Others

KNIL (1814-1950): Pasukan Anti Pemberontakan Yang ‘Gagap’ Menghadapi Peperangan Modern

Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) adalah tentara kolonial Belanda yang berdiri dari tahun 1814-1950. Tentara  ini terdiri dari seratus persen tentara profesional dan ada dibawah kekuasaan dari Kementerian urusan Koloni Belanda.

Poster Perekrutan KNIL. KNIL adalah “penjaga” jajahan Belanda di wilayah Hindia Belanda yang berdiri selama kurun waktu 1814-1950. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Lambang KNIL. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

LATAR BELAKANG

Pada abad ke-XVII, Belanda menjadi salah satu kekuatan maritim terbesar di Eropa. Beberapa perusahaan perdagangan yang bertanggung jawab atas perdagangan luar negeri dan terlibat dalam ekspansi kolonial di Asia Selatan dan Tenggara, pada tahun 1602 kemudian digabung menjadi Perusahaan Hindia Timur Belanda yang dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC. Kota Batavia (sekarang Jakarta) lalu didirikan di pulau Jawa, yang menjadi pos terdepan ekspansi Belanda di Indonesia. Pada akhir tahun 60-an abad ke-XVIII, Perusahaan Hindia Timur Belanda telah berubah menjadi organisasi yang besar dengan armada perdagangan dan militernya sendiri serta sepuluh ribu personel angkatan bersenjata swasta. Namun, kekalahan Belanda dalam konfrontasi dengan Kerajaan Inggris yang lebih kuat, berkontribusi pada melemahnya dan runtuhnya Perusahaan Hindia Timur Belanda secara bertahap. Pada tahun 1798, properti perusahaan ini dinasionalisasi oleh Belanda, yang pada waktu itu disebut Republik Batavia. Tentara Kerajaan Hindia Belanda kemudian secara resmi didirikan pada tanggal 28 Agustus 1814, tak lama setelah pemulihan secara definitif kekuasaan Belanda di Hindia Belanda, selepas Perang Napoleon. Pemicu terbentuknya KNIL tak lain adalah Perang Jawa yang merupakan perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830. “Pemerintah kolonial terkejut ketika Pangeran Diponegoro bisa menyatukan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda-beda pada tahun 1825 dan melancarkan Perang Jawa. Belanda tidak memiliki taktik yang cocok untuk melawan gerilyawan pimpinan Pangeran Diponegoro. Hanya ketika Jenderal De Kock membagi pasukan menjadi unit-unit yang lebih kecil dan membangun benteng di seluruh Jawa Tengah, Belanda bisa menang.” Kedudukan KNIL yang telah dikukuhkan sebagai Tentara Hindia Belanda dengan surat perintah dari Van den Bosch (1780–1844) pada tanggal 4 Desember 1830, semakin diperkuat dengan keputusan Raja Belanda pertama, Willem I Frederik pada tahun 1836. Raja Willem I menambahkan kata Koninklijk, atau Kerajaan pada Nederlandsch Oost-Indische Lager, sehingga satuan tentara Hindia Belanda menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Kerajaan Belanda, dan disebut Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Tentara ini beroperasi sebagai perpanjangan militer pemerintah kolonial, dengan bantuan angkatan laut yang disediakan oleh Angkatan Laut Kerajaan Belanda.

Kedatangan Cornelis de Houtman di Banten di tahun 1596, menurut lukisan yang dibuat 300 tahun kemudian. Ekspedisi ini membuka jalan bagi penjajahan Belanda di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia. Pada tahun 1602 beberapa perusahaan dagang digabung menjadi Perusahaan Hindia Timur Belanda yang dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC. Kota Batavia (sekarang Jakarta) lalu didirikan di pulau Jawa, yang menjadi pos terdepan ekspansi Belanda di Indonesia. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Bestorming van Pleret (1900) karya G. Kepper, menggambarkan serangan Belanda di Pleret pada tahun 1826. Pemicu terbentuknya KNIL tak lain adalah Perang Jawa yang merupakan perlawanan Pangeran Diponegoro pada tahun 1825-1830. “Pemerintah kolonial terkejut ketika Pangeran Diponegoro bisa menyatukan kelompok-kelompok penduduk yang berbeda-beda pada tahun 1825 dan melancarkan Perang Jawa. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Potret Johannes van den Bosch oleh Cornelis Kruseman, 1829. Van den Bosch tanggal 4 Desember 1830 mengukuhkan keberadaan Tentara Hindia Belanda. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

PENGUKUHAN KNIL

Pada awal abad ke-19, Hindia Belanda, pada dasarnya, merupakan jaringan pos-pos perdagangan militer di pantai pulau-pulau Indonesia, tetapi Belanda hampir tidak bergerak lebih jauh ke wilayah pedalaman. Situasi lalu berubah selama paruh pertama abad ke-XIX. Pada pertengahan abad ke-XIX, Belanda, akhirnya menghancurkan perlawanan para sultan dan raja setempat, menaklukkan pulau-pulau paling maju di Kepulauan yang sekarang menjadi bagian dari negara Indonesia. Pada tahun 1859, 2/3 wilayah jajahan di Indonesia, yang dulunya milik Portugal, dimasukkan ke dalam kekuasaan Hindia Belanda. Dengan demikian, Portugis kalah dengan Belanda dalam persaingan untuk mengokohkan pengaruhnya di Kepulauan Indonesia. Sejalan dengan didesak keluarnya Inggris dan Portugis dari Indonesia, ekspansi kolonial Belanda ke kawasan pulau-pulau terus berlanjut. Secara alami, penduduk Indonesia menghadapi penjajahan dengan melakukan perlawanan putus asa dan jangka panjang. Untuk menjaga ketertiban di wilayah koloni dan pertahanannya terhadap lawan eksternal, di antaranya kekuatan kolonial negara-negara Eropa yang bersaing dengan Belanda untuk mendapatkan pengaruh di Kepulauan Indonesia, maka dipandang perlu untuk menciptakan angkatan bersenjata yang ditujukan langsung untuk melakukan operasi di dalam negeri di lingkup wilayah Hindia Belanda. Tentara Kerajaan Hindia Belanda pada awalnya adalah bagian dari tentara Belanda, tetapi pada tahun 1820-1830 berkembang menjadi kekuatan yang berfungsi secara mandiri. Seperti kekuatan Eropa lainnya yang memiliki kepemilikan teritorial di luar negeri, Belanda mulai membentuk pasukan kolonial. Pada tanggal 10 Maret 1830 ditandatangani oleh dekrit kerajaan terkait tentang pembentukan Tentara Kerajaan Hindia Belanda Timur (singkatan bahasa Belanda: KNIL). Seperti pasukan kolonial di beberapa negara bagian lain, awalnya Tentara Kerajaan Hindia Belanda bukanlah bagian dari angkatan bersenjata kerajaan Belanda. Tugas utama KNIL adalah menaklukan wilayah dalam pulau-pulau Indonesia, bertempur melawan pemberontak dan memelihara ketertiban di wilayah koloni, melindungi wilayah kolonial dari kemungkinan serangan oleh lawan eksternal. 

Serangan Pasukan Hussar di bawah pimpinan Letnan Ferrouge di Magelang. Tugas utama KNIL adalah menaklukan wilayah dalam pulau-pulau Indonesia, bertempur melawan pemberontak dan memelihara ketertiban di wilayah koloni, melindungi wilayah kolonial dari kemungkinan serangan oleh lawan eksternal. (Sumber: https://www.nederlandsekrijgsmacht.nl/)

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG & PERANG KOLONIAL DI HINDIA BELANDA

Pada tahun 1867, ”Hukum Pertanggungjawaban” memisahkan keuangan Kerajaan Belanda dan koloninya di Hindia Timur. Keputusan ini memungkinkan Hindia Timur untuk membentuk Departemen Perangnya sendiri (Departement van Oorlog), dan koloni tersebut bertanggung jawab atas pembiayaan operasi militernya sendiri. Dimulai pada akhir tahun 1860-an, masalah muncul di Aceh, sebuah provinsi di pulau Sumatera, mulai menonjol di dalam wilayah koloni Hindia Belanda. Aceh sebelumnya telah beroperasi secara independen selama beberapa dekade, tetapi pembukaan Terusan Suez memperbaharui pentingnya penguasaan perdagangan di Hindia Belanda. Meningkatnya pengaruh negara-negara lain dalam politik internal Aceh lalu memaksa Hindia Belanda untuk mengirim pasukan untuk menguasai wilayah tersebut dan memaksakan penyerahannya kepada otoritas Belanda. Perang Aceh berlangsung dari tahun 1873 hingga 1903, dan konflik tersebut memaksa Leger Oost-Indisch mengubah taktiknya di lapangan. Awalnya, upaya dilakukan untuk menguasai wilayah Aceh melalui penggunaan garis pos-pos yang dibentengi yang dimaksudkan untuk menangkal para gerilyawan dan mengatur sumber daya yang terbatas dari daerah koloni. Tak lama kemudian, Geconcentreerde Linie (Garis Konsentrasi), yang merupakan barisan benteng yang terdiri dari enam belas benteng yang melindungi kota Kutaradja, lebih berfungsi layaknya penjara bagi pasukan kolonial yang terus-menerus diganggu oleh gerilyawan Aceh. Leger lalu menggelar kekuatan yang lebih modern di medan tempur yang terdiri dari batalyon-batalyon infanteri yang didukung oleh unit artileri, kavaleri, dan zeni yang dipimpin oleh perwira yang lebih profesional seperti Kolonel J. B. van Heutsz (1851– 1924). Perwira-perwira ini juga dipekerjakan sebagai administrator sipil (officier-civiel gezaghebber) sebagai cara untuk mengontrol wilayah terluar koloni. Para perwira ini bertindak sebagai administrator sipil selama masa damai, dan sebagai perwira militer selama perang. Untuk lebih mengontrol daerah-daerah yang diduduki oleh pemerintah, sebuah pasukan yang dikenal sebagai Korps Marechaussee (Polisi Distrik) dibentuk pada tahun 1893. Korps ini terdiri dari prajurit infanteri pribumi terpilih yang dikomandoi oleh para perwira Belanda. Kompi-kompi ini dipersenjatai dengan senapan karabin dan klewang (pedang pendek pribumi), dan beroperasi tanpa kereta kuli (kereta suplai yang personelnya terdiri dari tenaga kerja paksa pribumi), yang memungkinkan mereka bergerak cepat melawan ancaman pemberontak lokal. Operasi Korps Marechaussee sebagian besar diarahkan pada penduduk lokal dalam upaya untuk mengendalikan perlawanan. Pasukan ringan ini tercatat melakukan banyak kekejaman terhadap suku-suku lokal dalam upaya mereka untuk mengontrol rakyat Aceh dan menemukan para pimpinan gerilyawan.

Lukisan seniman tentang Pertempuran Samalanga di Aceh pada tahun 1878. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Jenderal van Heutz dan staf-nya selama Perang Aceh dalam foto yang diabadikan oleh Christiaan Benjamin Nieuwenhuis. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Tentara Marechaussee. Operasi Korps Marechaussee sebagian besar diarahkan pada penduduk lokal dalam upaya untuk mengendalikan perlawanan. Pasukan ringan ini tercatat melakukan banyak kekejaman terhadap suku-suku lokal dalam upaya mereka untuk mengontrol rakyat Aceh dan menemukan para pimpinan gerilyawan. (Sumber: https://id.m.wikipedia.org/)

Selama abad ke-XIX – XX. Pasukan kolonial Hindia Belanda berpartisipasi dalam sejumlah kampanye militer di Kepulauan Hindia Belanda, termasuk perang Padri pada tahun 1821– 1836, perang Jawa 1825-1830, penumpasan perlawanan kerajaan-kerajaan Bali pada tahun 1849, perang Aceh di utara Sumatera pada tahun 1873-1904, aneksasi Lombok dan Karangsem pada tahun 1894, penaklukan bagian barat daya pulau Sulawesi pada tahun 1905-1906, “pasifikasi” terakhir Bali pada tahun 1906-1908, dan penaklukan Papua Barat pada tahun 1920. Dalam kasus Bali pada tahun 1846 dan 1848, Oost-Indisch Leger, atau Leger, digunakan untuk memaksa raja setempat agar menghormati kesepakatan, dan untuk mencegah negara lain mempengaruhi perdagangan di wilayah Indonesia. Pada tahun 1894, Lombok dan Karangasem dianeksasi sebagai tanggapan atas laporan adanya aristokrat lokal Bali yang menindas penduduk asli Sasak. Perang Bali pada tahun 1906-1908 yang dilakukan oleh pasukan kolonial kemudian dipublikasikan secara luas di pers dunia karena kekejaman yang dilakukan oleh tentara Belanda terhadap para pejuang Bali. Pada masa “Operasi Bali” tahun 1906, dua kerajaan Bali Selatan — Badung dan Tabanan — akhirnya ditundukkan, dan pada tahun 1908, Tentara Hindia Belanda mengakhiri nasib Negara terbesar di pulau Bali, yakni kerajaan Klungkung. Sementara itu, salah satu alasan utama perlawanan aktif raja-raja Bali terhadap ekspansi kolonial Belanda adalah keinginan penguasa Hindia Timur untuk mengendalikan perdagangan opium di wilayah tersebut. Ketika penaklukan Kepulauan Hindia Belanda dapat dianggap sebagai sebuah kesuksesan besar, penggunaan KNIL terus berlanjut, terutama dalam operasi polisionil terhadap kelompok-kelompok pemberontak dan perlawanan lokal. Selain itu, tugas pasukan kolonial termasuk menindas pemberontakan rakyat massal yang terus-menerus pecah di berbagai bagian wilayah Hindia Belanda. Artinya, secara umum, mereka melakukan fungsi yang sama yang melekat pada kekuatan kolonial kekuatan Eropa lainnya, yang tersebar di wilayah koloni di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Pada abad kedua puluh, KNIL mulai mengubah fokusnya dari penaklukan penduduk asli di pulau-pulau yang memberontak menjadi upaya mengontrol masyarakat Indonesia. Koloni di Hindia Belanda hampir tenang, tetapi pengaruh kelompok Islam dan komunis mulai tumbuh menjadi sumber masalah bagi pemerintahan kolonial. Pada tahun 1920-an, muncul dua upaya pemberontakan oleh Partai Komunis Indonesia, yang menandai upaya polisi dan tentara kolonial untuk mengendalikan perbedaan pendapat di pulau-pulau tersebut. Unit-unit khusus lalu dibentuk untuk memantau kelompok politik dengan ancaman pengasingan atau pemenjaraan di Penjara Boven Digoel, Papua untuk para tahanan politik.

Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL), 1896. (Sumber: https://historiek.net/)
Lukisan aneksasi Lombok oleh Belanda. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Kavaleri atau kesatuan kavaleri Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dalam operasi militer di wilayah Sanur untuk menumpas pemberontakan kerajaan-kerajaan di Bali Selatan pada tahun 1906. (Sumber: https://military-history.fandom.com/)

SISTEM PEREKRUTAN KNIL

Tentara Kerajaan Hindia Belanda memiliki sistem perekrutan personelnya sendiri. Jadi, pada abad ke-XIX, perekrutan pasukan kolonial dilakukan terutama dengan mengambil sukarelawan dan tentara bayaran Belanda dari negara-negara Eropa lainnya, pertama-tama Belgia, Swiss, dan Jerman. Diketahui bahwa penyair Prancis Arthur Rimbaud sempat direkrut untuk bertugas di pulau Jawa. Dari tahun 1814 hingga 1909, Colonial Werfdepot (depot perekrutan tentara kolonial) di Harderwijk merupakan titik pengumpulan di Eropa, dimana para prajurit yang akan diberangkatkan ke Hindia Belanda dilatih. Kota ini kerap disebut ‘lubang selokan Eropa’, karena personel militernya hanya dikenal suka minum-minum dan mengunjungi rumah bordil. Dari tahun 1909 Harderwijkse Werfdepot dipindahkan ke Nijmegen dan Harderwijk sendiri menjadi kota garnisun. Pada mulanya personel KNIL terbagi rata, yang berarti separuh tentara terdiri dari tentara keturunan Eropa, sedangkan separuh lainnya terdiri dari tentara pribumi. Namun, mulai dari akhir tahun 1830-an rasio antara tentara Eropa dan tentara pribumi berubah dari 1:1 menjadi 1:3. Alasan untuk ini adalah bahwa tidak adanya cukup sukarelawan Eropa untuk mengikuti perekrutan tentara pribumi. Ketika pemerintah kolonial mengobarkan perang yang panjang dan sulit melawan kesultanan Muslim Aceh di ujung barat laut Sumatera, jumlah pasukan kolonial mencapai 12.000 tentara bersama dengan para perwira yang direkrut di Eropa. Karena Aceh dianggap sebagai wilayah paling religius di wilayah Kepulauan Hindia Belanda, yang memiliki tradisi kedaulatan politik yang panjang dan dianggap sebagai “kubu Islam” di wilayah Indonesia, perlawanan penduduknya sangat kuat. Menyadari bahwa pasukan kolonial, yang ditempatkan di Eropa, berdasarkan jumlah mereka, tidak dapat mengatasi perlawanan rakyat Aceh, pemerintah kolonial mulai merekrut penduduk asli di kepulauan lainnya. Ribuan tentara direkrut dari pulau-pulau di seluruh Indonesia, terutama dari Jawa, Ambon dan Manado. Selain itu, tentara bayaran asal Afrika juga tiba di Indonesia, yakni dari wilayah Pantai Gading dan Ghana saat ini, yang disebut sebagai “Guinea Belanda”, yang tetap berada di bawah kekuasaan Belanda sampai tahun 1871. Berakhirnya perang Aceh turut menyebabkan terhentinya praktik perekrutan tentara dan perwira dari negara-negara Eropa lainnya. Tentara Kerajaan Hindia Belanda kemudian mulai mengambil personel dari warga Belanda, warga Belanda di Indonesia, keturunan campuran Belanda-Indonesia dan penduduk lokal. Meskipun diputuskan untuk tidak mengirim tentara Belanda dari negeri Belanda untuk bertugas di Hindia Belanda, relawan dari Belanda tetap bertugas di pasukan kolonial. Pada tahun 1890, sebuah departemen khusus dibentuk di Belanda sendiri, yang kompetensinya mencakup perekrutan dan pelatihan tentara masa depan bagi unit tentara kolonial, serta rehabilitasi dan adaptasi mereka ke kehidupan sipil masyarakat Belanda setelah akhir masa kerjanya di bawah kontrak. Para prajurit KNIL kerap dipanggil dengan julukan kolektif sebagai ‘Jan Fuselier‘. Dan istri mereka juga memiliki nama panggilan: ‘Sarinah‘. 

Colonial Werfdepot (depot perekrutan tentara kolonial) di Smeepoortstraat, Gelderse Munt – Kartu pos lama, sekitar tahun 1900. (Sumber: https://www.pinterest.de/)
Seorang tentara pribumi (Indonesia) (kiri) dan tentara asal Afrika (kanan) di Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda, tahun 1885. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Ilustrasi Tentara Belanda dalam Perang Aceh. Untuk mengatasi perlawanan rakyat Aceh, pemerintah kolonial mulai merekrut penduduk asli di kepulauan lainnya. Ribuan tentara direkrut dari pulau-pulau di seluruh Indonesia, terutama dari Jawa, Ambon dan Manado. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Adapun di antara kalangan pribumi yang direkrut, penguasa kolonial lebih suka merekrut orang Jawa sebagai perwakilan dari suku yang paling bisa diterima Belanda, di samping semua suku yang termasuk dalam koloni sejak awal (tahun 1830, sementara banyak pulau baru dijajah hanya seabad kemudian – pada tahun 1920-an) dan Ambon – sebagai etnis mayoritas beragama Kristen, yang berada di bawah pengaruh budaya Belanda. Selain itu, tentara bayaran asal Afrika juga direkrut. Yang terakhir direkrut, pertama-tama, di antara suku Ashanti yang tinggal di wilayah Ghana modern dan kemudian sampai ke Burkino Faso. Misalnya, dari tahun 1831-1872, 3.085 orang dibawa dari Afrika Barat untuk untuk menjadi tentara KNIL. Penduduk Indonesia menyebut prajurit Afrika yang bertugas di Royal Dutch East Indian Army, sebagai “Belanda Hitam”. Warna kulit dan karakteristik fisik tentara bayaran Afrika membuat takut penduduk setempat, tetapi tingginya biaya transportasi tentara dari wilayah pantai barat Afrika ke Indonesia pada akhirnya berkontribusi pada penolakan secara bertahap otoritas kolonial Hindia Belanda untuk merekrut beberapa tentara Hindia Belanda, termasuk tentara bayaran asal Afrika. Bagian wilayah Kristen Indonesia, terutama Kepulauan Maluku Selatan dan Timor, secara tradisional dianggap sebagai pemasok kontingen pasukan yang paling dapat diandalkan untuk Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Orang-orang Ambon adalah kontingen yang dianggap paling bisa diandalkan. Terlepas dari kenyataan bahwa penduduk Kepulauan Ambon menolak ekspansi kolonial Belanda hingga awal abad ke-19, mereka akhirnya menjadi sekutu paling andal dari pemerintah kolonial di antara penduduk asli lainnya. Ini disebabkan oleh fakta bahwa, pertama, setidaknya setengah dari orang Ambon menganut agama Kristen, dan kedua, orang Ambon kerap bersinggungan dengan suku Indonesia dan bangsa Eropa lainnya, yang mengubah mereka menjadi apa yang disebut sebagai etnis “kolonial”. Dengan berpartisipasi dalam aksi militer di pulau-pulau lain, orang-orang Ambon layak mendapat kepercayaan penuh dari pemerintah kolonial dan, dan dengan demikian, mendapatkan hak-hak istimewa, dimana menjadi kategori penduduk lokal yang paling dekat dengan orang Eropa. Selain dinas militer, orang Ambon aktif terlibat dalam bisnis, banyak dari mereka menjadi kaya dan menjadi orang Eropa. Prajurit asal Jawa, Sunda, Sumatera yang mayoritas beragama Islam menerima gaji yang lebih kecil dibandingkan dengan perwakilan suku Kristen di Indonesia yang seharusnya mendorong mereka untuk memeluk agama Kristen, tetapi ternyata hanya menabur kontradiksi internal di antara kontingen militer dan persaingan dalam hal materi. Adapun korps perwira, hampir secara eksklusif berasal dari orang-orang Belanda, serta orang Eropa yang tinggal di kepulauan itu dan orang-orang campuran Indo-Belanda. 

Het transport der kolonialen (Pengiriman Tentara Kolonial), menunjukkan rekrutan Tentara Kerajaan Hindia Belanda berbaris melalui Rotterdam menuju kapal yang akan mengangkut mereka ke Hindia Belanda. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pasukan bersepeda KNIL tahun 1908. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL yang berasal Jawa. Foto diambil di Amsterdam pada tanggal 9 Juni 1927. (Sumber: https://voi.id/)

Pada tahun 1832 KNIL memiliki 640 perwira dan 21.486 tentara. Pada tahun 1882 ukuran KNIL berkembang menjadi hampir 30.000 tentara. Pada tahun 1884 kekuatan personel berjumlah 13.492 orang Eropa, 14.982 orang Indonesia, 96 orang Afrika (meskipun beberapa sumber menyebutkan jumlah orang Afrika jauh lebih tinggi), dan setidaknya 1.666 rekrutan orang Eurasia. Korps perwira sepenuhnya orang Eropa dan jumlahnya mungkin mendekati 1.300 orang. Ada juga sekitar 1.300 kuda. Perekrutan para tentarq dilakukan di Belanda dan India, dengan lebih dari 1.000 penduduk Belanda dan 500 orang asing mendaftar setiap tahun. Pasukan asing terdiri dari sukarelawan Flemish, Jerman, Swiss, dan Prancis. Walloon, Arab, dan warga negara Inggris dan Amerika Serikat dilarang bergabung. Orang asing lain yang tidak dapat membuktikan kefasihan dalam bahasa Belanda atau Jerman juga tidak diterima untuk dinas di Hindia Belanda. Pada tahun 1930 jumlah KNIL meningkat kembali menjadi hampir 37.000 orang, seperti yang tertulis dalam buku Echo’s van Indie karya Kester Freiks. Sementara itu jumlah Tentara Kerajaan Hindia Belanda pada awal Perang Dunia II adalah sekitar 1000 perwira dan 34.000 bintara dan tentara profesional. Pada saat yang sama 28.000 personel militer adalah berasal dari orang-orang pribumi, sedangkan 7.000 lainnya adalah orang Belanda dan perwakilan dari masyarakat non-pribumi lainnya. Sekitar tahun 1914 wilayah terakhir kepulauan Indonesia berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda secara formal. Ini menandai akhir dari apa yang disebut periode pasifikasi. Pembentukan, organisasi, dan persenjataan KNIL dirancang untuk menjaga ketertiban dan ketenangan internal di wilayah koloni yang luas dan terbentang jauh. Jumlah pasukannya relatif kecil, mengingat terbatasnya jumlah pasukan yang dibutuhkan untuk menguasai pulau-pulau terluar jajahan Belanda, yakni pulau-pulau di luar Jawa dan Madura. Tentara yang ditempatkan di Jawa kemudian hanya berfungsi sebagai pendukung pasukan ini. Personil dari Jawa digilir dengan yang ditempatkan di pulau-pulau terluar dan, jika perlu, pasukan dari Jawa dapat dikerahkan sebagai pasukan ekspedisi. Jumlah pasukan yang tersedia untuk tugas-tugas ini hanya cukup untuk melaksanakan tugasnya. Organisasi dan persenjataan KNIL disesuaikan dengan tugas-tugas terbatas itu, yakni sebagai unit infanteri ringan dengan dukungan senjata artileri ringan. Kecilnya kekuatan KNIL ditunjukkan dengan jelas pada tahun 1929, misalnya, dimana KNIL terdiri dari 38.600 tentara sedangkan jumlah penduduk Hindia Belanda sendiri mencapai 60 juta jiwa.

PEMBERONTAKAN DI ARMADA TENTARA KOLONIAL HINDIA BELANDA

Komposisi polietnis dari tentara kolonial di Hindia Belanda berulang kali menjadi sumber berbagai masalah bagi pemerintah Belanda, tetapi pemerintah tidak dapat mengubah sistem perekrutan angkatan bersenjata yang ditempatkan di koloninya. Tentara bayaran dan sukarelawan Eropa tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan Tentara Kerajaan Hindia Belanda sebagai perwira dan bintara. Oleh karena itu, mereka perlu berkompromi dengan jajaran pasukan kolonial asal pribumi Indonesia, yang banyak di antaranya, karena alasan yang jelas, sama sekali tidak setia kepada penguasa kolonial. Unit yang paling kontroversial adalah para pelaut dari angkatan laut. Seperti di banyak negara lain, termasuk Kekaisaran Rusia, para pelaut lebih revolusioner daripada prajurit angkatan darat. Ini dijelaskan oleh fakta bahwa orang-orang dengan tingkat pendidikan dan pelatihan profesional yang lebih tinggi – seperti mantan pekerja perusahaan industri dan transportasi – dipilih untuk dinas di angkatan laut. Adapun armada Belanda yang ditempatkan di Indonesia dengan awak asal Belanda, di antaranya adalah pengikut ide-ide sosial demokrat dan komunis, dan di sisi lain awak asal Indonesia berasimilasi dalam komunikasi terus-menerus dengan ide ide revolusioner rekan-rekan Belanda mereka. Pada tahun 1917, pemberontakan kuat dari para pelaut dan tentara angkatan laut pecah di Pangkalan Angkatan Laut Surabaya. Para pelaut menciptakan Dewan deputi pelaut. Tentu saja, pemberontakan itu ditumpas dengan kejam oleh pemerintahan militer kolonial. Namun, ini bukan akhir dari sejarah pemberontakan di angkatan laut di Hindia Belanda. Pada tahun 1933, pemberontakan pecah di kapal perang De Zeven Provinzien (Tujuh Provinsi). Pemberontakan pada tanggal 30 Januari 1933 itu adalah pemberontakan para pelaut, yang disebabkan oleh gaji yang rendah dan diskriminasi oleh perwira Belanda dan bintara di pangkalan angkatan laut Morokrembangan, yang lalu ditumpas oleh pimpinan AL Hindia-Belanda. Para peserta pemberontakan ditangkap. Selama latihan di wilayah pulau Sumatera, komite revolusioner pelaut yang dibuat di kapal perang De Zeven Provinzien, memutuskan untuk melakukan pemberontakan sebagai solidaritas dengan para pelaut di Morokrembangan. Beberapa orang Belanda turut bergabung dengan pelaut Indonesia, terutama mereka yang terkait dengan organisasi komunis dan sosialis. 

Para pelaut di Hindia Belanda. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Kapal perang De Zeven Provinzien tahun 1910. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Hr.Ms. De Zeven Provinciën di Selat Malaka dengan pesawat amfibi “van Berkel W-A” di atasnya. Kapal ini bertugas di Angkatan Laut Kerajaan Belanda dari tahun 1908 hingga 1942. Dia bertugas sebagian dari karirnya di Hindia Belanda, dari tahun 1911-1918 dan dari tahun 1921 hingga 1942. Sebuah pemberontakan gagal pecah pada tahun 1933. Pada tahun 1936 ia berganti nama menjadi Hr.Ms. Soerabaja dan bertugas sampai ditenggelamkan oleh pesawat pengebom Jepang di lepas pantai Surabaya, 18 Februari 1942. Ia kemudian diapungkan kembali oleh Jepang tetapi ditenggelamkan lagi pada tahun 1943. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Pada tanggal 4 Februari 1933, ketika kapal perang itu berada di pangkalan di Kotaradja (sekarang Banda Aceh), para perwira kapal pergi ke darat untuk menghadiri perjamuan. Pada saat itu para pelaut, yang dipimpin oleh nakhoda Kawilarang dan pengemudi Boshart, menetralisir perwira jaga dan bintara yang tersisa dan merebut kapal. Kapal perang itu kemudian melaut dan menuju ke Surabaya. Pada saat yang sama, stasiun radio kapal menyiarkan tuntutan para pemberontak, yakni: naikkan gaji para pelaut, hentikan diskriminasi terhadap pelaut pribumi oleh para perwira Belanda dan bintara, bebaskan pelaut yang ditangkap karena ikut serta dalam pemberontakan di pangkalan angkatan laut Morokrembangan (pemberontakan ini terjadi beberapa hari sebelumnya, tanggal 30 Januari 1933). Untuk menekan pemberontakan, kelompok kapal khusus dibentuk, yang terdiri dari kapal penjelajah ringan “Java” dan kapal perusak “Piet Hein” dan “Evertsen“. Commander Van Dulm, komandan grup kapal, membawa mereka untuk mencegat kapal perang De Zeven Provincien di wilayah Kepulauan Sunda. Pada saat yang sama, komando angkatan laut Hindia Belanda memutuskan untuk mentransfer ke unit pantai atau mendemobilisasi semua pelaut Indonesia dan staf awak serta menggantikannya secara eksklusif dengan orang-orang Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1933 kelompok penyergap berhasil menyalip kapal perang para pemberontak dan membom-nya dengan sebuah bom 50 kg yang dijatuhkan dari pesawat amfibi Dornier Wal. Marinir kemudian turun ke atas dek kapal dan menangkap para pemimpin pemberontakan. Kapal perang itu lalu ditarik ke pelabuhan Surabaya. Kawilarang dan Boshart, serta para pemimpin pemberontakan lainnya, menerima hukuman penjara yang berat. Pemberontakan di kapal perang “De Zeven Provincien” kemudian akan memasuki catatan sejarah gerakan pembebasan nasional Indonesia dan dikenal luas di luar Indonesia: bahkan di Uni Soviet, bertahun-tahun kemudian, sebuah buku diterbitkan mengisahkan pemberontakan kapal perang dari Skuadron Angkatan Laut Hindia Belanda ini.

SEBELUM PERANG DUNIA II

Kebijakan politik-strategis Belanda didasarkan pada netralitas. Belanda tidak memiliki sarana, baik dalam hal uang maupun pasukan, untuk mempertahankan Hindia-Belanda dari kekuatan asing yang besar. Pada tahun 1927 pemerintah Den Haag menetapkan “Prinsip Pertahanan”, di mana administrasi koloni di Hindia Belanda harus melindungi otoritas Belanda di kepulauan tersebut dari kemungkinan pemberontakan terlebih dahulu, sebelum membantu Belanda dalam kewajiban nasionalnya. Prinsip-prinsip pertahanan yang dirumuskan pada tahun 1927 itu didasarkan pada menjaga wilayah di Jawa dan Tarakan dan Balikpapan yang kaya minyak. KNIL tidak percaya pada kemungkinan pelanggaran singkat dan terbatas dari netralitas Hindia Belanda, tetapi memperkirakan bahwa kemungkinan serangan akan menjadi invasi habis-habisan yang ditargetkan untuk menaklukkan mereka. Oleh karena itu, sumber dayanya diarahkan untuk mempertahankan posisi yang disebutkan di atas. Ini menjadi doktrin de facto baru KNIL setelah tahun 1936. Untuk tugas pertahanan baru ini, pasukan di Jawa direorganisasi menjadi tentara Jawa. Struktur batalyon lama sekarang digantikan oleh struktur organisasi baru. Batalyon pertama diorganisir menjadi brigade dan kemudian, dari tahun 1922, divisi dengan unit setara resimen dibuat, dengan beberapa unit yang beroperasi secara independen dari struktur top-down ini. Daya tembak pasukan infanteri dan artileri diperbesar dengan penggunaan senapan mesin dan beberapa senjata artileri baru lainnya. Namun, pembangunan ini tertunda oleh pemotongan anggaran yang parah berturut-turut pada tahun 1922/1923, 1927 dan 1930 dan tahun-tahun setelah itu. Pemotongan ini terutama diwujudkan dengan pengurangan jumlah personel. Baru pada pertengahan tahun 1930-an, karena meningkatnya ketegangan internasional di Eropa dan Asia, pemotongan ini dihentikan. Sejak tahun 1936, anggaran pertahanan mulai meningkat lagi. Pedoman pembangunannya adalah rencana penguatan yang dibuat dari tahun 1936. Rencana ini berusaha untuk meningkatkan kapasitas militer tentara. Tetapi KNIL tidak berusaha untuk mencapai peningkatan kekuatan tempur ini melalui perluasan jumlah pasukan yang besar, tetapi melalui perbaikan peralatan militernya. Ini ditetapkan dalam program delapan poin, yang diperkirakan akan memakan waktu empat atau lima tahun untuk menyelesaikannya dan yang harus dimulai pada tahun 1938 atau 1939. Poin utama dari rencana penguatan tersebut menyerukan penambahan pesawat pengebom untuk angkatan udara, pembentukan unit tank dan pembelian senapan mesin sedang dan mortir untuk pasukan infanteri dan akhirnya bertujuan untuk mengisi kekosongan personel.

Pasukan kolonial Belanda berbaris pada masa sebelum invasi Jepang tahun 1942. Kebijakan politik-strategis Belanda didasarkan pada netralitas. Belanda tidak memiliki sarana, baik dalam hal uang maupun pasukan, untuk mempertahankan Hindia-Belanda dari kekuatan asing yang besar. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pasukan KNIL Pribumi, tahun 1938. (Sumber: https://ospreypublishing.com/)

Pada saat Perang Dunia II dimulai, Tentara Kerajaan Hindia Belanda yang ditempatkan di Kepulauan Indonesia mencapai 85 ribu personel. Selain para perwira, tentara dan bintara pasukan kolonial, jumlah ini termasuk personel militer dan sipil dari satuan penjaga wilayah dan polisi. KNIL mengoperasikan fasilitas pelatihan di Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, di Jakarta) dan Magelang di pulau Jawa untuk semua kecabangan, serta armada kecilnya. Angkatan udara kolonial umumnya mengoperasikan pesawat kelas dua dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Inggris Raya. Angkatan laut sementara itu tetap berada di bawah kendali Angkatan Laut Kerajaan Belanda, dan terdiri dari tiga kapal penjelajah, tujuh kapal perusak, sejumlah kapal yang lebih kecil, dan lima belas kapal selam. Secara struktural, Tentara Kerajaan Hindia Belanda terdiri dari tiga divisi, terbagi dalam enam resimen infanteri dan 34 batalyon infanteri; sebuah brigade gabungan dari tiga batalyon infanteri; sebuah brigade gabungan kecil yang terdiri dari dua batalyon korps marinir dan dua skuadron pasukan kavaleri. Selain itu, Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda memiliki sebuah divisi howitzer (howitzer berat), divisi artileri (meriam lapangan) dan dua divisi zeni dan artileri (meriam gunung kaliber 105 mm). Unit mobile, juga dibuat dan dipersenjatai  dengan tank dan mobil lapis baja. Penguasa kolonial dan panglima militer memutuskan mengambil langkah-langkah gencar menuju modernisasi satuan tentara Hindia Belanda, dengan harapan dapat mengubahnya menjadi kekuatan yang mampu mempertahankan kedaulatan Belanda di wilayah itu. Jelas bahwa jika terjadi perang Tentara Kerajaan Hindia Belanda akan menghadapi tentara kekaisaran Jepang, musuh yang berkali-kali lebih kuat ketimbang kelompok pemberontak atau bahkan pasukan kolonial Eropa lainnya. Pada tahun 1936, dalam upaya untuk melindungi diri dari kemungkinan agresi dari Jepang (klaim hegemonik “negeri matahari terbit” untuk peran dominannya di Asia Tenggara sudah lama diketahui), otoritas Hindia Belanda memutuskan untuk memodernisasi Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Poster perekrutan KNIL tahun 1938. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pasukan KNIL difoto di Surabaya. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)

Diputuskan untuk membentuk enam brigade mekanis. Brigade itu seharusnya termasuk pasukan infanteri bermotor, artileri, unit pengintai dan batalyon tank. Komando militer percaya bahwa penggunaan tank akan sangat memperkuat kekuatan tentara Hindia Belanda dan menjadikannya kekuatan yang tangguh. Pada tahun 1935 dan 1936, kendaraan dari beberapa pabrikan Eropa dievaluasi. Selama tahun 1936, disadari juga bahwa dengan meningkatnya ketegangan internasional, tentara harus sepenuhnya dimodernisasi, sementara sebagian besar peralatan militer KNIL berasal dari tahun 1918 atau sebelumnya. Lebih banyak dana lalu disediakan untuk program akuisisi tank dan mobil lapis baja. Pada bulan Agustus 1936, sebuah pesanan ditempatkan di perusahaan Inggris Alvis-Straussler untuk pengiriman dua belas mobil lapis baja AC3D. Kendaraan ini dikirim pada akhir tahun 1937 dan awal tahun 1938. Langkah penting lainnya adalah akuisisi tank. Pada bulan Desember 1936, dua tank ringan dan dua tank amfibi dipesan di pabrikan Vickers. Tank-tank ini dikirim pada bulan November 1937 dan diuji oleh unit khusus. Tank amfibi yang diuji terbukti tidak bekerja dengan baik dan tidak ada pesanan yang dibuat. Di sisi lain tank ringan cukup berhasil dalam pengujian dan pesanan tambahan ditempatkan untuk 73 kendaraan. Empat puluh lima tank Komando juga dipesan, mereka mirip dengan tank ringan tetapi dipersenjatai dengan kanon kecil, bukan hanya satu senapan mesin, sayangnya hanya dua puluh tank yang tiba. Pemerintah Inggris lalu mengambil sisa pesanan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Kemudian penguasa Hindia Belanda kemudian meminta bantuan kepada Amerika Serikat. Sebuah perjanjian dibuat dengan perusahaan Marmon-Herington, yang tergerak untuk menyediakan peralatan militer ke Hindia Belanda. 

Enam Tank Ringan Vickers dari Unit Mobile KNIL selama latihan. Karena penggunaannya yang intensif untuk latihan, mereka sudah aus ketika harus menghadapi tentara penyerbu Jepang pada tahun 1942. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)
Terlihat di sini adalah empat dari dua belas Overvalwagens yang dioperasikan oleh Stadswacht Batavia, Jakarta saat ini. Seperti yang dapat disimpulkan dari celah penglihatan kecil, jarak pandang dari dalam tergolong buruk, yang menyebabkan masalah di jalan, dibuktikan dengan beberapa kecelakaan selama awal tahun 1940-an. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)

Menurut perjanjian ini, yang ditandatangani pada tahun 1939, direncanakan untuk mengirimkan sejumlah besar kendaraan lapis baja hingga tahun 1943. Di Marmon-Herrington, 234 tank CTLS-4TA, 194 CTMS-ITB1, dan 200 tank MTLS-1G14 dipesan. Dengan Angkatan Darat AS, kesepakatan ditandatangani untuk pengiriman tank tipe M2A4. Setelah produksi model ini dihentikan, pesanan digantikan oleh tank M3 Stuart. Meskipun sebagian besar tank pesanan sempat diproduksi, hanya sejumlah kecil CTLS yang benar-benar tiba di Hindia Belanda sebelum invasi Jepang, dan hanya tujuh di antaranya yang dapat dioperasikan. Meski akuisisi tank tidak sesuai rencana, namun KNIL lebih berhasil dalam akuisisi mobil lapis baja. Pada tahun 1940, produksi Overvalwagens dimulai, yakni mobil lapis baja yang diproduksi secara lokal dengan sasis truk. Dua jenis mobil lapis baja kemudian dibangun, satu khusus untuk Angkatan Darat dan dikenal sebagai Braat. Diperkirakan sekitar tiga puluh unit tipe ini sempat dibangun. Jenis lainnya dibangun untuk Stadswacht, atau pasukan paramiliter sukarela, mirip dengan unit Pengaman Dalam Negeri Inggris. Foto-foto yang beredar menunjukkan setidaknya ada dua desain lain sempat dibangun, tetapi tidak ada informasi resmi tentang kendaraan ini yang masih tersisa. Pada tahun 1941, AS mulai mengirimkan empat puluh White Scout Car M3A1. Lebih jauh lagi, tepat sebelum invasi Jepang, sebuah kiriman tiba dari Afrika Selatan dengan mobil lapis baja Marmon-Herington dan 49 di antaranya telah dioperasikan. Akhir tahun 1941 ditandai dengan dimulainya penerimaan batch pertama kendaraan lapis baja dari AS. Namun, kapal pertama yang dikirim dari AS dengan tank di atas kapal kandas saat mendekati pelabuhan, akibatnya sebagian besar (18 dari 25) kendaraan rusak dan hanya 7 kendaraan yang dapat digunakan tanpa perlu menjalani prosedur perbaikan. Pembentukan unit tank pada Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda membutuhkan ketersediaan personel militer terlatih yang mampu bertugas di unit tank dengan kualitas dan profesionalisme yang mereka miliki. Pada tahun 1941, ketika Hindia Belanda menerima tank pertama, Angkatan Darat Hndia Belanda melatih unit lapis baja yang terdiri dari 30 perwira dan 500 bintara dan tentara. Mereka dilatih dengan tank “Vickers” buatan Inggris yang diperoleh sebelumnya. Tetapi bahkan hanya untuk satu batalyon tank, meskipun terdapat personel yang mengawaki, tidak ada cukup tank. Oleh karena itu, 7 tank yang tersisa dari kapal yang kandas, bersama dengan 17 tank Vickers yang sudah diperoleh dari Inggris, membentuk Detasemen Mobile, yang termasuk sebuah skuadron tank, sebuah kompi infanteri bermotor (terdiri dari 150 prajurit dan perwira, serta 16 truk lapis baja), sebuah peleton pengintai (tiga mobil lapis baja), sebuah baterai artileri anti-tank dan baterai artileri gunung.

Salah satu dari dua tank amfibi selama latihan air di dekat Tandjong Priok (Tanjung Priok) pada tahun 1938. Perwira di turret adalah Lt. Wulfhorst sedangkan pengemudinya adalah instruktur Inggris dari pabrikan. Tank amfibi yang diuji terbukti tidak bekerja dengan baik dan tidak ada pesanan yang dibuat. (Sumber: https://tanks-encyclopedia.com/)

Selama invasi Jepang ke wilayah Hindia Belanda, Detasemen Mobile di bawah komando Kapten G. Wulfhost, bersama dengan batalion infanteri kelima Angkatan Darat Hindia Belanda, tercatat melawan resimen infanteri ke-230 Jepang. Meskipun awalnya berhasil, Detasemen Mobile ini akhirnya harus mundur, yang menyebabkan 14 orang tewas, 13 tank, 1 kendaraan lapis baja dan 5 pengangkut personel lapis baja hancur. Setelah itu, komando militer Hindia Belanda memindahkan detasemen ini ke Bandung dan tidak lagi mengirimkannya kembali ke dalam operasi militer sampai penyerahan Hindia Belanda kepada Jepang. Sementara itu sebelum perang pecah dengan Jepang, senjata artileri anti-tank dan anti-pesawat modern dibeli untuk melawan kemungkinan serangan dari armada pesawat dan kendaraan lapis baja lawan. Jumlah peralatan baru yang benar-benar mencapai Hindia Belanda tidak banyak, karena pesanan dilakukan pada saat pasar senjata sudah terlalu berat untuk memenuhi pesanan dari semua pihak. Semakin memperumit masalah, pemasok senjata tradisional dari Eropa terputus setelah perang pecah di Eropa pada tahun 1939/1940 dan produksi perang dari Amerika masih belum sepenuhnya siap. Yang menjadi pengecualian adalah pengadaan mortir. Pada akhir 1941, KNIL memiliki 30 artileri anti-tank modern, 70 senapan anti-tank, 102 artileri anti-pesawat modern dan 276 mortir kaliber 81mm. Mengenai kendaraan tempur, KNIL terhitung memiliki 24 tank dan 142 kendaraan lapis baja. Peralatan yang lebih modern telah dipesan, tetapi tidak dapat dikirim tepat waktu. Sementara itu untuk senjata perorangan di unit infanteri, para perwira KNIL umumnya diberi pistol FN M.25 dengan beberapa bintara menerima senapan sub machine gun M.28/II rancangan Schmeisser. Pasukan Infanteri dan kavaleri KNIL terutama dipersenjatai dengan senapan dan karabin Mannlicher Geweer M.95. Senapan mesin ringan standar peleton adalah Madsen M.25 dengan senapan mesin Vickers yang lebih berat melengkapi kompi senapan mesin.

Sub machine gun M.28/II. Senjata ini umumnya dibagikan pada para perwira KNIL (Sumber: https://commons.m.wikimedia.org/)
Senapan Mannlicher Geweer M.95 standar pasukan Infanteri dan kavaleri KNIL. (Sumber: https://www.icollector.com/)
Senapan mesin ringan standar peleton KNIL Madsen M.25. (Sumber: https://modernfirearms.net/)

Modernisasi angkatan udara menjadi prioritas utama KNIL. Upaya ini datang dengan mengorbankan pihak Angkatan Darat. KNIL diketahui mulai bereksperimen dengan pesawat terbang sedari tahun 1914, dan unit bantuan udara segera digelar. KNIL kemudian mengadopsi strategi pertahanan tidak langsung melalui penggunaan pesawat pengebom horizontal. Pesawat-pesawat pengebom ini bisa menyerang unit armada musuh sebelum pasukan mereka bisa mendarat. Awalnya, strategi ini hanya direncanakan untuk digelar di Pulau Jawa. Kemudian, strategi udara ini diperluas untuk mencakup lebih banyak wilayah, sampai ke tepi pulau-pulau terluar. Armada pengeboman dilengkapi pada tahun 1940 dan 1941 dengan pesawat tempur satu kursi yang dapat dikerahkan untuk mengawal pesawat pengebom, mendukung pertahanan udara lokal dari beberapa objek darat dan memberikan dukungan udara kepada pasukan di darat. Secara keseluruhan, ini mengarah pada pertumbuhan yang cepat, baik dalam peralatan maupun personel, untuk angkatan udara antara tahun 1936 dan 1942. Namun target organisasi perang yang direncanakan tidak semuanya tercapai. Selain perluasan angkatan udara, penggantian armada pengebom dijadwalkan awal tahun 1942, tetapi akhirnya terlambat. Angkatan udara KNIL, Militaire Luchtvaart KNIL (Angkatan Udara Kerajaan Hindia Belanda; ML-KNIL) saat perang pecah berjumlah 389 pesawat dari semua jenis, tetapi sebagian besar kalah kelas dengan pesawat-pesawat Jepang. Pesawat Belanda Pada tanggal perang pecah 7 Desember 1941 dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Dinas Udara Angkatan Laut Kerajaan Belanda (MLD): 33 pesawat amfibi Dornier; 35 pesawat amfibi Catalina, 6 pesawat Fokker T-IV 
  2. Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda (KNIL): 83 pesawat pengebom Glenn Martin B10; 71 pesawat tempur Brewster Buffalo F2A, 17 Pesawat tempur Curtis Wright W21, 13 Pesawat tempur Curtiss 75A, dan sekitar 40 pesawat pengintaian dan latih.
  3. Maskapai Kerajaan Hindia Belanda (KNILM): 4 pesawat transport Douglas DC-2, 18 pesawat transport Lockheed Lodestar.
Pesawat pembom Glenn Martin B10. (Sumber: https://thejavagoldblog.files.wordpress.com/)
Pesawat tempur Curtis Wright W21. (Sumber: https://m.facebook.com/)
Pesawat tempur Curtiss 75A. (Sumber: https://www.worldwarphotos.info/)

Pesawat lain juga sedang dipesan tetapi tidak bisa dikirim hingga perang pecah. Sementara itu untuk mendukung strategi pertahanan tidak langsung yang dianut, dibangun lapangan terbang di seluruh Hindia Belanda dalam bentuk tiga lini pertahanan udara. Garis pertama berada di sepanjang perbatasan luar kepulauan Indonesia. Garis kedua berada di sepanjang sisi utara Laut Jawa. Dan garis terakhir berangkat dari Sumatera Selatan, melintasi pulau Jawa, menuju ke Bali. Pada tahun 1941/1942 pada dasarnya KNIL telah berubah menjadi pasukan sukarelawan wajib militer dengan peralatan yang lebih modern yang ditujukan untuk mempertahankan pulau Jawa khususnya dari musuh asing. Metamorfosis yang signifikan ini terutama terjadi antara tahun 1936 dan 1942. Namun, KNIL menunjukkan beberapa kelemahan struktural dalam hal manajemen dan peningkatan jumlah personel. Seorang perwira Australia mengamati pada bulan November 1941 bahwa ‘(pasukan) infantri dan artileri KNIL umumnya diperlengkapi dengan baik, tetapi (…) peralatannya jauh lebih maju dari pelatihannya.’ Selain itu, komando di tingkat batalion dan resimen tergolong buruk.

PERANG DUNIA KEDUA

Setelah Belanda diduduki oleh Jerman, situasi militer dan politik Hindia Belanda mulai memburuk dengan cepat – lagi pula, bantuan militer dan ekonomi dari negeri Belanda terputus, selain Jerman, sampai akhir tahun 1930-an, yang tetap menjadi salah satu partner militer utama dan mitra dagang Belanda, sekarang, karena alasan yang jelas, tidak lagi demikian. Di sisi lain, Jepang, yang telah lama berniat untuk “mengambil alih” hampir seluruh kawasan Asia-Pasifik, menjadi agresif. Dengan invasi Jerman dan pendudukan Belanda pada tahun 1940, koloni di Hindia Belanda menjadi salah satu daerah terakhir yang masih dikuasai Belanda. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang kemudian mengangkut unit-unit Angkatan Darat Jepang ke pantai-pantai Kepulauan semenanjung Malaya dan Filipina untuk merebut wilayah kaya bahwn mentah itu. Belanda kemudian menyatakan perang terhadap Jepang pada tanggal 8 Desember 1941 setelah serangan Jepang di Pearl Harbor dan semenanjung Malaya serta Filipina yang dikuasai Inggris dan Amerika. Menghadapi kekuatan Jepang ini, selain relawan inti asal Eropa yang telah mendaftar untuk bertugas selama beberapa tahun, KNIL juga menetapkan wajib militer untuk orang-orang Eropa yang dimulai pada tahun 1917. Mulai tahun 1938, semua jenis wajib militer jangka pendek ditambahkan ke dalamnya. Wajib militer terbatas untuk orang-orang Indonesia diperkenalkan pada Juli 1941. Dua kontingen wajib militer tahunan pertama dilaporkan bertugas pada tanggal 27 Oktober dan pada tanggal 1 November 1941. 6.000 orang ini baru saja memulai pelatihan militer mereka ketika Jepang menyerang. Mereka tidak akan pernah ditugaskan ke medan tempur. Setelah mobilisasi dilaksanakan KNIL diatas kertas berjumlah sekitar di bawah 114.000 orang (sekitar 35.000 adalah tentara profesional, sisanya terdiri dari milisi yang terorganisir secara lokal, unit penjaga teritorial dan pasukan pembantu sipil) ketika harus mempertahankan Hindia Belanda dari invasi Jepang di bulan Desember 1941, dengan tambahan beberapa ribu tentara lagi asal Australia, Inggris, dan Amerika. Dari jumlah ini 94.000 di antaranya dikerahkan di Pulau Jawa. Sebuah kekuatan yang cukup besar dibanding dengan 55.000 tentara Jepang yang menyerbu. Akan tetapi perlawanan, kecuali untuk beberapa tempat, hanya berlangsung untuk waktu yang sangat singkat. Penaklukan Jepang atas Indonesia berlangsung kira-kira hanya dalam waktu tiga bulan. KNIL saat perang pecah sedang dalam masa transisi dari organisasi yang awalnya bertugas menjamin keamanan dalam negeri di wilayah jajahan dengan menekan berbagai pemberontakan lokal dengan senjata sederhana – awalnya tidak diperlengkapi untuk melakukan pertahanan dalam situasi perang modern. Melihat fakta ini, maka tidak mengherankan jika Belanda lebih suka menyatakan dirinya netral – terhadap negara-negara yang berpotensi merebut Hindia Belanda.

KNIL sebelum invasi Jepang. (Sumber: https://indisch-anders.nl/)
Lima prajurit KNIL Indonesia yang tetap bertahan dari batalyon lapangan Inf X pada tanggal 14 Februari 1942. Mereka hampir berhasil mengusir pasukan terjun payung Jepang dari kilang minyak di dekat Palembang, Sumatera. Mereka mengenakan seragam lapangan M37 dengan helm KNIL tanpa gambar singa di atasnya, dipersenjatai dengan karabin M95 dan klewang dan membawa granat tangan di ikat pinggang mereka dalam tas kain. (Sumber: https://indisch-anders.nl/)
Tentara KNIL di Batavia, 1 Maret 1942. (Sumber: http://ww2images.blogspot.com/)

Untuk transportasi, komunikasi dan perbekalan, KNIL sangat bergantung pada struktur pemerintahan sipil dan fasilitas dan pemasok lokal, yang banyak menyebabkan penundaan di masa perang. Dari sisi komunikasi stasiun radio infanteri portabel KNIL hanya memiliki jangkauan sejauh 10 kilometer, dan bahwa invasi Jepang terjadi selama musim hujan, juga turut menghalangi koneksi radio. Pada tahun 1941, menjelang serangan Jepang ke selatan dan terinspirasi oleh penggunaan taktik perang mekanis Jerman di Eropa Barat, diputuskan bahwa KNIL akan direorganisasi dan diperluas secara drastis. Rencana ini berusaha untuk menggerakkan dan melakukan mekanisasi pada unit infanterinya. Untuk tujuan ini, lima brigade campuran dan satu brigade mobile akan dibentuk di bawah arahan tiga staf divisi. Tetapi menjelang pendaratan Jepang di wilayah Indonesia, rencana-rencana ini belum sepenuhnya terwujud. Artinya, pasukan mobile yang tersedia terdiri dari empat resimen infanteri dengan pasukan pendukung. Hanya tujuh dari 16 batalyon infanteri KNIL yang menggunakan kendaraan bermotor. Namun, unit kavaleri telah menjadi hampir sepenuhnya bermotor. Invasi Jepang kemudian menghantam KNIL di tengah proses reorganisasi ekstensif yang sedang dilakukan. Pada akhir tahun 1941, unit-unit udara Jepang memulai misi penerbangan di atas Kalimantan, setelah itu unit-unit pasukan darat Jepang menyerbu pulau itu, yang ditugaskan untuk merebut kilang-kilang minyak di pulau itu. Kemudian lapangan-lapangan udara penting direbut di pulau Sulawesi yang berdekatan. Melalui operasi gabungan yang terorganisir dengan baik, angkatan darat, laut dan udara Jepang segera menerobos garis pertahanan KNIL. Garnisun yang terisolasi di pulau-pulau terluar dilikuidasi satu per satu. Angkatan Laut Kerajaan Belanda bersama dengan sekutunya kemudian berhadapan dengan angkatan laut Jepang. Namun Angkatan Laut Kekaisaran Jepang muncul sebagai yang pihak yang unggul dalam Pertempuran Laut Jawa. Pada akhir bulan Februari dan awal Maret, Angkatan Darat ke-16 Jepang melakukan pendaratan amfibi di tiga lokasi berbeda di sisi timur dan barat Jawa. Mereka mendaratkan hampir 55.000 tentara di pantai-pantai Pulau Jawa. KNIL dan sekutunya sebenarnya berada di atas angin dalam hal jumlah personelnya yang sangat banyak, yakni: 94.000 pasukan KNIL, 3.500 tentara Inggris, 2.500 orang Australia (tidak termasuk pasukan RAF dan RAAF) dan 900 orang Amerika. Dan kedua belah pihak tampaknya sama-sama diperlengkapi dengan persenjataan yang baik. Pasukan Infanteri Jepang memiliki keunggulan tembakan dengan unit peluncur granat dan unit infanterinya. Tentara Jepang di sisi lain memiliki keunggulan yang jelas dalam hal jumlah pesawat dan tank. Pada akhirnya pasukan Jepang yang cepat dan agresif mampu mengecoh pertahanan sekutu yang sebagian besar bersifat statis baik secara operasional maupun taktis dengan memanfaatkan sepenuhnya kekuatan udara mereka. Penggunaan kekuatan udara mereka terbukti sangat penting di seluruh kampanye ini. Pada tanggal 8 Maret Jenderal Poorten memimpin penyerahan Tentara Hindia Belanda. Selama kampanye militer tahun 1941-1942 hampir semua tentara Hindia Belanda dikalahkan oleh tentara Jepang. Tentara keturunan Belanda, serta tentara dan bintara dari sejumlah kelompok etnis Kristen di Indonesia, kemudian diasingkan di kamp-kamp penjara, dan hingga 25% tawanan perang tentara Hindia Belanda tercatat meninggal dalam penahanan. Sebagian kecil prajurit, yang sebagian besar dari pribumi Indonesia, berhasil menyelamatkan diri atau membaur dengan warga sipil sampai pembebasan Indonesia dari pendudukan Jepang. Bagian lain dari tentara Hindia Belanda dapat menyeberang ke Australia, dan setelah itu bergabung dengan pasukan Sekutu. 

Tank Marmon-Herington CTLS-4TA KNIL setibanya di Surabaya, pada bulan Februari 1942. (Sumber: https://thejavagoldblog.wordpress.com/)
Pesawat tempur Brewster Buffalo Belanda. Dalam pertempuran diatas Semplak pada 19 Februari 1942, misalnya, pilot-pilot Belanda dengan 8 pesawat Brewster Buffalo melawan 35 pesawat Jepang. Akibat pertempuran tersebut, 11 pesawat Jepang dan 4 pesawat Belanda tertembak jatuh. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Ilustrasi penyerahan tentara Belanda kepada Jepang, tanggal 8 Meret 1942. (Sumber: https://www.quora.com/)

Pada akhir tahun 1942 dilakukan upaya untuk memperkuat pasukan khusus Australia, yang memimpin perjuangan partisan melawan Jepang di Timor Timur, oleh beberapa tentara Belanda dari bekas tentara Hindia Belanda. Namun, 60 tentara Belanda tercatat tewas di Timor. Selain itu, pada tahun 1944-1945. unit kecil Belanda berpartisipasi dalam pertempuran di Kalimantan dan pulau New Guinea. Di bawah komando operasional Angkatan Udara Australia, empat skuadron Hindia Belanda dibentuk dari antara pilot-pilot bekas Angkatan Udara Kerajaan Hindia Belanda dengan staf darat asal Australia. Adapun mengenai Angkatan Udaranya, unit penerbangan Royal Dutch Indian Army sedari awalnya sudah sangat ketinggalan dibanding kekuatan udara Jepang dalam hal peralatan. Namun kekurangan ini yang tidak menghalangi pilot-pilot Belanda untuk bertempur secara berani, mempertahankan wilayah jajahannya dari armada Jepang, dan kemudian mengungsi dan menjadi bagian dari kekuatan udara Australia. Dalam pertempuran diatas Semplak pada 19 Februari 1942, misalnya, pilot-pilot Belanda dengan 8 pesawat Brewster Buffalo melawan 35 pesawat Jepang. Akibat pertempuran tersebut, 11 pesawat Jepang dan 4 pesawat Belanda tertembak jatuh. Di antara pilot-pilot Belanda, pantas diingat adalah Letnan August Deibel, yang selama periode ini berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur Jepang (2 diantaranya jenis Ki-27 Nate saat bertempur di Singapura, 12 Januari 1942). Letnan Deibel berhasil melewati seluruh masa perang, dengan selamat setelah mengalami dua cidera, tetapi kematian menghampirinya di udara setelah perang, pada tanggal 12 Juni 1951, ketika ia meninggal dalam kecelakaan di kemudi pesawat tempur Gloster Meteor. Ketika tentara Hindia Belanda menyerah, angkatan udara Hindia Belanda tetap menjadi unit yang paling siap tempur di bawah komando Australia. Tiga skuadron kemudian dibentuk – dua skuadron pembom B-25 Mitchell dan satu skuadron tempur P-40 Kittyhawk. Selain itu, tiga skuadron Belanda juga dibentuk sebagai bagian dari kekuatan udara Inggris. Angkatan Udara Inggris mengerahkan skadron ke-320 dan 321 serta skadron pengebom ke-322. Yang terakhir, hingga saat ini, tetap ada dalam dinas aktif Angkatan Udara Belanda dengan menerbangkan jet tempur siluman F-35 Lightning II. Saat perang, tepat di selatan Casino, New South Wales, Australia sebuah kamp didirikan pada tahun 1942 untuk Batalyon Teknik KNIL. Setelah deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia, tentara Belanda di batalyon itu mengasingkan dan memenjarakan 500 rekan pribumi Indonesia mereka di dalam kamp. Perlakuan keras dan hukuman dikeluarkan oleh Belanda pada setiap prajurit yang mendukung kemerdekaan. Hal ini menyebabkan kematian dua tentara pribumi KNIL; salah satunya adalah kemungkinan bunuh diri dan yang lainnya adalah pemimpin protes. Hal ini menimbulkan kecaman dari penduduk setempat Australia, yang memaksa pihak berwenang Australia untuk memulangkan semua tentara yang dipenjarakan, meskipun enggan untuk mengindahkan permintaan bantuan sebelumnya.

SETELAH PERANG DUNIA KEDUA

Berakhirnya Perang Dunia Kedua disertai dengan tumbuhnya gerakan kemerdekaan di Indonesia. Dibebaskan dari pendudukan Jepang, orang-orang Indonesia tidak lagi sudi kembali di bawah kekuasaan kerajaan Belanda, meskipun yang terakhir berusaha keras untuk menjaga koloni di bawah kekuasaannya. Mereka akhirnya dipaksa untuk membuat konsesi kepada para pemimpin gerakan kemerdekaan Indonesia. Namun, Tentara Kerajaan Hindia Belanda sempat dipulihkan dan terus ada selama beberapa waktu setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1945 pasukan Australia dan Belanda mendarat di Tarakan untuk memulai pembebasan wilayah jajahan Belanda. Jepang secara resmi menyerah, dan setuju untuk mengembalikan Hindia Timur kepada Belanda pada bulan Agustus 1945. Sebulan kemudian, pemerintah Hindia Belanda secara resmi kembali berkuasa, dan para tahanan KNIL diperintahkan kembali bertugas untuk mendapatkan kembali kendali atas koloni itu. Selama lima tahun, unit-unit KNIL berjuang untuk membangun kembali koloni mereka melawan gerakan kemerdekaan Indonesia. Unit-unit reguler Angkatan Darat Kerajaan Belanda segera bergabung dengan KNIL dalam upaya untuk merebut kembali bekas jajahan mereka. Prajurit dan perwira KNIL mengambil bagian dalam dua kampanye militer besar untuk memulihkan tatanan kolonial di Indonesia pada tahun 1947 dan 1948. Unit-unit KNIL selepas Perang Dunia II sebagian besar terdiri dari pasukan warga negara Belanda, dengan total jumlah tentara Belanda berkisar antara 20.000 hingga 92.000 personel yang bertempur di Indonesia. Salah satu unit yang paling buruk reputasinya adalah Korps Speciale Troepen (KST) yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling (1919–1987). Unit ini mirip dengan Korps Marechaussee, yang banyak melakukan kejahatan perang dalam upayanya untuk mengendalikan pemberontakan. Pada tahun 1947 sekitar 3.000 orang dieksekusi oleh unsur-unsur KST selama dua bulan.

Pasukan terjun payung KNIL sedang bersiap, tahun 1948. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
‘Aksi pembersihan’ oleh militer Belanda di dekat Piyungan pada tanggal 26 April 1949. (Sumber: https://theconversation.com/)
Tentara KNIL asal Ambon. Setelah Belanda pergi dari Indonesia, lebih 12.500 orang Ambon yang bertugas di Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda, beserta anggota keluarganya, terpaksa beremigrasi dari Indonesia ke Belanda. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Namun, semua upaya Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Hindia Belanda terbukti sia-sia dan pada tanggal 27 Desember 1949 Belanda mengakui kedaulatan politik Indonesia, karena tekanan dari komunitas internasional dan perlawanan rakyat Indonesia. Pada tanggal 26 Juli 1950 diputuskan untuk membubarkan Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Hal ini disebabkan kesepakatan internasional yang dibuat pada Konferensi Meja Bundar (Agustus-November 1949) di Den Haag. Pada saat Royal Dutch East Indie Army dibubarkan, 65.000 tentara dan perwira masih bertugas. Dari jumlah tersebut, 26.000 dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (kemudian menjadi Tentara Nasional Indonesia), sementara 39.000 sisanya didemobilisasi atau dipindahkan ke Angkatan Bersenjata Belanda. Prajurit pribumi di KNIL kemudian diberi kesempatan untuk melakukan demobilisasi, atau tetap bertugas di angkatan bersenjata Indonesia yang berdaulat. Namun, di sini lagi-lagi kontradiksi antaretnis terasa. Dalam angkatan bersenjata baru Indonesia yang berdaulat, personel yang didominasi orang-orang Muslim-Jawa – yang merupakan veteran perang kemerdekaan, selalu berpandangan negatif dengan apapun yang berhubungan dengan penjajah Belanda. Mereka bertentangan denngan bekas pasukan kolonial, yang kontingen utama diwakili oleh orang Ambon yang dikristenkan dan orang-orang lain di pulau-pulau Maluku Selatan. Ketegangan yang tak terhindarkan muncul antara tentara Ambon dan Jawa, yang menyebabkan konflik di Makassar pada bulan April 1950 dan munculnya upaya untuk menciptakan Republik Maluku Selatan yang merdeka pada bulan Juli 1950. Pada bulan November 1950, pasukan Republik mampu menekan pemberontak asal Ambon. Setelah itu, lebih 12.500 orang Ambon yang bertugas di Angkatan Darat Kerajaan Hindia Belanda, beserta anggota keluarganya, terpaksa beremigrasi dari Indonesia ke Belanda. Beberapa orang Ambon juga beremigrasi ke Western New Guinea (Papua), yang sampai tahun 1962 tetap berada di bawah kekuasaan Belanda. Orang-orang Ambon yang memilih untuk beremigrasi ke Belanda memiliki alasan sangat sederhana, yakni mereka mengkhawatirkan kehidupan dan keamanan mereka di Indonesia pasca pemerintah kolonial Belanda pergi. Sementara itu peran KNIL dalam perkembangan militer Republik Indonesia sendiri tidak dapat diabaikan, beberapa pemimpin militer awal gerakan kemerdekaan Indonesia pernah mendapat pelatihan sebagai prajurit dan bintara di KNIL. Salah satu contohnya adalah Suharto (lahir tahun 1921), presiden Indonesia dari tahun 1967 hingga 1998, yang naik dari prajurit menjadi sersan di KNIL sebelum Perang Dunia II pecah.

Panglima Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL, DJ Buurman van Vreeden berbicara pada malam pembubaran KNIL di Komisi Tinggi Belanda di Jakarta pada tanggal 26 Juli 1950. (Sumber: https://voi.id/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

KNIL: Guarding the Dutch East Indies; November 7, 2014

https://en.topwar.ru/61887-knil-na-strazhe-gollandskoy-ost-indii.html

Royal Netherlands East Indies Army: preparing for war Posted by M.J. Lohnstein on 4 September 2018 12:28:00 BST In Military History

https://ospreypublishing.com/blog/Royal_Netherlands_East_Indies_Army/?___store=osprey_rst

ROYAL DUTCH-INDISCH ARMY; Posted on May 30, 2016

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Royal_Netherlands_East_Indies_Army

Armored vehicles used by The Netherlands until 1945

https://www.google.com/amp/s/tanks-encyclopedia.com/ww2/netherland/ww2_dutch_tanks.php%3Famp

KNIL – Royal Dutch East Indies Army

THE KNIL 1936-1942 IN FIGURES AND IMAGES; 09/10/2018

History Today 26 July 1950: Royal Dutch East Indies Army, KNIL Disbanded After 120 Years Of Work; 26 Jul 2022 16:04

https://www.google.com/amp/s/voi.id/en/amp/194570/history-today-26-july-1950-royal-dutch-east-indies-army-knil-disbanded-after-120-years-of-work

The Dutch Air Forces in the Pacific War

by John Douglas

https://pacificwrecks.com/douglas/articles/neiaf.html

https://en.m.wikipedia.org/wiki/August_Deibel

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Structure_of_the_Royal_Netherlands_Air_Force

Buku “Selamat Berpisah Sampai Berjumpa di Saat Yang Lebih Baik” oleh J.C. Bijkerk, 1988; p 48, p 118

Dutch East Indies Infantry Weapons

https://www.quartermastersection.com/dutch-east-indies/infantry-weapons/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *