Perang Timur Tengah

Pertempuran Nasiriyah 23 Maret-2 April 2003: Hambatan Marinir Amerika dalam Menuju Bagdad

Sekitar jam 4 pagi pada tanggal 21 Maret 2003, tentara dan Marinir AS melintasi perbatasan dari Kuwait ke Irak, menandai dimulainya invasi darat ke Irak. Dua hari kemudian, pasukan AS mulai memasuki pertempuran besar di kota Nasiriyah, Irak selatan, yang menunjukkan betapa sulitnya gerak maju menuju ke Ibukota Irak, Bagdad. Pertempuran Nasiriyah terjadi antara Brigade Ekspedisi Marinir ke-2 Amerika, dengan dibantu oleh militer Inggris, melawan pasukan Irak dari tanggal 23 Maret hingga 2 April 2003. Pada malam tanggal 24-25 Maret, sebagian besar Marinir dari Tim Tempur Resimen ke-1 melewati jembatan Nasiriyah dan menyerang ke utara menuju Bagdad. Namun pertempuran terus berlanjut di kota tersebut hingga tanggal 1 April ketika perlawanan Irak di kota tersebut berhasil dikalahkan. 

20 Maret 2003: Marinir AS mempersiapkan diri setelah menerima perintah untuk melintasi perbatasan Irak di Camp Shoup, di Kuwait utara. (Sumber: https://www.npr.org/)

AWAL MULA

Koalisi militer pimpinan AS yang menginvasi Irak awalnya diperkirakan akan menghadapi sedikit perlawanan di Irak selatan, namun sebaliknya, mereka menghadapi pasukan paramiliter termasuk petempur Fedayeen Saddam yang telah dikirim ke kota-kota di Irak selatan untuk menopang pertahanan Irak, menurut buku volume pertama U.S. Army’s history of the Iraq War. Salah satu perlawanan berat yang harus dihadapi pasukan AS terjadi di Nasiriyah. Nasiriyah adalah sebuah kota yang terletak di sepanjang tepi Sungai Efrat di Provinsi Dhi Qar, sekitar 225 mi (362 km) tenggara Bagdad; populasinya hampir seluruhnya terdiri dari orang-orang Muslim Syiah. Pada pagi hari tanggal 23 Maret, konvoi pasokan Angkatan Darat AS dari Kompi Pemeliharaan ke-507 secara keliru membelok dari Jalan Raya 8 dan kemudian berbelok menuju kota ke wilayah yang dikuasai musuh. Kendaraan-kendaraan AS ini menuju kepada penyergapan, dengan menarik tembakan musuh dari segala arah. Sebelas tentara Amerika kemudian tewas dan beberapa ditawan. Namun, beberapa tentara berhasil lolos dari penyergapan dan membentuk pertahanan di sekeliling mereka yang terluka. Mereka lalu segera diselamatkan oleh kompi dari Brigade Ekspedisi Marinir ke-2 (Satgas Tarawa) di bawah komando Mayor William Peeples. Rencana awalnya Satgas Tarawa, yang berkuatan 6.000 marinir dan pelaut akan merebut dan mempertahankan dua jembatan di dalam Nasiriyah, membuat koridor untuk Batalyon Pendukung Zeni RCT1 dan 6 dari Battle Creek, MI untuk melewati utara kota sepanjang Rute 7. Nasiriyah adalah markas besar Korps ke-3 Angkatan Darat Irak, yang terdiri dari Divisi Infanteri (ID) ke-11, Divisi Infanteri Mekanis ke-51, dan Divisi Lapis Baja ke-6—semuanya berkekuatan sekitar 50 persen. Pasukan Divisi ke-51 beroperasi di selatan mengamankan ladang minyak, dan Divisi Lapis Baja ke-6 di utara dekat Al Amarah, yang meninggalkan tiga elemen Divisi ke-11 yang seukuran brigade untuk menjaga daerah An Nasiriyah.

21 Maret 2003: Kebakaran terjadi di dalam dan sekitar Dewan Kementerian Saddam Hussein di Bagdad, Irak, selama gelombang serangan dalam fase “shock and awe” dari “Operation Iraqi Freedom.” Koalisi militer pimpinan AS yang menginvasi Irak awalnya diperkirakan akan menghadapi sedikit perlawanan di Irak selatan, namun sebaliknya, mereka menghadapi pasukan paramiliter termasuk petempur Fedayeen Saddam yang telah dikirim ke kota-kota di Irak selatan untuk menopang pertahanan Irak. (Sumber: https://www.npr.org/)
Peta yang menunjukkan kota Nasiriyah, yang tepat berada di jalur menuju Bagdad. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Marinir AS dari Batalyon ke-2, Resimen Marinir ke-1 menangkap tawanan perang Iraq ke daerah penahanan di gurun Irak pada tanggal 21 Maret 2003. (sumber: https://en.wikipedia.org/)

PENYERGAPAN TERHADAP PASUKAN ANGKATAN DARAT AMERIKA

Sekitar pukul 06:00 pagi tanggal 23 Maret, konvoi 18 kendaraan yang terdiri dari 31 tentara Kompi Pemeliharaan ke-507 Angkatan Darat Amerika Serikat dan dua tentara dari Batalyon Pendukung Depan ke-3 dari Divisi Infanteri ke-3 gagal berbelok ke Jalan Raya 8 dan secara keliru melanjutkan perjalanan di sepanjang Highway 7 menuju kota. Konvoi tersebut dipimpin oleh Kapten Troy King, seorang perwira pasokan dengan sedikit pelatihan tempur, yang ditugaskan pada baterai rudal MIM-104 Patriot. Kendaraan-kendaraan technical (truk pickup dengan senapan mesin terpasang) Irak mulai membayangi konvoi tersebut saat melewati pos pemeriksaan Irak di dekat Sungai Eufrat. Setelah melewati markas Al-Quds di pinggiran utara kota, King menyadari bahwa dia tersesat dan konvoi mulai berbalik untuk menelusuri kembali langkahnya melewati kota. Saat konvoi berbelok ke kiri menuju Jalan Raya 16, sekitar pukul 07.00 konvoi mulai menerima tembakan senjata ringan secara sporadis, yang sumber dan arahnya tidak dapat ditentukan. Penyergapan tersebut sepertinya tidak direncanakan sebelumnya, karena pihak Irak tidak mengetahui arah mana yang akan diambil oleh konvoi tersebut. Dalam kekacauan yang diakibatkannya, Kompi Pemeliharaan ke-507 terpecah menjadi tiga kelompok kecil ketika berusaha bergerak ke selatan, keluar dari Nasiriyah. Elemen pertama konvoi (dikenal dalam laporan resmi Angkatan Darat AS sebagai Grup ke-1) berhasil melewati tanpa cedera, dan melanjutkan ke selatan untuk bertemu dengan pasukan Marinir. Grup ke-2 juga berhasil melewati kill zone, meski kendaraan mereka rusak parah dan harus ditinggalkan.

Peta jalur yang ditempuh pasukan Marinir Amerika di Nasiriyah. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Foto truk Kompi Pemeliharaan ke-507 Angkatan Darat Amerika Serikat, yang disergap di Nasiriyah, 23 Maret 2003. (Sumber: https://live.warthunder.com/)
Peta menunjukkan Kompi Pemeliharaan ke-507 Angkatan Darat Amerika Serikat dan dua tentara dari Batalyon Pendukung Depan ke-3 dari Divisi Infanteri ke-3 gagal berbelok ke Jalan Raya 8 dan secara keliru melanjutkan perjalanan di sepanjang Highway 7 menuju kota. (Sumber: https://www.mission-planning.com/)

Sementara itu Grup ke-3 menemui penghalang jalan dan dihancurkan. Setidaknya 15 dari 18 kendaraan angkut Amerika dalam konvoi tersebut, mulai dari Humvee hingga Heavy Expanded Mobility Tactical Trucks (HEMTT), dihancurkan oleh tembakan senjata ringan, RPG, mortir, dan tembakan tank. Beberapa dari mereka keluar dari jalan atau bertabrakan ketika mencoba menghindari tembakan orang-orang Irak yang datang. Satu truk diketahui tertimpa laras meriam kaliber 105 mm dari tank Tipe 69-QM. Pada pukul 07:30, tiga kendaraan King yang tersisa melakukan kontak dengan tank-tank dari Kompi Alpha pimpinan Mayor Bill Peeples, Batalyon Tank ke-8 di Jalan Raya 7, sekitar 10 kilometer (6,2 mil) selatan Nasiriyah. Saat mereka mendekati kota, salah satu awak tank Peeples memperhatikan kendaraan-kendaraan Amerika di depannya. Peeples lalu memerintahkan tanknya maju untuk menyelamatkan sebanyak mungkin prajurit Amerika. Dengan bantuan dua helikopter tempur AH-1 Cobra yang sedang dalam perjalanan ke selatan menuju Basra dan serangan pendukung lainnya oleh sepasang jet tempur Boeing F/A-18 Hornet, Peeples dan anak buahnya berhasil mengumpulkan sepuluh orang yang selamat, termasuk empat orang yang terluka dari Grup ke-2 yang juga berhasil melarikan diri dari penyergapan dan segera membuat perimeter sekitar 5 km (3,1 mil) selatan kota. Secara total, 11 tentara dari Kompi Pemeliharaan ke-507 tewas, sementara enam lainnya ditangkap, termasuk Prajurit Kelas Satu Jessica Lynch, Spesialis Shoshana Johnson, dan Prajurit Kelas Satu Lori Piestewa. Piestewa kemudian meninggal karena luka-lukanya segera setelah itu. Setelah beberapa saat, Marinir dari Batalyon ke-1, Marinir ke-2 (bagian dari Brigade Ekspedisi Marinir ke-2), menyerang Nasiriyah dari selatan, menggunakan kendaraan serbu amfibi (AAV) dan helikopter tempur Cobra. Dalam aksinya tersebut, pasukan Marinir merebut dua jembatan yang membentang di Sungai Efrat yang dipertahankan oleh tentara gerilya Fedayeen dan Partai Ba’ath. Dalam pertempuran sengit, beberapa unit seukuran peleton Irak, dua senjata antipesawat ZSU-23-4 “Shilka” dan beberapa posisi mortir dan artileri dihancurkan oleh kekuatan gabungan tank M1 Abrams, helikopter tempur Cobra, dan senjata artileri Batalyon ke-1, Marinir ke-10.

Tank Tipe-69 Irak. (Sumber: https://tanknutdave.com/)
Pasukan Fedayeen Saddam. (Sumber: https://www.reddit.com/)

LEMBAH PENYERGAPAN

Hari paling berdarah dalam operasi Marinir adalah pada tanggal 23 Maret, ketika 18 orang Kompi Charlie, dari Batalyon ke-1, Marinir ke-2, terbunuh dan delapan Kendaraan Serbu Amfibi dilumpuhkan dalam pertempuran sengit dengan pasukan Irak di sekitar Terusan Saddam. Saat bergerak ke jembatan dan melalui Ambush Alley pasukan Marinir bertempur melawan serangan RPG, mortir, dan tembakan artileri, serta empat tank Irak yang tersembunyi di balik sebuah bangunan, dari depan, kiri, dan kanan. Petempur Irak yang mengenakan pakaian sipil muncul dari setiap jendela dan pintu untuk menembakkan senapan dan roket. Beberapa orang berlari ke jalan sambil membawa roket untuk menembak dari jarak dekat. Beberapa roket meluncur keluar dari sisi jalan, sementara yang lain menghantam dan tidak meledak, seolah-olah roket tersebut tidak diaktifkan dengan baik sebelum ditembakkan. Respons para Marinir dari Kompi C dan pengemudi kendaraan serbu amfibi yang bersama mereka sama persis dengan yang dilatihkan pada mereka. Pertama, serangan balasan pasukan Marinir akurat dan berat. Marinir di setiap kendaraan di Kompi C merespons dengan tembakan senapan, senapan mesin kaliber .50, dan granat kaliber 40 mm dari peluncur granat MK19, dimana mereka terkadang menembak dengan kecepatan penuh. Mereka menimbulkan banyak korban jiwa di pihak musuh. Tentara Irak yang menghadang Kompi Pemeliharaan ke-507 hanya beberapa jam sebelumnya mendapati bahwa respons kompi senapan Marinir mekanis jauh berbeda. Para prajurit Kompi Pemeliharaan ke-507 telah melawan dengan gagah berani namun hanya mampu membalas dengan tembakan sporadis dari beberapa senapan dan satu senjata otomatis regu M249. Respons Marinir jauh lebih berat, lebih terarah, dan lebih mematikan. Faktor penting lainnya adalah kendaraan Kompi C tidak berkumpul atau terlalu terpisah satu sama lain, sehingga menjaga jarak 50 hingga 250 meter antara setiap kendaraan lapis baja atau Humvee. Konvoi tersebut tidak pernah kehilangan momentumnya dan terus melewati zona mematikan secepat mungkin. Setiap kendaraan Kompi C kemudian mencapai jembatan Kanal Saddam dan melanjutkan perjalanan ke utara sejauh beberapa ratus meter.

Tank M1A1 Abrams milik Kompi A, Batalyon Tank ke-8, dan Kendaraan Serbu Amfibi FMC AAV-7A1 dari Kompi C, Batalyon ke-1, Marinir ke-2, termasuk di antara unit pertama yang melintasi “Ambush Alley” pada tanggal 23 Maret. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Peta pertempuran Nasiriyah sekitar tengah hari, 23 Maret 2003. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Sementara Kompi C bertahan mati-matian di utara Terusan, Kompi B Marinir terus bergerak ke utara melalui jalan-jalan dan gang-gang menuju jembatan Kanal Saddam bagian timur. Bergerak maju ke utara dengan berjalan kaki dan menggunakan kendaraan tanpa pelindung lapis baja, mereka berada di tengah-tengah pertempuran perkotaan yang ingin mereka hindari. Di belakang mereka, kendaraan-kendaraan AAV-7 dan tank melakukan semua yang mereka bisa untuk mengeluarkan kendaraan mereka yang terperosok, yang terkadang membuat yang lain malah terjebak dalam proses tersebut. Ketika Satgas Tarawa bertempur, masing-masing batalyon senapannya memiliki satu perwira udara yang bertugas di markas batalyon dan dua orang pengontrol udara garis depan, sehingga dua dari tiga kompi senapan tersebut memiliki pengontrol udara garis depan sendiri-sendiri. Kompi C, sebagai kompi terakhir di konvoi tersebut, tidak memiliki pengontrol udara garis depan sendiri. Insiden salah tembak kemudian terjadi ketika dua pesawat serang A-10 dari Garda Nasional Udara Pennsylvania memberondong kendaraan serbu amfibi pasukan Marinir. Tragedi ini terjadi saat konvoi empat kendaraan lapis baja Kompi C yang memuat Marinir yang tewas dan terluka sedang melaju ke selatan. Saat kendaraan melintasi jembatan Kanal Saddam dan menyusuri Ambush Alley, mereka kembali dihantam roket. Pesawat A-10 juga menyerang mereka dengan rudal udara-ke-permukaan AGM-65 Maverick. Pilot A-10, melihat kendaraan lapis baja bergerak ke selatan, yakin bahwa mereka adalah bagian dari konvoi kendaraan lapis baja musuh dan melaporkannya kepada Kapten Santare, petugas pengendali udara garis depan Kompi B. Karena laporan intelijen telah memperingatkan adanya pasukan lapis baja Irak yang menuju ke selatan. Pada satu titik, Kapten Santare, yang sedang bergerak ke barat bersama sisa Kompi B menuju jembatan Kanal Saddam, mengira dia melihat Humvee di depannya. Dia mengirim pesan radio ke pesawat A-10 untuk membatalkan misi tersebut sementara dia kembali mencoba memverifikasi dengan perwira lain bahwa Kompi B adalah elemen terdepan dari tim tempur resimen. Diberitahu oleh Kapten Newland bahwa hal tersebut benar, dan dia mengizinkan pesawat A-10 untuk melaju lebih jauh. Hanya dua dari empat kendaraan lapis baja yang berhasil kembali ke posisi Kompi A di jembatan tenggara. Secara keseluruhan, Kompi C kehilangan 18 Marinir tewas, antara 14 hingga 19 luka-luka, 5 kendaraan lapis baja hancur, dan 2 rusak parah sehingga harus ditinggalkan. Mengingat fenomena dari “kabut perang” yang biasa terjadi, sulit untuk mengetahui kerugian mana yang secara langsung disebabkan oleh tembakan teman, tembakan musuh, atau kombinasi keduanya. Serangan A-10 lalu berhasil dihalau oleh pengontrol udara garis depan batalion tersebut. Investigasi terhadap peristiwa salah tembak itu menegaskan bahwa kesalahan prosedur adalah penyebabnya, namun “seperti sebagian besar investigasi insiden salah tembak, hal ini dilakukan… tanpa antusiasme untuk menentukan apa yang sebenarnya terjadi, atau siapa yang harus bertanggung jawab.” Kaset video dari pesawat A-10 itu hilang. Meskipun terdapat temuan yang jelas, Komando Pusat A.S. mengeluarkan siaran pers yang meminimalkan kepastian dan peran insiden salah tembak itu. 

Pesawat serang A-10 Thunderbolt II. (Sumber: https://www.quora.com/)
Marinir Satgas Tarawa mencari barang-barang penting di reruntuhan AAV-7A1 yang hancur di Nasiriyah pada akhir Maret 2003. Kendaraan ini, ditempatkan pada Batalyon ke-1, Marinir ke-2, yang hancur saat melintasi “Ambush Alley”. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Kembali ke jembatan tenggara, Kapten Brooks dari Kompi A, Batalyon ke-1, Marinir 2, bertanya-tanya kapan dia akan dibebaskan untuk membantu Kompi C di jembatan Kanal Saddam. Brooks semakin frustrasi, mengetahui bahwa dia dibutuhkan di jembatan Kanal Saddam dan percaya, berdasarkan percakapan sebelumnya dan perencanaan informal sebelumnya, bahwa bantuan fisik di tempat tersebut seharusnya dilakukan. Berdasarkan perencanaan dan pembahasan sebelumnya, Batalyon ke-2, Marinir ke-8 seharusnya melakukan pertolongan di tempat bersama Kompi A, Batalyon ke-1 Marinir ke-2, di jembatan tenggara. Meskipun Batalyon ke-2, Marinir ke-8, berhasil mencapai jembatan tenggara pada sore hari tanggal 23, bantuan nyata di tempat tersebut tidak pernah terjadi. Yang terjadi malah pejabat eksekutif Kompi C, Letnan Satu Eric Meador, akhirnya mencapai posisi Kompi A setelah selamat dari serangan Ambush Alley dan pesawat A-10 dan memberi tahu Kapten Brooks bahwa Kompi A dibutuhkan di utara kanal. Brooks tahu bahwa dia seharusnya mempertahankan jembatan selatan sampai digantikan, tapi Mayor Peeples bergerak cepat ke Ambush Alley dengan dua dari empat tank untuk membantu Kompi C. Ketika Kompi A melintasi jembatan Kanal Saddam, perlawanan tentara Irak di utara kanal “menguap begitu saja,” seperti yang dikatakan oleh Letnan Kolonel Grabowski. Belakangan menjadi jelas bahwa kedatangan Kompi A di utara kanal (Kompi B juga akan segera tiba) meyakinkan pasukan Irak di sana bahwa Marinir tidak akan berhenti atau menarik diri. Perebutan jembatan Kanal Saddam telah usai hari itu. Melihat lagi pertempuran yang dialami marinir, pertempuran di Nasiriyah pada tanggal 23 Maret ternyata jauh lebih sulit dari apa yang diperkirakan oleh siapa pun di Satgas Tarawa, atau bahkan Pasukan Ekspedisi Marinir. Informasi intelijen yang tidak memadai jelas berperan di awal pertempuran. Hampir semua orang memperkirakan perlawanan akan ringan. Menurut informasi intelijen yang diberikan kepada Brigadir Jenderal Natonski dari MEF ke-1, pasukan Angkatan Darat telah “mengalahkan” Divisi Infanteri ke-11 di sekitar Nasiriyah, dan sumber-sumber intelijen memperkirakan bahwa pasukan Irak yang tersisa di kota tersebut akan segera menyerah atau mundur. Oleh karena itu, misi untuk mengamankan jembatan timur diperkirakan akan terjadi tanpa atau menemui sedikit perlawanan. Namun, Divisi Infanteri ke-11 masih jauh dari kekalahan, dan unit-unit lainnya, termasuk unsur Divisi Infanteri Mekanis ke-51, Fedayeen, dan milisi Ba’ath, juga hadir dan siap bertempur. Belakangan diketahui bahwa, bukannya siap untuk mundur, pihak Irak justru memilih Nasiriyah sebagai salah satu tempat di mana mereka akan melakukan perlawanan yang gigih. Seperti yang dikatakan Natonski beberapa bulan kemudian, “Saya rasa kita tidak memahami pandangan masyarakat Irak dengan benar.” Sementara itu dua Marinir lainnya, dari Batalyon Pendukung Zeni ke-6, Kopral Evans James dan Sersan. Bradley S. Korthaus tenggelam ketika mencoba menyeberangi Kanal Saddam yang diserang keesokan harinya. Sersan. Michael E. Bitz, dari Marine Air Control Group 28, juga tewas akibat tembakan musuh saat merawat Marinir yang terluka.

RCT-1 MENEMBUS PENYERGAPAN

Kemajuan Tim Tempur Resimen ke-1 (RCT-1) melalui Nasiriyah tertunda karena pertempuran di sana. Pada malam tanggal 23-24 Maret, perencanaan dilakukan dengan tiga tujuan utama: memasok Batalyon ke-1, Marinir ke-2, di utara Terusan Saddam; menggunakan Batalyon ke-2, Marinir ke-8, untuk memperluas pijakan di jembatan tenggara, dengan tujuan untuk mengamankan jalur pendekatan timur ke utara ke sungai; dan mengembangkan rencana penembakan untuk penembakan tidak langsung guna menekan perlawanan yang tersisa di sepanjang Ambush Alley. Seperti yang dikatakan Mayor Andrew R. Kennedy, para perencana dan komandan menganggap pendekatan ini lebih baik daripada pertempuran “dari rumah ke rumah, mendobrak pintu dan melemparkan granat tangan.” Di selatan Sungai Efrat, misi pada tanggal 24 Maret adalah memperluas pijakan selatan dan mempersiapkan jalan bagi RCT-1 dari Divisi Marinir ke-1. Pada malam hari tanggal 24 Maret, kendaraan-kendaraan lapis baja LAV dari Batalyon Pengintai Lapis Baja Ringan ke-2 (LAR ke-2, dipimpin oleh Letkol Eddie Ray) bergerak ke utara Terusan Saddam, memimpin RCT-1 melalui Ambush Alley. Sementara itu, Batalyon ke-3, Marinir ke-1 (“Thundering Third“, yang dipimpin oleh Letkol Lewis Craparotta) menjaga Ambush Alley tetap terbuka ketika sisa pasukan RCT-1 melewati Nasiriyah pada malam tanggal 24-25 Maret. Sebagai akibat penundaan pergerakan RCT-1, Kolonel Joe Dowdy kemudian dibebastugaskan dari komando RCT-1, untuk digantikan pada saat itu oleh Mayor Jenderal James Mattis.

Marinir AS dari Satuan Tugas Tarawa berjaga-jaga setelah mereka menyaksikan pertempuran sengit seharian pada tanggal 23 Maret 2003 di kota Nasiriyah, Irak selatan. (Sumber: https://taskandpurpose.com/)
Jalur penyergapan di Nasiriyah. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Jenderal James N. Mattis, tengah, dengan dua komandannya di Irak pada tahun 2003. (Sumber: https://www.nytimes.com/)

Pada malam hari, Marinir telah menembak dan membunuh banyak orang-orang Irak yang mendekati posisi mereka dengan berjalan kaki atau dengan kendaraan. Beberapa orang berusaha menemukan jembatan penyeberangan yang sejajar dan timur jembatan utama di atas Efrat. Seringkali kendaraan-kendaraan lapis baja ringan yang tergabung dalam batalion melepaskan tembakan mematikan ke seberang sungai. Tentara dan milisi Irak terus bergerak dengan berjalan kaki dan menggunakan kendaraan, tampaknya mereka mengira mereka bisa tersembunyi dalam kegelapan. Namun, penglihatan termal pada kendaraan-kendaraan lapis baja ringan milik Marinir membuat orang-orang Irak terlihat seolah-olah di siang hari bolong. Berkali-kali, tembakan yang akurat dan mematikan meletus dari kegelapan di selatan sungai dan menyerang pasukan Irak di sisi lain dari jarak ratusan meter. Hal yang sama juga terjadi pada sniper yang ditugaskan di Kompi E dan F, yang berhasil melenyapkan banyak sasaran selama serangan malam. Seorang sniper membunuh dua kombatan Irak dengan satu peluru kaliber .50. Para pria tersebut berusaha menggunakan seorang wanita dan seorang anak sebagai tameng ketika mereka berjalan di sepanjang tepi utara Sungai Eufrat dan mencoba menunjukkan posisi Amerika. Sniper itu menunggu sampai dia mendapatkan tembakan yang tepat dan membunuh kedua pria tersebut tanpa melukai wanita atau anak tersebut. Selama pertempuran Nasiriyah, Peleton sniper dari Batalyon ke-2 Marinir ke-8, setidaknya berhasil membunuh 34 orang. Pada pagi harinya, upaya penyelidikan tentara Irak terhadap posisi Marinir terus berlanjut. Juga pada pagi itu, seorang pria Irak mendekati Kompi G dari arah tenggara. Beberapa ratus meter ke arah itu, terdapat sekumpulan bangunan yang membentuk kompleks rumah sakit bernama Rumah Sakit Tykar. Pria Irak itu mengatakan kepada Marinir Kompi G, dan kemudian Kapten Timothy R. Dremann dari Kompi F, bahwa dia adalah seorang dokter. Ia menyatakan bahwa bangunan yang atapnya terlihat terdapat karung pasir oleh Marinir, memang merupakan bagian dari kompleks rumah sakit. Dia mengatakan rumah sakit itu hanya digunakan untuk merawat orang yang sakit dan terluka dan meminta Marinir untuk tidak menembaki rumah sakit tersebut. Selain itu, dia menyatakan bahwa dia mendukung upaya AS. Akhirnya dia memberi tahu Marinir bahwa ada empat orang Amerika yang terluka di rumah sakit, yang diduga oleh Marinir adalah orang-orang yang selamat dari Kompi Pemeliharaan ke-507 Angkatan Darat. Kompi G lalu mengirimkan patroli seukuran satu regu menuju rumah sakit. Semakin dekat patroli ke kompleks tersebut, semakin terlihat seperti fasilitas militer dibandingkan fasilitas medis. Pasukan tersebut mundur, dan komandan Kompi G Kapten Brian A. Ross mengatakan bahwa diperlukan lebih dari satu regu untuk menyapu dan membersihkan kompleks tersebut. Faktanya, ternyata “dokter” Irak tersebut adalah seorang perwira militer Irak, dan rumah sakit tersebut berfungsi sebagai basis operasi musuh, fasilitas penyimpanan, dan posisi tempur.

Pemandangan Nasiriyah dari udara, menghadap ke barat daya dari sisi utara Terusan Saddam, yang dilintasi oleh Batalyon ke-1, Marinir ke-2, pada tanggal 23 Maret. Bangunan-bangunan di tengah foto, di sebelah kanan (barat) ujung selatan jembatan, membentuk “Distrik Martir”, sebuah lingkungan yang ditempati oleh sejumlah besar petempur fedayeen. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Marinir Amerika Serikat dari Satuan Tugas Tarawa menunggu saat peluru SMAW menghantam gedung brigade Infanteri ke-23 Irak sebelum bergerak pada tanggal 24 Maret 2003 di kota Nasiriyah, Irak selatan. Marinir telah melakukan baku tembak selama dua hari terakhir dengan perlawanan keras kepala di dalam dan sekitar kota. (Sumber: https://www.westarctica.wiki/)

Sekitar pukul 17:00, Kompi F dan G mulai bergerak masing-masing ke timur dan tenggara, untuk memperluas perimeter batalion. Kompi G, di sebelah kanan, telah diperkuat oleh dua elemen gabungan peleton anti-lapis baja dan tim eksploitasi dan telah diperintahkan untuk melakukan operasi penjagaan dan pencarian di kompleks rumah sakit. Namun, sebelum Marinir mencapai kompleks tersebut, mereka mulai menembaki beberapa bangunan di sisi selatannya. Tembakan yang datang sangat besar dan merupakan perlawanan paling signifikan yang pernah dihadapi batalion tersebut hingga saat itu. Kompi F juga menerima tembakan tidak langsung dan tembakan langsung dari arah rumah sakit di tenggara, dan dari utara sungai. Pasukan Marinir kemudian merespons secara agresif dengan tembakan mortir, artileri, dan senjata organik berbagai kaliber. Setelah 15 menit berlangsung tembakan hebat, Kompi G mengirimkan Peleton ke-3 untuk menyapu gedung-gedung tempat kompi tersebut menerima tembakan. Peleton tersebut menemukan satu tubuh musuh, satu senapan yang dirampas, dan beberapa jejak darah. Kompi F, sementara itu, mengirimkan Peleton ke-2 ke bagian kompleks rumah sakit. Namun, ketika hari mulai gelap, Letnan Kolonel Mortenson memutuskan bahwa kendalinya di rumah sakit terlalu lemah untuk ditempati dalam semalam. Tidak ada cukup waktu untuk menyelesaikan penjagaan dan penggeledahan serta mengkonsolidasi penguasaan kompleks tersebut. Dia menarik Marinirnya dari gedung, mengawasi mereka dengan sniper, dan melindunginya dengan tembakan tidak langsung. Sekitar malam tiba, sekitar 80 orang keluar dari kompleks tersebut dan menyerahkan diri kepada Marinir setelah diperintahkan oleh tim operasi psikologis dan penerjemah Angkatan Darat AS. Di antara mereka adalah seorang jenderal Irak dan seorang mayor yang mengenakan pakaian sipil. Secara keseluruhan, Marinir Batalyon ke-2, Marinir ke-8, menderita empat prajurit yang terluka akibat tembakan tidak langsung, semuanya dari Kompi F. Sementara itu banyak yang telah dicapai pada tanggal 24 Maret. Pada penghujung hari, Batalyon LAR ke-2 pimpinan Letnan Kolonel Ray berhasil melewati Ambush Alley dan melewati posisi Kompi A di Jalan Raya nomor 7, serta menjadi elemen Divisi Marinir ke-1 seukuran batalyon pertama yang melewati Nasiriyah. Kemudian, Batalyon ke-1, Marinir ke-10, menembakkan proyektil jarak jauh berbantuan roket untuk mendukung LAR ke-2 saat bertempur di barat laut posisi Kompi A. Larut malam, atau dini hari tanggal 25, batalyon infanteri pertama RCT-1 menerobos kota. Tidak ada satu pun Marinir yang terluka atau terbunuh di antara dua jembatan timur setelah tanggal 23. Satgas Tarawa kemudian memperkuat cengkeramannya pada jalur pasokan utama yang melewati Nasiriyah, dan di pinggiran kota itu sendiri. Jalur pergerakan ke depan telah dibuat, dan bagian pertama dari misi Satgas Tarawa telah tercapai.

MEMPERKUAT POSISI

Pada tanggal 24 Maret, Satgas Tarawa telah menerima instruksi dari pimpinan yang lebih tinggi yang akan memandu kegiatannya pada hari-hari berikutnya. Fragmentary Order 023-03 dari Letnan Jenderal James Conway mengarahkan gugus tugas untuk melakukan konsolidasi di sekitar Nasiriyah dan “melindungi rute jalan raya 1 dan 7 di zona untuk mendukung pengiriman personel dan peralatan lanjutan.” Conway dan stafnya setuju dengan pemikiran Brigadir Jenderal Natonski dan perencana dalam tim tempur resimen bahwa gugus tugas tidak boleh terlibat dalam pertempuran perkotaan dari rumah ke rumah, dan menyarankan bahwa “aktivitas di kawasan terbangun (Nasiriyah) harus dibatasi hanya pada kawasan yang diperlukan untuk menjamin keamanan konvoi kendaraan yang bergerak di sepanjang Jalan Raya 1 dan 7.” Perintah-perintah ini kemudian membentuk aktivitas Satuan Tugas Tarawa pada tanggal 25. Pada pukul 15.00 tanggal 25 Maret, kompi Batalyon ke-3, Marinir ke-2, mulai menempati posisi mereka di Jalan Raya nomor 7 yang berorientasi barat dan selatan. Kompi K menjalin kontak dengan Kompi E, Batalyon ke-2, Marinir ke-8, dan menempatkan sayap kanannya di sepanjang tepi selatan Sungai Eufrat. Kompi L berada di sebelah kiri Kompi K, berorientasi ke barat, dan Kompi I berada di sisi paling selatan, menempati posisi di sepanjang Rute 8. Saat kompi senapan dari Batalyon 3, Marinir 2, sedang menetapkan posisi mereka di barat dan selatan jembatan tenggara, sebuah kejadian aneh terjadi di posisi belakang batalion, sekitar 10 kilometer ke arah selatan. Lima bus tiba di posisi pusat operasi logistik lanjutan dan posko utama. Mereka dipenuhi oleh laki-laki Irak berusia militer yang mengaku anggota Divisi Mekanis ke-51 yang telah menyerah di Basra dan sekarang dalam perjalanan pulang. Mereka tidak bersenjata, namun semuanya memiliki sejumlah besar uang Irak. Personil dari Batalyon ke-3, Marinir ke-2, menahan lebih dari 120 orang ini dan memproses mereka sebagai tahanan untuk memastikan bahwa mereka tidak masuk kembali ke kota dan menjadi bagian dari perlawanan musuh. Intelijen kemudian menentukan bahwa orang-orang ini bermaksud untuk mengambil senjata di banyak gudang senjata dan amunisi yang ditemukan Marinir di seluruh kota.

Marinir melindungi rekannya yang terluka saat ditembaki dalam baku tembak di Nasiriyah pada tanggal 23 Maret 2003. Banyak Satgas Marinir Tarawa terluka, tetapi tidak ada yang terbunuh, antara tanggal 24 Maret dan akhir pertempuran. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Pemandangan udara dari jembatan tenggara di atas Sungai Eufrat di Nasiriyah, terlihat dari timur laut ke barat daya. Perhatikan vegetasi yang relatif tebal di sepanjang sebagian sisi selatan sungai. Batalyon ke-3, Marinir ke-2, dan unsur Batalyon ke-2 Marinir ke-8, beroperasi di sektor kota ini. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Pasukan dari Batalyon ke-2, Marinir ke-8, kemudian menyerang musuh untuk memperluas kendali batalion di bagian selatan kota. Kompi E, sebelum kedatangan Batalyon ke-3, Marinir ke-2, telah membersihkan beberapa bangunan di sebelah baratnya, termasuk kompleks militer. Kompi F lalu bergerak ke timur, membersihkan sembilan rumah di depannya. Di salah satu dari mereka, Marinir menemukan seragam Angkatan Darat AS dari Kompi Pemeliharaan ke-507 yang hilang. Bertindak berdasarkan informasi intelijen bahwa mungkin masih ada tawanan Amerika di rumah sakit, Letnan Kolonel Royal Mortenson memerintahkan Kompi F untuk menyerangnya. Didukung mortir dari unit mortir Kompi G, Kompi F merebut kompleks tersebut. Lima Marinir terluka dalam serangan itu. Di dalam kompleks tersebut, Kompi F menemukan sebuah tank, ratusan senjata serbu, ribuan butir amunisi, ratusan pakaian pelindung bahan kimia, dan dua flak jaket militer Amerika yang disesuaikan untuk dikenakan wanita, salah satunya bertuliskan nama “Lynch.” Dua tentara wanita, Prajurit Kelas Satu Lori A. Piestewa dan Prajurit Kelas Satu Jessica D. Lynch, pernah ditahan di kompleks tersebut. Piestewa telah meninggal di sana, dan Lynch, tanpa sepengetahuan Marinir, telah dipindahkan oleh pasukan Irak pada awal pertempuran ke Rumah Sakit Saddam di bagian barat kota di utara sungai Eufrat. Setelah Kompi F mengamankan rumah sakit tersebut, Mortenson memerintahkannya untuk kembali ke jembatan. Tujuan para Marinir memang bukanlah untuk menempati rumah sakit secara fisik, melainkan untuk menghalangi penggunaan rumah sakit tersebut bagi pihak Irak dalam upaya mereka mengganggu lalu lintas di sepanjang jalan raya dan jembatan tenggara. Sekali lagi, sifat ancaman musuh yang asimetris menjadikannya sebuah tantangan. Daerah itu penuh dengan warga sipil, dan di antara mereka terdapat desertir dari Divisi Infanteri ke-11, unsur milisi Partai Ba’ath, dan milisi Fedayeen. Sebagian besar tembakan yang datang berasal dari barat dan utara sungai; hal ini dapat diatasi dengan aset organik dan artileri batalion dari Batalyon ke-1, Marinir ke-10. Namun, beberapa tembakan berasal dari kelompok perlawanan kecil yang berada di dalam sektor unit yang berdekatan, sehingga sulit untuk melawannya dengan tembakan langsung atau mengoordinasikan tembakan tidak langsung.

Peta pertempuran Nasiriyah, 24 Maret 2003. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Pada tanggal 26 Maret, angin kencang dan awan debu terus mempengaruhi operasi. Helikopter tidak dapat terbang hampir sepanjang hari karena badai debu; hanya dukungan udara dari pesawat sayap tetap yang tersedia. Saat ini, Satgas Tarawa sudah menguasai tiga dari empat jembatan di Nasiriyah. Melintasi sepanjang Ambush Alley kini bukan lagi masalah serius. Oleh karena itu, sepanjang tanggal 26 dan 27 Maret, Batalyon ke-2, Marinir ke-8, dan Batalyon ke-3, Marinir ke-2, terus memperluas wilayahnya. Bertempur dari rumah ke rumah, mereka menangkap dan membunuh banyak milisi Fedayeen dan Ba’ath serta menyita atau menghancurkan sejumlah besar senjata, amunisi, dokumen, peta, dan informasi intelijen musuh lainnya. Keberhasilan mereka menghasilkan informasi berharga yang memandu perencanaan taktis operasi pada hari berikutnya. Sebagian besar informasi intelijen mencakup rincian aktivitas atau markas musuh di gedung tertentu. Berdasarkan informasi rinci tersebut, Marinir dapat menargetkan tempat tinggal atau bangunan umum tertentu. Misalnya, Marinir dari Batalyon ke-3, Marinir ke-2, merebut markas besar Partai Ba’ath pada tanggal 26 Maret, dan selama beberapa hari berikutnya menangkap lebih banyak personel markas besar tingkat tinggi, seorang jenderal dan seorang kolonel di tentara Irak, dan peta serta dokumen yang mengungkapkan lokasi markas besar lainnya, fasilitas militer, dan personel. Markas besar Partai Ba’ath memiliki ruangan yang dirancang sebagai ruang interogasi. Ia juga memiliki model medan yang menunjukkan posisi musuh di seluruh kota; sensus setiap orang yang tinggal di kota, beserta alamatnya; dan rampasan senjata dan seragam pasukan Angkatan Darat AS. Tim eksploitasi lalu mulai menyimpulkan, dengan tepat ternyata bahwa tahanan Angkatan Darat AS berada di dalam gedung tersebut dan kemudian dipindahkan ke rumah sakit Irak di utara sungai Eufrat. Sementara itu, model medan dan dokumen yang diperoleh membantu staf batalion merencanakan serangan keesokan harinya.

Satgas Marinir Tarawa menjaga tawanan perang Irak di Nasiriyah pada tanggal 26 Maret 2003. Banyak pria Irak yang melawan Marinir di Nasiriyah melakukannya dengan berpakaian sipil, termasuk anggota tentara reguler Irak. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Area di sekitar rumah sakit Nasiriyah, yang digunakan oleh pasukan Saddam untuk menembaki Marinir Amerika. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Tank Tipe 69-QM Irak hancur di dekat rumah sakit Nasiriyah. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Kondisi cuaca buruk menjadikan artileri sebagai kekuatan pendukung pilihan pada tanggal 26 Maret, menjadikannya hari yang sibuk dan berkesan bagi Batalyon ke-1, Marinir ke-10. Setelah mendukung serangan Kompi F di kompleks rumah sakit, pasukan artileri menembakkan berbagai misi serangan balasan yang dihasilkan oleh radar counterbattery, serta untuk menembak ke arah Fedayeen musuh, posisi artileri, dan stasiun pengisian bahan bakar. Sasarannya tersebar di seluruh Nasiriyah. Sebagaimana dirangkum dalam catatan kronologi komando batalion, menjelang senja, batalion tersebut telah menyerang tujuh baterai artileri musuh; tempat penimbunan amunisi dengan empat howitzer musuh; tempat pengisian bahan bakar dengan kendaraan pengangkut personel lapis baja dan truk; konvoi dengan pasukan infanteri; dan sebuah peluncur roket multilaras BM21, yang mengakibatkan hancurnya 44 tabung artileri, lebih dari 25 kendaraan, beberapa bangunan, kompleks militer, tempat pengisian bahan bakar, dan sekitar 400 korban jiwa dari pihak musuh. Namun pekerjaan pasukan artileri belum berakhir. Sepanjang hari, laporan intelijen telah diterima dari markas MEF ke-I (awalnya dihasilkan oleh sumber intelijen manusia dan intelijen) mengenai kumpulan besar petempur musuh yang berkumpul di area terbuka dekat stasiun kereta api di selatan jembatan barat daya. Laporan awal memperkirakan ada lebih dari 1.000 tentara Irak non reguler berkumpul; perkiraan selanjutnya menyebutkan angka 2.000. Intelijen mengindikasikan bahwa niat mereka adalah melancarkan serangan balik besar-besaran dan menguasai jembatan tenggara. Laporan-laporan ini sepertinya selaras dengan deteksi radar counterbattery di area tersebut sepanjang hari. Karena penyebaran amunisi pada garis meriam baterai dan fakta bahwa hanya empat meriam Baterai A yang dapat mencapai sasaran, batalion tersebut sebenarnya menembakkan 105 butir amunisi konvensional yang ditingkatkan dengan tujuan ganda dan 30 butir peluru dengan daya ledak tinggi dengan waktu yang bervariasi. Sulit untuk mendapatkan penilaian kerusakan yang tepat dari misi counterbattery ini, namun efeknya nampaknya dramatis. Brigadir Jenderal Natonski percaya bahwa serangan artileri itu “menghancurkan” serangan balik yang coba dilancarkan musuh pada malam tanggal 26.

Marinir Satgas Tarawa menggeledah gedung di Nasiriyah untuk mencari kombatan musuh, senjata, amunisi, dan informasi intelijen. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Kendaraan tempur LAV-25. (Sumber: https://tank-afv.com/)

Namun, tidak semua petempur musuh berada di stasiun kereta api. Jadi, meskipun misi penembakan besar-besaran dari Batalyon ke-1, Marinir ke-10, mungkin menggagalkan rencana musuh untuk melakukan serangan balik terkoordinasi besar-besaran, terdapat pertempuran kecil sepanjang malam di selatan Sungai Eufrat. Unsur-unsur dari Batalyon ke-3, Marinir ke-2; Batalyon ke-2, Marinir ke-8; Batalyon Zeni Tempur ke-2; Batalyon LAR ke-2; Baterai B, Batalyon ke-1, Marinir ke-10; dan pos komando RCT-2 semuanya melaporkan adanya kontak dengan musuh. Suatu saat selama pertempuran ini (sulit untuk menentukan kapan tepatnya dari berbagai laporan), peleton LAR terdepan dan pos komando Batalyon ke-2, Marinir ke-8, mulai saling menembak. Peleton tersebut mungkin sedikit mengalami disorientasi dan tidak menyadari lokasi pos komando. Di sisi lain, mungkin saja Marinir di pos komando, mengetahui laporan adanya kendaraan lapis baja musuh (BTR-60) di dekatnya, melihat sebuah LAV-25, mengira itu milik Irak, dan menembakinya. Pada saat Marinir berhenti menembak satu sama lain, senjata kecil dan kanon kaliber 25mm LAV-25 telah menghancurkan empat kendaraan (satu kendaraan derek dan tiga kendaraan taktis menengah) dan merusak lima Humvee. Tiga puluh Marinir di area umum pos komando Batalyon ke-2 Marinir ke-8 terluka, meskipun beberapa dari mereka pasti terluka akibat tembakan musuh.

KONSOLIDASI DAN PENYELAMATAN

Pada pagi hari tanggal 27 Maret, Satgas Tarawa telah membuka jembatan timur dan jalur timur melalui Nasiriyah selama 48 jam. Pencapaian ini memungkinkan Divisi Marinir ke-1 melanjutkan perjalanannya menuju Bagdad sesuai rencana, siap melawan divisi Garda Republik Bagdad dan Al Nida serta mengalihkan perhatian dari upaya utama pasukan Koalisi, yakni Divisi Infanteri ke-3 dari Korps V. Namun jelas bahwa Nasiriyah masih merupakan ancaman potensial bagi lini belakang pasukan Koalisi dan jalur pasokannya. Pasukan Irak masih mempertahankan kehadiran yang kuat di kota tersebut, dan Satuan Tugas Tarawa tidak cukup besar untuk menghilangkan ancaman ini sendirian. Hanya sedikit orang yang mengantisipasi bahwa Angkatan Darat Irak, milisi Fedayeen dan petempur Partai Ba’athmempunyai kekuatan yang begitu besar di wilayah tersebut atau melakukan pertahanan yang gigih. Marinir Satuan Tugas Tarawa, dengan bantuan dukungan udara jarak dekat, telah berhasil membunuh dan menangkap ratusan petempur musuh dan menimbulkan kerusakan besar pada pasukan reguler Irak. Namun, musuh masih mampu menyusup ke dalam kota dengan berjalan kaki dan menggunakan kendaraan sipil dalam jumlah besar dari unit Fedayeen Saddam, Milisi Partai Ba’ath, dan pasukan reguler. Dokumen yang diambil yang dikumpulkan pada tanggal 24 Maret menunjukkan bahwa pada hari-hari sebelum pertempuran, pihak Irak telah mampu memindahkan Brigade Infanteri ke-504 dari Divisi Infanteri ke-34 dari timur laut Irak ke Nasiriyah. Pada tanggal 19 Maret, brigade tersebut terdiri dari lebih dari 2.000 tentara, yang memperkuat unit-unit yang telah diketahui oleh intelijen Koalisi di kota tersebut, serta unsur-unsur Divisi Infanteri Mekanis ke-51 yang masuk kembali dari Basrah. Wawancara Letnan Kolonel Grabowski dengan perwira Brigade ke-23 yang ditangkap mengungkapkan bahwa terdapat 500 hingga 800 petempur Fedayeen di kota tersebut ketika pertempuran dimulai. Meskipun musuh tidak mampu mempertahankan jembatan atau mencegah aliran pasukan Koalisi dan perbekalan melalui sisi timur Nasiriyah, Marinir mengantisipasi bahwa mereka akan terus menggunakan taktik gerilya untuk “menggerogoti dan memperlambat kemajuan Pasukan Koalisi.”

Peta dinding ini ditemukan di markas besar Partai Ba’ath di sektor selatan Nasiriyah. Peta ini jelas mengidentifikasi pertahanan Irak di seluruh kota. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)
Posisi kantong pertahanan Irak di Nasiriyah. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Pada tanggal 27 Maret, sebagian besar perlawanan Irak di kota tersebut telah berhasil ditundukkan dan fokus pertempuran beralih dari pertempuran penuh ke operasi penjagaan dan pencarian. Kelompok kecil milisi Fedayeen Saddam bersembunyi di seluruh kota dan melancarkan serangan sporadis terhadap patroli Marinir dengan senjata ringan dan RPG. Serangan-serangan ini tidak terkoordinasi dan mengakibatkan baku tembak yang tidak seimbang, dengan sejumlah besar anggota milisi terbunuh. Pada pagi hari tanggal 27 Maret, dua marinir pengintai menemukan tank M1A1 yang tenggelam di dasar sungai. Tank tersebut telah hilang sejak malam tanggal 24-25 Maret. Tampaknya tank tersebut terjun ke sungai ketika melewati celah di mana trotoar sedang dibangun, menyebabkan batang penguat yang terbuka runtuh karena beban. Seluruh kru yang terdiri dari empat orang tewas. Penyelam Seabee Angkatan Laut dari Tim DUA Konstruksi Bawah Air, bagian dari Satuan Tugas MIKE bersama Marinir dari Batalyon Tank ke-1, lalu menghabiskan dua hari untuk mengambil tank yang tenggelam dan mayat empat awak yang ditemukan di dalamnya. Menurut seorang kapten di Garda Republik, semangat di antara unit Garda Republik diperkuat oleh perlawanan yang dilakukan oleh brigade ke-45 tentara reguler di kota tersebut.

Bangunan “benteng” di selatan Sungai Eufrat, tak lama setelah direbut oleh Kompi K, Batalyon ke-3, Marinir ke-2. Tim sniper telah ditempatkan di atap. Kolonel Ronald J. Johnson, petugas operasi G-3 dari Task Force Tarawa, melihat melalui teropong sniper. Letkol Paul B. Dunahoe, komandan Batalyon ke-3, Marinir ke-2, memegang teropong. Di paling kanan adalah Sersan Christopher M. Sharon, Batalyon ke-3, Marinir ke-2, ketua tim pengintai-sniper. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Pada tanggal 29 Maret, Batalyon ke-3, Marinir ke-2, melancarkan serangan terhadap kompleks militer berlantai empat yang diperkuat, yang oleh para perwira batalion dijuluki “benteng”. Intelijen mengindikasikan bahwa gedung itu adalah markas Divisi Infanteri ke-11 musuh. Ketika perencanaan penyerangan dimulai pada tanggal 28 Maret, Kompi K, yang dipimpin oleh Kapten Edward J. Healey Jr., ditetapkan sebagai pasukan utama, dan rencana dibuat untuk persiapan penembakan artileri berat sebelum penyerangan. Namun, tim pengintai sniper yang dikirim oleh Letnan Kolonel Dunahoe ke daerah tersebut pada tanggal 27 akhir kemudian menentukan bahwa ada banyak lalu lintas sipil di dalam dan sekitar kompleks tersebut. Dalam upaya menghindari korban sipil, Dunahoe membatalkan rencana serangan artileri dan malah mengarahkan Kompi K untuk melancarkan serangan mendadak menjelang fajar. Kompi I dan L bersiap bertindak sebagai unsur pendukung. Kompi K bergerak ke posisi penyerangannya dalam kegelapan dan memulai serangannya pada pukul 05.30. Marinir menangkap, membunuh, atau melukai segelintir tentara Irak tanpa menimbulkan korban jiwa. Di dalam kompleks tersebut, mereka menemukan amunisi dalam jumlah besar, termasuk 1.000 roket, 1 juta peluru senjata ringan, ranjau, peluru tank, dan peralatan pertahanan perang kimia. Para ahli persenjataan peledak kemudian memperkirakan bahwa lebih dari 25.000 metrik ton amunisi dan bahan peledak disimpan di dalam kompleks tersebut. Kompi K Marinir pimpinan Kapten Healey juga membunuh dua tentara musuh yang bersenjata ketika mereka mencoba memasuki kompleks tersebut dengan truk pickup tidak lama setelah kompleks tersebut diamankan. Sementara itu, sniper Marinir di kompleks melawan beberapa milisi Fedayeen Saddam yang bermanuver melawan kompleks tersebut, menewaskan satu orang, diantaranya pada jarak 550 meter dan satu lagi pada jarak 750 meter.

Brigadir Jenderal Richard F. Natonski dalam pusat operasi tempur Satgas Tarawa di Nasiriyah. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Pada tanggal 31 Maret, MEU ke-15 mulai mengamankan tugasnya di sekitar jembatan barat daya. Pada periode inilah pula seorang pengacara Irak berjalan melewati jembatan barat daya, mendekati barisan Kompi I, Batalyon ke-3, Marinir ke-2, di bawah komando Letnan Satu J. Todd Widman, dan memberikan informasi menarik. Pria tersebut, sebut saja “Mohammed” memberikan informasi intelijen kepada tim eksploitasi di batalion tersebut tentang Fedayeen dan lokasi mereka. Belakangan dia juga menyatakan bahwa seorang tentara Amerika yang terluka bernama Jessica berada di Rumah Sakit Saddam, sebuah kompleks di sisi barat kota beberapa ratus meter di utara jembatan barat daya. Mohammed menyatakan bahwa tentara tersebut telah disiksa. Ketika diminta, Mohammed setuju untuk kembali ke rumah sakit dan memastikan lokasi persis Prajurit Kelas Satu Lynch di dalam bangunan tersebut. Sementara istri dan putrinya tetap bersama Marinir, dia berjalan kembali melewati jembatan malam itu dan kembali dengan membawa lebih banyak lagi Informasi rinci. Istri Mohammed pernah bekerja sebagai perawat di rumah sakit, dan dia lalu membantu membuat sketsa denah bangunan dan halaman sekitarnya. Pada tanggal 31 Maret, Satuan Tugas 20 telah mendirikan pos komandonya di dalam pos komando Satuan Tugas Tarawa, dan bersama-sama kedua organisasi tersebut merencanakan operasi untuk menyelamatkan Prajurit Kelas Satu Lynch dan orang Amerika lainnya yang mungkin berada di rumah sakit. Operasi akan berlangsung pada malam tanggal 1 April. Alih-alih pasukan operasi khusus yang mendukung Satgas Tarawa, Satgas Tarawa akan menjadi unit pendukung operasi penyelamatan Satgas 20. Untuk mendukung penyelamatan, MEU ke-15 akan melancarkan serangan pengalih perhatian di jembatan barat daya. Artileri dan aset udara juga akan menciptakan pengalihan dengan menyerang fasilitas Partai Ba’ath di selatan rumah sakit. 

Video kamera tempur menunjukkan rekaman PFC Jessica Lynch pada 1 April 2003 di atas tandu selama penyelamatannya dari Irak. (Sumber: https://www.militarytimes.com/)
Peta operasi penyelamatan prajurit Jessica Lynch. (Sumber: https://www.usmcu.edu/)

Wing Udara Marinir ke-3 menyediakan dukungan helikopter untuk pasukan Rangers yang akan mendarat di sebelah barat rumah sakit dan memberikan pengamanan serta membangun lokasi pendaratan darurat. Batalyon ke-1, Marinir ke-2, menyumbangkan tank-tank dan kendaraan-kendaraan amfibi penyerang sebagai kekuatan reaksi cepat yang terletak di jembatan barat laut yang dapat dikirim dengan cepat jika terjadi kesalahan. Kompi Pengintaian ke-2 melakukan survei di lokasi penyelamatan, memberi perlindungan dengan pengerahan sniper, panduan terminal ke zona pendaratan Rangers, dan kendaraan taktis menengah dengan senapan mesin kaliber .50 sebagai bagian serangan darat dalam operasi tersebut. Para Rangersmendarat pada tengah malam tanggal 1 April, dan pasukan khusus Navy SEAL memasuki rumah sakit pada waktu yang hampir bersamaan. Dalam waktu 20 hingga 25 menit setelah kedatangan mereka, Prajurit Kelas Satu Lynch sudah berada di helikopter dan terbang menjauh dari Rumah Sakit Saddam. Setelah beberapa jam, para Rangers menemukan dan mengevakuasi jenazah seorang Marinir yang tewas di Ambush Alley dan jenazah anggota Kompi Pemeliharaan ke-507 yang hilang. Setiap orang Amerika yang terbunuh di Nasiriyah berhasil dikembalikan ke rumah. Operasi penyelamatan dan pemulihan yang dilakukan oleh Satuan Tugas 20 dan Satuan Tugas Tarawa merupakan operasi yang biasa dilakukan dalam hal perencanaan dan pelaksanaan bersama di antara berbagai angkatan bersenjata dan cabang militer. Setiap tujuan tercapai, dan tidak ada korban jiwa. Keesokan harinya, tanggal 2 April, Brigjen Natonski menyatakan Nasiriyah berhasil diamankan. Dalam pertempuran untuk mengamankan Nasiriyah, korban di pihak Irak berjumlah 359–431 orang tewas. Lebih dari 300 orang terluka dan 1.000 orang ditangkap. Kerugian di pihak AS adalah 32 orang tewas, 60 orang luka-luka, dan enam orang ditangkap. Hampir separuh korban tewas di pihak Amerika adalah akibat salah tembak.

PRAJURIT KELAS SATU JESSICA LYNCH

Pelaporan awal pertempuran tersebut menekankan dugaan kepahlawanan Prajurit Kelas Satu Jessica Lynch. Pada tanggal 3 April, The Washington Post memuat berita di halaman depan yang berbunyi: “Lynch, seorang petugas pasokan berusia 19 tahun, terus menembaki tentara Irak bahkan setelah dia menderita banyak luka tembak dan menyaksikan beberapa tentara lain di unitnya tewas di sekelilingnya”. The Post mengutip seorang pejabat yang tidak disebutkan namanya yang mengatakan “Dia berjuang sampai mati […] Dia tidak ingin ditangkap hidup-hidup.” Deskripsi ini kemudian segera dipertanyakan. Pada tanggal 4 April, Associated Press memuat berita yang menyatakan bahwa ayah Lynch telah mendengar dari dokter yang merawatnya, yang mengatakan bahwa “dia tidak ditembak atau ditikam selama cobaan beratnya.” Pada tanggal 15 April, The Post memuat berita yang mempertanyakan keakuratan laporannya sendiri mulai tanggal 3 April, dengan mengatakan “Cerita Lynch jauh lebih kompleks dan berbeda dari laporan awal […] Dia tidak ditembak atau ditikam.” Pada tanggal 24 April, Prajurit Lynch bersaksi di depan Kongres. Dia menyebut laporan sebelumnya sebagai sebuah “kebohongan”, dan mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak pernah menembakkan senjatanya, karena dia pingsan ketika kendaraannya bertabrakan. Jon Krakauer menyimpulkan bahwa “sebagian besar rincian cobaan berat yang dialami Lynch dibumbui secara berlebihan, dan sebagian besar sisanya diciptakan sepenuhnya… dan (diberikan) kepada wartawan yang mudah tertipu oleh sumber militer yang tidak disebutkan namanya”. Krakauer menyimpulkan bahwa Jim Wilkinson kemungkinan besar adalah bagian dari upaya yang dipimpin Gedung Putih untuk mengarang cerita kepahlawanan Lynch.

Jessica Lynch dianugerahi medali Bronze Star, Prisoner of War, dan Purple Heart pada tanggal 22 Juli 2003. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

CATATAN DARI PERTEMPURAN NASIRIYAH

Nasiriyah adalah pertempuran yang menentukan dalam kampanye invasi Irak tahun 2003 dalam banyak hal. Pasukan koalisi kemudian mengetahui banyak hal tentang musuh mereka dan taktiknya; mereka mempelajari banyak pelajaran taktis dan operasional yang penting; dan para komandan Angkatan Darat Irak menyadari bahwa hampir mustahil menghentikan pergerakan Marinir AS. Beberapa hal yang dipelajari Marinir tentang pasukan Irak mempunyai kepentingan taktis dan operasional. Marinir dapat memperkirakan musuh akan menggunakan posisi tiruan, seperti tank raksasa, dan menempatkannya di depan bangunan untuk membuat posisi pertahanan. Musuh cenderung menggunakan rumah sakit, masjid, dan sekolah sebagai tempat penyimpanan senjata dan posisi bertahan, mengambil keuntungan dari tekad pasukan Amerika untuk tidak melanggar hukum perang internasional dan keengganan untuk menyakiti warga sipil. Hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa karena sebagian besar tentara Irak tidak berperang dengan seragam, melainkan mengenakan pakaian sipil. Faktanya, misi utama Fedayeen dan pasukan paramiliter lainnya adalah untuk berbaur dengan penduduk sipil, menggunakan anggotanya sebagai perisai manusia, dan berupaya memperkuat perlawanan penduduk dan pasukan reguler terhadap pasukan Koalisi. Melawan taktik Irak ini, intelijen manusia, khususnya dari pasukan operasi khusus dan tim eksploitasi, sangatlah berguna dan membantu. Pertempuran tersebut tentu saja membuktikan pentingnya tank di medan perkotaan dan juga memvalidasi efektivitas sniper dalam pertempuran perkotaan. Sniper tim pengintai tidak hanya menyumbang puluhan korban jiwa di pihak musuh, tetapi juga mengumpulkan data intelijen ekstensif melalui observasi, penangkapan personel musuh, dan kontak dengan warga sipil Irak.

Marinir AS dari Satuan Tugas Tarawa mencari pasukan Irak di kota Nasiriyah, Irak selatan. Saat malam tiba, Marinir bersiaga menghadapi serangan balik dari pasukan Irak. (Sumber: https://www.npr.org/)

Artileri juga memainkan peran penting, terutama ketika kondisi cuaca menghalangi atau menghambat penggunaan pesawat. Selain itu, pertempuran tersebut memberikan contoh seberapa cepat baterai artileri dapat bertransisi mendukung peran kompi senapan sementara, seperti dalam kasus Satuan Tugas Rex. Dukungan udara, baik dari pesawat sayap tetap maupun putar, juga penting. Helikopter AH-1W Cobra, khususnya, sangat efektif di lingkungan perkotaan. Mereka mengontrol diatas atap-atap rumah, yang terbukti penting di Nasiriyah, sebuah kota yang dipenuhi bangunan-bangunan beratap datar dimana musuh mencoba menembaki pasukan Koalisi. Helikopter-helikopter Cobra sering kali memainkan peran penting dalam misi observasi dan mampu menghancurkan kendaraan lapis baja, artileri, dan mortir musuh dengan tembakannya sendiri. Kehadiran mereka sering kali meningkatkan moral Marinir di darat dan sekaligus memberikan efek sebaliknya pada musuh. Kadang-kadang suara baling-balingnya mampu meredam tembakan musuh dan membuat tentara atau milisi Irak bergegas mencari perlindungan, sehingga pengontrol udara garis depan menyebutnya sebagai “penekanan dengan kebisingan”. Secara umum, Cobra mampu menghindari efek mematikan dari tembakan musuh dari darat. Roket Irak merupakan ancaman minimal selama Cobra “terbang cepat” dengan kecepatan 60 knot (111 km/jam) atau lebih, sambil menembak. Hanya ketika melayang dalam posisi diam barulah helikopter-helikopter tersebut sangat rentan terhadap tembakan musuh. Di sisi lain jelas sekali bahwa salah satu kesulitan yang dihadapi di Nasiriyah adalah “tembakan salah sasaran”. Kasus yang paling serius adalah insiden pesawat A-10 yang telah dibahas sebelumnya, namun ada juga dua insiden antara unit darat Marinir—satu saat jalur RCT-1 melintasi jalur utara kota, dan satu lagi antara kompi pengintai lapis baja ringan dan pos komando Batalyon ke-2, Marinir ke-8 di selatan Efrat. Bahkan dengan teknologi “Blue Force Tracker” yang baru, kabut perang dan terkadang taktik infiltrasi musuh membuat insiden ini sulit dicegah sepenuhnya, terutama pada malam hari.

Helikopter tempur AH-1W Cobra. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Sementara itu, Donald Rumsfeld, yang menjabat Menteri Pertahanan pada saat invasi ke Irak tahun 2003, tidak menyangka bahwa pasukan AS harus terlibat dalam begitu banyak pertempuran jarak dekat dalam perjalanan ke Bagdad, kata Stephen Biddle, seorang profesor urusan internasional dan masyarakat di Universitas Columbia. Rumsfeld dan pihak-pihak lain yang mendorong militer AS untuk berinvestasi dalam teknologi transformasional memperkirakan bahwa senjata-senjata seperti rudal jelajah dan amunisi berpemandu presisi akan mampu menghancurkan kendaraan lapis baja, artileri, dan formasi infanteri militer Irak, kata Biddle kepada Task & Purpose. Sebaliknya, pasukan AS justru harus menghadapi serangkaian pertempuran sengit, termasuk di Bagdad sendiri, yang menunjukkan batas kemampuan dari senjata jarak jauh, katanya. “Jadi, era pertempuran jarak dekat jelas belum berakhir pada tahun 2003; dan pengalaman di Ukraina menunjukkan bahwa tipe pertempuran ini belum berakhir pada tahun 2023,” kata Biddle. “Itu berarti bahwa keterampilan, peralatan, dan organisasi yang diperlukan untuk melakukan pertempuran jarak dekat tetap penting pada tahun 2003 dan tetap penting hingga saat ini.” Meskipun fase konvensional dari perang Irak pada tahun 2003 memberikan pelajaran taktis dan operasional yang masih berlaku hingga saat ini, pelajaran terbesar dari perang tersebut adalah bahwa merebut ibu kota musuh tidak sama dengan memenangkan perang itu sendiri, kata Biddle. Dalam beberapa minggu setelah invasi pimpinan AS ke Irak, Bagdad telah jatuh dan kekuatan Irak sudah menjadi lebih hancur dibandingkan tentara Jerman pada akhir Perang Dunia II, katanya. Namun bukannya berakhir, perang tersebut malah berubah menjadi peperangan melawan pemberontakan yang berlangsung selama bertahun-tahun. Namun militer AS tampaknya masih percaya bahwa cara untuk memenangkan perang adalah dengan menghancurkan kekuatan militer musuh, dan hal ini telah membentuk pendekatan pemerintah AS terhadap perang di Ukraina, kata Biddle. “Perang tidak akan berakhir sampai kedua belah pihak memutuskan untuk berhenti menembak,” kata Biddle. “Jika salah satu pihak memutuskan untuk terus menembak, bahkan jika militer konvensional mereka telah diusir dari medan tempur, perang tidak akan berakhir dan masih belum jelas siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Hal ini juga berlaku bagi Ukraina dan Afghanistan pada tahun 2001 dan Irak pada tahun 2003.”

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The Battle of An-Nasiriyah by Colonel Rod Andrew Jr., USMCR

https://www.usmcu.edu/Portals/218/AN%20NASIRIYAH.pdf

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Nasiriyah

How the Battle of Nasiriyah foreshadowed the long slog of the Iraq War BY JEFF SCHOGOL | PUBLISHED MAR 20, 2023 3:54 PM EDT

https://taskandpurpose.com/news/iraq-war-anniversary-nasiriyah/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *