Perang Vietnam

Signifikansi dan Dampak Keterlibatan Thailand dalam Perang Vietnam (1964-1975)

Selama Perang Vietnam, Thailand adalah salah satu tempat di mana para prajurit Amerika (GI) yang sedang cuti pergi untuk istirahat dari pertempuran yang tentunya disambut baik oleh mereka yang menerimanya. Tetapi dibanding sekedar menyediakan tempat rekreasi, dukungan Thailand untuk operasi tempur AS di Indochina—Vietnam, Kamboja, dan Laos—merupakan kontribusi yang jauh lebih penting. Kerajaan Asia Tenggara, yang berbatasan di timur dengan Kamboja dan Laos yang berperang ini, adalah ‘rumah’ bagi pangkalan utama Angkatan Udara AS yang digunakan untuk meluncurkan misi serangan, pengawalan, pengeboman, dan pengintaian di seluruh zona perang. Thailand juga menyediakan prajurit tempur untuk membantu AS dan sekutu lainnya dalam pertempuran, termasuk Korea Selatan, Australia, Selandia Baru, dan Filipina. Pada akhir perang, lebih dari 40.000 personel militer Thailand telah bertugas di Vietnam, dengan menderita kerugian 351 tewas dan 1.358 terluka. Sebagian besar pasukan Thailand beraksi dalam operasi terbuka dan rahasia yang dilakukan terutama di wilayah Laos—walaupun unit Queen’s Cobra dan Black Panthers turut bertempur di Vietnam Selatan. Keputusan Thailand untuk berpartisipasi secara aktif dalam pertahanan Vietnam Selatan bagaimanapun mewakili perubahan dari kebijakan non-intervensi tradisional negara itu. Sementara Perang Vietnam akan dikenang dengan benar sebagai tragedi di Amerika Serikat dan Vietnam, hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk Thailand.

Divisi Black Panther Pasukan Relawan Angkatan Darat Kerajaan Thailand tiba di Vietnam, turun dari kapal USS Okanogan di Saigon, tanggal 15 Agustus 1968. Meski kerap terlupakan, namun Thailand diketahui memiliki peran signifikan dalam mendukung upaya Amerika di Asia Tenggara. (Sumber: https://www.vietnamwar50th.com/)

LATAR BELAKANG

Pada awalnya partisipasi Thailand tergolong minimal, tetapi ketika situasi di Vietnam Selatan memburuk, Thailand menilai kembali perannya dalam urusan di wilayah Asia Tenggara. Dalam sebuah wawancara pada tahun 1967 di “ABC Scope,” sebuah program berita TV mingguan, Menteri Luar Negeri Thanat Khoman menjelaskan bahwa alasan Thailand untuk mendukung upaya perang sekutu adalah berdasar pada faktor keamanan dan ekonomi. Ketertarikan Thailand untuk meningkatkan kontribusinya di Vietnam Selatan sebagian merupakan keinginannya untuk mengambil peran yang lebih besar dalam pertahanan aktif di Asia Tenggara. Hal ini juga dipandang sebagai kesempatan untuk mempercepat modernisasi angkatan bersenjata Thailand. Sama pentingnya, dari sudut pandang Thailand, adalah keuntungan politik domestik dan keuntungan secara internasional lewat suara yang lebih kuat di meja perundingan karena partisipasi Thailand di medan perang. Sementara itu perbatasan negaranya dengan Laos dan Kamboja (keduanya seperti Thailand, sama-sama negara kerajaan), yang masing-masing terancam oleh pemberontakan komunis, menempatkan kerajaan itu dalam posisi berbahaya yang membahayakan kelangsungan hidupnya sendiri. Ketidakstabilan di perbatasan timur yang panjang juga mempengaruhi perekonomian Thailand. Pada tahun 1953, Viet Minh, organisasi yang didominasi komunis yang berjuang pada saat itu untuk kemerdekaan Vietnam dari penjajahan Prancis, menginvasi kawasan Laos utara dan timur yang dikuasai Prancis, di mana pemberontakan komunis Pathet Lao muncul. Hal ini sontak menjadi ancaman langsung bagi Thailand. Timur laut Thailand, yang terdiri dari 15 provinsi dan berbatasan dengan Laos, adalah tempat yang paling rentan terhadap aksi teroris komunis dan segera menjadi target subversi komunis terbaru. Ini adalah wilayah terbelakang yang dihuni oleh orang-orang yang memiliki afiliasi dan sentimen pro-komunis. Pada tahun 1954, setelah Prancis yang kalah mengakhiri kekuasaannya di Indochina, pemerintah Thailand mendorong Laos yang pro-Barat untuk bertindak sebagai penyangga antara Thailand dan Vietnam Utara yang komunis. Tidak seperti negara-negara lain di kawasan itu, Thailand, yang dikenal sebagai Siam sampai tahun 1939, tidak pernah berada di bawah kendali kekuatan kolonial Eropa, suatu hal yang menjadi sumber kebanggaan besar di negara itu. Oleh karena itu, Thailand tidak mengalami semangat revolusioner anti-kolonialis yang mendorong gerakan kemerdekaan yang didukung komunis seperti di tempat lainnya di Asia Tenggara. Meski begitu, Thailand masih mengkhawatirkan penyebaran gerakan komunis di kawasan itu—Viet Cong di Vietnam, Khmer Merah di Kamboja, dan Pathet Lao di Laos—yang menyebarkan ideologi yang membahayakan bentuk pemerintahan monarki, budaya, dan agama yang dominan di Thailand. 

Pasukan Vietminh. Selama perang melawan Prancis, pasukan komunis Vietnam telah menggunakan wilayah Laos yang berbatasan dengan Vietnam sebagai basis dan target strategis mereka. (Sumber: https://www.timetoast.com/)
Pathet Lao di Xam Neua pada tahun 1953. Pathet Lao, dikenal punya hubungan erat dengan Vietnam Utara. Meluasnya pengaruh komunis di Laos dianggap mengancam stabilitas politik dan keamanan di Thailand. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Thailand tidak mengalami semangat revolusioner anti-kolonialis yang mendorong gerakan kemerdekaan yang didukung komunis seperti di tempat lainnya di Asia Tenggara. Meski begitu, Thailand masih mengkhawatirkan penyebaran gerakan komunis di kawasan itu—Viet Cong di Vietnam, Khmer Merah di Kamboja, dan Pathet Lao di Laos—yang menyebarkan ideologi yang membahayakan bentuk pemerintahan monarki, budaya, dan agama Buddha yang dominan di Thailand. (Sumber: https://www.politico.com/)

Orang-orang Thailand percaya itu adalah tugas mereka untuk melawan komunis yang menghancurkan kuil-kuil Buddha dalam upaya mereka untuk menguasai Kamboja dan Laos. Pada akhir tahun 1950-an dan awal 1960-an, para pemimpin AS di Washington, yang berkomitmen pada kebijakan “penahanan” untuk menghentikan penyebaran komunisme gaya Soviet, sangat prihatin dengan ekspansi komunis di Asia Tenggara. Mereka telah “kehilangan China” karena gerakan komunis pimpinan Mao Zedong pada tahun 1949 dan hanya menang tipis atas upaya Korea Utara/China untuk menaklukkan Korea Selatan yang anti komunis pada tahun 1950-53. Sebagian besar pemimpin Amerika dalam Perang Dingin menganut “teori domino”—yakin bahwa jika satu negara Asia Tenggara jatuh ke tangan komunis, sisanya pasti akan jatuh seperti kartu domino yang jatuh. Presiden Dwight D. Eisenhower dan penggantinya, John F. Kennedy, tidak akan membiarkan Laos jatuh ke tangan komunis, dan pemerintahan mereka menyadari bahwa kerja sama aktif Thailand sangat penting dalam upaya itu. Mereka berharap bisa menjadikan Thailand benteng anti-komunis di kawasan itu melalui dukungan ekonomi, bantuan militer, dan pelatihan pasukan. Amerika dengan biaya sendiri membangun infrastruktur sipil di Thailand, misalnya, jalan, dan dalam jumlah besar yang tak tertahankan untuk Thailand. Upaya-upaya ini merangsang perkembangan ekonomi Thailand dan semakin memperkuat sentimen pro-Amerika di antara penduduk setempat. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Thailand menjadi salah satu negara pertama yang bergabung di SEATO – blok militer pro-Amerika di Asia.

Pemimpin negara-negara SEATO berpose untuk berfoto selama Konferensi Manila pada tahun 1966. Thailand menjadi salah satu negara pertama yang bergabung di SEATO – blok militer pro-Amerika di Asia. (Sumber: https://www.britannica.com/)
James William “Bill” Lair dalam seragam Polisi Kerajaan Thailand berpangkat Mayor Polisi. Pada tahun 1951, CIA Bill Lair ke Thailand. Tugas Lair adalah untuk melatih beberapa polisi perbatasan Thailand sebagai pasukan reaksi cepat yang siap untuk melawan serangan komunis yang melintasi perbatasan Thailand. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Pemberontak komunis di Thailand. (Sumber: https://www.bangkokpost.com/)

“Pada tahun 1951, CIA mengirim petugasnya, yakni Bill Lair ke Thailand,” James Parker, petugas CIA di Laos 1971-73, mengatakan hal ini dalam sebuah wawancara tahun 2016 dengan Bangkok Post. “Dia diberi tugas untuk melatih beberapa polisi perbatasan Thailand sebagai pasukan reaksi cepat yang siap untuk melawan serangan komunis yang melintasi perbatasan Thailand.” Pada tahun 1953, duta besar baru untuk Thailand yang dipilih oleh Eisenhower adalah William Donovan, yang telah memimpin dinas mata-mata Perang Dunia II, Office of Strategic Services, cikal bakal CIA, yang dibentuk pada tahun 1947. Seperti AS, Thailand prihatin dengan apa yang terjadi di Laos, yang telah menjadi penyangganya terhadap intervensi dari China dan Vietnam. Jika Laos jatuh, pintu terbuka lebar bagi komunisme untuk menyusup ke Thailand. Yang sangat mengkhawatirkan, Thailand juga menjadi rumah bagi 50.000 etnis Vietnam, banyak dari mereka bersimpati kepada pemimpin Vietnam Utara Ho Chi Minh dan ideologi komunisnya. CIA memperkirakan bahwa ada sekitar 3.200 gerilyawan komunis yang dikenal, sebagian besar dari etnis China dan Vietnam, yang beroperasi di Thailand pada pertengahan tahun 1960-an. Orang-orang Thailand mengerti bahwa satu-satunya jawaban untuk masalah ini adalah bergabung dengan Amerika Serikat. Pada akhir tahun 1950-an pasukan Pathet Lao, yang terkait dengan gerakan komunis di Vietnam Utara dan China, semakin mampu menguasai satu demi satu wilayah di Laos, yang berjuang untuk mengalahkan para pemberontak. Untuk melawan Pathet Lao, CIA mengembangkan kekuatan paramiliter anti-komunis di Laos dan melatih unit tentara dan polisi Thailand dalam perang gerilya. Untuk pertama kalinya, pasukan Thailand memulai operasi rahasia ke Laos di bawah arahan CIA. Kekuatan itu adalah cara untuk menghadapi pemberontakan komunis di Laos tanpa perlu campur tangan langsung dari pasukan Amerika. Namun, pada tahun 1959 Pasukan Khusus Angkatan Darat AS, Baret Hijau, telah diam-diam memasuki wilayah Laos dan mulai melatih anggota suku Meo untuk melawan Pathet Lao.

SITUASI GENTING

Situasi Thailand memburuk pada tahun 1961 ketika Vietnam Utara, dengan bantuan dari Uni Soviet dan China, memberikan dukungan untuk operasi pemberontakan komunis di Vietnam Selatan, Kamboja, Laos dan bagian dari wilayah Thailand. Partai Komunis Thailand memimpin pemberontakan bersenjata di provinsi timur laut negara itu. Sebagai tanggapan, Thailand mengerahkan 30.000 tentara, untuk merebut kendali yang goyah di daerah itu, yang berlangsung sepanjang masa perang. Field Marshal Sarit Thanarat, yang berkuasa di Thailand pada tahun 1957, mengambil posisi Thailand dalam “lingkup sekutu” Amerika. Thailand sendiri telah lama mengembangkan hubungan dekat dengan Amerika Serikat. Bahkan, mereka sudah menandatangani Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan pada bulan Maret 1833 – perjanjian AS pertama dengan sebuah negara di Asia. Hubungan ini terus berkembang lebih lanjut sejak Perang Dunia II yang tercermin dalam beberapa perjanjian, bantuan ekonomi dan militer antara keduanya. Pada tahun 1961, Duta Besar AS di Bangkok, lalu meminta ijin dari Thanarat untuk menempatkan pasukan Amerika di Thailand untuk melakukan operasi rahasia melawan Pathet Lao. Kesepakatan tersebut diperoleh dan Thailand melakukan operasi rahasia dengan Amerika Serikat mulai dari tahun 1961. Amerika Serikat kemudian memberikan bantuan ekonomi dan militer ke Thailand, dan sebagai imbalannya Thailand menyediakan pangkalan udara dan darat untuk tentara Amerika. Antara tahun 1961 dan 1965 tujuh pangkalan udara Thailand menyaksikan kehadiran pesawat-pesawat tempur Amerika. Akhirnya, mereka menampung lebih dari 400 pesawat dan 25.000 personel militer. Sementara itu, meskipun secara teknis pangkalan-pangkalan itu adalah milik angkatan laut dan udara Kerajaan Thailand, instalasi tersebut berfungsi sebagai markas besar unit-unit Angkatan Udara AS yang menggunakannya untuk operasi di seluruh kawasan Indochina. Sekitar 80 persen serangan udara Amerika yang diluncurkan terhadap Vietnam Utara dan kamp-kamp gerilya di wilayah tersebut terbang dari pangkalan-pangkalan udara tersebut.

Sarit Thanarat. Thanarat, yang berkuasa di Thailand pada tahun 1957, mengambil posisi Thailand dalam “lingkup sekutu” Amerika. (Sumber: https://th.wikipedia.org/)
Pangkalan-pangkalan udara yang disediakan Thailand untuk Amerika dalam menjalankan operasi militernya di Asia Tenggara. (Sumber: https://www.quora.com/)

Operator-operator CIA, dengan kedok sebagai “penasihat militer,” mulai melatih pasukan dan pilot Laos di Thailand, sementara pasukan khusus Thailand melanjutkan misi rahasia mereka di Laos. Sejak April 1961, CIA meluncurkan Proyek rahasia, yang intinya adalah mengatur pelatihan militer Laos di kamp-kamp di Thailand. Presiden Kennedy juga secara pribadi memastikan bahwa tentara Thailand dialokasikan untuk “proyek” tersebut dan menjadi instrukturnya. Apalagi, Thanarat memerintahkan agar Amerika bisa merekrut personel militer Thailand untuk dipekerjakan. Orang-orang ini dikeluarkan dari dinas militer aktif dan mereka pergi ke Laos sebagai instruktur, penasihat, pilot, dan terkadang personel tempur. Operator Thailand yang terlatih secara khusus “secara sukarela” kemudian bergabung dengan Tentara Kerajaan Laos dan dilengkapi dengan seragam dan kartu identitas Laos. Pendekatan ini sebenarnya bukanlah hal yang baru, Amerika telah melatih Polisi Nasional Thailand (Thai National Police – TNP) untuk melakukan operasi khusus di Laos pada tahun 1951, dan Unit Police Aerial Reconnaissance Unit (PARU) juga dilatih oleh mereka untuk melakukan operasi anti gerilya lewat udara. Nantinya, PARU akan bertempur di Laos, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Jumlah agen CIA pada tahun 1953 adalah dua ratus, dan pada tahun 1961 jumlahnya makin bertambah banyak. Pada awal tahun 1962, sekitar 60 orang Thailand telah “mendaftar” di unit-unit Laos; semua digaji oleh CIA. CIA juga mulai melatih suku Hmong dari pegunungan Laos dan Vietnam untuk melawan komunis di bawah otorisasi yang ditandatangani oleh Eisenhower sendiri pada bulan Desember 1960. Kamp-kamp pelatihan unit-unit ini juga berada di Thailand. Dengan banyak pelatihan dan logistik yang datang dari CIA, pasukan baru ini siap untuk memerangi musuh melalui aksi-aksi rahasia.

Kader dan Instruktur PARU di Hua Hin, sekitar tahun 1962-3. Nantinya, PARU akan bertempur di Laos, secara sembunyi-sembunyi tentunya. (Sumber: https://juleswings.wordpress.com/)
Marinir Amerika berlatih di Thailand saat timbul ketegangan di Laos pada awal tahun 1960-an. (Sumber: Semper FI: The Definitive Illustrated History of the U.S. Marines)

Bantuan Amerika ini bagaimanapun tidak luput dari perhatian pihak komunis. Ketegangan terus meningkat ketika Pathet Lao menyerang pada musim semi 1962 dan menguasai lembah sungai Nam Tha di barat laut Thailand. Khawatir akan menghadapi serangan habis-habisan, Thailand mengirim ribuan pasukan untuk mengusir para penyerang. Pada tanggal 18 Mei 1962, Kennedy mengerahkan 6.500 Marinir, yang didaratkan oleh kapal serbu amfibi USS Valley Forge (LPH-8) untuk memperkuat pasukan Thailand. Selain itu, Amerika Serikat juga mengerahkan 165 personel pasukan khusus dari Baret Hijau dan 84 instruktur dari cabang militer lainnya. Pada saat ini, Thailand juga telah mengerahkan beberapa ribu tentara di sepanjang Sungai Mekong, sebagai persiapan untuk melakukan invasi ke Laos. Pasukan AS tidak tinggal lama di Thailand – setelah menandatangani gencatan senjata di Jenewa antara pihak-pihak yang bertikai dalam perang di Laos, Kennedy menarik pasukan kembali, pada bulan Juli karena kekhawatiran akan membangun komitmen jangka panjang. Tetapi pada saat itu, interaksi antara Amerika dan Thailand telah terjalin kuat, kehadiran Amerika muncul di pangkalan udara Korat dan Takhli, dan pesawat-pesawat Amerika dari pangkalan-pangkalan ini sudah melakukan pengintaian di Laos dan sesekali menyerang Pathet Lao. Takhli nantinya juga menjadi markas dan tempat mendarat (sekedar transit, atau karena kondisi darurat) bagi pesawat-pesawat pengintai U-2 dan SR-71, serta helikopter-helikopter Amerika. Sementara itu operator-operator Thailand, yang dilatih oleh CIA dan Pasukan Khusus AS, memasuki Laos dan bertempur melawan unit-unit Pathet Lao, mengusir mereka kembali dan mengamankan bagian utara negara itu dari gangguan lebih lanjut. Di saat yang sama, teknisi dan insinyur-insinyur Amerika mengerjakan perbaikan di pangkalan udara Thailand. Air America, sebuah maskapai penerbangan milik pemerintah AS yang diam-diam mendukung misi CIA, kemudian terbang dari pangkalan-pangkalan itu ke Laos dan Vietnam, mengirimkan pasokan ke kelompok-kelompok rahasia yang bekerja dengan pasukan anti-komunis.

Sebuah F-4 Phantom II baru saja mendarat di Pangkalan Udara Ubon di Thailand – November 1966. Sekitar 80 persen serangan udara Amerika yang diluncurkan terhadap Vietnam Utara dan kamp-kamp gerilya di wilayah tersebut terbang dari pangkalan-pangkalan udara di Thailand. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pesawat pembom tempur Republic F-105D Thunderchief dari Wing Tempur Taktis ke-4 Angkatan Udara AS di Pangkalan Angkatan Udara Takhli, Thailand, pada bulan Desember 1965. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
B-52, dan KC-135 di Pangkalan Udara U-Tapao, Thailand. B-52 ini baru kembali ke pangkalan setelah misi pengeboman di Vietnam tahun 1972. Setiap serangan semacam itu dari Thailand akan menghemat biaya 8.000 dolar AS dibandingkan dengan biaya bila mereka berangkat dari Guam atau Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Terlepas dari berbagai upaya itu, pada tahun 1962 laporan yang keluar dari Laos tidaklah bagus. Vietnam Utara telah menggunakan jaringan rute yang melintasi negara itu, yang secara kolektif dikenal sebagai Jalur Ho Chi Minh Trail, untuk menyelundupkan senjata dan personel tempur ke Vietnam Selatan. Perkiraan intelijen menunjukkan sekitar 7.000 hingga 9.000 tentara Vietnam Utara berada di Laos. Sarit Thanarat meninggal beberapa minggu setelah pembunuhan Kennedy, tetapi kedatangan Perdana Menteri baru Field Marshal Thanom Kittikachorn tidak mengubah apa pun – kerja sama dengan Amerika terus berlanjut dan berkembang. Pada tahun 1964, ketika Amerika memulai operasi pemboman rahasia pada posisi-posisi Viet Cong dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur tua, pangkalan udara Thailand sudah siap. Kondisi ini berkembang dengan cepat setelah insiden Teluk Tonkin pada bulan Agustus 1964, ketika kapal-kapal torpedo Vietnam Utara menyerang kapal perusak Amerika, dan Presiden Lyndon B. Johnson memerintahkan serangan udara balasan di Vietnam Utara. Pada bulan Desember 1964 lewat Operasi Barrel Roll, pesawat-pesawat Amerika yang terbang keluar dari pangkalan-pangkalan Thailand mulai membom kamp-kamp pasukan komunis dan rute-rute pasokan di Laos. Pesawat-pesawat pembom tersebut, untuk sementara waktu tidak diizinkan untuk menyerang wilayah Vietnam Utara secara langsung. Sementara pesawat-pesawat angkatan udara Kerajaan Thailand dan pesawat-pesawat Kerajaan Laos yang berbasis di Thailand sedang melakukan misi pengeboman di atas wilayah yang dikuasai oleh Pathet Lao di Laos dan Thailand, di darat, unit pasukan khusus Thailand dan Laos, yang diangkut oleh Air America dari Thailand ke Laos, menyerang posisi Pathet Lao. Selain Korat dan Takhli, Amerika memakai juga pangkalan udara Udorn. Pada tahun 1965, sebagian besar serangan udara AS terhadap Vietnam Utara dan Jalur Ho Chi Minh Trail terbang dari wilayah Thailand. Jika pada awal tahun 1966 di Thailand ada 200 pesawat Amerika dan 9.000 orang personel Angkatan Bersenjata AS, pada akhir tahun jumlahnya meningkat menjadi 400 pesawat dan 25.000 orang. Pada musim semi tahun 1966, Amerika menyelesaikan pembangunan pangkalan udara U-Tapao, dari mana pesawat-pesawat pembom B-52 Stratofortress mulai terbang menjalankan misi tempur pada tahun 1967. Setiap serangan semacam itu dari Thailand akan menghemat biaya 8.000 dolar AS dibandingkan dengan biaya bila mereka berangkat dari Guam atau Jepang. Dari awal pengoperasiannya hingga akhir tahum 1968, U-Tapao menjadi tempat pangkalan bagi 1.500 misi serangan di Vietnam setiap minggunya, dimana sekitar 80% dari semua serangan Amerika dilakukan dari pangkalan-pangkalan Thailand (U-Tapao bersama enam pangkalan semacam itu). Dari tahun 1961 hingga 1975, Amerika Serikat menggunakan 7 pangkalan udara, yakni di Korat, Udon Thani, Nakon Phanom, Ubbon Ratchathani, Khon Kaen, U-Tapao dan Bangkok.

MENINGKATKAN KOMITMEN

Lyndon Johnson, yang berkuasa di Amerika Serikat setelah pembunuhan Kennedy, kemudian menuntut dukungan lebih banyak dari sekutu-sekutunya dalam memerangi komunis Vietnam. Pada tahun 1964, ia memproklamirkan program “Lebih Banyak Bendera”, yang tujuannya adalah untuk menarik sekutu baru terjun ke dalam Perang Vietnam. Dan jika Australia secara terbuka mengirim kontingen militernya ke Vietnam, negara-negara lain hanya “menyewakan” tentara mereka dengan imbalan uang dari Amerika. Dalam daftar negara-negara ini adalah Korea Selatan, Filipina dan, tentu saja, Thailand. Bagi Amerika Serikat, peningkatan kekuatan pasukan internasional di Vietnam jelas diinginkan, tetapi arti penting sebenarnya dari peningkatan itu adalah bahwa negara-negara Asia Tenggara lainnya bisa menerima peran yang lebih besar dalam pertahanan Vietnam Selatan. Beberapa pejabat di Washington juga percaya bahwa penerimaan publik terhadap peningkatan lebih lanjut pasukan AS akan dimudahkan sebagai akibat dari adanya kontribusi dari Thailand. Menteri Pertahanan Robert S. McNamara bahkan lebih spesifik menyatakan bahwa dari sudut pandang politik, kontribusi Thailand hampir wajib diperlukan. Pada awal tahun 1966, Thailand secara terbuka berjanji untuk mengirim pasukan tempur ke Vietnam (selain tentara Thailand yang sudah ditempatkan di Laos untuk menjakankan operasi rahasia). Gagasan perang melawan komunisme ini mengguncang masyarakat Thailand. Dalam beberapa bulan setelah pengumuman, 5.000 orang (di Bangkok saja) telah mengajukan diri. Orang-orang Amerika kemudian melatih orang-orang ini, dan setelah itu mereka mengorganisir mereka menjadi unit-unit tempur dan mengirimnya ke zona pertempuran. Prajurit-prajurit ini dilatih dan diperlengkapi sesuai dengan standar Amerika. Pada saat yang sama, personel Thailand pertama tiba di Vietnam pada awal tahun 1967. Pada tahun 1969 militer Thailand mengerahkan lebih dari 12.000 pasukan darat, termasuk resimen Queen’s Cobra dan Divisi Black Panther dari Pasukan Sukarelawan Angkatan Darat Kerajaan Thailand. Pada tahun 1971, 15 persen tentara Thailand berada di Vietnam Selatan, yang mungkin berjumlah sebanyak 22.000 tentara, tidak termasuk mereka yang melakukan misi-misi rahasia. 

Kunjungan Presiden Lyndon B. Johnson ke Thailand. Pada tahun 1964, ia memproklamirkan program “Lebih Banyak Bendera”, yang tujuannya adalah untuk menarik sekutu baru terjun ke dalam Perang Vietnam. (Sumber: https://www.richardbarrow.com/)
Emblem Divisi Ekspedisi Angkatan Darat Kerajaan Thailand. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

AWAL KOMITMEN DI VIETNAM

Kontribusi pertama Thailand untuk upaya Perang di Vietnam dilakukan pada tanggal 29 September 1964, ketika enam belas orang kontingen Angkatan Udara Kerajaan Thailand tiba di Vietnam untuk membantu menerbangkan dan memelihara beberapa pesawat kargo yang dioperasikan oleh Angkatan Udara Vietnam Selatan. Sebagai tambahan untuk program ini, Angkatan Udara Kerajaan Thailand juga memberikan pelatihan transisi pesawat jet kepada pilot-pilot Vietnam. Status misi awal ini tidak banyak berubah sampai Kelompok Bantuan Militer Kerajaan Thailand, Vietnam (Royal Thai Military Assistance Group, Vietnam), diaktifkan pada tanggal 17 Februari 1966 dan seorang letnan kolonel Angkatan Udara Thailand ditunjuk sebagai komandan. Kontingen Royal Thai Air Force kemudian menjadi elemen bawahan dari Royal Thai Military Assistance Group, Vietnam. Pada bulan Maret komandan kontingen Thailand meminta Komando Bantuan Militer AS untuk menyediakan satu jet latih T-33 dari asetnya untuk digunakan untuk pelatihan transisi jet yang sebelumnya diberikan kepada pilot Vietnam Selatan di Thailand. Program pelatihan ini telah dihentikan pada bulan sebelumnya karena kekurangan pesawat T-33 di Angkatan Udara Kerajaan Thailand. Thailand juga telah meminta dua pesawat C-123 dengan penanda Royal Thai Air Force untuk memungkinkan kontingen Thailand berfungsi sebagai unit integral dan untuk menunjukkan komitmen Thailand, yang lebih menonjol di Vietnam Selatan. Jenderal Westmoreland menjawab bahwa pelatihan transisi jet untuk pilot Vietnam berjalan dengan memuaskan dan bahwa T-33 tidak dapat diambil dari sumber daya MACV. Dia menyarankan agar pesawat itu dibeli melalui Program Bantuan Militer di Thailand. Namun, MACV memang mengabulkan permintaan akan pesawat C-123; dimana komandan Angkatan Udara Pasifik diminta untuk menyediakan pesawat tersebut. Sebagai balasan komandan di Pasifik menyatakan bahwa pesawat C-123 tidak tersedia di Amerika Serikat dan merekomendasikan membawa pilot-pilot Thailand ke Vietnam Selatan untuk menerbangkan dua pesawat C-123 yang dimiliki dan dipelihara oleh Amerika Serikat tetapi dengan menggunakan penanda Thailand. Pengaturan kemudian telah dibuat untuk menempatkan pilot-pilot ini di Vietnam selambat-lambatnya pada tanggal 15 Juli, dengan asumsi awak pesawat Thailand dapat memenuhi standar kecakapan minimum pada saat itu. Awaknya, yang terdiri dari dua puluh satu orang, mulai beroperasi pada tanggal 22 Juli 1966 dan bergabung dengan Wing Komando Udara ke-315 AS untuk mengoperasikan C-123. Lima orang Thailand tetap bersama Angkatan Udara Vietnam Selatan, di mana mereka ditugaskan untuk menerbangkan pesawat C-47. Kekuatan Angkatan Udara Kerajaan Thailand di Vietnam Selatan lalu menjadi dua puluh tujuh.

Pesawat latih T-33 Thailand. Angkatan Udara Kerajaan Thailand tercatat pernah memberikan pelatihan transisi pesawat jet kepada pilot-pilot Vietnam Selatan. (Sumber: http://www.wings-aviation.ch/)

Pada tanggal 30 Desember 1966, empat surat kabar di Bangkok memuat berita di halaman depan yang mengatakan bahwa pemerintah Thailand sedang mempertimbangkan mengerahkan tim tempur seukuran batalion yang terdiri dari 700 hingga 800 orang ke Vietnam Selatan. Tanggapan yang baik dari orang-orang Thailand telah diperkirakan, tetapi kenyataannya jauh melebihi harapan. Di Bangkok saja, lebih dari 5.000 pria mendaftar menjadi sukarelawan, termasuk sekitar dua puluh biksu dan putra perdana menteri. Seorang biksu berusia 31 tahun, ketika ditanya mengapa dia menjadi sukarelawan untuk tugas militer, berkata: “Komunis mendekati rumah kami. Saya harus melepaskan jubah kuning saya untuk melawan mereka.” Pada pagi hari tanggal 3 Januari 1967 ‘pemerintah Thailand meresmikan spekulasi yang muncul di media beberapa hari sebelumnya; dengan mengumumkan bahwa batalion Thailand yang diperkuat akan dikirim untuk berperang di Vietnam Selatan. Alasan untuk keputusan ini adalah bahwa Thailand terletak di dekat Vietnam dan akan menjadi target komunis berikutnya. Inilah sebabnya mengapa Thailand menyadari perlunya mengirim unit militer untuk membantu melawan agresi komunis ketika masih jauh dari negaranya. Oleh karena itu, pemerintah Thailand telah memutuskan untuk mengirim satu unit tempur, satu batalyon yang kuat, untuk mengambil bagian aktif dalam pertempuran di Vietnam Selatan dalam waktu dekat. Unit tempur ini, yang akan terdiri dari hampir 1.000 orang, termasuk personel infanteri, artileri berat, mobil lapis baja, dan unit perbekalan, yang akan dapat mengambil bagian dalam pertempuran secara mandiri tanpa perlu bergantung pada unit pendukung lainnya. Keputusan ini lalu menimbulkan sejumlah masalah bagi Amerika Serikat. Yang pertama adalah mereka harus menentukan besarnya dukungan logistik yang akan diberikan kepada Thailand.

MEMPERLENGKAPI PASUKAN THAILAND

Departemen Pertahanan Amerika kemudian memberikan dukungan pendanaan untuk peralatan dan fasilitas yang digunakan oleh unit-unit Thailand di Vietnam Selatan, dan untuk tunjangan luar negeri, dalam pedoman seperti yang ditetapkan untuk mendukung pasukan Korea. Gratifikasi kematian harus dibayar oleh Amerika Serikat dan tidak ada beban ekonomi yang tidak semestinya yang harus dibebankan pada negara penyumbang pasukan. Organisasi dan peralatan kontingen Thailand yang disetujui (dikurangi elemen tertentu) berkekuatan 3.307 orang, dengan kekuatan berlebih 5 persen. Dengan ini staf tim tempur resimen, dengan tambahannya, mampu melakukan operasi lapangan dan mengamankan base camp. Secara organisasi, unit ini terdiri dari kompi markas besar dengan satu peleton komunikasi, satu peleton penerbangan, satu peleton kendaraan lapis baja M-113, satu peleton untuk operasi psikologis, satu peleton senjata berat dengan seksi senapan mesin, dan empat tabung mortir kaliber 81-mm; kompi layanan yang terdiri dari peleton personel dan dinas khusus serta perbekalan dan pengangkutan, pemeliharaan, dan peleton polisi militer; empat kompi senapan; sebuah kompi zeni tempur yang diperkuat; sebuah kompi medis; sebuah pasukan pengintai kavaleri terdiri dari dua peleton pengintai dan satu peleton M-113; dan enam baterai howitzer kaliber 105-mm. Pada tanggal 18 Maret tabel organisasi dan peralatan yang disetujui ditandatangani oleh perwakilan MACV dan Angkatan Darat Kerajaan Thailand. Selama diskusi, Angkatan Darat Kerajaan Thailand setuju untuk melengkapi salah satu dari dua peleton M-113 dengan enam belas kendaraan pengangkut personel lapis baja (APC) milik Angkatan Darat Thailand yang disediakan oleh Program Bantuan Militer; sedangkan Amerika Serikat akan menyediakan APC untuk peleton yang tersisa.

M113 ACAV “Divisi Harimau” asal Republik Korea. Sama seperti pasukan dari Korea Selatan, Amerika memiliki kewajiban untuk memperlengkapi kontingen militer asal Thailand di Vietnam. Angkatan Darat Kerajaan Thailand setuju untuk melengkapi salah satu dari dua peleton M-113 dengan enam belas kendaraan pengangkut personel lapis baja (APC) milik Angkatan Darat Thailand yang disediakan oleh Program Bantuan Militer; sedangkan Amerika Serikat akan menyediakan APC untuk peleton yang tersisa. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Sementara itu bantuan dari angkatan laut Thailand juga dibutuhkan. Pada akhir bulan Mei, MACV memutuskan bahwa Angkatan Laut Vietnam Selatan tidak akan dapat menggunakan secara efektif kapal motor gunboat (PGM) 107 yang dijadwalkan selesai diserahkan pada bulan Juli. Kemudian direkomendasikan agar kapal-kapal tersebut dialihkan ke Angkatan Laut Kerajaan Thailand dan digunakan sebagai sumbangan bagi militer sekutu dari Negara Bebas. Namun, Komando Bantuan Militer, Thailand, keberatan, dan lebih suka kapal tersebut dipindahkan ke Angkatan Laut Thailand di bawah Program Bantuan Militer sebagai persyaratan untuk tahun berikutnya. Karena Angkatan Laut Thailand sudah mengoperasikan dua kapal di Vietnam Selatan, permintaan Amerika Serikat untuk mengoperasikan kapal ketiga mungkin dianggap tidak pantas, terutama mengingat masalah personel yang dihadapi Thailand, dan ancaman pemberontakan yang selalu ada, yang dihadapi Thailand dari laut. Karena Thailand ingin meningkatkan kekuatan Angkatan Lautnya, orang-orang Thailand tidak melihat keuntungan dalam mengawaki kapal yang bukan milik mereka. Selain itu, kelompok penasihat Angkatan Laut AS di Thailand terus-menerus menekankan perlunya modernisasi Angkatan Laut Thailand. Menyarankan bahwa Thailand menyumbang kapalnya tampak kontradiktif. Pendekatan yang lebih dapat diterima, menurut alasan kelompok Angkatan Laut AS, adalah menawarkan PGM-107 sebagai hibah untuk bantuan tahun depan, dan kemudian meminta bantuan Thailand dalam upaya pengamanan pesisir Vietnam Selatan, yang dikenal sebagai Operasi Market Time, dengan menggantikan PGM lain yang dijadwalkan untuk menjalani perawatan dan rotasi kru di Thailand. Pendekatan ini akan memberikan pelatihan tambahan kepada awak Angkatan Laut Kerajaan Thailand dalam peperangan pesisir, sekaligus meningkatkan prestise angkatan laut Thailand, dan memenuhi kebutuhan berkelanjutan akan kehadiran militer Thailand di Vietnam Selatan. Namun orang-orang Thailand menolak gagasan ini. 

Pelatihan Royal Thai Army Volunteer Force (RTAVF) di Vietnam. Pada awalnya tentara sukarelawan Thailand dilengkapi dengan senapan karabin M2. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Di sisi lain masalah peralatan tidak terbatas pada penyediaan APC dan PGM. Rencana awal Gabungan Kepala Staf untuk alokasi senapan M-16 periode bulan November 1966 sampai Juni 1967 adalah menyediakan 4.000 senapan untuk tentara Thailand. Pengiriman bertahap 1.000 senjata setiap bulan akan dimulai pada bulan Maret. Namun, pada bulan Februari 1967, Panglima Tertinggi, Pasifik, menunda pemberian senapan M-16 lebih lanjut kepada unit-unit selain asal AS. Yang memperumit keputusan ini adalah kenyataan bahwa Komando Bantuan Militer, Thailand, telah memberi tahu Angkatan Darat Kerajaan Thailand tentang tanggal pengiriman aslinya. Rencana telah dibuat untuk mempersenjatai Resimen Relawan Angkatan Darat Kerajaan Thailand dengan senjata pertama yang diterima, yang akan memungkinkan pelatihan dilakukan sebelum penempatan. Alternatif yang dapat diterima adalah dengan memberikan M-16 kepada resimen Thailand setelah dikerahkan ke Vietnam Selatan. Semua senapan M-16 di Thailand diketahui berada di tangan elemen pasukan infanteri dan pasukan khusus yang sudah terlibat pertempuran dengan pemberontak di timur laut Thailand. Kegagalan untuk menyediakan senapan selambat-lambatnya pada bulan April, menurut pandangan komandan Komando Bantuan Militer Thailand, akan berakibat ke pasukan sekutu lainnya, khususnya asal Korea. Muncul ide untuk memberikan senapan M-14 pada tentara Thailand, namun fakta bahwa tentara Korea dilengkapi dengan senapan M1, yang lebih tua, pemberian M-14 ke Thailand mungkin memiliki konsekuensi politik. Sebagai kompromi, orang Thailand diberikan senapan karabin M2.

QUEEN COBRA & BLACK PANTHER

Orang-orang Thailand pertama berangkat ke Vietnam Selatan setelah mengikuti upacara perpisahan spektakuler yang dilakukan di lokasi paling suci di Bangkok. Mereka mengambil sumpah di depan altar ikon Buddha paling suci di Thailand, Wat Phra Kaew, atau Buddha Zamrud. Biksu Buddha senior memberkati barisan mereka yang lewat saat mereka berbaris di depan puluhan ribu penonton yang bersorak. Massa memadati Pelabuhan Khlong Toei Bangkok untuk melihat para prajurit mereka pergi. Pengerahan Resimen Relawan Tentara Kerajaan Thailand (Queen Cobra) ke Vietnam Selatan ini lalu dibagi menjadi empat fase. Bertindak sebagai unit pelopor resimen, kompi zeni meninggalkan Bangkok dengan menggunakan kapal LST Angkatan Laut Kerajaan Thailand pada tanggal 11 Juli 1967 dan tiba di Terminal Angkatan Darat Newport pada tanggal 15 Juli. Setelah membongkar peralatannya, kompi itu melakukan perjalanan dengan konvoi ke Bearcat, di mana mereka mulai bekerja membangun base camp. Rombongan awal lalu melakukan perjalanan melalui udara ke Bearcat pada tanggal 20 Agustus. Rombongan utama Resimen Queen Cobra tiba pada periode 19-23 September 1967. Unit terakhir yang mencapai Vietnam adalah peleton APC, yang telah menyelesaikan pelatihannya pada tanggal 25 September dan diterbangkan ke Vietnam Selatan pada tanggal 28 November. Setelah serangkaian operasi gabungan kecil sepihak dan lebih besar dengan unit Vietnam Selatan, resimen Thailand meluncurkan Operasi Narasuan pada bulan Oktober 1967. Ini adalah operasi besar pertama pasukan Thailand, yang membantu mengamankan Distrik Nhon Trach di Provinsi Bien Hoa dan berhasil menewaskan 145 musuh. Prajurit Thailand terbukti merupakan pejuang yang pandai dan gigih, yang menunjukkan kebanggaan besar dalam profesinya. Selain berpartisipasi dalam operasi tempur, unit Thailand secara khusus aktif dalam proyek aksi bantuan sipil dalam wilayah tanggung jawab mereka. Selama Operasi Narasuan, orang-orang Thailand membangun sebuah rumah sakit, membangun jalan baru sepanjang 48 kilometer, dan merawat hampir 49.000 pasien sipil melalui unit medis mereka. Pengerahan unit baru tentara Thailand dimulai dengan kedatangan pasukan pendahulu pada tanggal 1 Juli 1968 dan selesai pada tanggal 15 Juli. Pasukan tambahan dari Thailand segera menyusul. Kiriman pertama tentara dari divisi Thailand yang dikenal sebagai Divisi Black Panther (5.700 orang), tiba di Vietnam Selatan pada akhir Juli 1968 dan ditempatkan di daerah Bearcat. Pengiriman kedua dari 5.704 orang mulai ditempatkan pada bulan Januari 1969 dan menyelesaikan pemindahan keseluruhan pada tanggal 25 Februari. Penambahan ini berisi markas divisi dan markas kompi (belakang), Brigade Infanteri ke-2, yang terdiri dari tiga batalyon infanteri, dua batalyon artileri, dan sisa pasukan divisi tempur, dukungan tempur, dan elemen dukungan layanan tempur. Divisi ini berada di bawah kendali operasional Commanding General, II Field Force, Vietnam.

Batalyon dari Resimen Queen Cobra Thailand di Phuoc Tho. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Panji Divisi Black Panther diturunkan dari USS Okanogan, Newport, 29 Juli 1968. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Struktur tentara Thailand di Vietnam. (Sumber: http://webdoc.sub.gwdg.de/)

OPERASI TENTARA THAILAND DI VIETNAM

Daerah operasi yang ditugaskan kepada Thailand ditandai dengan aktivitas musuh yang rendah karena wilayah tersebut lebih digunakan oleh Viet Cong terutama sebagai sumber makanan dan pakaian. Selalu bergerak terus-menerus dan membangun base camp baru, musuh hanya memiliki sedikit waktu untuk melakukan aksi ofensif. Akibatnya, operasi musuh yang dilakukan di wilayah tanggung jawab tentara Thailand tidak sepenting operasi musuh di tempat lainnya. Meskipun demikian, pihak Thailand sendiri dapat melancarkan operasi yang efektif. Operasi khas Thailand yang terencana dengan baik dan sukses adalah misi pencarian dan pembersihan yang dilakukan oleh Batalyon ke-2 dan 3 dari Brigade ke-2, Pasukan Sukarelawan Angkatan Darat Kerajaan Thailand. Operasi itu terjadi di sekitar Ben Cam di Distrik Nhon Trach Provinsi Bien Hoa selama periode 24 November 1969-4 Desember 1969. Misi tersebut mengharuskan area musuh di selatan desa Ben Cam diblokir dan kemudian disapu bersih dari gerilyawan lokal. Dengan menggunakan enam kompi senapan, pihak Thailand memblokir sebuah area yang dibatasi di utara oleh Highway 25, di barat oleh jalur yang dibuat oleh pasukan zeni di sekitar desa Ben Cam, dan di timur dengan jalur buatan lain yang lebarnya sekitar empat puluh meter. Batas selatan terdiri dari jalan setapak yang membentang dari Pangkalan Pendukung Tembakan Tak ke arah barat. Setelah pasukan pemblokiran berada di posisinya, elemen pasukan bagian barat mulai melakukan penyisiran pada garis yang lebarnya kira-kira 500 meter. Setelahnya pasukan ini dipindahkan ke timur sekitar 500 meter, sedangkan pasukan pemblokiran selatan dipindahkan dengan jarak yang sama ke utara. Proses ini diulang sampai area objektif dikurangi luasnya menjadi tinggal satu kilometer persegi. Personel pengintai Kit Carson dan satu pembelot dari pihak musuh yang menjadi informan lalu membantu mencari kompleks bunker musuh. Sebagai hasilnya hanya ada dua korban yang diderita akibat jebakan. Dua buldoser dan dua peleton pasukan zeni digunakan selama operasi pemblokiran. Misi mereka terdiri dari aksi memotong jalan utara-selatan, timur-barat di daerah yang disapu oleh pasukan yang bergerak maju. Sebuah rute dipilih untuk dipotong dan personel zeni, yang kemudian membersihkan area hutan dengan torpedo bangalore. Buldoser mengikuti dan menambah lebar potongan menjadi empat puluh meter. Elemen pasukan infanteri memberikan pengamanan bagi pasukan zeni selama operasi ini. Sepanjang manuver, kemajuan pasukan infanteri berada di sesuai rencana dan tidak ada celah bagi musuh saat sapuan memaksa pasukan musuh terkurung ke bagian tengah. Sementara itu pengamanan malam tentara Thailand sangat luar biasa. Pada tiga kesempatan berturut-turut, Viet Cong mencoba keluar dari jebakan, dan dalam ketiga kesempatan mereka berhasil dipukul mundur. Intelijen melaporkan bahwa tujuh Viet Cong terluka dalam upaya ini.

Contoh konsep operasi tentara Thiland di Vietnam. (Sumber: http://webdoc.sub.gwdg.de/)
Penembak granat dari batalion Resimen Queen’s Cobra membawa senjata M79 di Phuoc Tho pada tahun 1967. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Tentara Thailand membasuh diri di kolam kecil saat istirahat dalam operasi, Nhon Trac, tanggal 19 Oktober 1967. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Kemudian dalam hubungannya dengan operasi taktis, tim AS-Thailand melakukan operasi psikologis. Semua orang yang kembali di bawah program amnesti Chieu Hoi (tangan terbuka) diwawancarai sepenuhnya dan dalam 60 persen kasus, rekaman wawancara ini dibuat. Kaset-kaset ini biasanya diputar ulang ke Viet Cong dalam waktu empat jam. Tema-tema tersebut pada dasarnya adalah permohonan kepada Viet Cong untuk kembali ke pangkuan pemerintah selagi masih memungkinkan, untuk melenyapkan para pemimpin dan melakukan perlawanan, untuk mendapatkan perawatan medis, dan untuk membawa senjata mereka. Setelah semua cara untuk menarik musuh keluar telah digunakan dan upaya lanjutan tidak berhasil, sebuah pesawat C-47 dengan minigun digunakan untuk menghujani sepenuhnya area satu kilometer persegi yang tertutup itu. Hasil dari operasi ini adalah 14 musuh tewas, 6 tahanan didapat, dan 12 orang membelot. Sekitar 21 senjata ringan dan 2 senjata berawak juga berhasil dirampas. Sementara dukungan udara digunakan pada tahap terakhir dari operasi khusus ini, orang-orang Thailand pada umumnya menggunakan kekuatan udara secara terbatas. Perwira penghubung Angkatan Udara AS yang berpartisipasi dalam operasi Thailand lainnya menemukan bahwa serangan udara yang telah direncanakan lebih mudah diterima oleh komandan darat Thailand daripada dukungan udara taktis jarak dekat. Markas besar divisi Angkatan Darat Thailand rata-rata meminta satu serangan terencana setiap hari. Permintaan itu dibuat begitu otomatis dan sebagai hal yang rutin sehingga bagi pasukan AS di unit kontrol udara taktis tampaknya tentara Thailand meminta serangan yang direncanakan itu seperti layaknya kesopanan khas ala Thailand.

Pasukan Royal Thai Army di selatan Bearcat menurunkan pasokan dari helikopter UH-1D dari 240th Helicopter Assault Company, tanggal 23 Januari 1971. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Dua anggota Resimen Queen’s Cobra Thailand memiliki tugas berat menjaga tumpukan mayat Viet Cong yang hancur setelah pertempuran 15 mil di sebelah timur Saigon pada bulan Desember 1967. Resimen tersebut, tidak seperti pasukan Sekutu lainnya yang datang untuk berperang di Vietnam, memiliki budaya yang hampir sama dengan Viet Cong. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Komandan Amerika di Vietnam, Jenderal Westmoreland memberi penghargaan kepada kontingan asal Thailand. (Sumber: https://www.historynet.com/)

Untuk dukungan pasukan jarak dekat, helikopter dan tempur sayap tetap lebih disukai. Permintaan untuk pesawat pembom tempur sangatlah jarang. Seorang perwira penghubung udara menyatakan bahwa komandan darat Thailand tidak menganggap dukungan udara jarak dekat sebagai kebutuhan selama pertempuran. Mereka cenderung memintanya hanya setelah kontak terputus dan pasukan sahabat berada pada jarak yang aman dari serangan. Dengan demikian, menjadi tugas perwira penghubung untuk mendidik para komandan darat. Dengan salah satu dari dua brigade Thailand yang dirotasi setiap enam bulan, proses pendidikan terus berlanjut. Sebagai bagian dari program pendidikan, Angkatan Darat dan Angkatan Udara AS melakukan demonstrasi pengeboman dan pemakaian napalm dengan pengamat Thailand yang ditempatkan tiga kilometer jauhnya. Bahkan pada jarak ini hasilnya sangat jelas dan menakutkan. Setelah itu, sebagai hasil dari pengalaman ini, para komandan Thailand selalu menarik pasukan mereka mundur sekitar tiga kilometer dari target sebelum melakukan serangan udara. Selain pasukan darat, Thailand juga memiliki kontingen angkatan udara di Vietnam Selatan. Meskipun tidak pernah besar, kontingen angkatan udara Thailand mencapai kekuatan terbesarnya pada akhir tahun 1970. Jumlah total orang Thailand yang bertugas dalam Victory Flight, sebagaimana operasi transportasi di Vietnam diberi nama, telah berkembang dari enam belas menjadi empat puluh lima orang. Tiga pilot dan lima teknisi penerbangan terbang bersama orang-orang Vietnam menggunakan pesawat-pesawat C-47 Angkatan Udara Vietnam; sembilan pilot, tujuh teknisi penerbangan, dan tiga loadmaster menerbangkan pesawat-pesawat C-123K dengan Skuadron Pengangkutan Udara Taktis ke-19 Angkatan Udara AS, yang seperti Skuadron ke-415 Vietnam Selatan, dilengkapi dengan pesawat-pesawat C-47 dan berada di pangkalan udara Tan Son Nhut. Anggota penerbangan yang tersisa melakukan pekerjaan di lapangan dalam bidang intelijen, komunikasi, teknik penerbangan, pemuatan, dan operasi. Bagaimanapun, secara keseluruhan pasukan Thailand bertempur dengan baik. Dari markas mereka di Bear Cat Camp di Provinsi Bien Hoa, mereka bentrok dengan Viet Cong dalam pertempuran menengah dan kecil di sepanjang Rute Nasional 15 yang penting yang menghubungkan pelabuhan Vung Tau ke daerah-daerah di sekitar Saigon. Surat kabar Thailand pada hari-hari itu kerap melaporkan keberhasilan dalam perbandingan rasio mengesankan antara korban di pihak tentara musuh dengan kematian di pihak Thailand yang tampak seperti layaknya penghitungan skor olahraga, seperti “Dalam 150 Pertempuran, 100 (Orang Thai) gugur, dan 1.000 Viet Cong Dibunuh.” Banyak veteran mengingat bagaimana bahkan Jenderal William C. Westmoreland, komandan Komando Bantuan Militer — Vietnam, memuji mereka.

KEBUTUHAN DI LAOS

Tetapi Amerika memiliki masalah lain di mana banyak orang dibutuhkan, yakni di Laos. Negara di mana mereka perlu memenangkan perang saudara lokal dan mengalahkan orang-orang komunis Vietnam dalam mempertahankan dukungan mereka terhadap Viet Cong di Vietnam Selatan. Dan di Laos, Amerika membutuhkan lebih banyak orang secara signifikan, karena di Vietnam mereka relatif dapat berperang sendiri, namun mereka tidak dapat menyerang Laos, yang resminya “netral”. Oleh karenanya apa yang dilakukan Amerika di Laos adalah “perang rahasia”. Pada tahun 1969, ketika Jenderal Hmong Vang Pao dan kaum royalis mulai kehabisan tidak hanya personel, tetapi juga sumber daya untuk dimobilisasi, Amerika yang bertanggung jawab atas perang di tempat itu (jelas operasi Amerika di Laos adalah untuk melawan “Ho Chi Minh Trail“, yang menjadi vital untuk mengurangi tekanan perang di Vietnam selatan) menghadapi pertanyaan tentang ke mana harus menutupi kekurangan ini. Sumber tenaga ini berasal dari Thailand. Misi utama mereka adalah untuk melawan pasukan gerilya Vietnam Utara yang berlindung di Laos. Skuadron Komando Udara ke-606 Angkatan Udara AS juga tercatat telah melatih pasukan Thailand dalam operasi kontra-pemberontakan, dan angkatan udara Thailand dikerahkan untuk mendukung pasukan darat. 

Upcountry Meeting”, lukisan karya Dru Blair dari Koleksi Seni CIA yang menunjukkan pertemuan di suatu tempat di timur laut terpencil Laos antara Bill Lair dan komandan Hmong Vang Pao. Medan tempur Laos yang ‘terlarang’ bagi personel Amerika, membutuhkan tambahan tenaga dari orang-orang Thailand. (Sumber: https://juleswings.wordpress.com/)

OPERASI UNITY

Tanda-tanda pertama partisipasi unit artileri Angkatan Darat Thailand bersama dengan senjata mereka dalam pertempuran di Laos dimulai pada tahun 1964, melawan gerilyawan Pathet Lao di lembah Plain Of Jars. Pada tanggal 4 Juli 1964, untuk mempersiapkan Operasi Triangle di Laos, sebuah batalion artileri Kerajaan Thailand yang terdiri dari 279 orang diterbangkan dari Korat, Thailand ke Plain Of Jars, Laos. Dilengkapi dengan howitzer kaliber 155mm dan lima berkaliber 105mm, batalion artileri Thailand ditempatkan untuk mendukung Forces Armées Neutralistes (FAN) pimpinan Kong Le. Permintaan untuk unit Thailand disebut sebagai Proyek 008; sebagai batalion pertama yang dikerahkan, unit itu dijuluki Special Requirement 1. Aksi unit artileri Thailand ini menandai dimulainya Operasi Unity, yakni nama kode untuk pasokan rahasia tentara bayaran Thailand ke Kerajaan Laos selama Perang Saudara Laos, yang akan berlangsung hingga bulan Maret 1973. Dua batalyon artileri ini adalah detasemen pertama orang-orang Thailand yang bertempur di Laos yang akan diikuti oleh unit-unit lainnya. Tiga unit pasukan khusus Thailand bergabung dengan Grup Pasukan Khusus ke-1 AS, dan pada awal Mei 1966. Pasukan gabungan kemudian mulai melakukan misi selama 30 hari ke lokasi terpencil yang dirahasiakan tidak hanya di dalam wilayah Laos, tetapi juga di seluruh Indochina. Pasukan Thailand diketahui sangat efektif dalam menjalankan misi-misi mereka, sehingga Thailand kemudian menjadi sasaran serangan gerilya yang terus meningkat. Pada tahun 1967, gerilyawan membunuh 138 orang, termasuk 78 pejabat pemerintah Thailand. Pangkalan Udara Kerajaan Thailand Udorn juga mengalami serangan gerilya pada Juli 1968. Beberapa pesawat hilang, dan lima personel Amerika dan Thailand terluka. Empat dari penyusup tewas, di antaranya seorang perwira Angkatan Darat Vietnam Utara. Serangan gerilya di pangkalan udara Udorn itu menyebabkan hilangnya beberapa pesawat angkut C-141 dan pesawat tempur F-4D AS serta helikopter HU-43. Setelah serangan di pangkalan udara itu, operasi kontra pemberontakan dan misi rahasia Thailand justru meningkat. Pada bulan Juli 1968 tiga kelompok pasukan khusus Thailand dikirim ke Laos untuk melakukan misi pengintaian jarak jauh. Pada tahun 1970, batalion artileri tambahan SP9 dari Thailand, dikerahkan ke pangkalan utama pasukan sekutu Amerika di Long Cheng untuk membantu suku Hmong yang mulai kewalahan. Pada saat itu, pasukan Vang Pao hanya dapat bertahan dengan mengandalkan unit-unit semacam ini. Namun jumlah puncak orang-orang Thailand yang bertempur di Laos baru terjadi pada awal tahun tujuh puluhan. Diperkirakan 21.000 orang Thailand beroperasi di Laos pada tahun 1973. Mereka sering berpakaian dan hidup sama seperti populasi etnis Lao dan Hmong di tempat itu. 

Perwira paramiliter Divisi Unit Khusus CIA “Vint” Lawrence di Laos sekitar tahun 1964. Perhatikan wing logam PARU Thailand yang dikenakan pada baretnya. (Sumber: https://juleswings.wordpress.com/)
Personel PARU Thailand dan petempur Hmong. (Sumber: https://juleswings.wordpress.com/)

Pada tahun 1970, terjadi kudeta pimpinan Jenderal Lon Nol, di negara tetangga Kamboja. Pemerintah Thailand kemudian mempersiapkan 5.000 prajurit untuk masuk ke negara itu. Tetapi Amerika berhasil meyakinkan orang-orang Thailand bahwa kekuatan ini lebih berguna dikirim bukan di Kamboja, tetapi di Laos. Segera kemudian bertambah satu unit tentara baru yang ada di bawah kendali orang-orang Amerika di Laos. Orang-orang Thailand baru ini lalu dilatih dan diorganisasikan ke dalam unit-unit seukuran batalyon, masing-masing beranggotakan 495 orang. Masa kontrak prajurit di batalyon itu diperkirakan satu tahun, kemudian bisa diperpanjang lagi. Batalyon tempur ini kemudian menerima penomoran batalyon komando Laos dan nomornya dimulai dengan angka “6” – sebagai pembeda antara unit Thailand dari Laos. Batalyon pertama menerima nomor 601, 602, dan seterusnya. Persiapan dari batalyon 601 dan 602 berakhir pada awal bulan Desember 1970, dan pada pertengahan Desember mereka sudah dikirimkan ke dalam pertempuran. Orang-orang Amerika, yang terbiasa dengan kualitas prajurit Laos yang payah, kabarnya cukup terkejut dengan aksi dari unit-unit Thailand ini. Mulai saat itu, baik dalam operasi melawan “Ho Chi Minh Trail“, dan dalam pertempuran di wilayah Laos sendiri, peran dan jumlah orang Thailand yang dilibatkan akan terus bertambah. Di sisi lain, karena ingin mendapatkan tentara sebanyak mungkin, CIA mulai merekrut orang-orang tanpa pengalaman militer ke kamp pelatihan. Akibatnya, ketika pada bulan Juni 1971, jumlah unit tentara bayaran Thailand yang dikirim berperang di Laos adalah 14.028 orang, maka pada akhir bulan September, jumlahnya melonjak menjadi 21.413. Karena kaum royalis dan Hmong semakin menyusut jumlahnya, proporsi orang Thailand berkembang makin besar. Pada akhir tahun 1972, orang-orang Thailand menjadi tulang punggung utama kekuatan serang pasukan royalis. 

Tentara bayaran Thailand di Laos. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Keberadaan personel asal Thailand krusial bagi perkuatan tentara Royalis Laos. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Tentara Pathet Lao di Vientiane, Laos, tahun 1973. Tentara bayaran Thailand terus “bertugas” di Laos hingga sebelum gencatan senjata berlaku di bulan Februari 1973. (Sumber: https://www.wikiwand.com/

Faktanya, mereka adalah satu-satunya kekuatan militer yang efektif yang berperang melawan orang-orang Vietnam di Laos. Orang Hmong, memang kadang-kadang bisa melumpuhkan sebagian unit NVA (tentara Vietnam Utara) dari posisi mereka dengan dukungan udara dari pijak Amerika, namun secara signifikan kualitas mereka lebih rendah daripada orang-orang Thailand dalam segala hal. Meski demikian, semuanya akan segera berakhir. Selama serangan balik yang kuat di Lembah Plain Of Jars pada tahun 1971, pasukan komunis Vietnam menimbulkan kekalahan besar di pihak tentara bayaran Thailand. Untuk pertama kalinya diterjunkan ke Laos, jet-jet tempur MiG Vietnam Utara ‘membersihkan langit’ untuk unit-unit darat VNA dan memberikan kondisi yang menguntungkan untuk melancarkan serangan. Meriam-meriam buatan Soviet kaliber 130 mm juga memungkinkan orang-orang Vietnam menaklukkan unit-unit artileri tentara Thailand. Terbiasa dengan dukungan udara dari pihak Amerika, orang-orang Laos dan Thailand, tidak dapat mempertahankan posisinya ketika musuh mendominasi langit. Meski demikian tanpa tentara bayaran asal Thailand, perang di Laos akan dengan cepat dimenangkan oleh Vietnam dan Pathet Lao sekitar akhir tahun 1971. Dengan adanya orang-orang Thailand, pihak Royalis Laos mampu bertahan selama beberapa tahun lagi. Secara total, sebagai bagian dari Operasi Unity, Amerika telah menyiapkan 27 batalyon infanteri dan 3 batalyon artileri. Tentara bayaran Thailand terus “bertugas” hingga sebelum gencatan senjata berlaku di bulan Februari 1973. 

PERSONEL UDARA THAILAND DI LAOS

Pilot-pilot Thailand juga diketahui turut memainkan peran khusus dalam perang udara di Laos. Mereka tidak hanya sebagai pilot, tetapi juga sebagai pengendali udara garis depan. Terbang dengan pesawat Cessna bermesin ringan sebagai pengamat, terkadang dengan pilot Amerika (yang juga tentara bayaran), dan terkadang terbang sendirian, personel Thailand merupakan bagian penting dari unit yang dikenal sebagai FAC Ravens. Kelompok pemandu udara membantu mengakuisisi target dengan akurat dan menilai hasil serangan udara. Orang-orang Thailand, seringkali walau dengan pengalaman terbang yang minim, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pekerjaan kelompok ini. Pada saat yang sama, Amerika juga mengajar pilot-pilot Thailand tidak hanya dalam memberikan dukungan udara kepada kaum royalis di Laos, tetapi juga berpartisipasi dalam perang di wilayah Thailand sendiri melawan kelompok pemberontak yang ada dibawah pengaruh China komunis. Dari tahun 1971, beberapa helikopter UH-1 juga dipiloti oleh pilot-pilot asal Thailand yang dilatih oleh Amerika.

Pilot Amerika dan pengamat udara asal Thailand di Laos. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Observer udara Thailand di Laos. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

CATATAN AKHIR

Sementara itu selain memerangi infiltrasi Pathet Lao, orang-orang Thailand harus berhadapan dengan Viet Cong, separatis Muslim, dan teroris China. Semua kelompok itu selalu menjadi ancaman bagi stabilitas pemerintah Thailand, baik melalui serangan ala teroris atau konfrontasi langsung di sepanjang perbatasan. Populasi Vietnam yang cukup besar juga masih menjadi perhatian besar. CIA melaporkan bahwa “semua kondisi untuk perkembangan pesat mekanisme subversif ada di Thailand.” Intelijen CIA menunjukkan bahwa China secara aktif bekerja dengan Pathet Lao dan mungkin dengan pemberontakan Muslim di Thailand selatan dan Malaysia. Dengan Thailand menghadapi ancaman di semua lini, AS meningkatkan bantuan militer dan ekonomi yang dikirim. Seperti Vietnam Selatan, Thailand menjadi semakin bergantung pada dukungan AS. Terlepas dari bantuan berharga yang telah diberikan pemerintah Thailand kepada AS, pada bulan Agustus 1970 Presiden Richard Nixon tidak menganggap Thailand sepenting pendahulunya. Menyadari hal ini, pemerintah Thailand memutuskan untuk menghentikan operasi klandestinnya di Laos dan meminta Amerika Serikat untuk menarik pasukan Amerika dari Thailand. Sementara permintaan itu memang pantas dan kekuatannya berkurang dari waktu ke waktu, tindakan Thailand lebih merupakan tindakan kecakapan memainkan politik daripada apa pun. Setelah bulan Juli 1971 Markas Besar, Pasukan Kerajaan Thailand, Vietnam, berkurang menjadi tinggal 204 orang, dan akan tetap pada kekuatan sebesar itu sampai penarikannya pada bulan April 1972, setelah itu hanya kekuatan kecil yang tersisa. Meskipun 48.000 tentara AS akhirnya dipindahkan dari Thailand, operasi rahasia terus berlanjut pada tingkat yang lebih rendah, sampai tahun 1975. Sementara itu, terlepas dari kepergian militer Amerika, Thailand tidak pernah jatuh di bawah kendali komunis seperti tetangganya di timur. Memang, Thailand muncul sebagai salah satu ekonomi terkuat dan paling stabil di kawasan itu. Penarikan pasukan Amerika tidak berarti bahwa bantuan keuangan Amerika berhenti, seperti yang terjadi di Vietnam Selatan, dan itu mungkin salah satu alasan Thailand dapat bertahan sementara yang lain tidak.

Tentara Thailand diangkut pesawat C-130 di Long Thanh untuk dipulangkan. Sementara Perang Vietnam akan dikenang dengan benar sebagai tragedi di Amerika Serikat dan Vietnam, hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk Thailand. (Sumber: http://webdoc.sub.gwdg.de/)

Di sisi lain pada masa perang wilayah Thailand juga digunakan oleh Amerika sebagai tempat rekreasi yang besar. Dari sinilah sektor pariwisata ekonomi Thailand mulai terbentuk dan berkembang pesat seperti sekarang, dan semua ini berkat militer Amerika dan sekutu-sekutunya. Pada puncak perang, sekitar 50.000 personel militer Amerika ditempatkan di seluruh Thailand. Pengusaha Thailand, yang banyak memiliki koneksi ke pemerintah, kemudian membangun sejumlah hotel, restoran, dan bar baru untuk melayani gelombang kunjungan GI Amerika di tempat-tempat rekreasi (R&R). GI ini nantinya akan menyumbangkan sekitar $ 111 juta ke dalam ekonomi Thailand. Di akhir perang, Thailand menyimpan semua peralatan dan infrastruktur-infrastruktur militer yang diberikan dan dibuat Amerika. Kerajaan Buddha ini melihat dirinya dimodernisasi dengan cepat berkat perang. Bekas infrastruktur R&R yang tersisa dari masa perang akan menjadi basis industri pariwisata terkenal di dunia yang telah berkembang pesat sejak pertengahan tahun 1970-an; tahun 2017 wisatawan asing diharapkan menambah hampir $50 miliar bagi perekonomian Thailand. Selama perang, Amerika Serikat tercatat menggelontorkan $1,1 miliar bantuan ekonomi dan militer ke Thailand, sementara USAID menggelontorkan $590 juta lagi, keduanya membantu ekonomi Thailand dan secara tidak langsung membayar biaya partisipasi Thailand dan beberapa pengeluaran lainnya. Yang kurang diperhatikan saat ini adalah biaya mengerikan yang harus dibayar Thailand atas keterlibatannya dalam perang. Selain 351 orang Thailand tewas dalam pertempuran dan 1.351 lainnya terluka di Vietnam. Thailand yang mengirim pasukan sukarelawan ke Laos dalam apa yang disebut Perang Rahasia, banyak di antaranya bertempur dan tewas dalam kondisi yang mengerikan. Di sisi lain, hari ini, para sejarawan sepakat dalam pendapat mereka bahwa tanpa bantuan Thailand, Amerika tidak akan mampu mengobarkan perang seperti yang mereka lakukan kemudian melawan Vietnam Utara. Bagi Thailand sendiri, pengalaman Vietnam dilihat secara berbeda. Pada awal 2000-an, lebih dari 60 veteran Perang Vietnam asal Thailand dari kelompok awal dan penerusnya, unit ukuran divisi yang dikenal sebagai Black Panthers diwawancarai. Mereka berulang kali menekankan keuntungan pengalaman dan materi yang diberikan perang di Vietnam kepada mereka. Mereka berbicara tentang bagaimana keterlibatan mereka berhasil memblokir penyebaran komunisme ke Thailand. Mereka mengagumi betapa banyak Thailand telah berubah selama tahun-tahun masa perang. Dan sementara mereka mengakui korban perang yang mengerikan pada orang-orang di seluruh Asia Tenggara, termasuk beberapa rekan tentara mereka, mereka kebanyakan lebih berbicara tentang bagaimana perang telah membantu mereka dan bangsa mereka.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

AN ALLY WITH A LOT TO LOSE IN VIETNAM By DANA BENNER; 3/17/2020

https://www.historynet.com/an-ally-with-a-lot-to-lose-in-vietnam/?f

Allied Participation in Vietnam

by Lieutenant General Stanley Robert Larsen and Brigadier General James Lawton Collins, Jr.; DEPARTMENT OF THE ARMY; WASHINGTON, D.C. 1985

http://webdoc.sub.gwdg.de/ebook/p/2005/CMH_2/www.army.mil/cmh-pg/books/vietnam/allied/index.htm#contents

Thai mercenaries in the American war. Vietnam and Laos by Alexander Timokhin; June 2019

https://en.topwar.ru/158509-tajskie-naemniki-na-amerikanskoj-vojne-vo-vetname-i-v-laose.html

Why Thailand Takes Pride in the Vietnam War By Richard A. Ruth; Nov. 7, 2017

https://www.google.com/amp/s/www.nytimes.com/2017/11/07/opinion/thailand-vietnam-war.amp.html

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Unity_(military_operation)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Operation_Off_Balance

Thailand Involvement in Vietnam War

Flights Over Laos By Hanoi’s MIG’s Reported by U. S.; April 27, 1971

https://www.nytimes.com/1971/04/27/archives/flights-over-laos-by-hanois-migs-reported-by-us.html

U.S. Reports a MIG‐21 Attack On Unarmed Plane Over Laos; May 12, 1971

https://www.nytimes.com/1971/05/12/archives/us-reports-a-mig21-attack-on-unarmed-plane-over-laos.html

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Thailand_in_the_Vietnam_War

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *