Perang Vietnam

Kisah Pararel Dua Prajurit Vietnam Selatan Part II: ARVN yang Bobrok

Saat itu adalah periode yang menentukan untuk menjadi sosok pemimpin, dan, bahkan ketika mereka menghadapi ujian pertama dalam pertempuran, Dinh dan Hue tenggelam dalam beberapa peristiwa politik di masanya. Dalam beberapa tahun, kekacauan di pemerintahan dan pertentangan di level tertinggi telah mengguncang ARVN hingga ke dasar-dasarnya, meninggalkan nasib Vietnam Selatan ke dalam keraguan. Dalam ketidakstabilan politik dan perubahan kekuasaan, Amerika memilih untuk membuat perang di Vietnam sebagai perangnya Amerika dan mengerahkan pasukan tempurnya ke negeri itu, yang pada akhirnya mengubah sifat konflik yang sudah ada. Dalam empat tahun, pengalaman perang mengajarkan Dinh dan Hue mengenai realitas di Vietnam Selatan, sementara sifat perang gerilya yang melibatkan unit kecil berubah menjadi pertempuran besar dengan semakin meningkatnya jumlah tentara Amerika dan Vietnam Utara. Saat dunia di sekeliling mereka berubah, Dinh dan Hue tetap mempertahankan optimismenya dan percaya bahwa, dengan bantuan sekutu Amerika-nya, Vietnam Selatan akan menjadi pemenang.

Unit Viet Cong dipersenjatai dengan senapan M16 Berthier buatan Prancis. Saat perang di Vietnam bereskalasi, kekacauan di pemerintahan Vietnam Selatan dan pertentangan di level tertinggi telah mengguncang ARVN hingga ke dasar-dasarnya. (Sumber: https://www.thearmorylife.com/)

PELATIHAN

Pada usia 24 tahun, Dinh memulai pendidikan militernya dan menjadi bagian dari “kelas 9” Sekolah Perwira Cadangan Thu Duc. Sekolah ini, yang didasarkan pada model Sekolah Kandidat Perwira Angkatan Darat Amerika, menghasilkan 65 persen perwira yang bertugas di ARVN. Dinh dan kandidat perwira lainnya melewati 9 bulan pelatihan dan mendapat penugasan sebagai perwira cadangan di ARVN pada pangkat satu level dibawah Letnan Dua. Dilatih oleh perwira Vietnam dan penasehat asal Amerika, Dinh dengan cepat menguasai seni komando unit kecil, dan lulus dalam jajaran 10 terbaik di kelasnya. Dinh menyadari bahwa menjadi perwira yang baik, lebih dari sekedar memahami taktik. Itu juga berarti harus mendapatkan respek dari anak buah dan memimpin lewat teladan yang diberikan – sebuah pelajaran yang kurang dipelajari di jajaran ARVN. Setelah lulus, Dinh menghabiskan waktu sebentar sebagai komandan pleton mortir di Resimen ke-3 dari Divisi ke-1 ARVN. Pengalaman tempur pertama Dinh adalah menghadapi perang gerilya di masa-masa awal Perang Vietnam dan sebagian sektor penugasan Dinh ada di sebelah selatan zona demiliterisasi (DMZ), yang nantinya akan dikenal sebagai salah satu daerah paling berbahaya di Vietnam Selatan. Waktu itu situasi disana relatif tenang, sehingga dalam penugasan pertamanya Dinh tidak menjumpai pertempuran, dan pada bulan Januari 1962 Dinh mengikuti Sekolah Ranger Vietnam Selatan. Program yang menuntut ketahanan fisik itu berlangsung selama 3 bulan dan berfokus pada teknik anti gerilya dan peperangan hutan. Setelah lulus di peringkat ke-5 dalam kelas, Dinh mengikuti latihan tambahan di Sekolah Peperangan Hutan di Malaya, dimana dia belajar teknik anti gerilya ala Inggris.

Lambang Akademi Militer Thủ Đức. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Kandidat perwira berlatih di Akademi Militer Thủ Đức. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Sekolah Perang Hutan di Malaya. (Sumber: http://wingedsoldiers.co.uk/)

Setelah menyelesaikan pelatihan tingkat lanjut, Dinh memperoleh penugasan di Pusat Pelatihan Phu Bai, dimana dia bekerja untuk mengubah peserta latih ARVN menjadi prajurit yang efektif. Akan tetapi, karena menghadapi meningkatnya perang gerilya dan meluasnya perang, ARVN hanya memiliki sedikit waktu untuk melatih tentaranya. Benar saja, para penasehat Amerika kemudian mencatat “buruknya pelatihan, atau yang lebih buruk tidak ada pelatihan sama sekali”, sebagai salah satu kelemahan dari ARVN. Sebagai contoh, pada tahun 1964, 15 batalion ARVN tidak menerima pelatihan formal, dan harus belajar teknik-teknik militer “langsung” dalam pertempuran. Namun lagi-lagi dalam penugasannya di Phu Bai, Dinh menjumpai situasi yang relatif tenang. Di tahun 1962-1963, Dinh tetap di Phu Bai melatih kompi yang terdiri dari sekitar 60an orang, masing-masing dalam periode tiga bulanan mengenai senjata dan kesiapan fisiknya. Sementara itu, bahkan dimasa-masa awal karirnya, Dinh telah menyadari bahwa ARVN lemah, bukan pada kemampuan taktisnya tetapi dalam perang psikologis untuk “merebut hati dan pikiran rakyat”.

Tentara ARVN dalam pelatihan. Buruknya pelatihan, menjadi salah satu kelemahan dari ARVN. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Tran Ngoc Hue saat lulus dari Akademi Militer Nasional Vietnam yang prestisius di Da Lat. (Sumber: Vietnam’s Forgotten Army, Heroism And Betrayal In The ARVN Book)
Tentara ARVN berlari ke helikopter Angkatan Darat AS CH-21C Shawnee. Meski kekuatannya terus bertambah, namun ARVN mengalami masalah dalam hal kepemimpinan dan moral. (Sumber: https://www.thisdayinaviation.com/)

Pada saat Dinh menyelesaikan pelatihannya di Thu Duc, tahun 1961, Tran Ngoc Hue memasuki Akademi Militer Nasional Vietnam yang prestisius di Da Lat. Didirikan Prancis tahun 1950, Akademi Militer itu terus memakai kualifikasi yang sama dan menjadi salah satu institusi militer nasional terbaik di Asia. Kadet sebelum tahun 1965 harus melewati pendidikan ketat selama dua tahun sebelum mendapat pangkat reguler Letnan Dua. Karena prestisius, akademi ini hanya bisa meluluskan dua ratus orang setiap tahunnya, yang jelas tidak bisa memenuhi kebutuhan perwira baru ARVN. Oleh karenanya sekolah perwira cadangan Thu Duc, yang diikuti Dinh, dimana bisa meluluskan beberapa ribu perwira tiap tahunnya, tetaplah krusial. Bisa dimaklumi kemudian muncul rivalitas diantara lulusan kedua institusi ini, dimana lulusan Akademi Militer Nasional kerap merasa lebih superior dibanding lulusan Thu Duc. Hue dikenal bagus dalam hal kepemimpinan dan patriotisme. Didorong oleh kebenciannya terhadap komunisme, Hue, seperti Dinh, belajar untuk menghormati dan menyayangi anak buahnya serta belajar untuk berkorban bagi negerinya yang masih muda. ARVN, dimana Hue bergabung pada tahun 1963, sebagai Letnan Dua, sedang mengalami pemekaran, saat situasi perang berubah. Pada tahun 1960, ARVN memiliki 150.000 personel yang terbagi dalam tujuh divisi infanteri, sebuah brigade Lintas Udara, sebuah unit Ranger berkekuatan 9.000 orang, dan tiga batalion Marinir. Di tahun 1962, kekuatan ARVN meningkat menjadi 219.000 orang, yang dibagi dalam empat korps, sembilan divisi, satu brigade Lintas Udara, satu grup pasukan khusus, tiga resimen terpisah, satu resimen teritorial, delapan puluh enam kompi Ranger, dan sembilan belas batalion terpisah serta unit-unit pendukung terkait. Pasukan milisi (Civil Guard dan Self Defense Corp, kemudian direorganisasi menjadi Regional and Popular Force) menambah sekitar 176.500 orang dalam total kekuatan bersenjata Vietnam Selatan. Sementara itu, meskipun mengalami masalah dalam hal kepemimpinan dan moral, serta pemerintah hanya memiliki kontrol terbatas di sebagian besar wilayah pedalaman Vietnam Selatan, pada tahun 1963, ARVN masih bisa bertahan sendiri menghadapi Vietcong yang semakin kuat.

KEKACAUAN

Setelah Hue menyelesaikan pendidikan di Akademi Militer Nasional dan Dinh bertugas di Phu Bai, kekacauan politik melanda Vietnam Selatan, yang mengganggu upaya perang dan nyaris menghancurkan ARVN. Diem yang memimpin secara diktator, membuat khawatir pendukung Amerika-nya. Sebagai tambahan, beberapa komandan ARVN juga menginginkan kekuasaan yang dipegang Diem. Meskipun di dalam pemerintahan Amerika, termasuk Presiden Kennedy dan Menteri Pertahanan McNamara tetap mendukung Diem, grup lainnya, yang dipimpin oleh Duta Besar Henry Cabot Lodge, semakin khawatir dengan cara memerintah Diem yang mengutamakan kelompok minoritas Katholik dan mengesampingkan mayoritas Budha di negara itu. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan saat pecah konflik terbuka antara kelompok Budha dan pemerintahan. Melihat hal ini adalah kesempatan terbuka, maka pada tanggal 1 November 1963, sekelompok perwira ARVN melancarkan kudeta, yang berujung pada pembunuhan terhadap Diem. Meski Amerika berharap kepemimpinan militer akan bisa menciptakan stabilitas, namun dalam dua tahun berikutnya, Vietnam Selatan terus diganggu oleh perebutan kekuasaan dan upaya kudeta. Kondisi politik yang tidak stabil ini menimbulkan kekhawatiran Amerika, untuk ini Duta besar yang baru, Maxwell Taylor ditunjuk untuk memperbaiki situasi. Di bulan Desember 1964, lagi-lagi pemimpin ARVN mengambil alih pemerintahan. Taylor yang marah kemudian memanggil para petinggi ARVN di kantornya dan memarahi mereka, dengan berkata, ” kita tidak bisa terus mendukung kalian jika kalian melakukan hal-hal seperti ini lagi…kalian paham bahasa Inggris kan? Aku mengatakan dengan jelas kepada kalian saat makan malam bersama Jenderal Westmoreland bahwa Amerika sudah lelah dengan kudeta-kudeta.”

Biksu di Saigon pada tahun 1963 menuntut penggulingan Presiden Republik Vietnam Ngo Dinh Diem. (Sumber: https://tricycle.org/)
Jenazah Ngo Dinh Diem (1901 – 1963), mantan presiden Vietnam Selatan, di dalam kendaraan pengangkut personel lapis baja setelah pembunuhannya dalam kudeta yang didukung CIA yang dipimpin oleh Jenderal Duong Van Minh, Vietnam, 2 November 1963. (Photo by Pictorial Parade/Archive Photos/Getty Images/https://www.gettyimages.in/)
Maxwell D Taylor (1901 – 1987, kiri), Duta Besar AS untuk Vietnam Selatan, bersama pemimpin militer Vietnam Selatan Nguyen Khanh (1927 – 2013) di Saigon (kemudian menjadi Kota Ho Chi Minh), Vietnam, 21 Januari 1965. Meski Amerika berharap kepemimpinan militer akan bisa menciptakan stabilitas setelah kudeta Diem, namun dalam dua tahun berikutnya, Vietnam Selatan terus diganggu oleh perebutan kekuasaan dan upaya kudeta. Kondisi politik yang tidak stabil ini menimbulkan kekhawatiran Amerika, untuk ini Duta besar yang baru, Maxwell Taylor ditunjuk untuk memperbaiki situasi. (Photo by Le-Minh/Pix/Michael Ochs Archives/Getty Images/https://www.gettyimages.es/)

Bagaimanapun upaya Taylor ini masih gagal, instabilitas tetap membelit Vietnam Selatan, dalam dua puluh bulan setelah kematian Diem, di Vietnam Selatan sudah ada sembilan pemerintahan yang berbeda. Setiap pemerintahan membuat pergantian dalam struktur komando di ARVN, dimana loyalitas kepada rezim menjadi hal yang paling utama. Perwira ARVN di level provinsi dan korp kerap kali memiliki otoritas politik dan memerintah layaknya pejabat feodal. Mereka kemudian membentuk klik-klik kecil yang semakin memecah-mecah loyalitas dalam ARVN. Perebutan pengaruh diantara perwira-perwira tinggi, membuat frustasi perwira-perwira muda seperti Hue dan Dinh. Di tengah ketidakstabilan politik menyebabkan moral ARVN terus melemah, dan progres mereka di medan tempur tersendat. Di sisi lain, kekuatan komunis memanfaatkan situasi ini dengan meningkatkan kekuatan mereka dari sekitar 30.000 di bulan November 1963 menjadi 212.000 pada bulan Juli 1965. Saat ARVN berantakan, Vietcong merebut banyak wilayah di pedesaan, dan unit-unit besar komunis bisa bergerak semau mereka. Sebuah dokumen pihak komunis yang disiapkan di bulan Maret 1965 menilai situasi di Vietnam Selatan sebagai berikut: “Keseimbangan kekuatan antara kelompok revolusioner Vietnam Selatan dan pihak musuh berubah dengan cepat menguntungkan kita…sebagian besar kekuatan militer musuh dan paramiliternya di level pedesaan terus melemah.” Dengan didukung kekuatan mereka yang terus bertambah dan berharap bisa menaklukkan rezim Saigon sebelum Amerika melakukan intervensi, Vietcong meluncurkan beberapa serangan di pedesaan dan kota-kota distrik. Ketika melihat perkembangan dimana rezim Saigon sepertinya menuju ke ambang kehancuran, Presiden Lyndon Johnson memutuskan untuk mengerahkan pasukan Amerika ke dalam pertempuran. Sementara itu saat Hue menyadari bahwa komandan-komandan ARVN, penuh dengan kepentingan politik dan hanya punya sedikit loyalitas kepada pemerintah Vietnam Selatan, bagi Dinh, kudeta Diem membawa konsekuensi yang lebih personal. Karena dianggap dekat dengan rezim yang dijatuhkan, Dinh menjalani tahanan rumah di markasnya di Phu Bai, saat pemimpin ARVN yang baru menyelidiki loyalitasnya. Meski pada akhirnya Dinh diperbolehkan bertahan, namun ayahnya dipaksa untuk pensiun karena alasan “usia”. Beberapa saat kemudian Dinh dipindah dari posisinya di unit pelatihan ke kompi ke-3, batalion ke-3, resimen ke-3, dari Divisi ke-1 ARVN. Divisi ke-1 ARVN sendiri tidak lepas dari kekacauan, dimana dalam kurun waktu satu tahun komandan divisi berganti empat kali, sementara Dinh harus mengalami perubahan komandan resimen tiga kali, dan komandan batalion empat kali di waktu yang sama. Pergantian komandan-komandan ini kemudian mempengaruhi moral dan efektifitas dari ARVN di medan tempur.

Pasukan gerilya Viet Cong bergerak melintasi sungai. Saat ARVN berantakan, Vietcong merebut banyak wilayah di pedesaan, dan unit-unit besar komunis bisa bergerak semau mereka. (Sumber: https://www.historytoday.com/)

REALITAS KOMANDO & KEMISKINAN DI KALANGAN ARVN

Selama bulan-bulan pertama tahun 1964, kompi ke-2, batalion ke-3, resimen ke-3 Dinh beroperasi di basis area regional PK-17, yang berada di Highway 1, tujuh belas kilometer sebelah utara kota Hue. Kompi Dinh terlibat dalam misi “cari dan hancurkan”, yang dirancang untuk menghalangi Vietcong mendapatkan akses ke sumber perbekalan dan rekrutan di pedesaan-pedesaan setempat. Area itu relatif tenang dan unit Dinh hanya mengalami sedikit kontak dengan musuh. Meski demikian Dinh menyadari bahwa kondisi komando di ARVN amat terkait dengan moral pasukan. Ketika Dinh berupaya mendapatkan respek dari bawahannya di medan tempur, banyak perwira ARVN yang sedapat mungkin meninggalkan unitnya dan memilih menikmati hidup di kota-kota. Dinh sendiri menghindari kebiasaan korupsi di kalangan ARVN. Meski gaji perwira seperti Dinh di tahun 1964 (sebesar 5.000 piaster per bulan, atau kira-kira setara $ 150), ditambah tunjangan keluarga, terbukti cukup bagi sebagian perwira, namun beberapa perwira yang terlalu terpolitisasi berusaha mencari pendapatan tambahan. Pada level bawah komando, ada dua tipe penyelewengan yang kerap muncul. Yang pertama adalah fakta bahwa setiap prajurit ARVN mendapat tunjangan beras sebanyak 20 kg, tapi banyak perwira mengambil sebagian jatah ini dan mendapat untung dengan menjualnya kembali. Yang kedua, para perwira kerap memelihara “serdadu hantu” dibawah komandonya, yakni serdadu yang sudah desersi atau terbunuh, dengan mengambil uang gaji mereka. Akibatnya para prajurit di beberapa unit tidak mendapat cukup makan, sementara unit lainnya tetap kekurangan personel karena fenomena “serdadu hantu” tadi.

Area Korps ke I ARVN. (Sumber: https://en.citizendium.org/)
Seorang tentara Vietnam Selatan membawa lima anak dengan sepeda motor, di Hue. Sepertiga dari prajurit ARVN harus menanggung kewajiban mencukupi kebutuhan keluarga besarnya, yang berjumlah sepuluh orang atau lebih. Kesukaran dalam memenuhi kewajiban ini, kemudian memaksa para prajurit memilih antara melaksanakan tugas negara atau memenuhi kewajiban tradisional terhadap keluarganya. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Petani Vienam di sawahnya. Kewajiban membantu bersawah keluarga, kemudian menjadi salah satu alasan banyaknya desersi di kalangan ARVN. (Sumber: https://www.ebay.com/)

Pada akhirnya korupsi dalam ARVN berujung dengan melemahkan moral dan loyalitas prajurit pada perwira mereka sendiri. Menurut Letnan Jenderal Dong Van Khuyen: “Rendahnya gaji yang diperparah dengan inflasi membuat rata-rata prajurit menjalani kehidupan yang menyedihkan, memaksa mereka untuk memilih antara norma moral kebenaran (yang berarti kemiskinan dan hidup yang berat bagi istri dan anaknya) dengan korupsi (yang berpengaruh pada keefektifan tempur dan kelangsungan negerinya). Beberapa prajurit terpaksa mengandalkan bantuan orang tuanya, menambah pemasukan sebagai tukang ojek, mengurangi pengeluaran, dan hidup dalam kemiskinan”. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pihak internal ARVN dan CIA kemudian menunjukkan bahwa “gaji prajurit ARVN tidaklah mencukupi”. Dalam situasi ini, pekerjaan sipil terbukti lebih menggiurkan, akibatnya semakin banyak perwira memilih untuk melakukan korupsi. Sementara itu kemiskinan dalam ARVN sedikit banyak berkaitan dengan konsep on dan hieu. Sepertiga dari prajurit ARVN harus menanggung kewajiban mencukupi kebutuhan keluarga besarnya, yang berjumlah sepuluh orang atau lebih. Kesukaran dalam memenuhi kewajiban ini, kemudian memaksa para prajurit memilih antara melaksanakan tugas negara atau memenuhi kewajiban tradisional terhadap keluarganya. Mengenai hal ini, seorang prajurit ARVN, Nguyen Tang menjelaskan: “Tugas utamaku dalam hidup adalah memenuhi kebutuhan keluarga dan menghormati leluhurku. Adalah hal yang sukar untuk meninggalkan desa…bahkan meski dibawah ancaman…untuk bertempur. Aku lebih memilih mati bersama keluargaku di rumah ketimbang meninggalkan dan tidak bisa merawat mereka.” Hasrat untuk pulang ke rumah karena konsep on dan hieu dan kewajiban membantu bersawah, kemudian menjadi salah satu alasan banyaknya desersi di kalangan ARVN.

REALITAS DI MEDAN TEMPUR

Pada bulan Juni 1964, batalion Dinh pindah ke selatan di area operasional Divisi ke-2 ARVN di Tam Ky, provinsi Quang Nam, yang mengakhiri periode “tenang dan damai” dari batalion itu. Vietcong sangat aktif di daerah itu, sehingga mereka dikirimkan untuk membantu Divisi ke-2. Tiga kompi dari batalion ke-3 dengan cepat menjalani kegiatan rutin, yang normalnya terdiri dari 10 hari melakukan operasi penyisiran di desa-desa area antara pesisir pantai dan pegunungan diikuti dengan 10 hari beroperasi di pos komando batalion. Misi-misi ini kerap membawa mereka berjumpa dengan unit Vietcong berkekuatan setara kompi dan pasukan komunis yang menginfiltrasi area pegunungan sekitar. Dalam periode ini, ada dua peristiwa yang melekat di memori Dinh. Di awal bulan Juli, Dinh memperoleh pengalaman berharga pertamanya, ketika unitnya mendapat serangan di area persawahan terbuka saat mendekat ke sebuah desa. Para prajurit ARVN segera maju ke depan, dan musuh dengan cepat mundur. Dinh dan para prajuritnya kemudian menanyai penduduk desa namun mendapat jawaban yang tidak memuaskan. Setelah memeriksa desa itu, Dinh memerintahkan prajuritnya seolah-olah meninggalkan desa, tetapi dengan sembunyi-sembunyi meninggalkan sebuah regu untuk menempati posisi penyergapan. Seperti yang diperkirakan, Vietcong kembali di malam hari, dan anak buah Dinh melakukan penyergapan, mendesak musuh mundur, serta membunuh dua diantaranya. Pemikiran cepat dan jitu dari Dinh telah memenangkan pertempuran hari itu, meski dia juga menghadapi masalah dengan loyalitas penduduk desa. Selama 6 bulan, unit Dinh melakukan misi penyisiran, kadang menjumpai musuh kadang tidak, kadang menemui jebakan atau mendapat tembakan sniper. Mereka mengalami pertempuran lebih dari sepuluh kali, umumnya menghadapi unit yang tidak lebih dari ukuran pleton. Dipersenjatai dengan senjata-senjata tua buatan Amerika seperti senapan karabin M-1 dan senapan otomatis Browning (BAR), para prajurit Batalion ke-3 dan unit induknya bisa bertahan menghadapi Vietcong. Akan tetapi musuh semakin banyak menyusup di area tersebut.

Tentara ARVN di medan tempur. Tentara ARVN di tahun-tahun awal Perang Vietnam kerap dipersenjatai dengan senjata-senjata tua buatan Amerika seperti senapan karabin M-1 dan senapan otomatis Browning (BAR). (Sumber: https://www.militaryimages.net/)
Pasukan ARVN berpatroli di pedesaan. Dalam perang melawan kekuatan komunis, tentara ARVN kerap menghadapi masalah dengan loyalitas penduduk desa. Teror dari Vietcong membuat penduduk desa sukar mempercayai tentara pemerintah. (Sumber: https://www.quora.com/)
Tentara ARVN menangkap seorang gerilyawan komunis Viet Cong yang bersembunyi di rerumputan rawa yang tinggi selama operasi 15 mil selatan Da Nang di provinsi Quang Nam di Vietnam pada tanggal 28 Maret 1965. Lima gerilyawan Viet Cong dilaporkan oleh KIA (tewas) dan 30 orang ditawan dalam operasi tersebut. kebiasaan ARVN, setelah pertempuran berakhir mereka meninggalkan area, yang mana kemudian segera ditempati kembali oleh Vietcong, sembari menuntut balas pada para penduduk yang dianggap membantu pasukan pemerintah. Lewat teror Vietcong menanamkan pengaruhnya di desa-desa memanfaatkan ketiadaan pengaruh ARVN yang permanen. (Sumber: https://www.militaryimages.net/)

Pada tanggal 18 Desember 1964 eskalasi perang yang dikhawatirkan Amerika terus meningkat saat batalion reguler Vietcong yang diperkuat menyerang posisi batalion ke-3, resimen ke-3 di area sekitar 8 km barat Tam Ky. Serangan dilakukan menjelang dini hari, saat kompi Dinh keluar melakukan operasi. Dinh sangat dekat dengan pos komando batalion sehingga bisa mendengar personel sapper Vietcong menembus perimeter pertahanan dan melemparkan tas peledak ke beberapa bunker komando. Selama pertempuran komandan batalion melarikan diri, membiarkan wakilnya memimpin pasukan. Meski demikian para prajurit ARVN bertarung dengan berani dan bisa bertahan serta memukul mundur para penyerang dengan kehilangan 13 prajurit dan membunuh 15 personel musuh. Beberapa jam kemudian, diperingatkan oleh serangan sebelumnya, Dinh dan sekitar 85 prajurit dibawah komandonya dalam kondisi siap saat sebuah kompi Vietcong menyerang. Terlatih dengan baik dan percaya diri, pasukan Dinh bisa memukul mundur musuh dengan kehilangan empat orang tewas dan tiga lainnya terluka. Hari berikutnya, anak buah Dinh menemukan 17 mayat musuh dan banyak jejak darah dimana Vietcong telah memindahkan beberapa prajuritnya yang tewas dan terluka. Dinh telah bertempur keras dan memperoleh kemenangan besar pertamanya, yang menyebabkan dirinya dipromosikan menjadi Letnan. Meski demikian setelah berbulan-bulan bertempur, Dinh menyadari bahwa perang telah dijalankan dengan cara yang salah di level taktis. Dinh memang memenangkan pertempuran, namun seperti kebiasaan ARVN, setelah pertempuran berakhir mereka meninggalkan area, yang mana kemudian segera ditempati kembali oleh Vietcong, sembari menuntut balas pada para penduduk yang dianggap membantu pasukan pemerintah. Lewat teror Vietcong menanamkan pengaruhnya di desa-desa memanfaatkan ketiadaan pengaruh ARVN yang permanen. Ketika pemerintah tidak bisa memberikan keamanan, Vietcong menjanjikan para penduduk desa tanah dan harapan. Dalam situasi ini, dengan ditambah buruknya level komando dan korupsi di ARVN, membuat Vietcong ada diatas angin dalam perang merebut “hati dan pikiran” rakyat di desa-desa Vietnam Selatan.

SENI KOMANDO

Selama periode genting, setelah menyelesaikan pendidikan teknik anti gerilya di sekolah Ranger, Tran Ngoc Hue memperoleh penugasan pertamanya sebagai bagian dari kompi ke-3, batalion ke-1, resimen ke-1, Divisi Infanteri ke-1 ARVN. Ia kemudian melapor ke komandan kompi, Letnan Chiem Uc, di Fire Base Ta Bat di kawasan rawan lembah A Shau, sekitar lima kilometer sebelah timur dari perbatasan Laos. Medan kasar di sekitar Ta Bat dengan cepat menjadi area pementasan Vietcong saat pihak komunis meningkatkan upaya perangnya. Pada saat itu, Vietcong dan tentara Vietnam Utara yang ada di wilayah Korps ke-I, sebagian bersembunyi di wilayah Laos, namun saat kontrol ARVN melemah, Vietcong mencoba bergerak ke area subur dan pusat populasi di daerah dataran rendah guna mendapat perkuatan dan perbekalan. Seperti pengalaman Dinh, di wilayah agak ke selatan, pihak Amerika dan ARVN berupaya menghalangi pergerakan pasukan komunis lebih lanjut. Hue kemudian mengambil posisi komandan pleton dan wakil komandan kompi, serta dengan cepat menetapkan standar kepemimpinan yang akan dijunjungnya di sepanjang karirnya. Memimpin berdasarkan teladan, berusaha mendengar pendapat perwira senior, jujur, adil dan menjaga hubungan dekat dengan anak buahnya, Hue dengan cepat mendapat respek dari rekan-rekannya. Sementara itu meskipun banyak terdapat perwira seperti Hue dan Dinh, namun secara keseluruhan kualitas perwira ARVN ada di bawah standar yang diharapkan orang-orang Amerika. Adanya politisasi dan maraknya korupsi, membuat secara garis besar kualitas perwira ARVN berkisar dari sangat bagus hingga sangat buruk. Bagaimanapun kualitas kepemimpinan personal memegang peran penting dalam efektifitas tempur unit ARVN di lapangan, seperti menurut sejarawan Thomas Cantwell: “Performa tempur ARVN secara langsung berkaitan dengan kepemimpinannya. Jika para perwiranya termotivasi, dan berpengalaman, anak buahnya akan loyal dan punya performa bagus di pertempuran. Tidak seperti unit-unit Amerika, dimana prajurit-prajurit berpengalaman dan perwira yuniornya dapat mengkompensasi komandannya yang lemah, ARVN amat bergantung pada satu orang, yakni perwira yang bertanggungjawab. Prajurit-prajurit Vietnam tidak kekurangan kemampuan dan keinginan untuk memenangkan pertempuran. Jika dipimpin dengan baik mereka berperforma bagus, menurut pengakuan para penasehat MACV. Begitu juga jika dipimpin dengan perwira yang lemah, maka hasil yang baik tidak dapat diharapkan. Menggantungkan pada satu orang pada akhirnya menciptakan masalah baru. Jika perwira batalion yang dihormati tewas, anak buahnya akan panik dan tercerai berai.”

Marinir Amerika dari Kompi E, Batalyon Kedua, dengan tentara Tentara Republik Vietnam (ARVN) saat istirahat dari patroli di dekat Da Nang pada tahun 1965. Prajurit-prajurit Vietnam tidak kekurangan kemampuan dan keinginan untuk memenangkan pertempuran. Jika dipimpin dengan baik mereka berperforma bagus. (Sumber: https://www.nytimes.com/)
Warga Membantu Ranger ARVN di Binh Nghia Vietnam. Jika dipimpin dengan perwira yang lemah, maka performa prajurit ARVN tidak akan bagus. Mereka terlalu menggantungkan pada satu orang. Jika perwira batalion yang dihormati tewas, anak buahnya akan panik dan tercerai berai. (Sumber: https://www.ebay.com/)
Tentara dan penduduk desa dalam Perang Vietnam. Dalam perang ini faktor militer hanya 15% dan 85% lainnya adalah masalah politik. Perang ini tidak semata sekedar membunuhi Vietcong, akan tetapi masalah memberikan keamanan dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. (Sumber: https://www.nytimes.com/)

Operasi-operasi tempur awal Hue mirip dengan Dinh, yakni menjalankan misi “cari dan hancurkan”. Karena ditugaskan di area yang diperebutkan, dalam patroli pertamanya Hue mengambil inisiatif untuk tidak menggunakan jalur yang mudah diprediksi dalam misi penyisirannya. Dengan mengecoh musuhnya, Hue bergerak ke area dimana menurut informasi intelijen menjadi basis Vietcong. Informasi ini terbukti benar, dan serangan Hue mengejutkan musuh, menghasilkan beberapa tawanan dan merusak rencana Vietcong untuk menyerang Ta Bat. Kesuksesan ini memberikan Hue pujian dari rekan-rekan dan atasannya, yang menilainya sebagai komandan muda potensial. Kompi ke-3 beroperasi di area A Shau di sebagian besar tahun 1964, dengan menjalankan misi “cari dan hancurkan” di medan yang kasar itu. Pada satu kesempatan, setelah mendapat tembakan sniper dari desa di puncak bukit, unit Hue melakukan serangan balasan. Dalam pertempuran, beberapa bangunan di desa dibakar habis, dengan dua gerilyawan musuh ada di dalamnya. Di tengah reruntuhan, Hue menemukan anak anak dari petempur musuh yang kini menjadi yatim. Hue dan kompinya kemudian mengadopsi mereka, dimana yang laki-laki diberi nama Anh-Dung Tran dan yang perempuan Anh-Thu Tran. Para prajurit merawat anak-anak itu dan menyekolahkan mereka. Ketika Hue meninggalkan kompi ke-3, anak-anak itu tetap dirawat anak buahnya. Meski dia rutin mengecek kondisi mereka selama bertahun-tahun, dalam kondisi yang tidak menentu selama perang dan dalam penawanannya nanti, Hue kehilangan kontak dengan anak-anak yang diadopsinya. Sementara itu saat kemenangannya terus bertambah dan reputasinya menanjak, seperti Dinh, Hue juga mendapati bahwa ARVN menjalankan perang dengan cara yang salah. Saat unitnya keluar melakukan penyisiran di desa-desa dalam jangka waktu pendek, Vietcong tinggal bersama penduduk hampir di sepanjang waktu, makan bersama mereka, menikahi mereka, mendapatkan atau memaksakan dukungan mereka, serta memerintah mereka. Meskipun misi “cari dan hancurkan” masuk akal secara militer dan menghasilkan jumlah korban besar diantara musuh, namun ini tidak berarti apa-apa bagi upaya memenangkan “hati dan pikiran rakyat”. Hue mewakili pandangan banyak perwira muda ARVN dimana mereka percaya bahwa ARVN akan lebih tepat dipakai sebagai pasukan teritorial, yang dibangun diantara masyarakat, sehingga familiar dengan area tersebut. Dengan keamanan ada di tangan pasukan teritorial, ARVN kemudian dapat menghantam Vietcong dengan taktik gerilya mereka sendiri. Namun pentingnya merebut “hati dan pikiran rakyat” ini tidaklah dipahami dengan cara yang sama di level komando yang lebih tinggi. Pendapat ini diamini oleh Letnan Kolonel Arthur P. Gregory, yang bertugas di kawasan Delta Mekong, dalam penilaiannya ia mengungkapkan: “Sebagian besar dari kita yakin bahwa dalam masalah ini faktor militer hanya 15% dan 85% lainnya adalah masalah politik. Ini tidak semata sekedar membunuhi Vietcong, akan tetapi masalah memberikan keamanan dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.”

Bersambung…

Lanjut Part III

Disadur dari:

Vietnam’s Forgotten Army, Heroism And Betrayal In The ARVN by Andrew Wiest, 2008; p 31 – 47

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *