Perang Dunia II

Episode Terlupakan dalam Perang Dunia II: Pertempuran Terakhir di Tembok Besar

Tembok Besar merupakan simbol bangsa China, dengan panjang tembok benteng lebih dari 3.800 mil (atau 5.500, jika Anda menghitung parit dan penghalang alaminya juga). Tembok ini dibangun untuk melindungi orang-orang yang menetap di Dataran China Utara dari penghancuran oleh suku penunggang kuda nomaden dari wilayah Utara. Sementara tembok itu tidak diragukan lagi merupakan penghalang yang tangguh terhadap para penunggang kuda yang bersenjatakan tombak dan busur, kurang dari seabad yang lalu tembok besar digunakan dalam pertempuran defensif yang putus asa melawan musuh yang dipersenjatai dengan tank, pesawat terbang, kapal-kapal perusak angkatan laut, dan senapan mesin. Merupakan salah satu ironi sejarah bahwa tembok yang pada dasarnya dimaksudkan untuk menyelamatkan masyarakat China dari gerombolan “nomaden” dari Asia Tengah, justru akan menjadi tempat pertempuran sengit melawan penyerang Jepang yang aslinya berasal dari sebelah timur China.

Pertemuan antara masa lalu dan era modern: Tentara China menjaga sudut tembok besar dalam menahan serangan tentara Jepang. (Sumber: https://www.thetimes.co.uk/)

PERTEMPURAN KUNO DI ABAD KE-20

Di bawah matahari musim dingin yang tak terik, para prajurit berlari melintasi jembatan ponton yang dibangun dengan tergesa-gesa yang membentang di parit selebar 55 kaki (16,76 meter), teriakan perang mereka ditenggelamkan oleh rentetan tembakan artileri yang memekakkan telinga. Mengangkat tangga bambu improvisasi ke dinding benteng musuh, para penyerang berebut bahkan ketika pasukan lawan di atas benteng melepaskan hujan granat tangan. Bahan peledak meledak di udara, mematahkan tangga menjadi dua dan mengirim lusinan orang yang berteriak menuju ke kematian mereka 45 kaki (13,71 meter) di bawah. Saat penyerang yang masih hidup memanjat tepi tembok yang terlarang, pertarungan berubah menjadi serangkaian pertarungan jarak dekat yang brutal, dengan pedang baja dan bayonet yang lebih pendek tapi tidak kalah mematikan dalam pembantaian jarak dekat, saat para komandan mengangkangi kuda perang Mongolia berkendara dari satu bagian ke bagian lain, berusaha mati-matian untuk mengatur pasukan mereka yang tersebar di atas Tembok Besar China yang terkenal. Meskipun gambar seperti itu mungkin tampak mewakili salah satu dari banyak pertempuran kuno yang berputar-putar di sekitar benteng paling terkenal di China, pertempuran yang dijelaskan di atas sebenarnya terjadi pada pagi hari yang dingin pada tanggal 3 Januari 1933, di pos terdepan Shanhaiguan. Lama ditinggalkan dan dibiarkan dalam keadaan rusak sejak invasi bangsa Manchu pada tahun 1644, Tembok Besar yang sudah usang diberikan kesempatan hidup baru di abad ke-20—hanya kali ini dari utara datang bukan petempur suku nomaden tetapi tentara elit Kwantung dari raksasa industri Jepang. Dalam takdir yang menyedihkan, Tembok Besar, mahakarya pertahanan militer kuno itu, melihat aksi terakhirnya pada awal Perang Dunia II di benua Asia.

Pasukan Jepang menyerang Tembok Besar di tahun 1933. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

TENTARA KWANTUNG YANG BENGAL

Perang Sino-Jepang Kedua— Bagian Perang Dunia II sering diabaikan dan dinilai sebagai “bagian teka-teki yang hilang”, sebagaimana dikatakan sejarawan Inggris Antony Beevor—berakar jauh sebelum invasi Jerman ke Polandia pada tahun 1939. Memang, dengan pecahnya Perang Saudara Spanyol pada tahun 1936, yang menarik perhatian dunia Barat, China telah terlibat selama lima tahun dalam konflik militer, yang bahkan lebih berdarah dengan Jepang. Pada awal tahun 1930-an, tentara Kwantung—yang ditempatkan di Semenanjung Liaodong Manchuria sejak tak lama setelah Perang Rusia-Jepang 1904–05—telah berevolusi menjadi faksi militeris totaliter dalam tentara Jepang yang lebih besar, yang menyukai ekspansionisme di daratan Asia. Sementara itu, karena keterlibatannya dalam menekan Pemberontakan Boxer pada tahun 1901, Jepang diizinkan oleh protokol untuk mempertahankan dua ratus orang kontingen Jepang di Shanhaiguan bersama garnisun China. Pada tanggal 18 September 1931, mengambil keuntungan dari lingkungan politik Jepang yang bergejolak, tentara Kwantung secara independen mengatur Insiden Mukden (pemboman bertahap terhadap jalur rel milik Jepang) dan invasi berikutnya ke Manchuria dalam tindakan pembangkangan yang mengejutkan terhadap kebijakan anti-ekspansi pemerintah sipil Tokyo.

Tentara Kwantung Jepang yang tidak tunduk pada otoritas pemerintah Tokyo. (Sumber: https://www.ebay.com/)
Menyusul Insiden Mukden 1931 — ketika pasukan Jepang meledakkan dinamit di dekat rel kereta mereka, untuk kemudian menyalahkan China dan menggunakan ini sebagai dalih untuk menyerang dan merebut Manchuria — para ahli Jepang berkumpul untuk memeriksa lokasi “sabotase kereta api” di jalur kereta api. (Sumber: https://www.japantimes.co.jp/)
Kaisar Henry Pu Yi dalam cover majalah Time, 5 Maret 1934. Jepang mengklaim pihak China telah melakukan sabotase dan menggunakannya sebagai dalih untuk menyerang tiga provinsi China, yang kemudian dibentuk menjadi negara boneka Manchuria, pimpinan mantan Kaisar China, Pu Yi.(Sumber: https://content.time.com/)

Dalam insiden Mukden, dua perwira Jepang meledakkan jalur kereta api mereka sendiri di dekat Mukden (sekarang Shenyang), China. Jepang mengklaim pihak China telah melakukan sabotase dan menggunakannya sebagai dalih untuk menyerang tiga provinsi, yang kemudian dibentuk menjadi negara boneka Manchuria, pimpinan mantan Kaisar China, Pu Yi. Kemudian pada bulan Mei 1932, sekelompok kadet militer Jepang membunuh perdana menteri Inukai Tsuyoshi, yang menentang agresi militer. Para pelaku kemudian malah dijatuhi hukuman ringan, dan dengan ini para pemimpin senior Angkatan Darat menyadari bahwa mereka dapat bertindak hampir tanpa hukuman. Di pihak China, pemerintah pusat Kuomintang pimpinan Chiang Kai-shek terganggu oleh perang saudara yang sedang berlangsung melawan kelompok komunis China pimpinan Mao Zedong, serta faksionalisme panglima perang (Warlord) di dalam Tentara Revolusioner Nasional Kuomintang (NRA). Meskipun seorang nasionalis yang gigih, Chiang yakin bahwa China belum siap untuk menghadapi perang skala penuh melawan Jepang dan mengadopsi kebijakan kontroversial “pertama-tama melakukan pasifikasi internal, (baru) kemudian melancarkan perlawanan eksternal.” Oleh karena itu, pasukan China di Manchuria hampir tidak melakukan perlawanan terhadap invasi Jepang. Bisa ditebak, tidak lama kemudian pasukan Kwantung bercita-cita untuk menaklukkan lebih jauh dan mengalihkan pandangannya ke barat daya ke provinsi Hebei dan Rehe (dibaca RUH-huh) di China. Rehe-digambarkan oleh koresponden pascaperang sebagai “penuh dengan gunung-gunung, sungai-sungai yang deras, dan masalah”- tepat berbatasan dengan Manchukuo, negara boneka Jepang di Manchuria yang telah ditaklukkan. Hebei yang tidak terlalu bergunung-gunung terletak di sebelah selatan Rehe, Tembok Besar berfungsi sebagai batas kasar di antara keduanya. Di balik Tembok Besar terdapat kota metropolitan yang ramai di Beijing (secara resmi bernama Peiping pada saat itu) dan Tianjin, lalu ada hamparan luas Dataran China Utara. Setelah gagal mengamankan Rehe-Hebei sebagai zona penyangga dengan memohon bantuan kepada Warlord lokal yang korup, Jepang memutuskan untuk mengambil tindakan yang lebih langsung. Kepala Staf Angkatan Darat Jepang kemudian meminta ijin kepada Kaisar Hirohito untuk melancarkan “operasi strategis” melawan pasukan China di Rehe. Berharap bahwa ini adalah operasi tentara Jepang terakhir di daerah tersebut dan akan mengakhiri masalah Manchuria, Kaisar menyetujuinya, sambil menyatakan secara eksplisit bahwa tentara Jepang tidak boleh melampaui Tembok Besar China.

Koran Tokyo Asahi Shimbun menggambarkan insiden tanggal 15 Mei dan pembunuhan Perdana Menteri Inukai Tsuyoshi. Inukai Tsuyoshi, yang menentang agresi militer. Para pelaku kemudian malah dijatuhi hukuman ringan, dan dengan ini para pemimpin senior Angkatan Darat menyadari bahwa mereka dapat bertindak hampir tanpa hukuman. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Chiang Kai-shek terganggu oleh perang saudara yang sedang berlangsung melawan kelompok komunis China pimpinan Mao Zedong, serta faksionalisme panglima perang (Warlord) di dalam Tentara Revolusioner Nasional Kuomintang (NRA). Chiang yakin bahwa China belum siap untuk menghadapi perang skala penuh melawan Jepang dan mengadopsi kebijakan kontroversial “pertama-tama melakukan pasifikasi internal, (baru) kemudian melancarkan perlawanan eksternal.” Oleh karena itu, pasukan China di Manchuria hampir tidak melakukan perlawanan terhadap invasi Jepang. (Sumber: https://thechinaproject.com/)
Provinisi Rehe dan area sekitarnya. Rehe-digambarkan oleh koresponden pascaperang sebagai “penuh dengan gunung-gunung, sungai-sungai yang deras, dan masalah”- tepat berbatasan dengan Manchukuo, negara boneka Jepang di Manchuria yang telah ditaklukkan. (Sumber: https://www.yomiuri.co.jp/)

OPERASI NEKKA

Pada tanggal 1 Januari 1933, pasukan Jepang melancarkan Operasi Nekka yang bertujuan untuk memperluas kendali Jepang ke dalam wilayah China. Langkah pertama tentara Kwantung adalah melancarkan serangan pendahuluan yang kuat terhadap garnisun China yang dibentengi di Shanhaiguan, di ujung paling timur bentangan utama Tembok Besar. Shanhaiguan (“Lintasan Gunung dan Laut” dalam bahasa China tradisional) dinamai demikian karena posisinya yang strategis di koridor sempit yang menghubungkan Manchuria dengan China dengan benteng Kepala Naga Tua memanjang hingga ke perairan dangkal Laut Bohai. Pada Hari Tahun Baru 1933, seseorang (kemungkinan besar orang Jepang sendiri) meledakkan granat dan menembakkan senapan ke udara di sisi tembok Manchuria. Pada malam itu juga, komandan garnisun Jepang yang bertetangga dengan berani mencap para prajurit China sebagai “teroris” dan memerintahkan mereka untuk keluar dari celah tersebut. Tuntutan itu tidak berjalan dengan baik, dan seorang tentara Jepang ditembak dan dibunuh dalam suatu konfrontasi. Ketika pihak China menolak tuntutan, tentara Jepang melancarkan serangan senjata gabungan keesokan paginya. Keesokan paginya, kapal perusak Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Fuyō dan Karukaya dari Armada Ekspedisi Kedua mulai meledakkan tembok Shanhaiguan setinggi empat puluh lima kaki (13,716 meter) dengan meriam kaliber 120 milimeter mereka. Pengeboman itu diikuti oleh tembakan sembilan belas howitzer lapangan dan empat kereta lapis baja, sementara setengah lusin pembom menghujani benteng dengan bahan peledak berkekuatan tinggi, yang diikuti gerak laju 10 tank.

Pasukan Jepang di Tembok Besar di Shanhaiguan. Shanhaiguan (“Lintasan Gunung dan Laut” dalam bahasa China tradisional) dinamai demikian karena posisinya yang strategis di koridor sempit yang menghubungkan Manchuria dengan China dengan benteng Kepala Naga Tua memanjang hingga ke perairan dangkal Laut Bohai. (Sumber: https://twitter.com/)
Kapal perusak dari kelas Wakatake. Kapal perusak Fuyō dari kelas Wakatake membombardir tembok Shanhaiguan setinggi empat puluh lima kaki (13,716 meter) dengan meriam kaliber 120 milimeter mereka pada awal tahun 1933. (Sumber: http://www.combinedfleet.com/)
Tank Tipe 89 I-Go memberikan dukungan pasukan infanteri Jepang yang menyerbu tembok besar. (Sumber: https://ikazuchisen.wordpress.com/)

Sementara itu, pasukan infanteri Shaidan (Divisi) Kedelapan tentara Jepang melintasi parit tembok dengan jembatan ponton, melemparkan tangga pengepungan dan menyerbu benteng, sementara tiga tank Tipe 89 I-Go baru yang lamban memberikan tembakan perlindungan dengan meriam laras pendek kaliber lima puluh- tujuh milimeter. Dibandingkan dengan musuh-musuh mereka dari Divisi ke-8 tentara Kwantung, para prajurit China yang tidak siap tidak memiliki banyak hal untuk ditawarkan. Pasukan China dari Resimen ke-626 kalah persenjataan. Mereka memiliki beberapa senapan dan beberapa senapan mesin ringan, tetapi banyak yang hanya memiliki pistol dan dadao—pedang potong terbuat dari baja bertepi tunggal yang berat, yang kerap disebut sebagai “pedang lebar China” atau “pisau besar”. Senjata terberat mereka adalah sejumlah kecil senapan mesin Maxim dan mortir ringan. Selain beberapa senapan mesin Maxim dan mortir ringan, satu-satunya pertahanan mereka yang patut dicatat adalah benteng dan menara pengawas dari jaman Dinasti Ming yang telah berusia berabad-abad. Mereka menderita banyak korban, termasuk kehilangan seorang komandan batalion, dan mundur dari gerbang belakang pada penghujung hari. Meskipun ada perlawanan heroik dari para prajurit China, garnisun Shanhaiguan jatuh pada tanggal 3 Januari, setelah seharian bertempur dari rumah ke rumah secara brutal. Tentara Jepang kini telah “memecahkan” ujung paling timur Tembok Besar. Namun, alih-alih maju ke arah Beijing, tentara Kwantung mengalihkan fokusnya ke arah barat, menjauh dari Laut Bohai, ke pegunungan Rehe.

Senapan mesin Type 24 China, yang merupakan salinan langsung dari senapan mesin model Maxim tahun 1909. Pasukan China dari Resimen ke-626 kalah persenjataan. Senjata terberat mereka adalah sejumlah kecil senapan mesin Maxim dan mortir ringan. (Sumber: https://laststandonzombieisland.com/)
Tentara China dengan pedang lebar (Dadao), tahun 1930-an. (Sumber: https://ww2db.com/)
Pasukan China di Tembok Besar dekat Celah Luowenyu, Provinsi Hebei, China, tahun 1933. (Sumber: https://ww2db.com/)

PIMPINAN KORUP

Pada tanggal 11 Februari, Gubernur Jenderal Nobuyoshi Muto, panglima tertinggi tentara Kwantung, dan kepala stafnya, Letnan Jenderal Kuniaki Koiso, mengungkapkan lanjutan rencana Operasi Nekka, yang tujuan strategisnya adalah untuk membasmi kekuatan militer China di Rehe. Terletak di timur laut Beijing, Rehe diklaim oleh Manchuria dan memiliki ladang opium yang berharga. Jepang awalnya gagal untuk membeli loyalitas panglima perang yang korup di kawasan itu, Tang Yulin, sebelum memutuskan untuk menyerang. Meskipun unit-unit Jepang telah menembus Tembok Besar di Shanhaiguan, kemajuan yang terburu-buru ke arah Beijing di sepanjang garis pantai akan mengekspos sisi kanan yang panjang dan rentan bagi tentara China. Meskipun diragukan bahwa para tentara China yang terdesak dapat atau akan mengambil keuntungan dari celah tersebut, Muto tidak ingin mengambil risiko. Tentara Kwantung pertama-tama akan membersihkan semua daerah di utara Tembok Besar di guanwai (“di luar tembok,” sebagaimana orang China menyebutnya) sebelum menyeberang ke guannei (“di dalam tembok”). Untuk serangan itu, Muto mengerahkan Shaidan (divisi) Keenam dan Kedelapan, satu brigade kavaleri dan dua brigade infanteri independen, dan Kompi Tank Khusus Pertama, yang dilengkapi dengan tiga belas tank infanteri Tipe 89 dan tankette kecil Tipe 92. Pihak Manchuria mengerahkan tambahan empat puluh dua ribu pasukan sekutu China, yang meski dilatih dan dipersenjatai dengan buruk, bisa dibilang setara dengan tentara China lawannya. Setelah beberapa jeda waktu yang tenang, Divisi ke-2, Brigade Campuran ke-14, Brigade Kavaleri ke-4, dan Brigade Kavaleri ke-8 Jepang, dengan dukungan dari pasukan Manchuria di bawah komando Zhang Haipeng, menyerang Rehe (terkadang disebut juga sebagai Jehol) pada tanggal 21 Februari. Muto kemudian melanjutkan Operasi Nekka pada tanggal 23 Februari dan dalam beberapa jam menerima berita tentang kecaman terhadap Jepang, dan keluarnya Jepang secara dramatis berikutnya dari, Liga Bangsa-Bangsa. Serangan yang berani ini mengerahkan dua divisi dan tiga brigade independen untuk maju ke Rehe sepanjang tiga sumbu utama barat daya, menyapu seluruh provinsi untuk memberikan pukulan knockout yang kuat ke Chengde, ibu kota provinsi di utara Tembok Besar. Jika semua berjalan sesuai rencana, pasukan gabungan Kwantung dan Manchukuo yang berkekuatan hampir 100.000 orang akan mengamankan provinsi itu sebelum bala bantuan China tiba.

Jenderal Nobuyoshi Muto, panglima tertinggi tentara Kwantung. (Sumber: https://www.laitimes.com/)
 Tankette kecil Tipe 92, yang memperkuat Kompi Tank Khusus Pertama Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Jenderal Tang Yulin, komandan tentara China di Provinsi Rehe. ang Yulin, tidak kompeten dan korup (dikabarkan mengkorupsi hingga $ 10 juta saat mengontrol Provinsi Rehe). (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Sementara itu, tentara China yang berkumpul untuk mempertahankan Rehe berjumlah antara 100.000-150.000 dengan 40.000 tentara Timur Laut di bawah pimpinan Wan Fulin, 30.000-50.000 di bawah Tang Yulin dan 30.000 mantan Guominjun (Tentara Utara) di bawah Sun Dianying dan Song Zheyuan. Ada juga pasukan non reguler termasuk milisi desa, yakni bandit Manchuria dan 5 brigade sukarelawan di bawah pimpinam Zhu Qinglan, meskipun para sukarelawan ini bukannya membantu pertahanan tetapi malah kerap menghalanginya, sehingga Zhang Xueliang lalu mengeluarkan surat perintah penangkapan para sukarelawan ini. Sebagai komandan keseluruhan tentara China, ditunjuk Tang Yulin, yang tidak kompeten dan korup (dikabarkan mengkorupsi hingga $ 10 juta saat mengontrol Provinsi Rehe). Pada tanggal 25 Februari, Chaoyang, Baipiao, dan Kailu direbut. Pada tanggal 2 Maret, Brigade Kavaleri ke-4 Jepang menghadapi perlawanan dari pasukan Sun Dianying, termasuk serangan balik tentara China yang menembus garis pertahanan Jepang, tetapi pada akhirnya pasukan China tidak dapat melawan daya tembak yang dimiliki pasukan Jepang. Setelah maju 300 kilometer dalam 7 hari, Rehe jatuh pada 1 Maret, dan dalam beberapa hari Kompi Tank Khusus Jepang ke-1 memperkuat garnisun yang sekarang dibuat di Rehe. Zhang Xueliang, komandan Tentara Nasionalis Timur Laut, saat itu berada di ambang kecanduan opium, dan kepemimpinannya sangat tidak efektif sehingga kavaleri dan tank Jepang merebut ibu kota provinsi Changde hanya dalam sembilan hari, yang kemudian digabungkan di bawah pemerintahan Manchuria. Pada tanggal 4 Maret, ibu kota provinsi Chengde, yang tanpa pertahanan, jatuh ke tangan Jepang. Dalam kemajuan Jepang ini, orang-orang China sendirilah yang sebagian besar memfasilitasi kemenangan dramatis Jepang. Nyatanya, rencana itu berjalan terlalu baik, tentu saja di luar ekspektasi Muto dan Koiso yang paling optimis. Sebagaimana dibuktikan dalam pertempuran sebelumnya, Tentara Revolusioner Nasional pimpinan Chiang, meskipun kurang terlatih dan diperlengkapi, tidak kekurangan tentara pemberani dan komandan lapangan yang cakap. Tetapi komando NRA, dari Komisi Urusan Militer yang memimpin sampai ke tingkat divisi, dilanda faksionalisme Warlord yang sengit. Meskipun kira-kira sama jumlahnya dengan pasukan penyerang, Tentara Timur Laut yang tidak siap, dipimpin oleh panglima perang playboy Zhang Xueliang, runtuh seperti rumah kartu didepan serangan gencar tentara Jepang. Sementara itu, Tang Yulin melarikan diri, setelah menunggu hanya untuk memuat konvoi (dengan mengalihkan 200 truk yang ditugaskan untuk mendukung pasukannya) untuk mengangkut kekayaannya ke Tianjin yang penuh dengan opium dan barang berharga lainnya. Saat Divisi ke-8 pimpinan Letnan Jenderal Yoshikazu Nishi memasuki Chengde pada tanggal 4 Maret, sisa-sisa Tembok Besar yang bobrok di sepanjang perbatasan antara provinsi Rehe dan Hebei menjadi garis pertahanan strategis terakhir untuk wilayah Beijing, Hebei, dan seluruh Dataran Cina Utara. 

PERTAHANAN TERAKHIR DI TEMBOK BESAR

Berlawanan dengan kepercayaan populer, Tembok Besar bukanlah satu benteng yang memanjang berdekatan yang membentang di China. Faktanya, ini adalah jaringan rumit dari tembok pertahanan, benteng, parit, bunker, dan penghalang alami yang dibangun, dibangun kembali, dan dipindahkan selama berabad-abad oleh dinasti China berturut-turut saat wilayah mereka diperluas atau berubah. Selain itu, celah gunung utama sering kali dijaga oleh banyak tembok, sehingga pasukan yang bertahan dapat mundur ke garis pertahanan kedua jika tembok yang pertama bisa ditembus. Sebagian besar bagian Tembok Besar yang tersisa berasal dari Dinasti Ming (1368–1644), yang masuk di antara dinasti pembangun tembok yang paling bersemangat diantara kekaisaran China. Di bawah ancaman terus-menerus dari invasi bangsa Mongol, Jurchen, dan Manchu dari utara, Dinasti Ming membangun banyak lapisan tembok sementara dan permanen yang membentang sejauh 5.500 mil (8.851 km) dari barat Semenanjung Korea ke Gurun Taklamakan.

Ilustrasi pembangunan tembok besar. Sebagian besar bagian Tembok Besar yang tersisa berasal dari Dinasti Ming (1368–1644), yang masuk di antara dinasti pembangun tembok yang paling bersemangat diantara kekaisaran China. (Sumber: https://www.china-mike.com/)
Tembok besar China. Sebagian besar dinding batu yang berdiri saat ini berasal dari abad keempat belas, produk dari program konstruksi yang kuat yang dibuat oleh Dinasti Ming. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Meskipun pada tahun 1933, hampir tiga abad setelah runtuhnya Dinasti Ming, sebagian besar Tembok Besar di Rehe-Hebei berada dalam kondisi terabaikan, bentangan luas yang masih berdiri menjadi penghalang yang serius bagi setiap penyerang. (Sumber: https://militaryhistorynow.com/)

Meskipun sebelumnya “tembok panjang” yang terbuat dari tanah dan kerikil muncul di Cina pada awal abad ketiga SM, sebagian besar dinding batu yang berdiri saat ini berasal dari abad keempat belas, produk dari program konstruksi yang kuat yang dibuat oleh Dinasti Ming. Meskipun pada tahun 1933, hampir tiga abad setelah runtuhnya Dinasti Ming, sebagian besar Tembok Besar di Rehe-Hebei berada dalam kondisi terabaikan, bentangan luas yang masih berdiri menjadi penghalang yang serius bagi setiap penyerang. Mengikuti kontur alam, penghalang berkelok-kelok ini secara efektif menutup sebagian besar jalur melalui pegunungan ke Dataran China Utara, dengan hanya menyisakan segelintir jalur yang dibentengi dengan kuat – Gubeikou di tepi barat Rehe, Xifengkou di bagian tengah, Lengkou dan Jielingkou di ujung timur – yang dapat digunakan untuk bermanuver oleh tentara. Bahkan dengan pesawat terbang dan mobil lapis baja, tentara Jepang pada abad ke-20 tidak memiliki pilihan lain selain menyerang benteng-benteng ini secara langsung dengan serangan menanjak melawan tembakan musuh dari lubang dan celah panah – seperti yang dimaksudkan oleh para insinyur China saat mereka merancang benteng-benteng tersebut berabad-abad sebelumnya. Komandan Jepang lalu segera memerintahkan semua unit untuk mengabaikan perintah awal mereka dan bergerak ke selatan untuk mengamankan jalur-jalur penting di sepanjang Tembok Besar sebelum orang-orang China dapat mengorganisir perlawanan yang efektif

MENUJU TEMBOK BESAR

Sementara laju kemenangan di Rehe bahkan mengejutkan Jepang, Muto tahu lebih baik daripada bersantai dalam kesuksesannya. Ketika berita tentang jatuhnya Chengde sampai kepadanya pada tanggal 4 Maret, komandan Jepang segera memerintahkan semua unit untuk mengabaikan perintah awal mereka dan bergerak ke selatan untuk mengamankan jalur-jalur kunci di sepanjang Tembok Besar sebelum orang-orang China dapat mengorganisir perlawanan yang efektif dan memblokir rute ke Beijing. Muto kemudian memerintahkan pasukannya untuk berputar ke selatan, setelah menyadari respons China yang lambat memberi mereka kesempatan untuk membongkar pertahanan yang mengelilingi Beijing. Mereka dihadapkan pada empat jalur gunung yang terletak di sepanjang sabuk berliku-liku dari benteng Tembok Besar yang kokoh; dari barat ke timur, yaitu Gubeikou, Xifengkou, Lengkou dan Jielingkou. Karena gerbang terletak di antara pegunungan yang sangat curam, pasukan Jepang tidak punya pilihan selain menyerbu benteng dalam serangan langsung. Sayangnya bagi tentara Jepang, mereka telah maju begitu cepat sehingga ujung tombak pasukan bermotor mereka terpaksa menunggu sebagian besar unit infanteri mereka yang berjalan lambat untuk menyusul. Hal ini memberikan celah bagi pihak China. Setelah penampilan memalukan panglima perang Zhang di Rehe dan pengunduran dirinya, Chiang menempatkan pasukan di wilayah tersebut di bawah komando Jenderal He Yingqin (kerap dikenal sebagai “Lucky General“) dan sebuah kontingen staf yang bertanggung jawab langsung kepada pemimpin China itu. Untuk mengulur waktu sembari menanti bala bantuan datang dari China selatan dan tengah, Jenderal He mengirim empat korps infanteri (masing-masing rata-rata berkekuatan empat belas ribu orang) untuk melawan tentara Jepang dalam pertempuran memperebutkan gerbang Tembok Besar.

Lanskap struktur pertahanan tembok besar di Nankow Pass tahun 1933. (Sumber: https://www.periodpaper.com/)
Jenderal He Yingqin (kerap dikenal sebagai “Lucky General“), ditugaskan untuk mengulur waktu sembari menanti bala bantuan datang dari China selatan. (Sumber: https://no.wikipedia.org/)

Korps Dua Puluh Sembilan di bawah pimpinan Jenderal Song Zheyuan menuju ke Xifengkou, Korps Tiga Puluh Dua bergerak maju untuk merebut kembali Lengkou, dan Korps Ketujuh Belas dan elemen dari Korps Enam Puluh Tujuh untuk mempertahankan Gubeikou, di mana ada celah selebar lima belas mil (24,14 km) dengan Nantianmen (Gerbang Surgawi Selatan) yang indah sebagai kunci utamanya. Tidak seperti pendahulunya yang memalukan, He menyadari gentingnya situasi dan segera memerintahkan divisi-divisi Angkatan Darat Timur Laut yang tersisa untuk membuat pertahanan darurat yang berpusat di empat lintasan Tembok Besar. Sambil mengantisipasi bala bantuan dari arah selatan di sekitar Beijing-Tianjin, sang jenderal tidak mau menunggu mereka. Dia memahami bahwa Tembok Besar hanya merupakan satu garis pertahanan tanpa kedalaman, dan meskipun tentara China memiliki keunggulan dalam hal medan, mereka tidak akan mampu bertahan dalam menghadapi kekuatan senjata Jepang yang luar biasa. Oleh karena itu, rencananya meminta pasukan China di sepanjang Tembok Besar untuk menunda pergerakan tentara Jepang selama mungkin, mengulur waktu bagi He untuk membangun pertahanan perimeter di pinggiran Beijing dan Tianjin. Dia juga meminta bala bantuan tambahan dari pasukan elit Angkatan Darat Pusat. Chiang segera menyetujuinya. Menyadari besarnya serangan Jepang di Rehe-Hebei, panglima tertinggi China membatalkan Kampanye Pengepungan Keempat yang sejauh ini tidak berhasil melawan pasukan komunis di Jiangxi. 

Tentara Divisi 8 Jepang menunggu transportasi sebelum invasi tembok besar (musim dingin 1933). (Sumber: https://id.pinterest.com/)

KEPAHLAWANAN KORPS KE-29

Perbentengan Tembok Besar di empat lintasan utama menampilkan rumah jaga berturut-turut yang menciptakan gerbang benteng (barbican) berturut-turut di celah yang sempit. Hamparan panjang tembok menuruni lereng terjal untuk terhubung dengan benteng-benteng ini, secara efektif menggagalkan kemungkinan manuver sayap dari pihak musuh. Pada pagi hari tanggal 6 Maret, pasukan Jepang menghadapi penyergapan pasukan China yang dilakukan oleh Resimen ke-620 dan Resimen ke-621, yang hanya memperlambat gerak maju Jepang tetapi tidak menghentikannya. Pasukan China lalu mundur ke Gubeikou, celah Tembok Besar, tetapi menderita 500 korban saat pasukan Jepang, yang hanya menderita 43 korban, mengejar. Ketika pasukan utama Brigade Campuran ke-14 dan Divisi ke-8 Jepang akhirnya tiba di Xifengkou pada tanggal 10 Maret untuk melancarkan serangan mereka, sebagian besar Korps ke-29 China yang datang memperkuat telah hadir untuk menemui mereka. Pertempuran sengit pun terjadi saat tentara Jepang meluncurkan gelombang demi gelombang serangan. Di bawah komando cerdik dari Letnan Jenderal Song Zheyuan, tentara dari Korps ke-29 yang kurang perlengkapan bisa menghindari baku tembak jarak jauh, yang jelas akan memberikan keuntungan bagi musuh. Jenderal Song bahkan kemudian membentuk “Batalion Pedang” yang beranggotakan lima ratus orang yang terdiri dari tentara yang terlatih dalam seni bela diri. Untuk memaksakan pertempuran jarak dekat, pasukan China sengaja membiarkan tentara Jepang mendekat dalam jarak 300 kaki (91,44 meter) sebelum bergegas keluar untuk menyerang mereka, sehingga meniadakan daya tembak superior penyerang dengan memaksa mereka melakukan pertempuran jarak dekat, di mana yang para prajurit Korps ke-29 sangat mahir. Menurut sebuah artikel oleh Jiaxin Du di majalah Military History, untuk mengkompensasi kurangnya daya tembak mereka, komandan-komandan China melakukan yang mereka bisa untuk bertempur melawan tentara Jepang dalam penyergapan jarak pendek, yang memberikan personel infanteri mereka yang dilengkapi pedang dan pistol kesempatan untuk mendekati tentara Jepang yang dipersenjatai dengan senapan bolt-action Arisaka Type 38 dan senapan mesin ringan Nambu. Seperti sudah disebutkan diatas, banyak orang China menggunakan pedang tradisional yang dikenal sebagai dadao, yang terbukti sangat efektif dalam pertempuran jarak dekat bergaya abad pertengahan yang berdarah di atas benteng.

Letnan Jenderal Song Zheyuan. Di bawah komando cerdik dari Letnan Jenderal Song Zheyuan, tentara dari Korps ke-29 yang kurang perlengkapan bisa menghindari baku tembak jarak jauh, yang jelas akan memberikan keuntungan bagi musuh. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)
Senapan Arisaka Type 38, standar tentara Jepang. (Sumber: https://bid.landsboroughauctions.com/)
Senapan mesin ringan Nambu Type 11. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Selama dua hari mereka bertempur di dataran tinggi dan bagian Tembok Besar di sekitar celah yang dibentengi berpindah tangan beberapa kali. Lebih dari sekali tentara Jepang berhasil membobol dan secara singkat menduduki yang pertama dari dua barbican Xifengkou, hanya untuk dipukul mundur oleh para prajurit China yang gigih. Pada malam tanggal 11-12 Maret, Korps ke-29 melancarkan serangan balasan, dipimpin oleh pendekar pedang dan ahli bela diri terbaiknya, dua pemburu lokal memandu Batalyon Pedang Lebar dan dua brigade infanteri menyusuri jalur penebang kayu menyusup ke posisi di belakang garis pertahanan Jepang. Atasan mereka secara khusus menginstruksikan para penyusup untuk menghindari penggunaan senjata api dan sebagai gantinya mengandalkan dadao sebanyak mungkin. Setelah tengah malam, gerombolan prajurit bersenjatakan pedang menyerbu unit kavaleri yang sedang tidur di sayap kanan, sementara pasukan kiri menyerbu perkemahan artileri Brigade ke-14 Jepang Jepang dan pos komando di Baitaizi. Mereka mendatangkan malapetaka pada musuh yang tidak menaruh curiga, membunuh puluhan tentara di barak mereka. Dengan melemparkan granat dan menebas dengan pedang mereka, pasukan khusus ini dilaporkan menghancurkan delapan belas senjata artileri, membakar tempat penimbunan amunisi dan merusak beberapa kendaraan lapis baja sebelum mundur saat fajar. Berusaha untuk mengambil keuntungan dari kekacauan musuh di garis belakang, pasukan utama China melakukan serangan frontal yang pada akhirnya tidak berhasil melawan posisi tentara Jepang. Setelah menghancurkan sebanyak yang mereka bisa, para penyusup China menghilang ke dalam kabut dini hari saat tentara Jepang yang disiplin mengatasi keterkejutan awal mereka dan korban di pihak China mulai meningkat. Meskipun secara strategis tidak signifikan, serangan yang berani itu memukul moral orang-orang Jepang yang terlalu percaya diri. Setelahnya, Muto dengan enggan membatalkan serangannya ke Xifengkou. Di sisi lain atas aksinya Korps ke-29 mendapatkan ketenaran abadi dalam sejarah militer China. 

Ilustrasi pasukan China melakukan serangan balasan pada posisi tentara Jepang. Unit ini dipimpin oleh pendekar pedang dan ahli bela diri terbaiknya, dua pemburu lokal memandu Batalyon Pedang Lebar dan dua brigade infanteri menyusuri jalur penebang kayu menyusup ke posisi di belakang garis pertahanan Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

PERTAHANAN ALOT

Pada akhir bulan Maret dan awal April 1933, Jepang melancarkan serangan penyelidikan ke Luowenyu, sekitar 35 mil (56,3 km) di timur laut Xifengkou, namun Korps ke-29 tetap bertahan. Pada saat yang sama, pertempuran sengit berkecamuk di jalur lain di sepanjang Tembok Besar di Rehe-Hebei, dan hasil yang didapat oleh pihak China sering kali kurang menguntungkan. Pasukan China di Xifengkou kemudian akan melancarkan beberapa serangan malam lagi dan menangkis dua puluh serangan terhadap benteng batu kuno yang mereka pertahankan. Setelah berpindah tangan tiga kali, Lengkou-di sisi timur Xifengkou-akhirnya jatuh ke tangan Divisi ke-6 tentara Kwantung pada tanggal 11 April. Segera setelah Jepang mencapai terobosan yang signifikan itu, seluruh pertahanan China di sepanjang Tembok Besar mulai runtuh. Memanfaatkan keberhasilannya, Divisi ke-6 bergerak lebih jauh ke selatan menuju Qian’an, mengancam untuk mengepung posisi China di Xifengkou dan Jielingkou. Pada tanggal 13 April, Jepang memerintahkan pasukan pertahanan di dua tempat tersebut untuk mundur, dan pada saat itu Korps ke-29, yang awalnya berkekuatan 15.000 orang, telah menderita lebih dari 5.000 korban. Di Gubeikou, Korps ke-17 Tentara Pusat China, yang telah berbaris dari China selatan, bertempur dalam pertempuran dengan cara yang lebih modern namun tidak kalah ganasnya melawan ujung tombak Divisi ke-8 tentara Kwantung. Meskipun tentara China kehilangan benteng pertahanan di Gubeikou pada tanggal 12 Maret, mereka berhasil membuat pertahanan elastis yang sukses untuk mencegah Jepang mengeksploitasi terobosan mereka. Korps ke-17 juga melakukan sejumlah serangan malam dan serangan balasan yang serupa dengan yang dilakukan oleh Korps ke-29, namun menggunakan pistol mitraliur Bergmann MP 18 yang dipasok dari Jerman, bukan pedang dengan baja dingin.

Tentara China dengan pistol mitraliur Bergmann MP 18. (Sumber: https://georgy-konstantinovich-zhukov.tumblr.com/)
Pasukan Jepang di Pertempuran Rehe. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pasukan infanteri Jepang meneriakkan “banzai!” untuk Kaisar mereka di atas Tembok Besar China pada 10 Maret 1933. Pasukan Jepang telah menyerbu gerbang terpenting antara Jehol dan Peking selama peristiwa yang mengarah ke Perang China-Jepang Kedua, 1937-45. (Sumber: https://www.flickr.com/)

Tindakan defensif mobile yang berkelanjutan dan serangan malam yang kerap dilakukan tentara China secara efektif membuat pasukan Jepang tertahan di sepanjang celah selama sebulan. Namun, pasukan infanteri Jepang gigih dan bersedia melakukan pertempuran jarak dekat dengan bayonet. Lebih penting lagi, mereka memiliki dukungan udara, lapis baja, dan artileri, sementara pasukan China tidak. Garis pertahanan Tembok Besar mulai runtuh pada awal bulan April. Pada tanggal 11 April, Shaidan Keenam menerobos celah Lengkou dan mulai maju menuju Qian’an, memotong jalur pasokan unit China yang mempertahankan celah tetangganya. Satu per satu korps pertahanan China dipukul mundur, dimana sebagian besar menderita sekitar 33 persen korban. Pada tanggal 15 Mei, Korps ke-17 telah menderita lebih dari 4.000 korban dalam pertempuran gerak mundur ke arah Miyun dan harus digantikan oleh Korps ke-26 Angkatan Darat Pusat yang baru saja tiba. Pada saat itu, pesawat pengebom Jepang sudah berputar-putar di atas Beijing dan Tianjin. Pada tanggal 20 Mei, garnisun China terakhir di Tembok Besar terpaksa mundur, membiarkan jalan menuju Beijing dan Tianjin terbuka. Meskipun Tentara Revolusi Nasional (NRA) menderita kekalahan pada akhirnya, beberapa unit individu NRA seperti peleton pimpinan He Zhuguo berhasil menahan tentara Jepang yang lebih siap hingga tiga hari sebelum ditaklukkan. Beberapa Divisi NRA juga berhasil memenangkan kemenangan kecil seperti di Xifengkou dan Gubeikou dengan menggunakan benteng untuk memindahkan tentara dari satu sektor ke sektor lain di kompleks Tembok Besar, seperti tentara dari dinasti Ming sebelum mereka.

AKHIR PERLAWANAN

Setelah meramalkan runtuhnya pertahanan Tembok Besar, Chiang dengan cepat mengumpulkan kembali pasukannya untuk melakukan pertahanan terakhir di Beijing. Pada akhir bulan Mei, Chiang juga tampaknya bersedia untuk akhirnya melangkah maju untuk melindungi kota metropolis utaranya, dengan memberikan satu brigade kavaleri, dua resimen artileri independen, dan 11 divisi infanteri tambahan dari Angkatan Darat Pusat, termasuk Divisi ke-88 yang dilatih dan dilengkapi dengan peralatan Jerman. Kemudian pertempuran berhenti. Dengan Rehe dan Hebei utara berada di tangan Jepang, tentara Kwantung telah mencapai tujuannya untuk mengamankan perbatasan selatan Manchukuo. Menghadapi tekanan yang semakin meningkat baik dari komunitas internasional maupun politisi anti-militer di dalam negeri, Muto akhirnya memutuskan untuk mengakhiri invasi besar-besarannya, menghentikan pasukannya hanya beberapa meter dari tembok kota Beijing. Perwakilan China dan Jepang kemudian bertemu di distrik Tanggu di Tianjin mulai tanggal 22 Mei 1933 dalam upaya untuk mengakhiri perang yang tidak diumumkan antara China dan Jepang. Ketentuan gencatan senjata yang diusulkan Jepang, yang kemudian dikenal sebagai Gencatan Senjata Tanggu, tentu saja tidak menguntungkan pihak China, tetapi Chiang tetap setuju. Jepang menuntut agar zona demiliterisasi didirikan pada 100 kilometer selatan Tembok Besar, dan Jepang diberikan kepemilikan atas Tembok Besar itu sendiri. Juga, Jepang menuntut agar unit Jepang diizinkan untuk berpatroli di zona demiliterisasi, dengan diizinkan menggunakan pesawat pengintai atau unit darat untuk memastikan bahwa pihak China mematuhi kesepakatan. Selain itu, pemerintah China dipaksa untuk mengakui kemerdekaan de facto Manchukuo dan hilangnya Rehe. Pemerintah China menyetujui semua tuntutan Jepang dan menandatangani dokumen tersebut pada tanggal 31 Mei 1933. Hal ini kemudian akan menjadi awal dari Insiden Jembatan Marco Polo pada bulan Juli 1937 dan Perang China-Jepang Kedua antara tahun 1937-1945. Dalam jangka pendek, aksi defensif oleh pasukan China yang kekurangan perlengkapan di sepanjang Tembok Besar mampu memberi Republik China cukup waktu untuk mencegah serangan ke Beijing. Namun, karena mereka kehilangan kendali atas tembok itu sendiri, dataran timur laut China dibiarkan terbuka terhadap serangan. Sementara itu, ketika “Insiden Rehe” mencapai ‘kesimpulan’ sementara, perdamaian semu kembali terjadi.

Pada tanggal 12 Maret 1933, tentara Jepang merebut Kastil Gubeikou di Tembok Besar yang membuka jalan menuju Dataran China Utara. (Sumber: https://www.historynet.com/)
Delegasi Jepang dan China dalam perundingan di Tanggu. Apa yang kemudian dikenal sebagai Gencatan Senjata Tanggu, tentu saja tidak menguntungkan pihak China, tetapi Chiang tetap setuju. Jepang menuntut agar zona demiliterisasi didirikan pada 100 kilometer selatan Tembok Besar, dan Jepang diberikan kepemilikan atas Tembok Besar itu sendiri. Juga, Jepang menuntut agar unit Jepang diizinkan untuk berpatroli di zona demiliterisasi, dengan diizinkan menggunakan pesawat pengintai atau unit darat untuk memastikan bahwa pihak China mematuhi kesepakatan. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Ketika Jepang melancarkan kembali invasinya ke China pada tahun 1937—disebabkan oleh hilangnya seorang prajurit Jepang dalam waktu singkat dalam insiden Jembatan Marco Polo—Beijing akan jatuh hanya dalam waktu dua minggu, diikuti oleh Shanghai dan ibu kota Nasionalis Nanjing dalam empat bulan berikutnya. Pertempuran Rehe tahun 1933 merupakan peristiwa yang khas pada awal abad ke-20 di Asia, di mana westernisasi skala penuh secara perlahan tapi pasti menggantikan cara hidup tradisional. Sama seperti hal lain dari masa perubahan revolusioner yang penuh gejolak itu, militer – untuk sesaat – juga mengalami koeksistensi yang goyah antara cara yang lama dan yang baru. Ketika pasukan China menyiapkan senapan mesin mereka di balik benteng batu, dan tentara Jepang menggunakan tangga pengepungan dari bambu dan pesawat terbang, pemandangan anakronis yang begitu nyata ini merupakan hal yang unik di antara medan perang di masa Perang Dunia II. Dalam suasana yang fantastis inilah pertempuran besar terakhir di Tembok Besar terjadi, yang hampir tidak terlihat oleh seluruh dunia. Tembok Besar sendiri sebenarnya terbukti cukup efektif untuk sebuah pertahanan yang dibangun enam abad sebelumnya, dan tentara China menunjukkan keberanian dan kemampuan beradaptasi dalam menggunakan senjata kuno yang mereka miliki. Tetapi pertahanan statis dan keberanian belaka tidak dapat bertahan di era baru peperangan mobile yang akan segera mendominasi dunia.

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

LAST BATTLE ON THE GREAT WALL By JIAXIN DU; 10/27/2016

This Is How Imperial Japan Seized the Great Wall of China by Sébastien Roblin

https://nationalinterest.org/blog/buzz/how-imperial-japan-seized-great-wall-china-91386?amp

First Battle of Hebei 1 Jan 1933 – 22 May 1933; Contributor: C. Peter Chen

https://m.ww2db.com/battle_spec.php?battle_id=169

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Rehe

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Defense_of_the_Great_Wall

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Tang_Yulin

China’s Wars: Rousing the Dragon 1894-1949 Book by Philip Jowett, 2013; p 195-196

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *