Jejak Keterlibatan Militer Kuba Dalam Perang Saudara Di Angola (1975-1991)
Intervensi Kuba di Angola (dengan nama sandi Operasi Carlota) dimulai pada tanggal 5 November 1975, ketika Kuba mengirim pasukan tempur untuk mendukung Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Angola (MPLA) yang selaras dengan misi pihak Komunis guna melawan intervensi yang didukung Amerika Serikat oleh Afrika Selatan dan Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) yang mendukung dua gerakan kemerdekaan Pro-Barat yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di negara itu, lewat Front Pembebasan Nasional Angola (FNLA) dan Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola (UNITA). Pada tahun 1988, pasukan Kuba (yang telah meningkat menjadi sekitar 55.000 personel) turun tangan untuk mencegah bencana militer yang mengancam Angkatan Bersenjata Rakyat untuk Pembebasan Angola (FAPLA)/Sayap Militer MPLA yang dipimpin Soviet terhadap UNITA, yang masih didukung oleh Afrika Selatan, yang mengarah ke Pertempuran Cuito Cuanavale dan pembukaan front kedua. Peristiwa ini kemudian dianggap telah menjadi pendorong utama keberhasilan pembicaraan damai yang sedang berlangsung yang mengarah pada ditandatanganinya New York Accords, sebuah perjanjian yang mendorong penarikan pasukan Kuba dan Afrika Selatan dari Angola sementara Afrika Barat Daya memperoleh kemerdekaannya dari Afrika Selatan, yang kemudian menjadi negara Namibia. Keterlibatan militer Kuba di Angola berakhir pada tahun 1991, sedangkan Perang Saudara di Angola sendiri berlanjut hingga tahun 2002.
LATAR BELAKANG
Kemenangan tak terduga Fidel Castro pada tahun 1959 atas pasukan diktator Kuba, Fulgencio Batista memancarkan gelombang kejut yang akan memengaruhi kebijakan dunia selama beberapa dekade kemudian. Kemenangannya menegaskan kembali pelajaran dalam sejarah — bahwa pasukan kecil berdedikasi yang dipimpin oleh seorang komandan yang menginspirasi dan karismatik dapat memiliki keunggulan dibandingkan pasukan profesional yang lebih besar tetapi bermotivasi rendah. Tidak puas dengan api revolusi hanya berkobar di dalam batas wilayah Kuba, Castro kemudian mengirimkan pasukannya untuk bertempur dalam konflik bersenjata di benua lainnya. Dalam catatan sejarah tidak ada tempat yang lebih merasakan kehadiran tentara Kuba selain di Angola yang mengalami perang saudara berdarah selama 27 tahun. Pada awal tahun 1970-an Angola bukanlah negara Afrika bagian selatan yang sedang berkembang ekonominya, melainkan sebuah negara yang sedang ada dalam pusaran kekacauan politik. Banyak faksi yang dibagi berdasarkan etnis dan ekonomi dari populasi yang sangat berbeda-beda telah saling berselisih selama bertahun-tahun. Satu-satunya tujuan yang dapat mereka sepakati hanyalah mengenai memperjuangkan kemerdekaan dari Portugal, yang telah mendominasi Angola sejak akhir abad ke-15, ketika daerah itu masih diperintah oleh sekelompok kerajaan dan konfederasi suku-suku yang merdeka. Orang-orang Portugis datang mencari emas tetapi segera menyadari bahwa harta sebenarnya di daerah itu terletak pada perdagangan manusia. Perdagangan budak adalah satu-satunya usaha komersial yang paling menguntungkan saat itu, dan Portugis termasuk di antara pedagangnya yang paling produktif. Mereka menangkapi penduduk untuk dijadikan budak, berdagang dengan penguasa lokal untuk membeli tawanan dari suku-suku yang saling bersaing, dan terlibat dalam perbudakan internasional dalam skala besar.
Meskipun para penanam dan pengusaha di Amerika Utara dan Karibia membeli budak dalam jumlah besar, koloni Portugis di Brasil — dengan banyak perkebunan dan permintaan tetap akan tenaga kerja— adalah tujuan pilihan utama hingga pertengahan tahun 1800-an, ketika pelabuhannya ditutup untuk perdagangan budak. Tetapi dalam 275 tahun perdagangan, diperkirakan jutaan atau lebih penduduk asli dari Angola dikirim secara berantai ke pasar budak Dunia Baru. Bahkan dengan berakhirnya perdagangan secara resmi, perbudakan tetap legal dan dipraktikkan secara luas di perkebunan kopi, gula, dan kapas Angola hingga tahun 1875, ketika perbudakan itu pun berakhir. Pada akhir 1880-an perjanjian yang dibuat di Eropa mengakui dan mendefinisikan batas-batas klaim kolonial Portugal atas Angola. Setelah itu, Portugis mulai melakukan penjajahan dengan sungguh-sungguh, membangun rel kereta api, kota, dan pelabuhan, dan meluncurkan program Westernisasi untuk mengembangkan ekonomi negara. Metode mereka seringkali brutal, dan ketika suku-suku itu melawan, mereka ditundukkan satu per satu, sampai Portugal menguasai hampir seluruh koloni. Pada tahun 1920-an, kamp kerja paksa bermunculan di perkebunan kopi dan kapas di utara, di mana kerja paksa menjadi bentuk baru perbudakan. Sementara itu, dalam waktu singkat Portugal telah berkembang dari monarki menjadi republik dan, pada tahun 1926, menjadi kediktatoran militer yang penguasaannya atas Angola semakin ketat.
Pada tahun 1956, kelompok gerilya kiri yang menamakan dirinya Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Angola (MPLA) bangkit melawan pemerintah. Gerakan itu didirikan oleh anggota Partai Komunis Portugis, dengan dukungan dari berbagai negara blok Timur. MPLA sebagian besar terdiri dari suku Mbundu dari wilayah Angola tengah-utara. Tahun berikutnya faksi kedua, Front Nasional untuk Pembebasan Angola (FNLA), dibentuk, terutama oleh suku Bakongo dari Angola utara dan sebagian dibantu oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1961, perang perlawanan antikolonial, yang awalnya dilakukan oleh para pekerja tertindas di ladang kopi dan kapas, telah pecah dan menyebar dengan cepat. Lima tahun kemudian, kelompok nasionalis ketiga muncul: Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola (UNITA) sebagian besar terdiri dari suku Ovimbundu di Angola tengah — mencakup sekitar 37 persen populasi, menjadi kelompok etnis terbesar di negara itu. Mereka mendapat dukungan dari Amerika Serikat dan dari rezim apartheid Afrika Selatan. Berbagai gerakan ini, masing-masing memiliki agenda politiknya sendiri-sendiri, membuat tuntutan yang saling bertentangan tentang kesetiaan penduduk asli Angola, dan faksi-faksi tersebut tidak hanya berperang melawan Portugis tetapi juga bertarung satu sama lain. Setelah 13 tahun pertempuran sengit yang kemudian dikenal sebagai Perang Kemerdekaan, ketiga kelompok itu sepakat untuk menghentikan permusuhan. Pada tahun 1975 kudeta militer di Portugal menggulingkan kediktatoran Antonio d’Oliveira Salazar. Negara itu telah lelah berperang di koloninya di Afrika, lama setelah Inggris dan Prancis menarik diri dari koloni mereka di Afrika. Di tahun itu juga, Portugal meninggalkan Angola dan memerdekakan negeri itu. Perjanjian Alvor yang dihasilkan, ditandatangani bersama oleh pemerintah demokratis baru Portugal dan para pemimpin dari tiga gerakan pembebasan Angola yang bertikai, menetapkan pemerintah transisi tripartit untuk diawasi oleh ketiga faksi.
Untuk jeda singkat pertempuran berdarah di antara kelompok-kelompok itu terhenti, tetapi meskipun Portugal telah melakukan upaya terbaik, pemerintah transisi runtuh dan tiga kelompok nasionalis kembali bertempur di antara mereka sendiri untuk menguasai negara mereka yang baru saja merdeka. Tak lama setelah kemerdekaan dideklarasikan, MPLA — yang didukung oleh pasukan militernya, Angkatan Bersenjata untuk Pembebasan Angola (FAPLA) —membentuk pemerintahannya sendiri di Luanda, ibu kota Angola. Sementara itu Pasukan Pertahanan Afrika Selatan (SADF), untuk mendukung UNITA, telah menginvasi dari arah selatan, sementara pasukan FNLA telah menerima bala bantuan dari utara dalam bentuk infanteri, pasukan terjun payung, dan kendaraan lapis baja dari Zaire. SADF, yang melakukan intervensi militer untuk mendukung Savimbi, berharap jika mereka berhasil merebut ibu kota Luanda, mereka akan bisa membentuk rezim bersahabat yang melindungi pendudukan Afrika Selatan di Namibia. Perang Saudara Angola kini telah dimulai. Berlangsung di tengah konflik Perang Dingin, perang ini terbukti menjadi salah satu konflik terpanjang dan paling berdarah di zaman modern. Uni Soviet, Kuba, dan negara-negara komunis lainnya mendukung MPLA yang beridiologi kiri, sementara Amerika Serikat, yang tidak ingin membiarkan pemerintah komunis berdiri dan ingin melindungi kepentingan minyaknya, secara diam-diam memberikan senjata dan penasihat, serta uang hampir senilai $ 32 juta, untuk FNLA dan UNITA. Kabarnya, CIA menerbangkan puluhan ribu senapan, mortir, dan roket kecil buatan asing — dan personel pelatihan militer — ke Angola.
AWAL INTERVENSI
Pada awal Agustus tahun 1975, tepat sebelum invasi Afrika Selatan, Fidel Castro telah memerintahkan pembentukan empat misi militer, “Pusat Instruksi Revolusioner,” di Angola untuk melatih para petempur FAPLA MPLA. Dia membantu mereka dengan 480 instruktur asal Kuba dan penasihat teknis, hampir lima kali lipat jumlah yang diminta MPLA. Selain itu Soviet juga pada akhirnya mengirim sekitar 1.000 penasihat, uang, tetapi tidak ada pasukan tempur yang dikirimkan. Jerman Timur juga mengirimkan bantuan militer. Pada saat itu Castro mungkin membayangkan misi Kuba hanya sebagai misi penasehat saja. Namun hal itu akan segera berubah. Pada akhir Oktober beberapa staf Kuba bergabung dengan FAPLA dalam upaya untuk mengusir serangan Afrika Selatan. Karena kalah dalam jumlah dan persenjataan, mereka gagal. Castro kemudian menulis dalam otobiografinya bahwa di antara puluhan korban, delapan instruktur Kuba tewas dan tujuh lainnya luka-luka. Darah Kuba telah ditumpahkan di tanah Angola untuk pertama kalinya. “Kami menerima tantangan tanpa ragu sedikit pun,” kenang Castro. “Instruktur kami tidak akan menyerah pada nasib mereka…. Enam ribu mil dari rumah, pasukan Kuba… bertempur melawan Afrika Selatan, kekuatan terbesar di benua Afrika, dan Zaire, rezim boneka terkaya di Afrika yang memiliki persenjataan terbaik dari Eropa dan Amerika Serikat. ” Castro telah mengenal MPLA sejak akhir tahun 1950-an. Pada awal tahun 60-an, setelah dia berkuasa, Kuba telah melatih beberapa pejuang gerilya, dan utusan militer Kuba dalam diri Che Guevara telah mengenal para pemimpinnya. Penyerangan Afrika Selatan ke Angola mendorong Kuba untuk bertindak mendukung MPLA. Dalam wawancara yang membuat berita pada tahun 1977 dengan Barbara Walters, Castro menyatakan bahwa ketika pasukan Afrika Selatan menyerbu Angola pada tanggal 23 Oktober 1975, Kuba harus membuat keputusan. “Entah kami akan duduk diam, dan Afrika Selatan akan mengambil alih Angola, atau kami akan berusaha membantu. Itulah saatnya. Pada tanggal 5 November kami membuat keputusan untuk mengirim unit militer pertama ke Angola untuk berperang melawan pasukan Afrika Selatan. ” Dengan cepat kehadiran militer Kuba di Angola menyelamatkan militer MPLA yang nyaris kewalahan menghadapi invasi Afrika Selatan yang mendukung UNITA dari arah selatan Luanda, dan serangan FNLA dari arah Utara Ibukota Luanda. Pada satu titik di bulan November 1975, pasukan dukungan Afrika Selatan hanya berjarak 30 mil dari Luanda.
Nyatanya, pada malam tanggal 4 November 1975, kurang dari dua minggu setelah Afrika Selatan / UNITA menginvasi, 100 spesialis senjata berat asal Kuba terbang dari Havana ke Brazzaville, tiba di Luanda tiga hari kemudian. Mereka adalah pelopor dari ribuan orang Kuba yang akan segera mulai berdatangan. Castro memberi kode nama untuk rencana ambisiusnya sebagai Operasi Carlota, diambil dari nama seorang budak wanita Afro-Kuba yang telah melancarkan pemberontakan di Kuba pada tahun 1843. Ketika ditanya oleh otoritas Soviet tentang waktu melancarkan operasi, Kuba mengungkapkan bahwa kapal dan pesawat mereka – dengan dibantu oleh pemerintah Guyana, Barbados, dan Jamaika – sudah dalam perjalanan. Mereka telah mengambil keputusan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan Moskow. Selama tahun berikutnya dia mengirim sekitar 36.000 tentara ke Angola — dan jumlah itu akan bertambah secara eksponensial. Sejak awal, tentara Kuba telah dipersenjatai dengan baik. Meskipun Castro bersikukuh bahwa “Uni Soviet tidak pernah meminta satu pun tentara Kuba dikirim ke Angola”, Uni Soviet memang memasok perlengkapan bagi Kuba dan MPLA dengan apa yang oleh media massa “The Atlantic” digambarkan sebagai “begitu banyak persenjataan,” termasuk senjata ringan, tank, roket, helikopter, dan pesawat tempur MiG. Ketika kehadiran pasukan bersenjata Kuba di Angola diketahui oleh Presiden Gerald Ford pada akhir tahun 1975, Menteri Luar Negeri Henry Kissinger segera mengumumkan ketidaksetujuan Amerika, menasihati Castro bahwa “kebijakan konsiliasi [antara Amerika Serikat dan Kuba] tidak akan bisa bertahan… (karena) intervensi bersenjata Kuba di urusan negara lain yang tengah berjuang untuk menentukan nasib mereka sendiri. ” Ford mengatakan bahwa keterlibatan Kuba “mengakhiri, sejauh yang saya ketahui, setiap upaya untuk memiliki hubungan yang lebih bersahabat.” Castro, yang sangat tidak terkesan dengan deklarasi Kissinger, menjawab bahwa jika hubungan positif dengan Amerika Serikat bergantung pada penarikan dukungan Kuba untuk kelompok kiri Angola, maka “dengan harga itu tidak akan pernah ada hubungan dengan Amerika Serikat.” Lebih dari itu, keterlibatan Kuba dalam Perang Saudara Angola yang sedang berkembang akan memainkan peran utama dalam melumpuhkan hubungan Kuba-AS. selama bertahun-tahun yang akan datang. “Intervensi pasukan tempur Kuba merupakan kejutan total,” tulis Henry Kissinger yang frustrasi, yang sebelumnya menawarkan politik détente dengan Kuba. Kissinger kemudian diketahui sempat membuat rencana darurat untuk “menghajar” dan “menghancurkan” pulau itu, dengan melakukan blokade, meranjau pelabuhannya, dan meluncurkan serangan udara, tapi toh rencana ini akhirnya tidak dilakukan.
ALASAN INTERVENSI
Mengapa Kuba begitu ngotot terlibat dalam perebutan kekuasaan di Afrika, khususnya di Angola? Pertimbangan rasial merupakan faktor utama. Secara historis, komposisi ras dan etnis Kuba berakar kuat asalnya dari Afrika. Pada pertengahan tahun 1850-an pulau itu menerima ribuan budak setiap tahun, ketika setiap pelabuhan lain di Belahan Barat ditutup untuk para budak. Fidel Castro mengamati, “Mereka yang pernah mengirim orang Afrika yang diperbudak ke Amerika mungkin tidak pernah membayangkan bahwa salah satu tempat yang menerima budak-budak itu akan mengirim tentaranya untuk berjuang demi pembebasan orang-orang kulit hitam di Afrika.” Saudara laki-laki Castro, Raul, mengembangkan sentimen ini selama kunjungan pada tahun 1977 ke Angola: “Darah banyak orang Afrika mengalir melalui nadi kami…. Hanya kaum reaksioner dan imperialis yang terkejut dengan fakta bahwa keturunan dari para budak yang telah menyerahkan nyawa mereka untuk kebebasan negara kita kini telah menumpahkan darah mereka untuk kebebasan tanah air leluhur mereka. ” Meskipun berakar dalam sejarah, argumen emosional ini — solidaritas antara warganegara keturunan budak Afro-Kuba — telah mengabaikan fakta bahwa hubungan ras di Kuba pada saat itu sangat tidak stabil. Pada kenyataannya, simpati kuat Castro untuk gerakan revolusioner sayap kiri mungkin kurang lebih sama dengan komitmen Kuba; Selama bertahun-tahun Castro telah mendukung berbagai gerakan dan organisasi pembebasan dan anti-apartheid di Afrika, sehingga serangan Afrika Selatan tahun 1975, bersama dengan dukungan AS untuk gerakan antikomunis FNLA dan UNITA, semuanya pasti akan membangkitkan rasa kekeluargaan politik Castro dengan sesama kelompok kiri.
Lebih jauh, Kuba sangat menyadari peran yang dapat dimainkan Angola dalam ekonomi dunia. Dengan 1.000 mil garis pantainya di selatan Sungai Kongo, negara itu memiliki nilai strategis yang cukup besar secara geopolitik, menawarkan sumber daya alam yang sangat berharga: cadangan gas, minyak, berlian, bijih besi, tembaga, mangan dan kopi, gula, serta tembakau dalam jumlah besar. Dan yang terakhir, Castro kemungkinan besar dimotivasi oleh keinginannya untuk untuk meningkatkan keterlibatan Kuba yang lebih besar dalam masalah dunia. Penulis Hugh Thomas, dalam karya definitifnya, Cuba, menyebut intervensi Kuba di Angola sebagai suatu tindakan yang “sangat berani”: “Pada hari-hari yang genting itu Castro sedang mencari peran dunia, bukan hanya sekedar peran di benua Amerika, apalagi Karibia. [Pada akhirnya] dia… menunjukkan bagaimana Kuba dapat mengirimkan puluhan ribu pasukan untuk tujuan revolusioner. ” Kesediaan Uni Soviet untuk tidak berkonsultasi terlebih dahulu dengan Havana dan membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat selama krisis rudal tahun 1962 telah membuat para pemimpin Kuba sangat menyadari bahwa negara mereka yang kecil dapat menjadi alat tawar-menawar antara negara adidaya. Karenanya, mereka berusaha untuk meningkatkan gerakan revolusioner di luar negeri dengan harapan mereka akan memperoleh kekuasaan dan memberikan sumber dukungan alternatif bagi Kuba. Kuba juga menjadi semakin terlibat dalam konflik di Afrika. Mereka pertama kali melakukan intervensi di wilayah tersebut antara tahun 1961 dan 1965, dengan mengirim pasokan militer, instruktur, dan dokter untuk mendukung Front Pembebasan Nasional Aljazair dalam perjuangannya untuk kemerdekaan dan perang perbatasan berikutnya dengan Maroko. Petualangan Che Guevara di Afrika pada tahun 1964 menunjukkan komitmen Kuba yang meluas ke benua itu, dengan orang-orang Kuba mendukung gerakan antikolonial di Guinea Bissau, Cape Verde, dan Kongo, di mana Guevara secara pribadi berusaha untuk mengorganisir gerilyawan menyusul kudeta terhadap Patrice Lumumba. Sementara itu intervensi Kuba lainnya, seperti bantuan kepada diktator Guinea Barat Francisco Macías Nguema dan pengerahan dua belas ribu tentara tahun 1978 untuk membantu Etiopia selama perang Ogaden, tampaknya lebih didikte oleh dinamika Perang Dingin daripada komitmen pada politik emansipatoris. Memang, hubungan dengan Moskow – yang memberikan dukungan militer dan logistik yang penting, serta subsidi ekonomi yang murah hati – menjadi faktor penentu dalam kebijakan luar negeri Kuba. Uni Soviet sering kali mendikte posisi kebijakan luar negeri pulau itu, seperti pada tahun 1968 dan 1980, ketika menekan Havana untuk mendukung invasi Cekoslovakia dan Afghanistan – yang terakhir merupakan negara non-blok, pada saat Kuba memimpin gerakan itu.
KETERLIBATAN SEMAKIN DALAM
Kekalahan berdarah pertama yang diderita pasukan Kuba / FAPLA terjadi di sepanjang Sungai Nhia, di Angola tenggara. Pertempuran Jembatan 14 pada awal bulan Desember 1975 telah menewaskan sekitar 40 tentara Kuba dan FAPLA. Itu adalah awal yang menyedihkan dari apa yang akan menjadi konflik yang panjang dan brutal dalam sejarah. Dua minggu kemudian, Senat AS, setelah penarikan Amerika baru-baru itu dari Vietnam, mengesahkan Amandemen Clark, yang menyerukan untuk menutup program CIA di Angola yang telah dijalankan bekerja sama dengan Afrika Selatan. Uni Soviet, sementara itu, meningkatkan pengiriman senjata dan amunisinya ke MPLA. Dimulai pada bulan Januari 1976 pasukan Kuba dan FAPLA, yang didukung oleh bantuan militer besar-besaran Soviet, berhasil mengusir pasukan FNLA / Zaire dari Angola dan mengusir tentara Afrika Selatan dan sekutu UNITA nya dari Luanda kembali ke perbatasan Afrika Barat Daya (saat itu dikuasai oleh Afrika Selatan, sekarang menjadi negara Namibia). Pusat kekuatan UNITA yang terakhir di negara itu jatuh ke tangan tentara rezim kiri pada bulan Maret. Masa tenang berlaku sebentar, saat Fidel Castro bertemu dengan pemimpin MPLA Agostinho Neto untuk membahas penarikan mundur dari 36.000 tentara Kuba. Kurang dari 300 orang Kuba telah terbunuh hingga saat itu, dan Castro masih membayangkan dicapainya tujuan Kuba di Angola — pembentukan MPLA sebagai satu-satunya pemerintahan yang berkuasa di negara itu — dalam jangka pendek. Musim panas itu para pemimpin Angola dan Kuba bertemu di Havana untuk merayakan kemenangan mereka, dan beberapa bulan kemudian komite pusat MPLA secara resmi mengadopsi ideologi Marxisme-Leninisme.
Pada bulan Maret tahun berikutnya Castro mengunjungi Luanda untuk berpidato di hadapan orang-orang Angola dan untuk mempercepat penarikan mundur pasukan Kuba. Namun, optimismenya segera memudar. Faksionalisme pecah di dalam MPLA sendiri, dan Neto mendapati dirinya sekali lagi meminta bantuan Kuba — kali ini, untuk membantu menstabilkan organisasinya sendiri. Penarikan pasukan Kuba harus ditunda. Dalam situasi ini Afrika Selatan kemudian memanfaatkan kerusuhan di dalam MPLA untuk melakukan invasi kedua ke Angola, yang segera secara efektif mengakhiri masa détente tersebut. Afrika Selatan takut jika Kuba membantu MPLA membangun pemerintahan di Angola, Castro akan menggunakan negara itu sebagai batu loncatan untuk melakukan invasi ke Afrika Selatan melalui wilayah Afrika Barat Daya, yang telah berada di bawah kendali Afrika Selatan sejak tahun 1915 yang saat itu juga sedang berjuang untuk kemerdekaannya sendiri. Kekhawatiran Afrika Selatan semakin berkembang pada bulan Maret 1976, ketika MPLA menyediakan basis di Angola untuk Organisasi Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO), sebuah gerakan pembebasan sayap kiri. Pada bulan Mei 1978 Pasukan Pertahanan Afrika Selatan (SADF) menginvasi Angola lagi melalui Afrika Barat Daya, yang mengakibatkan pembantaian ratusan warga sipilnya. Untuk pertama kalinya dunia menyadari kekejaman yang telah dilakukan dalam perang regional di kawasan itu. Apa yang kemudian disebut oleh seorang penulis sejarah sebagai “kemuakan global” telah mendorong Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengeluarkan Resolusi 435, yang menyerukan penarikan mundur tentara Afrika Selatan dari wilayah Afrika Barat Daya dan meminta diadakan pemilihan bebas di sana. Dewan keamanan juga mengakui faksi sayap kiri SWAPO sebagai pemerintahan yang sah. Bisa ditebak, Afrika Selatan menentang ketentuan yang disebut proposal penyelesaian dan terus mempertahankan kendalinya atas Namibia. Selama 10 tahun berikutnya perang yang berlangsung maju mundur, ditandai dengan lebih dari selusin invasi Afrika Selatan ke Angola, yang selalu ditanggapi dengan serangan balik pasukan Kuba / FAPLA, dan serangkaian gencatan senjata yang terlalu singkat dan pembicaraan damai. Tak pelak, negosiasi akan segera runtuh, dan ketika kesepakatan ditandatangani, pelanggaran ketentuan dilanggar seketika.
Sementara itu perusahaan asal Amerika banyak melakukan bisnis di Angola; Chevron, misalnya, memiliki 49 persen dari kompleks minyak di Cabinda; sementara sisanya dipegang oleh Pemerintah Angola. Tetapi sejak tahun 1975, Amerika Serikat – satu-satunya kekuatan besar Barat yang melakukannya – telah menolak untuk mengakui partai yang berkuasa di Angola, MPLA. Karena kehadiran Kuba, Washington telah memberikan dukungannya, dan uang $ 15 juta dalam bentuk senjata, kepada Jonas Savimbi, pemimpin gerakan gerilya anti-Pemerintah. Savimbi, yang faksi Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan Total Angola (UNITA) nya telah ditindas oleh kaum Marxis sejak tahun 1975, terus melakukan serangan terhadap target Pemerintah, termasuk kompleks Cabinda Chevron, sumber utama pendapatan Rezim Pemerintah Angola. Di sini terdapat kenyataan yang ironis, dimana Amerika yang menentang pemerintahan Marxist Angola, pada kenyataannya (lewat perusahaan swastanya) malah turut menjadi penyokong ekonomi Rezim Marxist tersebut. Sembilan puluh lima persen dari ekspor Angola adalah dalam bentuk minyak, dan minyak tersebut diproduksi dan dibeli oleh Barat. Amerika Serikat, sejauh itu adalah pelanggan terbesar, yang membayar sekitar $ 1 miliar untuk minyak Angola pada tahun 1985 saja.
Sementara itu Savimbi, meski didukung oleh Suku terbesar di Angola akan diingat dalam benak banyak orang kulit hitam Afrika berkolaborasi dengan rezim Apartheid Afrika Selatan, yang mengirimkan pasokan ke UNITA melalui negara tetangganya di Afrika Barat Daya, yang juga dikenal sebagai Namibia, wilayah sengketa yang dikuasai oleh Afrika Selatan. Washington, meskipun secara resmi mendukung kemerdekaan untuk Afrika Barat Daya, telah mengurangi tekanan pada Afrika Selatan untuk melepaskan klaimnya atas Namibia karena kehadiran militer Kuba di Angola – dan ketakutan yang berulang atas potensi pendudukan permanen Kuba di Afrika Barat Daya jika Afrika Selatan mundur. Dari tahun 1981 hingga 1985, menurut pihak Angola, Afrika Selatan telah melakukan 168 serangan pemboman, 234 penerjunan pasukan lintas udara, 90 insiden pemberondongan, 74 serangan darat dan 4 pendaratan angkatan laut – angka-angka yang membuat Presiden Angola, Jose Eduardo dos Santos mengklaim dalam sebuah surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa penarikan penuh pasukan Kuba akan sama halnya dengan ” bunuh diri ” untuk negaranya. Sementara itu Gerilyawan UNITA pimpinan Jonas Savimbi meski memiliki kendali de facto atas sebagian besar pedesaan di Angola, tetapi mereka tampaknya tidak cukup kuat untuk bertahan dalam konfrontasi langsung dengan kekuatan gabungan dari Kuba dan Angola. Mengenai keunggulan firepower rezim Luanda dan Kuba memang tidak terbantahkan, sebagai contoh dari sisi kekuatan udara, sebuah resimen udara Kuba diyakini menerbangkan sekitar 60 pesawat tempur MIG-21 Fishbed, sementara pilot-pilot Angola yang dilatih Soviet menerbangkan pesawat-pesawat angkatan udara Angola – terdiri dari setidaknya 23 pesawat MIG-23 Flogger, 10 pembom tempur SU-22 Fitter, dan sekitar 150 helikopter.
Perang Sipil Angola yang berlangsung pada akhirnya membawa korban yang berat di pihak Kuba juga. International relations authority Pamela S. Falk secara ringkas memaparkan sejarah intervensi Kuba di Afrika dan kerugiannya dalam catatan Foreign Affairs edisi musim panas 1987: “kemunduran ekonomi, hilangnya nyawa, dan ketidakpuasan domestik di Kuba… menunjukkan bahwa Castro mungkin harus mengevaluasi kembali agenda Afrika-nya, khususnya di Angola, di mana tentara Kuba sekarang dipanggil untuk bertempur di garis depan…. Meskipun Uni Soviet menyediakan militer Kuba perangkat militer gratis — bernilai lebih dari $ 2 miliar untuk tahun 1982–1984 — biaya tambahan untuk mempertahankan tentara di luar negeri, yang mencakup 65.000 orang Kuba (pasukan, dan penasihat militer dan sipil) yang tersebar di 17 negara Afrika, menghabiskan 11 persen dari anggaran tahunan Kuba. Pengeluaran militer, termasuk gaji dan seragam, perjalanan dan pemeliharaan, dukungan logistik dan perbekalan, telah melumpuhkan rencana pembangunan domestik Kuba. ” Namun ini adalah perjuangan yang tidak akan ditinggalkan Castro. Penempatan tentara Kuba di Angola akan memunculkan lebih banyak baku tembak, satu pertempuran besar, dan empat tahun pendudukan lagi sebelum penarikan pasukan terakhir Kuba dilakukan.
Sebagai akibat dari Operasi Askari yang dilancarkan Afrika Selatan pada bulan Desember 1983, yang menargetkan pangkalan Tentara Pembebasan Rakyat Namibia di dalam Angola, Uni Soviet tidak hanya meningkatkan bantuannya kepada MPLA tetapi juga mengambil alih kepemimpinan taktis dan strategis FAPLA, dengan mengerahkan para penasihat hingga ke tingkat batalion, dan mulai merencanakan serangan besar-besaran terhadap pertahanan UNITA di tenggara Angola. Kontrol Komando Soviet tidak termasuk pasukan Kuba di Angola. Pendapat strategis militer Kuba sendiri sangat berbeda dari Soviet dan MPLA dan Kuba sangat menyarankan agar tidak melakukan serangan di wilayah tenggara karena hal itu akan menciptakan peluang untuk intervensi Afrika Selatan yang signifikan, yang akhirnya benar-benar terjadi. Serangan FAPLA pada tahun 1984 telah membawa hasil yang tidak menyenangkan. Di bawah kepemimpinan instruktur Soviet, FAPLA melancarkan dua serangan lagi pada 1985 dan 1986. Kuba menyangkal keterlibatan mereka dalam operasi tahun 1985 tetapi mendukung serangan pada tahun 1986 meskipun banyak dengan keberatan, Kuba tidak mengerahkan pasukan darat tetapi memberi dukungan teknis dan kekuatan udara. Selain merebut Cazombo pada tahun 1985, mendekati Mavinga dan hampir menyebabkan UNITA kalah, kedua serangan tersebut berakhir dengan kegagalan total dan menjadi hal yang sangat memalukan bagi Soviet.
Tidak seperti orang Kuba yang telah berpengalaman sepuluh tahun di medan Afrika, orang-orang Soviet tidak berpengalaman dan hubungan antara keduanya lalu menjadi tegang. Selain itu, pada bulan Maret 1985 Mikhail Gorbachev telah menjadi Sekretaris Jenderal baru Soviet yang kemudian sering berselisih pendapat dengan Castro. Dalam kedua serangan FAPLA, militer Afrika Selatan, yang masih mengendalikan wilayah selatan Angola barat daya, melakukan intervensi segera setelah UNITA menghadapi kesulitan. Pada bulan September 1985, Angkatan Udara Afrika Selatan telah mencegah jatuhnya Mavinga dan serangan FAPLA terhenti di Sungai Lomba. Setelah bencana ini pada tahun 1985, Soviet mengirim lebih banyak peralatan dan penasihat ke Angola dan segera mempersiapkan serangan FAPLA lainnya di tahun berikutnya. Sementara itu, UNITA menerima bantuan militer pertamanya dari AS, yang mencakup rudal permukaan-ke-udara Stinger dan rudal anti-tank BGM-71 TOW. Mengenai Stinger, rudal ini diminta sendiri oleh Savimbi saat ia bertemu dengan presiden Reagan di AS. AS mengirim pasokan ke UNITA dan SADF melalui Pangkalan Udara Kamina yang diaktifkan kembali di Zaire. Serangan yang dimulai pada Mei 1986 telah dimulai dengan awal yang buruk dan lagi-lagi dengan bantuan SADF, UNITA berhasil menghentikan kemajuan FAPLA pada akhir Agustus. Dalam situasi tidak menguntungkan rezim Luanda ini, kemudian pecah pertempuran yang akan menjadi faktor penentu hasil dari Perang Saudara Angola pertama, yakni Pertempuran Cuito Cuanavale — yang sebenarnya terdiri dari serangkaian pertempuran yang berlangsung dari akhir tahun 1987 hingga Maret 1988.
PERTEMPURAN CUITO CUANAVALE
Afrika Selatan menghabiskan hampir satu dekade meluncurkan serangan dari pangkalannya di Namibia ke Angola selatan, yang diubahnya menjadi zona penyangga. Sementara itu Savimbi mempertahankan pusat pertahanannya di Jamba, di sudut tenggara negara itu – wilayah yang begitu terpencil hingga disebut sebagai tanah di ujung dunia. Puluhan ribu tentara Kuba terjebak di garis pertahanan di selatan dan barat daya sementara MPLA melawan UNITA dan sisa-sisa FNLA. Kebuntuan itu membuat Angola terpecah dan dirusak oleh kekerasan. Lebih buruk lagi, orang Kuba sering berdebat dengan penasihat militer Soviet, yang turut memasok dan melatih pasukan MPLA. Seperti yang telah disinggung diatas, dengan dipimpin oleh seorang veteran Perang Dunia II, para penasehat Soviet menekan orang-orang Angola untuk mengembangkan brigade berat dan bersiap untuk melakukan bentrokan yang menentukan dengan Savimbi dan SADF. Jorge Risquet dan Leopoldo Cinta Frías, yang memimpin misi militer Kuba, menganggap taktik gerilya lebih diperlukan oleh MPLA untuk memenangkan perang saudara sementara pasukan Kuba akan melindungi negara itu dari serbuan SADF. Pendekatan Soviet ternyata menjadi bencana, dengan serangan berturut-turut runtuh karena masalah logistik dan kontrol wilayah udara yang dimiliki SADF.
Persiapan ofensif FAPLA dilanjutkan untuk serangan berikutnya pada tahun 1987, yang diberi nama Operação Saudando Outubro dan sekali lagi Soviet meningkatkan peralatan FAPLA termasuk dengan 150 tank T-55 dan T-54B serta helikopter Mi-24 dan Mi-8 / Mi-17. Sekali lagi mereka menolak peringatan adanya potensi intervensi Afrika Selatan. Sementara itu Pretoria, memperhatikan pembangunan militer besar-besaran di sekitar Cuito Cuanavale, kemudian memperingatkan UNITA dan pada tanggal 15 Juni memutuskan untuk memberikan dukungan secara rahasia. Terlepas dari persiapan ini, pada tanggal 27 Juli Castro mengusulkan adanya partisipasi Kuba dalam negosiasi, menunjukkan bahwa ia tertarik untuk membatasi keterlibatannya di Angola. Pemerintahan Reagan menolak. Pada waktu itu Reagan memiliki kebijakan bahwa dimana ada kesempatan dia akan berupaya membuat pihak komunis berdarah-darah, seperti yang mereka lalukan terhadap Amerika di Vietnam. Sejak awal serangan FAPLA, jelas bagi Pretoria bahwa UNITA tidak akan dapat menahan serangan tersebut dan pada tanggal 4 Agustus 1987 meluncurkan secara klandestin Operasi Moduler, dan terlibat dalam pertempuran pertamanya sembilan hari kemudian. FAPLA berhasil mencapai tepi utara Sungai Lomba dekat Mavinga pada tanggal 28 Agustus dan sudah ditunggu oleh SADF. Dalam serangkaian pertempuran sengit antara tanggal 9 September dan 7 Oktober mereka mampu mencegah FAPLA menyeberangi sungai dan menghentikan serangan untuk ketiga kalinya. FAPLA menderita kerugian besar dan Soviet segera menarik penasehat mereka dari medan pertempuran, meninggalkan FAPLA tanpa memiliki pemimpin senior. Pada tanggal 29 September SADF melancarkan serangan yang bertujuan untuk menghancurkan semua pasukan FAPLA di sebelah timur Sungai Cuito. Pada tanggal 3 Oktober, SADF menyerang dan memusnahkan satu batalion FAPLA di tepi selatan Sungai Lomba, akibatnya dua hari kemudian FAPLA mulai mundur ke Cuito Cuanavale. SADF dan UNITA tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengejar unit FAPLA yang mundur dan memulai pengepungan di Cuito Cuanavale pada tanggal 14 Oktober dengan melakukan penembakan jarak jauh menggunakan artileri Howitzer G5 kaliber 155 mm dari jarak 30 hingga 40 km.
Cuito Cuanavale, hanyalah sebuah desa, namun penting bagi FAPLA sebagai pangkalan udara garis depan untuk berpatroli dan mempertahankan Angola selatan dan dianggap sebagai pintu gerbang penting ke markas UNITA di tenggara. Dengan adanya serangan balik dari militer Afrika Selatan, kota dan markas serta mungkin semua wilayah Cuando Cubango sekarang berada di bawah ancaman, begitu juga rencana FAPLA untuk maju ke selatan melawan UNITA terancam gagal. Pada tanggal 15 November Luanda segera meminta bantuan militer dari Pihak Kuba. Castro akhirnya menyetujui intervensi Kuba, dan Operasi Maniobra XXXI Anniversario pada hari yang sama dilancarkan Kuba yang praktis mengambil kembali inisiatif kepemimpinan dari Soviet. Seperti pada tahun 1975, Kuba kembali tidak memberi tahu Uni Soviet mengenai keputusannya untuk campur tangan. Untuk kedua kalinya Kuba mengirimkan kontingen besar pasukan dan senjata ke seberang lautan: 15.000 tentara dan peralatan, termasuk tank, artileri, senjata antipesawat, dan pesawat. Meski sebenarnya tidak bertanggung jawab atas situasi suram yang dialami FAPLA, Kuba merasa terdorong untuk turun tangan guna mencegah bencana total bagi MPLA. Dalam pandangan Castro, kemenangan UNITA dan Afrika Selatan berarti direbutnya Cuito dan hancurnya formasi militer terbaik dari MPLA. Sekitar pertengahan Januari Castro memberi tahu MPLA bahwa dia sedang mengambil alih pimpinan dan bantuan pertama Kuba sedang dikerahkan ke Cuito Cuanavale. Prioritas awal Kuba adalah menyelamatkan Cuito Cuanavale, tetapi ketika bantuan tiba di garnisun yang terkepung itu, mereka mulai membuat persiapan untuk membuka front kedua di Lubango, di mana SADF telah beroperasi tanpa hambatan selama bertahun-tahun. Pada awal November, SADF telah memojokkan unit FAPLA di Cuito Cuanavale dan bersiap untuk menghancurkan mereka. Pada tanggal 25 November, Dewan Keamanan PBB menuntut penarikan tanpa syarat SADF dari Angola pada 10 Desember, tetapi AS memastikan bahwa tidak akan ada sanksi bagi Afrika Selatan. Asisten Sekretaris AS untuk Afrika, Chester Crocker meyakinkan duta besar Pretoria: “Resolusi tersebut tidak berisi seruan untuk menjatuhkan sanksi komprehensif, dan tidak memberikan bantuan apa pun kepada MPLA. Itu bukan kebetulan, tetapi merupakan konsekuensi dari upaya kami sendiri untuk menjaga resolusi tersebut dalam batasan. ” Hingga bulan Desember, situasi MPLA yang terkepung menjadi kritis karena SADF memperketat jerat di sekitar Cuito Cuanavale. Para pengamat memperkirakan kota itu akan segera jatuh ke tangan Afrika Selatan dan UNITA secara prematur mengumumkan bahwa kota itu telah direbut.
Mulai tanggal 21 Desember, Afrika Selatan merencanakan operasi terakhir untuk “menjebak” lima brigade FAPLA yang masih berada di sebelah timur sungai Cuito “sebelum pindah untuk menduduki kota jika kondisinya mendukung”. Dari pertengahan Januari hingga akhir Februari, SADF melancarkan enam serangan besar terhadap posisi FAPLA di timur sungai Cuito, namun tidak satupun yang memberikan hasil yang nyata. Meskipun serangan pertama pada tanggal 13 Januari 1988 berhasil, yang hampir menjadi bencana bagi sebuah brigade FAPLA, SADF tidak dapat melanjutkan operasi dan mundur ke posisi awal. Setelah sebulan, SADF siap untuk melakukan serangan kedua pada tanggal 14 Februari. Lagi-lagi mereka mundur setelah berhasil mendesak unit FAPLA-Kuba dari dataran tinggi Chambinga. Hampir lolos dari malapetaka, unit FAPLA di timur Sungai Cuito mundur ke segitiga Tumpo (sungai), area yang lebih kecil, yang cocok untuk pertahanan. Pada tanggal 19 Februari SADF mengalami kemunduran besar pertama ketika serangan ketiga terhadap sebuah batalion FAPLA di utara sungai Dala berhasil dipukul mundur; SADF tidak dapat mencapai posisi terdepan FAPLA dan harus mundur. Pada hari-hari berikutnya, tentara Kuba mulai meningkatkan serangan udara mereka terhadap posisi militer Afrika Selatan. Pada tanggal 25 Februari FAPLA-Kuba memukul mundur serangan keempat dan SADF harus mundur ke posisi mereka di timur Sungai Tumpo. Kegagalan serangan ini “membuktikan titik balik pertempuran Cuito Cuanavale, yang meningkatkan moral FAPLA yang sempat lesu dan membuat kemajuan Afrika Selatan terhenti.”Upaya kelima kembali dipukul mundur pada tanggal 29 Februari, memberikan SADF kekalahan ketiga berturut-turut. Setelah beberapa persiapan lagi, Afrika Selatan melancarkan serangan terakhir dan menjadi kegagalan mereka yang keempat pada tanggal 23 Maret. Seperti yang ditulis oleh Kolonel SADF Jan Breytenbach, serangan Afrika Selatan “dihentikan secara pasti” oleh gabungan pasukan Kuba dan FAPLA.
Pada akhirnya kekuatan pasukan Kuba di Angola meningkat menjadi sekitar 55.000, dengan 40.000 dikerahkan di wilayah selatan. Karena embargo senjata internasional sejak 1977, angkatan udara Afrika Selatan yang menua mampu dikalahkan oleh sistem pertahanan udara canggih yang dipasok oleh Soviet dan serangan udara yang diterjunkan oleh MPLA, dan tidak dapat mempertahankan supremasi udara yang telah dinikmati selama bertahun-tahun; kerugian yang diderita SADF pada gilirannya terbukti sangat penting bagi hasil pertempuran di lapangan. Cuito Cuanavale adalah medan pertempuran utama yang melibatkan pasukan Kuba, Angola, Namibia, dan Afrika Selatan. Itu adalah pertempuran terbesar di benua Afrika sejak Perang Dunia II dan dalam prosesnya hampir 10.000 tentara tewas. Pesawat-pesawat Kuba dan 1.500 tentara Kuba telah memperkuat MPLA di Cuito. Setelah serangan yang gagal pada tanggal 23 Maret 1988, SADF menarik diri meninggalkan 1.500 personel “kekuatan penahan” di belakang dan mengamankan gerak mundur mereka dengan menciptakan salah satu daerah yang paling banyak diranjau di dunia. Sementara itu Cuito Cuanavale terus dibombardir dari jarak 30 hingga 40 km
Pada tanggal 10 Maret 1988, ketika pertahanan di Cuito Cuanavale setelah tiga serangan SADF yang gagal berhasil diamankan, unit-unit Kuba, FAPLA dan SWAPO bergerak maju dari Lubango ke barat daya. Perlawanan militer Afrika Selatan pertama ditemui di dekat Calueque pada tanggal 15 Maret, diikuti oleh tiga bulan bentrokan berdarah saat tentara Kuba maju menuju perbatasan Namibia. Pada akhir Mei Kuba telah memiliki dua divisi di Angola barat daya. Pada bulan Juni mereka membangun dua pangkalan udara garis depan di Cahama dan Xangongo yang dengannya kekuatan udara Kuba dapat diproyeksikan ke Namibia. Seluruh Angola selatan dilindungi oleh jaringan radar dan rudal pertahanan udara SA-8 yang serta merta mengakhiri superioritas udara Afrika Selatan. Pada tanggal 26 Mei 1988, pemimpin SADF mengumumkan bahwa, “Pasukan Kuba dan SWAPO yang bersenjata lengkap, terintegrasi untuk pertama kalinya, telah bergerak ke selatan dalam jarak 60 km dari perbatasan Namibia”. Pasukan SADF yang tersisa di Cuito Cuanavale sekarang dalam bahaya untuk dikepung. Pada tanggal 8 Juni 1988 SADF memanggil 140.000 personel pasukan cadangan (Pasukan Pertahanan Lokal), memberikan indikasi betapa seriusnya situasinya. Administrator jenderal Afrika Selatan di Namibia pada tanggal 26 Juni mengakui bahwa pesawat-pesawat tempur MiG-23 Kuba sedang terbang di atas Namibia, sebuah perubahan dramatis dari masa sebelumnya ketika langit menjadi milik SAAF (AU Afrika Selatan). Dia menambahkan, “kehadiran orang Kuba telah menyebabkan kegelisahan” di Afrika Selatan.
Pada bulan Juni 1988, Kuba bersiap untuk maju ke Calueque mulai dari Xangongo dan Tchipa. Dalam mengantisipasi serangan balik Afrika Selatan yang serius, Castro memberi perintah untuk bersiap menghancurkan waduk di Ruacana dan menyerang pangkalan Afrika Selatan di Namibia. Serangan yang dimulai dari Xangongo pada tanggal 24 Juni segera bentrok dengan pasukan SADF dalam perjalanan ke Cuamato. Meskipun pasukan SADF berhasil diusir, pihak FAPLA-Kuba mundur ke pangkalan mereka. Pada tanggal 26 Juli 1989 SADF menembaki Tchipa (Techipa) dengan artileri jarak jauh dan Castro memberi perintah untuk segera menyerang Calueque dan serangan udara terhadap kamp-kamp SADF dan instalasi militer di sekitar Calueque. Setelah bentrokan dengan kelompok terdepan FAPLA-Kuba pada 27 Juni, SADF mundur ke Calueque di bawah pemboman dari pesawat-pesawat Kuba dan melintasi perbatasan ke Namibia pada sore hari yang sama. Pada saat itu, MiG-23 Kuba telah melakukan serangan terhadap posisi SADF di sekitar bendungan Calueque, 11 km sebelah utara perbatasan Namibia, yang juga merusak jembatan dan instalasi hidroelektrik. Kekuatan utama Kuba, yang masih dalam perjalanan, tidak pernah melihat aksi dan kembali ke Tchipa. Dengan mundurnya SADF ke Namibia pada tanggal 27 Juni, pertempuran berhenti. CIA melaporkan bahwa “keberhasilan penggunaan kekuatan udara Kuba dan kelemahan pertahanan udara Pretoria” menunjukkan fakta bahwa Havana telah berhasil merebut superioritas udara di Angola selatan dan Namibia utara. Hanya beberapa jam setelah serangan udara Kuba, SADF menghancurkan jembatan terdekat di atas Sungai Cunene. Mereka melakukannya, menurut dugaan CIA, “untuk mencegah pasukan darat Kuba dan Angola dengan mudah melewati perbatasan Namibia dan untuk mengurangi jumlah posisi yang harus mereka pertahankan.” Orang Afrika Selatan, terkesan oleh kesibukan dan skala kemajuan pasukan Kuba dan percaya bahwa ancaman pertempuran besar “yang melibatkan risiko serius” telah memaksa mereka mundur. Lima hari kemudian Pretoria memerintahkan kelompok tempur yang masih beroperasi di sebelah tenggara Angola untuk mundur guna menghindari lebih banyak korban lagi, serta secara efektif menarik diri dari semua pertempuran, dan sebuah divisi SADF dikerahkan untuk mempertahankan perbatasan utara Namibia.
PENARIKAN MUNDUR PASUKAN KUBA DARI ANGOLA
Pertempuran berlanjut di Angola barat daya, dengan kerugian besar di kedua sisi. Tiga tahun sebelumnya, di bawah pemerintahan Reagan, Amandemen Clark telah dicabut, dan Amerika Serikat kembali mulai memberikan dukungan militer kepada UNITA. Mulai bulan Mei 1988, Asisten Sekretaris Urusan Afrika Chester Crocker melakukan serangkaian 12 pembicaraan damai, yang diadakan di Kairo, London, Jenewa, Brazzaville, dan New York serta dihadiri oleh perwakilan dari Kuba, Afrika Selatan, dan MPLA. Pada bulan Agustus, pertempuran telah berhenti, dan pada tanggal 22 Desember semua pihak bertemu di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan menandatangani Perjanjian Perdamaian New York, untuk memastikan implementasi Resolusi 435 serta penarikan pasukan Afrika Selatan dari Angola dan sekaligus Namibia. Persetujuan ini juga menegaskan komitmen Castro sebelumnya untuk meminta jadwal selama 27 bulan bagi penarikan semua pasukan Kuba, dengan batas waktu awal di musim panas tahun 1991. Sementara itu, para pemimpin Kongres Nasional Afrika (ANC) percaya bahwa Pertempuran Cuito Cuanavale turut berperan penting dalam menentukan hasil Perang Saudara Angola Pertama serta mempengaruhi kesuksesan gerakan anti Apartheid di Afrika Selatan. Tidak lama setelah itu, untuk menurunkan tensi ketegangan, pemerinah Afrika Selatan juga membebaskan Nelson Mandela setelah mereka tahan selama 27 tahun. Ronnie Kasrils, kepala intelijen ANC, menggambarkan Cuito sebagai “titik balik bersejarah dalam perjuangan untuk pembebasan total wilayah tersebut dari penguasa rasis.” “Tanpa kegagalan SADF di Cuito Cuanavale, organisasi kami tidak akan diakui dunia,” Nelson Mandela sendiri mengakui dalam kunjungannya ke Kuba tahun 1991. “Cuito Cuanavale menandai titik balik dalam perjuangan pembebasan Afrika bagian selatan.” Gambaran utama transisi Afrika Selatan menuju demokrasi sering kali disebut menunjukkan keberhasilannya berkat moderasi Mandela dan kesediaannya untuk menenangkan mantan musuhnya lewat pendekatan rekonsiliasi yang simpatik. Namun, pernyataan Mandela sendiri adalah pengingat bahwa perjuangan untuk mengakhiri apartheid di Afrika Selatan juga terbantu dengan konfrontasi militer secara terbuka dengan rezim apartheid Afrika Selatan. Di Taman Kebebasan kota Pretoria, nama 2.070 orang Kuba yang gugur di Angola tetap tertulis di samping nama orang-orang Afrika Selatan yang tewas dalam pertempuran melawan pemerintahan apartheid. Sementara itu, kesepakatan damai yang disepakati antara MPLA dan UNITA terbukti tidak efektif dan kembali pecah pertempuran. Pertarungan ini tidak akan berakhir secara resmi sampai tanggal 31 Mei 1991. Pada saat itu orang-orang Kuba terakhir telah meninggalkan Angola. Hampir setengah juta personel “internasionalis” Kuba — tentara, dokter, guru, teknisi, dan pekerja konstruksi — telah menempuh perjalanan 6.000 mil untuk bertugas dalam perang saudara di wilayah sub-Sahara ini — sebuah perang yang akan berlanjut hingga tahun 1996. Tetapi Kuba hanya mengambil peran kecil dalam Perang Saudara Angola Kedua tersebut.
KONKLUSI
Pada tahun 2002, kelompok kiri menang. Setelah hampir tiga dekade pembantaian di mana kekejaman yang tak terkatakan dilakukan oleh semua pihak, senjata akhirnya diletakkan. Perkiraan paling konservatif mencatat sedikitnya 500.000 orang tewas dan satu juta orang terlantar secara permanen. Tidak ada laporan akurat tentang jumlah orang Kuba yang terbunuh. Ketika ditanya secara langsung mengenai angkanya, Castro menolak untuk membahasnya, katanya: “Musuh pasti tidak memiliki informasi itu.” Namun, tidak ada yang membantah bahwa orang Kuba yang tewas berjumlah ribuan. Ekonomi Angola yang berpotensi kuat melambat hingga merangkak di tahun-tahun setelah pertempuran itu. Menurut Africa Progress Report periode tahun 2015, negara tersebut belum sepenuhnya pulih dari dampak perang yang menghancurkan, meskipun sekarang memiliki salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Perang Sipil Angola — dan keterlibatan langsung dan berkepanjangan dari Kuba — melahirkan banyak disinformasi, propaganda, legenda, dan kebohongan, mulai dari laporan level akar rumput hingga pernyataan resmi yang bertentangan yang dibuat oleh negara-negara yang terlibat. Satu kebenaran tetap tak terbantahkan: Dengan mengirim ribuan orang Kuba bersenjata ke Angola pada akhir 1975, Fidel Castro mengambil langkah berani dan tak terduga yang pada akhirnya akan membawa negaranya yang kecil ke garis depan perhatian dunia, menjadikannya pemain dalam kontes Perang Dingin yang berbahaya, dan mengubah Castro menjadi apa yang oleh sejarawan Edward George disebut sebagai “juru bicara tidak resmi negara Dunia Ketiga”. Di Kuba sendiri tampaknya selamanya akan ada dua sisi sejarah dari sosok Fidel Castro. Salah satunya adalah sosok revolusioner yang berhasil dan menjadi inspirasi bagi semua orang yang melihat dunia melalui lensa ideologi Leninisme-Marxisme. Sisi yang lainnya adalah Castro sebagai sosok diktator brutal yang menekan demokrasi dan membuat negaranya tetap miskin. Sementara itu, Amerika Serikat sendiri menjelang berakhirnya Perang Dingin telah memutuskan bahwa karena Uni Soviet bukan lagi ancaman besar di kawasan itu, musuh perdamaian yang sebenarnya di Afrika Selatan adalah rasisme rezim Apartheid Afrika Selatan. Orang yang keputusannya untuk berperang di Angola melawan Afrika Selatan dan memicu momen ini adalah Fidel Castro!
Salah satu ironi terbesar intervensi Kuba di Angola adalah nasib dari para jenderal yang memimpinnya. Pada tahun 1987 Rafael del Pino, seorang veteran terkenal yang pernah menjabat sebagai kepala angkatan udara Kuba di Angola, menerbangkan Cessna bersama istri dan anak-anaknya ke Florida, di mana ia bergabung dengan pihak oposisi. Yang lebih mengejutkan adalah kasus Arnaldo Ochoa, pahlawan perang yang memimpin penyerangan ke Namibia tetapi akhirnya dijatuhi hukuman mati pada tahun 1989. Selama persidangan yang disiarkan televisi, Ochoa mengaku bersalah karena menyalahgunakan posisinya untuk menyelundupkan berlian, gading, dan kokain, dan bekerja sama dengan Kartel Medellín. Dalam tulisannya pada tahun 1999, penulis Kuba Norberto Fuentes, yang sebelumnya dekat dengan Castro bersaudara, mengatakan bahwa otoritas terkemuka telah mengatur kesepakatan penyelundupan dengan Kolombia dan Ochoa digunakan sebagai kambing hitam untuk alasan politik. Benar atau tidak, episode tersebut membayangi citra para pemimpin Kuba dan mengecewakan warganya. Perang Castro di Afrika menimbulkan perasaan campur aduk di antara orang Kuba biasa. Sementara banyak yang merasa bangga dengan pencapaian internasional negara mereka, mereka juga melihat perang di negara orang ini sebagai proyek mesianik: didorong oleh ego dan idealisme, namun mengabaikan masalah di dalam negeri. Secara internasional kebijakan luar negeri Kuba yang begitu ambisius berhasil dilakukan oleh negara pulau kecil itu. Tetapi setelah perang Angola berakhir, ketika Uni Soviet runtuh, masyarakat Kuba mengalami kesulitan yang ekstrim selama satu dekade.
Baca Juga:
4 Mei 1978: Penyerangan Pasukan Payung Afrika Selatan ke Basis Gerilyawan Marxist SWAPO di Cassinga
Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:
Over Where? Cuban Fighters in Angola’s Civil War By Ron Soodalter; Spring 2016
A War of Solidarity BY JORGE TAMAMES
https://jacobinmag.com/2018/04/cuba-angola-operacion-carlota-cuito-cuanavale-internationalism
CUBA’S STRANGE MISSION IN ANGOLA By James Brooke; Feb. 1, 1987
Fidel Castro: How Cuban leader changed southern Africa; 28 November 2016
https://www.google.com/amp/s/www.bbc.com/news/amp/world-africa-38130554
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Cuban_intervention_in_Angola