahat, yang ada 2 meter di bawah tanah di mana disitu berkerumun bersama adalah Bigeard, Langlais, Mayor Pierre Tourret dari Batalyon ke-8 Pasukan Penerjun Payung Kolonial, Mayor Maurice Guiraud dari Batalyon ke-1 Pasukan Pasukan Legiun Asing, Mayor Hubert de Séguin-Pazzis dari Markas besar de Castries dan teman sekelasku di St. Cyr Kapten Robert Caillaud dari Resimen Parasut Legiun Asing ke-2. Kami tidak pernah melihat de Castries, yang baru-baru ini dipromosikan menjadi brigadir jenderal. 

MENYERAH DAN DITAWAN

Pada malam tanggal 6 Mei, Bréchignac mengirimkan pesan terakhirnya: “Mereka (Vietminh) sudah ada di sini. Saya telah menghancurkan radio. Salam untuk semua.” Sementara itu, Bigeard, Langlais dan kami semua percaya bahwa kami tidak boleh menyerah atau mengibarkan bendera putih. De Castries lalu mengirimi kami pesan yang menunjukkan persetujuannya atas gencatan senjata tanpa bendera putih dari pos komandonya di Benteng Eliane. Kemudian de Castries mengucapkan kata-kata terakhirnya: “Bien, mon jenderal.” “Baiklah, selamat tinggal, mon vieusx,” kata Cogny. “Aku akan segera menemuimu.” Beberapa menit kemudian, operator radio de Castries secara metodis menghancurkan peralatannya dengan gagang pistol Colt .45-nya, dan kemudian muncul kata terakhir yang keluar dari benteng utama di Dien Bien Phu yang ditaklukkan, pada pukul 17:50 dari seorang operator radio Batalyon Zeni Tempur ke-31, yang menggunakan nama kode resminya: “Ini ‘Yankee Metro.’ Kami meledakkan semua yang ada di sekitar sini. Au revoir.” Gencatan senjata umum mulai berlaku pada pukul 17.30. tanggal 7 Mei. Setelah itu ada keheningan. Kami menunggu. Kemudian kami mendengar mereka datang, seperti ombak, kerumunan orang yang berteriak. Kami berkumpul kembali di luar, tanpa keributan apapun. Musuh kami tampak sangat terkejut dan agak menampilkan rasa hormat. Kemudian kami diserahkan kepada para komisaris politik, dan itu adalah awal dari cerita yang lain.

Kolonel Christian de Castries akhirnya memerintahkan penyerahan pasukan Prancis di Dien Bien Phu. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)
Foto yang diambil pada tanggal 07 Mei 1954 menunjukkan seorang tentara Vietminh mengibarkan bendera di atas bunker Prancis di medan perang Dien Bien Phu. (Sumber: https://southeastasiaglobe.com/)
Tawanan perang Prancis digiring keluar dari Dien Bien Phu, 1954. Banyak dari mereka yang tidak akan kembali hidup-hidup dari penawanan. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)

Hanya 73 orang yang berhasil melarikan diri dari berbagai perbentengan yang hancur di Dien Bien Phu, untuk kemudian diselamatkan oleh unit gerilya pro-Prancis, yang menunggu mereka di hutan Laos. Kerugian yang kami derita dalam pertempuran Dien Bien Phu berjumlah 2.379 tewas, 5.234 luka-luka (708 di antaranya kemudian meninggal karena luka-luka mereka) dan 11.579 ditawan. Hanya 3.290 orang yang ditangkap yang kembali ke rumah. Kerugian di pihak musuh, menurut perkiraan resmi termasuk 8.000 personel tewas dan 15.000 terluka. Kemenangan bersejarah rakyat Vietnam di Dien Bien Phu kemudian memastikan bahwa “matahari akhirnya terbenam” bagi Kolonialisme Prancis di Indochina. Secara militer, Tentara Prancis dikalahkan tetapi tidak benar-benar dihancurkan, seperti yang ditulis surat kabar Le Monde pada tahun 2004, memperingati pertempuran Dien Bien Phu. Di sisi lain, kami para perwira muda hanya meminta dua hal: Pertama, dipimpin dengan baik; dan kedua, untuk dibantu, didukung, dan dibekali oleh mereka yang mengirim kami ke medan perang. Itu terjadi dari waktu ke waktu bahwa kondisi pertama tidak terpenuhi; yang kedua tidak pernah diberikan. Para prajurit kolonial, yang terdiri dari orang-orang Prancis, Aljazair, Vietnam dan para Legiuner (sebagian besar pasukan terjun payung), bagaimanapun telah menunjukkan bahwa mereka mampu bertempur dengan gagah berani, memperebutkan setiap posisi senjata dan bunker yang berpindah tangan beberapa kali dalam pertempuran ganas melawan para prajurit Vietminh, yang sama-sama bertekad kuat. Ketika akhir pertempuran diumumkan di Paris, Chamber of Deputies sedang dalam sesi pleno. Emosi itu cukup besar. Banyak deputi menangis dan mereka semua terdiam lama—kecuali deputi Komunis, yang tetap duduk diam.

KARIR PIERRE FAUROUX SELEPAS DIEN BIEN PHU

Pada tahun 1955 dan 1956 Pierre Fauroux pertama-tama ditugaskan ke Demi-Brigade ke-14 di Toulouse, kemudian ke Resimen Serang Infanteri Paratroop ke-18 (18ème RIPC) di Aljazair. Setelah itu, ia menjabat selama satu tahun sebagai komandan kompi ke-4 Batalyon de Joinville (satuan yang terdiri dari para atlet) di Prancis dan di Aljazair. Kemudian, setelah beberapa kali penugasan singkat, ia ditugaskan sebagai staf Sektor Operasi di Colomb-Bechar (Sahara) hingga tanggal 15 Oktober 1959. Setelah cuti selama dua tahun ia benar-benar mengundurkan diri dari dinas militer pada tanggal 1 Desember 1961, dan memulai jalur karir baru. Pada bulan Maret 1963 Pierre berhasil menyelesaikan studi farmasi dan lulus. Musim panas berikutnya, berkat penggantian yang ia terima selama penugasan di Afrika, ia membeli apotek di Agnibilekrou, di bagian timur Pantai Gading, dan berlatih di sana selama beberapa tahun sebelum kembali ke Prancis dan menetap di St-Aygulf di Var. Dia pensiun dari pekerjaannya sebagai ahli farmasi pertama kali di County Cork, Irlandia, selama delapan tahun sebelum kembali ke Prancis dan menetap di Aureille di Alpilles di wilayah Prancis selatan. Pierre Fauroux meninggal pada tanggal 6 Oktober 2010 di Maussane-les-Alpilles, di distrik Bouches-du-Rhône. Pierre Fauroux diketahui menikah dengan seorang apoteker, bernama Suzanne Lionnet, di Paris pada tanggal 25 September 1946. Istri Pierre melahirkan seorang putri pada tahun 1948. Putri mereka menikah dengan seorang perwira Amerika, sekarang pensiunan kolonel bernama Stephen Smith (yang membantu menerjemahkan buku Pierre, yang disarikan dalam artikel ini), dan mereka memiliki dua orang anak; mereka semua tinggal di Amerika Serikat. Suzanne Lionnet meninggal pada tanggal 16 Maret 1984, dan Pierre Fauroux menikah lagi dengan Marguerite Cauquil, seorang apoteker, di Paris pada tanggal 10 Januari 1986. Marguerite meninggal pada tanggal 3 September 2016, 6 tahun setelah Pierre.

Pierre Fauroux menerima Medali Silver Star atas pengabdiannya dalam Angkatan Darat AS dalam Perang Dunia II. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Night Jump into Dien Bien Phu by Captain Pierre Fauroux

Captain Pierre Jean FAUROUX

http://www.plan-sussex-1944.net/anglais/biography/fauroux.htm

Dienbienphu: Battle to Remember, May 3, 1964

Dien Bien Phu Falls: When the Sun Set on the French Empire in Indochina by Rabindra Hazari; May 09, 2020

https://www.google.com/amp/s/m.thewire.in/article/history/dien-bien-phu-indochina-war/amp

Exit mobile version