Perang Dunia II

Kemenangan Terakhir! Aksi Pasukan Inggris Hancurkan Tentara Jepang  di Medan Perang Burma

Pada awal bulan Februari 1945, Angkatan Darat ke-14 Inggris sudah berada di tepi Sungai Irrawaddy dan siap menyerang ke wilayah Burma tengah. Para perwira dan prajurit Angkatan Darat ke-14 ini memang kelelahan tetapi sedang dimabuk kemenangan. Tahun sebelumnya mereka telah bertempur dalam pertempuran epik melawan tentara Jepang di dataran Imphal, dengan berhasil menghentikan serangan Jepang dan menyeretnya keluar bersama dengan pasukan Jepang yang mencoba mengepung mereka di sebelah utara, yakni di Kohima. Lebih jauh ke timur, pasukan Inggris, yang dipimpin oleh Brigadir Orde Wingate, yang aneh dan eksentrik, telah terbang ke belakang garis pertahanan Jepang bersama dengan pasukan Sino-Amerika pimpinan Joseph Stilwell dan membersihkan pasukan Jepang dari area Burma utara. Pada akhir tahun 1944 dan awal tahun 1945, tentara Inggris telah mendesak tentara Jepang menjauh dari Imphal, kearah tenggara melintasi Dataran Schewbo. Sekarang Tentara Jepang, yang babak belur dan terdemoralisasi, menunggu di tepi sungai Irrawaddy untuk menghadapi serangan berikutnya dari Angkatan Darat ke-14. 

Kedua satuan Tentara Angkatan Darat ke-14 Inggris yang membebaskan pengepungan Imphal dari tentara Jepang, terhubung di Milestone 109 . (Sumber: https://www.iwm.org.uk/)
Pada tahun 1944, peruntungan perang di Medan Burma telah berbalik melawan Jepang. Kini mereka harus bersiap untuk melawan ofensif pasukan sekutu, yang pasti akan datang. (Sumber: https://www.pinterest.com/)
Aksi Wingate dan unit Chindit-nya melawan tentara Jepang di hutan lebat Burma turut merepotkan garis belakang tentara Jepang. Dalam operasinya Wingate mengandalkan pasokan dari udara, yang nantinya akan menjadi bagian model operasi dari tentara ke-14 Inggris. (Sumber: https://www.lookandlearn.com/)

WILLIAM SLIM & TENTARA KE-14 

Arsitek dari kemenangan Tentara Angkatan Darat ke-14 adalah Jenderal William Slim. Karena keberhasilannya di medan perang Timur Tengah dan pengetahuannya tentang Angkatan Darat Inggris-India, ia diminta oleh Panglima Tertinggi Inggris di India, yakni Sir Archibald Wavell, untuk mengambil alih komando pasukan Inggris di sana. Slim tiba pada awal tahun 1942 dan memimpin kekalahan tentara Inggris di Burma saat itu. Di bawah komando Slim, BurCorps (Burma Corps), sebutan bagi Tentara Inggris di Burma, bertempur dengan gigih tetapi kalah jumlah dan tidak siap menghadapi kegigihan pasukan Jepang, serta taktik infiltrasi mereka. Berkali-kali dikepung, komandan Inggris di medan tempur terus menerus-mundur, hanya untuk dikepung lagi pada pertempuran berikutnya. Slim akhirnya mampu melepaskan pasukannya di Burma dari kehancuran, hal ini merupakan bukti keahliannya sebagai organisator dan komandan tempur. Tidak seperti rekan-rekannya di Angkatan Darat yang lebih berlatar belakang aristokrat, Slim berasal dari latar belakang yang sederhana dan telah naik pangkat dari berbagai jenjang. Dia telah bertugas bertahun-tahun di India dan memimpin divisi Angkatan Darat Inggris-India selama kampanye militer di Irak pada tahun 1941, kemudian di wilayah Vichy Syria dan di Persia. Setelah perang ia menulis sebuah memoar yang luar biasa dari kampanye Burma, yang berjudul Defeat Into Victory. Dalam bukunya, Slim nampak serius dan profesional, tetapi juga ramah dan rendah hati. Di perbukitan India timur, Slim telah mengatur ulang Angkatan Darat ke-14, mengubahnya menjadi kekuatan yang mampu mengalahkan tentara Jepang. Dia memulai program pelatihan yang kuat, dengan menghindari garis pertempuran yang statis dan sebagai gantinya menekankan penggelaran pangkalan kecil yang dilindungi oleh patroli yang agresif. Slim membawa konsep diantara para komandannya, dengan gagasan bahwa mereka tidak boleh mundur ketika unit-unit Jepang mengepung dan ada di belakang mereka. Sebaliknya mereka harus bertahan dan memanggil bala bantuan, karena dalam pikiran Slim orang-orang Jepang yang menyusup-lah, yang nantinya akan balik dikepung. Slim juga melihat adanya potensi pemakaian pasokan dari udara, yang diwujudkan selama operasi gerilya Orde Wingate di wilayah Burma utara, di mana lima brigade Inggris dipasok ulang melalui udara. Slim kemudian menjadikan pasokan lewat udara sebagai bagian integral dari kampanye militernya di Burma Tengah. 

Lukisan potret dari Jenderal Slim sebagai komandan Angkatan Darat Keempat Belas Inggris. Meski dikenal sebagai organisator dan komandan tempur yang baik, namun profil Slim kerap tenggelam diantara jenderal-jenderal sekutu terkemuka dalam Perang Dunia II. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Mayor Jenderal Sir Frank Messervy menginspeksi tentara Inggris dan India dari Divisi Infanteri India ke-17 di Burma. Mayoritas personel Tentara ke-14 Inggris di Burma pada akhir tahun 1944, berasal dari India. (Sumber: https://collection.nam.ac.uk/)
Prajurit dari Resimen Pengintai Divisi ke-81 di Burma, tahun 1944. Kehadiran prajurit dari koloni Inggris di Afrika makin menampilkan citra poliglot dari tentara Inggris di medan tempur Burma. (Sumber: https://southeastasianlibrarygroup.wordpress.com/)

Tentara ke-14 Slim sendiri adalah unit yang poliglot, terdiri dari campuran pasukan dari seluruh Kerajaan Inggris. Pada akhir tahun 1944, mayoritas prajurit yang bertugas di Angkatan Darat ke-14 Inggris sebenarnya bukan orang Inggris asli, karena dari 12 divisi yang membentuk Angkatan Darat ke-14 Inggris, hanya 2 yang merupakan divisi asli Inggris, 7 lainnya berasal dari India, dan 3 divisi sisanya berasal dari koloni Inggris di Afrika. Sebuah divisi Angkatan Darat Inggris-India biasanya terdiri dari tiga brigade infanteri, masing-masing terdiri dari tiga batalyon; dua dari batalyon ini adalah berasal dari orang-orang India––campuran Hindu, Muslim, Sikh, atau Gurkha––sementara yang ketiga dari Inggris. Sementara itu, tiga divisi lainnya, yakni Divisi ke-11, 81, dan 82, berasal dari Afrika. Pada tahun 1945, Angkatan Darat ke-14 telah menjadi sangat terspesialisasi dengan adanya personel-personel yang menjadi awak tank, pasukan zeni, pasukan serbu udara, brigade penetrasi jarak jauh, dan sejumlah spesialis militer lainnya. Tentara ke-14 saat itu telah menjadi Tentara Persemakmuran Inggris terbesar dalam Perang Dunia Kedua, dengan hampir satu juta orang bertugas bersamanya pada akhir tahun 1944. Mereka terdiri dari Korps ke-IV di bawah pimpinan Letnan Jenderal Frank Messervy dan Korps ke-XXXIII di bawah komando Letnan Jenderal Montagu Stopford, yang bersama-sama mengendalikan enam divisi infanteri, dua brigade lapis baja dan tiga brigade infanteri independen. Angkatan Darat ke-14 yang baru, yang telah ditempa menjadi prajurit tangguh untuk beroperasi di hutan-hutan dan perbukitan di sekitar Imphal, telah menghabiskan akhir tahun 1944 dan awal tahun 1945 mengejar tentara Jepang melintasi kawasan Burma tengah ke Sungai Irrawaddy yang besar. Sebenarnya, Slim berharap bahwa komandan Jepang yang baru dari Tentara Area Burma, Jenderal Heitaro Kimura, akan melakukan pertahanan yang fanatik di Dataran Schewbo, yang memungkinkan Angkatan Darat ke-14 untuk mengepung dan memusnahkan pasukan Jepang di sana. Kimura dikenal sebagai ahli artileri, dan baru saja bertugas di Markas Besar Militer Kekaisaran Jepang. Sayangnya bagi Slim, Kimura tidak mudah diprediksi dibanding dengan para pendahulunya. Melihat apa yang terjadi pada Angkatan Darat ke-15 Jepang di sekitar Imphal, di mana mereka telah menyerang dan bertempur tanpa harapan untuk menang, Kimura memutuskan untuk melakukan aksi penundaan di Dataran Schewbo dan sebagai gantinya mengumpulkan kekuatannya di Irrawaddy. Dia memang akan berjuang untuk mempertahankan tepi barat sungai, tetapi percaya bahwa pertempuran utama harus terjadi di sepanjang tepi timur sungai. Taktik Kimura ini tidak biasa bagi seorang komandan Jepang, tetapi taktik itu jitu. Adapun bagi Slim, pertahanan tentara Jepang habis-habisan di Dataran Schewbo akan memungkinkan unit mekanis Inggris untuk mengepung pasukan musuh, yang akan dijepit di tempat terbuka dan dibombardir dari udara. Kini dengan taktik yang dipilih Kimura, maka setiap upaya tentara Inggris menyeberang Sungai Irrawaddy akan mendapat perlawanan berat dari tentara Jepang. Dari sudut pandang militer sendiri, menyeberangi sungai dibawah tembakan gencar musuh, merupakan salah satu dari manuver peperangan yang paling sukar dilakukan. 

ORANG-ORANG JEPANG YANG DIHAJAR DAN DIKALAHKAN

Meski demikian, di Imphal, Angkatan Darat ke-15 Jepang telah kehilangan keunggulannya. Divisi ke-15, ke-31, dan ke-33, yang berada di ujung garis pasokannya yang terentang panjang, telah ditahan oleh prajurit-prajurit Inggris yang bertahan dengan kuat, serta dapat mengandalkan dukungan udara reguler, pasokan ulang lewat udara, dan dikomandoi oleh Jenderal Slim, yang sama sekali menolak untuk mempertimbangkan kemungkinan menelan kekalahan dalam pertempuran untuk mempertahankan Imphal. Divisi-divisi Jepang ini sekarang memiliki kekuatan sekitar setengah dari seharusnya, dengan pasukan yang tersisa didera oleh kekurangan gizi dan disentri. Semangatnya juga rendah. Sementara itu, tiga divisi lain—ke-2, ke-49, dan ke-53—juga turut dikerahkan. Bala bantuan Jepang juga dapat ditemukan di antara Tentara ke-33 Jepang di sebelah utara, yang saat itu sedang memerangi tentara Amerika dan China, dan Tentara ke-28 Jepang di wilayah Arakan di bagian selatan Burma. Ada juga unit Tentara Nasional India pimpinan Subhas Chandra Bose yang tersebar di antara unit-unit tentara Jepang. Posisi kunci bagi tentara Kimura adalah di kota Meiktila, sekitar 50 mil (80 km) selatan Mandalay. Kota itu adalah jalan raya dan pusat jalur kereta api, yang melaluinya arus pasokan bagi Jepang di utara Burma mengalir. Tanpa Meiktila, posisi Kimura di Mandalay dan Burma tengah tidak akan dapat dipertahankan. Slim mengerti bahwa Kimura dan Angkatan Darat ke-15 Jepang tidak punya pilihan selain membuat pertahanan fanatik di tepi Irrawaddy, dan dia senang melawan mereka di sana––hanya saja dia tidak berniat untuk menghancurkan pertahanan Jepang begitu saja. Rencana Slim, yang diberi nama Operation Capital, terkonsentrasi di Meiktila.

Subhas Chandra Bose menginspeksi Tentara Nasional India, yang berpihak pada Jepang pada tahun 1944. Unit-unit ini turut membantu pertahanan tentara Jepang di Burma. (Sumber: https://www.theweek.in/)
Tentara Jepang dengan menyandang SMG Type 100 di punggung dan pedang samurai. Setelah dipukul mundur di Imphal dan Kohima, Tentara Jepang tidak memiliki pilihan lain selain bertahan di tepi Sungai Irrawaddy menanti ofensif sekutu selanjutnya. (Sumber: https://www.pinterest.com/)

Di utara, Korps ke-33 (terdiri dari Divisi ke-2 Inggris, Divisi India ke-19, Divisi India ke-20, Brigade India ke-268 dan Brigade Tank India ke-254) akan melaju di tepi timur Irrawaddy ke Mandalay dan menjepit pasukan Jepang di daerah tengah Sungai Irrawaddy. Ini hanyalah aksi tipuan. Serangan yang sebenarnya—“yang vital”, demikian Slim menyebutnya—akan terjadi di selatan, di Pakokku. Di sini, Korps ke-4 akan menyeberangi Irrawaddy dan kemudian bergerak sejauh 50 mil (80 km) ke timur ke Meiktila, dengan mematikan komunikasi radionya. Mereka akan digabungkan dengan sisa pasukan Angkatan Darat ke-14, yang didukung lewat pasokan udara, dan oleh karena itu merebut sepasang lapangan terbang di timur laut Meiktila menjadi tujuan utamanya. Slim menulis, “Jika kita merebut Meiktila sementara Kimura bertempur sengit di sepanjang Irrawaddy hingga Mandalay, dia akan terpaksa melepaskan pasukan besarnya untuk melindungi jalur komunikasi vitalnya.” Oleh karena itu, Slim berharap tentara Jepang akan sekali lagi menyerang pertahanan Inggris, kali ini di hutan sekitar Meiktila. Jenderal Frank Meservey yang cakap memimpin Korps ke-4. Meservey telah bertempur ekstensif di Afrika, Ethiopia, Libya, dan Mesir sebelum dikirim ke India pada tahun 1942. Dia memimpin Divisi Inggris ke-7 selama serangan Arakan yang gagal pada tahun 1943 dan selama pertempuran Admin Box, di mana dia dikejutkan dan dihantam keras, tetapi tetap bertahan dengan gigih sampai pasukan Jepang mundur. Bagi Slim, dia adalah satu-satunya orang yang bisa memimpin serangan cepat ke Meiktila. Dia menulis bahwa Meservey “memiliki temperamen keras, optimis, menginspirasi, dan tidak terlalu memperhitungkan masalah tantangan yang saya pikir akan diperlukan untuk tugas-tugas yang saya rancang untuk Korps ke-4.” Korps itu terdiri dari Divisi Inggris ke-7 bekas pimpinan Meservey, Brigade Leshai, Brigade Afrika Timur ke-14, Brigade Lapis Baja ke-255, dan Divisi India ke-17. Divisi India ke-17 dipimpin oleh Jenderal David “Punch” Cowan. Baginya diberikan tugas untuk merebut Meiktila (Brigade Lapis Baja ke-255 akan menyetang ke utara dan kemudian ke timur menuju ke landasan udara) dan kemudian mempertahankan kota itu dari serangan balik Jepang yang diperkirakan akan datang. 

MENYEBERANGI IRRAWADDY

Langkah pertama yang perlu dilakukan pasukan Inggris adalah menyeberangi sungai Irrawaddy. Sungai ini sendiri, yang termasuk dalam salah satu sungai terbesar di dunia, melintasi Burma sepanjang 1.300 mil (2.092 km), dimana 1000 mil (1.600 km) diantaranya bisa dilayari kapal besar dari lautan. Dalam melintasinya, divisi ke-7 Inggris akan membuka Operation Capital dengan menyeberangi Irrawaddy dan membangun pijakan di tepi timur. Brigade India ke-33 akan menjadi yang pertama menyeberang, sementara di utara dan selatan Brigade Afrika Timur ke-28 dan ke-114 akan membuat gerakan yang berisik untuk mengalihkan perhatian tentara Jepang. Sebelum serangan yang sebenarnya, brigade-brigade ini dilatih untuk melakukan penyeberangan di malam haru. Armada yang mengesankan untuk mengangkut mereka, yang terdiri dari 120 perahu dan 18 rakit kemudian dikumpulkan. Armada ini akan mengangkut Brigade ke-33 melintasi sungai dengan satu batalion bisa diseberangkan pada satu waktu. Operasi dimulai pada dini hari tanggal 14 Februari. Meskipun penyeberangan mengalami banyak masalah—beberapa unit hilang dalam kegelapan, perahu hanyut ke hilir, dan adanya tembakan hebat setelah pasukan Jepang dan Tentara Nasional India menyadari bahwa mereka sedang diserang. Waktu musuh menyadari, sebagian besar dari brigade itu telah diangkut ke tepi timur Irrawaddy pada akhir hari; sementara desa terdekat, yakni Nyaungu sudah berada di tangan Inggris. Pasukan Jepang di sekitar Nyaungu dan di sebelah utara dan selatan mundur, meninggalkan tepian timur sungai jatuh ke tangan Inggris. Meservey kemudian memerintahkan Divisi India ke-17 dan Brigade Lapis Baja ke-255 untuk dibawa ke seberang. Butuh waktu seminggu untuk membawa pasukan ini ke tepi timur dan mengumpulkan perbekalan yang dibutuhkan untuk operasi selanjutnya. Tapi Meservey dan Korps ke-4 punya cukup waktu karena tentara Jepang sepertinya lumpuh, tidak bisa bereaksi dengan cepat. Ketika operasi pasukan Inggris berlangsung di depan mereka, ada ketidaksepakatan yang cukup besar di antara komando tinggi Jepang mengenai niatan Inggris. Baru setelah Korps ke-4 merebut Thabutkon dan mendesak ke arah timur, Kimura memutuskan bahwa Inggris sedang melakukan upaya besar untuk menyerang Meiktila. Kota itu dan wilayah sekitarnya ada dibawah kekuasaan Jenderal Tomekechi Kasuya. Dia memiliki lebih dari 12.000 prajurit di bawahnya, tetapi ini sebagian besar adalah pasukan eselon belakang dan batalyon pertahanan independen. Namun, saat krisis semakin memburuk, Kimura mengirimkan bala bantuan ke daerah itu, termasuk dua batalyon infanteri, satu resimen artileri, dan satu kompi antitank. Berlawanan dengan ekspektasi Inggris, pasukan Jepang di Meiktila justru bisa bertahan dengan baik.

Posisi medan perang Burma pada bulan Desember 1944. Berdasarkan rencana ofensif Slim, dari Mandalay, Korps ke-4 akan mendesak ke selatan menuju Rangoon sementara elemen dari Korps ke-15 Inggris akan melakukan serangan amfibi ke kota itu. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Pasukan Inggris, truk mereka, dan kotak-kotak amunisi diseberangkan melintasi Sungai Irrawaddy dengan rakit, pada tanggal 14 Februari 1945. Inggris telah mengumpulkan 120 perahu dan 17 rakit untuk melakukan penyeberangan dan meskipun mengalami kesulitan, sebagian besar dari Brigade ke-33 telah dipindahkan ke tepi timur sungai pada penghujung hari. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

DESAKAN VITAL KE MEIKTILA

Pada saat Kimura mengetahui apa niatan Slim, Korps ke-4 sudah siap untuk bergerak maju. Dihadapan mereka adalah area terbuka dengan dilengkapi jalan kolonial Inggris tua, yang cocok untuk pergerakan satuan mekanis yang besar. Rencana Slim adalah membuat kemajuan secara bertahap. Gerak maju Korps ke-4 diarahkan sekitar 20 mil (32 km) ke arah timur ke Taungtha. Dari sana unit ini dapat berputar ke timur laut menuju Mandalay, 35 mil (56 km) jauhnya, atau menuju tenggara ke Meiktila itu sendiri, sekitar 20 mil jauhnya. Pergerakan ini akan berada di bawah arahan Jenderal David Cowan, karena Divisi India ke-17 nya akan memimpin. Perjalanan ke Meiktila dimulai pada tanggal 21 Februari. Sampai saat ini kampanye berjalan dengan lancar, tetapi sekarang Korps ke-4 dan Angkatan Darat ke-14 terancam ketika Generalissimo Chiang Kai-Shek menuntut kembalinya semua pasukan China di medan tempur Burma, termasuk pesawat-pesawat angkut pendukungnya. Pesawat-pesawat itu padahal sangat penting untuk mendukung pasokan udara bagi pasukan Slim. “Hilangnya pesawat-pesawat ini akan berakibat fatal bagi operasi saya,” tulisnya. Laksamana Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, secara pribadi kemudian melakukan intervensi, baik dengan Chiang maupun dengan Kepala Staf Angkatan Darat AS Jenderal George Marshall, dan sementara mereka tidak dapat menghentikan penarikan pasukan China, sebuah langkah yang akan membebaskan pasukan Jepang untuk bermanuver ke selatan, pesawat-pesawat angkut Amerika bisa dipertahankan Untuk membantu pasukan Slim. 

Komandan Jepang yang baru dari Tentara Area Burma, Jenderal Heitaro Kimura. Kimura kemudian memilih untuk menempatkan pertahanan utama tentara Jepang di tepi Sungai Irrawaddy. Taktiknya ini adalah yang terbaik jika melihat situasi dari tentara Jepang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Para prajurit dari Resimen Senapan Rajput ke-6/7 maju di belakang tank Sherman selama serangan di Meiktila, 23 Februari 1945. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Tahap pertama dari dari pergerakan pasukan Inggris berjalan dengan baik. Tentara Jepang mundur sepenuhnya dan tidak mungkin bertahan melawan serangan mekanis pasukan Inggris melalui wilayah terbuka, meskipun mereka meninggalkan banyak jebakan, penembak jitu, dan regu bunuh diri seperti biasa. Pasukan dari Korps ke-4 maju dalam front yang dipimpin dua brigade, dengan Brigade ke-48 ada di utara dan Brigade Lapis Baja ke-255 di selatan. Mereka merebut Hinawdwin pada tanggal 23 Februari dan Taungtha pada tanggal 24. Jenderal Cowan meninggalkan Brigade ke-48 di Taungtha, di mana unit ini dipasok kembali melalui udara. Ujung tombak Korps ke-4 kini bergerak cepat ke selatan dan Brigade ke-48 sekarang dibawa ke garis belakang saat Brigade ke-99 diterbangkan ke Taungtha. Pada tanggal 27 Februari, mereka menghadapi posisi Jepang di Ledaingzin, tetapi Cowan memerintahkan Brigade ke-63 untuk bergerak memutar ke utara di sekitarnya. Pada tanggal 28 mereka berada lima mil (8 km) dari Meiktila. Meiktila posisinya sendiri terjepit di antara sepasang danau buatan, satu di utara dan satu di selatan, jadi setiap serangan ke arah kota itu harus diluncurkan melalui akses jalan di sebelah timur-barat. Karena itu, Cowan membagi kekuatannya menjadi tiga. Brigade ke-48 tetap berada di jalan utama menuju Meiktila. Pada saat yang sama, Brigade ke-63 berpencar ke selatan sekitar empat mil (6 km) melintasi rel timur menuju jalan yang menuju arah barat daya Meiktila. Sementara itu, Brigade Lapis Baja ke-255 mengeksekusi gerakan melingkar ke kiri yang jauh di sekitar Meiktila dan danau utara, semuanya hampir 10 mil (16 km), memotong jalan utara-timur laut di luar kota, dan memantapkan dirinya di tepi timur kota pada tanggal 1 Maret. 

Unit Senapan Punjab maju menuju Meiktila di bawah perlindungan tank Sherman. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Maju dari utara, Korps ke-4 dan 33 menyerang pasukan Jepang di Pagan dan Myinmu sebelum melanjutkan untuk merebut Meiktila dan Mandalay. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Serangan ke Meiktila dimulai hari itu, dengan Brigade ke-48 menekan pertahanan Jepang di bagian barat. Tapi serangan ini hanya menahan mereka di tempatnya. Serangan utama terjadi di sebelah timur di mana Brigade Lapis Baja ke-255 berjuang memasuki kota. Tentara Jepang mempertahankan setiap blok kota dengan gigih. Slim mencatat bahwa ada tembakan senapan mesin berat dan antitank disini. Kemajuannya lambat, dan kantong-kantong pertahanan tentara Jepang dibiarkan tertinggal di belakang barisan tank-tank yang bergerak maju. Saat malam tiba, Cowan memilih untuk menarik tanknya keluar dari Meiktila, meninggalkan hanya unit patroli infanteri yang kuat, karena takut pembom bunuh diri Jepang akan keluar dari puing-puing dan menyerang tank-tank-nya. Meskipun itu berarti mereka harus memperebutkan area yang sama di pagi hari, Slim mendukung keputusan itu. Hari berikutnya, Slim benar-benar terbang ke Meiktila dengan pesawat milik seorang jenderal Amerika (RAF, dengan alasan keamanan, menolak untuk menerbangkannya), dari mana dia mengamati pertempuran. Sekali lagi pertempuran yang pecah berlangsung dari rumah ke rumah, biasanya menampilkan satuan setingkat regu yang membersihkan rumah-rumah dengan dukungan dari tank-tank Sherman. Slim menulis di beberapa halaman memoarnya untuk menggambarkan satu operasi semacam itu oleh satu peleton Gurkha, menyimpulkan, “Itu semua berjalan metodis.” Pada tanggal 2 Maret, Brigade ke-48 mendesak ke Meiktila dari barat. Tekanan tambahan ini terlalu besar untuk tentara Jepang dan mendorong mereka ke tepi danau selatan. Slim menulis, “Meiktila dalam keadaan berantakan, dan pada pukul enam sore tanggal 3, kota itu berada di tangan kita.”

TOMBAK DI MEIKTILA 

Sekarang saatnya Cowan dan Korps ke-4  menanti serangan balik tentara Jepang yang tak terhindarkan. Pada level operasional Cowan memainkan peran bertahanan, tetapi secara taktis Korps ke-4 pimpinannya menyerang. Cowan menghindari pertahanan statis yang selaras doktrin Slim tentang garis depan yang dipertahankan secara longgar dan mengirimkan patroli-patroli yang agresif. Pasukannya, dalam kata-kata Slim, “menyerang ke segala arah. Pasukan Infanteri dan tank keluar setiap hari untuk berburu, menyergap dan menyerang formasi tentara Jepang yang mendekat… dalam radius dua puluh mil (32 km) dari kota.” Pasukan Inggris juga sangat terbantu oleh kekuatan udara Sekutu, yang hampir menguasai langit secara penuh. Kontrol udara sangat penting, karena Korps ke-4 ditempatkan dibawah komando ke Angkatan Darat ke-14 dengan mengandalkan pasokan udara saja, melalui landasan udara di timur laut kota. Jenderal Kimura sangat menyadari ketergantungan Cowan pada pasokan udara. Dia tidak pernah bisa berharap untuk mengalahkan pasukan Inggris yang dipasok sepenuhnya, tidak dengan keadaan pasukannya yang menyedihkan. Karena itu, Kimura menjadikan landasan udara sebagai titik fokus serangan baliknya. Di atas kertas, Kimura memiliki kekuatan yang kuat. Divisi ke-18 Jepang yang elit, yang telah menghabiskan tahun sebelumnya memerangi pasukan Sino-Amerika pimpinan Stilwell, dikirimkan dengan cepat ke selatan, kecuali satu batalyonnya. Sebuah resimen masing-masing dari Divisi ke-2, 33, dan 53 Jepang juga diperintahkan untuk melakukan serangan balik. Ini didukung oleh sisa-sisa dari berbagai satuan artileri dan unit pendukung, termasuk resimen tank. Batalyon infanteri cadangan juga akan diperoleh dari divisi lain saat pertempuran berlangsung. Kimura tidak mengarahkan operasi itu sendiri tetapi menempatkan Jenderal Tadakatsu Honda sebagai komandan. Honda mengerahkan Divisi ke-18 Jepang di utara Meiktila untuk mempertahankan jalur suplai ke Mandalay. Dengan menggunakan Divisi ke-49 Jepang ia berencana untuk menyerang jalur komunikasi antara pasukan Inggris di Meiktila. Divisi ke-49 akan menyerang pijakan tentara Inggris di Irrawaddy dan berusaha untuk menghancurkannya, meskipun karena berbagai pukulan hebat yang telah dialami divisi itu selama beberapa bulan terakhir, kecil kemungkinannya divisi itu bisa menghancurkan pijakan tentara Inggris itu. Sementara itu, berbagai batalyon dan resimen dari sebelah timur akan menyerang Meiktila. 

Pasukan Sekutu berlindung selama pertempuran di Meiktila, Burma, tahun 1945. Meski bertahan, namun pasukan Inggris di Meiktila tetap aktif dalam memburu dan memerangi unit-unit Jepang. (Sumber: https://collection.nam.ac.uk/)
Dengan pagoda suci di latar belakang, pasukan mortir Inggris dari Resimen Yorkshire Barat (Angkatan Darat ke-14) menembaki posisi Jepang di Meiktila, tanggal 28 Februari 1945. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Selama beberapa minggu berikutnya, upaya Divisi ke-49 Jepang menyerang pijakan tentara Inggris di Irrawaddy, yang dipertahankan oleh Brigade Afrika Timur ke-28, tidak pernah menjadi lebih dari sekadar serangan pengganggu. Divisi itu tidak memiliki kekuatan untuk mengusir para prajurit Afrika, meskipun hal itu terus-menerus mengganggu posisi mereka. Pada saat yang sama, pasukan Jepang menyerang Meiktila. Tidak ada awal pertempuran yang dramatis, hanya terjadi peningkatan tekanan secara bertahap. Pertahanan Inggris di kota itu kuat dan fleksibel. Brigade ke-99 Cowan menduduki kota itu sendiri. Di masing-masing dari enam jalan menuju keluar dari Meiktila terdapat sebuah kompi infanteri. Di belakang mereka ada pasukan mobile, yang akan bergerak keluar dan menyerang pasukan Jepang saat mereka  bergerak ke arah kota. Upaya pertama tentara Jepang datang dari elemen Divisi ke-49, yang menekan sektor selatan-barat daya garis pertahanan Cowan. Serangan itu terganggu oleh pasukan Inggris, yang bergerak keluar dari Meiktila dan bertempur melawan pasukan Jepang pada tanggal 5 Maret. Serangan pengganggu lainnya menyusul. Satu pasukan tersebut terdiri dari dua kompi infanteri, satu pasukan mobil lapis baja, sebuah baterai antitank, dan sebuah baterai artileri. Diluncurkan pada 8 Maret, unit ini melaju ke selatan ke Pyabwe dan membersihkan beberapa desa dari pasukan Jepang sebelum kembali ke perimeter Meiktila pada tanggal 10. Minggu berikutnya, sebagian besar dari Brigade ke-63, yang bertanggung jawab atas jalur pendekatan di utara, menyerang jalan menuju Mandalay dalam upaya untuk menemukan baterai artileri Jepang yang telah menembaki lapangan terbang. Beberapa meriam ditemukan dan dihancurkan, dengan lebih dari 300 tentara Jepang tewas.

Di Meiktila, Tentara Inggris berhasil menahan kekuatan musuh yang sepuluh kali lebih besar dari mereka sendiri. (Sumber: https://www.ibtimes.co.uk/)
Mayat prajurit-prajurit Jepang yang mati mengisi parit setelah serangan balik mereka yang gagal di Meiktila, Maret 1945. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Sebuah keluarga Burma yang tinggal di sebuah tempat perlindungan berbagi teh dengan seorang tentara Inggris di Meiktila, 10 Maret 1945. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Upaya tentara Jepang di sekitar Meiktila gagal, terhambat oleh unit-unitnya yang kelelahan dan taktik Inggris yang agresif. Meskipun ada delapan resimen Jepang akhirnya terlibat, mereka sebagian besar jumlahnya lemah dan satuannya diambil dari lima divisi berbeda, sehingga upaya mereka menjadi tidak terkoordinasi. Lebih lanjut yang menghambat serangan Jepang adalah intelijen Inggris. Dalam memoarnya, Slim menceritakan bagaimana unit penyadap radio Inggris sibuk melakukan triangulasi lokasi markas taktis dan operasional Jepang. “Dengan bantuan pengintaian udara dan informan, kami bahkan dapat menunjukkan dengan tepat beberapa markas yang lebih penting,” tulisnya. Markas besar Jepang menjadi sasaran serangan artileri dan udara, dalam beberapa kasus diserang juga unit-unit mekanis Jepang. “Kami mengikuti mereka ketika mereka bergerak, dan mengebom serta menyerang mereka ketika mereka berhenti,” kata Slim. Efek dari operasi ini adalah terganggunya jalur komunikasi Jepang dan mencegah sampainya perintah yang dikeluarkan oleh para komandan mereka, dimana banyak yang bahkan terlalu sibuk hanya untuk sekedar mencoba bisa tetap hidup daripada membuat keputusan. Mulai tanggal 15 Maret, unsur-unsur dari Divisi ke-31 Jepang menyerang lapangan terbang di sebelah timur. Upaya pertama diluncurkan oleh satu batalion, yang maju ke tepi hutan dan menembaki lapangan udara itu. Selama tiga malam berikutnya, tentara Jepang menyerang posisi Inggris tanpa hasil, meskipun mereka bisa menghancurkan satu pesawat dan beberapa tangki bahan bakar. Serangan terakhir Jepang kemudian didesak menjauh dari perimeter Inggris dengan dilancarkannya serangan balik yang ganas, yang menghancurkan batalion Jepang tersebut sebagai sebuah kekuatan tempur yang efektif. Selama tiga hari ini, pesawat-pesawat transport Inggris dan Amerika terbang mengirimkan bala bantuan di bawah tembakan, dalam hal ini Brigade ke-9, yang pada 18 Maret mengambil alih pertahanan di lapangan terbang. Dua batalyon Jepang lagi bergabung dalam serangan itu dan membuat lapangan terbang itu ada di bawah tembakan terus-menerus. Artileri Jepang sangat efektif, akurat, dan tersembunyi dengan baik. Untuk mendeteksi meriam-meriam Jepang, dalam kata-kata seorang pengintai artileri bernama Jack Scollen, yang dikutip oleh sejarawan Louis Allen, “membutuhkan banyak kesabaran dan sedikit keberuntungan karena meriam-meriam mereka hampir selalu ditempatkan jauh di bawah perlindungan di mana mereka tidak dapat dilihat dari udara dan bahkan kilatan tembakan mereka sulit dikenali.” Meriam-meriam itu juga efektif melawan tank-tank Inggris, beberapa di antaranya tak terhindarkan dihancurkan dalam setiap serangan balik yang dilancarkan tentara Inggris. Bahaya lain bagi tank-tank Inggris adalah ranjau Jepang—dalam hal ini ranjau manusia—, yakni tentara bunuh diri yang bersembunyi di selokan dengan memeluk peluru artileri dan sebuah batu, menunggu tank melaju di atas. 

Awak pesawat Australia dari Skuadron ke-194 RAF mengobrol dengan para penembak senjata penangkis serangan udara RAF (kiri) di Meiktila. Jalur transportasi udara adalah hal yang vital bagi pertahanan Inggris di Meiktila. (Sumber: https://www.pprune.org/)
Konvoi Inggris dari Brigade Bermotor ke-63 bergerak dari Myingyan menuju Meiktila, Maret 1945. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Maka pertempuran memperebutkan lapangan udara itu terjadi, dengan rentetan tembakan artileri Jepang menggelinding melintasi landasan udara, dengan diikuti oleh serangan dari tentara Jepang, beberapa di antaranya benar-benar berhasil menduduki landasan untuk sementara waktu, yang kemudian diikuti oleh serangan balik tentara Inggris, yang mau tidak mau membuat tentara Jepang terdesak kembali ke hutan. Pertempuran terus-menerus untuk memperebutkan landasan udara, membuatnya tidak dapat dioperasikan selama beberapa hari, dan sampai bisa diperbaiki, Divisi India ke-17 harus bergantung pada pengedropan dari udara untuk memperoleh perbekalannya. Namun, kombinasi pasukan infanteri Inggris, unit lapis baja, dan kekuatan udara terbukti tak tertahankan dan secara bertahap bisa mendorong Divisi ke-18 Jepang menjauh dari landasan. Pada tanggal 29 Maret, tentara Jepang, dengan lebih dari 2.500 prajuritnya tewas di dalam dan di sekitar landasan, menyadari bahwa mereka telah kalah dalam pertempuran dan bergerak mundur. Sementara pertempuran untuk Meiktila dimenangkan, Jenderal Meservey memerintahkan Divisi ke-7 Inggris untuk membuka jalur darat ke Meiktila. Ini memerlukan upaya pembersihan bukit-bukit tak jauh dari titik awal pergerakan dan penaklukan kota Taungtha di timur. Kota itu jatuh tanpa terlalu banyak kesulitan, tetapi Divisi ke-7 Inggris membutuhkan waktu seminggu untuk membersihkan tentara Jepang dari perbukitan di utara dan timur. Untuk melakukannya diperlukan perebutan kota Myingyang. Divisi ini mencapai pinggiran kota pada tanggal 18 Maret, tetapi seperti semua unit Jepang, dalam hal ini elemen Divisi ke-15 Jepang, pasukan di Myingyang melakukan pertahanan yang fanatik. Divisi ke-7 Inggris membutuhkan waktu empat hari pertempuran jarak dekat, pertempuran dari rumah ke rumah untuk mengamankan kota itu. Sementara itu, untuk mendukung pertahanan Myingyang, Honda mengirim unit Tentara Nasional India dan Jepang yang tersebar ke markas Divisi ke-7 di Chaulk, tetapi serangan ini dengan mudah dipukul mundur. Dengan tentara Jepang berhasil dibersihkan dari Myingyang, serangan balik mereka di Chaulk dihentikan, dan dengan kota Taungtha ada di tangan Inggris hanya masalah waktu sampai Meservey membuka jalur darat ke Meiktila. Kata Slim, “Pada minggu terakhir bulan Maret, Pertempuran Meiktila telah dimenangkan. Itu dimaksudkan sebagai pukulan yang menentukan dan saya telah mengalahkan segala hambatan untuk keberhasilannya, namun itu hanya “setengah” dari Pertempuran besar memperebutkan Burma Tengah. Setengahnya lagi, yang dilakukan secara bersamaan, sedang terjadi di sekitar Mandalay. ” 

PEMBEBASAN MANDALAY

Sementara pertempuran untuk Meiktila sedang berlangsung, Korps ke-33 sedang menyeberangi sungai Irrawaddy dan bersiap untuk menyerang Mandalay. Divisi ke-19 Inggris berada 40 mil (64 km) di sebelah utara, dengan kota Madaya terletak di antara itu dan Mandalay. Sungai berbelok ke barat di bawah Mandalay, dan 20 mil (32 km) jauhnya terdapat Divisi ke-2 Inggris. Lebih jauh 20 mil ke barat adalah Divisi ke-20 Inggris, yang akan menyeberangi Irrawaddy dan bertempur ke arah timur menuju Kyasuke. Dengan Meiktila sedang diperebutkan dan Mandalay akan diserang, Slim merasa bagian yang menentukan dari kampanye Irrawaddy telah tiba. “Bukan Mandalay atau Meiktila yang kami kejar tapi tentara Jepang,” tulisnya. Divisi ke-19 Inggris dipimpin oleh Thomas Winford Rees, seorang jenderal berpengalaman yang pernah memimpin divisi-divisi di Ethiopia dan Libya, tetapi di Libya ia dibebastugaskan dari komandonya setelah bentrok dengan komandan korpsnya. Untungnya bagi Slim dan perjuangan tentara Inggris di medan Burma, Wavell menawarinya komando Divisi ke-19 Inggris pada tahun 1942. Di Utara Mandalay, sisa-sisa dari Divisi ke-15 Jepang, yang dihajar dengan parah dalam pertempuran bulan-bulan sebelumnya, tidak mampu memperlambat kemajuan Inggris. Dua brigade Inggris mendesak ke arah Mandalay “seperti aliran air di atas bendungan yang rusak,” menurut Slim. Mereka tidak melambat sampai tanggal 4 Maret di Madaya, bergerak ke tepi selatan Sungai Chaungmagyi. Bahkan dalam posisi yang dapat dipertahankan ini, perlawanan Jepang dengan mudah disingkirkan, dan pada tanggal 8 Maret, Divisi ke-19 Inggris sudah berada di luar Mandalay.

Infanteri Divisi India ke-19 bersama dengan tank Lee mereka di Mandalay, 9–10 Maret 1945. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pasukan dari Divisi India ke-19 mensurvei posisi Jepang di Bukit Mandalay. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Prajurit dari Divisi India ke-19 menembaki posisi Jepang di antara pagoda di Bukit Mandalay, 10 Maret 1945. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Dengan menyerang dari utara, Divisi ke-19 Inggris menghadapi dua rintangan berat. Yang pertama adalah Bukit Mandalay, sebuah bukit tepat di luar kota yang di atasnya terdapat kuil-kuil Buddha dan dipenuhi dengan katakombe. Elemen dari Brigade ke-98 menyerang bukit pada tanggal 9 Maret dan membawa mereka ke lereng yang curam. Seperti biasa, tentara Jepang bertarung mempertahankan setiap inci wilayah, dan tentara Gurkha yang memimpin serangan harus menghalau mereka dengan serangan bayonet. Bahkan setelah bukit itu dibersihkan, orang-orang Jepang di terowongan di bawah tetap bertahan. Pasukan Inggris di atasnya tanpa ampun melemparkan tong-tong gas ke dalam katakombe dan membakarnya. Hambatan kedua adalah Fort Dufferin, sebuah kuil Buddha dengan tembok tinggi bergaya abad pertengahan dan parit. Di dalam benteng terdapat sebuah taman besar dan istana raja Burma terakhir. Inggris menolak untuk mengebom benteng itu karena signifikansi keagamaannya, meskipun pemberondongan diizinkan, dan pasukan Inggris berjuang masuk ke dalam Mandalay dan mengepung Fort Dufferin. Mereka kemudian memulai tugasnya untuk mendobrak tembok benteng. Slim membandingkan upaya itu dengan pertempuran dalam Pemberontakan Sepoy. Sepanjang tanggal 18 dan 19 Maret, pasukan Inggris melakukan serangan melintasi parit, termasuk serangan malam rahasia di mana pasukan Gurkha mencoba memanjat tembok, tetapi semua upaya ini dihalau tentara Jepang. Setelah upaya pengeboman konvensional di dinding tembok gagal, penerbang Inggris dan Amerika kemudian mencoba membom tembok, dengan memantulkan bom dari parit dan menghantamkannya ke tembok batu bata. Upaya ini hanya membuka sebuah celah kecil, dan itu akan menjadi misi bunuh diri bagi pasukan Inggris yang memaksa masuk. “Saya siap menunggu,” kata Slim. Tentara Jepang, bagaimanapun, tidak, dan pada malam 19-20 Maret, mereka mundur dari benteng. Jatuhnya Mandalay juga memicu perubahan sikap dari pihak Tentara Nasional Burma dan munculnya pemberontakan terbuka melawan Jepang, yang dilakukan oleh gerakan bawah tanah lainnya yang tergabung dalam Organisasi Anti-Fasis. Pada minggu terakhir bulan Maret, Aung San, panglima tertinggi Tentara Nasional Burma, muncul di depan umum dengan pakaian tradisional Burma dan bukan lagi seragam perwira tentara Jepang.

Pasukan Sikh dari Divisi India ke-19 bertempur di Fort Dufferin. Benteng yang tangguh seluas satu mil persegi dengan tembok benteng setinggi 30 kaki dan parit selebar 70 yard, benteng itu jatuh ke tangan tentara Inggris setelah 12 hari pertempuran sengit. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Seorang tentara Gurkha membidik posisi Jepang selama Pertempuran Mandalay, tahun 1945. (Photo by: Pictures from History/Universal Images Group via Getty Images/https://www.gettyimages.co.nz/detail)
Pasukan India membersihkan lubang perlindungan tentara Jepang di Mandalay. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

PEMBEBASAN RANGOON

Meiktila, Mandalay, dan Burma tengah sekarang berada di tangan Inggris sekali lagi, tetapi Slim masih memiliki satu tujuan lagi, yakni: Rangoon, kota pelabuhan penting, hampir 300 mil (482 km) ke selatan. Antara Slim dan target utamanya terdapat Tentara Jepang ke-28 dan ke-33. Sisa-sisa dari Tentara Jepang ke-15 yang hancur ditambah dengan Divisi ke-56 disimpan sebagai cadangan. Unit Angkatan Darat ke-28 dan ke-15 Jepang telah habis dan kekurangan alat transportasi dan senjata, tetapi mereka masih bisa bertempur. Jenderal Honda sekali lagi akan memimpin pertahanan Jepang. Juga menghadapi Slim dan Tentara ke-14 Inggris adalah musim hujan, yang akan berlangsung tujuh atau delapan minggu lagi. Begitu hal ini tiba, tanah di Burma tengah dan selatan akan berubah menjadi “bubur lumpur”, dan perjalanan ke Rangoon tidak mungkin dilakukan. Selain itu, Komando Asia Tenggara juga telah diberitahu bahwa banyak dari pesawat-pesawat angkut Amerika yang dialokasikan untuk area Burma akan ditarik paling lambat pada bulan Juni. Penggunaan Rangoon sendiri jelas diperlukan untuk memenuhi kebutuhan kekuatan tentara yang besar dan (yang terpenting) untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk sipil di daerah-daerah yang dibebaskan. Dalam perintahnya untuk operasi merebut Rangoon, Slim kemudian menulis bahwa tujuannya adalah “merebut Rangoon dengan segala cara dan sesegera mungkin sebelum Musim Hujan tiba.” Operasi Extended Capital, demikian sebutannya, diserahkan untuk dieksekusi oleh Meservey dan Korps ke-4nya. Mereka berada paling dekat dengan Rangoon, dan Brigade Lapis Baja ke-255 akan menjadi unit yang penting dalam gerakan mendesak ke selatan. Untuk mencapai Rangoon tepat pada waktunya, tentara Inggris pimpinan Slim harus bergerak 10 mil (16 km) sehari, melewati begitu saja titik-titik pertahanan Jepang dan meninggalkan sejumlah besar prajurit Jepang di belakang.

Tank ringan Stuart dari resimen kavaleri India selama serangan ke Rangoon, April 1945. Unit lapis baja memiliki peran vital dalam gerak cepat merebut Rangoon sebelum musim hujan tiba. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Gerakan cepat ini dipelopori oleh unit-unit lapis baja melintasi jalur kereta api dan lembah Irrawady — sebuah aksi yang tidak mudah, mengingat tank-tank Inggris yang sudah ketinggalan jaman dan memerlukan perawatan berkala. Untuk ini, Slim Sampai menyempatkan diri mengunjungi unit-unit lapis bajanya dan meminta para personelnya untuk menjaga agar tank-tank mereka tetap dapat beroperasi sampai mencapai Rangoon. Setelah Rangoon direbut, Slim bercanda bahwa tank-tank itu kemudian dapat dibuang ke laut. Bersamaan dengan operasi yang dilakukan oleh Korps ke-4, unsur-unsur dari Korps ke-15 Inggris akan melakukan pendaratan di sebelah barat Rangoon di Elephant Point dalam upaya untuk merebut kota itu sebelum tentara Jepang dapat bercokol di sana. Serangan amfibi, yang disebut Operasi Dracula, direncanakan berlangsung pada awal bulan Mei. Dengan Divisi India ke-20 di utara dan Divisi ke-7 Inggris di selatan membersihkan kantong-kantong perlawanan Jepang di sepanjang sungai Irrawaddy, sementara Korps ke-4 bersiap. Keberhasilan ofensif ini akan bergantung pada kemampuan tentara Inggris untuk bergerak cepat dan menjaga unit-unit mereka tetap bisa mendapat. Sementara itu, akan ada pertempuran sengit untuk memperebutkan tiga kota dari utara ke selatan, yakni Pyabwe, Toungoo, yang merupakan tempat berlangsungnya pertempuran sengit pada tahun 1942, dan Pegu. Dalam banyak hal, ini adalah perlombaan untuk melihat siapa yang bisa merebut Rangoon lebih dulu, Korps ke-4 atau Korps ke-15. Slim kemudian menggambarkan operasi Dracula ini sebagai “sebuah ketukan keras di pintu belakang sementara saya menerobos masuk dari depan.”

Pasukan terjun payung Gurkha memeriksa peralatan mereka sebelum diterjunkan di serangkaian titik strategis di sekitar Rangoon. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Pasukan terjun payung India diterjunkan di Rangoon, Burma, 1945. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Peta serbuan pada Operasi Dracula. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Ofensif dimulai pada tanggal 30 Maret, dengan Divisi India ke-17 dan Brigade Lapis Baja ke-255 mendesak ke selatan dalam dua front brigade melawan tiga divisi Jepang di sekitar kota Pyabwe. Masing-masing dari banyak desa kecil di sekitar Pyabwe telah diduduki oleh tentara Jepang dan harus dibersihkan dari rumah ke rumah. Terdapat pertempuran yang sangat keras di desa Yindow, di mana tentara Jepang memiliki bunker-bunker beton dan senjata-senjata antitank. Selama tiga hari tentara Inggris mencoba untuk membersihkannya. Akhirnya, Slim memerintahkan Brigade ke-99 dan ke-63 untuk melewati Yindow dan bergerak ke selatan, meninggalkan desa itu kepada Divisi ke-5 Inggris, untuk menyelesaikan pekerjaannya. Pada tanggal 10 April, Divisi India ke-17 berada di luar Pyabwe. Meservey kemudian mengirim Brigade Lapis Baja ke-255 melambung, dan memasuki Pyabwe dari selatan. Pada tanggal 11, kota itu sudah berada di tangan Inggris. Selama pertempuran, tiga divisi Jepang, Divisi elit ke-18, 49, dan 53, dimusnahkan. Seluruh Tentara ke-28 Jepang dihancurkan. Pintu kini telah ditendang, dan jalan menuju Rangoon terbuka. “Mereka bergerak!” demikian Slim dengan gembira menulis. Kemajuan cepat dilaksanakan oleh Divisi ke-5 Inggris, yang menempuh jarak selusin mil (19 km) pada suatu waktu. Menyadari bahwa Honda tidak mungkin bertahan, Kimura lalu mengumpulkan pasukan dari seluruh Burma dan mendorong mereka ke depan pasukan Inggris yang bergerak maju. Bala bantuan Jepang kemudian disergap dan dihancurkan sepanjang jalan oleh para gerilyawan Karen, yang membenci Jepang dan dibantu oleh para penasihat asal Inggris dan Amerika. Bala bantuan ini tidak mampu membendung gelombang kemajuan pasukan Inggris. Beberapa unit mencoba memutuskan jalur suplai Inggris, tetapi upaya ini dengan mudah dihentikan oleh Rees dan Korps ke-33, yang bertahan di sebelah timur Meiktila. 

Selama Operasi Dracula, pasukan amfibi elemen dari Divisi India ke-26 bergerak ke Sungai Rangoon untuk merebut kota pada tanggal 3 Mei. Saat itu Jepang telah menarik diri dari kota. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Sebuah meriam lapangan didaratkan di Elephant Point, 2 Mei 1945. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pasukan Inggris yang memiliki banyak alat transportasi, tank, dan dukungan udara, kini berada di dataran terbuka. Pada tanggal 22 April, Divisi ke-5 berjuang memasuki kota Toungoo, di mana Honda menempatkan markas besarnya. Tentara Inggris merebut markas besar itu, tetapi Honda berhasil melarikan diri dengan berjalan kaki, meskipun dia kemudian menjadi tidak dapat berkomunikasi selama beberapa hari. Pasukan Inggris sekarang hanya 160 mil (257 km) dari Rangoon. Hari berikutnya, Divisi ke-5 maju secara mengejutkan sejauh 30 mil (48 km) ke selatan ke Pyu, di mana mereka menerima penyerahan Divisi ke-1 Tentara Nasional India pimpinan Bose. Slim menempatkan para tahanan untuk bekerja memperbaiki lapangan terbang lokal, di mana perbekalan sekarang akan diterbangkan untuk mendukung gerak maju tentara Inggris. Dari sana, Divisi India ke-17 mengambil alih pimpinan. Dalam dua hari berikutnya mereka maju 20 mil (32 km) dan kemudian 15 mil (24 km), dan dengan mudah menyapu semua perlawanan Jepang. Pada saat itu Korps ke-4 menemukan peralatan-peralatan Jepang yang ditinggalkan, kendaraan, dan bahkan tawanan perang Sekutu. Satu-satunya pertahanan kuat tentara Jepang yang tersisa adalah di kota Pegu. Pada kedua tepi Sungai Pegu yang dijaga ketat oleh tentara Jepang, Rangoon hanya berjarak 47 mil (75 km) di sebelah utara. Cowan kemudian menyerang tepian timur kota terlebih dahulu dan kemudian mengirim sebuah brigade untuk berputar dan memasuki tepi barat kota. Hal ini sulit dilakukan, dan Slim menggambarkan perlawanan di tempat itu sebagai “hal yang pahit.” Tetapi setelah dua hari, pada tanggal 30 April, tentara Inggris berhasil menguasai kota itu.

Pasukan Sekutu memasuki kota Rangoon yang telah ditinggalkan oleh tentara Jepang. Setelah jatuhnya Rangoon, pertempuran memang masih berlangsung, tetapi kekuatan tentara Jepang di Burma telah dihancurkan untuk selamanya. (Sumber: https://www.irrawaddy.com/)

Kemudian musim hujan melanda hampir sebulan sebelum berakhir. Hujan deras mengubah jalan ke selatan menuju Rangoon menjadi rawa lumpur dan menggenangi pedesaan. Pergerakan sekarang hampir tidak mungkin dilakukan. Apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang Jepang (dalam menahan tentara Inggris), tampaknya bisa dilakukan oleh alam. Namun, pada tanggal 2 Mei 1945, Angkatan Laut Kerajaan Inggris melancarkan Operasi Dracula dan mendaratkan elemen dari Divisi India ke-26 di Elephant Point, sebelah barat Rangoon. Sehari sebelumnya, sebuah batalyon parasut Gurkha dijatuhkan di Elephant Point dan membersihkan baterai pertahanan pantai Jepang di muara Sungai Rangoon. Aksi-aksi pasukan Inggris ini kemudian mempengaruhi sikap personel Tentara Nasional Burma, yang dilatih Jepang. Orang-orang Burma ini lalu bergerak keluar Rangoon, sepertinya ingin bergabung dengan pasukan Jepang yang bertahan, namun ketika mereka di luar perimeter pertahanan pasukan Jepang, orang-orang Burma berbalik melawan tentara Jepang. Sementara itu, dengan menerobos hujan, pasukan Inggris lalu maju menuju Rangoon dan memasuki kota pada hari berikutnya. Orang-orang Jepang telah menarik diri. Slim menggambarkan adegan itu sebagai berikut: “Ribuan orang menyambut tentara kami dengan lega dan gembira, mereka tidak berusaha untuk menahan diri.” Meski demikian, pertempuran sengit tetap harus dilakukan karena sisa-sisa dari tiga tentara Jepang terperangkap di antara Mandalay dan Rangoon yang telah dibebaskan, tetapi kekuatan Jepang di Burma telah dihancurkan untuk selamanya. William Slim yang santun dan rendah hati telah berhasil membentuk kembali sebuah pasukan yang kalah menjadi pasukan paling terlatih dan paling profesional dalam Kerajaan Inggris. Pada akhir kampanye militer di Burma, para perwira dan prajurit Angkatan Darat ke-14 Inggris—baik orang-orang Inggris, Hindu, Muslim, Sikh, Gurkha, maupun Afrika—telah menjadi ahli dalam perang hutan, dan mampu melakukan pertahanan aktif serta serangan yang agresif. Mereka adalah spesialis dalam gerakan penetrasi yang dalam, memiliki dukungan udara jarak dekat, dan dapat menggunakan senjata gabungan untuk mengalahkan pertahanan tentara Jepang yang fanatik. Pada akhir perang, Tentara ke-14 pimpinan Slim adalah tentara terbaik di Kerajaan Inggris.

KUNCI KESUKSESAN SLIM

Dalam mencapai kesuksesannya di Burma, terdapat beberapa poin kunci yang mendukung Slim dalam memimpin para prajuritnya di medan yang kerap dilupakan ini. Sebagian besar dari taktiknya, berasal dari pengamatan Slim terhadap karakter dari orang-orang Jepang yang menjadi lawannya. Setelah pertempuran Kohima dan Imphal, misalnya, Slim yang memeriksa medan perang, melihat mayat-mayat tentara Jepang yang terluka telah dibunuh oleh rekan-rekan mereka sebagai bagian dari mentalitas Bushido khas Jepang, dimana menyerah kepada musuh dianggap sebagai hal yang memalukan. Sebaliknya adalah sebuah kehormatan tertinggi bagi seorang tentara Jepang untuk mati bagi Kaisarnya. Hal ini menunjukkan kepada Slim seberapa jauh tentara-tentara Jepang bersedia untuk mempertahankan jiwa Bushido-nya. Slim menjelang masa akhir perang telah menyadari bahwa jalur logistik bagi tentara Jepang telah hancur, tetapi tentara Jepang, yang dimotivasi oleh semangat Bushido, masih siap untuk bertempur sampai mati karena orang-orang Jepang lebih suka mati untuk Kaisar daripada menyerah. Hal ini pada akhirnya membawa Slim pada kesimpulan bahwa lebih baik mengepung dan melewati posisi tentara Jepang, meninggalkan kantong perlawanan tentara Jepang itu mati secara perlahan akibat kelaparan daripada memerangi mereka dalam pertempuran yang berlarut-larut. Diatas kertas pada satu waktu tentara (Jepang) di Area Burma memiliki sekitar 100.000 prajurit sedangkan Angkatan Darat ke-14 Inggris secara efektif (karena meski tentara ke-14 total memiliki personel 1 juta orang, namun kebanyakan adalah personel garis belakang, dan ditempatkan untuk mempertahankan India) hanya memiliki sekitar 21.000 orang, tetapi Slim memutuskan menggunakan mobilitas superior dari tentaranya, yang didukung oleh jalur suplai yang kuat untuk dapat mengalahkan Tentara Jepang, yang logistiknya buruk. Sementara itu, jumlah tentara Jepang yang unggul, ditambah dengan fakta bahwa Angkatan Darat India yang dipimpinnya adalah sebuah unit sukarelawan, dimana hanya orang-orang India yang bersedia menjadi sukarelawan saja yang mau bergabung dalam pasukannya, disamping fakta bahwa mengirimkan pasukan baru ke Burma bukanlah prioritas dari pemerintah di London, membuat Slim harus bisa menyelamatkan nyawa anak buahnya sebisa mungkin. Slim sangat menyadari bahwa akan sulit untuk mengganti kerugian apa pun yang dialami anak buahnya, dan tidak berniat membuat pasukannya dihancurkan dengan memerangi tentara Jepang di setiap tempat mereka berada. Perbedaan antara Slim, yang bertekad untuk menyelamatkan nyawa anak buahnya sebanyak mungkin vs keinginan fanatik para perwira Jepang yang dimotivasi oleh semangat Bushido agar setiap orang di bawah komando mereka mati untuk Kaisar membuat Slim memperkirakan bahwa untuk setiap prajurit yang terbunuh di bawah komandonya, di pihak tentara Jepang kehilangan seratus orang.

Laksamana Lord Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara, mengobrol dengan Letnan Jenderal Sir William Slim, yang memimpin Angkatan Darat ke-14 Inggris di Burma. Dalam mengalahkan tentara Jepang yang fanatik, Slim mempelajari karakter musuhnya, terutama jiwa Bushido dari Tentara Jepang yang lebih suka mati untuk Kaisar daripada menyerah. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Final Battle for Burma, 1945 By William Stroock

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Burma_campaign_(1944%E2%80%931945)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/William_Slim,_1st_Viscount_Slim

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Fourteenth_Army_(United_Kingdom)

Time Life World War II series: China – Burma – India by Don Moser, 1978, p 191-193

Defeat Into Victory: Battling Japan in Burma and India, 1942-1945 Book by William Slim, 1st Viscount Slim, 1986; p 407

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *