Alutsista

A-7 Corsair II, Hikayat Pesawat “Gondok” Yang Disegani Kawan Dan Lawan

Selama Perang Vietnam, Angkatan Laut AS memperoleh pesawat serang, LTV “A-7”, yang nantinya akan terbukti memberikan layanan terbaiknya selama berdinas puluhan tahun di Angkatan Laut AS dan Angkatan Udara AS. A-7 bertahan dalam dinas operasional hingga ke abad ke-21 dengan beberapa kekuatan udara negara lain. Sekitar 1.569 unit A-7 sempat diproduksi dan dioperasikan oleh Amerika Serikat, Yunani (Hellenic), Portugal, dan Thailand. Pengoperasian terakhir A-7 (dengan Angkatan Udara Yunani) dihentikan pada tahun 2014, sementara Amerika menghentikan penggunaan tidak lama setelah Perang Teluk, yakni pada tahun 1993. Artikel ini memaparkan mengenai sejarah dan spesifikasi dari pesawat serang A-7.

Selama lebih dari 25 tahun pesawat serang A-7 Corsair II telah memberikan pengabdian yang memuaskan bagi kekuatan udara dari berbagai negara di dunia. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)

LATAR BELAKANG DESAIN

Pada awal tahun 1960-an, Angkatan Laut AS sedang mencari pesawat serang baru untuk menggantikan Douglas A-4 (A4D) Skyhawk (yang dijuluki “Scooter“), yang menawarkan lebih banyak kemampuan menggotong senjata dan memiliki jangkauan yang lebih jauh. Pada saat itu, tidak jelas apakah A-4 pada akhirnya akan tetap diproduksi hingga tahun 1979; lebih lanjut, menurut penulis penerbangan Bill Gunston dan Peter Gilchrist, beberapa tokoh percaya bahwa ada persyaratan yang belum terpenuhi untuk platform pesawat serang yang lebih canggih dan memiliki kecepatan supersonik, bisa membawa muatan yang lebih berat, dan mampu terbang lebih jauh dari pendahulunya. Pendukung pesawat serang baru ini termasuk Menteri Pertahanan Amerika, Robert McNamara, yang mendesak Angkatan Laut untuk mempertimbangan mengenai masalah tersebut. Studi awal lalu difokuskan pada pesawat berkemampuan supersonik, tetapi kemudian secara bertahap disadari bahwa kinerja pesawat supersonik tidak cocok untuk dipakai pada pesawat serang yang terbang pada ketinggian rendah dan dibebani dengan muatan eksternal. Persyaratan untuk pesawat subsonik “VA(L)” — pesawat serang ringan — dikeluarkan pada musim semi tahun 1963, yang menetapkan persyaratan pesawat berkursi tunggal, yang ditenagai oleh mesin jet bypass Pratt & Whitney (P&W) TF30, dipersenjatai dengan kanon kembar kaliber 20 milimeter dan membawa muatan tempur maksimum 5.535 kilogram (12.200 pon) pada radius tempur 1.110 kilometer (690 mil / 600 NMI). Pesawat itu akan memiliki radar dan secara terbatas punya kemampuan dioperasikan dalam segala cuaca. Sebuah pendekatan yang didasarkan pada penghematan anggaran kemudian dipilih, di mana jenis pesawat yang ada akan menjadi dasar untuk pengembangan desain pesawat baru yang akan dibuat. Ini juga dimaksudkan untuk mempercepat proses pengembangan dan produksi pesawat serang yang diinginkan. Pihak Angkatan Laut sebenarnya condong memilih Skyhawk bermesin TF30, yakni “A4D-6″, yang pada dasarnya adalah Scooter steroid, tetapi perusahaan penerbangan lain melobi untuk diadakannya kompetisi, yang sepatutnya dilakukan. Seiring dengan Douglas, tiga perusahaan lain datang membawa proposalnya, termasuk Grumman, North American, dan Vought — atau lebih tepatnya “Ling-Temco-Vought (LTV) sebagai perusahaan yang dikenal setelah dilakukan merger pada tahun 1961. Konsep desain usungan Grumman, “G-128-12”, adalah versi pesawat berkursi tunggal dari A-6 Intruder, yang sudah ada dengan tetap mempertahankan mesin turbojet kembar P&W J52 dari A-6, alih-alih menggunakan mesin TF30. Sementara itu, konsep desain North American, “NA-295” , didasarkan pada desain FJ-4 Fury, yang merupakan turunan dari F-86 Sabre klasik dengan kemampuan yang telah ditingkatkan. NA-295 menampilkan mesin TF30, memiliki radome di bibir bawah saluran masuk udara, dan penuh pylon pengangkut di bawah sayapnya. LTV sendiri, mengusung desain “V-463”, yang merupakan versi serang dari pesawat tempur F-8 Crusader. Dalam desain ini badan pesawat Crusader asli sedikit dimodifikasi dengan diperpendek, dan tetap mempertahankan sayap belakang yang dipasang tinggi (meskipun dengan rentang yang lebih besar), undercarriage roda tiga, serta asupan udara untuk mesin jet yang dipasang di bawah kokpit. Namun meskipun LTV menekankan “kesamaan komponen” dari V-463 dengan F-8, dengan pengembangan lebih lanjut dari desainnya kesamaan itu mulai memudar. Desain itu kemudian cenderung menjadi tipikal desain pesawat yang dimodifikasi secara ekstensif untuk peran yang awalnya tidak direncanakan — tetapi Angkatan Laut bagaimanapun masih terkesan (proposal LTV menawarkan kualitas terbang terbaik, perawatan yang mudah, kemampuan bertahan dengan biaya terendah), lalu memberikan LTV kontrak pada tanggal 19 Maret 1964 untuk pembuatan tiga prototipe pesawat tempur “A -7″. Yang pertama dari tiga prototipe, yakni “A-7A” — kadang-kadang disebut dengan sebutan “YA-7A”, tetapi mereka tidak diberi sebutan prototipe formal — melakukan penerbangan awalnya pada tanggal 27 September 1965, empat minggu lebih cepat dari jadwal, dengan pilot uji LTV John Konrad. Secara desain, meskipun tidak memiliki keunggulan signifikan dalam hal kecepatan dibandingkan dengan A-4 Skyhawk, yang digantikannya, namun pesawat ini mampu membawa muatan persenjataan hampir dua kali lipat dan jangkauan yang lebih jauh dari Skyhawk. Pengiriman awal  dari produksi A-7A ke pihak Angkatan Laut adalah pada tanggal 14 Oktober 1966, dengan jenis ini mencapai dinas operasional formal pada tanggal 1 Februari 1967 bersama Skuadron Angkatan Laut VA-147. Pada tahun 1967, Kemampuan Operasi Awal (Initial Operating Capability/IOC) tercapai. Skuadron kemudian ini terlibat dalam pertempuran atas Vietnam pada akhir tahun itu juga.

A4D-6, versi pembaharuan Skyhawk dengan mesin TF-30 yang ditawarkan Douglas. (Sumber: https://twitter.com/)
Konsep artis Grumman, “G-128-12, yang tidak lain adalah pesawat berkursi tunggal versi modifikasi dari A-6 Intruder. (Sumber: https://twitter.com/)
Konsep desain North American, “NA-295”, yang didasarkan pada desain FJ-4 Fury. (Sumber: http://beyondthesprues.com/)

Secara resmi, A-7A dinamai sebagai “Corsair II” seperti nama pesawat tempur bermesin piston lansiran Vought yang terkenal pada Perang Dunia II — sebenarnya, A-7 sendiri lebih tepatnya disebut sebagai “Corsair III“, karena Vought secara informal pernah menyebut pesawat pengintai O2U buatan sebelum perang dunia II sebagai “Corsair” — tetapi A-7 tampaknya jarang, jika pernah, disebut demikian dalam praktiknya. Ia umumnya dikenal sebagai “SLUF”, untuk kepanjangan dari “Short Little Ugly Fella“, suatu penyebutan yang kurang sopan. A-7A memang tampak seperti pesawat tempur F-8 Crusader dengan badan pesawat yang diperpendek, dan juga setidaknya, pada awalnya menampilkan senjata yang sama dengan F-8, yang terdiri dari dua kanon Colt Mark 12 kaliber 20 milimeter, satu di kedua sisi lubang mesin dan dengan 250 peluru per senjata. Mark 12 adalah turunan dari kanon Hispano 404 asal Inggris. Namun, seperti dicatat, kemiripan antara F-8 dan A-7 hanya sedikit. F-8 memiliki sayap “variable incidence” yang dapat dimiringkan untuk membantu pendaratan pada kapal induk dan memiliki mesin turbojet J57 Pratt & Whitney (P&W) afterburning. Sebaliknya A-7A memiliki sayap tetap yang lebih tebal untuk menyediakan kapasitas penyimpanan bahan bakar yang lebih besar, meskipun seperti Crusader, sayap A-7 memiliki konfigurasi “dogtooth“, dengan ujung sayap yang dapat dilipat secara hidraulik lurus ke atas. Alih-alih menggunakan mesin turbojet P&W J57 dari Crusader, A-7 menggunakan mesin jet bypass P&W TF30-P-6 nonafterburning dengan daya dorong sebesar 50,47 kN (5.150 kgp / 11.350 lbf). Mesin yang sama juga telah digunakan pada beberapa desain pesawat tempur lain pada masa itu, termasuk General Dynamics F-111 Aardvark dan (nantinya) Grumman F-14 Tomcat varian awal. TF30-P-6 diketahui tidak memerlukan afterburner untuk bisa terbang subsonik. Karena aliran massa udara yang lebih besar dibutuhkan untuk mesin turbofan yang digunakan pada A-7, maka ukuran lubang saluran udara pada dagu A-7 agak lebih besar daripada F-8 yang bermesin turbojet. SLUF dibuat dengan konstruksi konvensional, dengan fitur penambahan lapisan baja di sekitar kokpit dan sistem vital pesawat dipasang untuk meningkatkan kemampuan bertahannya. Lapisan armor yang dipasang awalnya terbuat dari pelat baja dan aluminium, tetapi pada versi A-7 yang lebih baru menampilkan lapisan armor boron-karbida yang lebih ringan. SLUF juga menggunakan sistem hidraulik yang redundant untuk memastikan bahwa pesawat dapat terbang kembali ke pangkalan setelah mengalami kerusakan akibat pertempuran. Corsair dirancang agar mudah dirawat, dengan 50% area pesawat dipenuhi dengan panel akses, sebagian besar pada ketinggian di mana tangga atau perangkat servis tidak diperlukan.

Prototype LTV A-7A Corsair II (BuNo 152580). Corsair II tidak lain adalah versi pesawat tempur F-8 Crusader yang diperpendek. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Detail desain A-7 Corsair II. (Sumber: http://zarco-macross.wikidot.com/)

Sayap dogtooth pada Corsair menampilkan leading edge flap dengan bentangan penuh untuk bisa lepas landas dalam jarak pendek, dengan penutup slotted besar di bagian dalam dari setiap tepi belakang sayap, dan aileron di bagian luar. Sebuah spoiler dipasang tepat di depan setiap flap. Sistem flap semacam ini memberikan kemampuan mendarat dengan kecepatan rendah yang baik, dan itulah sebabnya LTV mampu menyingkirkan fitur sayap “variable incidence” pada Crusader saat mendesain Corsair. Sirip ekor pada Corsair bisa digerakkan sepenuhnya, dan terdapat rem udara besar di bagian perut, dan di belakang kokpit. Kebetulan, meskipun tepi belakang rudder menyayung, tepi belakang dari sirip ekor lurus ke atas di atas rudder; dimana hal ini dirancang untuk memudahkan penyimpanan pesawat di hanggar kapal induk. A-7A diketahui memiliki roda pendarat tipe tricycle, dengan dua roda terdapat pada roda hidung yang mampu menyerap goncangan dan satu roda pada setiap kanan kiri roda belakang. Dudukan roda hidung memiliki tempat untuk pemasangan ketapel, dengan roda dapat ditarik ke belakang saat terbang. Sementara itu, roda pendarat utama di kanan kiri pesawat ditarik ke depan ke dalam badan pesawat. Kait penahan tipe stinger dipasang di bawah ekor. 

Konfigurasi roda tricycle dari A-7 Corsair II. (Sumber: https://dokumen.tips/)

Tiga pylon gantungan dipasang di bawah setiap sayap Corsair, ditambah pylon pendek pada “pipi” di setiap sisi badan pesawat di belakang kokpit. Tidak jelas apakah ketiga pylon di setiap sayap bisa digunakan untuk membawa tangki bahan bakar eksternal atau tidak, tetapi foto-foto dari A-7 menunjukkan bahwa ia membawa tangki eksternal di pylon terdalam atau terluar. Tangki bahan bakar external biasanya memiliki kapasitas 1.135 liter (300 galon AS). Tidak jelas apakah ada tangki jenis lain yang pernah dibawa. Pylon sayap semuanya memiliki kerekan terpasang yang digunakan untuk membantu mengangkat muatan ke posisinya. Pylon pipi merupakan konsep lain yang diambil dari desain Crusader, dan biasanya digunakan untuk membawa rudal udara-ke-udara (AAM) tipe AIM-9 Sidewinder untuk pertahanan diri. Crusader diketahui membawa pod roket Zuni kaliber 12,7 sentimeter (5 inci) di pylon pipi dan tampaknya SLUF juga bisa membawa senjata yang sama di sana, meskipun tampaknya jarang memakainya (kalaupun pernah melakukannya). Bagaimanapun, SLUF dapat mengangkut total beban sebesar 6.800 kilogram (15.000 pon) pada pylon-nya. Corsair pada akhirnya akan memenuhi syarat untuk membawa hampir setiap amunisi yang dapat dibawa oleh pesawat Angkatan Laut Amerika, termasuk bom besi, bom cluster, pod roket Zuni, ranjau laut, bahkan senjata berhulu ledak nuklir. Corsair juga sering digunakan sebagai pesawat tanker dengan membawa pod pengisian bahan bakar type D-704 – pada dasarnya adalah tangki bahan bakar eksternal dengan unit pengisian bahan bakar tipe drogue di bagian belakang yang digerakkan oleh spinner, yang ada di bagian hidung. SLUF yang dilengkapi dengan perangkat tanker kadang-kadang disebut dengan sebutan “KA-7”, meskipun itu hanya label semi-resmi; disamping mereka tidak memiliki perbedaan nyata dari pesawat-pesawat A-7 lainnya. Dalam praktiknya, beban tempur yang digotong dalam misi-misi yang dijalankan jarang mendekati batas kemampuan angkut pesawat. Muatan tempur yang tergolong berat mungkin berupa bom 12 Mark 82 berbobot masing/masing 225 kilogram (500 pon), atau total 2.720 kilogram (6.000 pon). Khusus untuk varian A-7 yang lebih baru, kemampuan pengeboman presisinya sangatlah baik, dan oleh karenanya tidak perlu membebani pesawat hingga kemampuan maksimalnya. 

A-7 Corsair II tergolong memiliki kemampuan angkut senjata yang luar biasa pada masanya. Total Corsair II dapat mengangkut beban maksimal sebesar 6.800 kilogram (15.000 pon) pada pylon-nya.

Pilot Corsair duduk di kursi lontar McDonnell Douglas ESCAPAC 1C2 di bawah kanopi cangkang yang berengsel terbuka ke belakang. Kursi lontarnya memiliki ram untuk memungkinkan pilot melontar keluar melalui kanopi dalam keadaan darurat. Kaca depan diperkeras untuk mampu menghadapi hantaman burung, dan tahan terhadap tembakan proyektil peluru. Bleed air bisa disemprotkan ke kaca depan untuk menangkis hujan dan untuk menghilangkan lapisan es. Sebuah probe pengisian bahan bakar udara dipasang di sepanjang sisi kanan kokpit, dengan probe berputar ke luar saat digunakan. Pilot dirancang untuk naik ke kokpit dari sebelah kiri, menggunakan tangga pull-down tipe stirrup dua langkah dan dua tangga terbuka. Tampaknya memanjat masuk atau keluar dari kokpit dengan peralatan penerbangan penuh dan menggunakan skema seperti ini terhitung rumit, sehingga awak pesawat kerap berkomentar bahwa itu adalah bagian tersulit dari menerbangkan pesawat ini. Perangkat avionik yang terpasang di A-7A termasuk radar multimode AN/APQ-11 buatan Texas Instruments (pada radome hidung tepat berada pada bibir atas dari lubang masuk udara mesin), radar navigasi Doppler; sistem navigasi; dan tampilan peta bergerak; bersama dengan sistem radio standar dan transponder untuk “mengidentifikasi teman atau musuh (IFF)”.

Interior kokpit A-7 Corsair II. (Sumber: https://www.pinterest.com/)
A-7A Corsair dari skuadron VA-93 di USS Midway tahun1970. Corsair varian awal dikenal memiliki mesin yang underpower. (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/)

Beberapa sumber mengklaim bahwa A-7A memulai dinas operasionalnya dengan lambat, meskipun tampaknya sebagian dari masalahnya adalah bahwa awak pesawat menganggapnya jelek dan tidak menyenangkan, belum lagi lambat saat diterbangkan. Tentu saja memang ada masalah gangguan, dengan uap dari ketapel kapal induk yang terkadang menyebabkan mesin Corsair mati saat lepas landas; penyegelan dek yang lebih baik lalu diterapkan untuk mengurangi emisi uap ketapel ini. Masalah yang sebenarnya agak lebih mendasar adalah bahwa A-7A kurang bertenaga. Akibatnya, setelah produksi ke-199 (beberapa sumber mengatakan ke-193) A-7A, produksi beralih ke varian “A-7B”, yang umumnya identik dengan A-7A tetapi memiliki mesin TF30-P-8 yang lebih kuat, yang memberikan daya dorong maksimum sebesar 54,3 kN (5.534 kgp / 12.200 lbf). Sebagian besar atau semua A-7B kemudian ditingkatkan dengan menggunakan mesin TF30-P-408 yang masih lebih bertenaga dengan daya dorong sebesar 6.080 kgp / 13.400 lbf). Beberapa sumber mengisyaratkan bahwa upgrade mesin TF30-P-8 ke TF30-P-408 dilakukan dengan menggunakan kit modifikasi mesin, bukan dengan mengganti mesin seluruhnya. Sebanyak 196 A-7B diketahui sempat dibuat. Sebuah versi dua kursi dari A-7B, diberi sebutan sebagai “A-7C”, sempat dipertimbangkan dibuat, tetapi tidak pernah terbang. Namun, konsep Corsair dengan dua tempat duduk akan muncul kembali nantinya. A-7A menjalani aksi tempur pertamanya pada tanggal 4 Desember 1967, dengan diluncurkan dari kapal induk USS Ranger untuk melakukan serangan di wilayah Vietnam Utara. A-7A terus sibuk bertugas, khususnya melakukan serangan dukungan udara jarak dekat dalam pertahanan markas marinir di Khe Sanh pada awal tahun 1968. A-7B bergabung dengan A-7A dalam pertempuran pada awal tahun 1969. Pada saat ini, A-7 Angkatan Laut menggunakan kamuflase standar pada masanya: abu-abu di bagian atas, dan cat putih di bagian bawah.

VARIAN-VARIAN LAIN

Marinir AS tidak pernah menggunakan A-7, karena ragu bahwa pesawat itu cocok untuk menjalankan misi dukungan tempur di garis depan, dan mereka akhirnya lebih memilih untuk menggunakan A-4M Skyhawk yang kemampuannya telah ditingkatkan. Namun, bahkan sebelum A-7 masuk dinas operasional Angkatan Laut, Angkatan Udara AS (USAF) telah memutuskan untuk membeli tipe pesawat ini sebagai pengganti dari jet tempur North American F-100 Super Sabre dan Douglas A-1 Skyraider. Pada kenyataannya, tiga pilot USAF adalah bagian dari penggelaran awal A-7A di kapal induk USS RANGER, dimana pilot-pilot Angkatan Udara ini menjadi mahir dalam melakukan lepas landas dan mendarat di kapal induk, serta berpartisipasi dalam berbagai misi serangan. Angkatan Udara memang menginginkan mesin yang lebih kuat, sehingga memilih Allison TF41, mesin jet bypass Spey nonafterburning desain Rolls-Royce Inggris, yang dibuat dengan lisensi setelah disesuaikan dengan spesifikasi AS. Versi Corsair USAF pertama, yakni “A-7D”, dilengkapi dengan mesin Allison TF41-A-1 berdaya dorong 64,5 kN (6.575 kgp / 14.500 lbf), dan melakukan penerbangan awalnya pada bulan September 1978. TF41 memberikan peningkatan kemampuan yang cukup baik, jika dibandingkan dengan mesin TF30; beberapa sumber menyatakan bahwa TF41 lebih andal daripada TF30, yang memiliki beberapa masalah mengganggu. A-7D juga menampilkan sejumlah perubahan besar lainnya, yang disesuaikan dengan persyaratan USAF, termasuk: 

  • Soket pengisian bahan bakar tipe boom di belakang kokpit di sebelah kiri, menggantikan probe pengisian bahan bakar varian Angkatan Laut. Fitur ini diimplementasikan dengan A-7D produksi ke-17, A-7D sebelumnya telah dibuat dengan memakai sistem probe. 
  • Satu kanon General Electric M61A1 Vulcan enam laras kaliber 20-milimeter tipe Gatling dipasang untuk menggantikan kanon kembar Mark 12. Kanon Vulcan dipasang di sisi kiri bawah hidung, dengan  ujung larasnya tepat di bawah tangga naik kokpit. 1.000 butir amunisi disimpan dalam drum di belakang kokpit, dengan selongsong bekas “disimpan kembali” kembali ke dalam drum sehingga tidak akan merusak pesawat saat dibuang. Vulcan memiliki kecepatan tembak yang lebih tinggi daripada kanon Colt yang lebih tua — 6.000 peluru per menit pada Vulcan, dibandingkan dengan kecepatan 1.000 peluru per menit untuk masing-masing kanon Colt. Beberapa sumber menyatakan bahwa kanon Colt juga rentan macet, sedangkan meriam Gatling dikenal sangat andal.
  • Perangkat avionik baru dan jauh lebih baik, termasuk radar multimode tipe AN/APQ-126 dengan jangkauan 55,6 km; head-up display (HUD) buatan Inggris; tampilan peta yang diproyeksikan; komputer digital; dan perangkat “Navigation & Weapons Delivery System (NWDS)” yang presisi. 
  • Rem anti slip, kursi pelontar ESCAPAC yang dimodifikasi, dan sistem starter mesin kartrid piroteknik untuk memungkinkan dilakukan self-starting di landasan udara garis depan. Sementara itu, A-7 Angkatan Laut menggunakan perangkat starter udara eksternal karena hal ini selalu tersedia di kapal induk. 
YA-7D-1-CV AF dengan serial No. 67-14582, YA-7D pertama USAF, pada tanggal 2 Mei 1968. Perhatikan probe pengisian bahan bakar gaya Angkatan Laut (ditarik di samping kokpit pada posisi standar, bukan probe data uji udara pada kerucut hidung, yang merupakan bagian dari peralatan pengujian penerbangan) dan Nomor Angkatan Laut yang dimodifikasi yang digunakan sebagai nomor ekor USAF. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Angkatan Udara menerbangkan pesawat-pesawat A-7D dari pangkalannya di Thailand pada bulan Oktober 1972. Warna  cat standar yang digunakan adalah cat disruptive camouflage di bagian atas — kombinasi coklat dan hijau tua — dengan warna putih di bagian bawah. A-7D awalnya digunakan dalam peran “Sandy“, yang menyediakan perlindungan untuk mendukung tim SAR yang mencoba menyelamatkan penerbang yang pesawatnya ditembak jatuh, menggantikan Douglas A-1 Skyraider dalam peran ini. Corsair Angkatan Udara juga digunakan dalam kampanye udara LINEBACKER dan LINEBACKER II melawan Vietnam Utara di akhir tahun 1972.

A-7D-7-CV Corsair II nomor 70-0976, 70-0989 dan 70-0970 dari Wing Tempur Taktis ke-354 di langit Asia Tenggara. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Banyak pilot USAF awalnya enggan memakai SLUF kecil yang jelek, tetapi perangkat NWDS-nya memberi mereka kemampuan melakukan serangan presisi yang belum pernah mereka miliki sebelumnya, dan mereka akhirnya menyukai kecanggihan, kemampuan gotong senjata, dan kemampuan bertahan dari A-7D. Sebanyak 459 A-7D sempat dibuat secara keseluruhan. Pihak Angkatan Laut kemudian tertarik dengan sejumlah fitur dari A-7D, termasuk mesin TF41, kanon Vulcan, dan sebagian besar perangkat avioniknya yang telah ditingkatkan kemampuannya. AL AS lalu memutuskan untuk mendapatkan versinya sendiri, yang diberi nama “A-7E”, dengan mesin TF41-A-2 yang sedikit ditingkatkan dengan daya dorong sebesar 66,7 kN (6.800 kgp / 15.000 lbf). Sementara itu, A-7E akan mempertahankan probe pengisian bahan bakar dan memiliki perangkat avionik yang agak berbeda, termasuk penggunaan radio yang dipakai oleh Angkatan Laut dan kit countermeasures yang digunakan. Namun, karena adanya penundaan dalam pengiriman mesin TF41 untuk A-7E, sehingga Angkatan Laut memerintahkan pesawat produksi awal untuk tetap menggunakan mesin TF30-PW-408. 67 pesawat yang memakai mesin TF30 ini sempat dibuat sebelum produksi dialihkan dengan memakai mesin TF41. Untuk menghindari kebingungan, pesawat produksi awal ini diberi sebutan “A-7C” yang belum digunakan, dengan A-7C masuk ke dalam dinas operasional tempur pada akhir tahun 1969. A-7E yang bermesin TF41 adalah versi SLUF yang paling banyak diproduksi, dengan 535 unit sempat dibuat. Tipe ini melakukan debut tempurnya di Asia Tenggara pada bulan Mei 1970. Para kru sangat terkesan dengan akurasi dari sistem penyerangannya yang canggih. A-7E kemudian dengan cepat menggantikan armada A-4 Skyhawk lama dan SLUF generasi pertama dalam peran serangan lini pertama. Pesawat inj juga digunakan dalam peran penekanan pertahanan udara lawan, dengan menggunakan rudal anti-radar AGM-45 Shrike atau AGM-78A Standard ARM untuk menyerang situs-situs radar. Ketika perang udara kembali memanas di Vietnam pada tahun 1972, A-7E membantu meranjau pelabuhan Haiphong, dan melakukan banyak serangan selama kampanye pengeboman LINEBACKER I dan LINEBACKER II.

A-7E Corsair II dari Skuadron VA-146 “Blue Diamonds”, yang berpangkalan di USS Constellation. (Sumber: https://theaviationgeekclub.com/)

Sementara itu, gagasan tentang membuat versi latih SLUF dengan dua kursi dihidupkan kembali setelah perang Vietnam, dengan pihak Angkatan Laut melakukan konversi A-7E bermesin TF41 pertama pada tahun 1972. Pesawat ini diperpanjang badannya 86 sentimeter (34 inci) untuk mengakomodasi kursi kedua, dan dilengkapi dengan kanopi yang berengsel terbuka ke kanan. Kursi belakang dinaikkan untuk memberi instruktur penerbangan di kursi belakang pandangan ke depan yang lebih baik. Tipe ini melakukan penerbangan pertamanya pada tanggal 19 Agustus 1972, dengan pilot uji John Konrad sekali lagi ada di belakang kemudi. Pesawat ini awalnya disebut sebagai “TA-7H”, tetapi kemudian akhiran “H” digunakan pada SLUF yang dijual ke Yunani (lihat di bawah), dan kemudian namanya diubah menjadi “TA-7E”. Pesawat tersebut diuji selama beberapa tahun berikutnya, dan kemudian LTV diberikan kontrak untuk memodifikasi 60 SLUF bermesin TF30-P-408, termasuk 24 A-7B dan 36 A-7C, dengan spesifikasi serupa, dan disebut sebagai “TA- 7C”. Konversi TA-7C pertama melakukan penerbangan awalnya pada tanggal 17 Desember 1976, dengan pengiriman ke pihak Angkatan Laut dimulai pada bulan Januari 1977. Pada tahun 1982, delapan TA-7C dimodifikasi untuk bertindak sebagai pesawat “agresor elektronik”, yang membawa peralatan elektronik untuk mensimulasikan pesawat-pesawat platform serangan elektronik asal Soviet. Pesawat-pesawat agresor elektronik ini kemudian diberi sebutan “EA-7L”, dengan yang pertama dikirim ke Angkatan Laut pada tahun 1983. Pada tahun 1984, LTV menerima kontrak untuk memperbarui 41 TA-7C yang masih ada dan delapan EA-7L menjadi A-7E standar, yang dilengkapi dengan mesin TF41-A-402, maneuvering flaps, dan kursi lontar Stencel baru. 

Sebuah Vought TA-7C Corsair II (BuNo. 156747) dari skuadron VA-174 di Naval Air Sation Dallas (Texas, USA) pada tanggal 1 Februari 1988. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Foto dua pesawat Vought EA-7L Corsair II dari skuadron peperangan elektronik VAQ-34 di selama Latihan Armada Pasifik Utara ke-3 AS (NORPACEX) di Pangkalan Angkatan Udara Elmendorf, Alaska (AS) pada tanggal 8 November 1987. VAQ-34 dioperasikan sebagai skuadron musuh, maka bintang Soviet dan nomor berwarna merah terpasang di pesawat. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Angkatan Udara juga tertarik dengan SLUF berkursi tandem, dan pada tahun 1979 memberi LTV kontrak untuk memperbarui A-7D-nya ke konfigurasi pesawat dua kursi yang diperpanjang, yang mirip dengan TA-7C milik Angkatan Laut. Versi dua kursi milik Angkatan Udara awalnya disebut sebagai “TA-7D” dan kemudian “A-7K”. A-7K tetap sepenuhnya bisa digunakan tempur. Pembuatan prototipe versi ini kemudian menyebabkan pembelian 30 A-7K yang benar-benar baru untuk ANG, dengan pengirimannya dilakukan dari tahun 1981 hingga 1984. Pada tahun 1985, USAF membuat proposal untuk pembuatan pesawat “Close Air Support / Battlefield Area Interdiction (CAS/BAI)” sebagai pengganti potensial untuk pesawat serang Fairchild A-10 Warthog. LTV lalu menjawabnya dengan mengirimkan proposal untuk meng-upgrade SLUF menjadi pesawat supersonik, dan pada tahun 1987 USAF memberikan perusahaan itu kontrak untuk memperbarui dua A-7D dengan spesifikasi ini. “Super SLUF” baru awalnya dikenal sebagai “A-7D Plus” dan kemudian “YA-7F”. Kedua pesawat dilengkapi dengan mesin jet bypass afterburning P&W F100-PW-200 dengan daya dorong afterburning sebesar 71,2 kN (7.255 kgp / 16.000 lbf), yang membutuhkan badan pesawat diperpanjang 1,2 meter (4 kaki). Pesawat yang dimodifikasi ini juga dilengkapi dengan ekor yang lebih besar, leading-edge wingroot extensions, dan dalam versi produksi akan memiliki kontrol kokpit dan avionik yang canggih. Karena SLUF awalnya terlihat seperti F-8 yang diperpendek, memanjangkannya kembali membuatnya terlihat seperti versi Crusader yang lebih garang. YA-7F pertama kali melakukan penerbangan perdananya pada tanggal 29 November 1989, dengan penerbangan yang kedua dilakukan pada musim semi 1990. Rencananya adalah untuk meningkatkan SLUF Angkatan Laut dan Angkatan Udara ke spesifikasi ini, tetapi adanya perubahan persyaratan dengan berakhirnya Perang Dingin membuat terbunuhnya program. Sementara itu, beberapa sumber juga menyebutkan adanya versi pesawat tanker khusus “KA-7F”. Tidak jelas apakah varian itu menggunakan mesin F100 atau tidak, tetapi bagaimanapun juga versi ini tidak pernah dibuat. Ada juga pembicaraan tentang pembuatan SLUF versi pengintaian foto, tetapi tampaknya satu-satunya saat dimana A-7 membawa pod pengintaian adalah waktu uji coba. Selain itu, LTV mengusulkan sebuah “A-7X” yang akan menggunakan mesin GE F110, yang kemampuannya sebanding dengan mesin P&W F100, atau dua mesin GE F404 seperti yang digunakan pada McDonnell Douglas F/A-18 Hornet.

INOVASI REVOLUSIONER DARI A-7

A-7 adalah pesawat tempur operasional pertama Amerika yang dilengkapi dengan HUD sepenuhnya seperti yang kita pahami konsepnya di masa kini. Penambahan baru ini merupakan revolusi monumental dalam teknologi yang mengubah karakter pertempuran udara selamanya. Sebelum A-7, jet-jet tempur taktis menerima gunsights holografik yang semakin kompleks dengan simbologi sederhana, tetapi tidak ada yang terhubung langsung ke komputer yang berfungsi untuk menyajikan semua sistem pengiriman senjata dan informasi penerbangan utama tepat di depan mata pilot saat mereka mengintip melalui kaca depan. Melihat kembali pemasangan HUD AN/AVQ-7(V) yang dibuat oleh Elliott Flight Automation bersama dengan Marconi pada A-7, adalah cukup menakjubkan di era pertengahan 1960-an. Sebagian besar tata letak dan simbologi umum HUD yang digunakan pada A-7 masih digunakan sampai sekarang, dan betapa terintegrasinya HUD dengan perangkat radar, navigasi, dan sistem lainnya pada pesawat itu benar-benar luar biasa. Data penerbangan, vektor kecepatan, pitch ladder, steering cues, titik penargetan, panduan azimuth untuk pengeboman, braket-A AoA, dan banyak lagi semuanya ada di sana, sama seperti yang ada di banyak HUD pesawat taktis masa kini.

HUD, EU, dan PDU dari A-7 ditunjukkan oleh Colin Marshall. Pada bulan Oktober 1967 diumumkan dari Dallas di Texas A.S. bahwa Elliott Flight Automation telah diberikan kontrak empat tahun untuk memasok LTV dengan Head Up Displays untuk pesawat-pesawat A-7. Kontrak awal bernilai £14 juta untuk 1.200 display dan ini merupakan yang terbesar yang pernah diberikan kepada sebuah perusahaan Inggris. (Sumber: https://www.thedrive.com/the-war-zone/)
Tampilan HUD (kiri atas). Penambahan perangkat HUD, menambah kemampuan A-7 sebagai platform senjata yang presisi. (Sumber: https://www.thedrive.com/)
A-7 membawa pod FLIR TRAM. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

HUD pesawat dan avionik serta sensor yang terpasang di dalamnya sangat membantu A-7 dikenal sebagai platform pengiriman senjata yang sangat presisi di zamannya, yang mendahului penggunaan senjata berpemandu presisi secara luas. Berbagai laporan menyatakan bahwa A-7 telah meningkatkan akurasi pengiriman senjata berkali-kali lipat daripada pesawat yang sudah ada sebelumnya, terutama A-4 Skyhawk. A-7 kemudian terus membuat sejarah dalam hal peningkatan kemampuan visual pilot dengan penambahan alat bantu penargetan raster scan/CRT HUD pertama yang memungkinkan citra video, serta simbologi HUD, untuk diproyeksikan di depan pilot. Dengan demikian, video dari pod forward-looking infrared (FLIR) dapat diproyeksikan ke bidang pandang depan pilot, yang memberi mereka kemampuan penglihatan malam yang baik. Ketika dipadukan dengan radar yang bisa mengikuti medan, kemampuan serang siang-malam yang presisi dalam segala cuaca dari A-7 menjadi semakin komplit. Pod FLIR juga dapat digunakan untuk memverifikasi target melalui fungsi zoom. Program ini dikenal sebagai konfigurasi A-7E Target Recognition Attack Multisensor (TRAM). Kira-kira lebih dari satu setengah dekade kemudian, kemampuan ini akan menjadi andalan banyak pesawat tempur AS, terutama yang menggunakan sistem LANTIRN, seperti F-16C/D Block 40 dan F-15E. Sementara itu F/A-18 Hornet juga memiliki kemampuan ini melalui pod AAS-38A/B Nite Hawk dan HUD pemindaian rasternya. 

DETAIL PERSENJATAAN 

Rudal AIM-9 Sidewinder

AIM-9 Sidewinder (AIM/Air Intercept Missile) adalah rudal udara-ke-udara jarak pendek yang mulai beroperasi dengan Angkatan Laut AS pada tahun 1956 dan kemudian diadopsi oleh Angkatan Udara AS pada tahun 1964. Sejak itu Sidewinder telah terbukti sukses besar dan bertahan lama, dimana varian terbarunya masih menjadi perlengkapan standar di sebagian besar angkatan udara di dunia. AIM-9A/B menggunakan hulu ledak fragmentasi berbobot 4,5 kg (10 lb), yang dipicu oleh IR proximity atau sumbu kontak, dan memiliki radius efektif sekitar 9 m (30 kaki). Pelacak panas dari rudal versi awal ini memiliki sudut bidikan 4° dan tingkat pelacakan 11°/dtk, dan rudal itu sendiri dapat berbelok pada kekuatan hingga 12G. Propulsi rudal disediakan oleh motor roket berbahan bakar padat Thiokol MK 17 (17,8 kN (4000 lb) dengan daya dorong selama 2,2 detik, yang dapat mendorong rudal hingga kecepatan Mach 1,7 di atas kecepatan peluncurannya. Karena keterbatasan pada perangkat pelacaknya, AIM-9A/B hanya dapat digunakan untuk target non-manuver(!) tail-on (menyasar ekor) pada jarak antara 900 m (3000 kaki) dan 4,8 km (2,6 nm). Rudal itu juga sangat rentan terhadap sumber panas lainnya (contohnya dari matahari, dan pantulan tanah).

Awak persenjataan bersiap untuk memuat rudal AIM-9 Sidewinder pada pesawat A-7E Corsair II di atas kapal induk USS AMERICA (CV-66) selama Operasi El Dorado Canyon, serangan balasan terhadap target teroris di Libya. (Sumber: https://nara.getarchive.net/)

Kemudian muncullah Sidewinder varian L yang jauh lebih mumpuni. Ini adalah versi Sidewinderall aspects” pertama dengan kemampuan untuk menyerang dari segala arah, termasuk saat berhadap-hadapan langsung dengan target. Kehadiran rudal versi baru ini memiliki efek yang dramatis pada taktik pertempuran udara jarak dekat. AIM-9L memiliki canard double-delta runcing yang baru, motor roket berbahan bakar padat MK 36 yang dimodifikasi (MOD 8 hingga 11), dan bagian panduan dan kontrol solid-state AN/DSQ-29 yang baru. Penyempurnaan tambahan termasuk seeker Indium Antimonide (InSb) berpendingin Argon yang benar-benar baru, laser proximity fuze DSU-15/B AOTD (Active Optical Target Detector), dan hulu ledak annular WDU-17/B berbobot 9,4 kg (20,8 lb) yang telah ditingkatkan (hulu ledak fragmentasi). Jangkauan maksimum rudal ini juga meningkat menjadi sejauh 17,7 km. Dengan semua fiturnya AIM-9L menghasilkan rudal baru yang jauh lebih baik dalam hal penembakan “all aspect”, serta memiliki kinerja pelacakan, manuver, terminal homing, dan kemampuan penghancuran yang jauh lebih baik dari versi-versi sebelumnya. Pengguna pertamanya dalam konflik skala besar adalah oleh Inggris selama Perang Falklands tahun 1982. Dalam kampanye militer ini versi “Lima” dilaporkan mencapai tingkat “kill” hingga 80% dari total rudal yang diluncurkan, sebuah peningkatan dramatis dari level 10-15% pada versi sebelumnya. Versi Lima mencetak 17 kill dan 2 kill bersama bersama melawan pesawat-pesawat Argentina selama perang.

Rudal AGM-45 Shrike

AGM-45 Shrike adalah rudal anti-radar asal Amerika yang dirancang untuk mendeteksi radar anti-pesawat musuh. Shrike dikembangkan oleh Naval Weapons Center di China Lake pada tahun 1963 dengan mengawinkan kepala seeker dengan badan rudal AIM-7 Sparrow. Shrike dihapus dari dinas militer AS pada tahun 1992 dan pada waktu yang tidak diketahui oleh Angkatan Udara Israel (satu-satunya pengguna utama lainnya). Shrike kemudian telah digantikan oleh rudal AGM-88 HARM. Shrike biasanya mendeteksi sekitar 30 derajat di atas cakrawala pada radar Fan Song rudal SAM SA-2 pada jarak sekitar 15 mil (25 km) jauhnya untuk waktu penerbangan selama 50 detik. Taktik ini kemudian berubah secara bertahap selama kampanye udara tahun 1966 dan 1967 sampai munculnya rudal anti radar AGM-78 Standard ARM. Senjata baru itu memungkinkan peluncuran dari jarak yang lebih jauh dengan profil serangan yang jauh lebih mudah, karena Standar dapat diluncurkan hingga 180 derajat dari target dan masih didukung oleh kecepatannya, memungkinkannya untuk melakukan melaju ke sasaran lebih cepat daripada kecepatan rudal SA-2 itu sendiri. Meski demikian, bahkan setelah rudal Standard memasuki dinas operasional, pesawat-pesawat Amerika masih banyak membawa rudal Shrike, karena Standard berharga sekitar $200.000, sedangkan Shrike hanya berharga $7.000. Jangkauan operasional dari AGM-45A Shrike adalah 16 km, sedangkan AGM-45B sekitar 40 km. Kecepatan maksimum dari Shrike adalah Mach 1,5. Rudal ini menggunakan sistem pemandu Pelacak radar pasif. 

Rudal anti radar AGM-45 Shrike. (Sumber: https://www.designation-systems.net/)

Rudal AGM-65 Maverick 

AGM-65 Maverick adalah rudal udara-ke-darat (AGM) yang dirancang untuk misi dukungan udara jarak dekat. Maverick adalah rudal berpemandu presisi yang paling banyak diproduksi di dunia Barat, dan efektif digunakan untuk melawan berbagai target taktis, termasuk kendaraan lapis baja, pertahanan udara, kapal, kendaraan darat dan fasilitas penyimpanan bahan bakar. Pengembangan rudal ini dimulai pada tahun 1966 oleh Hughes sebagai rudal pertama yang menggunakan perangkat penjejak kontras elektronik. AGM-65 memasuki dinas operasional Angkatan Udara Amerika Serikat pada bulan Agustus 1972. Sejak itu, rudal ini telah diekspor ke lebih dari 30 negara dan disertifikasi untuk dipakai pada 25 pesawat. Maverick digunakan selama Perang Vietnam, Yom Kippur, Iran-Irak, dan Perang di Teluk Persia, bersama dengan konflik kecil lainnya, untuk menghancurkan pasukan musuh dan instalasi penting dengan berbagai tingkat keberhasilan tinggi. Sejak diperkenalkan, banyak versi Maverick telah dirancang dan diproduksi dengan menggunakan sistem pemandu inframerah elektro-optik, laser, dan pencitraan. AGM-65 memiliki dua jenis hulu ledak: satu memiliki kontak fuze di hidung, yang lain memiliki hulu ledak kelas berat yang dilengkapi dengan delay-action fuze, yang akan menembus target dengan energi kinetiknya sebelum meledak. Rudal tersebut saat ini diproduksi oleh Raytheon Missile Systems. Maverick memiliki konfigurasi fisik yang sama dengan rudal udara ke udara AIM-4 Falcon dan AIM-54 Phoenix buatan Hughes. Rudal ini memiliki panjang lebih dari 2,4 m (8 kaki) dan diameter 30 cm (12 inci). Maverick dapat menjangkau sasaran lebih dari 22 km (12 nmi). Kecepatan maksimumnya adalah 1.150 km/jam (620 kn).

Rudal AGM-65 Maverick. (Sumber: https://isratan.artstation.com/)

Rudal AGM-88 HARM

AGM-88 HARM (High-speed Anti-Radiation Missile) adalah rudal anti-radar udara-ke-permukaan taktis yang dirancang untuk digunakan pada transmisi elektronik yang berasal dari sistem radar permukaan-ke-udara. Rudal ini awalnya dikembangkan oleh Texas Instruments sebagai pengganti sistem rudal AGM-45 Shrike dan AGM-78 Standard ARM. Produksi HARM kemudian diambil alih oleh Raytheon Corporation ketika membeli bisnis produksi pertahanan Texas Instruments. AGM-88 dapat mendeteksi, menyerang, dan menghancurkan antena radar atau pemancar dengan inputan dari awak pesawat yang minimal, disamping bertipe fire and forget. Sistem panduan proporsionalnya yang menampung emisi radar musuh memiliki antena tetap dan kepala pencari di hidung rudal. Motor roket rudal ini tanpa asap, dari jenis propelan padat, yang mampu mendorong rudal ini dengan kecepatan lebih dari Mach 2.0. Rudal HARM berasal dari program yang diinisiasi oleh Angkatan Laut AS, dan pertama kali dibawa oleh pesawat A-6E, A-7, dan F/A-18A/B, dan kemudian melengkapi pesawat EA-6B. jangkauan operasional dari HARM adalah >60 nm (>111 km).

Rudal anti radar AGM-88 HARM. (Sumber: http://defense-studies.blogspot.com/)

Roket Zuni

Roket Zuni kaliber 5-inci Folding-Fin Aircraft Rocket (FFAR), atau kerap disebut sebagai Zuni saja, adalah roket tanpa pemandu berkaliber 5,0 in (127 mm) yang dikembangkan oleh Divisi Hunter-Douglas dari Bridgeport Brass Company dan digunakan oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat, dan Angkatan Udara Prancis. Roket ini dikembangkan untuk digunakan sebagai roket udara-ke-udara dan udara-ke-darat. Zuni dapat digunakan untuk membawa berbagai jenis hulu ledak, termasuk chaff untuk aksi countermeasures. Biasanya Zuni ditembakkan dari pod roket jenis LAU-10 yang bisa menampung masing-masing empat roket. Bobot roket ini adalah 79,5 pon (36,1 kg) (hanya motor), dengan panjang 77 inci (2.000 mm), diameter 5 inci (127mm). Zuni menggunakan roket berbahan bakar padat, yang mampu menerbangkannya hingga jarak 5 mil (8,0 km), dengan kecepatan maksimum 1.615 mil per jam (2.599 km/jam)

Roket Zuni. (Sumber: https://www.facebook.com/)

Bom pintar AGM-62 Walleye

AGM-62 Walleye adalah bom luncur berpemandu televisi yang diproduksi oleh Martin Marietta dan digunakan oleh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dari tahun 1960-an hingga tahun 1990-an. Sebagian besar memiliki hulu ledak berdaya ledak tinggi berbobot 250 lb (113 kg); beberapa bahkan memiliki hulu ledak nuklir. Pengkategorian Walleye sebagai “rudal udara-ke-darat” adalah hal yang keliru, karena ia adalah bom tanpa penggerak mandiri, yang dilengkapi dengan avionik pemandu, mirip dengan GBU-15 yang lebih modern. Walleye kemudian digantikan oleh AGM-65 Maverick. Walleye adalah yang pertama dari keluarga amunisi berpemandu presisi yang dirancang untuk mencapai target dengan kerusakan tambahan minimal. “Bom pintar” ini tidak memiliki sistem propulsi, tetapi dapat bermanuver melalui sistem pemandu yang dibantu televisi selama meluncur dari pesawat ke sasaran. Saat pilot menukik menuju target, kamera televisi di hidung bom mengirimkan gambar ke monitor di kokpit. Setelah pilot memperoleh gambar target yang tajam di layarnya, ia menentukan titik sasaran dan melepaskan bom, yang akan terus terbang menuju target yang ditentukan dengan sendirinya. Bom itu benar-benar bersistem fire-and-forget karena begitu diluncurkan, pesawat bisa langsung berbelok dari titik tujuan. Walleye sendiri bermanuver dengan menggunakan empat sirip besar. Versi selanjutnya menggunakan tautan data jarak jauh yang memungkinkan pilot terus menerbangkan bom itu setelah dirilis, dan bahkan mengubah titik target selama penerbangan. Walleye I asli membawa memiliki jangkauan 16 mil laut (30 km). Dalan pengoperasiannya, meski Walleye hanya menyumbang kurang dari enam persen dari amunisi berpemandu presisi yang digunakan oleh Angkatan Bersenjata AS selama Perang Vietnam, sistem senjata ini dapat mencapai hasil yang sangat baik dalam situasi yang tepat. Angkatan Laut Amerika kerap menggunakan Walleye melawan target yang paling penting dan paling sulit untuk dihancurkan. 

Bom pintar AGM-62 Walleye. (Sumber: https://www.designation-systems.net/)

Bom konvensional Mark 82

Mark 82 (Mk 82) adalah bom serba guna tanpa pemandu, dengan drag rendah, dan merupakan bagian dari bom seri Mark 80 asal Amerika Serikat. Bahan peledak yang digunakan biasanya adalah tritonal, meskipun komposisi lain kadang-kadang juga digunakan. Dengan berat nominal 500 lb (227 kg), bom ini adalah salah satu yang terkecil dalam dinas operasional saat ini, dan salah satu senjata yang dijatuhkan dari udara, yang paling umum dipakai di dunia. Meskipun berat nominalnya Mk 82 adalah 500 lb (227 kg), berat sebenarnya bervariasi tergantung pada konfigurasinya, dari 510 lb (232 kg) hingga 570 lb (259 kg). Bom dari selubung baja ramping ini mengandung 192 lb (89 kg) bahan peledak tinggi Tritonal. Mk 82 ditawarkan dengan berbagai kit sirip, fuze, dan retarder untuk tujuan yang berbeda-beda.

Bom Mark 82. (Sumber: https://free3d.com/)

Kanon M61 Vulcan

M61 Vulcan adalah kanon jenis Gatling (berlaras banyak) yang digerakkan secara hidraulik, elektrik atau pneumatik, dengan enam laras, berpendingin udara, dan ditenagai listrik yang menembakkan peluru kaliber 20 mm (0,787 in) dengan kecepatan yang sangat tinggi (biasanya 6.000 putaran per menit). M61 dan turunannya telah menjadi kanon utama pesawat sayap tetap militer Amerika Serikat dan sekutunya selama enam puluh tahun. Masing-masing dari enam laras kanon Vulcan menembak satu kali secara bergiliran selama pergerakan keenam larasnya. Beberapa laras memberikan kecepatan penembakan yang sangat tinggi — sekitar 100 peluru per detik — dan berkontribusi pada masa pakai senjata yang lebih lama dengan meminimalkan erosi dan panas pada laras. Waktu rata-rata antara kemacetan atau kegagalan pada penembakan kanon ini adalah lebih dari 10.000 peluru, dimana hal ini menjadikannya senjata yang sangat andal. Meski kecepatan penembakan Vulcan biasanya mencapai 6.000 peluru per menit (meskipun beberapa versi seperti pada pesawat AMX dan F-106 Delta Dart dibatasi pada kecepatan tembak yang lebih rendah), namun seperti pada A-7 Corsair memiliki kecepatan penembakan yang dapat dipilih antara 4.000 atau 6.000 peluru per menit. Jarak tembak yang efektif dari Vulcan adalah sekitar 2.000 kaki (600 m). Asupan peluru Vulcan menggunakan sistem sabuk atau tanpa tautan.

Kanon M61 Vulcan. (Sumber: https://www.artstation.com/)

DINAS OPERASIONAL DI VIETNAM 

Tanggal 4 Desember 1967 menandai diperkenalkannya A-7A Corsair II di medan perang. Squadron serang VA-147 “Argonouts” dibawah komando Commander James C. Hill hadir di medan perang bersama dengan USS Ranger (CVA-61). Skuadron ini menjalankan misi serangan pertamanya pada jembatan dan jalanan di sekitar kota Vinh. Pada tanggal 17 Desember, pesawat-pesawat A-4, A-6, dan A-7 dari USS Ranger menyerang rel Hai Duong dan kompleks jembatan antara Hanoi dan Haiphong. Hill baru saja menghindari dari sebuah rudal SAM saat melihat pesawat-pesawat MiG berputar-putar dan melihatnya dari kejauhan. Mungkin karena A-7A membawa rudal Sidewinder dan punya kemampuan tempur udara ke udara, MiG-MiG itu tidak berani menyerang. Pada tanggal 22 Desember, sebuah A-7A (nomor 153239) hilang, ini merupakan satu-satunya kehilangan pesawat jenis ini dalam pelayaran pertamanya. Pada tahun 1968, Letnan Benjamin Short menulis pada diary-nya bahwa separuh dari pilot-pilot A-7A di skuadronnya menerbangkan misi di malam hari sementara separuh lainnya  tidur. Tipikal muatan bom yang dibawa dalam misi-misinya terdiri dari 12 bom berbobot 227 kg tipe Mark 81 yang dipasang pada multiple ejector rack. Di Vietnam, udara yang panas dan lembap membuat semua mesin jet mudah kehilangan tenaga, dan bahkan A-7D dan A-7E yang telah ditingkatkan kemampuannya tidak memenuhi tenaga yang dibutuhkan saat digunakan dalam kondisi ini. Dalam situasi ini dibutuhkan jarak lepas landas panjang, dan pesawat bersenjata lengkap harus berjuang untuk bisa mencapai kecepatan 500 mph (800 km/jam). Sementara itu dalam misi serangan terhadap Jembatan Thanh Hóa pada tanggal 6 Oktober 1972, empat pesawat A-7C dari VA-82 berhasil mengirimkan 8.000 pon bahan peledak tingkat tinggi dengan dua pesawat yang membawa dua bom Walleye berbobot 2.000 pon (910 kg), sementara dua lainnya juga membawa bom serbaguna Mk 84 berbobot 2.000 pon. Dalam serangan serentak, tiang bagian tengah di sisi barat jembatan terkena dan mematahkan bentangannya menjadi dua. Setelah ini, jembatan Thanh Hoa dianggap hancur secara permanen dan dihapus dari daftar target serangan. Kemudian pada tanggal 18 November 1972, Mayor Colin A. Clarke memimpin misi CSAR yang sukses di dekat (lagi-lagi) Thanh Hoa untuk menyelamatkan awak pesawat pembom tempur Republic F-105 Thunderchief yang jatuh. Misi ini berlangsung total 8,8 jam di mana Clarke dan wingman nya menderita sejumlah tembakan dari senjata anti-pesawat kaliber 0,50 (12,7 mm). Atas tindakannya dalam mengoordinasikan penyelamatan, Clarke dianugerahi Medali Air Force Cross, penghargaan tertinggi kedua di USAF untuk keberanian, dan A-7D (AF Serial No. 70-0970) miliknya akhirnya dipajang pada tanggal 31 Januari 1992 di Museum Nasional Angkatan Udara Amerika Serikat di Wright-Patterson AFB, Ohio.

VA-147 adalah skuadron A-7 USN yang operasional pertama kali pada tahun 1967. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Sebuah A-7 Corsair II dari 147th Attack Squadron (VA-147) bersiap untuk peluncuran misi di Vietnam Utara. (Sumber: https://www.history.navy.mil/)

Di Vietnam, seperti dijelaskan oleh Norman Birzer dan Peter Mersky dalam buku mereka US Navy A-7 Corsair II Units of the Vietnam War, bagi banyak pilot Corsair II Angkatan Laut, kanon Vulcan adalah senjata yang menarik, tetapi nyatanya, mereka tidak banyak menggunakannya dalam pertempuran, terutama karena tidak ada cukup target yang tepat untuk ditembaki. Bahkan pengarah udara garis depan (FAC) agak enggan untuk membiarkan penerbang A-7 yang bersemangat melakukan penembakan jika situasinya tidak memungkinkan. Sebaliknya Kapten USAF Ralph Wetterhahn (yang sebagai letnan satu pernah menembak jatuh MiG-21 selama Operasi Bolo dan yang kemudian menjadi penulis yang sukses), yang sedang menjalani tur pertukaran pilot dengan squadron VA-146 “Blue Diamonds” pada tahun 1970, suka menembakkan kanon A-7E yang diterbangkannya. Hal ini membuatnya tidak disukai oleh para kru daratnya. Dalam sebuah bar di Kota Olongapo, di Filipina, Wetterhahn sempat didatangi oleh seorang kapten pesawat (tamtama yang bertanggung jawab atas pesawat tertentu di skuadron). “Kami semua mabuk dengan gembira, dan satu orang bertopi putih mendekat ke saya, dan memanggil saya ‘Kapten Messerschmitt.’ Saya pikir itu ada hubungannya dengan nama Jerman saya. ‘Tidak tepat juga,’ dia mengoreksi, sambil mengatakan bahwa itu sebenarnya adalah nama panggilan saya di antara para ‘mechs’ (personel mekanis) karena setiap kali saya terbang, saya membawa pesawat itu kembali dalam keadaan kotor karena saya telah menembakkan kanonnya. Saya biasanya menembakkan M61, terutama di malam hari. Pada suatu kesempatan, awak maintenance ingin agar amunisi bisa dikosongkan karena suatu alasan, dan saya pun melakukannya. Semua 1000 peluru… “zzziiip!’ (dihabiskan). Akibatnya cordite menempel di perut pesawat, dan karena sifatnya yang korosif, itu harus dibersihkan sebelum lapisan garam menempel. 

A-7B dari CVW-16 di kapal induk USS Ticonderoga pada tahun 1968. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Sebuah A-7A/B dengan rudal Shrike dan bom pintar Rockeye. (Sumber: http://www.arcforums.com/)

“Saya telah menemukan cara untuk menjatuhkan bom, dengan menembakkan kanon Gatling selama proses menanjak – taktik yang dirancang untuk menjaga personel senjata AAA lawan tetap menunduk saat saya meninggalkan area tersebut. Sejujurnya, saya cuma suka menembakkan kanon. ‘Para penembak AAA dapat melihat ledakan di laras kanon Anda di malam hari’, penerbang lain memberi tahu saya. ‘Hei, mereka akan bisa melihat semua pesawat sepanjang waktu di siang hari dan gagal mengenai sasaran,’ balasku, “jadi apakah karena mereka melihat kilatan ledakan selama dua detik di malam hari, mereka tiba-tiba bisa menjadi lebih akurat?’ “Tapi itu bukan soal pesawatnya maksud kapten itu. Dia dan rekan-rekan PC-nya harus membersihkan bekas cordite dari A-7 saya. “Ini benar-benar melelahkan, Kapten Messerschmitt!” “Baik,” kataku padanya. “Lain kali aku terbang, aku akan membersihkan benda sialan itu sendiri!” “Dua minggu kemudian, kembali ke misi serangan, saya bertugas dalam misi di malam hari dengan muatan enam bom Mk 83 dan kanon 20 ‘mike-mike’ bermuatan penuh. Tak perlu dijelaskan lagi, pesawat itu kembali dengan perut berwarna hitam. Setelah A-7 saya dirantai, saya melihat personel PC melihat ke bawah, dengan ekspresi jengkel di wajahnya. ‘Jangan sentuh itu,’ kataku. “Bersihkan yang ingin anda bersihkan saat fajar dan tunggu saya.” “Saya pergi untuk mengikuti briefing dan mulai membersihkan pesawat, dimana ada 200 pelaut yang berkumpul di sekitar A-7 saya, ketika saya muncul. “Saya setengah jalan membersihkan pesawat menuju ekor, saat sang kapten meluncur di samping saya dan mengambil kain lap. “Tidak pernah terpikir saya akan pernah melihat seorang perwira melakukan ini. Saya akan mengambil alih tugas ini – dan hal lain. Tembakkanlah kanon anda kapan saja anda mau.” Mengomentari pengalaman ini, Wetterhahn menyimpulkan bahwa rekan-rekan pilot di Angkatan Laut tidak menggunakan kanon sebanyak yang dia lakukan. Sebagian besar, ketika kami menjalankan misi di Vietnam Selatan, kami menggunakannya, di Laos Juga. Selain itu, Anda harus cukup dekat ke sasaran agar pemboman menjadi lebih efektif. Ini berarti menempatkan diri Anda dalam jangkauan senjata AAA. Saat saya menembak tinggi, pelurunya akan mengenai tanah di depan area tempat saya menarik diri.” 

Di Vietnam Corsair II berada di urutan kedua setelah bomber Boeing B-52 Stratofortress dalam jumlah bom yang dijatuhkan di Hanoi dan mereka tercatat menjatuhkan lebih banyak bom per serangan dengan akurasi lebih besar daripada pesawat serang AS lainnya. (Sumber: https://www.pinterest.com/)
A-7D-10-CV Corsair II 71-0309 dari 3d TFS di Pangkalan Angkatan Udara Korat Thailand, 1973. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Dengan berakhirnya keterlibatan militer AS di Vietnam Selatan, TFW ke-354, operator A-7D USAF, yang ditempatkan di Korat, mulai menerbangkan misi serangan di Kamboja untuk mendukung pemerintah Lon Nol dalam membantu Angkatan Bersenjata Nasional Khmer melawan gerilyawan Khmer Merah. A-7D yang ditempatkan di Korat terlibat dalam operasi tempur di Kamboja hingga tanggal 15 Agustus 1973 ketika A-7D dari 353TFS/354th TFW melakukan misi dukungan udara terakhirnya. Pada tanggal 15 Mei 1975, pesawat-pesawat A-7E yang beroperasi dari USS Coral Sea, bersama dengan pesawat A-7D yang ditugaskan ke TFS ke-3 di Korat RTAFB, memberikan perlindungan udara dalam apa yang dianggap sebagai pertempuran terakhir dalam Perang Vietnam, yakni penyelamatan kapal SS Mayagüez setelah dibajak oleh kapal bersenjata Khmer Merah. Dalam perang Vietnam, sebagai platform tempur, A-7 berhasil memenuhi harapannya. Dari hampir 13.000 misi serangan yang diterbangkan A-7D USAF di Vietnam, hanya 6 pesawat yang hilang dalam tugas (yang terendah dari setiap pesawat tempur AS di perang itu), sebaliknya AL Amerika kehilangan sebanyak 98 A-7 Corsair hilang selama perang. Meski demikian Corsair akan dikenal sebagai salah satu platform pengirim bom paling akurat selama konflik tersebut. Corsair juga berada di urutan kedua setelah bomber Boeing B-52 Stratofortress dalam jumlah bom yang dijatuhkan di Hanoi dan mereka tercatat menjatuhkan lebih banyak bom per serangan dengan akurasi lebih besar daripada pesawat serang AS lainnya.

DINAS OPERASIONAL SETELAH VIETNAM

SLUF menerima sejumlah peningkatan kemampuan pada periode setelah Perang Vietnam. Pada tahun 1977, Angkatan Udara mulai meng-upgrade A-7D mereka dengan skema “Automated Maneuvering Flaps“, di mana sistem kontrol penerbangan dapat secara otomatis menyesuaikan sayap depan dan belakang untuk mengimbangi kecenderungan pesawat untuk “berputar pada sudut serang yang tinggi”. Pada waktu yang hampir bersamaan, USAF memasang A-7D dengan modul pendeteksi titik laser “Pave Penny” di bawah bibir bawah saluran masuk udara. Pave Penny digunakan pada pesawat serang Fairchild A-10 Warthog; perangkat ini memungkinkan pilot untuk membidik target yang ditandai oleh sinar laser, yang digunakan oleh pasukan darat atau pengontrol udara garis depan. Pod Pave Penny A-7D dikoneksikan ke dalam HUD untuk membantunya pilot menemukan target. Bom yang dipandu laser (LGB) kemudian dapat digunakan untuk melancarkan serangan presisi. Radar AN/APQ-126 A-7D juga menerima beberapa peningkatan subsistem untuk meningkatkan keandalannya. Beberapa senjata baru yang memenuhi syarat, terutama rudal udara-permukaan AGM-65 Maverick ASM ditambahkan. Rudal ini pada prinsipnya dapat dibawa di pylon “pipi”, serta pylon di bawah sayap. Pada awal tahun 1980-an, A-7D sebagian besar telah dihapus dari dinas operasional utama USAF, demi memberi tempat bagi A-10. A-7D kemudian di transfer ke unit Air National Guard (ANG), dengan pengiriman pertama SLUF ke skuadron ANG pada bulan Oktober 1975. Pada periode pascaperang, A-7 USAF mempertahankan cat disruptive camouflage tetapi dalam skema cat berbeda, awalnya hijau dan coklat secara keseluruhan, kemudian abu-abu multi-tone

Pada periode pascaperang, A-7 USAF mempertahankan cat disruptive camouflage tetapi dalam skema cat berbeda, awalnya hijau dan coklat secara keseluruhan, kemudian abu-abu multi-tone. (Sumber: https://www.airvectors.net/)

Angkatan Laut juga mengadopsi skema Automated Maneuvering Flaps untuk armada A-7E mereka, dan memasang 200 A-7E dengan pod “AN/AAR-45 Forward Looking Infrared (FLIR)”, yang dibawa di pylon sebelah kanan untuk menampilkan citra termal pada HUD pilot. Pod FLIR memberi A-7E kemampuan serangan malam / cuaca buruk, seorang pilot menyebutnya “benar-benar menakjubkan”. Itu adalah komponen utama dari kemampuan “Low Altitude Night Attack (LANA)” A-7E, bersama dengan radar yang mampu mengikuti kontur medan, yang memungkinkan SLUF untuk melakukan penetrasi dan serangan ketinggian rendah di malam hari dan dalam cuaca buruk. A-7E juga memenuhi syarat untuk mengangkut persenjataan baru, seperti: 

  • Bom luncur berpemandu TV Walleye II seberat 900 kilogram (2.000 pon), yang membutuhkan penggunaan pod datalink. SLUF tampaknya telah menggunakan senjata ini sejak masa akhir Perang Vietnam. 
  • LGB, meskipun Angkatan Laut tidak pernah begitu antusias membawanya di A-7E, karena tidak memiliki perangkat penanda laser atau bahkan kemampuan pelacakan titik.
  • AGM-45 Shrike, yang juga berasal dari masa Vietnam, dan rudal anti-radar AGM-88 HARM untuk peran “defense suppression“. Bagaimana tepatnya A-7E menargetkan senjata-senjata ini tidak jelas; mungkin menggunakan defensive radar warning receiver miliknya.

Pada saat ini, Angkatan Laut telah mengganti pada skema warna abu-abu/putih tradisional yang rapi, dengan “skema cat taktis” yang lebih praktis walau tampak suram dengan warna keseluruhan abu-abu berbintik-bintik.

Pesawat Vought A-7E Corsair II dari skuadron serang VA-15 Valions dan VA-87 Golden Warriors dari Carrier Air Wing Six (CVW-6) berbaris di dek penerbangan kapal induk USS Independence (CV-62) pada bulan Desember 1983. kapal induk ini beroperasi di lepas pantai Lebanon untuk mendukung pasukan penjaga perdamaian multinasional di Beirut. Pada bulan Oktober 1983 Kemerdekaan mengambil bagian dalam invasi Grenada. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

SLUF tidak terlibat dalam pertempuran setelah berakhirnya keterlibatan AS di Vietnam sampai musim gugur tahun 1983, ketika pesawat-pesawat ini berpartisipasi dalam Operasi URGENT FURY, invasi di Grenada, kepulauan Karibia. Setelah kudeta kelompok Kiri di negara pulau kecil itu, Presiden AS Ronald Reagan memerintahkan pasukan AS untuk menduduki negara itu. Armada A-7E Angkatan Laut AS menerbangkan hampir 300 misi serangan untuk mendukung pasukan darat Amerika yang memerangi para penasihat Kuba di pulau itu. SLUF menjatuhkan bom besi, bom cluster Rockeye, dan juga menembaki sasaran dengan kanon Vulcan mereka. Ada keraguan setelah itu bahwa URGENT FURY dapat dibenarkan, dan aksi militer itu ditandai dengan kesalahan-kesalahan yang cukup besar, karena tergesa-gesa dalam perencanaan operasinya — tetapi hal itu menunjukkan bahwa AS sekali lagi bersedia menggunakan kekuatan militernya. Petualangan itu berjalan baik di mata publik Amerika, dan sangat meningkatkan popularitas Reagan. Beberapa kelemahan dalam operasi itu, kemudian menyebabkan munculnya gerakan reformasi militer, menghasilkan Undang-Undang Goldwater-Nichols bipartisan pada tahun 1986 yang mengatur ulang struktur komando militer untuk memastikan adanya koordinasi yang lebih baik antara berbagai satuan angkatan bersenjata AS. SLUF tercatat juga bertempur di tempat lain pada waktu yang hampir bersamaan, dan itu tidak berhasil dengan baik. Reagan telah memutuskan untuk memerintahkan intervensi militer AS dalam perang saudara di Lebanon dalam upaya untuk memulihkan ketertiban, tetapi hasilnya adalah bencana. Pada tanggal 23 Oktober 1983, sebuah faksi Islam di Lebanon menggunakan bom truk untuk menghancurkan barak Marinir AS di dekat bandara Beirut, yang menewaskan 241 orang Amerika. Pemerintah AS lalu memutuskan untuk melakukan serangan udara balasan terhadap pihak-pihak yang dicurigai dan para pendukung Suriah mereka di Lebanon. Serangan itu sempat tertunda, tetapi akhirnya dilanjutkan pada tanggal 4 Desember 1983, dengan menggunakan aset-aset gabungan dari beberapa kapal induk. Serangan itu tidak direncanakan dengan baik dan menghadapi pertahanan udara Suriah yang tangguh. Satu pesawat A-7E ditembak jatuh, namun pilotnya berhasil diselamatkan, dan sebuah A-7E lainnya rusak parah sehingga harus di-write off setelah mendarat. Sebuah pesawat Grumman A-6E Intruder juga ditembak jatuh, dimana salah satu awaknya tewas dan yang lainnya ditawan Suriah selama sebulan. Tidak hanya serangan udara itu tidak efektif, tetapi seluruh upaya AS di Lebanon, yang tidak dipikirkan dengan matang sejak awal, telah benar-benar berantakan. AS kemudian segera menghentikan petualangan mereka dan menarik diri dari Lebanon. 

A-7E dari VA-72 di kapal induk USS America di lepas Libya pada bulan April 1986. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Namun, pemerintahan Reagan lebih sibuk lagi dalam berurusan dengan diktator Libya yang eksentrik, Kolonel Mohamar Qaddafi. Qaddafi mengambil sikap anti-Amerika dan mendukung gerakan revolusioner internasional; Reagan melihatnya sebagai ancaman bagi perdamaian dan mengirimkan Armada Mediterania AL AS untuk menantang deklarasi Qaddafi tentang “zona kematian” di lepas pantai Libya. Konfrontasi terus berlanjut, yang mengarah ke serangan pada tanggal 24 dan 25 Maret 1986 oleh pesawat Angkatan Laut AS, termasuk pesawat-pesawat A-7E, dengan situs pertahanan udara Libya dibom dan sejumlah kapal kecil Angkatan Laut Libya ditenggelamkan. Serangan A-7E termasuk peluncuran rudal HARM untuk mematikan radar Libya, yang merupakan penggunaan senjata ini untuk pertama kalinya oleh Angkatan Laut, yang terbukti sangat efektif. Itu hanyalah pemanasan. Pada tanggal 5 April 1986, sebuah bom meledak di sebuah diskotek di Berlin, yang menewaskan dua orang, termasuk seorang prajurit Amerika, dan melukai lebih dari 200 orang lainnya. Intelijen AS kemudian mengaitkan pengeboman itu dengan Libya, dan sebagai tanggapan, AS mengorganisir serangan udara besar-besaran di Libya pada malam tanggal 14-15 April 1986. Serangan tersebut, diberi nama Operasi EL DORADO CANYON, melibatkan aset dari Angkatan Udara AS dan Angkatan Laut AS, untuk menyerang berbagai target, dengan pesawat-pesawat A-7E terbang sebagai bagian dari armada angkatan laut. Serangan itu tepat pada sasaran; dan meskipun orang-orang Libya bersatu di belakang Qaddafi sebagai tanggapan serangan Amerika, namun keterlibatan Libya dalam kegiatan teroris tampaknya memudar setelah waktu itu.

A-7E dari VA-72 terbang di atas gurun Saudi selama Operasi Desert Shield. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

A-7 juga berpartisipasi dalam “Perang Tanker” di Teluk Persia pada tahun 1988. Selama Perang Iran-Irak, lalu lintas kapal tanker yang melalui Teluk Persia harus menanggung serangan oleh kedua belah pihak, dan pada tahun 1987 dan 1988 kapal-kapal Angkatan Laut AS beroperasi di Teluk dalam upaya untuk menjaga ketertiban. Seperti yang sudah diperkirakan, mereka menerima serangan pada beberapa kesempatan. Pada tanggal 14 April 1988, fregat Angkatan Laut AS SAMUEL B. ROBERTS menghantam sebuah ranjau Iran, dan pada tanggal 18 April Angkatan Laut Amerika melakukan serangan udara dan rudal lewat Operasi PRAYING MANTIS pada platform minyak Iran dan aset-aset angkatan lautnya sebagai pembalasan. Pesawat-pesawat A-7E turut berpartisipasi dalam serangan tersebut, terutama dalam menenggelamkan fregat Iran SAHAND, menggempurnya dengan bom besi dan Walleye, serta menghancurkan sejumlah kapal serang Iran dengan bom cluster Rockeye. Sementara itu, A-7D Angkatan Udara tidak menjalankan misi tempur dalam jangka waktu lama pasca-Vietnam sampai tahun 1989 — dan bahkan saat itu perannya sangat minim, dengan Ohio Air National Guard, yang menyediakan perlindungan udara untuk aksi pendudukan AS di Panama pada tahun itu. Meskipun SLUF ditarik dengan cepat dalam dinas Angkatan Laut AS pada akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an, untuk digantikan oleh McDonnell Douglas F/A-18 Hornet, akan tetapi masih ada dua skuadron A-7E yang beroperasi selama Perang Teluk tahun 1991. Kedua skuadron itu adalah VA-46 dan VA-72, yang beroperasi dari kapal induk USS John F. Kennedy (CV-67). Mereka berpartisipasi dalam konflik, dimulai dengan menembakkan rudal antiradar HARM pada hari pertama perang udara, tanggal 17 Januari 1991, untuk melumpuhkan situs-situs radar Irak. Mereka menindaklanjuti aksi ini selama minggu-minggu berikutnya dengan melancarkan serangan menggunakan bom luncur Walleye, rudal jelajah AGM-84E SLAM yang baru, serta bom biasa dan munisi tandan. Corsair mencatat 37 misi tempur di Irak dan Kuwait selama Perang Teluk, termasuk serangan terhadap Baghdad pada malam pembukaan kampanye udara. Tidak ada SLUF yang hilang dalam tugas, tetapi satu rusak tidak dapat diperbaiki dalam kecelakaan saat peluncuran. Selama Operasi Badai Gurun itu, A-7 menunjukkan kesiapan operasional lebih dari 95% dan tidak pernah gagal menjalankan satu misi sekalipun. Skuadron SLUF Angkatan Laut dan Cadangan Angkatan Laut AS terakhir dibubarkan pada musim semi tahun yang sama, 1991. Sementara itu, mengganti A-7 dengan F/A-18 memberi komandan operasi AL Amerika lebih banyak fleksibilitas dengan memungkinkan mereka untuk menggunakan F/A-18 baik dalam peran tempur atau penyerangan. Juga, dari sisi jumlah pesawat yang diperlukan di wing udara menjadi lebih kecil (85 pesawat) jika dilengkapi dengan F/A-18 daripada di wing udara yang dilengkapi A-7E (94 pesawat). Beberapa pengadian terakhir dari Corsair dalam militer Amerika, adalah saat menjalankan peran pesawat latih untuk pilot-pilot program pesawat tempur siluman Lockheed F-117 “Nighthawk” di mana kemampuan terbang subsoniknya dianggap mirip dengan pembom penghindar radar tersebut. Beberapa versi dua kursi tetap terus beroperasi dalam dinas Angkatan Laut sampai tahun 1994 dalam peran uji senjata. US ANG SLUF akhirnya pensiun pada tahun 1993, telah digantikan oleh General Dynamics F-16 dalam peran serang. Seperti dibahas di bawah, beberapa SLUF yang sudah pensiun lalu dioper ke pengguna negara lain.

DINAS OPERASIONAL DI LUAR AMERIKA

SLUF diekspor dalam jumlah sedang ke Yunani, Portugal, dan Thailand. Sebuah versi “A-7G” sempat ditawarkan ke Swiss pada tahun 1972, tetapi Swiss akhirnya memilih Northrop F-5E Tiger II untuk kebutuhan mereka sebagai gantinya, dan Pemerintahan Carter membatalkan rencana untuk mentransfer 100 SLUF bekas ke Pakistan. Yunani adalah pengguna asing pertama yang benar-benar mendapatkan tipe tersebut, dan merupakan satu-satunya pengguna asing yang mendapatkan pesawat produksi baru. SLUF Yunani diberi kode sebagai “A-7H”, di mana “H” berarti “Hellenic“, dan sangat mirip dengan A-7D. A-7H pertama melakukan penerbangan pertamanya pada tanggal 6 Mei 1975. 60 unit diberikan kepada Angkatan Udara Yunani, bersama dengan lima “TA-7H” versi dua tempat duduk. Mereka menggantikan pesawat tempur Republic F-84 Thunderstreak dalam dinas operasional Yunani. Yunani menerbangkan A-7 dalam peran serangan, dan juga menerbangkan mereka dalam peran pertahanan udara sekunder dengan dipersenjatai rudal AAM Sidewinder jarak pendek. Mereka sangat menyukai SLUF, dan memperoleh 36 surplus A-7E dan TA-7C pada tahun 1990-an. Mereka akhirnya pensiun pada tahun 2014. Sementara itu, pada awal tahun 1980-an, Angkatan Udara Portugis memperoleh sejumlah A-7A yang diperbarui dengan sebutan “A-7P”. Pesawat-pesawat ini dilengkapi dengan mesin TF30-P-408 dan perangkat avionik A-7A, meskipun mereka mempertahankan kanon kembar Mark 12 kaliber 20 milimeter. 20 A-7P, bersama dengan A-7C yang disewa, disediakan pada tahun 1981. Mereka diikuti pada tahun 1984 oleh 24 A-7P, dan kemudian enam “TA-7P” versi dua kursi pada tahun 1985. Sejumlah suku cadang A-7A juga disediakan. A-7P bertugas dalam peran pertahanan udara untuk sementara waktu, dengan membawa Rudal AAM Sidewinder, tetapi karena peran itu kemudian diambil alih oleh General Dynamics F-16 Viper, mereka lalu mendapatkan peran serang alami mereka. A-7P Portugis dipersenjatai dengan bom besi dan rudal ASM Maverick dalam peran penyerangan. Mereka juga dilengkapi dengan perangkat countermeasures defensif, dengan RWR dan dispenser chaff-flare, dan dapat membawa pod jammer AN/ALQ-131. Yang terakhir dari Corsair Portugal pensiun pada tahun 1999. Sebanyak 20 surplus A-7E dan TA-7C, termasuk dua airframe cadangan A-7E, sempat dijual ke Angkatan Laut Thailand pada tahun 1995. Meskipun Angkatan Laut Thailand memiliki kapal induk, ia dirancang untuk digunakan dengan helikopter dan jump jet Harrier, dan memiliki fitur “ski-jump” untuk lepas landas Harrier. Tidak jelas apakah SLUF dapat lepas landas atau mendarat di kapal seperti itu dalam keadaan apa pun, tetapi bagaimanapun juga SLUF Thailand benar-benar berbasis darat. Pada pemberitahuan terakhir, mereka berada dalam tempat penyimpanan yang dapat disiagakan sewaktu-waktu. 

A-7 Corsair II Yunani. Yunani adalah operator terbesar Corsair II diluar Amerika. (Sumber: https://www.airfighters.com/)
A-7P Angkatan Udara Portugis. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Sebuah A-7E Angkatan Laut Kerajaan Thailand di Museum Angkatan Udara Kerajaan Thailand. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Sementara itu, seperti yang telah disinggung diatas, A-7 juga sempat menarik minat Pakistan untuk melengkapi armada udaranya. Meskipun Angkatan Udara Pakistan (PAF) umumnya mengandalkan China dan Prancis untuk menyuplai pesawat-pesawat tempurnya selama tahun 1970-an (masing-masing melalui Shenyang F-6 dan Dassault Mirage III/5), namun Pakistan masih mencari pesawat tempur baru dari AS. Meskipun tidak berhasil dalam upaya ini hingga tahun 1980-an dengan diakuisisinya F-16, PAF menghabiskan sebagian besar tahun 1970-an bernegosiasi dengan AS untuk mendapatkan pengganti yang cocok untuk armada North American F-86 Sabre tuanya. Pada tahun 1974, PAF memilih opsi untuk mendapatkan Northrop F-5 Freedom Fighter/Tiger dan Ling-Temco-Vought (LTV) A-7 Corsair II. Pakistan kemudian memilih A-7 Corsair II, dan membuat permintaan resmi untuk mengunjungi LTV Aerospace Corporation untuk mengevaluasi pesawat pada tahun yang sama. Pada tahun 1977, AS dan Pakistan sedang mengerjakan kesepakatan penjualan hingga 110 A-7 seharga $500 juta AS ($2,49 miliar AS hari ini). Namun, pemerintahan Jimmy Carter membatalkan kesepakatan potensial itu, dengan alasan bahwa penjualan tersebut dapat mengacaukan keseimbangan kekuatan di Asia Selatan. Washington awalnya berharap untuk memanfaatkan A-7 sebagai sarana untuk mendorong Pakistan mengurangi program senjata nuklir rahasianya. AS memandang A-7 sebagai aset serang yang kuat, yang seharusnya meredakan kekhawatiran Pakistan terhadap program nuklir India. Menariknya, AS tidak hanya mempertahankan tawaran F-5E ke Pakistan (terlepas dari program nuklir Pakistan), tetapi juga untuk memastikan India tidak terlalu memperlebar kesenjangan, dengan mencegah Swedia menjual pesawat JA-37 Viggennya ke Angkatan Udara India (IAF). AS juga terus berbicara dengan Pakistan tentang penjualan pesawat tempur, tetapi di bawah kerangka ekspor senjata yang lebih ketat dari pemerintahan Carter, yaitu membatasi akses ke sistem yang memiliki kemampuan setara dengan yang digunakan oleh AS. Sepanjang tahun 1970-an, AS secara konsisten berpandangan bahwa penerus alami F-86 PAF adalah F-5E Tiger II. Pada tahun 1979, AS menawarkan 40+ F-5E seharga $450 juta AS (dengan kemungkinan meningkatkan tawaran menjadi 70-80 pesawat). Selain itu, AS juga bersedia menerima kemungkinan penjualan rudal udara-ke-darat (AGM) AGM-65 Maverick dengan F-5E yang ditawarkan. Tidak jelas bagaimana pembicaraan berlangsung untuk F-5E, tetapi sebagai pengganti pesawat canggihnya sendiri (misalnya, F-16), AS juga siap untuk mendorong negara lain untuk memberikan dukungan pembiayaan jika PAF meminta suplai pesawat dari mereka (misalnya, Prancis). Namun, pada tahun 1981 situasinya akan berubah sepenuhnya dengan AS melonggarkan pembatasan ekspornya dan, pada gilirannya, penandatanganan dilakukan PAF untuk memesan 40 F-16A/B Block-15. Satu detail menarik dalam hal desakan PAF untuk penjualan A-7 adalah bahwa PAF secara aktif mencari aset serang darat yang mumpuni. Dalam arti tertentu, AS benar dalam penilaiannya bahwa pengganti alami F-86 adalah F-5E, namun PAF bersikeras pada jenis platform yang sangat berbeda. Mengapa PAF mencari pesawat dengan kemampuan serang yang lebih kuat? Jelas bahwa rencana pembelian 110 A-7 Corsair II cara untuk membangun kemampuan serang darat yang cukup besar, tidak hanya untuk dukungan udara jarak dekat (CAS) dalam operasi darat, tetapi juga untuk misi serangan jauh ke dalam wilayah musuh (dalam hal ini India adalah sasaran potensialnya).

RESTROSPEKSI

Dalam restrospeksinya, A-7 adalah salah satu pesawat yang mampu menunjukkan kinerja yang baik dalam berbagai misi. Pesawat lain mungkin lebih cepat atau memiliki kemampuan angkut dan jangkauan yang lebih besar atau memiliki kecepatan mendaki yang lebih cepat. Terkadang, ada juga pesawat yang memiliki karakteristik khusus yang dianggap sangat penting sehingga mendominasi keseluruhan desainnya. Hasilnya adalah pesawat “spesifik” yang dapat melakukan satu misi dengan sangat baik tetapi relatif kurang efektif dalam menjalankan misi lainnya. Dalam hal ini, parameter desain dari A-7 dibuat agar pesawat ini memiliki kemampuan menjalankan berbagai misi yang luar biasa. Hal ini tercermin sedari awal karir A-7, yang terbukti berhasil digunakan di hampir setiap peran serangan yang mungkin dilaksanakan selama konflik di Vietnam di mana ia pertama kali beraksi pada tahun 1967, terutama setelah muncul seri D dan E. Berikut adalah beberapa faktor yang dimiliki A-7D/E yang membuatnya memiliki rekor tempur yang hebat dan disukai di kalangan komunitas pilotnya:

  1. Jangkauan dan daya tahan yang luar biasa, yang disediakan oleh mesin turbofan TF-41. Misi selama 3 jam lebih dimungkinkan untuk dijalankan. 
  2. Kapasitas angkut yang besar dan fleksibilitasnya dalam menjalankan berbagai misi. Dengan enam pylon penyimpanan eksternal + rudal sidewinder + meriam kanon Vulcan, A-7 memiliki fleksibilitas luar biasa dalam membawa muatan untuk melaksanakan berbagai jenis misi mulai dari peranjauan, anti-kapal hingga penyerangan dan misi dukungan udara jarak dekat (CAS) tradisional. 
  3. Perangkat avionik yang tercanggih di masanya. Dilengkapi dengan komputer digital (memungkinkan untuk diupgrade lebih lanjut), perangkat navigasi inersia, HUD, tampilan peta bergerak (semacam Google maps sebelum ada Google maps menjadi marak), radar yang sangat baik, perangkat pertahanan diri EW + perangka jamming aktif, komputer data udara digital, dll.
  4. Pengiriman senjata yang dikendalikan dengan komputer: Ini mungkin adalah keunggulan terbesar A-7, dimana pesawat ini memiliki kemampuan mengirimkan senjata ke sasaran yang dikendalikan oleh komputer yang terhubung ke komputer data udara dan sistem inersia — ini adalah inovasi yang sebenarnya dan kemampuan mengirimkan bom ditingkatkan dengan faktor 2X-3X dalam hal ketepatannya. Secara konsisten Corsair mampu mengirimkan bom dengan akurasi kurang dari 10 mil Circular Error Probable (CEP) dan menembakkan kanon-nya dengan akurasi kurang dari 5 mil CEP.
  5. Kemudahan perawatan dan keandalan: A-7 menikmati “masa operasional aktif” yang sangat baik dan relatif mudah dirawat dan diservis. Melakukan penggantian mesin di atas kapal induk jauh lebih mudah daripada mengganti mesin A-4 yang digantikannya. Demikian pula, banyak masalah yang mengganggu pada A-4 dan F-8 (seperti kebocoran hidrolik) telah diselesaikan pada A-7. Untuk USN, hal ini menyebabkan A-7E menjadi pesawat “pekerja keras” yang nyata untuk airwing pada kapal-kapal induknya, yang mampu menghasilkan frekuensi misi serangan yang tinggi.
  6. Kemampuan untuk secara otomatis memperpanjang flap terdepan (Auto Maneuvering Flaps-AMF) pada manuver AoA tinggi ditambahkan pada pertengahan tahun 80-an pada A-7E. Hal ini sangat membantu dan mungkin menyelamatkan beberapa nyawa dengan mencegah stall yang tidak disengaja. 
  7. Peningkatan: Selama masa pakai A-7, digital bus dan kontrol komputer memungkinkan banyak peningkatan pada kemampuan angkut senjata A-7 (seperti rudal Maverick, HARM, APAM, bom berpemandu laser, dll.) serta beberapa perubahan kinerja seperti flap manuver otomatis. Peningkatan avionik juga diikuti dengan peningkatan radar ke versi pemindaian digital yang ditingkatkan, radio ganda Havequick yang ditingkatkan, sistem manajemen penerbangan yang ditingkatkan, kursi lontar yang ditingkatkan. Hal ini membuat A-7 tetap layak digunakan bahkan dalam Operasi Badai Gurun di awal tahun 90-an, ketika skuadron A-7 USN terakhir dikerahkan, setelah bertugas selama 25 tahun.
Dua A-7K Corsair II dari USANG pada tahun 1988. Dalam pengabdiannya Corsair II memiliki banyak keunggulan yang membuatnya dikagumi oleh kawan dan lawannya. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

KARAKTERISTIK UMUM A-7 CORSAIR II

  • Kru: 1
  • Panjang: 46 ft 2 in (14.06 m)
  • Lebar: 38 ft 9 in (11.8 m); 23 ft 9 in (7.24 m) sayap dilipat
  • Tinggi: 16 ft 1 in (4.9 m)
  • Luas area: 374.9 sq ft (34.83 m2)
  • Bobot kosong: 19,127 lb (8,676 kg)
  • Bobot takeoff penuh: 41,998 lb (19,050 kg) kondisi overload.
  • Kapasitas bahan bakar: 1,338 US gal (5,060 l; 1,114 imp gal) (10,200 lb (4,600 kg)) internal
  • Mesin: 1 × Allison TF41-A-2 turbofan tanpa afterburning, dengan daya dorong 15,000 lbf (66.7 kN)

Performa

  • Kecepatan Maximum: 600 kn (690 mph, 1,100 km/h) at sea level, 562 kn (1,041 km/h; 647 mph) pada ketinggian 5,000 ft (1,500 m) dengan 12x bom Mk-82, 595 kn (1,102 km/h; 685 mph) pada ketinggian 5,000 ft (1,500 m) setelah melepas bom. Kecepatan maksimum pada ketinggian 20.000 kaki adalah Mach .94
  • Jangkauan: 1,070 nmi (1,231 mi, 1,981 km) dengan bahan bakar maximum
  • Jarak terbang Ferry: 1,342 nmi (1,544 mi, 2,485 km) dengan bahan bakar internal dan eksternal maksimum
  • Ketinggian jelajah: 42,000 ft (13,000 m)
  • Kecepatan menanjak: 15,000 ft/min (76.2 m/s)
  • Wing loading: 77.4 lb/sq ft (378 kg/m2)
  • Bobot/daya dorong: 0.50 (bahan bakar internal full, tanpa beban)
  • Kemampuan manuver: radius belok 5,300 ft (1,600 m) pada gaya 4.3g dan kecepatan 500 kn (930 km/h; 580 mph) dengan bobot 28,765 lb (13,048 kg)
  • Jarak Take-off: 1,705 m (5,594 ft) dengan bobot 42,000 lb (19,000 kg)

Persenjataan 

  • Kanon: 1× M61A1 Vulcan gatling kaliber 20 mm (0.79 in) dengan 1,030 rounds
  • Hardpoints: 6× dibawah sayap dan 2× pylon di badan (hanya untuk pemasangan rudal AIM-9 Sidewinder AAMs) dengan kapasitas total 15,000 lb (6,800 kg), yang bisa terdiri dari:
    • Rockets: 4× Pod roket LAU-10 (masing-masing dengan 4× 127 mm (5.00 in) roket Zuni)
    • Rudal: *** 2× rudal udara ke udara AIM-9 Sidewinder
      • 2× rudal anti radar AGM-45 Shrike
      • 2× bom perpemandu TV AGM-62 Walleye
      • 2× rudal udara ke darat AGM-65 Maverick
      • 2× rudal anti radar AGM-88 HARM
      • 2× bom berpemandu elektro optik GBU-8 HOBOS
    • Bombs: *** hingga 30× 500 lb (230 kg) seri bom Mark 82 atau Mark 80 tanpa pemandu (termasuk bom latihan berbobot 6.6 lb (3 kg) dan 31 lb (14 kg))
      • Seri bom perpemandu laser seri Paveway
    • Hingga 4× bom nuklir B28, B43, B57, B61 atau B63
    • Beban lain: hingga 4 × tangki bahan bakar cadangan berbobot 300 US gal (1,100 l; 250 imp gal), 330 US gal (1,200 l; 270 imp gal), atau 370 US gal (1,400 l; 310 imp gal)
    •  

Perangkat Avionik

  • AN/ASN-90 (V) Inertial reference system
  • AN/ASN-91 (V) navigation/weapon delivery computer
  • AN/APN-190(V) Doppler groundspeed and drift detector
  • Texas Instruments AN/APQ-126(V) Terrain-following radar (TFR)
  • AN/AVQ-7(V) Head Up display (HUD)
  • CP-953A/AJQ solid state Air Data computer (ADC)
  • AN/ASN-99 Projected Map Display (PMD)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

LTV A-7 Corsair II v1.0.5 / 01 feb 22 / by greg goebel 

https://www.airvectors.net/ava7.html

Air War Hanoi (Vietnam War in Action) Hardcover by Robert F. Dorr (Author), January 1, 1988; p 91, p 105

Former A-7 Corsair II pilot explains what made the iconic SLUF a great attack aircraft by Dario Leone

The A-7 Attack Jet’s Head Up Display Was A Revolution In Air Combat Tech BY TYLER ROGOWAY; JUNE 27, 2020

https://www.thedrive.com/the-war-zone/34405/the-a-7-corsair-iis-heads-up-display-was-a-revolution-in-air-combat

THAT TIME WHEN PAKISTAN SOUGHT THE A-7 CORSAIR II

THE STORY OF “CAPTAIN MESSERSCHMITT,” THE PILOT WHO LOVED TO SHOOT THE A-7 CORSAIR II’S GUN

LTV A-7 Corsair II Carrier-Borne Strike Aircraft (1967)

https://www.militaryfactory.com/aircraft/detail.php?aircraft_id=116

A-7E CORSAIR II

https://www.history.navy.mil/content/history/museums/nnam/explore/collections/aircraft/a/a-7e-corsair-ii0.html

A-7 Corsair II

https://www.globalsecurity.org/military/systems/aircraft/a-7.htm

A-7 Corsair II

https://man.fas.org/dod-101/sys/ac/a-7.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/LTV_A-7_Corsair_II

AN/APQ-126

http://cmano-db.com/pdf/sensor/428/

Blackburn Buccaneer: Pesawat Serang Maritim Berkemampuan Nuklir Eksklusif Milik Afrika Selatan & Inggris

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Zuni_(rocket)

https://en.m.wikipedia.org/wiki/M61_Vulcan

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AGM-45_Shrike

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AGM-62_Walleye

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AGM-65_Maverick

https://en.m.wikipedia.org/wiki/AGM-88_HARM

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Mark_82_bomb

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *