Perang Vietnam

Kisah Pararel Dua Prajurit Vietnam Selatan Part IX-Habis: Jalan Panjang untuk “Pulang”

Sementara Dinh bermetamorfosis secara personal setelah melewati masa-masa Operasi Lam Son 719 dan Serangan Paskah, Tran Ngoc Hue menjalani masa sengsaranya sebagai tawanan perang. sesudah mencapai Hanoi pada musim semi tahun 1971, Hue dipenjara dalam sel isolasi selama 6 bulan. Setelah penyembuhannya, meski para penawannya melarang kontak langsung Hue dengan istri dan anak-anaknya, mereka memperbolehkan Hue untuk memberi tahu bahwa ia masih hidup. Dalam penjara Hue tidak mendapat makan yang cukup, harus tidur di lantai yang dingin di sel-nya yang sempit, tetapi tidak ada penyiksaan yang dialaminya. Para penawan Hue sepertinya sengaja membiarkan kesendirian Hue menekannya secara psikis. Sementara itu dalam sesi interogasi, para penangkap Hue tidak terlalu banyak bertanya, namun justru lebih banyak memberi informasi. Pihak komunis dengan bangga menunjukkan pengetahuan mereka yang lebih baik akan pertahanan ARVN di sekitar DMZ, ketimbang Hue sendiri. Hue lalu menyadari bahwa ARVN rentan terhadap upaya mata-mata NVA. Di sisi lain dengan ini para penangkap Hue berharap bisa membujuk Hue untuk membelot ketika melihat bahwa kemenangan komunis tidak dapat dihindari dan Vietnam Selatan akan kalah dalam perang. Uniknya, tidak seperti Dinh yang hilang harapan dan perasaan ditinggalkan membawanya untuk membelot, perasaan tak berdaya justru memperkuat perlawanan Hue, disamping pengalamannya melihat kekejaman Vietminh di Ke Mon saat masih kanak-kanak masih terpatri kuat di hati dan pikiran Hue. Setelah 6 bulan di Hanoi, Hue dipindahkan berkali-kali pertama-tama ke kamp Son Tay, Cao Bang, Nang Son, dan kembali lagi ke Son Tay. Ketika kembali ke Son Tay, Hue mendapat kejutan, ketika mendapati bahwa selama ia meninggalkan Son Tay, sekelompok perwira yang menyerah di Kamp Carroll tinggal di Son Tay. Dari tembok sel isolasinya Hue bisa mendengar Dinh dan rekan-rekannya berbicara mengenai nasib mereka, dan bahkan juga keputusan mereka untuk membelot. Setelah Dinh mengambil keputusan yang menentukan itu. NVA memutuskan untuk mempertemukan para tawanan yang ditangkap di Laos dan di Kamp Carroll, dalam upaya mereka untuk menundukkan perlawanan Hue.

Di kamp pendidikan ulang, seorang instruktur mendesak mantan perwira ARVN untuk menghafal doktrin komunis agar mereka dapat diintegrasikan kembali ke dalam masyarakat Vietnam, 1976. Hue akan menjalani masa semacam ini saat ditawan selama belasan tahun. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Kamp penjara Sơn Tây pada akhir tahun 1970. Setelah 6 bulan di Hanoi, Hue dipindahkan berkali-kali pertama-tama ke kamp Son Tay, Cao Bang, Nang Son, dan kembali lagi ke Son Tay. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Hue, ditemani dengan Kolonel Nguyen Van Tho, Letnan Bui Van Chau, dan Mayor Nguyen Van Thuan, duduk dengan pakaian tahanan di satu sisi meja saat Dinh dan Phong masuk ruangan dengan pakaian sipil yang lebih nyaman. Dinh terlihat sangat senang melihat Hue, bekas rekan seperjuangannya masih hidup, sekaligus kaget ketika tahu bahwa Hue ada di seberang temboknya selama dua minggu. Pertemuan kemudian berlangsung tidak seperti sebuah interogasi, dan Dinh tidak secara langsung meminta Hue dan rekan-rekan perwiranya untuk membelot. Sebaliknya mereka berbincang akrab membicarakan perang dan kehidupan mereka. NVA menggunakan pertemuan ini untuk tujuan yang sederhana, yakni membawa pesan bahwa mereka yang mau bekerjasama, dipelihara dengan baik, mendapat sedikit gaji, dan bisa mengontak keluarganya, sedang Hue dan rekan-rekannya jika memilih untuk tidak mau bekerjasama terancam menghabiskan waktu bertahun-tahun di sel isolasi. Setelah pertemuan, Hue dan rekan-rekannya dibawa dalam tour yang nyaman ke Hanoi dengan mengenakan pakaian sipil, bisa tidur di hotel, makan di restoran, dan bahkan dibawa ke pabrik pembuatan material perang. Seperti Dinh, mereka dijanjikan pangkat setara di NVA jika mau membelot. Namun perlakuan yang baik ini gagal meyakinkan Hue, bagi Hue, Dinh yang dulunya pahlawan sekarang tidak lebih sebagai seorang yang patah hati, yang seperti laksana “anjing dalam tali kekang” mengikuti keinginan NVA. Hue kemudian berterima kasih atas perlakuan yang ia terima beserta tawarannya, tetapi ia menyatakan bahwa dia “tidak layak mendapat kehormatan seperti itu”. Sebaliknya Hue meminta untuk dapat dibebaskan dan kembali sebagai warga sipil. NVA jelas menolak, dan mengembalikannya dalam sel isolasi di Son Tay. Di sini Hue memang telah mempertahankan kehormatannya sebagai seorang prajurit, tetapi berapa “harga” yang harus ia bayar?

POW ARVN melepaskan seragam penjara mereka dan meneriakkan slogan-slogan politik setelah kedatangan mereka untuk repatriasi, di Loc Ninh, 13 Maret 1973. Malang bagi Tran Ngoc Hue, karena ia ditangkap di Laos, secara “teknis” ia adalah tawanan gerilyawan “Pathet Lao“, dan bukan NVA, sehingga perjanjian damai di Vietnam tidak bisa diaplikasikan padanya. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Dinh sebaliknya mau menerima tawaran NVA dengan satu kondisi bahwa “ia tidak diminta bertindak atau menyediakan informasi yang akan digunakan untuk melawan teman-teman lamanya di ARVN”. Yang mengejutkan pihak NVA dengan cepat meluluskan permintaan Dinh. Menurut kata-kata Dinh, “NVA sudah cukup senang mendapatkan dirinya.” Selama 3 tahun berikutnya, Dinh bekerja cukup nyaman di posisi staff dan menghabiskan sebagian besar waktunya menulis pengalaman perangnya. Ia cukup mendapat makan, gaji, dan rumah, bahkan juga liburan musim panas di tepi pantai, di sebelah timur Hanoi. Sementara itu kehidupan para tawanan perang ARVN berubah drastis pada bulan Januari 1973, dengan penandatanganan Perjanjian Damai Paris dan penarikan mundur tentara Amerika dari Vietnam. Di tengah suasana ini para tawanan mendengar pengumuman, yang selama ini tidak berani mereka harapkan, yakni: Dengan adanya perdamaian, mereka akan dikembalikan ke Vietnam Selatan. Beberapa tawanan menangis, Hue sendiri tetap tenang, walau dia sendiri senang akan prospek bisa bersatu kembali dengan keluarganya. Para tawanan kemudian mendapat pakaian baru dan makanan tambahan sebelum menaiki kereta dan truk menuju ke selatan provinsi Quang Tri, yang setelah Serangan Paskah menjadi batas baru Vietnam Utara dan Selatan. Di kota Hue, istri Hue, Cam mendengar rencana repatriasi tawanan ini dan segera menuju ke tempat pertukaran tawanan di sepanjang Sungai Thach Han. Tran Ngoc Hue sampai di provinsi Quang Tri ditengah keramaian bekas perwira dan prajurit ARVN yang menuju ke tempat pertukaran. Vietnam Selatan, rumahnya sudah ada di depan mata. Tiba-tiba, seorang perwira NVA menerobos kerumunan dan menarik Hue beserta tawanan lain yang ditangkap dalam Operasi Lam Son 719. Karena mereka ditangkap di Laos, secara “teknis” mereka adalah tawanan gerilyawan “Pathet Lao“, dan bukan NVA, sehingga perjanjian damai di Vietnam tidak bisa diaplikasikan pada mereka. Hue telah menolak tawaran NVA dan sekarang ia mendapat ganjarannya. Kebebasan yang sudah ada di depan mata tiba-tiba dirampas, ini menjadi pukulan besar bagi Hue. Di selatan sungai, Cam dengan sabar menunggu selama berhari-hari, dengan harapan suaminya akan bisa kembali ke pelukannya. Pada akhirnya ia kembali ke Hue, untuk merawat keluargannya, ketika suaminya kembali ke utara untuk menjalani 10 tahun lagi dalam penawanan. Kembali ke Hanoi, sekitar 70 personel tawanan Lam Son 719, mencukur rambutnya dan melakukan mogok makan sebagai protes. Meski ikut serta dalam protes itu Hue tidak pernah dipukuli, karena dia mengancam akan bunuh diri sebelum mereka memperlakukan ia dengan buruk. Di tengah depresi, Hue yang berasal dari keluarga Budha, berpaling ke Alkitab yang dia terima dari seorang Pastor Eropa Timur yang mengunjungi tawanan ARVN saat perjanjian Paris ditandatangani. Membaca lembar demi lembar Alkitab, Hue terhibur oleh ayat-ayat dan pelajaran-pelajaran yang ia baca. Ini kemudian memberinya kekuatan untuk melanjutkan hidupnya dan memupuk kepercayaannya bahwa ia akan bersatu lagi dengan keluarganya.

JATUHNYA VIETNAM SELATAN

Saat Dinh dan Hue menempuh jalan hidup yang berbeda satu sama lain, keduanya tidak dapat memprediksi cepatnya kekalahan “mendatangi” Vietnam Selatan. Ketika serangan utama NVA berjalan pada bulan Maret 1975, Dinh mengamati jalannya pertempuran lewat radio. Dengan pengurangan dramatis bantuan dari Amerika, ARVN tidak dapat lagi mengandalkan keunggulan daya tembaknya. Unit-unit ARVN nyaris tidak bisa bergerak karena kurangnya bahan bakar. Kendaraan-kendaraan lapis baja dan pesawat-pesawat canggih yang mereka miliki terpaksa digudangkan karena kekurangan suku cadang, unit-unit artileri terpaksa mengurangi penembakan hingga cuma beberapa peluru per hari. Pukulan pertama pihak komunis jatuh di daerah dataran tinggi tengah, yang dengan cepat mengungguli lawannya yang sudah melemah. Presiden Thieu yang panik dan senantiasa mendasarkan kebijakannya dari sisi politis kemudian memerintahkan penarikan mundur pasukan ARVN, yang menyerahkan separuh bagian utara Vietnam Selatan ke tangan ARVN. Lagi-lagi seperti saat serangan Paskah, dua tahun sebelumnya, gerak mundur ini berubah menjadi penarikan yang kacau balau di tengah arus pengungsi sipil dan tembakan akurat artileri NVA yang mematikan. Terkepung dan tidak ada harapan untuk bisa bertahan, unit-unit Korps ke-1 yang membanggakan runtuh dalam waktu sangat cepat untuk selama-lamanya. Dinh kaget dengan kehancuran yang dialami ARVN, namun di pertengahan April, diam-diam ia terinspirasi dengan upaya berani Divisi ARVN ke-18 pimpinan Brigadir Jenderal Le Minh Dao dalam membendung serangan NVA di persimpangan Xuan Loc, utara Saigon. Selama hampir seminggu pasukan Dao bertahan melawan 4 Divisi NVA, yang diperkuat dengan resimen-resimen lapis baja dan artileri. Pada akhirnya Xuan Loc jatuh juga, yang kemudian diiringi dengan kaburnya Presiden Thieu dari Vietnam Selatan beberapa hari setelah jatuhnya kota itu. Kenyataan ini kemudian semakin meyakinkan Dinh bahwa pilihannya membelot sudah benar. Baginya bukan dialah yang berkhianat, tetapi pemimpin Vietnam Selatan telah lama mengkhianati rakyatnya. Sementara itu di dalam penawanan, Hue dan rekan-rekannya yang sama-sama memantau jalannya pertempuran lewat pengeras suara di dalam kamp, menangis sedih saat mendengar Saigon jatuh dan perang berakhir. Di sisi lain, para penawan Hue tidak bisa memahami, bahwa meski beberapa perwira ARVN yang mereka cap sebagai “boneka Amerika” benar-benar kabur, akan tetapi beberapa memilih untuk bunuh diri daripada menyerah. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana mereka mau untuk bunuh diri bagi sebuah “pemerintahan boneka”. Mereka lalu bertanya kepada Hue, apakah mereka-mereka selama ini dicuci otak selama menjalani pendidikan di Akademi Militer Thu Duc dan VNMA. Hue menjawab bahwa itu bukan karena pelatihan yang mereka terima tetapi karena kesetiaannya kepada Vietnam dan kedekatannya dengan sejarah perlawanan bangsa Vietnam di masa lalu, yang membuat mereka memilih mati daripada kehilangan kehormatannya. 

Tank NVA T-55 meluncur melalui kota Da Nang, 30 Maret 1975. Gerakan cepat pasukan NVA dalam menaklukkan pasukan ARVN mengejutkan Hue dan Dinh. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Jenderal Le Minh Dao dalam pertempuran Xuan Loc. Selama hampir seminggu pasukan Dao bertahan melawan 4 Divisi NVA, yang diperkuat dengan resimen-resimen lapis baja dan artileri. Pada akhirnya Xuan Loc jatuh juga, yang kemudian diiringi dengan kaburnya Presiden Thieu dari Vietnam Selatan beberapa hari setelah jatuhnya kota itu. (Sumber: http://daubinhlua.blogspot.com/)
Tentara ARVN yang dilucuti membuang seragamnya di depan Istana Kemerdekaan setelah Presiden Duong van Minh mengumumkan penyerahan Vietnam Selatan dan pasukan komunis dengan penuh kemenangan berbaris ke Saigon pada tanggal 4 Mei 1975. (Sumber: https://www.flickr.com/)

Dengan selesainya perang dan datangnya perdamaian, Pham Van Dinh pada tanggal 2 Mei 1975 kembali ke kota Hue untuk bersatu dengan keluarganya setelah 3 tahun terpisah, akan tetapi ia menemukan rumahnya sudah ditinggalkan. Sebagian besar keluarganya mengungsi ke Saigon menjelang perang berakhir. Namun putra tertuanya tetap bertahan demi bisa tetap bersekolah. Sebulan berlalu sebelum sisa keluarganya, termasuk ayah dan ibunya, bisa bergabung kembali bersamanya di kota Hue. Ketika mereka semua akhirnya sampai, Dinh sangat gembira, seluruh keluarganya bisa selamat melewati perang. Ini adalah kemenangan terbesar dalam hidupnya. Dinh relatif tidak mendapat banyak masalah dari orang-orang di Hue. Mereka tahu bahwa ia bukan musuh mereka. Dinh kemudian segera berjumpa dengan beberapa bekas prajuritnya di kamp Carroll di jalanan. Dinh yang sedih ketika mengingat pengalamannya di tahun 1972 kemudian mendapat banyak terima kasih dari bekas anak buahnya, atas keputusannya menyerah di kamp Carroll, yang menyelamatkan banyak nyawa. Bagi Dinh, “itu adalah hadiah terbaik dalam hidupnya.”

REEDUKASI

Kemenangan Vietnam Utara tidak serta merta membawa rakyat Vietnam menikmati perdamaian dan kemakmuran. Vietnam telah 30 tahun menjalani peperangan secara konstan, hal ini ditambah dengan buruknya pemerintah komunis dalam mengelola ekonomi. 1,5 juta orang Vietnam kemudian melarikan diri dari negerinya dengan menggunakan perahu, sehingga mereka dikenal sebagai manusia perahu. Sementara itu di Vietnam meski tidak ada penindasan brutal seperti di Kamboja yang menciptakan “ladang-ladang pembantaian, namun ribuan orang yang “tidak diinginkan” langsung dieksekusi setelah konflik. Kemudian hampir semua bekas petugas pemerintahan serta prajurit ARVN dikumpulkan dan ditempatkan di sekitar 150 kamp dan sub kamp di seluruh negeri. Untuk para prajurit mereka umumnya menjalani kerja paksa dan kelas-kelas pendidikan ideologi komunis selama beberapa bulan saja, tetapi bagi para perwira masa-masa “reedukasi” bisa berjalan lebih dari satu dekade. Dalam hal ini, Tran Ngoc Hue tidak terkecuali. Satu hal yang cukup menghibur, adalah kini ia tidak lagi ditahan dalam sel isolasi. Hue melalui beberapa kamp reedukasi, yang umumnya berada di dekat Hanoi. Di kamp kerja paksa ini, aktivitas ketat dimulai pada pukul 05.00; kemudian pukul 05:30-06:00, berolahraga; 06:00-06:30, makan pagi; 07:00, berangkat bekerja; 12:00, istirahat makan siang; 13:00, kembali bekerja; 18:00, istirahat makan malam; 19:00, masuk kelas, yang diantaranya mendengarkan koran partai yang dibacakan keras-keras, menyanyikan lagu-lagu patriotik, mendengar kritik atas pekerjaan yang mereka lakukan sepanjang hari, dan akhirnya menerima penugasan untuk hari berikutnya, sebelum pergi tidur pada pukul 23:00. Para tawanan ditugaskan dalam berbagai pekerjaan berat yang berhubungan dengan pertanian, seperti membuka lahan untuk ditanami padi dan ubi kayu. Salah satu pekerjaan terberat mereka adalah memindahkan tanah dan batu dengan menggunakan tangan untuk membuat bendungan di sungai dan menciptakan kolam. Sementara itu dengan tanpa disediakan pupuk, para tawanan terpaksa menggunakan urine dan kotoran mereka untuk menyuburkan tanah. Praktik ini kemudian berujung dengan menyebarnya penyakit diantara para tawanan. Meski kamp-kamp ini cukup sukses dalam bertani, tapi pemerintah komunis merampasi makanan di kamp untuk dibagikan pada populasi rakyat Vietnam yang semakin miskin. Akibatnya para tawanan cuma mendapat 1,5 kg makanan dan harus memakan ubi kayu. Ini jelas tidak cukup untuk bisa bertahan hidup.

Mereka yang kalah dimasukkan dalam kamp Reedukasi. (Sumber: https://alphahistory.com/)
Sketsa barak yang penuh sesak di kamp pendidikan ulang. Tempat tinggalnya gelap dan dingin dan tidak memiliki jendela. Selain itu, hanya ada dua ember yang berfungsi sebagai toilet. (Sumber: https://www.thevietnamese.org/)

Terkadang di tengah kesengsaraan yang monoton ini terdapat selingan, dimana beberapa tawanan ARVN terpilih, termasuk Giai dan Hue dikirim sebentar untuk mengikuti indoktrinasi politik yang intens. Indoktrinasi yang diberikan adalah tipikal pihak komunis yang intinya menyatakan bahwa rezim Vietnam Selatan adalah kaki tangan imperialis Amerika. Setelah mengikuti indoktrinasi, para tawanan disuruh untuk menulis apa yang mereka pelajari dan mendiskusikannya dengan para instruktur NVA selama dua minggu. Para tawanan juga disuruh untuk menuliskan pengalamannya di ARVN dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan mereka saat melayani rezim “boneka”. Sementara itu kekurangan makan dan kerja yang berlebihan menyebabkan ribuan tawanan meninggal dunia. Pihak komunis tidak perlu melakukan penyiksaan kepada lawan yang mereka kalahkan ini. Mereka tinggal membiarkan mereka perlahan mati karena kelaparan, kelelahan, dan merana karena dipisahkan dengan keluarganya, selain juga karena penyakit. Setiap kamp memiliki pemakaman kecil, dan dengan berjalannya waktu, bahkan Tran Ngoc Hue yang optimismenya membumbung setelah menemukan kekuatan di keyakinan barunya, mulai berpikir kapan dia akan dibaringkan di pemakaman di tengah pegunungan Vietnam Utara. Sementara itu Pham Van Dinh, mengalami nasib yang berbeda dengan Tran Ngoc Hue. Dinh kemudian ditugaskan sebagai pengajar di dua kamp reedukasi kecil di bekas kamp ARVN di Ai Tu dan di dekat Hue. Sebagian besar tawanan di kedua tempat itu adalah perwira rendahan yang berasal dari Hue dan kenal dengan Dinh serta pernah bekerja bersamanya. Meski Dinh sebagian besar mengajar mengenai perjuangan rakyat Vietnam dan arti dari kemerdekaan Vietnam, tetapi ia memfokuskan pada mengajar serta membawakan pesan yang sederhana tetapi mengena, yakni: apapun yang pernah mereka harapkan, berapa besar mereka telah berkorban, perang telah berakhir, dan Vietnam Selatan sudah tidak ada lagi. Orang-orang Vietnam, yang dulunya saling bermusuhan kini harus melakukan yang terbaik untuk “melupakan segalanya dan bekerja bersama untuk masa depan negara mereka”. Di sisi lain, meski Dinh terus berusaha merasionalisasi keputusannya untuk membelot dan sedapat mungkin membantu para tawanan yang harus menjalani pendidikan ulang, namun ia mulai meragukan keputusannya. Masa-masa menjadi instruktur di kamp reedukasi merupakan salah satu momen tergelap dalam kehidupan Dinh. Syukurnya setelah enam bulan, Dinh ditugaskan menjadi wakil pemimpin kantor olah raga provinsi Thua Thien. Dinh segera menyukai pekerjaan ini. Dengan satu jeda sebentar, Dinh kemudian akan menjabat sebagai wakil direktur olah raga selama hampir 10 tahun. Dinh yang terlibat dalam berbagai even olah raga dan bekerja bersama anak-anak di kotanya selama bertahun-tahun menjadikan waktu ini sebagai semacam therapy, setelah bertugas sebagai instruktur di kamp reedukasi. Ini adalah salah satu momen paling membahagiakan dalam kehidupan Dinh.

KAMBOJA DAN KEHIDUPAN SETELAH PERANG

Pada tahun 1978, di tengah mengorganisir pembangunan stadion sepakbola baru di area Hue, Dinh menerima sebuah delegasi millter yang membawa pertanyaan unik, yakni dalam pandangan Dinh, taktik apa yang paling baik digunakan untuk menginvasi Kamboja? Dinh seperti layaknya orang Vietnam lainnya di masa itu sadar akan panasnya hubungan antara komunis Vietnam dengan rezim Khmer Merah pimpinan Pol Pot yang brutal di Kamboja. Pol Pot tidak hanya memusnahkan “lawan-lawan” sebangsanya secara besar-besaran, tetapi juga membunuhi minoritas Vietnam di Kamboja. Di sisi lain, China melihat Kamboja sebagai sekutunya, sementara Vietnam dianggap sebagai bidak dari Soviet dalam perebutan pengaruh di kawasan. Dinh kemudian menyarankan untuk dilakukannya serbuan udara di Phnom Penh jika perang pecah. Apakah saran Dinh dipakai atau tidak, yang jelas pada bulan Desember 1978, Vietnam mengerahkan enam satuan setingkat korps, bersama dengan sebuah divisi yang melakukan serangan di sepanjang pantai, dan menerbangkan banyak pasukan ke zona pendaratan di luar Phnom Penh. Dinh mengatakan ketika melihat banyak helikopter diterbangkan, rekan-rekannya bercanda bahwa Amerika pasti sudah bergabung dalam pertempuran. Dalam operasi Blitzkrieg ini, tentara Vietnam dengan cepat menaklukkan ibukota Kamboja dan mendudukkan sebuah pemimpin boneka di sana. Sayangnya kemenangan ini tidak berarti perlawanan Khmer Merah berakhir. Dengan didukung kelompok perlawanan lain, sisa-sisa Khmer Merah melancarkan perang gerilya melawan pasukan pendudukan Vietnam dan pemerintah pro Vietnam di Phnom Penh selama satu dekade. Petualangan di Kamboja bagaimanapun menjauhkan rakyat Vietnam dari perdamaian dan semakin menggencet ekonomi negeri itu yang sudah kepayahan akibat isolasi dari negara-negara barat. Kemudian pada tanggal 17 Februari 1979, 100.000 tentara China menginvasi provinsi-provinsi bagian utara Vietnam. Dalam keadaan genting ini, Dinh kembali dipanggil dalam dinas militer aktif. Di sebuah konferensi yang dipimpin oleh jenderal legendaris Vietnam Vo Nguyen Giap, Dinh ditanya Giap apakah jika China menginvasi total Vietnam, para prajurit ex ARVN akan mau bergabung dengan militer Vietnam. Atas pertanyaan ini Dinh meyakinkan Giap bahwa para prajurit ex ARVN akan mau bergabung bertempur melawan China. Giap menilai pendapat Dinh masuk akal, dan sebelum pergi ia berjanji akan berupaya mengintegrasikan bekas prajurit ARVN ke militer Vietnam yang baru. Namun China pada akhirnya memilih mundur setelah menyatakan “sukses memberi pelajaran” Vietnam. Setelah ancaman China hilang, kamp-kamp reedukasi tetap ada, pendudukan di Kamboja terus berlangsung, dan Vietnam masuk ke jurang krisis ekonomi. Pada tahun 1980, Vietnam menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Bahkan keluarga pejabat tinggi seperti Pham Van Dinh, tidak mendapat cukup beras untuk memenuhi kebutuhannya. Situasi sangat buruk hingga Dinh percaya negerinya terancam menghadapi pemberontakan rakyat.

Pasukan Vietnam di Ratanakiri, Kamboja. Dalam operasi Blitzkrieg ini, tentara Vietnam dengan cepat menaklukkan ibukota Kamboja dan mendudukkan sebuah pemimpin boneka di sana. Sayangnya kemenangan ini tidak berarti perlawanan Khmer Merah berakhir. Dengan didukung kelompok perlawanan lain, sisa-sisa Khmer Merah melancarkan perang gerilya melawan pasukan pendudukan Vietnam dan pemerintah pro Vietnam di Phnom Penh selama satu dekade. (Sumber: https://cne.wtf/)
Tentara Vietnam dari Resimen ke-567 (Komando Militer Cao Bằng) berperang melawan pasukan China. Difoto oleh Trần Mạnh Thường. (Sumber: https://www.quora.com/)
Tank China yang ditinggalkan di Provinsi Cao Bằng, Februari 1979. Jenderal Giap berjanji akan berupaya mengintegrasikan bekas prajurit ARVN ke militer Vietnam yang baru. (Sumber: https://www.quora.com/)

Sementara itu di akhir bulan Mei, lebih dari 12 tahun sejak penangkapannya di Laos, di tengah kerja paksa yang nyaris tidak ada habisnya, Tran Ngoc Hue mendapat sebuah mimpi. Ia berdiri di sebuah Kathedral besar, saat seseorang berpakaian rohaniawan meletakkan tangannya di kepala Hue dan membisikkan bahwa ia sebentar lagi akan bebas. Hue dan rekan-rekannya memang kerap bermimpi akan pembebasan mereka, namun mimpi ini lebih jelas. Ia kemudian memaksakan dirinya untuk tidur lagi dan berdoa agar mendapatkan mimpi yang sama, dengan percaya bila mimpi itu datang lagi, itu pasti akan menjadi kenyataan. Doanya dijawab. Sekali lagi dia ada di Kathedral yang sama, ketika didatangi dua pendeta yang dengan lembut mengatakan agar ia tidak usah khawatir, karena sebentar lagi ia akan dibebaskan. Seminggu kemudian para tawanan seperti biasa berkumpul untuk mendapatkan penugasan kerja. Dalam hari-hari tertentu perwira yang bertugas akan membawa sebuah daftar dan akan membacakan nama-nama yang akan dibebaskan hari itu. Ini adalah saat-saat yang membawa kegelisahan. Bagi yang beruntung, mereka akan bersukacita saat namanya dibacakan, sedangkan yang namanya tidak ada dalam daftar, itu akan menjadi pukulan yang menghancurkan. Setelah lebih dari satu dekade menemui kekecewaan, Tran Ngoc Hue mendengar namanya dibacakan. Tidak seperti orang lain yang namanya dibacakan, Hue tidak melompat dan menangis, ia cuma mengemasi barang-barangnya dan bergegas pergi. Mendapatkan sebuah karcis kereta dan sedikit uang yang cukup digunakan untuk makan di sepanjang jalan, Tran Ngoc Hue pulang ke selatan. Selama di kamp reedukasi, Hue bisa mengirim dan menerima surat dari Cam, istrinya, yang memperingatkan Hue untuk tidak kembali ke kota Hue demi keselamatannya. Menuruti pesan Cam, Hue menuju ke Saigon, dimana terdapat komunitas bawah tanah ex prajurit ARVN. Tahu bahwa suaminya telah dibebaskan, Cam segera bereuni dengan Hue. Sayangnya reuni itu tidak hanya membawa kegembiraan, namun juga kesedihan. Anak-anak Hue nyaris tidak mengenali ayah mereka, sedang putri yang paling kecil baru berusia dua bulan saat Hue berangkat ke Laos tahun 1971, kini usianya sudah 12 tahun. Sementara itu kondisi kesehatan Cam memburuk karena harus membanting tulang memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya saat Hue ditawan. Ia awalnya terus bekerja sebagai perawat, tetapi saat Vietnam Selatan jatuh, sebagai istri “perwira rezim boneka” ia dipaksa meninggalkan pekerjaannya. Tinggal bersama mertuanya, Cam terpaksa bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

Orang-orang menunggu giliran untuk membeli beras di sebuah toko makanan milik negara di Kota Ho Chi Minh pada tahun 1985. Kasalahan dalam mengurus ekonomi setelah memenangkan perang tahun 1975, membawa rakyat Vietnam kedalam kemelaratan. (Sumber: https://tuoitrenews.vn/)
Cam, istri Tran Ngoc Hue dan ketiga putrinya. Tahu bahwa suaminya telah dibebaskan, Cam segera bereuni dengan Hue. Sayangnya reuni itu tidak hanya membawa kegembiraan, namun juga kesedihan. Anak-anak Hue nyaris tidak mengenali ayah mereka, sedang putri yang paling kecil baru berusia dua bulan saat Hue berangkat ke Laos tahun 1971, kini usianya sudah 12 tahun. Sementara itu kondisi kesehatan Cam memburuk karena harus membanting tulang memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya saat Hue ditawan. (Sumber: Vietnam’s Forgotten Army, Heroism And Betrayal In The ARVN)
Awal tahun 1980-an Hanoi saat di ambang Doi Moi. Pemerintah Vietnam meluncurkan kebijakan baru Doi Moi, atau renovasi, yang singkatnya berupaya memperkenalkan Vietnam dalam ekonomi pasar bebas. (Sumber: https://saigoneer.com/)

Vietnam di tahun 1983 saat Hue kembali nyaris tidak dapat dikenali. ARVN dan negeri yang dia cintai sudah tidak ada lagi, bahkan pemakaman para prajurit ARVN di Saigon yang menyimpan ribuan makam serdadu Vietnam Selatan dihancurkan oleh para pemenang. Meski sudah dibebaskan, namun Hue terus ada dibawah pengamatan penguasa, yang mana hal ini membuatnya susah mendapat kerja. Frustasi karena terus hidup dalam kemiskinan dan tidak dapat merawat keluarganya, Hue bekerja sebisanya, tetapi keberlangsungan hidup keluarganya tetap bergantung pada Cam, yang bekerja sebagai perawat rumahan. Saat keluarga Tran Ngoc Hue hidup dalam kemelaratan, pemerintah Vietnam meluncurkan kebijakan baru Doi Moi, atau renovasi, yang singkatnya berupaya memperkenalkan Vietnam dalam ekonomi pasar bebas. Meski kebijakan ini hanya berdampak kecil pada keluarga Hue, namun Doi Moi berdampak besar pada kehidupan Pham Van Dinh. Dinh dan keluarganya, setelah melewati krisis ekonomi, hidup cukup nyaman sebagai bagian dari kelas penguasa. Saat Doi Moi berjalan lambat namun sukses, Pham Van Dinh memulai kehidupan barunya sebagai seorang pengusaha. Pada tahun 1989 Dinh masuk dalam dunia kapitalisme Vietnam dan membeli sebuah truk kargo IFA dari Jerman Timur, yang lalu menjadi truk milik pribadi pertama di kota Hue. Dengan putranya yang berusia 26 tahun sebagai sopir dan satu-satunya pekerjanya, Dinh menggunakan truknya untuk memulai perusahaan pengangkutan barang-barang kebutuhan, yang mengangkut hingga sejauh Saigon dan Hanoi. Meski ia belum juga sukses karena banyaknya kompetitor, Pham Van Dinh masih berharap bisa menemukan bisnis yang cukup bisa memenuhi kebutuhan seluruh keluarganya dan membuatnya dapat pensiun dari militer.

IMPIAN VIETNAM DAN AMERIKA

Di seberang lautan, Dave Wiseman tidak pernah menyerah mencari Tran Ngoc Hue setelah Operasi Lam Son 719. Setelah kembali dari Vietnam di tahun 1972, Wiseman ditempatkan di Pangkalan Angkatan Laut di Norfolk, Virginia, dimana ia mencari berbagai informasi mengenai nasib kawannya. Setelah pensiun di tahun 1980, Wiseman pindah ke Washington DC, dan meneruskan pencariannya. Satu-satunya yang ia dengar adalah rumor bahwa Hue terbunuh di Laos atau telah meninggal dalam penjara. Akan tetapi dengan tidak adanya bukti pasti, Wiseman tidak mau menyerah. Ketika ribuan pengungsi Vietnam, termasuk para perwira yang dibebaskan dari kamp tawanan, mulai datang di dekat pinggiran utara Virginia, Wiseman dengan berbekal sebuah foto dari Hue, memulai pencarian sendirian di antara komunitas pengungsi Vietnam. Setelah memperlihatkan Hue kepada ratusan orang Vietnam tanpa hasil, pada bulan Juli 1990 Wiseman menghadiri sebuah acara makan malam dari Asosiasi Keluarga Tawanan Politik Vietnam. Saat foto miliknya diedarkan, Ngo Duc Am, seorang bekas tawanan di Vietnam dan sepupu istri Hue, Cam, mengenali dengan jelas Hue dan menginformasikan kepada Wiseman yang gembira bahwa Hue dan keluarganya masih hidup di Saigon. Seminggu kemudian, Hue kaget saat menerima sebuah surat dari bekas penasehat lamanya dan merasa tersanjung bahwa Wiseman tidak pernah melupakan persahabatannya dan telah mencarinya begitu lama. Yang luar biasa, pihak penguasa tidak membuka suratnya, dan Hue menemukan uang tunai $100, jumlah yang besar bagi seseorang yang sangat miskin. Kebaikan itu begitu besar dirasakan, dan Hue duduk sambil menangis sebelum ia bisa menyelesaikan membaca suratnya, dimana Wiseman menawarkan kepada Hue dan keluarganya mengenai apa yang bisa dia bantu, mulai dari uang, obat-obatan sampai bantuan untuk bisa pergi ke Amerika. Dengan sebuah beban seolah diangkat dari bahunya, beban yang telah dibawanya selama 20 tahun sejak penangkapannya, Tran Ngoc Hue berjalan tanpa rasa takut menuju Hotel Carravelle. Ia tidak mempedulikan mata-mata curiga dari para polisi di jalanan, pikirnya, “biarkan mereka melihat diriku!” Di Hotel ia mengirimkan sebuah fax ke Wiseman, sebuah tindakan yang nekad di sebuah negara tertutup dan penuh kecurigaan. Fax itu menyampaikan terima kasih kepada kawan baiknya atas bantuannya tetapi dengan sopan menolak tawaran uang. Yang Hue dan keluarganya inginkan adalah keluar dari Vietnam, “berapapun harganya!”

Hotel Carravelle di Saigon. Dengan sebuah beban seolah diangkat dari bahunya, beban yang telah dibawanya selama 20 tahun sejak penangkapannya, Tran Ngoc Hue berjalan tanpa rasa takut menuju Hotel Carravelle. Ia tidak mempedulikan mata-mata curiga dari para polisi di jalanan, pikirnya, “biarkan mereka melihat diriku!” (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Wiseman menerima permintaan Hue dengan serius dan segera mengupayakan kepergian Hue dan keluarganya dari Vietnam. Baru-baru itu disepakati persetujuan antara Washington dan Hanoi untuk memperbolehkan para tawanan yang telah menjalani kamp reedukasi lebih dari tiga tahun untuk beremigrasi ke Amerika bersama keluarganya secara legal. Untuk bagiannya Hue harus menjalani proses birokrasi yang buruk dari pemerintah Vietnam yang tidak menyukai keberadaannya. Ia juga harus meminjam uang untuk biaya transport dirinya dan keluarganya dari Departemen Luar Negeri Amerika, dengan janji akan membayar hutang itu kembali dalam waktu 5 tahun. Proses ini berjalan sangat lambat dan mengambil semua waktu Hue sementara kesehatan Cam semakin memburuk. Sementara itu setiap bulan secara rutin selama hampir setahun uang senilai $100 datang dari Dave Wiseman, yang memungkinkan Hue dan Cam bisa bertahan hidup. Pada akhirnya di tanggal 7 November 1991, Hue, Cam, dan tiga putrinya naik pesawat dari Ho Chi Minh City (dulunya Saigon) meninggalkan tanah airnya untuk memulai kehidupan baru mereka. Setelah mengalami keterlambatan di Bangkok dan Paris, pesawat mereka mendarat di bandara Nasional, Washington DC. Mereka kemudian bertemu dan berpelukan dengan teman dan penolong mereka, yakni keluarga Wiseman. Sesampai di Amerika, tantangan bagi keluarga Hue tidaklah mudah, mereka harus mengawali hidup baru, tidak punya uang dan rumah di sebuah negara baru dan asing. Wiseman, dengan bantuan sesama Marinir, telah memikirkan segalanya, keluarga Hue disediakan sebuah apartemen lengkap di Fall Church, Virginia, lengkap dengan TV, telepon, dan buku pelajaran untuk anak-anak. Keluarga Hue kemudian bekerja keras untuk menyesuaikan kehidupan barunya. Anak-anak Hue belajar di sekolah berbahasa Inggris, sementara Hue dan Cam menyesuaikan diri dengan komunitas imigran Vietnam. Pada bulan Januari 1992, keluarga Hue diundang bertemu dengan Jenderal Carl Mundy, komandan Korps Marinir Amerika. Dalam pertemuan yang emosional, Jenderal Mundy menganugerahi Hue dengan medali Bronze Star dan Silver Star, kedua medali yang diperolehnya selama pertempuran di tahun 1968, yang kemudian hilang. Meski wajah-wajah di sekelilingnya bukan orang Vietnam dan ia masih merindukan tanah dan leluhurnya, Tran Ngoc Hue sangat gembira karena untuk pertama kalinya selama lebih dari 20 tahun, ia akhirnya benar-benar “pulang”.

Tran Ngoc Hue dengan seragam lengkap bersama dengan berbagai bintang jasa yang dia terima selama perang. (Sumber: https://www.jeffreywolin.com/)
Jenderal John Cushman. Jenderal John Cushman, yang pernah menjadi komandan Brigade ke-2 dari Divisi Lintas Udara ke-101, yang pernah bertempur berdampingan dengan batalion 2/3 ARVN pimpinan Dinh di Distrik Quang Dien menjelang Serangan Tet, ingin pergi ke kota Hue dan melihat area dimana dulu unitnya bertugas. Cushman tinggal di Hotel Sunflower, dan Dinh menjadi pemandu tour selama perjalanannya. (Sumber: https://www.bostonglobe.com/)

Sementara itu pada tahun 1990, Pham Van Dinh menjumpai sesuatu yang luar biasa di kota Hue. Orang-orang Amerika, utamanya para veteran bersama beberapa pengusaha dan turis, mulai kembali ke Vietnam. Ketika ekonomi Vietnam mulai menggeliat dan hubungan negeri ini dengan negara-negara barat mulai menghangat, sejumlah turis, khususnya dari Australia dan Prancis, semakin meningkat dan ini memberi Dinh sebuah ide. Saat Hue menerima medali dari Jenderal Mundy, Dinh duduk di lobby sebuah bank dan mengambil sebuah pinjaman untuk membangun sebuah hotel kecil di kota Hue. Masih aktif dalam militer, Dinh menyerahkan pengelolaan bisnis barunya pada putra tertuanya, dan dari 10 staff hotel, lima diantaranya berasal dari keluarganya. Ini menjadi semacam versi Vietnam dari “Mimpi Amerika”, sebuah peluang bisnis yang memungkinkan Dinh bekerja dan makmur seperti yang lainnya. Setelah hampir 4 tahun menjalankan Hotel Sunflower, dan mendapatkan cukup uang untuk membuat rumah bagi keluarganya, Dinh mendapati menghangatnya hubungan antara Amerika dan Vietnam meningkatkan peran hidupnya. Dengan kemampuan berbahasa Inggrisnya yang bagus, Dinh menjadi pemandu wisata yang banyak dicari oleh orang-orang Amerika yang ingin mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah dalam perang Vietnam, mulai dari Hamburger Hill hingga Benteng Istana kota Hue. Pada tahun 1996 lewat seorang veteran bernama Courtney Frobenius, pengusaha Tour Vietnam-Indochina, Dinh mendapat permintaan spesial. Jenderal John Cushman, yang pernah menjadi komandan Brigade ke-2 dari Divisi Lintas Udara ke-101, yang pernah bertempur berdampingan dengan batalion 2/3 ARVN pimpinan Dinh di Distrik Quang Dien menjelang Serangan Tet, ingin pergi ke kota Hue dan melihat area dimana dulu unitnya bertugas. Cushman tinggal di Hotel Sunflower, dan Dinh menjadi pemandu tour selama perjalanannya. Kemudian Dinh juga menjadi pemandu bagi dua lagi grup veteran Divisi Lintas Udara ke-101 dan menghadiri kedatangan Pete Peterson, Duta Besar Amerika pertama di Vietnam sejak berakhirnya perang. Ini adalah masa-masa yang membahagiakan Dinh. Baik keluarganya dan bisnisnya berjalan bagus, dan negaranya memperbaiki hubungan dengan bekas sekutunya. Dinh sama seperti Hue menemukan tempat dimana ia bisa memanggilnya sebagai “rumah”.

LINGKARAN PENUH

Di Amerika, Tran Ngoc Hue bekerja keras, hingga dalam satu waktu ia bekeria di 3 tempat berbeda untuk membayar hutangnya dan mensejahterakan keluarganya. Wiseman sangat kagum dengan semangat temannya ini dan berkata: “Ia membayar kembali uang pinjaman dari Departemen Luar Negeri Amerika sebesar $4000 sebagai pengganti biaya tiket pesawatnya dalam waktu cuma setahun dan bahkan mengembalikan kepadaku uang deposit Apartemennya. Saya membantunya untuk bisa mendapatkan pekerjaan di PX (toserba) Marinir, tetapi komandan Korps Marinir mengenalnya dengan baik, dengan ini pengaruh saya sangatlah kecil.” Setelah bekerja sebentar disitu, Hue mendapatkan pekerjaan di Navy Federal Credit Union. Meski Cam masih mengalami masalah kesehatan, dia juga tetap bekerja penuh untuk membantu perekonomian keluarga mereka di negeri yang baru. Pada bulan September 1994, keluarga Hue pindah ke rumah baru milik mereka sendiri di Fall Church, dan pada tahun 1995 mereka mensponsori 9 anggota keluarga dari bekas tawanan Vietnam Selatan untuk bisa pindah ke Amerika. Pada tanggal 29 Februari 1997, saat Dinh menyaksikan rekonsiliasi hubungan Vietnam-Amerika, Tran Ngoc Hue dan seluruh keluargannya mengambil sumpah yang membuat mereka menjadi warga negara Amerika. Dengan berjalannya waktu tiga putri Hue berhasil lulus dari Universitas Maryland: dua diantaranya telah menikah dan sudah punya keluarga sendiri. Pada tahun 2002, Tran Ngoc Hue menghadiri interview dengan penulis untuk membuat buku ini. Saat kami duduk untuk mulai mengerjakan, menjadi jelas bagi penulis bahwa Hue kini hidup dengan damai. Meski dia telah mengalami berbagai pergolakan selama bertahun-tahun berperang, pernah nyaris mati, dan menjalani kehidupan penuh kesengsaraan dalam penahanan selama bertahun-tahun, Tran Ngoc Hue percaya bahwa dia adalah salah satu orang paling beruntung di dunia dan bersyukur kepada Tuhan setiap hari karena telah menjawab doa-doanya. Dalam satu momen dalam pembicaraan yang panjang, Hue bersandar dan berkata, “Aku tidak pernah berpikir bisa selamat dan bertemu kembali dengan istri dan anak-anakku. Tetapi aku bisa mengalaminya. Aku bisa melihat mereka semua, bahkan juga cucuku. Aku telah melihat mereka hidup dengan sukses. Benar-benar sebuah anugerah. Setiap hari aku hidup dalam impian Amerika.”

Tran Ngoc “Harry” Hue, dan salah satu mantan rekan Amerikanya, Lt. Col.(R) James Coolican dari Korps Marinir A.S. Meski dia telah mengalami berbagai pergolakan selama bertahun-tahun berperang, pernah nyaris mati, dan menjalani kehidupan penuh kesengsaraan dalam penahanan selama bertahun-tahun, Tran Ngoc Hue percaya bahwa dia adalah salah satu orang paling beruntung di dunia dan bersyukur kepada Tuhan setiap hari karena telah menjawab doa-doanya. (Sumber: https://www.army.mil/)

Pada musim semi sebelumnya, saya mewawancarai Pham Van Dinh selama hampir sebulan. Diskusi kami berjalan baik dan fokus pada masa-masa awal hidupnya dan tahun-tahun pertamanya bertugas di ARVN. Dinh tampak gembira dan damai menceritakan pengabdiannya pada negeri yang dulu ia cintai. Hanya ketika membahas penyerahan dirinya, Dinh mulai menunjukkan emosi. Diskusi mengenai penyerahan dirinya membawa kembali rasa sakit di hatinya. Ketika bahasan interview menyentuh momen penyerahan dirinya, Dinh semakin instrospektif dan balik bertanya mengenai hal-hal yang mengganggu dirinya. Kenapa Amerika tidak menggunakan kesempatan setelah serangan Tet tahun 1968 dan mengejar kemenangan? Kenapa Amerika malah memilih keluar dari konflik dan membiarkan ARVN sendirian melawan musuh yang hebat? Pada satu titik, ketika kami berbicara mengenai penyerahan unitnya di Kamp Carroll, Dinh mendekat kepadaku, dan dengan mata berkaca-kaca, menanyakan pertanyaan yang tentunya telah menghantui dirinya selama 30 tahun. “Amerika masih ada di Korea Selatan. Kenapa mereka tidak tetap tinggal di Vietnam Selatan? Apa salah kami?” Ketika interview kami mendekati akhir, saya bertanya kepada Pham Van Dinh kenapa ia mau bersusah-susah menjalani interview. Ia menjawab bahwa ada banyak alasan yang bisa membuatnya untuk tidak menceritakan kisahnya. Ia menyadari bahwa banyak orang di Amerika tidak menyukai dirinya, disamping bagaimanapun ia menceritakan kisahnya, orang akan mencapnya sebagai pembohong. Pemerintah Vietnam dimana ia membelot, juga tidak akan memperbolehkannya menceritakan kisahnya di Vietnam. Di sisi lain risiko yang dia hadapi dengan ditambah bahwa ia semakin menua, Dinh sadar bahwa ini adalah kesempatan satu-satunya bagi dia untuk jujur menceritakan beberapa kisah paling penting dalam perang, berapapun harganya. Ia menutup interview dengan berkata bahwa ia “ingin orang-orang tahu kisah bangsanya dan kisah tentang perang itu” dan berharap kisahnya “akan membantu orang-orang tua dan muda untuk memahami dan belajar baik dari kemenangan maupun kesalahanku.” Perang Vietnam akhirnya berakhir. Tran Ngoc Hue yang telah bertempur dengan gagah berani dalam waktu lama dan telah membayar mahal keberaniannya, kini hidup dengan damai di rumah barunya di Amerika. Pham Van Dinh di sisi lain sama-sama telah bertempur dengan sama berani dan dalam waktu lama tetapi pada akhirnya tidak bisa menjadi pahlawan, pada akhirnya juga telah menemukan kedamaian. Ketika Dinh pulang ke rumah, ia mengumpulkan beberapa informasi tambahan untuk melengkapi interview kami, namun setelah beberapa waktu tidak ada lagi kabar yang datang. Beberapa bulan kemudian saya mengetahui bahwa Dinh mengalami stroke dan nyawanya terancam. Meski dia menjalani proses penyembuhan yang menyakitkan, Pham Van Dinh tetap lemah dan tidak bisa bicara, sehingga menjadikan alasan dibalik keinginannya menceritakan kisahnya menjadi masuk akal. Pada akhirnya kisah Pham Van Dinh dan Tran Ngoc Hue, menjadi semacam kisah tragedi Yunani. Keduanya telah bertempur dengan keras dan ketika dekat dengan kemenangan, mereka dengan mata dan kepala sendiri menyaksikan negerinya kalah karena kesalahan kebijakan Amerika dan Vietnam Selatan dalam perang. Dinh dan Hue, dua prajurit muda yang pemberani dan memiliki banyak kesamaan, kemudian mengambil jalan yang bertolak belakang. Dalam masa akhir perang, dengan keputusannya masing-masing, keduanya menempuh jalan sesuai dengan nilai-nilai kehormatan tradisional bangsa Vietnam yang mereka pegang.

– HABIS –

Disadur dari:

Vietnam’s Forgotten Army, Heroism And Betrayal In The ARVN by Andrew Wiest, 2008; p 273-297

One thought on “Kisah Pararel Dua Prajurit Vietnam Selatan Part IX-Habis: Jalan Panjang untuk “Pulang”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *