Perang Dunia II

Kiprah Divisi Lapis Baja Ke-6 Afrika Selatan Di Front Italia Dalam Perang Dunia II (1943-1945)

Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 adalah divisi lapis baja dari Tentara Afrika Selatan yang dibentuk selama Perang Dunia II. Didirikan pada awal tahun 1943, divisi ini didasarkan pada pasukan inti dari bekas Divisi Infanteri Afrika Selatan ke-1 yang telah kembali ke Afrika Selatan setelah Pertempuran El Alamein Kedua pada akhir tahun 1942. Divisi tersebut awalnya dipindahkan ke Mesir untuk mengikuti pelatihan, dan setelah itu itu bertugas dalam kampanye Sekutu di Italia selama 2 tahun terakhir perang, pada tahun 1944 dan 1945. Di Italia, divisi ini awalnya dikerahkan sebagai bagian dari Angkatan Darat Kedelapan Inggris, di bawah komando Letnan Jenderal Oliver Leese, dan kemudian dipindahkan ke Angkatan Darat Kelima AS, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Mark W. Clark, selama sisa Kampanye militer sekutu di sana. Divisi ini beroperasi sebagai divisi yang diperkuat dan sering digunakan untuk mempelopori gerak maju Korps dan unit Angkatan Darat dimana mereka ditempatkan. Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 kembali ke Afrika Selatan setelah perang berakhir di Italia dan dibubarkan pada tahun 1946. Berikut adalah kisah unit yang kurang dikenal dalam Perang Dunia II ini.

Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 menembus medan buruk di dekat Bologna, Italia pada bulan April 1945. Seperti juga unit-unit dari negara pendukung sekutu lainnya, kiprah prajurit Australia dalam Perang Dunia II tertutupi oleh aksi prajurit dari negara-negara utama. (Sumber: http://www.iwm.org.uk/)

LATAR BELAKANG UNIT AFRIKA SELATAN DI PIHAK SEKUTU

Kontribusi Angkatan Bersenjata Uni Afrika Selatan dalam memenangkan Perang Dunia II tidak banyak diketahui di luar Afrika Selatan sendiri. Namun negara tersebut diketahui telah mengirimkan pasukan dalam jumlah yang signifikan untuk berperang melawan kekuatan Poros, baik di udara maupun di darat, di mana kontribusi mereka sebagian besar tertutupi oleh kontribusi sekutu dan pemimpin mereka. Secara keseluruhan selama perang, 334.000 prajurit Afrika Selatan mengabdi pada pasukan sekutu (termasuk 211.000 orang kulit putih, 77.000 oranf kulit hitam dan 46.000 orang kulit berwarna dan Asia). Dalam kampanye militer di Italia, catatan pertempuran Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 sebagian besar tetap tidak banyak diketahui, bersama dengan catatan satuan seperti Pasukan Ekspedisi Brasil ke-1, Divisi Infanteri AS ke-92 yang personilnya semua berkulit hitam, dan berbagai kelompok tempur Italia yang bertempur di pihak Sekutu. Hanya pada tahun-tahun terakhir perang di Italia, divisi Afrika Selatan muncul dalam catatan sejarah pertempuran sebagai satuan yang layak diakui atas partisipasinya yang efektif dan signifikan pada masa perang. Awalnya, Uni Afrika Selatan bukanlah peserta yang antusias terlibat dalam konflik tersebut. Penindasan Inggris terhadap dua bekas negara bagiannya yang turut membentuk uni itu — Republik Afrika Selatan dan Orange Free State — pada tahun 1902 masih menimbulkan gejolak di antara banyak warganya. Para burgher Afrika Selatan, demikian sebutan mereka, telah melawan Inggris dengan keras sampai terhenti, hanya karena benar-benar kelaparan hingga terpaksa menyerah dalam perang di antara abad ke-19 dan 20 itu. Di antara mereka yang paling antusias dalam mendukung perjuangan Sekutu dalam perang adalah mantan jenderal dan perdana menteri Afrika Selatan, yang kemudian menjadi Field Marshall, Jan Christian Smuts. Pengaruhnya pada awalnya membuahkan hasil dalam pembentukan Union Brigade — terdiri dari sekitar 10.000 orang yang diambil dari unit cadangan Angkatan Darat Afrika Selatan. Brigade, yang awalnya dikerahkan ke Kenya ini, membutuhkan waktu untuk berlatih hingga mencapai standar efektivitas tempur yang diharapkan. Mereka kemudian pindah ke pulau Madagaskar, sebuah koloni Prancis yang dikuasai pada tahun 1940 oleh pemerintah Vichy-Prancis. Selain unit pasukan darat, Afrika Selatan juga mengirim pilot yang bertempur dengan gagah berani bersama Angkatan Udara Kerajaan Inggris dalam kampanye udara Battle Of Britain melawan Jerman. Kapal-kapal Afrika Selatan juga berlayar dengan rekan Sekutu mereka. 

Serbuan kavaleri Bangsa Boer atas posisi pasukan Inggris. Kurang dari 50 tahun sebelum Perang Dunia II, orang-orang kulit putih Afrika Selatan pernah terlibat perang sengit melawan Kerajaan Inggris, oleh karenanya keterlibatan pasukan Afrika Selatan membantu Inggris dalam Perang Dunia II memantik kontroversi di dalam negeri Afrika Selatan sendiri. (Sumber: https://ar.pinterest.com/)
Pasukan Afrika Selatan dengan meriam 25 pounder di medan tempur Afrika Utara saat Perang Dunia II. (Sumber: https://www.news24.com/)
Perdana Menteri Afrika Selatan, Jan Smuts (kiri) dan Mayor Jenderal George Brinks (tengah), komandan Divisi Afrika Selatan ke-1 saat menginspeksi pasukannya di Afrika Utara. Jan Smuts dikenal sebagai salah satu pendukung utama pasukan Afrika Selatan untuk bertempur di pihak sekutu. (Sumber: https://www.news24.com/)

Di sisi lain dengan kekurangan divisi-divisi tentara di medan Afrika pada tahun 1940, Inggris lalu mencari kontribusi tambahan dari negara-negara Dominion mereka. Tanggapan Afrika Selatan adalah dengan membentuk dan melatih dua divisi infanteri yang nantinya akan bertempur melawan Jerman dan Italia di Afrika Utara. Pada saat itu juga terdapat faksi-faksi anti-perang yang signifikan di Afrika Selatan yang berpengaruh dengan kebijakan perekrutan dan yang membatasi pengiriman divisi-divisinya dalam membantu pihak sekutu. Dinas militer di angkatan bersenjata Uni Afrika Selatan bersifat sukarela. Saat itu pandangan soal kesetaraan ras amat membatasi potensi jumlah sukarelawan yang bisa dikerahkan, dimana lowongan untuk pasukan tempur hanya diperuntukkan bagi orang-orang kulit putih, dan orang-orang dari kelompok ras lain hanya dapat bertugas dalam peran pendukung non-tempur, dengan personel dari kulit berwarna dan orang-orang keturunan India sebagai pengemudi dan buruh dari Korps Militer Utamanya. Pembatasan ini juga diberlakukan pada pangkat serta masalah gaji bagi orang-orang non kulit putih. Selain untuk tugas-tugas penjagaan dan pertahanan diri, senjata api tidak diberikan kepada para prajurit non kulit putih, karena khawatir akan digunakan untuk membunuh orang-orang Eropa. Kebijakan ini jelas amat mengurangi jumlah laki-laki yang berusia antara dua puluh dan empat puluh tahun yang tersedia untuk angkatan bersenjata. Bagian terbaik dari Divisi Infanteri Afrika Selatan ke-2 terpaksa menyerah pada tahun 1942 ketika Jenderal Jerman, Erwin Rommel menyerang dan merebut kota Tobruk di pesisir Libya. Sementara Divisi Infanteri Afrika Selatan ke-1 kemudian akan menyerang bersama dengan formasi Sekutu lainnya di Pertempuran El Alamein Kedua pada bulan November 1942. Sementara itu, gagasan tentang pembentukan Divisi Lapis Baja Afrika Selatan lahir dari kekacauan yang terjadi dalam Kampanye militer di wilayah Gurun Barat Afrika Utara. Saat itu, para perwira di Divisi Infanteri Afrika Selatan ke-1 dan ke-2 merasa perlu adanya unit lapis baja mereka sendiri, alih-alih bergantung pada Unit Lapis Baja dari tentara negara Persemakmuran lainnya. Setelah terobosan di El Alamein dan kekalahan tentara Jerman dan Italia oleh Tentara Kedelapan Inggris, kontingen darat Afrika Selatan ditarik untuk diubah menjadi apa yang akan menjadi Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6. Pada bulan April 1943, divisi yang baru lahir itu mulai mendarat di pelabuhan Taranto Italia, dimana mereka dilengkapi dengan senjata buatan Amerika, terutama tank M4 Sherman, dan berbagai perlengkapannya. Kecuali unit artilerinya, divisi itu tidak melihat pertempuran nyata sampai setelah kota Roma direbut oleh tentara Amerika pada tanggal 4 Juni 1944. Divisi tersebut telah ditempatkan sebagai formasi cadangan di bawah kendali Angkatan Darat Kedelapan Inggris dan kemudian di bawah Angkatan Darat Kelima AS hingga akhir perang. Divisi ini kemudian mendapat pujian selama gerak maju ke utara dari kota Roma pada akhir musim panas 1944 sampai menerobos pertahanan Jerman di Italia utara pada bulan Mei 1945. 

PERTANYAAN TENTANG KEBUTUHAN UNIT LAPIS BAJA AFRIKA SELATAN

Sementara itu pada tanggal 18 Juli 1942, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill mengirim catatan kepada Mayor Jenderal (saat itu) Hastings L. Ismay, yang sedang mempertimbangkan untuk mengubah dua divisi infanteri Afrika Selatan menjadi divisi lapis baja; 300 tank Sherman baru saat itu telah tersedia untuk melengkapi pasukan lapis baja baru, seperti unit Afrika Selatan. Sebelum dia setuju untuk mengalokasikan apa yang dia sebut sebagai “rejeki nomplok”, bagaimanapun, Churchill ingin tahu tentang “ukuran apa” atau bagaimana divisi ini akan dibuat. Dia bertanya apakah divisi tersebut akan dibangun dari satu brigade lapis baja dan satu brigade infanteri bermotor. “Ukuran baru” ini hanya akan membutuhkan 200 tank dibandingkan dengan “ukuran 350 tank pada satuan lama”. Komunikasi dengan Churchill ini patut diperhatikan karena beberapa alasan. Pertama, adalah masalah waktunya. Pertanyaan itu muncul ketika pasukan Jenderal Sir Claude Auchinleck telah didesak kembali ke Mesir dengan pasukan Dominionnya di kawasan El Alamein, dan dia bersiap untuk melancarkan serangan balik terhadap Rommel. Tidak mau diburu-buru untuk melakukan penyerangan tanpa persiapan tambahan, Auchinleck lalu dibebastugaskan pada tanggal 13 Agustus 1942, oleh Jenderal Harold R.L.G. Alexander dengan Letnan Jenderal Bernard L. Montgomery ditunjuk sebagai komandan Angkatan Darat Kedelapan yang baru. 

Perdana Menteri Inggris, Winston Churchill, yang memiliki ketertarikan besar dalam masalah militer sekutu saat Perang Dunia II. Churchill turut mendukung pembentukan unit lapis baja Afrika Selatan. (Sumber: https://theconversation.com/)

Konversi unit baru ini, meskipun telah disepakati, tidak dapat tersedia tepat waktu untuk dilibatkan dalam serangan Montgomery di bulan Oktober, yang berakhir dengan didesaknya kembali pasukan Poros ke Tunisia. Kondisi tetap seperti itu sampai tanggal 21 Desember 1942, ketika divisi infanteri Afrika Selatan ditarik dari Angkatan Darat Kedelapan sebelum konversi dapat dimulai, dan kemudian, alih-alih dibentuk dua divisi lapis baja, kemudian hanya satu — yakni Divisi ke-6 — yang diorganisir, diperlengkapi, dan dilatih dengan menggunakan sebagian besar perlengkapan dari Amerika. Hal kedua, Churchill menaruh perhatian dalam hal organisasi dan dengan demikian jumlah tank di sebuah divisi mencerminkan komposisi keseimbangan antara jumlah tank di divisi lapis baja dan jumlah unit infanterinya. Amerika yang telah menentukan bahwa divisi lapis baja “berat” mereka — terdiri dari dua resimen tank yang masing-masing terdiri dari tiga batalyon dan satu resimen infanteri mekanis (lapis baja), yang terdiri dari tiga batalyon — harus turut dipertimbangkan ulang, karena divisi tersebut hanya memiliki tiga batalyon tank dan tiga batalyon pasukan infanteri lapis baja. Pada bulan September 1942, Inggris memiliki dua jenis divisi lapis baja, yang satu ditempatkan di Inggris dan dikenal sebagai divisi Pasukan Dalam Negeri, dan jenis lainnya adalah divisi yang bertempur di Afrika Utara. Divisi Home Forces (Pasukan Dalam Negeri) hanya memiliki 201 tank sedangkan divisi di Afrika Utara mungkin memiliki sebanyak 350 kendaraan tempur lapis baja setiap divisinya. Akhirnya organisasi divisi yang lebih kecil lah yang dipilih, begitulah Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 diorganisir. 

Mengalirnya suplai tank M-4 Sherman buatan Amerika ke Angkatan darat Inggris di Afrika Utara, memampukan pihak Inggris untuk membentuk satuan lapis baja baru dari negara-negara persemakmurannya. Dari sinilah ide pembentukan Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 muncul. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Sementara itu, alasan untuk mengkonfigurasi ulang divisi Afrika Selatan dari divisi infanteri menjadi divisi lapis baja segera menjadi pertanyaan. Di lingkungan gurun, formasi lapis baja dengan mobilitas tinggi lebih disukai dalam organisasi tempur. Setelah manuver penetrasi atau pengepungan besar dicapai, adalah penting untuk memasukkan unit yang bisa bergerak cepat menembus garis pertahanan musuh untuk mengeksploitasi kesuksesan yang ada. Misi utama divisi lapis baja adalah bergerak maju ke depan, lebih disukai ke area belakang musuh dalam mode pengejaran. Jika dua divisi lapis baja Afrika Selatan yang diusulkan akan digunakan hanya di wilayah Afrika Utara, reorganisasi semacam itu adalah solusi yang masuk akal. Tetapi pada bulan Desember 1942, hampir sebulan setelah Montgomery melancarkan serangannya terhadap Rommel, orang-orang Afrika Selatan dibebastugaskan dari formasi Tentara Kedelapan Inggris untuk diorganisir menjadi formasi lapis baja. Apakah niat untuk melatih kembali dan mengatur ulang divisi atau divisi ini adalah hal yang bijaksana, sehingga pasukan ini pada waktunya bisa turut berpartisipasi di kemudian hari dalam serangan yang dilakukan Montgomery? Pertanyaan tersebut tampaknya tidak terjawab, karena untuk mengatur ulang dan melatih kembali formasi tempur besar akan memakan waktu berbulan-bulan untuk menjadikannya unit tempur yang efektif. Divisi infanteri Afrika Selatan, pada saat mereka dilepaskan dari Angkatan Darat Kedelapan, telah menderita korban yang cukup besar sehingga hanya ada satu divisi lapis baja yang dapat dibentuk. Inti divisi ini terdiri dari veteran divisi infantri, dan kadernya ditambah dengan relawan lainnya. Semua harus dilatih ulang untuk bisa mengeksekusi taktik bergerak yang dibutuhkan dari formasi lapis baja berskala besar. Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 secara resmi dibentuk di Afrika Selatan pada tanggal 1 Februari 1943 dengan Mayor Jenderal William Henry Evered Poole sebagai Komandannya. Mereka kemudian berlayar ke Port Tewfik di Suez pada tanggal 30 April 1943 sebagai divisi Yang terdiri Darat dua brigade (Brigade Lapis Baja ke-11 dan Brigade bermotor ke-12 dengan elemen pendukungnya).

Mayor Jenderal William Henry Evered Poole, komandan Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 dari tanggal 1 Februari 1943 sampai Perang Dunia II berakhir. (Sumber: https://www.npg.org.uk/)

PELATIHAN DAN FORMASI

Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 memulai pelatihan mereka di padang pasir di Khataba, barat Laut Kairo dan difokuskan pada operasi tank dan mengintegrasikan elemen unit Rhodesia ke dalam Divisi. Selain itu, kurangnya tenaga kerja telah memaksa penggabungan sejumlah unit. Periode pelatihan akhirnya diakhiri dengan serangkaian latihan, dimana “Latihan Cape Town” menjadi yang pertama dan berlangsung dari tanggal 1 – 3 Desember 1943 untuk Brigade Lapis Baja Afrika Selatan ke-11, sementara “Latihan Durban”, yang berlangsung dari tanggal 5 – 7 Desember 1943 untuk Brigade bermotor Afrika Selatan ke-12. Pelatihan divisi ini diakhiri dengan “Latihan Tussle” sebagai bagian dari operasi Korps ke-III Inggris yang berakhir pada tanggal 21 Januari 1944 dan pada tanggal 23 Januari 1944 divisi ini dipindahkan ke Helwan. Saat itu, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 telah berada di Mesir selama berbulan-bulan karena keragu-raguan terkait perannya. Tetapi pada tanggal 3 Maret 1944, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 diperintahkan untuk pindah ke wilayah Palestina dan kelompok-kelompok terdepannya berangkat pada tanggal 7 Maret 1944. Namun, pada tanggal 12 Maret 1944 perintah pemindahan ini dibatalkan dan Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 diperintahkan untuk bergerak ke Italia. Satu tahun setelah tiba di Timur Tengah, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 berangkat dari Alexandria antara tanggal 14 dan 16 April 1944 untuk tiba di Taranto, Italia pada tanggal 20 dan 21 April 1944 dan terkonsentrasi di daerah Altamura-Matera-Gravina.

Divisi Lapis Baja ke-6 SA dalam pelatihan di Timur Tengah, 2 September 1943. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Simbol Divisi Lapis Baja ke-6 Afrika Selatan. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Formasi tempur baru dari Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 mencerminkan kerugian pertempuran yang telah dialami unit itu sebelumnya sebagai divisi infanteri. Beberapa batalyon infanteri dan resimen tank yang telah dibentuk ulang (dalam beberapa kasus lebih tepat disebut sebagai batalyon) merupakan organisasi gabungan dan memiliki nama resimen ganda. Batalyon infanteri bermotor di Brigade Lapis Baja ke-11, misalnya, dikenal sebagai First City/Capetown Highlanders, merupakan hasil penggabungan dua resimen cadangan (batalion). Ketika divisi tersebut mendarat di Italia, divisi itu terdiri dari dua brigade, yakni Brigade Lapis Baja ke-11 dan Brigade Infanteri (Bermotor) ke-12. Divisi ini terus mempertahankan konfigurasi ini sampai setelah direbutnya kota Roma pada bulan Juni 1944, setelah itu bergabung juga dalam formasi, adalag Brigade Infanteri Pengawal ke-24 asal Inggris. Divisi pasukan yang sekarang sudah sangat terorganisir ini kemudian akan bertempur dengan lebih efektif di daerah pegunungan yang dihadapi Sekutu ketika mereka maju ke utara menuju Lembah Sungai Po. Brigade Lapis Baja ke-11 yang melaju ke utara dari Roma terdiri dari resimen pengintaian mekanis divisi, Natal Mounted Rifles dengan 72 tank ringan Stuart dan mobil lapis baja Dingo, ditambah tiga resimen / batalyon tank dan satu batalion infanteri bermotor. Unit-unit tank yang memiliki 55 tank M4 Sherman masing-masing adalah 1st Prince Alfred’s Guards, Batalyon 1st Special Services, dan Resimen Pretoria / Princess Alice’s Own. Batalyon infanteri bermotor dari unit ini adalah First City / Capetown Highlanders yang sudah disebut sebelumnya. Sementara itu, Brigade infanteri bermotor divisi ini terdiri dari empat batalyon infanteri – satu lebih banyak dari organisasi unit infanteri Amerika yang sebanding dalam divisi lapis baja berukuran kecil. Demikian juga unit tank dari batalyon infanteri bermotornya terdiri dari unit-unit gabungan. Mereka adalah Imperial Light Horse / Kimberly Regiment, Witwatersrand Rifles / De La Rey Regiment, 1st Natal Carbineers, dan Durban Light Infantry. Ketika Brigade Pengawal ke-24 bergabung dengan divisi tersebut, mereka membawa serta tiga batalyon infanteri elit milik Kerajaan Inggris. Mereka adalah Batalion Pengawal Skotlandia ke-1, Pengawal Coldstream ke-3, yang bertempur di Afrika Utara, dan Pengawal Grenadier ke-5. Formasi ini memberi divisi lapis baja Afrika Selatan ini tambahan pasukan infanteri untuk memperkuat jenis kekuatan yang dibutuhkan untuk mengalahkan pasukan Jerman yang memiliki pertahanan kuat di Italia utara. Setelah bergabung dengan divisi Afrika Selatan ini, Brigade Pengawal Inggris segera menjadi bagian integral dari divisi lapis baja. 

Tank Sherman “Jannie Smut” dalam pelatihan di Afrika Utara. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Pasukan dari Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 tiba di Taranto, Italia. April 1944. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Organisasi yang telah ditingkatkan dengan bergabungnya Brigade Pengawal membuktikan dirinya saat divisi bergerak ke utara menuju Florence. Daerah pegunungan Apennine menguntungkan tentara Jerman yang melakukan penarikan mundur ke utara, dan tank Sekutu kemudian menjadi senjata pendukung untuk gerak maju pasukan infanteri. Dengan bertambahnya jumlah personel infanteri yang tersedia untuk divisi tersebut, ia kemudian mampu mempertahankan momentum yang membuat tentara Jerman mundur dan meninggalkan garis pertahanannya berturut-turut sampai Garis Gotik, yang melindungi jalan masuk ke Lembah Sungai Po, tercapai dan kebuntuan musim dingin pun dimulai. Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 memasuki Italia sebelum serangan Sekutu 1944 yang dimulai di sekitar Monte Cassino di selatan kota Roma dilakukan. Tidak ada peran dari divisi lapis baja ini dalam mengurangi halangan besar itu ke arah utara menuju kota Roma. Padahal jika digunakan dalam peran yang tepat, divisi tersebut akan bisa mengeksploitasi penetrasi di Garis Hitler dan Caesar yang dipertahankan tentara Jerman dan siap untuk mengambil bagian dalam perebutan kota Roma. Setelah Garis Caesar bisa ditembus dan pengejaran menjadi mungkin dilakukan, pasukan Inggris dan Amerika, bagaimanapun berebut untuk bergerak maju, sehingga divisi Afrika Selatan yang berada di belakang terpaksa memberi jalan kepada unit Sekutu lainnya mendahului gerakan mereka. Demikianlah kemudian divisi tersebut mendekati Roma di belakang pasukan lain yang berlomba untuk menjadi yang pertama merebut Kota Abadi itu. 

PENGALAMAN TEMPUR PERTAMA

Brigade Bermotor ke-12 dengan elemen artileri dan pendukung, mencapai Isernia untuk membantu Brigade Infanteri Kanada ke-11 (daerah Cassino), di bawah komando pasukan Selandia Baru. Mereka menahan posisi mereka sampai ditembusnya garis pertahanan musuh dari tepi pantai Anzio dan kemudian bersatu kembali dengan divisi induknya. Sekarang bagian dari cadangan Angkatan Darat Kedelapan Inggris, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 beroperasi dengan Korps ke-I Kanada. Setelah kota Roma direbut pasukan sekutu (bulan Juni 1944), divisi tersebut diperintahkan untuk bergerak ke Via Casalina, sebagai ujung tombak Korps ke-XIII Inggris. Pada tanggal 10 Juni, mereka melawan Divisi Infanteri ke-365 Jerman di selatan Celleno dan memperoleh kemenangan penting. Dalam pertempuran tersebut, Lt.Col. Papa Brits dan Lt.Col. Bob Reeves-Moore menerima penghargaan DSO. Pada tanggal 12 Juni, Divisi mengambil alih Orvieto, setelah maju sejauh 75 mil (121 km) dalam sepuluh hari, dengan terus-menerus melakukan kontak dengan musuh. Divisi ini menjalani misi tempur penting lainnya dalam perebutan persimpangan jalan kereta api utama di bawah kota Chiusi yang terletak di Jalur Albert dekat lokasi Pertempuran Danau Trasimene—Tempat Hannibal memperoleh kemenangan atas Romawi pada tahun 217 SM. Kota itu sendiri terletak di lereng bukit yang menghadap ke stasiun kereta api di dasar lembah, dan pendudukan atas kota itu akan mampu membuat siapapun mendominasi keberadaan stasiun dan jalur kereta api. Misi divisi tersebut adalah untuk merebut kota dan kompleks jalur rel, yang diduduki oleh pasukan Jerman yang bergerak mundur. Pada tanggal 20 Juni, Field Marshall Albert Kesselring dari Jerman telah memutuskan bahwa kota itu harus dipertahankan dengan segala cara untuk menunda kemajuan pasukan Sekutu. Saat itu orang-orang Afrika Selatan tidak memperkirakan akan menghadapi perlawanan yang kuat, apalagi dari satu batalion Divisi Parasut-Panzer Hermann Göring Luftwaffe, yang bertempur di bawah komando Angkatan Darat Jerman. Bagi orang Afrika Selatan yang tidak berpengalaman, misi tersebut awalnya disalahartikan dan mengakibatkan kebingungan yang signifikan di antara pasukan yang bergerak maju. Setelah disadari bahwa misi tersebut tidak hanya mencakup merebut jalur rel, serangan terhadap kota di perbukitan direncanakan pada tanggal 21 Juni. Saat fajar hari itu serangan pasukan Afrika Selatan terhenti di hadapan tembakan artileri Jerman yang direncanakan dengan baik. Tidak menyadari tekad Jerman untuk tetap menguasai kota dan meremehkan potensi perlawanan, diputuskan bahwa serangan malam akan diluncurkan pada saat kedatangan Batalyon Infanteri First City/Capetown Highlander. 

Field Marshall Albert Kesselring, komandan Tentara Jerman di Front Italia. Kesselring dikenal sebagai komandan Jerman yang ahli dalam perang defensif yang mengulur-ulur waktu. (Sumber: http://thirdreichcolorpictures.blogspot.com/)
Tentara Jerman dari divisi Luftwaffe “Hermann Goering” melewati kendaraan meriam self-propelled “Elephant” yang telah hancur dari batalion ke-653 penghancur tank berat Jerman di kota Nettuno, Italia. Dalam aksi pertamanya di Italia, pasukan asal Afrika Selatan menghadapi perlawanan unit-unit elit Jerman, seperti divisi Hermann Goering ini. (Sumber: https://albumwar2.com/)

Sayangnya, ternyata para Highlanders telah tiba pada siang hari pada tanggal 21 Juni dan melakukan penyerangan tanpa pengintaian atau koordinasi yang tepat. Menjelang tengah malam, Kompi A dari batalion Afrika Selatan sedang dalam perjalanan untuk mencapai tujuannya. Pada pukul 1 pagi tanggal 22 Juni, pasukan itu melakukan kontak pertamanya dengan pasukan musuh, yang ternyata berasal dari salah satu dari tiga kompi Batalyon Sturm dari Resimen ke-3 Divisi Hermann Göring yang didukung oleh tank. Pada pukul 2.30 pagi, Kompi A sudah berada di tengah kota Chiusi, dengan ditempatkan di teaternya, di kilang anggur lokal, dan di beberapa gedung di dekatnya. Di sana pasukan membentuk perimeter pertahanan dan menunggu bala bantuan. Bala bantuan, yang akan datang dari Kompi B dan D, bagaimanapun, telah diblokir oleh tembakan artileri Jerman yang intens dan gagal untuk datang. Sementara itu, temtara Jerman tidak ingin membiarkan orang-orang Afrika Selatan mengkonsolidasikan posisi mereka di kota, pada awal fajar yang dingin dan berkabut mulai menyusup ke sekitar posisi Kompi A. Tank-tank musuh berkeliaran di jalan-jalan kota, dan sekitar pukul 6 sore, sebuah panzer di alun-alun kota mulai menembak langsung ke rumah-rumah dan teater yang ditempati oleh orang-orang Afrika Selatan. Teater itu adalah target musuh khusus dan dihancurkan hingga atapnya runtuh. Tanpa senjata antitank yang efektif, para Highlanders melawan dengan senapan mesin dan senjata ringan, tetapi pada akhirnya tidak berhasil. Menjelang siang, orang Afrika Selatan yang diserang dengan gencar dipaksa untuk menyerah. Kerugian tinggi dialami oleh para Highlanders karena 17 tentaranya tewas dan 27 luka-luka, dengan 75 hilang — sebagian besar ditangkap. Itu adalah kekalahan pahit yang pertama dalam pertempuran untuk pasukan Afrika Selatan. 

BERGERAK KE UTARA MENGEJAR TENTARA JERMAN

Pada tanggal 26 Juni, Royal Natal Carbineers akhirnya berhasil merebut Chiusi dari tentara Divisi Hermann Göring. Pasukan Afrika Selatan yang gigih dengan cepat pulih dari kemunduran mereka, dan mulai bergerak di sepanjang jalur rel utara-selatan, karena Jerman, yang telah mendapatkan cukup banyak waktu dalam mempertahankan Chiusi, juga bergerak cepat untuk memanfaatkan penundaan yang mereka buat. Kemajuan ke arah utara dari kota Roma sekarang menjadi sulit karena medan menjadi semakin kurang menguntungkan untuk penggunaan formasi lapis baja besar. Elemen pengintai bermotor mendahului konvoi kendaraan jika memungkinkan, tetapi karena tentara Jerman ahli dalam penggunaan bahan peledak, ranjau, dan jebakan, kemajuan Sekutu sering kali lambat dan tersendat-sendat. Musuh bertempur melawan serangan balik yang keras kepala dengan maksud mundur ke Garis Gotik utara, di mana ketinggian perbukitan, jaringan jalan yang tidak memadai, dan kurangnya jalur masuk ke Lembah Sungai Po mendukung pertahanan yang berlarut-larut. Sektor di mana orang Afrika Selatan bergerak maju ke Florence kurang memadai sejauh menyangkut jalan. Kecuali beberapa, jalannya sempit dan tidak beraspal. Hal ini menjadikan rel kereta api, sebagai sarana jalan yang penting untuk maju dan itulah mengapa Chiusi menjadi kunci dalam gerak mundur pasukan Jerman. Pertahanan yang alot dan memakan waktu disana telah memungkinkan unit mereka memiliki lebih banyak waktu untuk mundur ke utara.

Field Marshal JC Smuts (Perdana Menteri), Mayor Jenderal Poole (GOC) dan Letnan Jenderal Sir Pierre van Ryneveld (Kepala Staf SA), di Chiusi, Italia, 24 Juni 1944. Kunjungan itu untuk membahas implikasi dari penyerahan diri dari Kompi A, First City / Cape Town Highlanders. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Meski demikian, dominasi kekuatan udara Sekutu yang lebih besar juga membatasi pergerakan Jerman ke utara, sehingga perjalanan musuh pada malam hari menjadi sangat penting. Melintasi medan yang berat, berarti bahwa beberapa jalan bagus dan rel kereta api harus diamankan dengan segala cara — terutama karena pada malam hari mudah tersesat di perbukitan, dan semak lebat membuat perjalanan melewati jalan sempit berbahaya dan memakan waktu. Sementara itu, orang-orang Afrika Selatan, yang banyak di antaranya berasal dari wilayah pedesaan asli mereka yang kasar, dengan cepat memburu mengikuti tentara Jerman yang mundur meskipun musuh telah berusaha membuat berbagai taktik penundaan. Divisi tersebut, dengan brigade Pengawalnya, berhasil membebaskan Chianciano Terme pada tanggal 28 Juni, setelah bergerak di medan yang sulit dengan pasukan infanteri yang didukung oleh beberapa tank. Keesokan harinya Montepulciano dibebaskan dan orang-orang Afrika Selatan, dengan hati-hati berjalan di sepanjang rute barat rel kereta api utara-selatan, mencapai Castelinuovo Berardenga pada tanggal 4 Juli. Di sisi lain, Tentara Jerman dengan terampil melakukan patroli, yang sering mengakibatkan konfrontasi mematikan antara Inggris dan Orang Afrika Selatan yang juga berpatroli, saat mereka bertemu satu sama lain. Di antara para tahanan Jerman, banyak yang merupakan tentara muda yang bermotivasi tinggi asal Kampfschule-Sturm-Batalyon dari Divisi Hermann Göring, yang bertempur dengan penuh kegigihan. 

Tank Sherman Firefly dari Resimen Pretoria di suatu tempat di Italia pada tahun 1944. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada tanggal 14 Juli, dengan pergerakan melewati medan yang kasar dan melawan perlawanan Jerman yang keras, patroli dari Batalyon ke-5 Pengawal Grenadier menyerbu Garis Hilde Jerman, yang ada di antara kota Gaiole di Chianti dan Castelinuovo Berardenga. Tiga hari kemudian, Gaiole dan Radda di Chianti dibebaskan, dengan Royal Natal Carbineers diterima dengan gembira di Radda oleh penduduk kota yang dipimpin oleh pendeta setempat. Sementara itu, Divisi Hermann Göring telah ditarik dari garis depan dan dikirim ke Polandia untuk membantu pertahanan pasukan Jerman yang ada disana melawan pasukan Soviet di Sungai Vistula. Dengan kepergian divisi elit Jerman, Kesselring mengirim elemen dari Divisi Panzergrenadier ke-15 (infanteri lapis baja) dan Divisi Fallschirmjäger ke-1 (infanteri parasut) untuk melawan pasukan Pengawal Inggris dan Afrika Selatan yang bergerak maju. Kedua divisi Jerman ini terdiri dari tentara yang berkualitas di atas rata-rata dan mampu bertempur meskipun pasukan terjun payung secara teknis adalah personel udara karena mereka adalah bagian dari Angkatan Udara Jerman (Luftwaffe) dan bukan pasukan Angkatan Darat Jerman. Prajurit infanteri lapis baja juga dianggap sebagai orang-orang yang relatif berkualitas tinggi, meskipun penggantian unit Angkatan Darat Jerman pada tahun 1944 kebanyakan berasal dari orang-orang yang lebih tua dan mereka yang memiliki kemampuan tempur terbatas. Namun, dimana-mana semua musuh umumnya akan menjadi lawan yang gigih sementara unitnya perlahan-lahan mundur ke utara ke Garis Gotik. 

Tank Sherman Dari Divisi Lapis Baja ke-6 Afrika Selatan di Dataran Tinggi Chianti. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)

Perasaan aneh menghinggapi penduduk lokal Italia yang menyaksikan pasukan Jerman pergi dan tentara Afrika Selatan serta Inggris tiba. Setelah sangat menderita di bawah pendudukan Jerman, sulit bagi mereka untuk percaya bahwa hidup mereka akan berubah lagi. Sampai hari ini, penduduk yang lebih tua di negara itu, tidak kurang dari di provinsi Chianti di Italia tengah utara, masih kerap berbicara tentang pengalaman mereka sendiri atau kerabat mereka selama masa yang tidak bersahabat ini. Jadi pada tanggal 19 Juli, Pasukan Pengawal Skotlandia ke-1 menghadapi penduduk yang ramah menerima saat mereka bergerak maju ke Monte Querciabella, sebelah utara kota Radda. Kenangan kedatangan mereka dengan membunyikan bagpipe yang menggelegar masih segar di kalangan penduduk lokal wilayah itu. Sementara itu, pergerakan pasukan Afrika Selatan ke utara sekarang melewati satu fitur medan yang menonjol ke medan yang lainnya. Kemajuan diukur dalam hal gunung-gunung yang diserang, seperti pada tanggal 20 Juli, ketika Monte San Michele diserang dan Pengawal Skotlandia pertama kembali berhadapan dengan pasukan terjun payung musuh dan pasukan infanteri lapis baja. Pada tanggal 22 Juli, 12th Armored Infantry Brigade’s Witswatersrand/De La Rey Regiment dan Royal Durban Light Infantry dalam gerakan terkoordinasi menyerang dan mengusir musuh dari Monte Fili, yang menghadap ke kota besar Greve di jalan menuju Florence. Satuan Coldstream Guard ke-3, pada saat yang sama, merebut Monte Domini yang juga menghadap ke Greve dalam sebuah aksi yang sesuai dengan “serangan pada buku teks”. Dua hari kemudian, Greve sendiri dibebaskan oleh First City / Capetown Highlanders, yang menggunakan jalan utama menuju utara melalui kota. Tapi kemajuannya masih tetaplah lambat. 

Warga sipil memanjat reruntuhan Ponte Alle Grazia, salah satu jembatan di atas Sungai Arno yang dihancurkan oleh Jerman sebelum mereka pergi dari Florence. Aksi-aksi semacam ini amat menghambat gerak maju pasukan sekutu dalam mendesak pasukan Jerman di Italia. (Sumber: https://samilhistory.com/)
Awak tank Afrika Selatan di Florence, Italia pada tanggal 7 Agustus 1944 berjabat tangan dengan orang Italia yang bersorak menyambut pembebasan mereka. Prajurit-prajurit Afrika Selatan relatif dapat membina hubungan baik dengan warga sipil Italia. (Sumber: https://samilhistory.com/)

Baru pada tanggal 29 Juli Monte Scalari bisa direbut. Ini adalah pertempuran yang sulit karena kondisi medan ada di tapal batas antara Tentara Kesepuluh dan Keempat Belas Jerman, sebuah posisi militer yang kritis. Kota Florence yang tua dan kaya akan budaya sekarang sudah hampir terlihat dan, pada tanggal 30 Juli, pasukan Afrika Selatan bertempur di dekat kota. Pada tanggal 1 Agustus, pasukan Pengawal Skotlandia berhasil merebut Poggio ai Mandorli, yang merupakan garis pertahanan terakhir Jerman di Sungai Arno sebelum Florence, yang disebut Garis Paula-Mädchen. Bagaimanapun, Florence tidak dibebaskan dengan mudah. Divisi Afrika Selatan nampaknya akan menambahkan pembebasan kota itu ke dalam pengalaman tempur tidak resmi mereka, tetapi jembatan yang hancur di dalam dan sekitar Florence, bersama dengan penghancuran yang terampil dari tentara Jerman untuk menghalangi kemajuan Sekutu, ternyata telah membuat mereka tersendat. Hanya jembatan Ponte Vecchio dari Florentine, salah satu favorit Hitler, yang masih utuh, dan bahkan penggunaannya oleh pasukan infanteri menjadi sulit dilakukan karena bangunan di sampingnya di kedua sisi Sungai Arno telah dihancurkan, meninggalkan tumpukan puing yang besar untuk dilewati. Disebutkan bahwa Kesselring sendiri telah memerintahkan penghancuran jembatan di atas Sungai Arno karena dia merasa telah melakukan kesalahan dengan tidak melakukannya ketika kota Roma dibebaskan dan dengan demikian pasukannya telah kehilangan waktu yang berharga untuk mundur ke utara. Ketika infanteri Afrika Selatan dari Imperial Light Horse / Kimberly Regiment mencapai Ponte Vecchio yang terkenal pada pagi hari tanggal 4 Agustus, mereka menemukan bahwa pasukan Zeni Jerman dengan terampil telah melakukan perintah penghancuran dari Kesselring pada tanggal 3 Agustus, pada malam sebelumnya. Namun, dalam membebaskan Florence, orang Afrika Selatan telah menyelesaikan misi yang diinginkan oleh Perdana Menteri Inggris Churchill. Periode setelah itu juga merupakan waktu jeda untuk melakukan perawatan kendaraan dan peralatan — dan istirahat, yang sangat dibutuhkan setelah berjuang melalui medan yang berliku-liku di provinsi Chianti. 

MENUJU KE GARIS GOTIK

Peristiwa penting lainnya juga terjadi bagi Sekutu pada bulan Agustus itu. Invasi kontroversial yang sangat diperdebatkan di Prancis selatan telah menyebabkan penarikan pasukan Ekspedisi Prancis dan beberapa divisi veteran Amerika dari Italia untuk berpartisipasi dalam aksi tersebut — Operasi Dragoon. Inggris sangat tidak senang bahwa medan Italia ditinggalkan dengan pasukan Sekutu yang hanya cukup untuk terus menekan musuh yang mundur ke garis pertahanan terakhirnya di Italia, yakni Garis Gotik di puncak rantai pegunungan Apennine yang memanjang hingga ke Lembah Sungai Po. Ada juga perubahan besar untuk Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6. Mereka kini ditugaskan ke Korps II AS dari Angkatan Darat Kelima Amerika. Selain itu, divisi ini segera ditempatkan sebagai cadangan karena daya tembak bergeraknya menjadi kurang bermanfaat karena sifat pertempuran telah berubah menjadi pertempuran atrisi yang sengit. Musim gugur dan musim dingin yang datang kemudian, bersama dengan kelelahan akibat pertempuran dan medan yang sulit, mendahului waktu musim semi tahun 1945 ketika divisi itu akan digunakan lagi untuk memanfaatkan kecepatan dan kekuatan tempurnya. Di antara pasukan lapis baja itulah yang akan membawa perang di Italia berakhir dengan sukses pada bulan Mei tahun itu. Setelah Florence dibebaskan, divisi tersebut dikerahkan ke selatan ke Siena. Divisi Gunung Maroko-Prancis, sebelumnya dikenal telah menyebabkan masalah besar dengan penduduk sipil Italia sebelum unit tersebut ditempatkan kembali untuk berpartisipasi dalam invasi ke Prancis selatan. Kehadiran orang Afrika Selatan yang lebih etis dan bisa membangun hubungan baik dengan warga sipil Italia, membantu menyembuhkan kenangan pahit yang ditinggalkan oleh pasukan kolonial Prancis. Sementara itu, Tentara Afrika Selatan sekarang mendapat hiburan ala Amerika. Konser dipersembahkan oleh Frank Sinatra yang berusia 28 tahun, membawa serta album pertama-nya, “The Voice.” Aktris Katherine Hepburn juga datang untuk bertemu dan menyapa para tentara ketika dia bisa menjauh dari para perwira yang sering memonopoli para penghibur yang berkunjung. Pertunjukan teater yang terbuka untuk semua membantu menahan keluhan personel tamtama tentang perilaku perwira. Sementara pasukan sedang bersantai, beristirahat, merawat peralatan, mengganti barang yang hilang, dan melakukan sedikit pelatihan, staf divisi sedang mempersiapkan pekerjaan di bawah komando Amerika. 

Staf komando Divisi Lapis Baja ke-6 Afrika Selatan di Bologna, dari kiri ke kanan: Mayjen Poole, Brigjen. Furstenburg, Mayor Jenderal Theron. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Divisi Lapis Baja ke-6 Afrika Selatan memasuki Florence melalui Porta Romano, 4 Agustus 1944. (Sumber: https://samilhistory.com/)
Elemen pasukan Rhodesia dari Brigade Lapis Baja ke-11 di Monte Vigese. September 1944. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada tanggal 26 Agustus, setelah jeda operasi Sekutu selama tiga minggu, Divisi Afrika Selatan menyeberangi Sungai Arno, yang telah dipertahankan dengan ringan oleh pos-pos Jerman. Melewati ke utara melalui kebun anggur Poggibonsi dan Certaldo yang luar biasa, divisi itu melintasi Arno di kota Empoli. Sebelum memasuki Apennines lagi, pasukan menyeberangi Sungai Bisenzio yang mengalir ke selatan di Prato pada tanggal 1 September. Gerakan sekutu sekarang mengarah ke timur sehingga divisi tersebut dapat mengambil posisi untuk mengambil bagian dalam serangan Korps ke-II akhir bulan itu. Setelah berada di posisinya, orang-orang Afrika Selatan dialihkan ke barat, dan pada tanggal 11 September mereka tiba di Garis Gotik di luar kota Lucca, tidak jauh dari pantai timur Laut Tyrrhenian. Setelah ada di sana selama hampir dua minggu, divisi itu kembali berbelok ke timur dan berada di Pistoia pada tanggal 27 September. Mengambil bagian dalam serangan Korps ke-II, pasukan divisi Afrika Selatan bertempur untuk merebut Monte Stanco di utara Pistoia pada tanggal 13 Oktober. Sekarang pasukan Sekutu telah menjadi kelelahan dan dihantui oleh meningkatnya korban jiwa, cuaca buruk, dan sedikit penggantian. Pada tanggal 20 Oktober, serangan Sekutu di Italia terhenti. Pada tanggal 26 Oktober orang-orang Afrika Selatan mundur dan pergi ke tempat-tempat musim dingin di dekat kota Veggio. Setelah melewati musim dingin pada tanggal 23 Februari 1945, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 kembali berperang, tetapi baru pada musim semi mereka kembali terlibat Dalam pertempuran. Sekarang itu adalah bagian ofensif terakhir untuk mengakhiri perang, dan armada lapis baja dari divisi itu akan segera digunakan. Mereka sekali lagi beroperasi sebagai bagian dari Korps ke-II Angkatan Darat Kelima AS. Untuk masuk ke pertempuran, divisi meninggalkan lokasi persiapan di garis belakang dan mengikuti jalan utama ke timur melalui Pistoia ke Prato. Di sana mereka berbelok ke utara di jalan utama menuju Bologna, di mana mereka akan berbelok ke Lembah Sungai Po. Tetapi pertama-tama divisi infanteri korps lainnya harus menghadapi musuh yang bertahan dengan baik secara efektif menggunakan medan pegunungan.

OFENSIF AKHIR DI ITALIA

Pada tanggal 15 April, Korps ke-II maju ke medan pertempuran tetapi hanya memperoleh hasil yang kecil. Letnan Jenderal Lucian K. Truscott telah mengerahkan divisi-divisi Angkatan Darat Kelima di garis depan yang relatif sempit untuk memaksa masuk ke Lembah Sungai Po. Tapi mereka butuh pasukan infanteri elit dari Divisi Gunung ke-10, yang menggunakan keahlian tempur tingkat tinggi, untuk memecahkan perlawanan musuh yang keras kepala (tetapi pada akhirnya sia-sia). Pada tanggal 17 April, para prajurit gunung itu telah keluar dari perbukitan dan bergerak di luar Bologna, dengan pasukan Korps ke-II lainnya mengikuti di belakang. Pada tanggal 20 April, Korps ke-II menyebar ke daerah terbuka dan berlomba menuju Sungai Po. Pada bagian mereka, di tanggal 15 dan 16 April, orang-orang Afrika Selatan menyerang jalur kereta api Florence-Bologna dan membebaskan sejumlah kota kecil saat mereka memulai serangan awal mereka. Dengan mempertahankan mobilitasnya yang dilindungi satuan lapis baja pada tanggal 22 April, divisi tersebut merebut jembatan utama di timur Camposanto di Sungai Panaro. Pengejaran atas pasukan Jerman yang sedang ditarik mundur sekarang berlangsung. Perlawanan tentara Jerman sangat buruk ketika pasukan mereka mencoba melarikan diri di atas sungai-sungai besar yang mengalir dari timur-barat. Berharap untuk bisa menunda kemajuan Sekutu yang bergerak cepat, lokasi penyeberangan utama dipertahankan oleh beberapa unit tempur musuh yang tersisa untuk memungkinkan penarikan pasukan lainnya ke utara. Sementara itu, kurangnya peralatan jembatan yang dimiliki Jerman, telah menghambat upaya ini, sebaliknya Sekutu, yang telah bersiap sebelumnya untuk menghadapi sungai sebagai rintangan, memiliki banyak perlengkapan untuk terus bergerak maju. Musuh, yang mengalami kesulitan besar untuk membawa kendaraannya melintasi Sungai Po dan anak-anak sungainya, dengan mudah ditangkapi oleh pasukan Sekutu yang sangat didukung oleh kendaraan bermotor. Disamping itu, para Partisan Italia di lembah sungai tidak membuat gerak mundur pasukan Jerman menjadi lebih mudah karena mereka merebut kota-kota penting, sehingga menghambat penggunaan fasilitas transportasi utama musuh dan menghalangi pergerakan pasukan Jerman. Pada tanggal 23 April, Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 telah berada di luar Bondeno dekat Sungai Po. Di sana elemen-elemen divisi itu bertemu dengan unit-unit Korps ke-V Inggris yang bergerak maju dari pantai timur Italia. Aksi ini telah memampukan mereka untuk mengepung sebagian besar pasukan musuh di utara Bologna dan memfasilitasi penyeberangan ke Sungai Po. Orang-orang Afrika Selatan yang bergerak cepat membangun jembatan di atas Sungai Po pada tanggal 25 April di sebelah barat kota Felonica. Kemudian mereka bergegas ke Sungai Adige di sebelah barat Mantua, yang diseberangi pada tanggal 27 April. Sekarang perlawanan Jerman hampir berakhir ketika pasukan musuh menyerah berbondong-bondong saat mereka terhenti di wilayah utara tanpa tujuan. Setelah melewati Sungai Adige, divisi tersebut bergerak maju ke Camposampiero di utara Padua, dan tiba di sana pada tanggal 30 April; ini adalah gerak maju terjauh mereka ke arah timur, dimana perlawanan Jerman yang signifikan di wilayah sekitar Milan diperkirakan berada. Divisi itu kemudian diperintahkan ke arah barat.

Komandan Grup Angkatan Darat ke-15 Amerika di Italia, Mark W Clark mengakui kualitas dan kontribusi pasukan Divisi Lapis Baja ke-6 Afrika Selatan di Front Italia. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Lebih terlihat seperti kelompok partisan daripada tentara reguler, sebuah patroli First City / Cape Town Highlanders bergerak keluar di kawasan Apennines Italia tahun 1945. (Sumber: https://samilhistory.com/)

Perlawanan pasukan Jerman kemudian terbukti tidak ada, sebagian karena kelompok-kelompok partisan Italia berniat menyebabkan kerusakan sebanyak mungkin terhadap pasukan Jerman, terutama pada unit-unit Gestapo, simpatisan Jerman, dan pasukan khusus SS yang sebelumnya terlibat dalam berbagai kekejaman dan pembunuhan. Jenderal Mark Clark, komandan Grup Angkatan Darat ke-15, mengomentari pencapaian divisi Afrika Selatan selama Serangan Musim Semi, dengan menyatakan: “Mereka adalah adalah satuan yang bijaksana dalam pertempuran, berani dan agresif melawan musuh, dan bersedia melakukan pekerjaan apa pun yang diperlukan. Faktanya, setelah periode pertempuran siang dan malam yang sengit, pasukan Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 dalam keadaan darurat tidak segan untuk masuk ke dalam barisan sebagai prajurit infanteri. Ketika salju menghentikan kendaraan lapis baja mereka, mereka memasang tank mereka didalam tanah dan menggunakannya sebagai artileri statis untuk menutupi kekurangan senjata berat pada pasukan kami. Setiap kali saya melihat mereka, saya terkesan dengan banyaknya tanda pengenal dan penghargaan yang mereka peroleh dengan susah payah. Serangan mereka terhadap posisi Jerman yang terorganisir dengan kuat dilakukan dengan penuh keberanian yang hebat dan tanpa memperhatikan korban jiwa. Meski pasukan mereka terbilang kecil, mereka tidak pernah mengeluhkan tentang kerugian yang mereka derita. Begitu pula Jan Smuts, yang memperjelas bahwa Uni Afrika Selatan bermaksud untuk melakukan bagiannya dalam Perang – dan itulah yang mereka.”

AKHIR PERANG

Pada tanggal 2 Mei 1945, perang di Italia secara resmi berakhir ketika Komandan tertinggi Jerman di Italia, Generalfeldmarschall A. Kesselring, menyetujui persyaratan penyerahan yang diberikan oleh Fieldmarshal H.R.L.G Alexander dan menyiarkan perintah untuk gencatan senjata. Keesokan harinya orang-orang Afrika Selatan yang terkonsentrasi di sekitar Milan, mengetahui berita bahwa perang di Italia akhirnya berakhir. Pada tanggal 14 Mei 1945 seluruh Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 berkumpul di sirkuit balap motor Monza, lengkap dengan tank, artileri dan kendaraannya. Saat itu Perdana Menteri (Field Marshall) J.C Smuts berada di San Francisco menulis pembukaan tentang Hak Asasi Manusia untuk Piagam PBB, sehingga di Italia ia diwakili oleh Pejabat Menteri Pertahanan, Commodore the Hon F.C. Sturrock yang membuka pidato bagi Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6, dengan menyatakan rasa terima kasih dari Perdana Menteri dan rakyat Afrika Selatan atas apa yang dikerjakan divisi ini dalam mencapai kemenangan di Italia. Sepanjang penugasannya dalam Perang Dunia II, unit yang bertugas dari bulan Februari 1943 hingga Mei 1945, ada di bawah komando Mayor Jenderal William John Evered Poole. Sementara itu, seperti semua pasukan Sekutu lainnya, penghentian permusuhan berarti bahwa perdamaian yang semu telah tiba. Meskipun tidak ada lagi pertempuran, pembalasan dari orang-orang Italia sering terjadi, dan situasinya berarti perdamaian yang sesungguhnya belumlah dekat. Perlu waktu untuk mengembalikan kehidupan sehari-hari menjadi normal. Namun, bagi orang Afrika Selatan, perang sudah benar-benar berakhir. Mereka berlayar kembali ke negaranya yang tidak dirusak secara fisik oleh perang, tetapi mereka tetap menderita korban, baik secara fisik maupun mental. Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 diketahui menderita 711 orang tewas dalam tugas, sementara 2.675 lainnya luka-luka, dan 157 hilang — baik sebagai tawanan perang atau tidak ditemukan. Kerugiannya ini relatif ringan mengingat mereka sudah menderita dalam kampanye Afrika Utara dan juga karena tentara yang bertempur di Italia adalah sukarelawan karena tidak ada wajib militer di Uni Afrika Selatan. Keputusan mereka untuk membantu Inggris Raya di darat, di udara, dan di laut adalah hal yang unik untuk sebuah negara yang belum 50 tahun sebelumnya menyerah kepada Kerajaan Inggris dalam Perang Boer. Namun, bahwa orang Afrika Selatan bersatu melawan musuh yang terletak ribuan mil jauhnya, tidak luput dari perhatian di Dunia Bebas, yang memuji partisipasi sukarela Uni Afrika Selatan dalam kemenangan Sekutu.

Jenderal Mark Clark (Komandan Grup Angkatan Darat ke-15) memberi hormat dari penghancur tank M-10 dari Brigade Lapis Baja ke-11 dari Divisi Lapis Baja Afrika Selatan ke-6 pada parade yang menandai berakhirnya peperangan di Sirkuit Balap Monza-Italia pada tanggal 14 Mei 1945. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Fighting from Tobruk to Milan By Brig. Gen. (Ret.) Raymond E. Bell

6th South African Armoured Division

https://www.gf9.com/hobby.aspx?art_id=4400

The 6th (South African) Armoured Division

https://www.google.com/amp/s/weaponsandwarfare.com/2019/09/04/the-6th-south-african-armoured-division/amp/

SADF armored vehicles (1940-1945)

https://tanks-encyclopedia.com/ww2/south-africa-ww2.php

https://en.m.wikipedia.org/wiki/6th_Armoured_Division_(South_Africa)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *