Perang Dunia II

Pertempuran Selat Sunda: Tamatnya Riwayat Angkatan Laut Sekutu di Pulau Jawa

Kapal penjelajah berat USS Houston menjelajah ke Selat Sunda di lepas pantai pulau Jawa pada malam yang gelap tanggal 28 Februari 1942, dan tidak pernah terdengar lagi. Tidak sampai tiga setengah tahun kemudian kisah nasib lengkapnya terungkap oleh anggota krunya yang masih hidup setelah mereka dibebaskan dari kamp penjara Jepang. Karier Houston dimulai pada tahun 1933, ketika Presiden Franklin Delano Roosevelt yang baru terpilih berlayar dengan kapal ini sejauh 12.000 mil (29.760 km). Roosevelt sangat menikmati pelayaran itu sehingga dia berlayar satu kali lagi dengan Houston beberapa tahun kemudian. Meninjau armada AL Amerika dari anjungan kapal penjelajah, presiden dengan antusias berkata, “Saya merasa kapal ini adalah rumah saya.” Untuk menghormati sejarahnya dengan sang presiden, Houston dikenal sebagai “Little Flagship of the Fleet.” Dengan presiden di atas kapal, Houston tercatat sempat mengunjungi Karibia, Hawaii, Alaska, dan Kepulauan Galapagos. Dinas masa pra-perang Houston kemudian diisi dengan berbagai operasi pelatihan rutin ditambah selama beberapa waktu melindungi warga negara Amerika dan kepentingan AS di Shanghai selama konflik tahun 1931-1933 antara Cina dan Jepang. Kembali ke Amerika pada akhir tahun 1933, Houston menghabiskan waktu tujuh tahun berikutnya untuk latihan manuver dan armada.

USS Houston difoto sekitar tahun 1930, tahun dimana ia selasai dibuat. (Sumber: https://thejavagoldblog.wordpress.com/)
Presiden Amerika Serikat saat itu Franklin D Roosevelt di atas USS Houston pada tahun 1938. (Sumber: https://www.thejakartapost.com/)

DALAM SIAGA TINGGI KETIKA PERANG MENDEKAT

Pada bulan November 1940, Houston menggantikan Augusta sebagai flagship dari armada Asia AL Amerika. Dia beroperasi di daerah Teluk Manila, melakukan latihan target dan manuver taktis dengan Marblehead dan kapal perang lain dari armada itu. Saat itu semua kapal Amerika terus-menerus terlibat dalam persiapan perang. Pada bulan Oktober 1941, Houston memasuki Cavite Navy Yard untuk pemasangan senjata antipesawat baru dan lampu sorot. Dia telah dijadwalkan untuk meninggalkan galangan kapal pada pertengahan bulan Desember. Namun, menjelang akhir bulan November, peringatan diterima yang memerintahkan kapal penjelajah itu untuk siap berlayar “kapan saja—dan di mana saja.” Pengerjaan di kapal pun dipercepat hingga 24 jam sehari. Pada sore hari tanggal 28 November, Houston bersiap untuk meninggalkan Cavite dan meninggalkan Teluk Manila sesegera mungkin. Dua hari kemudian, Houston berlayar dari Manila ke Iloilo di Filipina tengah. Setibanya di sana, patroli udara siang hari dikerahkan mulai dari fajar hingga senja. Komandan Houston, Kapten Albert H. Rooks, juga memerintahkan dilaksanakannya patroli antikapal selam setiap malam. Baterai antipesawat kapal penjelajah diawaki siang dan malam. Kewaspadaan ekstra ini dibenarkan ketika, pada pagi hari tanggal 8 Desember, Rooks diberitahu bahwa perang telah dimulai dengan Jepang. Houston lalu mengangkat jangkar dan nyaris belum melewati pintu masuk pelabuhan sebelum terdengar tembakan. Sebuah kapal terlihat terbakar di kejauhan. Rooks lalu melanjutkan pelayaran ke Teluk Manila untuk membantu konvoi kapal pasokan Sekutu di perairan selatan. Selama bulan berikutnya, Houston terus-menerus sibuk mengawal konvoi antara Pelabuhan Darwin, Australia, dan Surabaya, Jawa. Tidak ada waktu untuk beristirahat, dan pengawasan terus-menerus dilakukan. Pesawat pengintai dari kapal penjelajah berada di udara sepanjang hari, dan kapal hampir selalu berada dalam kondisi siaga setiap saat.

Awak senjata antipesawat USS Huston dalam latihan pra-perang di lepas pantai Cina dekat Chefoo pada tahun 1932-33. (Sumber:https://warfarehistorynetwork.com/)
Kapten AL Amerika Albert (‘Al’) H. Rooks pada tahun 1941. (Sumber: https://thejavagoldblog.wordpress.com/)

DISERANG! 

Pada tanggal 3 Februari 1942, Houston bergabung dengan kekuatan serang gabungan Sekutu, yang terdiri dari kapal-kapal Amerika, Inggris, Belanda, dan Australia yang berkumpul di Surabaya. Laksamana Muda Karel Doorman dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda memimpin armada ini, yang terdiri dari empat kapal penjelajah dan tujuh kapal perusak. Pada malam yang sama, armada gabungan sekutu berlayar ke Selat Makasar dengan misi mencegat konvoi Jepang yang dilaporkan berada di dekat Balikpapan, Kalimantan. Keesokan paginya, beberapa kelompok pesawat musuh terlihat dari tepi pelabuhan. Houston kemudian meningkatkan kecepatan dan kru menjaga senjata pertahanan udara mereka. Pembom-pembom Jepang lalu mulai menyerang dari ketinggian 9.000 kaki (2.743 meter), memilih Houston dan Marblehead sebagai target utama mereka. Houston kemudian melepaskan tembakan dengan meriam 5 incinya (127 mm). Selama serangan musuh terakhir, sebuah bom meledak di dekat turret belakang Houston, memicu amunisi dan menyebabkan kebakaran serius. Empat puluh delapan orang tewas dan 20 lainnya terluka. Marblehead juga terkena dua bom dan rusak parah. Kedua kapal itu tertatih-tatih menuju Tjilatjap, Jawa, untuk diperbaiki. Awak yang mati dimakamkan di pemakaman lokal dan upaya dilakukan untuk memperbaiki kerusakan struktural pada kedua kapal penjelajah itu. Sayangnya, fasilitas di pelabuhan Tjilatjap sangat buruk, dan kru Houston tidak dapat mengoperasikan lagi turret meriam yang rusak. Namun demikian, kapal penjelajah itu diperintahkan kembali ke Pelabuhan Darwin untuk tugas pengawalan lebih lanjut. Pada tanggal 15 Februari, Houston bergabung dengan USS Peary dan dua korvet Australia untuk mengangkut pasukan Amerika dan Australia ke Koepang, Timor. Konvoi itu baru berlayar dalam waktu singkat ketika sebuah pesawat terbang amfibi Jepang muncul. Pesawat itu dengan cepat diusir dengan tembakan, tetapi posisi konvoi sekutu telah ditemukan. Keesokan paginya Jepang mengirimkan 36 pesawat pengebom darat dan 10 pesawat amfibi untuk mencegat kapal-kapal Sekutu. 

Berlabuh di Darwin, Australia, kapal penjelajah Australia Perth dan kapal penjelajah Amerika Houston. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)
USS Houston mengawal konvoi ke Pulau Timor pada bulan Februari 1942. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Ilustrasi pertempuran Laut Jawa. Berkali-kali Houston lolos dari maut, termasuk dalam Pertempuran Laut Jawa, sehingga dijuluki sebagai sebagai “Hantu Abu-abu”.(Sumber: https://forum.worldofwarships.com/)

Rooks membawa Houston masuk dan keluar dari barisan kapal-kapal transport, memukul mundur gelombang demi gelombang pesawat musuh dan menembakkan lebih dari 900 peluru dalam waktu kurang dari 45 menit. Pesawat-pesawat Jepang akhirnya menyerah menyerang Houston dan mengejar kapal-kapal transport sebagai gantinya. Saat itu musuh sudah menjatuhkan sebagian besar bom mereka, dan serangan itu gagal. Orang Jepang kemudian menjuluki Houston sebagai “Hantu Abu-abu.” Dia tampaknya menjalankan tugasnya dengan baik, tetapi keberuntungannya tidak akan bertahan lebih lama lagi. Pada tanggal 18 Februari, Houston meninggalkan Pelabuhan Darwin menuju Surabaya. Dia tiba lima hari kemudian dan bergabung dengan armada gabungan Sekutu lainnya. Keesokan paginya, sembilan pembom Jepang mendekati pangkalan angkatan laut di Surabaya dari arah barat daya. Houston melepaskan tembakan ketika pesawat musuh berada dalam jangkauan tembak senjatanya. Selama tiga hari berikutnya, kapal itu terus-menerus diserang udara. Pada sore hari tanggal 26 Februari, kapal-kapal Sekutu yang lelah melaut untuk mencari konvoi musuh. Malam berikutnya, kapal perusak Inggris memberi isyarat bahwa mereka telah melihat kapal-kapal musuh. Di sebelah kiri, hampir tepat di depan, ada dua barisan kapal-kapal penjelajah dan kapal perusak Jepang. Tiang-tiang dari banyak kapal transport bisa dilihat di kejauhan. Armada Sekutu kemudian segera mengatur arah sejajar dengan armada kapal-kapal musuh. Saat Houston berbelok ke barisan kapal-kapal musuh, pihak Jepang segera melepaskan tembakan. Kapal penjelajah Amerika itu membalas tembakan dengan baterai meriam kaliber 8 incinya (203 mm), yang mengenai kapal penjelajah musuh terjauh dan membakarnya. Pertempuran kemudian membesar. Kapal penjelajah Inggris Exeter terkena tembakan di ruang ketelnya dan segera keluar dari pertarungan; kapal perusak Belanda Kortenaer terkena torpedo, dan tenggelam dalam waktu kurang dari satu menit. Beberapa saat kemudian, kapal perusak Inggris Electra meledak di air dan tenggelam dalam hitungan detik. 

MELARIKAN DIRI DARI JAWA

Armada Sekutu lalu memutuskan pertempuran dan kembali ke Surabaya. Saat berlayar di jalur barat yang sejajar dengan pantai Jawa, kapal perusak Inggris, Jupiter, menabrak ranjau dan meledak menjadi bola api. Rooks kemudian mengarahkan Houston keluar dari perairan dangkal yang berbahaya dan menjauh dari pantai. Malam itu, kapal Amerika ini melewati sekelompok besar pria yang terombang-ambing di air—mereka adalah orang-orang yang selamat dari Kortenaer. Kapal Encounter kemudian diperintahkan untuk menyelamatkan para pelaut dan melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Kapal-kapal penjelajah Sekutu lainnya sekarang tanpa perlindungan dari kapal-kapal perusak. Kemudian pada malam yang sama, Houston melihat dua kapal penjelajah musuh dari sebelah kirinya. Kapal-kapal Jepang berada di jalur yang berlawanan dan dapat dibedakan dengan jelas di bawah sinar rembulan. Houston melepaskan tembakan dengan peluru penerang, tetapi tembakannya gagal. Kapal-kapal Jepang merespons dengan tiga salvo tembakan mereka sendiri sebelum kapal-kapal itu keluar dari jangkauan tembakan Houston. Beberapa menit kemudian, kapal perusak musuh melancarkan serangan torpedo, dan kapal Sekutu Java dan De Ruyter meledak diatas air. Sebelum kehilangan kontak, Laksamana Doorman, di atas kapal De Ruyter, sempat memerintahkan Houston dan kapal penjelajah Australia Perth untuk pergi ke Batavia, dan tidak menunggu orang-orang yang selamat dari kapal-kapal yang ditenggelamkan. Kedua kapal itu membelah air dengan kecepatan 28 knot (51 km/jam), tiba di pelabuhan Batavia Tandjung Priok sekitar tengah hari keesokan harinya. Rooks kemudian bertemu dengan perwira penghubung Inggris dan menerima perintah dari Vice Admiral Helfrich untuk melanjutkan perjalanan ke Tjilatjap melalui Selat Sunda, yang konon bebas dari pasukan musuh. Houston buru-buru mengisi bahan bakar sementara kru memindahkan amunisi dari turret belakang yang tidak bisa beroperasi ke magasin depan. Sebelumnya otoritas pelabuhan menyatakan bahwa hanya ada 1.000 ton bahan bakar minyak yang tersisa dan ini dicadangkan untuk kapal-kapal Belanda. Setelah diberitahu bahwa hanya ada sedikit kapal Belanda yang masih tersisa, pihak berwenang mengizinkan Perth untuk mengambil 300 ton bahan bakar sehingga kapasitasnya menjadi sekitar 50% dari maksimalnya. Mereka juga memutuskan bahwa Houston masih memiliki cukup bahan bakar untuk mencapai Australia. Di sisi lain kedua kapal penjelajah itu juga kekurangan amunisi. Houston masing-masing tinggal memiliki sekitar 50 peluru untuk enam meriam kaliber 8 inci-nya sementara Perth hanya memiliki 20 peluru untuk masing-masing meriam kaliber 6 inci miliknya. Tidak ada perbekalan ulang yang tersedia di Tandjung Priok untuk kebutuhan kritis ini.

Foto terakhir “Houston“, diambil di pelabuhan Darwin Australia pada bulan Februari 1942. Sebelum berlayar mengarungi Selat Sunda, Houston nyaris tidak mendapat pembekalan ulang sama sekali di Pelabuhan Tandjung Priok, Batavia. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Sebelum ditempatkan di perairan Asia, HMAS Perth bertugas di Mediterania dan Timur Tengah. (Sumber: https://www.sea.museum/)
HMAS Perth (Sumber: https://www.sea.museum/)

Dikabarkan juga pasukan Serang Barat (terdiri dari penjelajah ringan Danae, Dragon, Hobart dan kapal perusak Scout, Tenedos dan Evertsen) telah berlayar di Selat Sunda menuju Ceylon setelah gagal berlayar di perairan utara Batavia pada malam 27-28 Februari. Hanya Evertsen yang kembali ke Batavia setelah dipisahkan dari rekan-rekan Inggris dan Australianya karena badai. Houston dan Perth berangkat pada pukul 1900 malam tanggal 28 Februari. Evertsen tampaknya gagal menerima perintah yang menginstruksikannya untuk menemani kedua kapal penjelajah; karenanya dia terpaksa mengikuti sekitar satu jam di belakang. Hari sudah hampir gelap ketika Houston dan Perth berlayar ke selat Sunda. Rooks menempatkan kapal dalam kondisi ‘dua’, bukan siaga penuh—dia ingin para awak kapal beristirahat sebanyak mungkin. Para pelaut Amerika yang kurus kering di atas kapal penjelajah yang lumpuh ini sendiri berharap bahwa perjalanan yang baru saja mereka mulai adalah perjalanan yang telah lama harapkan, yakni kembali ke Amerika Serikat. Bagaimanapun, USS Houston, telah ditempatkan di Timur Jauh selama 17 bulan berturut-turut tanpa jeda. Kapal itu sangat perlu diperbaiki, sementara para awak bertanya-tanya berapa lama lagi mereka dapat berfungsi secara efektif tanpa istirahat. Sementara itu sudah empat kali dalam waktu kurang dari tiga bulan, Houston dilaporkan tenggelam. Yang pertama pembom Jepang telah menyerangnya pada hari pembukaan perang, 8 Desember (7 Desember di Pearl Harbor, yang ada di sebelah timur Garis Penanggalan Internasional). Yang kedua pada tanggal 3 Februari 1942. Meskipun Jepang berasumsi bahwa mereka telah merusak parah kapal itu, Houston selamat dari cobaan itu. Klaim ketiga terjadi saat Houston mengawal konvoi empat kapal pasukan dari Australia barat laut ke pulau Timor, dan yang terakhir saat pertempuran Laut Jawa. Dengan keberuntungan berturut-turut, awak kapal penjelajah, yang sudah diberi dijuluki juga sebagai “Hantu yang berderap dari Pantai Jawa,” mulai berpikir bahwa mereka memang ditakdirkan  bisa selamat mencapai California. 

Kapal perusak Belanda Evertsen. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
HMAS Perth mengenakan skema cat kamuflase disruptif yang khas. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)

Untuk itu pertama-tama, dia harus keluar dengan aman dari wilayah Jawa, ini bukan tugas yang mudah. Sebagian besar kekuatan angkatan laut Sekutu telah dimusnahkan dalam Pertempuran Laut Jawa, dan kapal-kapal Jepang pasti akan berkeliaran di perairan itu untuk mencari orang-orang yang terkatung-katung di laut. Harapan terbaik bagi Houston dan Perth adalah melarikan diri ke barat ke ujung pulau Jawa, membelok ke selatan melalui Selat Sunda, dan berlayar ke Samudra Hindia. Sesampai di sana, kapal-kapal sekutu dapat mengatur jalur yang aman menuju Australia dan keselamatan sementara. Tapi pertanyaan mengganggu semua orang mulai dari kapten kapal hingga pelaut dengan pangkat terendah. Akankah kedua kapal sekutu itu dapat menghindari deteksi  musuh yang ingin menghancurkan mereka? Bisakah mereka menghindari jaring sekat musuh yang dipasang dengan cepat di sekitar area tersebut? Perwira yang bertanggung jawab atas kapal-kapal perusak Amerika di wilayah tersebut, Komandan T.H. Binford, meragukan adanya cukup waktu yang tersisa untuk menyelamatkan beberapa sisa Armada Amerika di Asia. Pada tanggal 28 Februari dia memberi tahu atasannya, Laksamana Muda William A. Glassford, “Saya ingin keluar dari sini dan pergi ke Australia. Jika kita tinggal lebih lama 24 jam lagi, mungkin sudah terlambat untuk melarikan diri. ” Setidaknya awak kapal Houston, bisa merasa sedikit lega mengetahui bahwa ada kapal lain akan menemani mereka menempuh berbahaya melintasi Selat Sunda, yakni PerthPerth memulai karirnya pada tahun 1934 sebagai kapal penjelajah kelas Leander yang dimodifikasi dari Angkatan Laut Kerajaan Inggris, yakni HMS Amphion, dan dipindahkan ke Angkatan Laut Australia pada bulan Juni 1939, yang dengan bangga diganti namanya menjadi HMAS Perth. Kapal penjelajah Australia ini juga memiliki komandan yang berani dan secara universal dikagumi di antara para kru nya, yakni Kapten Hector Waller, seorang pria kekar, berbahu lebar yang mengeluarkan perintah dengan tegas, adil, dan tenang. Dijuluki “Hardover Hec” dan “The Fighting Fool” karena kegemarannya bermanuver dalam pertempuran dengan kapal besarnya seolah-olah itu adalah kapal yang lebih kecil dan menyerang langsung ke arah musuh, Waller memperlakukan semua orang dengan hormat dan menganggap keselamatan krunya sebagai tanggung jawab utamanya.

ORANG-ORANG AUSTRALIA MENEMPATKAN KEYAKINANNYA PADA SANG KAPTEN

Akibatnya, para awak kapal menaruh kepercayaan dan keyakinan tertinggi mereka pada Waller. Ketika dia mengumumkan kepada mereka pada tanggal 28 Februari bahwa, setelah hanya beberapa saat berhenti di pelabuhan Batavia untuk mengevakuasi beberapa prajurit, mereka akan kembali ke laut, mereka percaya bahwa mereka akan selamat tanpa cedera. Waller memberi tahu mereka bahwa kemungkinan mereka akan menghadapi pertempuran tetap ada, tetapi hasil dari pengintaian udara Belanda melaporkan bahwa Selat Sunda bebas dari kapal-kapal musuh. Bagaimanapun keyakinan mereka agak goyah ketika maskot kapal, seekor kucing bernama Red Lead, tiga kali mencoba meninggalkan kapal ketika berlabuh di Batavia, tindakan yang dianggap pertanda buruk, tetapi Waller telah membawa mereka melalui masa-masa sulit sebelumnya dan mereka percaya kapten yang berani itu bisa melakukannya lagi. Mereka mungkin tidak merasa begitu merasa aman seandainya mereka tahu apa yang sebenarnya berkeliaran di perairan di sekitar mereka. Dua pasukan invasi Jepang yang besar sedang menuju ke Jawa, penuh dengan kapal-kapal perang. Sementara satu armada membelok ke tepi timur Jawa, Laksamana Muda Takeo Kurita memimpin Armada Penyerang Barat menuju ujung barat Pulau Jawa, tepat di mana Houston dan Perth berharap bisa menyelinap keluar. Kurita mengomandani empat kapal penjelajah berat dan kapal induk Ryujo, didukung oleh tiga kapal penjelajah lainnya dan satu skuadron kapal perusak jika diperlukan. Begitu mereka meninggalkan Batavia, Kapten Waller dan Kapten Rooks akan langsung menuju langsung ke armada laut Jepang yang luar biasa.

Kapten Hector Waller, komandan HMS Perth. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)

KAPAL SEKUTU DIBUNTUTI OLEH KAPAL PERUSAK JEPANG

Mengenai bahaya yang mengancam didepan, mungkin Letnan Cmdr. Walter G. Winslow merasakan sesuatu akan hal itu. Seorang penerbang di atas Houston, Winslow memandangi kepala kayu indah yang dibelinya di Jawa enam minggu sebelumnya yang diletakkan di atas mejanya di kamarnya. Dia telah menjulukinya sebagai ‘Gus’ dan menemukan bahwa ukiran itu menemaninya di saat-saat yang melelahkan dan menyendiri yang dia habiskan di dalam kabin. Menyadari kesulitan yang mungkin mereka hadapi sekarang, Winslow menatap kepala kayu itu dan berkata dengan keras, “Kita akan melewatinya, bukan, Gus?” Gus tidak menjawab, tapi orang-orang Jepang menjawabnya. Kedua kapal Sekutu diam-diam berangkat dari Jawa menjelang matahari terbenam pada tanggal 28 Februari 1942, dan segera berangkat ke barat, sembari masih berharap untuk bisw menghindari deteksi musuh. Kemungkinan itu sirna ketika, sekitar pukul 22:50, kapal perusak Jepang Fubuki melihat kapal-kapal penjelajah sekutu itu mendekati Teluk Bantam di sebelah barat Batavia. Untuk sementara waktu kapal perusak itu membayangi kapal-kapal yang tidak curiga saat mereka berlayar di sepanjang pantai utara Jawa, kemudian mendekat di Teluk Banten dan kearah kumpulan kapal pengangkut pasukan Jepang yang terletak di lepas pantai yang menggoda. Para komandan Sekutu berharap untuk menyelinap masuk, membuat kekacauan di antara kapal-kapal transport Jepang, dan berlayar cepat melintasi Selat Sunda tidak jauh ke arah barat. Sayangnya, saat kapal-kapal sekutu membelok ke arah teluk, mereka melihat Fubuki.

Kapal perusak Jepang Fubuki. (Sumber: https://www.plazajapan.com/)

PERTEMPURAN FATAL DIMULAI

Waller pada awalnya mengira kapal itu mungkin kapal perusak Amerika, tetapi ilusi itu hanya berlangsung beberapa saat sebelum dia menyadari kapal itu melaju ke arahnya. “Perusak Jepang. Bunyikan lonceng. Turret depan lepaskan tembakan, ”perintah komandan veteran itu. Hampir sebelum kata-kata itu keluar dari mulutnya, lebih banyak kapal perang Jepang terlihat berkumpul di sekitar dua kapal penjelajah sekutu. Sembilan kapal perusak dan tiga kapal penjelajah musuh bergegas untuk menjebak kapal yang kalah jumlah sebelum mereka bisa keluar dari teluk. Pada jam 2300, Houston hendak mengitari ujung utara St. Nicholas Point ketika kapal-kapal perusak Jepang dan melepaskan tembakan. Fubuki melepaskan sembilan torpedo type 93 “Long Lance” ke kapal-kapal penjelajah Sekutu dari jarak sekitar 3.000 yard (2.700 m) dan kemudian berbalik, serta membuat asap. Torpedo-torpedo itu meleset dari kapal-kapal Sekutu, tetapi mengenai empat kapal angkut Jepang yang sedang menurunkan pasukan dan perbekalan di Teluk Banten. Ledakan menerangi area pendaratan, dan Houston dan Perth kemudian melepaskan tembakan ke kapal-kapal yang terbakar. Tiga angkut Jepang itu harus mendamparkan diri ke pantai, sementara yang keempat langsung tenggelam. Kedua kapal penjelajah Sekutu tiba-tiba dikepung oleh kapal-kapal perang Jepang. Sementara kapal penjelajah Jepang mengintai di kejauhan, dari mana peluru kuat mereka bisa lebih berbahaya sambil memberikan target yang lebih kecil kepada kapal Sekutu untuk dibidik, sembilan kapal perusak berlayar cepat masuk dan melepaskan rangkaian pertama yang terdiri dari 87 torpedo, yang diluncurkan di Houston dan Perth. Rooks menyadari bahwa tidak mungkin dia bisa menggerakkan kapalnya di perairan sempit. Houston dan Perth lalu berbelok ke utara menuju laut lepas. Rooks dan Waller melakukan manuver lingkaran yang rumit untuk menghindari serangan torpedo musuh, lalu menuju ke barat di jalur yang sejajar dengan kapal-kapal transport pasukan Jepang di dekat pantai Teluk Bantam.

Torpedo type 93 “Long Lance“. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Kapal Penjelajah Jepang Mikuma. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Meriam kaliber 6 inci (152 mm) di HMAS Perth. (Sumber: https://www.awm.gov.au/)

Setiap torpedo di batch awal meleset dari sasaran, meskipun beberapa terus menghantam tentara Jepang yang terkejut di atas kapal angkut pasukan. Kapal-kapal penjelajah Sekutu bereaksi dengan menembakkan semua senjata yang mereka miliki, termasuk meriam kaliber 6 inci (152 mm) di Perth, yang meledak dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga beberapa pelaut Australia di dekat mereka terjatuh ke geladak. Baterai meriam utama bergemuruh saat mereka melontarkan proyektil besar mereka, sementara senjata yang lebih kecil mengeluarkan dentuman tajam atau suata rat-a-tat-tats. Kebisingan, asap, dan kebingungan melingkupi setiap orang di kedua dek. Di atas Houston, Lt. Cmdr. Winslow melompat dari tempat tidurnya dan menuju ke anjungan. Saat ia berjalan, Winslow berhenti sejenak untuk menyaksikan tontonan mengagumkan yang menerangi langit malam saat senjata-senjata Sekutu membalas ratusan senjata Jepang yang menembak ke arah mereka. Dia menyaksikan “garis tembakan peluru cahaya bergerak menyinari malam hari. Betapa indahnya, pikirku, utusan kematian ini.” Berpikir bahwa satu-satunya harapan mereka terletak pada mencapai laut lepas dan perjalanannya ke Selat Sunda, Rooks dan Waller mengubah arah ke barat untuk keluar dari teluk, tetapi langkah ini hanya menempatkan mereka dalam situasi yang lebih berbahaya. Sekarang Armada Jepang terdiri dari kapal penjelajah NatoriMogami, dan Mikuma, bersama dengan 10 kapal perusak dan sebuah kapal induk, menunggu kapal-kapal yang terperangkap ini. Kapal-kapal penjelajah Sekutu jelas kalah jumlah tetapi bertekad untuk terus bertempur. Langit malam menyala dengan kilatan seratus meriam saat kedua belah pihak memulai pertempuran sampai mati. 

AWAK SEKUTU MERASA SEPERTI “PETANI YANG TELAH MENGGANGGU SARANG LEBAH”

Begitu banyak kapal musuh berkumpul di sekitar kedua kapal penjelajah yang melarikan diri sehingga kapal-kapal Sekutu tidak mungkin berharap untuk bisa menangkis mereka semua. Kapal-kapal torpedo Jepang merayap dalam jarak 500 yard (457 meter), sementara kapal penjelajah dan kapal induk mendekat dari jarak sejauh 12.000 yard (10.972 meter). Tiga atau empat kapal perusak Jepang, bekerja sebagai satu unit, akan berlayar sedekat mungkin, menembakkan senjata mereka dan meluncurkan torpedo mereka, lalu bergegas pergi. Orang-orang di atas Houston dan Perth merasa seperti petani yang secara tidak sengaja menjatuhkan sarang lebah. Sementara mereka memukul ke satu arah, lebih banyak lawan melesat dari arah yang lain. Yang bisa mereka lakukan hanyalah memilih target—itu adalah bagian yang mudah—dan mencoba membentuk semacam pertahanan. Begitu musuh menemukan jarak yang tepat, kapal-kapal yang terkepung akan memiliki sedikit waktu untuk bisa bertahan. Seseorang di atas Perth berteriak, “Ada empat (torpedo) di kanan.” Awak kapal lain buru-buru menambahkan, “Ada lima di sisi kami.” Akhirnya, awak lain berteriak, “Demi Tuhan, mereka ada di sekitar kita.” N.E. “Tiger” Lyons di Perth menghitung setidaknya 13 kapal musuh mendekati dua kapal penjelajah Sekutu itu. Kapal-kapal Jepang melesat begitu dekat sehingga penembak Amerika, Australia, dan Jepang praktis seperti “menembak leher” mereka satu sama lain. Seorang kapten di turret di Perth berteriak kepada penembaknya, “Kamu bisa memilih targetmu sendiri. Ada ratusan bajingan (di sini).” John Woods, seorang kru Perth, sejenak menghentikan aksinya untuk menggumamkan doa yang tenang. “Jaga keluarga di rumah, Tuhan, dan cobalah untuk menjagaku jika Kamu bisa.” Sementara dua kapal Sekutu membalas, kapal-kapal Jepang menerangi daerah itu dengan lampu sorot. Meskipun manuver itu konon membantu penembak mereka dalam menemukan lawannya, itu juga memberi kesempatan pada kapal-kapal penjelajah Sekutu untuk mengarahkan beberapa tembakan mereka sendiri. Namun, bahkan bantuan itu, bagaimanapun, tidak banyak membantu, karena dua kapal sekutu menembak dengan persediaan amunisi yang terbatas dan tidak dapat memberikan balasan yang efektif terhadap musuh yang lebih superior dan bersenjata lengkap.

Para pelaut Jepang menembakkan torpedo pada kapal-kapal Amerika dan Australia dalam Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://www.history.navy.mil/)

PERTH TENGGELAM

Orang-orang di atas Perth pasti merasa mereka berdiri di atas sasaran tembak yang mengambang. Kapten Waller bergumam kepada Paymaster Lt. Cmdr. POL “Polo” Owens mengatakan bahwa dia lebih suka menanggung “1.000 serangan bom daripada menahan satu tembakan musuh” seperti ini. Lawan datang dari begitu banyak arah yang berbeda sehingga awak senjata di Perth tidak bisa berbuat banyak selain menembak target musuh terdekat dan berharap mereka melakukan sesuatu yang baik. Ketika kru kehabisan amunisi, mereka melemparkan batu bata latihan yang diisi dengan cordite ekstra. Peluru meriam dan torpedo Jepang menimbulkan kerusakan mengerikan di atas kapal penjelajah Australia itu. Tidak jauh dari para kru William Davis, seorang penembak memasukkan selongsong peluru ke pangkal laras senjatanya saat kilatan terang menerangi area tersebut. Ketika Davis yang tercengang dan sekali lagi melirik ke arah lokasi kru senjata, tidak ada yang tersisa. Seluruh kru, senjata dan semuanya, telah menghilang dalam ledakan itu. Sebuah torpedo menghantam ke ruang mesin depan sisi kanan Perth dengan dampak sedemikian rupa sehingga mengangkat kapal itu keluar dari air. Di bawah dek N.E. “Tiger” Lyons meluncur ke atas kapal, dan sementara bertanya-tanya berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kapalnya tenggelam ke laut. Ratusan foto kapal jatuh di sekitar Lyons, dan ketika sesama anggota kru bertanya apakah dia pikir mereka akan berhasil keluar hidup-hidup, Lyons menggelengkan kepalanya.

HMAS Perth dalam Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/)

Tiga orang berdiri di atas jeruji di atas ruang mesin ketika sebuah torpedo menghantam. Panas yang membakar langsung menyelimuti area itu, melelehkan jeruji logam, dan mengirim ketiganya ke kematian yang berapi-api di ruang mesin di bawah. Air yang menyembur masuk melalui lambung kapal yang retak menyatu dengan panas yang luar biasa dan merebus sampai mati beberapa orang yang masih berada di ruang mesin. Perth, yang dikepung di tiga sisi oleh kapal-kapal perang Jepang dan terkena tembakan yang mengerikan, menyerap hantaman demi hantaman, akhirnya memaksa Kapten Waller mengeluarkan perintah meninggalkan kapal. Seorang pria berjuang dengan peluru meriam kaliber 4 inci (100 mm) ketika dia mendengar perintah itu dan, bertindak secara naluriah, melompat ke laut dengan masih memegangi pelurunya. Beberapa orang di bawah geladak dengan hati-hati berjalan berkeliling dan mengganti barang-barang di lemari yang sesuai sebelum menuju geladak. Tindakan awak Torpedo Ian Smith tidak diragukan lagi menyelamatkan banyak nyawa. Smith menunda keberangkatannya dari kapal yang tenggelam untuk memeriksa stok bom dalam Perth. Dia dengan hati-hati mengeluarkan primer masing-masing bom untuk memastikan peledaknya tidak meledak saat kapal turun ke kedalaman. Jika itu terjadi, beberapa orang di dalam air akan terbunuh karena gelombang kejut yang ganas. Di bawah geladak, Lt. F.O. Gillan dan tiga orang lainnya dari ruang ketel bergegas untuk mencapai dek utama dan melompat ke laut sebelum air deras menjebak mereka di dalam. Dengan kapal yang berada di sisinya, koridor yang biasanya bisa membawa mereka menuju kebebasan sekarang mungkin mengarahkan mereka ke posisi yang lebih berbahaya atau bahkan menghalangi jalan mereka, jadi keempatnya harus sangat berhati-hati dalam bergerak. Selama perjalanan panik mereka dalam kegelapan, kelompok itu tiba di persimpangan jalan yang, karena Perth yang sudah miring, sekarang menghalangi jalan mereka. Jika mereka memiliki harapan untuk meninggalkan kapal, orang-orang itu harus melompati jurang selebar 5 kaki (1,5 meter) ke sisi lain gang, sebuah manuver yang rumit. Orang pertama terpeleset saat dia melompat dan jatuh berteriak ke dalam lubang, tetapi tiga lainnya berhasil mendarat di sisi lain dan bergegas maju. Dua rekan Gillan dengan aman masuk melalui lubang ke geladak, tetapi sebelum Gillan keluar dari perut kapal, Perth hampir sepenuhnya terbalik dan menjebak para pelaut di bawah aliran air. Pelaut berkepala dingin itu mengira dia punya satu kesempatan untuk keluar hidup-hidup. Jika dia berjuang untuk mencapai permukaan, dia akan lebih cepat mengeluarkan udara di paru-parunya. Dia juga bisa terjerat tali terapung atau terbentur benda berat yang berputar-putar di air. Sebaliknya, Gillan memutuskan bahwa saat kapal menuju ke bawah, aliran air yang meninggalkan kapal yang terkutuk itu mungkin akan membawanya ke permukaan, jadi dia berbaring diam dan percaya bahwa laut akan menyelamatkannya. Dalam waktu kurang dari satu menit, Gillan menyembul keluar dari lapisan minyak setebal 2 inci (5 cm) ke permukaan, terengah-engah saat sisa puing-puing kapal terombang-ambing di sekitarnya.

Sinyal asli meminta Perth untuk melaporkan posisinya. Saat itu dia sudah tenggelam dalam Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)

Saat dia mencoba untuk mendapatkan kembali kekuatan untuk menghadapi cobaan yang akan datang, dia lalu berbalik untuk melihat baling-baling Perth, hampir tidak lebih dari 30 yard (27 meter) jauhnya, tergelincir ke bawah air. Gillan, bersyukur masih hidup setelah perjalanan yang begitu menyiksa, memandang ke langit dan berbisik, “Saya orang terakhir yang keluar dari kapal itu hidup-hidup. Tuhan, terima kasih.” Sementara itu Ledakan torpedo melemparkan Seaman H.K. Gosden di udara di atas Perth dan ke arah samping. Ketika dia membuka matanya, kegelapan menyelimuti pelaut itu. Tiba-tiba, dia kemudian ingat, dia melihat ibunya menangis ketika dia membuka telegram yang memberi tahu dia tentang kematian putranya. Gambaran di bawah air membayangi Gosden dengan sangat jelas sehingga dia bahkan bisa melihat kata-kata di telegram yang memuat berita kematiannya. Khayalan itu begitu memberinya energi sehingga dia menggunakan sumber daya tambahan itu dan akhirnya berjuang menuju ke permukaan, dengan kekurangan udara dan terengah-engah, tetapi masih hidup. Di tempat lain “Polo” Owens dengan panik mencoba melepaskan tali yang menahan rakit penyelamat, tetapi simpulnya terbukti terlalu sulit untuk dilonggarkan. Mengetahui bahwa dia hanya memiliki beberapa saat untuk meninggalkan kapal yang sekarat dengan selamat, dia berlari ke tepian, melihat ke arah air, dan melompat sebelum menyadari bahwa dia lupa mengembangkan jaket pelampungnya. Setelah upaya yang gagal untuk meniupkan udara melalui katup, Owens membuang jaket pelampung, melepas baju dan celana pendeknya agar lebih ringan, dan berenang lebih jauh dari kapal. Akhirnya, sekitar pukul 12:25 pada tanggal 1 Maret, kapal penjelajah yang rusak itu tenggelam di tepi barat laut Jawa, tepat saat mendekati pintu masuk Selat Sunda. Orang-orang dan puing-puing mengapung di air, yang menjadi rumah sementara mereka sekarang setelah kapal mereka hilang ditelan laut. Sekarang setelah Perth menghilang terkena empat torpedo, orang-orang di atas kapal Houston tahu bahwa mereka akan menjadi pusat perhatian setiap senjata musuh, terutama senjata mematikan di atas kapal penjelajah Mikuma. Kapal penjelajah Amerika itu sendiri telah kemasukan air dan miring ke kanan akibat terkena tembakan sebelumnya, tetapi apa yang menyambutnya sekarang membuat momen-momen awal pertempuran tampak seperti begitu mudah.

Dengan tenggelamnya Perth, Houston segera menjadi satu-satunya sasaran tembak armada Jepang di Selat Sunda. Namun Houston tetap melawan dengan keras. (Sumber: https://wartime.blog/)

Houston kini harus berjuang sendirian, senjatanya ditembakkan ke segala arah, terperangkap di tengah armada Jepang. Houston segera disambar torpedo di sisi kirinya, menewaskan semua orang di ruang mesin utamanya. Meski demikian ruang mesin yang masih tersisa mampu menjaga Houston tetap mengapung, mengarungi air dengan kecepatan 24 knot (44 km/jam). Kapal-kapal musuh mendekat sedekat yang mereka berani—kadang-kadang dalam jarak 1.000 yard (914 meter). Kapal-kapal perusak Jepang, mengarahkan lampu sorot mereka di kapal Amerika yang malang itu, dan secara tidak sengaja menerangi kapal-kapal transport mereka sendiri di dekat pantai. Houston lalu segera mengalihkan tembakan ke target-target baru, mencetak tembakan tepat sasaran ke sebuah kapal perang besar. Sementara itu dalam kegelapan, penembak Jepang mengalami kesulitan membedakan kapal kawan lawan dan harus berhati-hati untuk tidak menargetkan salah satu kapal mereka sendiri. Di sisi lain, penembak Houston bisa menembak sesuka hati, karena segala sesuatu di sekitar mereka adalah musuh. Pada suatu saat selama pertempuran, pelaut Amerika menyaksikan dua kapal Jepang tanpa sadar meledakkan salvo demi salvo tembakan satu sama lain, dan penembak Houston mencatatkan tembakan tepat sasaran ke tiga kapal perusak dan menenggelamkan satu kapal penyapu ranjau. Pukul 12:15 sebuah salvo tembakan menghantam ruang mesin belakang, langsung membakar sampai mati orang-orang yang bertugas di sana. Peluru lainnya meledakkan lubang besar di sisi dan dek, melepaskan uap panas yang menelan beberapa pelaut dan mengancam orang-orang di posisi tempur mereka.

Detik-detik terakhir menjelang tenggelamnya USS Houston. (Sumber: https://www.history.navy.mil/)

Sebuah torpedo lalu menghantam bagian depan kapal, memusnahkan seluruh kelompok pelaut di pos mereka. Kapal yang terkepung itu melambat di dalam air akibat rentetan hantaman tembakan dan dari hilangnya tenaga uap mesin. Selama 10 menit lagi, Houston menyerap setiap serangan dari musuh. Sekitar pukul 12:20 salvo tembakan musuh mengenai Houston, meledakkan turret meriam Nomor Dua. Sebuah proyektil Jepang menembus pelat muka turret dan membakar bubuk mesiu yang ada didalamnya dan menimbulkan nyala api yang membuat Houston menjadi sasaran tembak yang jelas. Perwira turret, Ensign C.D. Smith, menarik tuas penyiram air di biliknya dan menuju ke geladak. Smith mengambil selang pemadam kebakaran dan mengarahkannya ke ruang senjata, memadamkan api, tetapi pada saat itu sebagian besar awak senjata telah meninggal. Rooks kemudian memerintahkan agar semua magasin amunisi dibanjiri air karena tampaknya api menyebar ke depan. Turret Nomor Satu tidak memiliki amunisi yang tersisa kecuali yang sudah ada di kerekan. Pembidik pada turret juga sudah rusak, tetapi Letnan Harold Hamlin menggunakan periskop dan lampu sorotnya untuk menemukan target musuh. Turret itu segera kehabisan amunisi dan harus ditinggalkan. Penembak Jepang tidak membuang waktu sedikitpun untuk memusatkan perhatian pada jarak dan menhujani kapal penjelajah yang tak berdaya dengan tembakan mematikan. Kapal-kapal penjelajah Jepang meningkatkan tembakan mereka dari kejauhan, sementara kapal-kapal perusak dengan berani bergerak lebih dekat untuk melancarkan serangan torpedo dan senapan mesin yang mematikan.

KAPTEN GUGUR; KAPAL SUDAH BABAK BELUR 

Beberapa saat kemudian, Houston dihantam oleh dua torpedo. Satu meledak ke depan di sisi kanan, sementara yang lain menghantam bagian tengah kapal. Dua torpedo lagi melintas dalam jarak 10 kaki (3 meter) di kedua sisi. Karena nyala api yang hebat, Rooks terpaksa meninggalkan menara pengamat. Dengan mayat dan yang sekarat tergeletak di mana-mana dan dengan air mengalir di bawah geladak melalui lubang menganga, pada pukul 12:25 Kapten Rooks memerintahkan para awak untuk meninggalkan kapal. Saat meninggalkan posisinya, dia berjabat tangan dengan beberapa awak dan berharap mereka akan beruntung. Kapten kemudian menuruni tangga dari anjungan sinyal ke dek komunikasi. Pada saat itu sebuah peluru meledak, menyebarkan pecahan peluru ke segala arah. Rooks terkena dan terhuyung-huyung di sekitar sisi kiri geladak, jatuh sekitar 20 kaki (6 meter) dari Ensign Smith dan Herb Levitt. Kedua perwira berusaha membantu kapten mereka, tetapi dia terluka parah di dada dan kepala. Kapal-kapal Jepang mulai mendekat untuk menamatkan Houston sama sekali. Pesawat-pesawat menukik di atas kepala dan kapal-kapal perusak meliuk-liuk ke segala arah. Houston dipaksa masuk ke perairan dangkal, di mana manuvernya sangat sulit. Semua sistem komunikasinya penuh dengan laporan kerusakan dan perubahan target yang dilawan. Meskipun baterai meriam kaliber 8 inci (203 mm) miliknya benar-benar tidak berfungsi, senjata kaliber 5 inci (127 mm) dan .50 Houston terus menembak ke arah musuh. Target yang terus bergeser bagaimanapun mencegah orang-orang Amerika untuk mengarahkan tembakan berkelanjutan ke kapal Jepang tertentu. Tak lama setelah tengah malam, Houston mengeluarkan perintah bagi para awak ke menuju ke sisi kanan kapal, dan perintah itu kemudian disahkan supaya mereka meninggalkan kapal. Para kru mulai mengenakan jaket pelampung mereka sementara rakit diturunkan ke dalam air. Karena kondisi yang berbahaya, beberapa rakit hilang. 

Peta Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Commander David Roberts yang mengambil alih pimpinan dari Rooks, lalu membatalkan perintah untuk meninggalkan kapal sampai kapal itu tenggelam lebih rendah di dalam air dan mengurangi jarak yang harus ditempuh para awal untuk melompat. Perintah itu mencapai beberapa awak, tetapi tidak semuanya. Banyak pelaut kembali ke posisi tempur mereka, sementara yang lain pindah ke posisi yang kurang terbuka di atas kapal. Awak senjata kembali menembaki musuh, yang mendekat untuk menenggelamkan mereka. Houston tiba-tiba dihantam oleh torpedo lain dan selongsong peluru yang meledakkan di suprastrukturnya, membunuh dan melukai banyak orang di bagian atasnya. Kapal penjelajah yang dihantam keras itu segera berhenti di dalam air. Untuk menghindari pembantaian lanjutan, pada 12:33 Roberts mengumumkan kembali perintah meninggalkan kapal. Sekali lagi, terompet dibunyikan oleh kru bugler, yang nampak dalam siluet sejenak di bawah langit sebelum menghilang ke dalam api yang berkobar. Commander Arthur Maher berjuang kobaran api dan asap menuju ke bagian depan kapal. Dia ingin memastikan bahwa semua yang selamat telah diberikan jaket pelampung. Sementara itu, Roberts melanjutkan perjalanan ke belakang untuk memeriksa kondisi bagian kapal itu. Dia tidak pernah terlihat atau terdengar lagi.

HOUSTON AKHIRNYA MENYERAH PADA KERUSAKANNYA

Ensigns Charles D. Smith dan Herbert Levitt, yang telah mencari rekan-rekannya yang terluka, menemukan juru masak Rooks yang keturunan China, Tai Chi-sah, yang dijuluki Buddha, sekarang mencengkeram tubuh kapten kapalnya di lengannya. Smith dan Levitt mencoba membujuknya untuk melompat ke laut, tetapi Buddha yang sedih itu dengan lembut menolak. Dengan lembut ia memegang kapten dan bergoyang ke depan dan ke belakang, Buddha berkata, “Kapten mati, Houston mati, Buddha juga mati.” Koki China yang setia itu tenggelam bersama kapal dan kaptennya. Saat itu Houstonsudah miring dengan parah, dan dikhawatirkan dia akan tenggelam setiap saat. Para awak hanya punya sedikit waktu untuk meninggalkan kapal yang tenggelam. Dari kejauhan, mereka bisa mendengar suara gerinda yang memancar dari bawah saat benda-benda besar bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Dalam prosesi yang teratur, orang-orang berbaris ke tepi kapal dan terjun ke perairan di bawahnya. Kapal-kapal perusak Jepang menambah kesengsaraan mereka dengan menyemprot geladak dan tali dengan tembakan senapan mesin sampai segelintir orang Amerika mulai membalas. Beberapa orang ini tetap memegang senjata mereka sementara anggota kru lainnya bergegas menuju air, menjaga agar kapal-kapal perusak musuh tetap cukup jauh agar rekan-rekan mereka bisa meninggalkan kapal. Tindakan kepahlawanan yang tidak mementingkan diri ini, bagaimanapun, membuat orang Amerika yang tidak dikenal itu menuju kematian, saat mereka tenggelam perlahan dengan kapal penjelajah itu. Hamlin sementara itu tetap berada di dek depan sampai hanya ada tiga orang yang tersisa di sekitarnya. Dia hendak meninggalkan kapal ketika sebuah peluru yang meledak menjatuhkannya. Letnan itu kemudian berhasil memanjat sisi kanan kapal dan meluncur ke bawah haluan, di mana dia menemukan bahwa dia bisa berdiri di dasar kapal. Dia berjalan menuju lunas, menjatuhkan diri ke air, dan berenang sekeras yang dia bisa untuk menghindari efek hisapan kapal penjelajah yang tenggelam. Setelah berenang beberapa ratus kaki, Hamlin berbalik untuk melihat Houston untuk terakhir kalinya. Kapal itu penuh lubang. Peluru-peluru kapal perusak perusak yang menembak dari jarak dekat telah menembus satu sisi kapal penjelajah itu dan keluar dari sisi lainnya. Meriam-meriam besar Houston miring, turret-turret-nya menunjuk ke arah yang berbeda. Hamlin dengan jelas mengingat saat-saat terakhir kapal itu. “Saya tidak bisa tidak memikirkan seperti apa penampilan Houston ketika saya pertama kali bertugas dengannya,” katanya. “Dia adalah kapal ‘pesiar’ presiden dan bertugas dengan baik di setiap waktu. Saya pikir saya akan selalu mengingat pandangan terakhir itu. Saat saya melihat dia tenggelam, dia berguling  dan api padam dengan desisan keras. Saya memperhatikannya selama beberapa detik, lalu berpikir tentang efek hisapannya berenang sekuat tenaga. ” Lampu sorot kapal-kapal Jepang menyinari kapal penjelajah yang sekarat itu sampai akhir. Ketika dia akhirnya meluncur di bawah ombak pada pukul 01:30 tanggal 1 Maret 1942, benderanya masih berkibar menantang langit. Secara keseluruhan Houston terkena tembakan dari 4 sampai 6 torpedo, dalam tiga salvo keseluruhan, sebelas tembakan individu dan hantaman tambahan yang mungkin berupa peluru meriam atau torpedo.

Tenggelamnya USS Houston adalah kemenangan propaganda bagi Jepang, seperti yang ditunjukkan dalam kartu pos ini. Mereka mengklaim telah menenggelamkan kapal setidaknya empat kali dalam beberapa bulan sebelumnya; namun dalam Pertempuran Selat Sunda hal itu menjadi kenyataan. (Sumber: https://www.sea.museum/)

MELAWAN PERTEMPURAN LAIN DIATAS AIR

Di tempat lain Winslow merasa seolah-olah berada di tengah-tengah latar yang surealis, karena penerangan dari kapal-kapal Jepang menerangi seluruh area dan membuat segalanya terlihat dalam kegelapan. Winslow berenang menjauh dari kapal untuk menghindari ditarik ke bawah oleh hisapan saat Houston tenggelam, dan mengalami serangkaian gelombang kejut bawah air yang dihasilkan oleh ledakan torpedo dan peluru. Ombak menghantamnya dengan kekuatan sedemikian rupa sehingga dia merasa telah dihantam oleh tinju yang sangat besar. “Saya bergidik memikirkan malapetaka yang mereka timbulkan pada jiwa-jiwa malang yang lebih dekat dengan mereka,” tulisnya kemudian. Winslow kemudian berhenti untuk melihat sekilas kapalnya untuk terakhir kalinya. Saat kapal penjelajah itu tergelincir di bawah air, Winslow memperhatikan bahwa angin sepoi-sepoi tiba-tiba memenuhi bendera Amerika, yang tampaknya patah menantang saat Houston menuju ke kuburannya. Dengan bagian pertempuran dari pertempuran ini sekarang berakhir, orang-orang di dalam air menghadapi cobaan lain — bertahan hidup dari alam, dari ketakutan mereka, dan dari kapal-kapal Jepang yang melintasi jalan mereka. Bahan bakar minyak mengambang di permukaan melekat di rambut para pria dan menggumpal di kelopak mata mereka seperti beban. Pikiran tentang hiu dan apa yang bisa mereka lakukan terhadap tubuh manusia terus-menerus melayang di atas mereka. “Tiger” Lyons, dari Perth, sedang mendayung di air ketika mengalami gegar otak akibat ledakan torpedo menimpanya. Gegar otak memaksa air masuk perutnya dan kembali keluar, membuatnya merasa seolah-olah bagian dalam tubuhnya telah hancur. Beberapa awak tidak bisa bertahan lama. Lyons berenang ke drum berukuran 44 galon di mana dua rekan sekapalnya berpegangan erat. Ketika dia mendekati orang-orang yang lelah, Lyons mendengar salah satu dari mereka bergumam, “Aku pergi.” Rekannya, yang sama-sama kelelahan, menambahkan dengan suara sedih, “Oh, Tuhan.” Pasangan itu melepaskan drum dan menghilang di bawah permukaan air. “Polo” Owen tergantung di papan kayu besar dengan seorang Petty Officer dan mulai bertanya-tanya seperti apa rasanya tenggelam. Mendekati batas kekuatannya, Owen memutuskan untuk melepaskan cengkeramannya dan hanyut menuju ke kematian yang tenang, tetapi dia tersentak kembali ke kenyataan oleh Petty Officer yang memohon padanya, “Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku!” Owen, agak malu, menjawab, “Maaf,” dan bertahan dengan pegangan yang lebih erat. 

Kapal perusak Angkatan Laut Kekaisaran Jepang Shirakumo, yang turut terlibat dalam Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Para kru, baik asal Amerika maupun Australia, secara fisik dan emosional kelelahan dengan perjuangan panjang mereka. Letnan Joseph Dalton dari Houston sedang mengapung di atas rakit bersama para penyintas Amerika lainnya ketika sebuah kapal pendarat Jepang mulai menariknya ke pantai setengah mil (800 meter) jauhnya. Dalton melihat sekelompok perwira Jepang dengan keras berdebat satu sama lain, tampaknya membicarakan tentang nasib orang-orang Amerika di atas rakit. Seorang Jepang akhirnya melepaskan rakit itu, dan ketika rakit itu hanyut, seorang Jepang lainnya mengarahkan senapannya ke arah kelompok itu. Alih-alih merunduk untuk berlindung, orang Amerika yang lelah duduk di tempat terbuka, menunggu tembakan yang akan merenggut nyawa mereka. Setelah beberapa saat, tentara Jepang itu menurunkan senapannya dan membiarkan rakitnya hanyut. Mate Otto Schwarz dari Chief Boatswain, bersama dengan yang lain, menghabiskan 15 jam yang menyiksa di dalam air. Pada malam itu, dia mendengar teriakan terus-menerus dari orang-orang di dekatnya dan suara senapan mesin Jepang saat musuh bergerak dari satu kelompok ke kelompok lain, menembaki tentara Amerika dan Australia saat mereka mengapung di air. “Saya pikir, ‘Ya Tuhan, mereka menembaki orang-orang di dalam air dengan senapan mesin,'” kata Schwarz kemudian.

ORANG-ORANG AUSTRALIA MENOLAK PENYELAMATAN DARI PIHAK JEPANG

Ketika sebuah kapal torpedo Jepang beringsut menuju Schwarz, dia harus mengambil tindakan cepat. “Saya tidak tahu harus berbuat apa. Jadi saya membuat kantong udara dengan kerah tinggi jaket pelampung, meletakkan wajah saya di dalamnya dan hanya naik turun. Perahu datang dan saya bisa mendengar mereka berbicara bahasa Jepang di dek kapal. Mereka menyalakan lampu pencarian pada saya, dan saya terus menunggu peluru datang.” Orang-orang Jepang bergerak begitu dekat sehingga Schwarz bahkan merasa seorang pelaut menyodoknya dengan senapan untuk melihat apakah orang Amerika yang mengapung itu sudah mati. Membayangkan tembakan peluru untuk mengakhiri hidupnya setiap saat, Schwarz menunggu selama berjam-jam tetapi kenyataannya hanya beberapa detik, sampai akhirnya kapal Jepang itu mundur dan pergi. Tidak jauh dari situ, sebuah kapal perusak Jepang mendekati sekelompok orang yang selamat dengan pelampung, termasuk Pelaut H.K. Gosden dari Perth, dan melemparkan tali ke bawah dalam upaya untuk mengangkut orang-orang yang lelah ke atas kapal. Orang-orang Australia yang pahit itu tidak mau menerima bantuan dari musuh yang, hanya beberapa saat sebelumnya, mencoba membunuh mereka. “Kau tahu di mana harus memilih, mug—kita lebih baik tenggelam,” teriak seorang pria. Kapal perusak itu meninggalkan orang-orang itu pada nasib mereka sendiri. Beberapa saat kemudian, saat Gosden duduk dengan kakinya di sisi pelampung, dia merasakan tarikan di kakinya. Dia mengintip ke air untuk melihat sekelompok pelaut dan tentara Jepang, yang jelas berasal dari segelintir pasukan dari kapal pengangkut Jepang yang telah tenggelam, mendayung ke arah pelampungnya dengan harapan bisa mendapatkan tempat untuk bergantung. Prajurit musuh yang menarik-narik kaki Gosden menggumamkan sesuatu yang tidak dapat dimengerti, tetapi Gosden tahu pria itu sedang memohon bantuan. Sebagai gantinya, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Gosden mendorong sepatu botnya ke wajah pria itu dan menendangnya pergi. Tentara Jepang lainnya mencoba melakukan hal yang sama, tetapi setiap kali tentara Australia memaksa mereka kembali. “Kamu membunuh rekan-rekanku, kamu bajingan, kamu membunuh rekanku,” teriak seorang pria.

Awak kapal HMAS Perth di Fremantle, tanggal 6 Agustus 1941. Tidak jelas dari yang ada di foto siapa saja yang bisa bertahan hidup selepas pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)

PENDETA BERKORBAN SEHINGGA ORANG LAIN BISA BERTAHAN

Tidak semua orang di air bereaksi dengan marah. Komandan G.S. Rentz, pendeta berambut abu-abu dari Houston, tergantung di rakit bersama 12 orang yang selamat ketika rakit itu mulai tenggelam ke bawah karena beban semua orang. Tanpa menggumamkan suara, Rentz yang gemuk berenang menjauh dari rakit, tetapi pelaut lain membawanya kembali. Dua kali lagi Rentz berusaha meninggalkan rakit, tetapi setiap kali rekan-rekannya menghentikannya. Akhirnya, pendeta itu memandang rekan-rekan sekapalnya dan berkata, “Kalian para pria muda dengan kehidupan di depan kalian. Saya sudah tua dan sudah bersenang-senang.” Setelah mengucapkan doa singkat, Rentz melepas jaket pelampungnya dan menghilang, menyerahkan nyawanya agar orang lain dapat bertahan. Atas pengorbanannya ini, Rentz kemudian secara anumerta dianugerahi medali Navy Cross. Dia adalah satu-satunya Pendeta Angkatan Laut yang mendapat penghargaan itu selama Perang Dunia II. Selama beberapa jam mendatang, sekelompok pria yang kelelahan, Australia, Amerika, dan Jepang, mencapai garis pantai Jawa. Di antara mereka adalah perwira Jepang berpangkat tertinggi, Jenderal Hitoshi Imamura dari Angkatan Darat ke-16, yang berada di atas kapal markasnya, kapal transport Ryujo Maru, ketika sebuah torpedo menenggelamkannya. Imamura melompat ke laut dan berpegangan pada kayu apung selama 20 menit sampai dia diselamatkan. Saat dia naik ke permukaan, Imamura mendengar suara gesekan yang keras yang datang dari sebuah kapal transport yang tenggelam. Mobil dan tank telah merusak ikatannya di kapal, merosot di sepanjang geladak, dan jatuh ke air. Mencapai pantai, jenderal yang basah kuyup itu beringsut ke pantai, kelelahan. Suasana masamnya tidak cerah ketika seorang ajudan bergegas dan, dalam upaya untuk menghibur sang jenderal yang sedang duduk di tumpukan bambu dengan wajah hitam karena minyak, memberi selamat kepadanya atas pendaratan yang sukses. Kemarahan sang jenderal akan meningkat jika dia tahu bahwa dia telah dipaksa masuk ke dalam air oleh torpedo Jepang yang salah menembak alih-alih torpedo Amerika. Dia tidak pernah tahu. Ketika Komandan Shukichi Toshikawa dari Angkatan Laut Jepang dipilih untuk meminta maaf kepada Imamura atas kecelakaan itu, ajudan Imamura membatalkan ide tersebut. “Jangan beri tahu Jenderal Imamura,” ajudan itu memperingatkan. “Dia pikir kapal penjelajah Amerika Houston yang melakukannya. Biarkan dia mendapat pujian.” Kapal angkut pasukan milik Angkatan Darat Sakura Maru (7.149 ton bruto), Horai Maru (9.162 ton) Tatsuno Maru (6.960 ton) dan kapal Ryujo Maru (8.160) ton semuanya tenggelam di perairan dangkal, meskipun dua kapal berikutnya bisa diangkat kembali karena tembakan salah sasaran dari kapal. Sementara itu kapal penjelajah Mogami juga disinyalir menenggelamkan kapal penyapu ranjau W2 (807 ton) dalam aksinya ini.

George S. Rentz, Pendeta di USS Houston 1940–1942. (Sumber: https://www.history.navy.mil/)
Kapal uap Jepang “Horai Maru” adalah salah satu dari empat kapal angkut Jepang yang tenggelam pada malam hari tanggal 28 Februari hingga 1 Maret di dekat Pulau Jawa. Selanjutnya, dua di antaranya dirawat oleh Jepang untuk diangkat, diperbaiki, dan digunakan kembali. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

NASIB PARA AWAK YANG SELAMAT

Orang-orang Jepang menangkap banyak orang Amerika di air dan berhasil mendarat di pantai, di mana mayat puluhan tentara musuh yang tewas dan berton-ton perbekalan telah terdampar di pantai—hadiah pertempuran terakhir bagi Houston. Secara keseluruhan, Houston menenggelamkan tujuh kapal perang, termasuk kapal penjelajah, kapal perusak, dan kapal pembawa pesawat terbang amfibi, yang mengakibatkan kerugian besar pada musuh sehingga para perwira Jepang dituduh berbohong ketika mereka menyatakan bahwa hanya dua kapal penjelajah Sekutu yang terlibat dalam pertempuran itu. Setelah 18 jam di dalam air, Lt. (j.g.) Rogers dari Houston merangkak ke darat bersama orang-orang yang selamat lainnya. Mereka dengan hati-hati maju ke pedalaman menuju sebuah desa, di mana penduduk asli menempatkan orang-orang di gerobak dan membawa mereka ke penjara desa. Keesokan harinya pasukan tentara Jepang mengakhiri harapan mereka akan kebebasan dengan membawa mereka sebagai tawanan. Ketika salah satu orang Jepang menemukan bahwa tawanan itu berasal dari Amerika Serikat, dia berkata, “Oh, orang Amerika! Bisbol, Babe Ruth.” Sementara itu orang-orang Jepang yang menangkap Otto Schwarz tidak begitu baik. Karena kuda-kuda yang akan digunakan untuk menarik gerobak telah hilang dengan salah satu kapal angkutan, mereka memaksa para tahanan untuk menarik gerobak perbekalan mereka. Selama empat hari orang-orang yang lelah bekerja untuk memindahkan gerobak di sepanjang jalan hutan yang kasar. Setiap kali mereka goyah, bayonet Jepang mendorong mereka untuk berusaha lebih jauh.

Para tawanan sekutu membangun jalur kereta api Burma–Thailand. Beberapa awak Perth dan Houston termasuk didalamnya. (Sumber: https://www.express.co.uk/)
Pada bulan September 1944, kapal selam AS mentorpedo konvoi kapal kargo Jepang di Laut Cina Selatan – tidak menyadari bahwa tawanan perang ada di dalamnya, termasuk orang-orang yang selamat dari tenggelamnya HMAS Perth. Dibiarkan mati oleh Jepang, para tahanan berpegangan erat pada rakit-rakit kayu. Kapal-kapal selam AS Pampanito, Sealion, Barb, dan Queenfish menyelamatkan 159 tawanan perang Sekutu yang basah kuyup, kelelahan, kelaparan, dan dehidrasi, serta berbagi pakaian, makanan, dan ranjang dengan mereka. (Sumber: https://www.sea.museum/)

Setelah penangkapan mereka, orang-orang dari Houston dan Perth menghabiskan sisa tahun perang di kamp-kamp penjara yang suram. Para awak yang ditangkap oleh Jepang diinterogasi; beberapa terbunuh. Mereka dipindahkan dari kamp penjara ke kamp penjara selama tiga tahun berikutnya dan dipekerjakan untuk membangun jalur kereta api Burma–Thailand, bersama dengan 60.000 tawanan perang Sekutu lainnya dan sekitar 250.000 pekerja Asia. Sebagian ada yang dikirim langsung ke Jepang untuk bekerja di tambang batu bara dan bijih besi atau di dermaga bongkar muat kapal Jepang. Mereka menanggung berbagai cobaan seperti hidup dengan kotor, kekurangan, jatah makanan yang sedikit, penyakit dan hukuman yang brutal, serta dan pekerjaan yang melelahkan. Mereka dibom oleh pesawat mereka sendiri dan ditorpedo di laut, tetapi tetap menunjukkan kekuatan pikiran, semangat, humor, dan persahabatan yang membuat mereka tetap bisa bertahan hidup melalui periode tergelap dalam hidup mereka. Pada akhirnya, hanya sekitar 25 persen awak kapal yang bertempur di Pertempuran Selat Sunda yang berhasil pulang. Korban selamat dari HMAS Perth pertama kembali ke Australia pada akhir tahun 1944. Beberapa dari mereka telah diangkut dari Singapura ke Jepang dengan kapal barang Jepang Rakuyo¯ Maru ketika ditorpedo oleh kapal selam AS di Laut Cina Selatan pada tanggal 12 September 1944. Mereka lalu diselamatkan oleh kapal selam AS yang berpatroli di daerah itu, dibawa ke Saipan di Kepulauan Mariana Utara untuk menjalani perawatan di rumah sakit dan kemudian diterbangkan ke Brisbane, Queensland, untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Para penyintas Perth yang tersisa dipulangkan ketika kamp-kamp penjara dibebaskan pada akhir perang. Sementara itu evakuasi korban selamat USS Houston dimulai pada tanggal 28 Agustus 1945, dengan pesawat yang dikirim oleh Komando Transportasi Udara Angkatan Darat Amerika melalui Karachi (saat itu bagian dari India). Mereka diterbangkan langsung ke Washington, DC, untuk menjalani pemeriksaan rumah sakit, perawatan dan briefing sebelum dipulangkan. Hidup tidak akan pernah sama lagi bagi orang-orang yang selamat dari Perth dan Houston. Beberapa memilih untuk mendaftar kembali di angkatan laut mereka, sementara yang lain kembali ke kehidupan sipil. Untuk beberapa dari mereka dinyatakan tidak layak untuk dinas karena cedera – fisik atau psikologis – yang mereka terima selama perang. Dari 1.068 pelaut, marinir dan penerbang di atas kapal Houston, hanya sekitar 261 yang kembali ke Amerika Serikat. Sebanyak 368 korban Houston ditangkap oleh Jepang. Dari jumlah ini, 76 meninggal sebagai tawanan perang ketika perang berakhir tahun 1945. Sisanya 1.000 awak kapal ikut tenggelam bersamanya di Selat Sunda. Hanya 229 dari 682 orang dari Perth, selamat. Sisanya tewas selama pertempuran, di air sesudahnya, atau di kamp penjara.

Darwin, NT, sekitar tahun 1945. Sekelompok orang yang selamat dari HMAS Perth tiba di Darwin dengan HMT Highland Chieftain. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)
Lonceng kapal berornamen, terlihat pada gambar di atas, diselamatkan dari bangkai kapal Perth pada tahun 1960-an-1970-an dan sekarang dipajang di serambi Balai Kota Perth di Australia Barat yang telah menyimpannya sejak tahun 1980-an. (Sumber: https://www.navy.gov.au/)

Untuk perannya dalam aksi tersebut, Kapten Rooks secara anumerta dianugerahi Medal of Honor, dan kapal penjelajah itu tersebut juga menerima penghargaan Presidential Unit Citation dan dua bintang pertempuran untuk pengabdiannya di Filipina dan Hindia Belanda. Di sisi lain militer Amerika hanya tahu sedikit tentang apa yang terjadi pada kedua kapal penjelajah Sekutu itu. Sebagian besar otoritas angkatan laut A.S. percaya bahwa Houston tenggelam dengan segala cara mungkin dan mendaftarkan awaknya sebagai hilang dalam tugas. Keluarga kru harus menghibur diri dengan harapan samar bahwa orang yang mereka cintai entah bagaimana selamat dari pertempuran misterius itu dan suatu hari akan dipersatukan kembali dengan mereka. Lebih dari tiga tahun berlalu sebelum dua anggota awak, setelah melarikan diri dari kamp penjara dan dengan selamat mencapai garis Sekutu, membawa informasi mengenai pertempuran di Selat Sunda. Tindakan sepasang kapal penjelajah itu memang tidak banyak berpengaruh pada hasil perang. Namun, kerja keras mereka tidak sia-sia, setidaknya mereka telah melawan. Mereka tidak tertangkap basah karena lengah atau dengan pesawat mereka berbaris rapi, seperti yang dilakukan rekan-rekan Amerika mereka di Pearl Harbor dan Filipina. Mereka akhirnya tenggelam, tetapi Houston dan Perth menunjukkan kepada orang-orang Jepang bahwa perlawanan Sekutu jauh lebih keras dari yang diperkirakan. Publik Amerika bereaksi terhadap hilangnya Houston dengan tekad. Kota Houston, Texas, mensponsori kampanye pendaftaran militer yanf emosional. “Balaskan Houston!” slogan yang menyebar ke seluruh kota, yang membantu memaksa penduduk untuk membangun replika kapal penjelajah setinggi 80 kaki (24 meter) untuk menarik para minat para tamtama. Pada Hari Peringatan tahun 1942, kurang dari tiga bulan setelah pertempuran, lebih dari 1.400 orang dilantik menjadi anggota Angkatan Laut dalam upacara pelantikan massal. Houston telah pergi, tetapi semangat juangnya tetap ada.

HMAS PERTH DAN USS HOUSTON SAAT INI

Sisa-sisa bekas pertempuran dari HMAS Perth dan USS Houston berada di Teluk Banten di ujung barat laut pulau Jawa, Indonesia, di dekat Selat Sunda. Perth terletak di dasar berpasir sekitar 35 meter (115 kaki) dan Houston di dasar laut berlumpur sekitar 30 meter (98 kaki). Kemajuan dalam eksplorasi bawah air – terutama penemuan peralatan selam – mengarah pada penemuan lokasi bangkai kedua kapal pada tahun 1960-an. Sejak itu, mereka populer bagi penyelaman teknis, untuk penggemar sejarah dan untuk mengambil suvenir masa perang. Sejak tahun 1974 perusahaan besi tua telah mengambil kuningan dan perunggu dari kapal-kapal ini dan bangkai kapal perang lainnya, tetapi pada tahun 2013 perusahaan penyelaman Indonesia memperingatkan otoritas Australia, Amerika, Inggris, dan Belanda tentang kerusakan yang dilakukan oleh perusahaan besi tua komersial internasional. Mereka menggunakan penyelam yang beroperasi dari tongkang yang dilengkapi dengan pegangan yang dioperasikan dengan derek. Dengan peralatan ini, mereka memindahkan seluruh bangkai kapal dari Laut Jawa dan sekitarnya untuk mendapatkan besi tua yang bernilai. Pihak berwenang Australia, Indonesia, dan AS sekarang bekerja sama untuk merumuskan rencana warisan budaya bawah laut untuk kapal-kapal Perang Dunia II ini, dengan harapan dapat mencegah pelanggaran lebih lanjut. Sementara itu bekas awak dari Perth dan Houston membentuk hubungan yang erat dan langgeng melalui pengalaman bersama mereka dalam pertempuran laut yang mengerikan diikuti dengan pemenjaraan. Pengingat fisik pengorbanan mereka termasuk pendirian peringatan dan penamaan kapal untuk menghormati mereka. Yang lebih penting adalah upacara peringatan yang diadakan di Australia dan Amerika setiap tahun. Kapal dan anak buahnya dikenang pada Hari ANZAC di Australia dan Hari Veteran di Amerika Serikat, dan kedua negara mengadakan upacara pada peringatan tanggal 1 Maret-nya.

Untuk mengenang: Duta Besar AS untuk Indonesia Joseph Donovan Jr. (kanan), Atase Angkatan Laut Kedutaan Besar AS Jakarta Cmdr. Greg Adams (tengah) dan Laksamana TNI AL Denih Hendrata, Komandan Pangkalan Utama III TNI AL, Jakarta, bersiap untuk meletakkan karangan bunga saat upacara peringatan di atas kapal TNI AL KRI Usman Harun. Upacara tersebut diadakan untuk menghormati awak Amerika dan Australia dari USS Houston dan HMAS Perth yang kehilangan nyawa mereka dalam Pertempuran Selat Sunda. (Sumber: https://www.thejakartapost.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The USS Houston and the Battle of Sunda Strait By A.B. Feuer

The USS Houston and the Battle of Sunda Strait

USS Houston And HMAS Perth Stood Tall At the Battle Of Sunda Strait by John Wukovits

https://warfarehistorynetwork.com/uss-houston-and-hmas-perth-stood-tall-at-the-battle-of-sunda-strait/

Guardians of Sunda Strait: Remembering HMAS Perth and USS Houston by Lindsey Shaw

https://www.sea.museum/2017/10/03/guardians-sunda-strait-remembering-hmas-perth-uss-houston

BATTLE OF SUNDA STRAIT 28 Feb. -1 March, 1942 by Vincent P. O’Hara

http://www.microworks.net/pacific/battles/sunda_strait.htm

The Battle of Sunda Strait

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Battle_of_Sunda_Strait

https://en.m.wikipedia.org/wiki/USS_Houston_(CA-30)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *