Perang Timur Tengah

Crassus, Setelah Taklukkan Spartacus, Digebuk Orang-orang Iran dalam Pertempuran Carrhae, 53 SM

Pertempuran Carrhae (di Harran, Turki) pada tahun 53 SM adalah salah satu bencana militer terbesar sepanjang sejarah Romawi ketika pahlawan kampanye pemadaman pemberontakan Spartacus, Marcus Licinius Crassus (115-53 SM), memulai invasi tanpa alasan ke wilayah Parthia (Iran modern). Sebagian besar informasi mengenai pertempuran tersebut dan dampaknya berasal dari dua sumber utama: biografi Crassus karya sejarawan abad ke-1 M, Plutarch, dan Sejarah Romawi karya Cassius Dio (c. 155 – c. 235 CE). Carrhae terbukti menjadi bencana total sejak awal. Tentara Romawi bukan saja tidak terbiasa berperang di medan terbuka dan di tengah panasnya suhu Suriah yang tak tertahankan, namun mereka juga belum pernah melihat kavaleri Parthia: katafrak atau pasukan kavaleri berbaju zirah. Iain Dickie, lewat artikelnya tentang pertempuran tersebut dalam Battles of the Ancient Worldmenyatakan bahwa Crassus berusaha “untuk mengalahkan saingan politiknya Pompey dan Caesar. Dia mengharapkan kejayaan dan kekayaan tetapi mendapat tragedi dan kematian” (140). Pada akhirnya, 20.000 orang Romawi terbunuh, 10.000 orang ditangkap, dan hanya sekitar 5.000 orang yang lolos dari pembantaian tersebut. Akibat kekalahannya ini, nama Crassus dalam sejarah tercoreng. Istilah Crassussecara kasar berarti “bodoh, serakah, dan gemuk” dalam bahasa Latin, dan setelah kematiannya, dia difitnah sebagai orang bodoh dan serakah yang kesalahan fatalnya menyebabkan bencana bagi orang banyak dan dirinya sendiri.

Pertempuran Carrhae (di Harran, Turki) pada tahun 53 SM adalah salah satu bencana militer terbesar sepanjang sejarah Romawi. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

CRASSUS MENDUKUNG SULLA

Alexander dari Makedonia, yang disebut “Agung”, meninggal pada bulan Juni 323 SM setelah menaklukkan kerajaan terkuat yang pernah ada di muka bumi. Saat kelahirannya, Kekaisaran Achaemenid di Persia terbentang dari Sungai Danube di Barat hingga Sungai Indus di Timur. Pada saat dia meninggal, semua itu sudah menjadi miliknya. Lebih dari 250 tahun kemudian, eksploitasi Alexander menjadi legenda di Kekaisaran Romawi yang sedang berkembang dan para kaisar mereka serta jenderalnya mengidolakan Alexander. Pada tahun 54 SM, jenderal Romawi Marcus Licinius Crassus berusaha meniru jejak Alexander dan meniru penaklukannya untuk mencapai kemashyuran bagi dirinya sendiri. Dia bukanlah orang Romawi pertama yang dibandingkan dengan Alexander. Scipio Africanus, yang mengalahkan Hannibal dan menghancurkan Kartago, sering disamakan dengan orang Makedonia terkenal itu. Begitu pula dengan Pompey, yang disebut sebagai “Yang Agung” pada masa hidupnya. Plutarch juga membandingkan Julius Caesar dengan Alexander dalam sebuah karya yang sayangnya sudah tidak dapat ditemukan lagi. Namun Crassus adalah orang Romawi pertama yang menghadapi kebangkitan Persia dengan pasukan di belakangnya. Marcus Licinius Crassus bukanlah komandan yang tidak kompeten seperti yang ditunjukkan oleh hasil pertempuran Carrhae. Dia pernah menjadi pemimpin militer yang cakap dan juga negarawan yang sukses. Ayah Crassus, Publius, terpilih sebagai konsul, jabatan tertinggi di Republik Romawi, pada tahun 97 SM. Tahun berikutnya ia menjabat sebagai gubernur prokonsul (jabatan yang diberikan kepada konsul yang baru menjabat) di wilayah Spanyol Romawi. Di sana ia berjuang untuk memperluas kendali Romawi atas masyarakat Lusitan di Portugal saat ini. Kemungkinan besar Marcus bertugas bersama ayahnya di Spanyol sambil mendapatkan pengalaman militer. Publius memihak dalam perang saudara antara pengikut Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla. Ia dan putra sulungnya berperang demi Sulla dan dibunuh oleh pengikut Marius (atau bunuh diri?) pada tahun 87 SM. Alexander dari Makedonia juga merupakan putra seorang lelaki berkuasa yang dibunuh oleh lawan politiknya. Marcus kini menjadi pewaris nama ayahnya. Khawatir mengalami nasib yang sama seperti ayah dan kakak laki-lakinya, dia melarikan diri kembali ke Spanyol dimana dia disembunyikan dan dilindungi oleh teman-teman ayahnya.

Lukisan artis tentang kavaleri Pendamping Alexander yang melintasi sungai Granicus, oleh Peter Connoly. Jejak Alexander coba ditiru oleh tokoh-tokoh militer sesudahnya. (Sumber: https://www.thecollector.com/)
Peta Pertempuran Gaugamela, menunjukkan momen menentukan ketika pasukan kavaleri Alexander di sayap kanan menerobos garis musuh, yang kemudian mengakhiri pertempuran dengan kemenangan bagi Alexander. Taktik serupa ditiru oleh Crassus dalam membantu Sulla meraih kemenangan. (Sumber: https://www.thecollector.com/)
Lucius Cornelius Sulla dan pasukannya bertempur menuju Roma pada tahun 82 SM. Kemenangan Sulla menjadikannya seorang diktator, dan ia melakukan balas dendam berdarah terhadap lawan-lawannya. Atas jasa-jasanya Crassus dihadiahi oleh Sulla yang berterima kasih dengan menugaskannya untuk membalas dendam pada pendukung musuh-musuhnya. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Saat berada di Spanyol, Crassus mengumpulkan pasukan kecil yang terdiri dari sekitar 2.500 orang untuk mendukung Sulla melawan Marius dan membalaskan dendam keluarganya. Bergabung dengan Sulla untuk invasi ke Italia, Crassus ditugaskan untuk memperkuat pasukan Italia guna membantu pengikut Sulla dan melakukan tugas tersebut dengan cukup baik sehingga Sulla memberinya komando sayap kanan pasukannya dalam apa yang akan menjadi klimaks dalam Pertempuran Gerbang Colline di tahun 82 SM ketika pasukan Sulla berhasil mengalahkan pasukan Marius. Crassus kemungkinan besar senang berada di sisi kanan karena Alexander melakukan dua pertempuran terpenting melawan Raja Persia Darius III dari Achaemenid dari posisi itu. Dia memimpin kavaleri elitnya, termasuk unit dimana ia dibesarkan yang dikenal sebagai “Para Sahabat,” di sayap kanan pasukannya. Dalam Pertempuran Issus pada tahun 333 SM, Alexander, dan sebagian besar kavalerinya mengambil alih sayap kanan. Saat pertempuran berlangsung, sayap kirinya terancam roboh. Dia kemudian memimpin pasukan berkudanya langsung menuju ke kereta Darius di tengah barisan Persia dan memaksanya melarikan diri. Pemandangan raja yang melaju kencang menyebabkan kepanikan di antara pasukannya dan mereka mengikuti raja mereka dalam kekacauan besar. Pertempuran Alexander berikutnya terjadi di dataran luas di Gaugamela pada tahun 331 SM, dekat kota Erbil di Irak modern, di sebelah timur Sungai Tigris. Kali ini, Alexander memindahkan kavalerinya ke posisi paling kanan dan kavaleri Darius menyerangnya di sana sehingga memperluas garis pertahanan Persia hingga meninggalkan sebagian wilayah yang tidak dipertahankan. Di sebelah kiri, barisan Makedonia bergeser untuk memungkinkan kereta Persia melaju tanpa dihalangi, menyebabkan celah lain terbuka di barisan Persia. Alexander lalu bergegas melewati satu celah, sementara pasukan di sayap kiri barisannya menerobos celah kedua di barisan Darius. Serangan keras pasukan Makedonia sekali lagi menyebabkan Darius melarikan diri. Garis pertahanan dan kerajaan Persia runtuh. Selama pertempuran antara pasukan Marius dan Sulla, sayap kiri pasukan Sulla runtuh dan situasinya genting. Sulla bergegas membantu mereka dan mencoba memberi semangat mereka, meninggalkan Crassus yang bertanggung jawab di sayap kanan. Sementara Sulla berjuang untuk membuat pasukan bertempur lagi, Crassus menirukan serangan Alexander dan menggerakkan sayap kanannya untuk menerobos ke tengah barisan Marius, meraih kemenangan bagi Sulla yang berada diambang kekalahan. Dengan rasa kemenangan pertamanya yang mirip Aleksander, Crassus dihadiahi oleh Sulla yang berterima kasih dengan menugaskannya untuk membalas dendam pada pendukung musuh-musuhnya. Dalam peran barunya, dia akan menyita properti para pengikut aristokrat Marius yang hancur dan menjualnya kembali untuk mengumpulkan uang bagi para veteran Sulla. Crassus menjual properti itu, mengambil komisi besar atau diam-diam menyimpan beberapa properti. Dengan cara ini dia memulai proses yang menjadikannya orang terkaya di Roma.

Marcus Licinius Crassus, dikenal sebagai “orang terkaya di Roma.” Dalam peran barunya mendukung Sulla, Crassus akan menyita properti para pengikut aristokrat Marius yang hancur dan menjualnya kembali untuk mengumpulkan uang bagi para veteran Sulla. Crassus menjual properti itu, mengambil komisi besar atau diam-diam menyimpan beberapa properti bagi dirinya sendiri. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

MENAKLUKKAN PEMBERONTAKAN SPARTACUS

Crassus terus meningkatkan kepemilikan kekayaannya hingga tahun 73 SM, ketika seorang gladiator Thracia yang tidak puas bernama Spartacus memimpin pemberontakan budak melawan majikan Romawinya. Pasukannya yang terdiri dari budak-budak yang melarikan diri, yang berpusat pada para gladiator yang terbukti mampu bertempur, mengalahkan pasukan Romawi yang dikirim untuk melawannya. Dalam prosesnya, semakin banyak budak yang mendukung perjuangannya dan sejumlah besar senjata disita untuk digunakan melawan kekuasaan Romawi. Setahun kemudian, para budak yang melarikan diri menjadi momok di Italia, mengalahkan tiga legiun Romawi yang dikirim untuk melawan mereka. Kemudian, para budak yang menang berbelok ke selatan untuk menghancurkan semenanjung, memperkaya diri mereka sendiri, dan berharap dapat melarikan diri ke pulau Sisilia. Para konsul dikalahkan dan dipermalukan sementara para jenderal terbaik Roma ditempatkan jauh dari Italia. Pompey berada di Spanyol untuk memadamkan pemberontakan sementara Lucius Licinius Lucullus, (teman Sulla). Julius Caesar muda belum dikenal karena kemampuan bertempurnya. Crassus kemudian memanfaatkan momen tersebut dan mengajukan tawaran luar biasa kepada Senat. Jika dia diberi komando tentara Romawi di Italia, dia akan membayar tentara yang baru dibentuk itu dari kekayaannya yang besar. Para Senator yang putus asa menerimanya. Crassus segera mulai merekrut, bukan rekrutan mentah, tetapi para veteran berpengalaman dari pasukan Sulla. Setelah mewarisi dua legiun dari konsul yang sekarang patuh padanya, ia segera memiliki pasukan yang terdiri lebih dari 40.000 legiuner tangguh, yang terbagi dalam delapan legiun. Mereka dipersenjatai, diperlengkapi dan dibayar oleh Crassus sendiri. Pada awal kampanye, seorang komandan tidak mematuhi perintah dan memimpin pasukannya melawan Spartacus dan dikalahkan. Lebih buruk lagi, para legiuner itu pecah dan lari. Crassus lalu menghukum mereka seperti yang pernah dilakukan Alexander—di mana setiap sepuluh orang di unit yang dikalahkan dibunuh oleh rekan-rekannya sendiri. Disiplin kemudian bisa dipulihkan. Teori ini berasal dari penulis biografi Alexander dari Romawi, Quintus Curtius Rufus, yang menulis bahwa Alexander membunuh 600 dari 6.000 tentara yang menyalahgunakan wewenang mereka pada suatu provinsi. Rufus hidup satu atau dua generasi setelah Crassus dan kisah penghancuran tersebut tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan—tetapi jika itu benar, maka Crassus pasti sedang mengikuti jejak pahlawannya. Sementara Crassus merekrut, melatih dan menghukum pasukannya yang baru dibentuk, Spartacus telah mencapai Calabria di ujung Italia, mencari transportasi ke Sisilia di mana semangat pemberontakan membara di antara para budak yang bekerja di pertanian dan pertambangan di pulau itu.

Spartacus pemimpin pemberontakan para budak. (Sumber: https://pixels.com/)
Pasukan Spartacus yang terdiri dari budak-budak yang melarikan diri, yang berpusat pada para gladiator yang terbukti mampu bertempur, mengalahkan pasukan Romawi yang dikirim untuk melawannya. Dalam prosesnya, semakin banyak budak yang mendukung perjuangannya dan sejumlah besar senjata disita untuk digunakan melawan kekuasaan Romawi. Setahun kemudian, para budak yang melarikan diri menjadi momok di Italia, mengalahkan tiga legiun Romawi yang dikirim untuk melawan mereka. (Sumber: https://www.afrikaiswoke.com/)

Spartacus menawarkan uang kepada penduduk setempat untuk membawa mereka ke Sisilia, tetapi pemilik kapal lebih takut pada Roma daripada pemimpin budak yang putus asa. Mereka mengambil emasnya tetapi tidak pernah menyediakan perahunya. Sementara Spartacus menunggu dengan sia-sia, Crassus membawa pasukannya di belakang mereka. Dalam keajaiban teknik militer Romawi, anak buahnya dan warga sipil yang kena wajib militer membangun parit dengan benteng berkala di sepanjang ‘leher’ Calabria sepanjang 37-40 mil (60-64 km) dan menjebak para budak yang diambang bencana. Pada pertemuan pertama mereka, Spartacus sangat ingin lepas dari jebakan yang dibuat Crassus untuknya. Di tengah malam, dia menerobos barisan Romawi dan sebagian besar pasukannya melarikan diri. Namun pertikaian internal telah memecah persatuan para budak berdasarkan garis kebangsaannya. Sekitar 12.000 orang Galia dan Jerman telah berpisah dengan Spartacus dan tidak berpartisipasi dalam pelarian tersebut. Crassus menemukan perpecahan dan menempatkan pasukannya yang lebih besar pada orang-orang Galia dan menghancurkan mereka. Namun Spartacus dan pasukan utamanya masih berkeliaran. Terlebih lagi, Crassus telah membujuk Senat untuk menarik kembali Pompey dan pasukannya dari Spanyol dan Lucullus serta pasukannya dari Thrace untuk membantu memadamkan pemberontakan budak. Namun kini, dengan kemenangan dalam genggamannya, Crassus menyadari kesalahannya. Dua jenderal terkenal itu mungkin tiba di Italia dan menghancurkan Spartacus sebelum dia bisa melakukannya. Dengan ini mereka akan mendapatkan kehormatan. Dia tidak bisa membiarkan hal itu terjadi dan menyerang para pemberontak dengan tujuan yang buruk. Sementara itu Spartacus telah mengambil posisi di daerah pegunungan. Crassus, dengan tergesa-gesa, mengirim barisan depan langsung ke arah mereka sebelum sisa pasukannya tiba. Mereka dipukul mundur, memberikan para budak harapan palsu akan kemenangan di masa depan. Ketika Crassus telah membawa pasukannya dan semuanya sudah siap, dia menyerang benteng para budak dan menghancurkan mereka, membunuh Spartacus dalam prosesnya. Para budak yang lolos dari kurungan Calabria tidak dapat membawa kereta perbekalan mereka, meninggalkan pasukan Spartacus, yang kelelahan karena terus-menerus berjalan dan bertempur, berada dalam posisi lemah. Kemenangan Crassus sungguh luar biasa.

Selama dua tahun Spartacus dan pasukan budak dan Gladiatornya yang melarikan diri mengalahkan setiap Legiun Romawi yang dikirim untuk melawannya. Akhirnya pada tahun 71 SM, mereka dijebak dan dihancurkan oleh enam Legiun yang dipimpin oleh Crassus. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Berakhirnya Perang Budak ke-3 73BC-71BC_6.000 tentara Spartacus yang selamat disalibkan oleh Romawi. (Sumber: https://twitter.com/)
Gnaeus Pompeius Magnus (Pompey). Hanya satu peristiwa yang merusak kemenangan Crassus. Sekitar 5.000 budak berhasil lolos dari pembantaian di sisi gunung dan berlari ke utara untuk melarikan diri dari Italia. Mereka dihentikan oleh tentara Romawi yang datang dari Spanyol di bawah komando Gnaeus Pompeius yang kita kenal melalui pena Shakespeare sebagai “Pompey.” Pompey menulis kepada Senat bahwa meskipun Crassus telah mengalahkan tentara budak, dialah yang mengakhiri pemberontakan. Senat memberi Pompey kemenangan dan memberi Crassus tanda kemenangan yang lebih kecil yang dikenal sebagai tepuk tangan meriah. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Hanya satu peristiwa yang merusak kemenangan Crassus. Sekitar 5.000 budak berhasil lolos dari pembantaian di sisi gunung dan berlari ke utara untuk melarikan diri dari Italia. Mereka dihentikan oleh tentara Romawi yang datang dari Spanyol di bawah komando Gnaeus Pompeius yang kita kenal melalui pena Shakespeare sebagai “Pompey.” Pompey menulis kepada Senat bahwa meskipun Crassus telah mengalahkan tentara budak, dialah yang mengakhiri pemberontakan. Senat memberi Pompey kemenangan dan memberi Crassus tanda kemenangan yang lebih kecil yang dikenal sebagai tepuk tangan meriah. Kedua pria tersebut kemudian diangkat menjadi Konsul bersama untuk tahun berikutnya (70 SM). Crassus dan Pompey pernah menjadi rival sebelumnya. Keberanian Pompey meningkatkan persaingan mereka. Kenyataannya, dua orang paling berkuasa di Roma ini mempunyai kepentingan bersama dalam lingkup pengaruh yang berbeda. Pompey adalah jenderal Romawi yang paling berkuasa, sedangkan Crassus adalah senator dan politisi terkaya dan paling berpengaruh. Orang-orang tersebut menemukan titik temu ketika mereka menjabat sebagai konsul. Setelah menjadi konsul bersama, Crassus tetap di Roma untuk mengumpulkan kekayaannya dan membangun aliansi politik. Pompey pergi berperang. Pertama, ia secara sistematis menumpas pembajakan di Mediterania dan Laut Hitam dan kemudian mengambil alih komando pasukan pemberontak dalam perang Roma melawan Mithridates VI dari Pontus. Pompey menghidupkan kembali pasukan baru. Dia sekarang memimpin di Anatolia dan mengalahkan pasukan Pontus. Setelah kekalahannya, Mithridates melarikan diri ke Armenia dimana menantu laki-lakinya menjadi raja. Orang itu, Tigranes Agung, kini menentang Romawi. Untuk membantu perjuangannya, Pompey bernegosiasi dengan Parthia, yang kemudian menguasai Persia, untuk melakukan invasi bersama ke Armenia. Namun ketika Romawi menang, tanpa bantuan orang-orang Parthia, dia membatalkan kesepakatan tersebut. Namun pada saat itu, Parthia telah mengirim pasukan kavaleri ke wilayah Gordyene yang diduduki orang-orang Armenia (di barat daya Turki) yang baru saja menjadi wilayah Parthia sebelum Armenia merebutnya. Pompey lalu mengembalikan Tigranes ke tahtanya sebagai raja klien Romawi dan mengirim utusannya, Aulus Gabinius, bergerak di sepanjang Armenia ke tepi Sungai Tigris sebagai unjuk kekuatan. Dia mengirim utusan lain, Lucius Afranius, untuk mengusir orang-orang Parthia dari upaya menaklukkan kembali wilayah Gordyene. Pasukan kecil Parthia di sana pergi tanpa perlawanan. Afranius menindaklanjuti penghinaan terhadap calon sekutu Roma ini. Dia menggiring pasukannya melintasi dataran Mesopotamia ke Antiokhia di pantai Mediterania. Dengan melakukan hal tersebut, ia melintasi wilayah bekas wilayah Seleukia yang diklaim oleh orang-orang Parthia sejak tahun 141 SM. Secara signifikan dia melewati kota Carrhae dalam perjalanannya ke barat. Sebagai penghinaan terakhir, Pompey menganeksasi wilayah Pontus dan Suriah yang diklaim orang-orang Parthia ke dalam Kekaisaran Romawi yang sedang berkembang.

CRASSUS DAN TRIUMVIRAT

Ketika Pompey bertempur di timur, Crassus menghasilkan uang dengan mendanai politisi-politisi pendatang baru dari kelas aristokrat dan berkuda. Yang paling terkenal adalah Julius Caesar muda yang kepadanya ia meminjamkan banyak uang dan mendukung awal karir politik dan militernya. Ketika Pompey kembali ke Roma di bawah kecurigaan Senat karena melanggar batas mandat yang diberikan kepadanya, Crassus mendukung saingannya. Aliansi mereka yang tidak mudah akan berujung pada dukungan timbal balik mereka terhadap Julius Caesar untuk menjadi konsul pada tahun 59 SM. Caesar dengan cerdik menyeimbangkan kewajiban finansialnya kepada Crassus dengan mengatur pernikahan antara putrinya Julia dan Pompey, mengamankan ikatannya dengan kedua pria tersebut. Crassus segera mendapatkan hubungan lain dengan Caesar dengan mengirimkan putranya Publius untuk bertugas di pasukan Caesar sebagai kapten kavaleri. Sebagai konsul, Caesar dengan cerdik mengatur agar langkah-langkah yang menguntungkan kedua pendukungnya disahkan oleh Senat. Sebagai imbalannya, Caesar diberi jabatan gubernur Cisalpine Gaul, yang pada saat itu terdiri dari wilayah Italia utara. Caesar akan menggunakan basis itu untuk membangun wilayah kekuasaan pribadinya. Dia akan menggunakan Transalpine Gaul (Prancis) sebagai batu loncatan untuk mengalahkan mentornya. Dengan jauhnya Caesar dari ibu kota, dua geng konflik yang dikendalikan oleh Pompey dan Crassus saling bertarung di jalanan Roma. Masyarakat membagi loyalitas politiknya kepada kedua orang tersebut. Pada tahun 55 SM, dengan restu dan dukungan Caesar, kedua raksasa tersebut berdamai dan sekali lagi terpilih sebagai konsul bersama seperti yang terjadi pada tahun 70 SM. Selama masa konsul ini, prokonsul gubernur Suriah, anak buah Pompey, Gabinius, berada di Yudea untuk menghentikan perang saudara ketika dia menerima petisi dari seorang pria bernama Mithradates, saudara laki-laki raja Parthia Orodes II, yang meminta dukungannya dalam perjuangan untuk mengamankan Suriah dari kekuasaan Parthia. Gabinius setuju dan membawa pasukannya menyeberangi Sungai Efrat sebelum dipanggil kembali oleh Pompey untuk mengembalikan Raja Ptolemy XII Auletes (ayah Cleopatra) yang digulingkan ke takhta Mesir. Di antara prajurit Gabinius saat ini ada seorang kapten kavaleri muda bernama Marcus Antonius, yang kemudian diganti namanya menjadi Mark Antony oleh Shakespeare. Kembali ke Roma, aliansi yang tidak mudah antara tiga pria, Crassus, Pompey dan Caesar, secara informal mengendalikan politik Romawi dari tahun 60 hingga 53 SM. Aliansi ini dikenal oleh para sejarawan sebagai Triumvirat Pertama, yang secara efektif memerintah Republik Romawi dari tahun 60 hingga 53 SM.

Gaius Julius Caesar. Bersama Crassus dan Pompey, Caesar membentuk Triumvirat, yang selama hampir satu dekade mendominasi pemerintahan Romawi. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Luas Kekaisaran Parthia pada masa jayanya. Bagi Crassus, negara-negara bagian timur lainnya dapat dengan mudah direbut, jadi mengapa Parthia tidak?. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Republik yang tidak stabil dan perang saudara yang hampir terjadi membuat ketiga orang ini mengesampingkan perbedaan mereka dan bahkan sikap meremehkan satu sama lain untuk bergabung dan selama hampir satu dekade mendominasi pemerintahan Romawi, bahkan mengendalikan pemilu disana. Ketika mereka membagi kue kekuasaan, Caesar diberi waktu lima tahun lagi untuk menaklukkan wilayah Gaul yang luas. Pompey diberi jabatan gubernur Spanyol dan Crassus diberi jabatan gubernur Suriah dan dialokasikan tujuh legiun. Keserakahan sering dianggap oleh sumber-sumber kuno, khususnya penulis biografinya Plutarch, sebagai kesalahan utama dan motifnya berperang Crassus. Di sisi lain, sejarawan Erich S. Gruen percaya bahwa tujuan Crassus adalah untuk memperkaya perbendaharaan publik karena dalam hal kekayaan pribadi Crassus tidaklah kekurangan. Crassus mendambakan kehebatan militer seperti yang diraih Pompey dan Caesar. Dia hanya memenangkan satu pertempuran di bawah komando Sulla dan Pompey mendapat pujian atas kemenangan Crassus atas para budak. Dia menginginkan kemenangannya sendiri tanpa campur tangan dari saingan dan rekan-rekannya. Crassus mulai mengamati wilayah timur dan Parthia pada khususnya. Dia memimpikan supremasi Romawi di sana dan peluang meraih kejayaan. Sayangnya baginya, hanya sedikit yang diketahuinya tentang Parthia kecuali bahwa Parthia dianggap sangat kaya. Negara-negara bagian timur lainnya dapat dengan mudah direbut, jadi mengapa Parthia tidak? Legiun Romawi sebelumnya dengan mudah menghancurkan pasukan kekuatan timur lainnya yang jumlahnya lebih banyak seperti Pontus dan Armenia. Meskipun Pompey telah menandatangani perjanjian dengan Parthia, Crassus memilih untuk mengabaikannya. Kesombongan dan keserakahan ini akan menyebabkan kehancurannya serta kehancuran Triumvirat Pertama.

EKSPEDISI CRASSUS

Plutarch, yang menulis lebih dari satu abad kemudian, mencatat bahwa Crassus, “sama sekali terbuai dan di luar akal sehatnya, dia tidak menganggap Suriah atau bahkan Parthia sebagai batas kesuksesannya, namun… terbang dengan sayap harapannya sampai ke Baktria dan India dan Laut Luar.” Dengan kata lain, dia berusaha meniru Alexander yang agung. Dia berumur enam puluh tahun, dan sudah 20 tahun sejak dia berpartisipasi dalam pertempuran terakhirnya. Tidak ada alasan bagus untuk menyerang Parthia yang tidak menyerang Romawi: Crassus terutama tertarik untuk mendapatkan kekayaan Parthia, dan rekan-rekannya di Senat membenci gagasan itu. Upaya untuk menghentikan Crassus termasuk pengumuman resmi tentang pertanda buruk dilakukan oleh beberapa tribun, khususnya C. Ateius Capito. Ateius berusaha keras untuk menangkap Crassus, tetapi tribun lain menghentikannya. Akhirnya, Ateius berdiri di gerbang Roma dan melakukan ritual kutukan terhadap Crassus. Crassus mengabaikan semua peringatan ini dan memulai kampanye militernya. Meninggalkan Roma pada bulan November 55 SM, Crassus bergerak ke arah timur menuju Asia Kecil, Ia tiba di Suriah pada tahun yang sama dan menggantikan pendahulunya Gabinius. Crassus berada dalam posisi yang kuat karena dia, seperti Gabinius, mendukung Mithradates yang berpura-pura menjadi sekutu Parthia, yang kini berada dalam posisi yang kuat karena ia menguasai kota-kota kaya Babilonia di bawah kendali Parthia. Selain itu, raja Armenia berusaha untuk menyelaraskan negaranya dengan Roma dan menawarkan hingga 40.000 pasukan infanteri dan kavaleri Armenia untuk upaya sekutunya melawan musuh Persia-nya. Para pemimpin suku Arab setempat juga menawarkan dukungan kepada Crassus. Selain kelebihan-kelebihan ini, Crassus dapat merefleksikan bahwa ia mempunyai pekerjaan yang jauh lebih sedikit daripada yang dilakukan Alexander untuk mewujudkan impiannya. Pasukan Makedonia harus berjuang melintasi Asia Kecil, Suriah, Yudea, dan Mesir sebelum menyeberangi Sungai Efrat untuk mencapai posisi Darius dan pasukannya. Pada masa Crassus, seluruh wilayah tersebut merupakan provinsi Romawi atau kerajaan klien. Medan perang Granicus dan Issus di masa Aleksander sudah berada di bawah kendali Romawi dan Crassus dapat memulai kampanyenya dari tepi Sungai Efrat. Crassus dengan cepat menyeberangi sungai dan bergerak ke kota-kota setempat, menemukan pasukan Parthia lokal, yang dengan mudah ditangani dan dibubarkan. Hanya ada sedikit perlawanan dari sebagian besar kota-kota berpenduduk orang-orang Yunani, kecuali satu. Crassus meninggalkan sekitar 7.000 pasukan kavaleri dan 1.000 pasukan infanteri untuk menjaga kota-kota yang direbutnya ini.

Crassus menjarah Bait Suci di Yerusalem pada tahun 54 SM sebagai cara untuk memaksa orang-orang Yahudi berkontribusi pada kampanye militernya, sama seperti Alexander meminta orang-orang yang ditaklukkan untuk berkontribusi pada kampanye militernya. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Dengan hampir berakhirnya musim kampanye, Crassus meninggalkan garnisun di tepi timur sungai dan kembali ke Suriah untuk melewatkan musim dingin. Crassus menghabiskan musim dingin itu dengan memerintah provinsinya, melatih tentaranya dan mengumpulkan dana untuk pertempuran mendatang dengan orang-orang Parthia. Merupakan kebiasaan bagi pasukan di jaman kuno untuk berpencar selama musim dingin menjadi beberapa garnisun berbeda. Hal ini dilakukan untuk mencegah kesulitan yang akan dirasakan oleh satu kota jika harus memberi makan dan menampung seluruh pasukan. Hal ini juga sesuai dengan norma tentara kuno untuk memungut pajak dari wilayah sekutu atau wilayah taklukan sebelum memulai kampanye baru. Menurut Arrian yang menulis antara tahun 146 dan 160 M, ketika Alexander kembali dari Mesir ke Syria dia menetapkan “retribusi upeti di Phoenicia (Suriah barat)” dan kerajaan-kerajaan lainnya. Crassus sekarang melakukan hal yang sama. Genggamannya sampai ke Kuil di Yerusalem yang juga terpaksa menyumbang. Orang-orang Yahudi akan memandang bencana yang akan datang dan kematian dini Crassus sebagai hukuman Tuhan yang adil atas penyitaan dana Bait Suci. Menghabiskan musim dingin di Suriah, Crassus menunggu putranya Publius dan kavaleri Galianya tiba. Saat dia menunggu cuaca cerah, dia bertemu dengan utusan Parthia yang menanyakan tujuan Romawi dan menuntut penarikannya. Apakah kehadirannya resmi? Crassus memberi tahu mereka bahwa itu memang resmi. Crassus kemudian harus memilih rute invasinya. Rute pertama, yang pernah digunakan oleh 10.000 tentara bayaran Yunani pada tahun 400 SM, seperti dicatat oleh Xenophon, mengarah ke lembah sungai Efrat menuju kota-kota kaya Seleukia dan Babilonia (dekat Bagdad saat ini). Hal ini memungkinkan dia untuk bertemu dengan sekutu Parthiannya, Mithridates III, yang dengan cemas menunggu kedatangannya.

Peta pergerakan tentara Crassus pada tahun 53 SM. (Sumber: https://gatesofnineveh.wordpress.com/)
Patung Jendral Parthia, Surena. (Sumber: https://gatesofnineveh.wordpress.com/)

Rute mana pun yang diambil, kota Seleucia yang kaya dan berpenduduk Yunani adalah target Romawi, seperti yang diberitahukan Crassus kepada negosiator Parthia bernama Vagises. Dikatakan bahwa ketika diberitahu tentang niat Crassus, Vagises menunjuk ke telapak tangannya dan berkata kepadanya, “Rambut akan tumbuh di sini sebelum kamu mencapai Seleucia.” Kata-katanya bersifat kenabian. Namun pada musim dingin itu, ketika Crassus beristirahat, situasi strategis berubah. Raja Parthia Orodes mengirimkan pasukan melawan saudaranya Mithradates. Pasukan ini dipimpin oleh seorang bangsawan yang kita kenal dengan nama klannya, Surena. Dia mengalahkan Mithradates dan mengirimnya dengan rantai ke saudaranya Orodes untuk dieksekusi. Crassus, yang kehilangan sekutu lokal yang berharga, tidak punya alasan lagi untuk mengambil rute pertama untuk menghadapi musuhnya. Rute kedua yang bisa diambil Crassus adalah melalui pegunungan Armenia ke Media di pantai selatan Laut Kaspia. Pada tahun 209 SM, Raja Seleukos, Antiokhus Agung, menggunakan rute ini untuk mengalahkan sementara kekuatan Parthia yang semakin besar. Crassus didesak oleh Artavasdes, klien Romawi raja Armenia, untuk menggunakan rute ini sambil mengulangi tawaran bantuan 40.000 tentara untuk upaya bersamanya. Namun Crassus meragukan kesetiaan sekutu ini, yang ayahnya pernah menjadi klien raja Parthia dan yang, ketika dipanggil dengan pasukannya ke Suriah, sangat terlambat tiba dan itupun hanya dengan 6.000 pasukan kavaleri. Crassus menolak undangan untuk berbaris melalui Armenia untuk menyerang Parthia. Karena terhina, Artavasdes membawa pasukannya dan kembali ke negaranya sendiri untuk menunggu hasilnya dan “merangkul” pemenangnya. Ini merupakan perubahan lain dalam situasi strategis. Crassus tidak mengindahkan tanda peringatan itu. Rute ketiga yang bisa diambil tentara Romawi pada tahun 53 SM adalah melalui dataran tinggi Mesopotamia. Sumber-sumber kuno memberitahu kita tentang seorang kepala suku Arab bernama Ariamnes (oleh Plutarch) atau Abgarus (oleh Dio) yang menyarankan Crassus untuk mengambil rute ini daripada berbaris ke selatan sepanjang Efrat ke Babilonia. Plutarch berpendapat bahwa Crassus mudah terpengaruh oleh argumen Ariamnes, yang membawa serta 6.000 pasukan kavaleri bersamanya. Ariamnes, yang kemudian menjadi sekutu Parthia membawa legiun-legiun Romawi ke dalam jebakan, menyeret mereka menjauh dari sungai dan membawa mereka ke daerah gurun. Bagaimanapun Crassus sudah lama memutuskan untuk mengambil jalan ini. Ini adalah rute yang digunakan Alexander Agung dalam invasinya ke Persia. Dia, seperti Crassus, ingin langsung menuju musuh dan menghancurkan pasukannya sebelum menduduki kota-kota kaya di antara sungai. Ketika Alexander mengalahkan Darius III di Gaugamela, kota-kota Babilonia jatuh ke tangannya seperti buah yang matang. Crassus bisa mengharapkan hasil yang sama ketika dia bisa menang melawan tentara Persia. Seperti yang kita ketahui dari pengalaman Alexander, dia pada akhirnya ingin menduduki Seleukia dan seluruh Babilonia untuk mengenakan pajak atas kekayaannya. Ketika dia menerima duta besar Parthia Vagises yang menanyakan niatnya, Crassus, tanpa memberikan rute mana yang akan dia ambil, menjawab bahwa dia akan memberinya jawaban di Seleucia.

MENUJU CARRHAE

Menurut Plutarch dan yang lainnya, Crassus akan memiliki tujuh legiun (sekitar 35.000 prajurit infanteri) di bawah komandonya serta 4.000 pasukan infanteri tambahan dan 4.000 pasukan kavaleri. Perkiraan yang diberikan oleh sumber-sumber kuno mengenai jumlah pasukan Alexander kira-kira sama dengan jumlah pasukan itu ketika ia memulai invasi ke Persia. Arrian, penulis biografi Alexander, mengatakan orang-orang Makedonia dan pasukannya menyeberangi Sungai Efrat di kota Thapsacus. Lokasi tepatnya atau nama kota ini saat ini tidak diketahui. Pada awal abad ketiga M, Cassius Dio menulis bahwa Crassus menyeberangi sungai tempat Alexander berada. Sejarawan terus memperdebatkan hal ini, tetapi setidaknya Dio melihat Crassus secara sadar melakukan invasi seperti Alexander. Di seberang sungai, Alexander dihadang oleh seorang Satrap Persia bernama Mazaeus yang memimpin 3.000 penunggang kuda. Mazaeus melarikan diri dari pasukan Makedonia yang mendekat. Crassus memiliki pengalaman serupa. Plutarch menulis bahwa, “Beberapa pengintainya kini kembali dari penjelajahan mereka, dan melaporkan bahwa…mereka menemukan jejak banyak kuda yang berputar-putar dan melarikan diri dari pengejaran.” Dia melanjutkan dengan mengatakan bahwa ketika Crassus mendengarnya, dia menjadi lebih yakin akan kemenangan. Crassus melanjutkan perjalanannya di jalur yang dilalui Alexander. Semuanya berjalan baik bagi Crassus sama seperti yang terjadi pada Alexander. Ariamnes, yang pernah memihak Pompey, tiba di kamp Romawi dan dikenang oleh beberapa veteran. Plutarch mengatakan pria itu memberi tahu Crassus yang mudah tertipu bahwa dia harus bergegas maju menemui pasukan raja Persia sebelum mereka dapat membentuk garis pertahanan di Sungai Tigris untuk melawannya. Plutarch menyalahkannya atas hal ini. Namun kemungkinan besar, inilah yang ada dalam pikiran Crassus. Alexander, karena takut Darius III akan membentengi Sungai Tigris untuk melawannya, ia mengerahkan pasukannya untuk mencegahnya. Crassus tidak perlu dibujuk untuk melakukan hal yang sama, melihatnya sebagai bukti bahwa dia mengikuti jejak Alexander. 

Pasukan pemanah berkuda Parthia. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)

Perlu dicatat bahwa, pada masa mereka, Parthia telah menaklukkan dan mewarisi sebagian besar Kekaisaran Seleukos. Seleukos menghormati pendiri mereka, Alexander. Bangsa Parthia, penguasa baru Persia, pasti sudah mengetahui taktik Makedonia terhadap Darius III, dan mengambil keuntungan dari hal tersebut. Daripada mundur ke belakang Sungai Tigris seperti yang dilakukan Darius, mereka membiarkan Crassus maju ke tempat terpencil, yang menguntungkan bagi pasukan kavaleri Parthia, dan melancarkan serangan dari semua sisi. Tepat sebelum hal ini terjadi, Ariamnes, yang telah memainkan perannya dalam drama orang-orang Parthia, segera memimpin anak buahnya keluar dari kamp Romawi. Crassus memercayai Ariamnes, yang, bagaimanapun, telah dibayar oleh orang-orang Parthia. Dia mendesak Crassus untuk segera menyerang dan secara keliru menyatakan bahwa formasi Parthia lemah dan tidak terorganisir. Dia kemudian membawa pasukan Crassus ke bagian gurun yang paling terpencil, jauh dari air. Di sisi lain, Orodes tidak mengantisipasi bahwa pasukan Parthia pimpinan Surena yang kalah jumlah akan mampu mengalahkan Crassus dan hanya ingin menundanya. Plutarch menggambarkan pasukan Surena sebagai “seribu penunggang kuda berbaju zirah dan lebih banyak lagi pasukan kavaleri bersenjata ringan”. Termasuk budak dan pengikut, kekuatan ekspedisi Surena berjumlah sepuluh ribu orang, didukung oleh kereta bagasi dari seribu unta. Secara jumlah mereka kalah dibanding pasukan Crassus.

Sebuah formasi kotak tentara Romawi. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Mendengar kehadiran formasi Parthia, Crassus dengan cepat mengatur anak buahnya. Pada mulanya, dia membentuknya menjadi sebuah garis panjang namun kemudian, menyadari bahwa sisi-sisinya akan rentan, dia membentuknya kembali menjadi sebuah formasi kotak yang rapat. Setiap sisi kotak berisi sekitar 5.700 pasukan infanteri atau 12 Cohort dengan perisai, pedang dan tombak—sebuah taktik yang bagus untuk melawan pasukan infanteri, tetapi tidak untuk para pemanah berkuda Parthia, yang anak panahnya bisa menembus perisai dan tubuh tentara Romawi dari kejauhan. Di dalam kotak berlubang tidak hanya terdapat pasukan infanteri ringan dan kavaleri tetapi juga perbekalan dan pengurus kamp. Plutarch menulis tentang rasa takut Crassus: “Tentu saja semua orang sangat terganggu, tetapi Crassus benar-benar ketakutan, dan mulai mengerahkan pasukannya dengan tergesa-gesa dan tanpa konsistensi yang baik. Pada awalnya, seperti yang direkomendasikan Cassius, dia memperluas barisan pasukannya sejauh mungkin di sepanjang dataran, dengan sedikit kedalaman, untuk mencegah musuh mengepung mereka, dan membagi seluruh kavalerinya di antara kedua sayap. Kemudian dia berubah pikiran dan memusatkan pasukannya, membentuk mereka dalam sebuah formasi kotak berlubang dengan empat bagian depan, dengan dua belas cohort di setiap sisinya.” (bab 25)

LEGIUN VS KAVALERI

Tentara Romawi belum pernah menghadapi kavaleri Parthia yang sangat terampil dan dilatih khusus untuk berperang di medan terbuka. Pertama-tama, tidak seperti tentara Romawi dan Yunani, tidak ada infanteri Parthia yang ada, hanya ada katafrak pembawa tombak yang terkenal, yaitu unta berbaju zirah (total sekitar 1.000) dan pemanah berkuda berbaju zirah ringan (sekitar 10.000). Mereka bergerak cepat dan menembak dengan cepat. Mereka menekankan mobilitas dan keahlian menunggang kuda dengan serangan cepat dan pura-pura mundur. Terakhir, ada penembak Parthia yang terkenal, dimana ketika seorang pemanah berkuda akan menjauh dari musuhnya dengan kecepatan penuh dan, sambil berputar di atas pelana, dia akan menembakkan rentetan anak panah diatas pantat kudanya. Taktik tersebut terbukti hampir mustahil untuk dilawan, dan anak panah Parthia dapat menembus baju zirah Romawi sementara para pembawa tombak bahkan memiliki kemampuan untuk menusuk dua tentara sekaligus. Di sisi tentara Romawi, terdapat legiun terkenal, yang prajuritnya terbukti jauh lebih mudah beradaptasi dalam pertarungan jarak dekat. Mereka sudah membuktikannya saat melawan orang-orang Yunani. Rata-rata legiun dipersenjatai dengan pilum (lembing yang berat) dan gladius Hispaniensis (pedang tikam pendek). Prajurit Romawi mengenakan helm perunggu, perisai, dan tunik berantai. Ia juga harus membawa peralatan menggali, kasur lipat, jubah, peralatan memasak, dan ransum. Tak satu pun dari peralatan ini akan membantu mereka melawan orang-orang Parthia. Kurangnya pelatihan yang diperlukan dan ketidakmampuannya untuk berperang di gurun Suriah yang kosong akan menempatkan mereka pada posisi yang sangat tidak menguntungkan.

Katafrak, kavaleri berat pasukan Parthia. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)
Tentara Romawi terbukti jauh lebih mudah beradaptasi dalam pertarungan jarak dekat, ketimbang melawan pasukan berkuda dan pemanah. (Sumber: https://vocal.media/)

PERTEMPURAN

Pasukan Romawi, yang masih tertata rapi di kotak sempitnya, menunggu serangan langsung Parthia yang tak kunjung datang. Plutarch menulis bahwa suara Parthia di medan perang mengacaukan jiwa seseorang: “Orang-orang Parthia tidak menyemangati diri mereka untuk berperang dengan terompet, tetapi mereka memiliki genderang berongga yang terbuat dari kulit binatang, yang ditutupi dengan lonceng perunggu, dan mereka menabuhnya secara bersamaan di banyak tempat, dan instrumennya mengeluarkan nada rendah dan suram. (ibid)” Surena kemudian memerintahkan kavaleri katafraknya untuk menutupi baju zirah mereka dengan kain dan bergerak maju. Ketika mereka sudah terlihat oleh orang-orang Romawi, mereka secara bersamaan menjatuhkan kainnya dan memperlihatkan baju zirah mereka yang bersinar. Pemandangan itu dirancang untuk mengintimidasi orang-orang Romawi. Meskipun Surena awalnya berencana untuk menghancurkan garis pertahanan Romawi dengan serangan katafraknya, dia menilai itu belum cukup untuk menghancurkannya. Karena itu, ia mengirim pemanah berkudanya untuk mengepung formasi Romawi. Taktik Parthia sederhana: melontarkan sejumlah tembakan panah terus menerus. Kavaleri pemanah akan berkeliling kotak pertahanan Romawi dan dengan cepat menembakkan panah ke pusat tentara Romawi. Segala upaya serangan balik gagal. Plutarch berkata, “…ketika Crassus memerintahkan pasukan bersenjata ringannya untuk menyerang, mereka tidak maju terlalu jauh, kareba menghadapi banyak tembakan anak panah, membatalkan tugas mereka dan berlari kembali untuk berlindung di antara pasukan bersenjata, dimana ini menyebabkan permulaan kekacauan dan ketakutan, karena mereka sekarang dapat melihat kecepatan dan kekuatan anak panah, yang menghancurkan baju zirah, dan menembus setiap lapisan, baik yang keras maupun yang lunak. (ibid)” Para legiun dilindungi oleh perisai besar (scuta) dan baju zirah, namun mereka tidak dapat menutupi seluruh tubuh. Beberapa sejarawan menggambarkan anak panah tersebut sebagian menembus perisai Romawi dan ‘memakukan’ perisai tersebut ke anggota infanteri Romawi dan menancapkan kaki mereka ke tanah. Namun, Plutarch menulis dalam catatannya bahwa pasukan Romawi dihadapkan pada hujan anak panah yang menembus segala jenis penutup, baik yang keras maupun yang lembut. Sejarawan lain menyatakan bahwa sebagian besar luka yang ditimbulkan adalah tembakan tidak fatal pada anggota tubuh yang terbuka.

Pertempuran Carrhae sekitar siang hari. (Sumber: https://gatesofnineveh.wordpress.com/)
Katafrak Unta Parthia menyerang formasi Romawi. (Sumber: https://www.worldhistory.org/)
Beberapa sejarawan menggambarkan anak panah tersebut sebagian menembus perisai Romawi dan ‘memakukan’ perisai tersebut ke anggota infanteri Romawi dan menancapkan kaki mereka ke tanah. Namun, Plutarch menulis dalam catatannya bahwa pasukan Romawi dihadapkan pada hujan anak panah yang menembus segala jenis penutup, baik yang keras maupun yang lembut. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Para legiun kemudian membentuk formasi testudo dengan mengunci perisai mereka bersama-sama untuk memberikan pertahanan yang hampir tidak dapat ditembus oleh panah. Namun, formasi itu sangat membatasi kemampuan mereka dalam pertarungan jarak dekat. Katafrak Parthia lalu mengeksploitasi kelemahan tersebut dan berulang kali menyerang barisan Romawi, yang menyebabkan kepanikan dan menimbulkan banyak korban jiwa. Ketika pasukan Romawi mencoba melonggarkan formasi mereka untuk mengusir katafrak, katafrak dengan cepat mundur, dan para pemanah berkuda kembali menembaki para legiun, yang kini lebih terbuka. Kavaleri Parthia tidak dapat dihentikan, dan Crassus menyadari bahwa dia harus bergerak. Plutarch menulis bagaimana tentara Romawi berharap orang-orang Parthia pada akhirnya akan kehabisan anak panah sampai mereka melihat unta-unta itu penuh dengan persediaan yang tampaknya tidak pernah habis. Ini adalah salah satu dari sedikit laporan tentang rencana logistik yang terkoordinasi di antara tentara non-Eropa kuno. “…ketika mereka menyadari bahwa banyak unta yang membawa anak panah berada di tempat yang dipilih, di mana orang-orang Parthia … mengambil perbekalan baru, maka Crassus, karena tidak melihat adanya akhir dari hal ini, mulai putus asa, dan mengirim utusan kepada putranya Publius, yang dikirimkan Caesar kepadanya dari Gaul sebagai tanda dukungannya, dengan perintah untuk memaksa pasukannya menyerang musuh… (Plutarch, ibid)” Crassus memerintahkan Publius untuk memimpin 1.000 kavaleri Galia, yang sudah menderita akibat panas musim panas yang ekstrem, 300 kavaleri tambahan, 500 pemanah pejalan kaki, dan delapan cohort legiun untuk melawan serangan Parthia yang intens.

Serangan berani dari putra Crassus, Publius. (Sumber: https://gatesofnineveh.wordpress.com/)
Penunggang kuda Galia dalam dinas tentara Romawi. Crassus memiliki 1.000 di antaranya; dikirim bersama putranya, Publius, oleh Julius Caesar. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)
Para pemanah Parthia terus menembaki formasi Romawi dari jauh dan mencegah terjadinya pertempuran jarak dekat. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)

Menghadapi pasukan Publius, pasukan Parthia sengaja melarikan diri, untuk menarik pasukan Romawi ke dalam perangkap menghadapi kavaleri berat katafrak—kuda dan penunggangnya yang mengenakan baju zirah. Mengikuti para pemanah kuda yang mundur, Publius berada agak jauh dari kotak pertahanan utama Romawi ketika penunggang kuda Parthia berhenti dan berbalik. Pasukan Romawi segera berhenti, sehingga menjadi sasaran empuk bagi para pemanah Parthia. Plutarch mengatakan bahwa Publius benar-benar percaya bahwa dia menang dalam mengejar orang-orang Parthia sampai dia menyadari bahwa dia telah ditipu: “pertempuran (itu) tidak seimbang baik secara ofensif maupun defensif, karena serangannya (Publius) dilakukan dengan kekuatan kecil dan tombak Romawi tidak berdaya menghadapi pelindung dada dari kulit mentah dan baja…” (Plutarch, bab 25) Tentang kematian Publius, Cassius Dio menulis: “Ketika hal ini terjadi, pasukan infanteri Romawi tidak mundur, namun dengan gagah berani bergabung dalam pertempuran melawan tentara Parthia untuk membalas kematiannya. Namun mereka tidak mencapai apa pun yang layak bagi diri mereka sendiri karena jumlah dan taktik musuh… (441) Dari 5.500 orang Romawi, 500 orang ditangkap sementara sisanya penuh ditembusi dengan anak panah. Publius, karena tidak ingin ditangkap, memilih bunuh diri. Kepala Publius kemudian dibawa dengan tombak dalam serangan katafrak berikutnya yang dilakukan di kotak pertahanan Romawi. Kepala Publius yang terpenggal kemudian dilemparkan ke kotak pertahanan tentara Romawi. Plutarch menulis tentang dampak hal ini terhadap orang-orang Romawi: “Pemandangan ini menghancurkan dan melemahkan semangat orang-orang Romawi lebih dari pengalaman mengerikan lainnya, dan mereka semua dipenuhi, bukan dengan hasrat untuk membalas dendam, seperti yang diharapkan, namun dengan gemetar dan ketakutan. (bab 26)” 

Pertempuran Carrhae pada sore hari. Pasukan Crassus sudah terkepung. (Sumber: https://gatesofnineveh.wordpress.com/)
Katafrak Parthia menyerang. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)
Pada akhirnya pasukan Romawi sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk menang. (Sumber: https://deadliestblogpage.wordpress.com/)

Orang-orang Parthia ‘dengan nada mencemooh’ bertanya tentang asal-usul keluarga Publius, menambahkan bahwa Crassus yang pengecut tidak mungkin menjadi ayah dari seorang putra yang begitu mulia dan gagah berani. Namun, meski meremehkan mereka, mereka memberikan Crassus malam yang damai untuk berduka atas putranya. Karena tidak mempunyai perlengkapan yang memadai untuk pertahanan malam hari dan takut akan serangan Romawi, pasukan Parthia memilih untuk tidak melanjutkan serangan mereka, malahan mereka berkemah jauh dari pasukan Romawi. Plutarch menulis bahwa itu adalah malam yang meresahkan bagi orang-orang Romawi, karena mereka tidak dapat menguburkan orang-orang yang mati atau merawat yang terluka. Meskipun demikian, malam itu 300 orang Romawi di bawah seorang komandan bernama Ignatius melarikan diri ke Carrhae, memberi tahu warga kota tentang pertempuran tersebut, dan kemudian melanjutkan perjalanan. Plutarch menulis: “Ignatius memuji para penjaga di tembok dalam bahasa Romawi, dan ketika mereka menjawab, memerintahkan mereka untuk memberi tahu Coponius, komandan mereka, bahwa telah terjadi pertempuran besar antara Crassus dan Parthia. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, dan bahkan tanpa memberitahu siapa dia, dia pergi menuju Zeugma. Dia menyelamatkan dirinya dan anak buahnya, tapi mendapat reputasi buruk karena meninggalkan jenderalnya. (bab 27)”

MUNDUR KE CARRHAE

Crassus yang putus asa menyadari bahwa tinggal di tempatnya berada sudah tidak ada harapan dan dia harus melarikan diri. Meninggalkan yang terluka, sisa tentara Romawi menuju Carrhae yang aman, meskipun empat Cohort tersesat di malam hari. Crassus mengerti bahwa dia tidak akan bisa tinggal lama di dalam kota dan sudah berencana untuk melanjutkan perjalanan. Keesokan paginya pasukan Parthia tiba di kamp Romawi, membantai 4.000 tentara yang terluka dan ditinggalkan, menemukan dan memusnahkan empat Cohort yang hilang, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Carrhae. Hanya 20 orang Romawi dari empat Cohort itu yang selamat. Di tembok kota, orang-orang Parthia menuntut agar Crassus dan wakilnya Cassius diserahkan dengan rantai. Menurut Plutarch, Surena tidak ingin kehilangan ‘buah kemenangannya’, jadi dia mengirim seorang utusan yang berbicara ‘bahasa Romawi’ untuk meminta Crassus atau Cassius bertemu dan mengadakan konferensi. Dengan perbekalan yang terbatas di dalam kota dan pasukannya yang sudah putus asa, Crassus, yang tidak ingin bertemu dengan Surena, merasa perlu untuk segera meninggalkan kota. Pada akhirnya, upaya melarikan diri tersebut akan membawa malapetaka. Malam itu Crassus dan pasukannya gagal melarikan diri ke Armenia hanya untuk kembali ke Carrhae di mana mereka tersesat di rawa-rawa. Cassius Dio menulis: “Karena Crassus, dalam keputusasaannya, percaya bahwa dia tidak dapat bertahan dengan aman bahkan di dalam kota lebih lama lagi, ia segera merencanakan pelariannya. Dan karena mustahil baginya untuk keluar pada siang hari tanpa terdeteksi, ia berusaha melarikan diri pada malam hari, namun gagal menjaga kerahasiaannya, karena dikhianati oleh bulan yang sedang purnama.” Menunggu malam tanpa bulan, mereka kembali pergi dalam kegelapan namun menjadi bingung di medan yang asing dan tersesat. Sayangnya, Crassus telah mempercayai orang yang salah untuk memimpin dia dan anak buahnya ke tempat aman. Pengkhianat itu adalah Andromachus. “Namun karena bukanlah kebiasaan mereka, dan juga tidak mudah, bagi orang-orang Parthia untuk berperang pada malam hari, dan karena Crassus berangkat pada malam hari, Andromachus, dengan memimpin para buronan melalui satu rute dan kadang-kadang melalui rute yang lain, membuat rencana agar para pengejarnya tidak tertinggal jauh, dan akhirnya dia mengalihkan perjalanannya ke rawa-rawa yang dalam dan daerah yang penuh dengan selokan, sehingga menyulitkan dan memutarbalikkan orang-orang yang masih mengikutinya. (Plutarch, bab 29)” Orang-orang Romawi berlindung di sebuah bukit besar.

Crassus, yang mencoba untuk bermain-main dengan komandan Parthia Surena, terbunuh ketika pertempuran tiba-tiba berlanjut. Dia ditampilkan tewas dari kudanya (kanan bawah) saat orang-orang Parthia menyerang posisi Romawi. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
Cerita lain menyatakan bahwa orang-orang Parthia menuangkan emas cair ke dalam mulutnya ‘untuk mengejek’ kekayaannya yang melimpah. (Sumber: https://www.thoughtco.com/)

Sementara itu, komandan Romawi Octavius melarikan diri bersama 5.000 orang ke Sinnaca, dan kemudian kembali untuk membantu mengusir orang-orang Parthia hanya untuk menemui ajalnya sendiri di tangan seorang tentara Parthia. Akhirnya, persyaratan kembali ditawarkan. Crassus enggan tetapi orang-orangnya mendesaknya “… melecehkan dan mencaci-maki dia karena mengajukan mereka untuk melawan orang-orang yang dia sendiri tidak berani berunding bahkan ketika mereka datang tidak bersenjata” (Plutarch, bab 30). Hasil pertemuan dan kematian dari Crassus dan Octavius sesudahnya hanya berasal dari dugaan dan mitos. Konon, Surena meminta syarat yang menyerukan agar orang-orang Romawi meninggalkan seluruh wilayah di sebelah timur Sungai Efrat. Crassus, menurut Cassius Dio, sangat ketakutan. Pertemuan itu tidak berjalan sesuai rencana, karena Crassus akan menemui ajalnya. Plutarch berkomentar, “… orang-orang Partia datang dan mengatakan bahwa Crassus, dia telah menemui akhir hidupnya, tetapi Surena memerintahkan orang-orang Romawi lainnya untuk turun tanpa rasa takut” (bab 31). Beberapa menuruti sementara yang lain mencoba melarikan diri hanya untuk ditangkap dan ‘dipotong-potong’. Cassius Dio menulis bahwa Crassus dibunuh “…baik oleh salah satu anak buahnya sendiri untuk mencegah penangkapannya hidup-hidup atau oleh musuh karena dia terluka parah” (445). Ada yang mengatakan Crassus tewas dalam perkelahian, kemungkinan dibunuh oleh Pomaxathres. Cerita lain menyatakan bahwa orang-orang Parthia menuangkan emas cair ke dalam mulutnya ‘untuk mengejek’ kekayaannya yang melimpah. Kepala Crassus lalu dikirim ke raja Parthia dan digunakan sebagai penyangga dalam pertunjukan drama Euripides The Bacchae – kepala Crassus menjadi kepala Pentheus yang bernasib tragis, yang telah dipenggal oleh ibunya. Yang lain mengatakan bahwa jenazah sang jenderal tetap tidak dikuburkan, dibuang di antara tumpukan mayat yang tidak dapat dibedakan untuk dicabik-cabik oleh burung dan binatang. Menurut sejarawan kuno Plutarch, korban Romawi dalam pertempuran Carrhae berjumlah sekitar 20.000 orang terbunuh dan 10.000 orang ditangkap, yang menjadikan pertempuran tersebut sebagai salah satu kekalahan paling mahal dalam sejarah Romawi. Sementara itu korban di pihak Parthia sangat sedikit.

SETELAH PERTEMPURAN & DAMPAKNYA

Roma dipermalukan oleh kekalahan ini, dan diperparah lagi dengan fakta bahwa Parthia telah menangkap beberapa lambang Elang Legiun. Plutarch juga menyebutkan bahwa orang-orang Parthia menemukan tawanan perang Romawi yang paling mirip dengan Crassus, mendandaninya seperti seorang wanita, dan mengaraknya melintasi Parthia agar dapat dilihat semua orang. Ini adalah serangan langsung terhadap budaya militer Romawi, karena Parthia memerintahkan tahanan Romawi lainnya untuk memuji Crassus palsu ini sebagai Imperator saat berparade, sebuah ejekan langsung terhadap kemenangan Romawi. Orodes II, bersama sisa Tentara Parthia, kemudian mengalahkan orang-orang Armenia dan merebut negara mereka. Namun, kemenangan Surena menimbulkan kecemburuan raja Parthia, yang memerintahkan eksekusi Surena. Setelah kematian Surena, Orodes II mengirim putranya Pacorus dalam kampanye militer yang gagal ke Suriah Romawi. Pertempuran Carrhae adalah salah satu pertempuran besar pertama antara Romawi dan Parthia. Kemenangan itulah yang menyebabkan Parthia beberapa kali menginvasi Suriah dan Armenia, dengan keberhasilan yang berbeda-beda. Roma juga menyadari bahwa para legiunnya tidak dapat secara efektif berperang melawan kavaleri Parthia tanpa dukungan di medan terbuka. Beberapa pasukan infanteri dari pasukan Crassus berhasil selamat untuk mencapai tempat aman di tepi barat Sungai Efrat dengan melakukan jalan paksa di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Banyak pasukan kavaleri Romawi yang tersisa juga melarikan diri. Mereka dipimpin oleh seorang perwira bernama Gaius Cassius Longinus.

Koin Romawi era Kaisar Augustus (19 SM) menunjukkan seorang prajurit Parthia mengembalikan panji-panji yang direbut di Carrhae. Augustus memuji kembalinya standar tersebut sebagai kemenangan politik atas Parthia. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Longinus, seorang quaestor di bawah pimpinan Crassus, memimpin sekitar 10.000 tentara yang masih hidup dari medan perang kembali ke Suriah. Ia terus memerintah provinsi tersebut sebagai proquaestor selama dua tahun berikutnya, dan berhasil mempertahankan provinsi tersebut dari serangan lebih lanjut oleh putra Orodes, Pacorus. Cassius berhasil melawan pengepungan Parthia di ibu kotanya, Antiokhia, dan ketika pasukan Pacorus mundur ke rumahnya, dia menyergap mereka di Antigonea, yang menyebabkan kematian orang kedua di komando Parthia, Osaces. Ia mendapat pujian dari Cicero atas kemenangannya. Cassius kemudian memainkan peran penting dalam konspirasi pembunuhan Julius Caesar pada tahun 44 SM. Sementara itu, 10.000 tawanan perang Romawi tampaknya telah dideportasi ke Alexandria Margiana (Merv) dekat perbatasan timur laut Kekaisaran Parthia pada tahun 53 SM, di mana mereka dilaporkan menikah dengan penduduk setempat. Pada tahun 1940-an, Homer H. Dubs, seorang profesor sejarah Tiongkok Amerika di Universitas Oxford, berhipotesis bahwa masyarakat Liqian di China adalah keturunan dari para tahanan ini. Para tahanan, menurut Dubs, dimukimkan kembali oleh orang-orang Parthia di perbatasan timur negara mereka dan mungkin bertempur sebagai tentara bayaran pada Pertempuran Zhizhi antara China dan Xiongnu pada tahun 36 SM. Penulis sejarah China menyebutkan penggunaan “formasi tulang ikan” tentara serta struktur palisade kayu ganda, yang diyakini Dubs mengacu pada formasi testudo dan taktik pertahanan yang unik di zaman Romawi. Sampai saat ini, tidak ada artefak yang dapat mengkonfirmasi keberadaan orang-orang Romawi, seperti koin atau persenjataan, yang ditemukan di Zhelaizhai, dan teori Dubs belum diterima oleh sebagian besar sejarawan. Rob Gifford, mengomentari teori tersebut, menggambarkannya sebagai salah satu dari banyak “mitos pedesaan”. Alfred Duggan menggunakan kemungkinan nasib para tahanan Romawi sebagai inti dari novelnya Winter Quarters, yang menyatakan bahwa mereka dipekerjakan sebagai penjaga perbatasan di perbatasan timur Kekaisaran Parthia.

CITRA CRASSUS

Di Carrhae keserakahan dan ambisi Crassus membutakannya terhadap realitas perang di wilayah timur. Sebelumnya, Crassus telah sukses sebagai komandan militer, namun Carrhae menunjukkan kegagalan kemampuannya yang biasanya mampu melaksanakan rencana secara rasional. Ada dugaan bahwa dia mungkin menderita PTSD (Gangguan Stres Pasca Trauma). Tentu saja, ia tampaknya memperlihatkan kemarahan, kurang konsentrasi, rasa terasing, dan depresi, terutama setelah kematian putranya ketika ia menolak meninggalkan tendanya. Dengan kematian Crassus, Triumvirat pertama hancur. Crassus telah menjadi perekatnya, dan tak lama kemudian Caesar dan Pompey berselisih – yang akhirnya berakhir dengan kematian Pompey. Seharusnya, sebagai seorang yang memproklamirkan diri sebagai diktator seumur hidup, Julius Caesar berharap untuk bisa memimpin pasukannya ke arah timur untuk membalas kematian Crassus dan mendapatkan kembali lambang elang yang hilang dari legiun-legiun Romawi yang gugur, namun kematiannya di Ides pada bulan Maret 44 SM, membuat impiannya menjadi hal yang tidak mungkin, yang menandai akhir dari pembalasan yang direncanakan tersebut. Meskipun Romawi kadang-kadang melakukan penetrasi ke wilayah Parthia – lewat Kaisar Trajan dan Septimius Severus – perang dengan Parthia tidak pernah terwujud. Parthia terbukti jauh lebih defensif dibandingkan agresif. Daerah itu akan selalu menjadi duri bagi kekaisaran Romawi.

Kekaisaran Romawi pada tahun 117 M pada masa kejayaannya, pada saat kematian Trajan. Meski mengalami kerugian besar di Carrhae, Romawi mampu bertahan, terus menaklukkan, dan muncul sebagai sebuah kekaisaran terkuat.(Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Namun, meski mengalami kerugian besar di Carrhae, Romawi mampu bertahan, terus menaklukkan, dan muncul sebagai sebuah kekaisaran terkuat. Pertempuran Carrhae, bersama dengan pertempuran di Cannae (216 SM) dan Adrianople (378 M), tetap menjadi salah satu bencana militer terburuk dalam sejarah Romawi. Pertempuran ini adalah kekalahan telak bagi orang-orang Romawi. Tujuh lambang elang Romawi juga jatuh ke tangan orang-orang Parthia (nantinya akan dikembalikan), sebuah penghinaan besar bagi Romawi, menjadikannya kekalahan ini setara dengan kekalahan di Teutoberg dan Allia. Bagi Crassus, namanya akan tetap tercela selama sejarawan Romawi atau Bizantium menulis tentang sejarah negara mereka. Seperti yang dikatakan Plutarch: “sebelum dia melakukan ekspedisi ke Parthia, (Crassus) mendapati harta miliknya berjumlah tujuh ribu seratus talenta; sebagian besar, jika kita boleh membuat dia tersinggung dengan kebenaran, dia mendapatkannya dengan api dan perampasan, lewat bencana yang dialami orang banyak.” Dia meninggal dalam mengejar kekayaan di Asia.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Marcus Crassus, Alexander and the Battle of Carrhae By Glenn Barnett

Marcus Crassus, Alexander and the Battle of Carrhae

Battle of Carrhae, 53 BCE by Donald L. Wasson published on 02 July 2019

https://www.worldhistory.org/article/1406/battle-of-carrhae-53-bce/

How Did Crassus Die? A Roman Object Lesson in Greed and Stupidity By N.S. Gill

Updated on May 30, 2019

https://www.thoughtco.com/how-did-crassus-die-120886

BATTLE OF CARRHAE (June 53 BCE) Author: Johnny Shumate

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Carrhae

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *