Perang Vietnam

Kisah Pararel Dua Prajurit Vietnam Selatan Part I: Terseret Perang

Lahir masing-masing di tahun 1937 dan 1942, Pham Van Dinh dan Tran Ngoc Hue adalah anak-anak yang lahir di tengah badai yang dihembuskan oleh Ho Chi Minh dan hidup di era yang ditentukan oleh perang dan ketidakjelasan. Dibesarkan di jantung Vietnam, dekat ibu kota Vietnam kuno di Hue, Dinh dan Hue memiliki banyak kemiripan. Sebagai anak dari keluarga dengan tradisi militer yang sejarahnya dapat ditarik dari masa era Kekaisaran Vietnam, kedua anak muda ini masuk ke dalam kehidupan militer dan terlibat aktif dalam konflik yang menentukan generasinya. Kejadian-kejadian yang membawa Dinh dan Hue kedalam sejarah, berbeda dengan jalan yang ditempuh oleh Ho dan pendukungnya, yakni dengan mendukung kelompok nasionalis non komunis dan berperang untuk mempertahankan Vietnam Selatan. Di tengah bangsa dimana nilai-nilai konfusianisme mengenai keluarga dan kehormatan menjadi yang utama, Dinh dan Hue mendukung Vietnam Selatan dengan alasan yang umum dipakai orang-orang Vietnam, yakni mengikuti jejak dari ayah mereka.

Prajurit Angkatan Darat Republik Vietnam pada tahun 1968. Banyak pemuda bergabung dengan militer Vietnam Selatan karena alasan keluarga dan tradisi. (Sumber: https://www.neh.gov/)

LATAR BELAKANG TOKOH

Phan Van Dinh dilahirkan di desa Phu Cham, provinsi Thua Thien, dekat kota Hue, Vietnam Tengah pada tanggal 2 Februari 1937. Ayah Dinh, Pham Van Vinh, dan ibunya, Cong Ton Nu Thin Nhan, beragama Katholik, agama yang normalnya ditentang oleh orang-orang komunis. Di negeri yang menjunjung para leluhur dan memiliki ikatan erat dengan tanah airnya, ketika Vietnam terbagi dua, puluhan ribu orang-orang Katholik, dalam tindakan yang luar biasa, meninggalkan kampung halamannya di utara menuju ke Vietnam Selatan untuk bisa bebas dari pemerintah komunis yang berkuasa di utara. Orang-orang Katholik ini dan sesamanya di selatan kemudian menjadi pilar utama mendukung pemerintah Vietnam Selatan, yang anti komunis. Vinh sendiri adalah sepupu dari Ngo Dinh Diem, presiden Vietnam Selatan, sedangkan Nhan masih memiliki hubungan keluarga dengan Kaisar terakhir Vietnam, Bao Dai. Vinh juga tercatat menjadi komandan unit musik dari Divisi ke-1 tentara Vietnam Selatan (ARVN) di era pemerintahan Diem dan setelahnya. Hubungan yang kompleks ini memastikan Phan Van Dinh menjadi pendukung setia dari pemerintah Vietnam Selatan. Meski demikian, dalam hal kesetiaan diantara keluarga di Vietnam setelah Perang Dunia II tidaklah sederhana. Pada tahun 1945, kakak tertua Vinh memilih bergabung Vietminh melawan Prancis, dan tetap loyal pada Vietminh hingga kematiannya, beberapa saat setelah kemenangan di Dien Bien Phu tahun 1954. Perang Vietnam pada dasarnya adalah konflik yang rumit dibanding yang banyak diceritakan mayoritas sejarawan Amerika. Ini pada dasarnya adalah perang saudara, yang membagi dan mengadu antar anggota keluarga, bahkan pada keluarga yang tampaknya kuat mendukung Vietnam Selatan. Pada usia 8 tahun Dinh disekolahkan pada Pellerin School yang prestisius dan dididik menurut kurikulum ala Prancis, yang kemudian akan mendorong sudut pandang nasionalis non komunisnya. Di sisi lain, meskipun Dinh tidak sekaya teman-temannya, namun dia sadar bahwa dengan memiliki akses pada pendidikan yang baik seperti dirinya, hal ini telah menempatkan dia pada strata kelas atas masyarakat Vietnam. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya Dinh masuk kedalam Sekolah Perwira Cadangan Thu Duc di luar kota Saigon dan mengejar kariernya sebagai perwira tempur unit infanteri.

Kaisar Bao Dai. Meski dikenal sebagai Kaisar lemah dan boneka Prancis, namun bagai sebagian rakyat Vietnam masih menghormati Bo Dai sebagai pewaris sah dari Dinasti Nguyen. Hal ini turut mempengaruhi loyalitas mereka kepada pemerintah. (Sumber: http://madmonarchist.blogspot.com/)
Vietnam adalah negeri yang dipengaruhi oleh konsep konfusianisme yang kuat dan menjunjung para leluhur, keluarga serta memiliki ikatan erat dengan tanah airnya. (Sumber: https://saigoneer.com/)
Misa hari Minggu di gereja katolik Ninhbinh, Vietnam Utara, 1969. Mayoritas umat Katholik Vietnam ada di wilayah Vietnam Utara sebelum pemisahan kedua Vietnam. (Sumber: http://marcriboud.com/)

Sementara itu, Tran Ngoc Hue lahir di kota Hue pada tanggal 4 januari 1942. Keluarga Tran telah lama mendukung Kaisar Nguyen dari Vietnam dan pindah ke wilayah selatan saat kekaisaran itu melakukan ekspansi ratusan tahun sebelum Hue lahir. Keluarganya memiliki jejak panjang membela bangsa Vietnam. Dibesarkan di tengah kisah-kisah kepahlawanan keluarganya, Hue dipengaruhi oleh patriotisme leluhurnya, termasuk kakek buyutnya Jenderal Nguyen Tri Phuong, pahlawan terkenal Vietnam yang dengan gagah berani melawan upaya penjajah dan memilih bunuh diri di tahun 1873 saat kota Hanoi jatuh ke tangan Prancis. Paman Hue, Tran Huu Dieu, adalah perwira terkemuka di rezim Kaisar Bao Dai sebelum tahun 1945, sementara beberapa sepupu Hue bertugas dalam Angkatan Bersenjata Vietnam (VNA) dan kemudian ARVN. Yang terutama, ayah Hue, Tran Huu Chuong, tetap mempertahankan tradisi keluarganya dan bertugas sebagai perwira yunior di VNA. Saat Vietnam terbagi, Chuong memilih melawan kolonialisme dan komunisme dengan mendukung Vietnam Selatan. Chuong berharap adanya penyatuan Vietnam dibawah pemerintahan non komunis, sebuah semangat yang nantinya menjadi pendorong bagi Tran Ngoc Hue muda. Ibu Hue adalah seorang Katholik, sementara ayahnya beragama Budha. Anak-anak mereka kemudian dibesarkan sebagai umat Budha seperti layaknya mayoritas umat beragama di Vietnam. Sementara banyak orang Budha Vietnam khawatir akan dominasi komunis, mereka tidak mendapat persekusi seperti yang dialami orang-orang Katholik. Bagi sebagian umat Budha Vietnam, mereka menempatkan dirinya di pihak yang netral. 

Nguyen Tri Phuong (1800-1873) adalah seorang jenderal/komandan besar di bawah dinasti Nguyễn. Phuong adalah kakek buyut dari Tran Ngoc Hue. Dibesarkan di tengah kisah-kisah kepahlawanan keluarganya, Hue dipengaruhi oleh patriotisme leluhurnya. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Budha adalah agama mayoritas di Vietnam. Sementara banyak orang Budha Vietnam khawatir akan dominasi komunis, mereka tidak mendapat persekusi seperti yang dialami orang-orang Katholik. Bagi sebagian umat Budha Vietnam, mereka menempatkan dirinya di pihak yang netral. (Sumber: https://www.vietnamfulldisclosure.org/)
Prajurit dari divisi ke-5, Angkatan Darat Kekaisaran Jepang, menyerang Indochina-Prancis di Đồng Đăng, 1940. Invasi Jepang membuat situasi tidak menentu bagi sebagian rakyat Vietnam, yang berpuluh tahun dijajah Prancis. (Sumber: https://www.pacificatrocities.org/)

Keluarga Tran Ngoc Hue tetap ada di kota Hue sampai periode kacau menjelang pecahnya Perang Dunia II. Pendudukan Jepang atas kota itu dan situasi tidak menentu yang menyusul kemudian, memaksa keluarga Tran mengungsi ke desa leluhurnya di Ke Mon, 20 km timur laut. Sebagian besar keluarga Hue tetap disitu, hingga 10 tahun kemudian. Chuong, lalu bergabung dengan unit VNA dan ambil bagian dalam memerangi Vietminh. Situasi sulit dialami Hue muda, dengan tinggal di “wilayah musuh” dan dalam kondisi genting sementara ayahnya pergi bertempur di konflik yang tiada akhir. Selama perang, dua peristiwa memberikan Hue motivasi kuat bagi karirnya nanti di militer Vietnam Selatan. Pada tahun 1950, Hue yang masih berusia 8 tahun menyaksikan tentara Vietnam (seperti ayahnya) disergap oleh Vietminh. Karena kalah kuat, mereka menyerah. Hue kemudian melihat gerilyawan Vietminh mengubur hidup-hidup tentara Vietnam yang malang itu, orang-orang komunis bahkan enggan membuang-buang peluru untuk membunuh mereka. Itu adalah aksi barbar yang tidak akan dilupakan Hue. Kemudian sebagai pembalasan, tentara Prancis membakar sebagian rumah-rumah di desa Hue tinggal, sebagai pengingat untuk jangan sekali-kali mendukung Vietminh. Lebih lanjut di waktu yang sama, dua tentara Prancis, mengambil salah satu sepupu Hue dan memperkosanya. Kedua peristiwa ini membuat Hue membenci baik Vietminh maupun para penjajah Prancis. Keduanya jahat dan harus dilawan. Hanya dengan mendukung tentara Vietnam, seperti ayahnya, hal itu dapat dilakukan. Di sini, baik Dinh dan Hue datang mendukung Vietnam Selatan secara natural, namun Tran Ngoc Hue didorong lebih kuat untuk mendedikasikan hidupnya pada kelompok Nasionalis Vietnam dan bertempur bagi negara yang nantinya dikenal sebagai Vietnam Selatan. Tidak lama kemudian Hue bersekolah di daerah Vung Tau, lebih jauh ke selatan. Didasarkan pada sekolah model Prancis, Truong Thieu Sinh Quan, adalah sekolah yang didedikasikan untuk putra-putra perwira dan prajurit ARVN. Sekolah ini singkatnya didirikan untuk menggodok calon-calon pemimpin militer di masa depan. Sekolah ini tidak hanya mengajarkan pendidikan dasar ala Prancis tetapi juga pengetahuan militer dengan penekanan pada patriotisme terhadap Vietnam Selatan yang kuat. Di sini Hue menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin alami bagi bangsanya dan bahwa ARVN adalah adalah sarana bagi Vietnam untuk mencapai perdamaian dan reunifikasi. Hue lalu melanjutkan pendidikannya di Akademi Militer Nasional Vietnam di Da Lat. 

Tentara Viet Minh selama pertemuan di akhir tahun 1950 atau awal 1951. pistol mitraliur MP-40, Thompson dan senapan mesin ringan BAR terlihat. Meski merupakan pejuang kemerdekaan, namun Viet Minh juga tercatat melakukan berbagai kekejaman selama perang. (Sumber: https://twitter.com/)
Pasukan Prancis di Indochina juga tidak kalah buruknya, mereka kerap melakukan kekejaman terhadap penduduk sipil Vietnam. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Tran Ngoc Hue yang berusia 13 tahun (kedua dari kiri) di Truong Thieu Sinh Quan, sekolah yang didedikasikan untuk putra-putra perwira dan prajurit ARVN. Sekolah ini singkatnya didirikan untuk menggodok calon-calon pemimpin militer di masa depan. (Sumber: https://www.perlego.com/)

Pendapat populer di dunia menyatakan bahwa Ho Chi Minh dan pengikut-pengikutnya adalah “ahli waris sah” dari nasionalisme bangsa Vietnam. Di sisi lain pemerintah Vietnam Selatan dipandang semata sebagai pemerintahan diktator korup bentukan Amerika. Pemimpin Vietnam Selatan dan perwira-perwira militernya, sebagian besar beragama Katholik dipandang hanya ingin melakukan balas dendam kepada orang-orang komunis dan mendapatkan keuntungan ekonomi dengan mendukung rezim negara itu. Orang-orang ini bukanlah pemimpin sesungguhnya, hanya mementingkan diri sendiri, tamak, dan tidak heroik. Mereka memimpin ARVN dengan buruk dan tidak memberi apapun bagi para prajuritnya, selain kematian yang tidak berarti. Dalam berbagai tudingan negatif ini, Pham Van Dinh dan Tran Ngoc Hue jelas merupakan pengecualian. Mereka adalah yang terbaik diantara yang terbaik. Keduanya juga menunjukkan bahwa konflik di Vietnam jauh lebih kompleks dari pandangan banyak orang, dimana Amerika semata gagal di Vietnam karena membela sekutunya yang tidak kompeten. Di samping itu semangat nasionalisme non komunis jauh lebih mengakar dibanding Vietminh. Meski orang-orang komunis memiliki organisasi terbaik diantara kelompok nasionalis, mereka bukanlah representasi dari semangat patriotisme yang dipegang oleh rakyat Vietnam. Senantiasa ada patriot Vietnam yang tidak mengadopsi ideologi komunis. Dalam kasus Dinh dan Hue, mereka dimotivasi oleh latar belakang yang kompleks yang berkaitan dengan sejarah dan budaya Vietnam, khususnya konsep penting mengenai keluarga dan tugas negara.

VNA & ARVN

Baik Dinh dan Hue bergabung dalam ARVN yang memiliki warisan “tidak menguntungkan” dari VNA yang lahir di tahun 1950. Sangat sedikit tulisan yang membahas mengenai ARVN, apalagi VNA yang berumur pendek, tapi banyak pengamat yang berpendapat bahwa keduanya tidak beruntung sedari awal. Pandangan tradisional melihat VNA sebagai warisan pemerintah kolonial Prancis yang dibenci rakyat Vietnam dan faktanya mereka mengabdi pada Kaisar yang dinilai tidak lebih sebagai boneke Prancis, dan sebagai penggantinya ARVN selalu kekurangan dukungan publik. Bangsa Vietnam dengan “tradisi” panjang melawan penjajah asing, melihat baik VNA maupun ARVN sebagai kepanjangan pihak asing untuk mengontrol Vietnam, yang dengan sendirinya membuat keduanya tidak populer. Meski demikian jutaan rakyat Vietnam memilih untuk mendukung rezim Kaisar Bao Dai. Entah karena didorong oleh faktor agama, anti komunis, melestarikan nilai-nilai tradisional, atau ketamakan, banyak orang memilih Bao Dai sebagai simbol sikap tidak memihak kepada Prancis ataupun komunis. Orang-orang ini percaya bahwa pilihan ini lebih patriotik dan lebih bercorak Vietnam, dengan memihak Kaisar sendiri dibanding mendukung Ho Chi Minh dan pihak asing serta konsep Marxisme asal Eropa. Dengan latar belakang ini, menjadi tugas pemerintah Vietnam Selatan dan Amerika sebagai pendukungnya untuk membentuk sistem politik dan militer yang bisa memupuk semangat tempur khas Vietnam yang sama ditunjukkan oleh Vietminh dan nasionalisme bangsa Vietnam dalam melawan China selama hampir seribu tahun.

Seorang penjaga Vietnam yang tergabung dalam Komando Sekutu Prancis, di posnya di pangkalan militer selama Perang Indo-Cina pertama. Dibawah Prancis, sebagai bagian dari upaya untuk meneruskan kontrol militernya, tidak pernah mempromosikan personel Vietnam diatas pangkat perwira yunior. (Sumber: https://www.magnumphotos.com/)
Prajurit Tentara Nasional Vietnam mengiringi peti jenazah Jenderal Trình Minh Thế selama prosesi pemakamannya di Saigon. Diatas kertas VNA terdiri dari 150.000 personel saat berakhirnya kekuasaan Prancis, tapi banyak batalionnya kekurangan orang, karena desersi dan pembelotan ke Vietminh. (Sumber: https://juleswings.wordpress.com/)

Sayangnya sistem dan problem di lapangan membelit VNA sedari awal pembentukannya. Dibawah Prancis, sebagai bagian dari upaya untuk meneruskan kontrol militernya, tidak pernah mempromosikan personel Vietnam diatas pangkat perwira yunior. Hal ini kemudian mengakibatkan kurangnya jumlah perwira Vietnam di VNA untuk menduduki posisi staff komando di level diatas satuan setingkat kompi. Setelah VNA bertransformasi menjadi ARVN saat berdirinya Vietnam Selatan, jumlah personelnya terus berkembang, dan kurangnya perwira menjadi semakin parah. Sebagai tambahan, karena perwira VNA berasal dari unit kolonial “pribumi”, mereka melekat erat pada pemerintah kolonial dan amat berorientasi Prancis, yang lalu membentuk kelompok eksklusif. Saat Vietnam Selatan, mereka menyadari nilai penting mereka dan berupaya mengembangkan kekuasaannya di negara yang baru ini. Kekuatan politik yang dibentuk oleh para perwira didikan Prancis ini, dan politisasi militer Vietnam Selatan, yang terus berkembang setelah berdirinya negara itu, kemudian menjadi salah satu masalah utama yang dihadapi Vietnam Selatan. Saat Prancis menyerah di Dien Bien Phu tahun 1954, VNA hanya memiliki segelintir jenderal, tanpa unit artileri, tanpa kendaraan lapis baja berat, tanpa kemampuan logistik, dan hanya ada sedikit perwira Vietnam diatas pangkat letnan. Diatas kertas VNA terdiri dari 150.000 personel saat berakhirnya kekuasaan Prancis, tapi banyak batalionnya kekurangan orang, karena desersi dan pembelotan ke Vietminh. Runtuhnya kemampuan tempur VNA setelah mundurnya Prancis mengikuti perjanjian Jenewa tidaklah mengherankan.

MASUKNYA AMERIKA

Menjelang kegagalan Prancis di Vietnam, Amerika melibatkan diri dalam upaya untuk membendung ekspansi komunis. Dukungan Amerika kemudian berwujud dalam pembentukan kekuatan militer baru, yakni Angkatan Bersenjata Republik Vietnam. Tugas untuk menciptakan kekuatan militer yang mumpuni dari sisa-sisa VNA yang lemah bukanlah tugas yang mudah, tetapi opsi ini adalah alternatif yang lebih baik dibandingkan dengan mengirimkan pasukan darat Amerika ke Vietnam. Tugas berat ini jatuh pada 342 orang Millitary Assistance and Advisory Group, Vietnam (MAAG). Dimulai di tahun 1955, MAAG dipimpin oleh Letnan Jenderal John O’Daniel dan kemudian Letnan Jenderal Samuel William. Dengan tergesa-gesa karena perang nampaknya akan segera pecah, MAAG mendasarkan pembentukan ARVN berdasarkan pengalaman dalam Perang Korea dan mendukung persiapan unit tentara konvensional guna menghadapi ancaman invasi Vietnam Utara. Kepemimpinan militer Vietnam setuju dengan desain MAAG, yang berlawanan dengan kondisi riil di Vietnam Selatan, yang lebih mungkin menghadapi ancaman pemberontakan dibanding invasi, dan ARVN seharusnya dibangun sebagai kekuatan kecil yang memiliki kemampuan mobilitas tinggi dan bisa beradaptasi dengan sistem budaya Vietnam. Dalam ingatannya selama periode itu, jenderal Tran Van Don dibuat frustasi, karena saran yang terakhir diabaikan. William kemudian segera membentuk tujuh divisi konvensional, yang tugasnya adalah untuk bertahan menghadapi invasi Vietnam Utara cukup lama sambil menanti datangnya bantuan Amerika, seperti pada Perang Korea. Diem sendiri menyadari bahwa pembentukan tentara ala Amerika bertentangan dengan visi para jenderal-jenderalnya, namun kebutuhannya akan dukungan Amerika atas rezimnya, mendesaknya untuk mengesampingkan keberatan para jenderalnya. Pembentukan tentara ala Amerika sendiri dengan daya tembak yang besar membutuhkan kemampuan daya dukungan logistik yang besar pula, yang sayangnya tidak dimiliki oleh Vietnam Selatan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab ketergantungan besar ARVN terhadap militer Amerika. 

Mayor Jenderal Tran Van Don, Kepala Staf Angkatan Darat Vietnam. Masuknya Amerika kemudian mendominasi perkembangan militer Vietnam Selatan. (Sumber: https://www.gettyimages.ae/)
Pasukan ARVN dan kendaraan pengangkut personel lapis baja M-113. Amerika mendasarkan pembentukan ARVN berdasarkan pengalaman dalam Perang Korea dan mendukung persiapan unit tentara konvensional guna menghadapi ancaman invasi Vietnam Utara. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Para jenderal ARVN dalam parade Hari Angkatan Bersenjata Vietnam Selatan tahun 1964. Kiri adalah Letjen Nguyen Chanh Thi dan Mayjen Nguyen Cao Ky di kanan. para jenderal ARVN menyadari nilai penting mereka dalam pemerintahan dan dengan segera mencari keuntungan dengan memanfaatkan kekuatan dan pengaruhnya. Dengan hanya sedikit loyalitas pada negara, banyak pemimpin militer terjun kedalam permainan politik dibanding mempersiapkan diri berperang menghadapi Vietnam Utara. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Sebagai pemimpin negara, Ngo Dinh Diem sadar bahwa dukungan dari ARVN – tidak peduli bagaimana kemampuan militernya – adalah satu-satunya faktor penting untuk menjaga pemerintahannya tetap berkuasa. Dalam konteks ini, para jenderalnya menyadari nilai penting mereka dalam pemerintahan dan dengan segera mencari keuntungan dengan memanfaatkan kekuatan dan pengaruhnya. Dengan hanya sedikit loyalitas pada negara, banyak pemimpin militer terjun kedalam permainan politik dibanding mempersiapkan diri berperang menghadapi Vietnam Utara. Diem sendiri lebih mementingkan loyalitas dari komandan militernya ketimbang keberanian dan efektifitas tempur mereka. Kepemimpinan militer ARVN terbukti menjadi titik lemah mereka selama perang. Meski demikian masih ada beberapa pemimpin militer didalam ARVN yang sadar akan tugas negaranya, semacam Dinh dan Hue, yang bisa menggabungkan loyalitas dengan nilai-nilai tradisi kepahlawanan bangsa Vietnam.

ARVN DIUJI DALAM PERTEMPURAN

Pada tahun 1960 ARVN sedang ada diambang kegagalan. Mereka dipersiapkan dengan buruk dalam perang yang salah. Para pemimpinnya tidak responsif terhadap permintaan-permintaan Amerika untuk melakukan perubahan. Mereka tidak memiliki kesiapan logistik yang baik, dan yang paling buruk, mereka terikat pada rezim Diem yang korup, brutal, dan tidak efisien, yang hanya melakukan sedikit upaya untuk merangkul berbagai grup, sekte, etnik, strata ekonomi, dan kelompok nasionalis yang membentuk Vietnam Selatan. Awalnya ARVN menunjukkan performa yang agak bagus saat melawan musuh yang lemah, umumnya terdiri dari tentara swasta dan unit militer dari sekte-sekte agama di Vietnam Selatan. Tapi situasi memburuk di tahun 1960, saat Vietnam Utara bermaksud untuk menjungkalkan pemerintahan Diem dan membentuk Front Pembebasan Nasional, yang lebih dikenal sebagai Vietcong. Dengan pemerintah Vietnam Selatan gagal dalam melakukan reformasi agraria, Vietcong cukup mudah dalam melakukan infiltrasi dan merekrut para petani untuk mendukung tujuan mereka. Meskipun ARVN memiliki kekuatan lebih dari dua kali lipat dibanding Vietcong, namun ARVN gagal memperoleh kemenangan yang menentukan.

Pistol mitraliur ringan dan pistol otomatis yang dipegang dua Viet Cong muda. Viet Cong dengan segara menjadi tantangan berat bagi ARVN. (Sumber: https://www.gettyimages.com.au/)
Tentara Vietnam Selatan di sampul majalah Newsweek, Desember 1962. Meskipun ARVN memiliki kekuatan lebih dari dua kali lipat dibanding Vietcong, namun ARVN gagal memperoleh kemenangan yang menentukan. (Sumber: https://humanoidhistory.tumblr.com/)

Saat kampanye teror Vietcong meluas, petinggi Amerika dan Vietnam Selatan, gagal mendapat jawaban mengapa ARVN tidak mampu memadamkan pemberontakan. Menyadari perlunya penggunaan taktik anti gerilya untuk memadamkan pemberontakan, pada tahun 1960, Amerika mengirimkan para penasehat militer ke medan tempur mendampingi unit-unit ARVN. Pada tahun 1965 pada satu titik satu batalion ARVN ditemani oleh sebuah tim penasehat asal Amerika yang terdiri dari 5 orang. Meski ini adalah sebuah langkah maju, orang-orang Amerika dan Vietnam Selatan percaya bahwa mengalahkan gerilya pihak musuh akan mengakhiri pemberontakan. Akan tetapi, taktik gerilya hanyalah salah satu problem, kekuatan utama pemberontak justru lebih pada struktur politiknya. Sampai pemerintah Vietnam Selatan bisa menyelesaikan masalah politik dan menjalankan reformasi ekonomi, yang sekaligus menciptakan pondasi negara serta mendapatkan dukungan dari rakyatnya, solusi militer untuk mengatasi gerilya tidak mungkin dilakukan. 

Letnan Kolonel John Paul Vann dan Jenderal Huynh Van Cao, komandan Divisi Ketujuh ARVN. (Sumber: https://www.flickriver.com/)
Dalam operasi penyelamatan, helikopter UH-1 Iroquois Angkatan Darat AS mengambil UH-1 lain yang jatuh selama pertempuran Ap Bac, barat daya Saigon, Januari 1963. Pertempuran Ap Bac telah membuka “borok” dan kelemahan dari ARVN. (Sumber: https://www.vietnamwar50th.com/)

Bagaimanapun kekuatan ARVN terus berkembang menjadi 219.000 dan menunjukkan performa yang baik pada tahun 1962. Wilayah pengaruh Vietcong terus mengecil. Kepercayaan Amerika terhadap ARVN nampaknya masuk akal, menurut catatan dari pihak Vietnam Utara, pada bulan-bulan pertama tahun 1963, pemerintah Vietnam Selatan melancarkan 1.500-2.500 operasi per bulan. Tapi kelemahan ARVN terlihat jelas dalam pertempuran Ap Bac di tahun itu juga. Kekuatan ARVN, yang dibimbing oleh penasehat Amerika, Letnan Kolonel John Paul Vann, telah menemukan lokasi dimana terdapat 300 Vietcong yang siap dihancurkan. Unggul dibandingkan lawannya dengan perbandingan lebih dari 5:1 dan memiliki daya tembak yang jauh lebih besar, pasukan ARVN gagal menghancurkan Vietcong yang bertahan dengan baik dan bertempur dengan keras. Karena ketidakefektifan komandannya, serangan ARVN dikoordinasikan dengan buruk dan memungkinkan Vietcong kabur di malam hari. Meskipun pertempuran Ap Bac kemudian diberitakan dengan tidak akurat oleh beberapa media Amerika, namun pertempuran itu dan pertempuran lainnya menunjukkan problem yang melekat pada ARVN.

Bersambung…

Lanjut Part II

Disadur dari:

Vietnam’s Forgotten Army, Heroism And Betrayal In The ARVN by Andrew Wiest, 2008; p 11 – 28

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *