Perang Dunia II

The Expendables: Aksi Heroik Pertahanan Terakhir Tentara China di Sihang Warehouse, 26 Oktober-1 November 1937

Pada tanggal 27 Oktober 1937, distrik Zhabei di Shanghai mulai terbakar, dengan kebakaran besar membentang sejauh lima mil dan memenuhi ufuk utara dari ujung ke ujung, hampir sejauh mata memandang. Api kuning oranye dengan rakus menghanguskan bangunan dan isinya, menyelesaikan kehancuran yang sudah dimulai setelah pertempuran sengit selama tiga bulan antara tentara China dan Jepang. Gulungan asap tebal mencapai ketinggian 3.000 kaki (914,4 meter) di udara, menutupi langit kawasan tengah pemukiman China. Itu adalah pemandangan yang tidak akan pernah dilupakan oleh mereka yang menyaksikannya — kehancuran dari kota besar kesayangan mereka. Beberapa kebakaran yang terjadi memang akibat dari pertempuran, tetapi sebagian besar sengaja disulut untuk melindungi mundurnya Tentara China. Tentara China yang kalah jumlah telah melawan dengan gagah berani, tetapi banyak dari unitnya sekarang telah jauh berkurang dari kekuatan awalnya. Ketika tersiar kabar bahwa tentara Jepang telah menguasai wilayah di luar kota dan mengancam untuk mengepung pasukan China, maka tidak ada pilihan lain selain untuk mundur. Sementara itu, satu unit sengaja ditinggalkan, dan bertahan di sekitar gudang beton tepat di seberang wilayah Pemukiman Internasional. Para perwira dan prajurit dari satuan Resimen ke-524/Divisi ke-88 ini tahu betul bahwa misi mereka tidak ubahnya misi bunuh diri, dan bahwa mereka sengaja dikorbankan untuk menunjukkan keberanian dari tentara China, tetapi bagaimanapun mereka siap untuk menerima nasib mereka dengan tenang. Cobaan berat mereka, yang dimulai pada tanggal 26 Oktober, akan berlanjut selama empat hari pertempuran brutal, dan dalam aksi heroiknya ini, pertahanan di Gudang Sihang akan menarik perhatian dunia, dengan pihak pers Amerika cepat menjulukinya sebagai “Alamo-nya Cina”. (Alamo mengingatkan pertahanan habis-habisan pasukan milisi Republik Texas melawan serbuan tentara Mexico pimpinan Santa Anna pada tahun 1836). Pada pertempuran besar pertama sejak insiden di Jembatan Marco Polo, batalion China ini bertahan teguh dalam apa yang hanya dapat digambarkan sebagai pertahanan terakhir yang heroik dan emosional. Tetapi mengapa orang-orang ini – yang hanya berkekuatan 414 orang – kemudian dikenal sebagai ‘800 Pahlawan’ dari Gudang Sihang? Dan mengapa mereka tetap tinggal untuk mempertahankan gudang jelek ini, yang bahkan tidak punya nilai strategis? Pertanyaan ini, dapat terjawab dengan melihat latar belakang dan kisah berikut ini.

Regu senapan mesin berat Type-24 Pasukan China Nasionalis bertahan di halaman depan gudang Sihang, akhir bulan Oktober 1937 dalam pertempuran yang kerap dikenal sebagai “Alamo-nya” China. (Sumber: https://musketswordpaint.wordpress.com/)

PEMBUKAAN PERANG CHINA-JEPANG TAHUN 1937

Perang Cina-Jepang tahun 1937 dimulai dengan cara yang kasar. Sepanjang tahun 1930-an, militer Jepang, yang dijiwai dengan semangat agresif “samurai” dan pemikiran ultra nasionalis yang fanatik, telah menguasai politik Jepang. Pada tahun 1932, Jepang merebut wilayah Manchuria, provinsi utara yang kaya di China, dan mendirikan pemerintahan “merdeka” di bawah kaisar terakhir China, Henry Pu Yi. Itu adalah taktik terang-terangan, yang tidak cukup untuk menutupi aksi agresi Jepang, dan hanya sedikit negara-negara di dunia yang tertipu olehnya. Akan tetapi, negara-negara besar, terutama Inggris Raya dan Amerika Serikat, terlalu disibukkan oleh masalah depresi ekonomi yang semakin dalam pada dekade itu, dan tidak bisa melakukan lebih dari sekadar mengajukan beberapa protes yang lemah dan akhirnya tidak efektif. Saat itu China sendiri sedang berada dalam kekacauan, terkoyak oleh agresi Jepang dari luar dan pertikaian internal dari dalam. Negara itu diperintah oleh Partai Nasionalis di bawah pimpinan Generalissimo Chiang Kai-shek. Chiang adalah seorang tentara-politikus pragmatis yang obsesi utamanya adalah menghancurkan kekuatan Komunis, yang dikomandoi oleh Mao Zedong. Bagi Chiang, Mao dan para pengikutnya seperti penyakit mematikan yang menjangkiti tubuh politik China.

Chiang Kai-Sek dan musuh bebuyutannya Mao-Zedong. Jelang pecahnya perang melawan Jepang, Chiang lebih sibuk memerangi kekuatan komunis pimpinan Mao, hal ini kemudian mengurangi keefektifan perlawanan China dalam menghadapi agresi Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)
Pasukan Jepang lengkap dengan masker gas mengambil posisi dalam medan perang di China. Pada invasi tahun 1937,pihak China tidak lagi mau mengalah pada sikap agresif Jepang, yang kemudian konflik berkembang menjadi perang terbuka hingga berakhirnya Perang Dunia II, 8 tahun kemudian. (Sumber: https://nationalinterest.org/)

Keasyikan Chiang dalam memburu pihak Komunis adalah anugerah bagi militer Jepang. Setelah tahun 1932 terdapat serangkaian insiden antara orang-orang China dan Jepang, yang biasanya berakhir dengan orang-orang China terpaksa memberikan konsesi dan wilayah kepada para penyerang Jepang. Sementara itu, setelah mencaplok Manchuria, Jepang masih merasa “lapar”, dan terus menggerogoti seluruh China sepanjang dekade itu. Pada tanggal 7 Juli 1937, seorang tentara Jepang hilang di dekat Beijing. Akhirnya, tentara itu bisa kembali tanpa cedera (laporan mengatakan dia mengunjungi rumah bordil). Tetapi perwira Jepang setempat, yang selalu siap mencari dalih untuk melakukan agresi terbuka, menuntut ganti rugi atas dugaan penculikan. Jika pola biasa itu sukses, orang-orang Cuma akan memberikan lebih banyak konsesi, wilayah, atau apa pun yang diinginkan Jepang. Tapi kali ini China dengan tegas menolak — sebuah sikap tegas sudah dipilih. Pertempuran sengit antara kedua belah pihak kemudian pecah dan dengan cepat meningkat menjadi sebuah konflik besar. Jepang lalu segera menduduki Beijing dan sebagian besar wilayah China utara. Perang tahun 1937 ini sama sekali tidak direncanakan, tetapi begitu dimulai, Jepang yakin itu akan menjadi perang yang cepat. Mereka setidaknya berharap begitu. Toh, lebih dari segalanya, militer Jepang sendiri tidak ingin ditarik lebih jauh ke wilayah selatan China, karena tepat di seberang perbatasan utara China terdapat Uni Soviet, yang oleh Jepang dianggap sebagai musuh yang lebih mematikan dan berbahaya.

TENTARA GENERALISSIMO 

Sementara itu, Chiang Kai-shek punya rencana lain. Sungai besar Yangtze yang ada di tengah Cina, pusat ekonominya sedang berkembang. Ibukota ekonomi dan politik China, yakni Shanghai dan Nanking, juga terletak di sana. Pasukan China di Shanghai sebelumnya telah menghentikan ofensif Jepang pada tahun 1932. Dari pengalaman ini, Chiang punya banyak alasan untuk percaya bahwa tentara China bisa mengulangi penampilan mereka. Sebagai langkah pertama, ia mulai lalu mengerahkan pasukannya ke Shanghai, termasuk dari Divisi ke-87 dan ke-88. Diperlengkapi dan dilatih oleh Jerman — mereka bahkan mengenakan helm baja khas Jerman yang akan segera terkenal dalam Perang Dunia II — pasukan China ini adalah pasukan elit, yang dengan bangga menyandang gelar, sebagai “Milik (dari) Generalissimo”. Mengenai bantuan Jerman, hal ini terjadi karena saat itu dunia Barat masih sangat enggan untuk membantu China yang kalah persenjataan melawan Jepang, sementara negara-negara barat lebih disibukkan dengan upaya kompromistis untuk menekan ancaman-ancaman di Eropa yang terus meningkat, sehingga hanya Jerman dan Uni Soviet sajalah kekuatan dari pihak barat yang membantu perjuangan militer China secara signifikan. Tentara Nasionalis China — secara resmi dinamai sebagai Tentara Revolusioner Nasional Republik China — adalah raksasa di atas kertas, dengan secara teoritis memiliki personel sekitar 1,7 juta orang. Sayangnya, sebagian besar Tentara Cina terdiri dari petani semi-buta huruf, tidak terlatih, dan perlengkapannya buruk. Hanya sekitar 300.000 orang, sekitar 40 divisi, yang memiliki perlengkapan dan pelatihan yang memadai untuk bisa bertempur melawan Angkatan Darat Jepang yang terlatih. Dari jumlah tersebut, sekitar 80.000 adalah anggota dari “Generalissimo’s Own”.

Pasukan China dengan helm tempur model Jerman. Saat Perang China Jepang Kedua pecah tahun 1937, pasukan China umumnya memiliki perlengkapan yang buruk, pasukan yang dilengkapi dengan peralatan dan pelatihan ala Jerman adalah merupakan unit elit andalan Chiang Kai-Sek. (Sumber: http://www.chinaww2.com/)
Wilayah konsesi internasional di Shanghai jelang invasi Jepang tahun 1937. (Sumber: http://www.culture-shock-tours.com/)

Pada pertengahan 1930-an, Shanghai adalah kota terkaya, paling progresif, dan paling dekaden di Asia. Pusat dari kota ini didominasi oleh orang-orang asing, warisan dari sejarah masa lalu China yang bermasalah. Wilayah Konsesi Internasional ini diperintah oleh Dewan Kota yang didominasi orang-orang Inggris, para para pengusaha yang kepentingan utamanya terletak pada mendapatkan keuntungan. Wilayah Konsesi Prancis yang ada di dekatnya diperintah layaknya wilayah kolonial keluar-masuk Prancis dan umumnya bercorak khas Prancis. Sisanya, wilayah Greater Shanghai diperintah oleh pemerintah pusat bawahan Chiang. Ketika perang meletus, di Greater Shanghai-lah sebagian besar pertempuran terjadi. Wilayah Internasional dinilai strategis dalam keseluruhan rencana perang Chiang. Orang-orang Cina dapat menyerang garnisun Jepang di distrik Honkou Shanghai, yang kecil dan rentan. Keberhasilan militer China di depan Pemukiman Internasional itu akan menunjukkan kekuatan dan ketetapan China dalam menghadapi agresi Jepang. Bahkan ada kemungkinan setelah melihat hal ini, kekuatan barat, terutama Inggris Raya dan Amerika Serikat, akan campur tangan membantu atas nama China. Karena itu, Chiang mulai mengerahkan pasukan terbaiknya ke wilayah Shanghai. Segera, ada lebih dari 50.000 tentara China dalam posisi-posisi strategis disana. Kekhawatiran sementara itu mengekang komando tinggi Jepang; mereka tidak ingin ditarik ke wilayah China tengah ketika operasi di utara masih berjalan. Tapi orang-orang China, seperti yang diinginkan Chiang, telah memaksakan hal itu.

PERTEMPURAN SHANGHAI

Pada tanggal 12 Agustus, Kolonel Charles F.B. Price dari Resimen Marinir ke-4 AS bertemu dengan Konsul Jenderal Amerika, Clarence Gauss dan Brigadir Jenderal Alexander Telfer-Smollett asal Inggris, untuk membicarakan tentang krisis yang membayangi Shanghai. Pada saat yang sama, Dewan Kota Shanghai memobilisasi Korps Relawan Shanghai dan secara resmi meminta dukungan dari garnisun Inggris dan Amerika. Di bawah aturan lama, dengan nama kode Plan A, pasukan Inggris dari Shanghai Area Force dan marinir Amerika akan menjaga perimeter pertahanan di sepanjang perbatasan Pemukiman. Perbatasan Sungai Suzhou menjadi perhatian khusus, karena Zhabei, distrik Cina di luar, telah menjadi tempat pertempuran singkat namun berdarah pada tahun 1932. Karena permukaan air hanya satu atau dua kaki di bawah jalan-jalan Shanghai, parit pertahanan tidak dapat digali, dan jutaan karung pasir harus diangkut dengan truk ke daerah tersebut. Kawat berduri dipasang dan karung pasir ditumpuk untuk membentuk blok-blok pertahanan, tembok-tembok, dan tempat-tempat senapan mesin. Saat marinir dan tommies (sebutan tentara Inggris) berpindah ke posisinya, ribuan warga sipil China mengalir di atas jembatan yang membentang di Sungai Suzhou, mencari perlindungan dari bentrokan yang tak terhindarkan. Sementara itu, setelah perimeter itu ditempati, itu hanya masalah waktu saja, hingga mereka melihat tentara Jepang bermunculan. Penantian itu ternyata singkat. Sekitar jam 9 pagi pada tanggal 13 Agustus, pasukan China bertukar tembakan senjata ringan dengan unit-unit tentara Jepang. Jepang menanggapi dengan keras, dan Divisi ke-88 China membalasnya dengan serangan mortir berat. Kapal Armada Ketiga pimpinan Laksamana Jepang Kioshi Hasegawa, yang berada di stasiun di Sungai Yangtze dan Whangpoo, membuka serangan dengan gemuruh salvo tembakan meriam. Pertempuran Shanghai telah dimulai. 

Alexander Patrick Drummond Telfer-Smollett (Saat masih berpangkat Mayor). Ketika perang China vs Jepang pecah tahun 1937, Telfer-Smollett, yang telah berpangkat sebagai Brigadir Jenderal adalah komandan tentara Inggris di Shanghai, nantinya Telfer-Smollett akan berperan penting menentukan nasib tentara China yang mempertahankan gudang Sihang. (Sumber: https://www.iwm.org.uk/)
Tentara Jepang di tengah reruntuhan kota Shanghai, tahun 1937. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Sarang senapan mesin Tentara Revolusioner Nasional China di Shanghai. Dengan keunggulan persenjataan, tentara Jepang menimbulkan banyak korban diantara tentara China. Untuk beberapa unit, tingkat korban hingga 1.000 orang per jam bukanlah hal yang aneh. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pada tanggal 14 Agustus, China memulai serangan besar, dimana serangan ini dirancang untuk mendesak tentara Jepang ke Sungai Whangpoo. Mereka nyaris berhasil. Orang-orang Jepang yang kalah jumlah sebagian besar adalah berasal dari personel angkatan laut dan unit marinir dari Pasukan Pendarat Khusus Angkatan Laut. Sepertinya para samurai zaman modern ini akan dipermalukan di tangan orang-orang Cina yang mereka benci. (Jika sampai) dikalahkan dalam pertempuran, dan kekalahan itu disaksikan oleh kekuatan Barat, hal terlalu berat untuk ditanggung oleh orang-orang Jepang. Segera, bantuan besar-besaran dikirim. Tentara Ekspedisi Shanghai, di bawah pimpinan Jenderal Iwane Matsui, dikumpulkan dan segera dikirim ke wilayah China. Satuan ini adalah unit yang kuat, dibentuk di sekitar Divisi ke-3 dan ke-11 dan berjumlah sekitar 300.000 orang, 300 meriam, 200 pesawat, dan bantuan yang kuat dari Angkatan Laut Kekaisaran Jepang. Pasukan ekspedisi ini berhasil melakukan pendaratan amfibi di sepanjang pantai timur laut di Boashan dan tempat lain, dan dengan demikian memperpanjang garis depan pertempuran. Pertempuran sekarang meluas dari pusat kota Shanghai, menyusuri sepanjang Whangpoo, akhirnya berakhir di daerah pantai timur laut tempat sungai itu bermuara ke sungai Yangtze yang besar. Pasukan ekspedisi yang baru mendarat lalu membawa keseimbangan di medan perang yang berbalik menguntungkan Jepang. Karena front pertempuran sudah melebar, Chiang lalu terpaksa mengirim pasukan dari lokasi lain. Serangan tentara China, yang berada di ambang kesuksesan, terhenti. Efek dari persenjataan Jepang yang lebih unggul juga mulai terasa, terutama berasal dari tembakan artileri, tank, dan pemboman udara. Sepuluh tentara China kemudian tewas untuk setiap orang Jepang, tetapi orang-orang China menolak untuk dihancurkan. Untuk beberapa unit, tingkat korban hingga 1.000 orang per jam bukanlah hal yang aneh.

PERANG “ANTAR RAS”

Pertempuran Shanghai menjadi tempat pembantaian yang memakan banyak korban dan jalan buntu yang memunculkan kenangan akan pertempuran Verdun dan Somme. “Itu tidak lagi,” kata seorang saksi mata, “perang antar tentara, tapi antar ras. Dengan amarah yang memuncak, kedua pihak itu saling membunuh satu sama lain. ” Orang-orang Cina akan bertahan selama tiga bulan berikutnya, dan pertempuran itu menjadi sangat sengit di wilayah Zhabei, tepat di seberang Pemukiman Internasional. Pemukiman Internasional adalah semacam zona netral, di mana wartawan asing dapat mengamati pertempuran dari jarak yang relatif aman. Wartawan Amerika Emily Hahn dan teman-temannya akan pergi ke ruang menara di atas Hotel Cathay dan menyaksikan pertempuran sambil menyeruput koktail sebelum makan malam. Yang lain berkumpul di atas Park Hotel dan tempat-tempat lain seperti itu, untuk melihat tontonan, seolah-olah itu adalah kontes Empat Juli yang ditampikan bagi mereka. Meski demikian, para tamu diperingatkan untuk tidak pergi ke atap hotel karena pecahan peluru dan pecahan bom selalu memenuhi udara. Sementara itu, karena pihak China masih menguasai Nantao, di sisi lain Permukiman dan wilayah Konsesi Prancis. Ini disebabkan karena artileri Jepang khawatir mengambil risiko pecahnya insiden internasional dengan menembakkan peluru ke wilayah yang dikuasai pihak asing, yang berjarak sekitar empat mil. Penduduk permukiman menjadi terbiasa dengan suara tembakan peluru (yang sempat menakutkan mereka diawal perang) melewati atap mereka, yang oleh seorang wanita disamakan dengan suara lewatnya kereta barang. Pada akhir bulan Oktober, Tentara China telah kehabisan tenaga, tetapi kebuntuan di medan tempur terus berlanjut. Pihak Jepang kemudian memusatkan upaya mereka di Dachang, sebuah desa kecil enam mil barat laut Shanghai dan menjadi titik kunci dalam garis pertahanan pasukan China. Sekitar 700 senjata artileri Jepang membuka serangan, yang lalu diikuti oleh serangan udara besar-besaran dari 150 pesawat pembom. Hancur tanpa bisa dikenali, “desa ayam” kecil, yang dinamai demikian karena biasa memasok sebagian besar kebutuhan unggas di Shanghai, jatuh ke tangan musuh pada tanggal 25 Oktober.

Foto terkenal yang menunjukkan seorang anak yang terluka menangis ketika ibunya tewas dalam serangan udara yang dilakukan oleh tentara Jepang di stasiun kereta Shanghai selatan, Shanghai, China timur, 28 Agustus 1937. Perang China vs Jepang telah berkembang menjadi perang brutal antar kedua suku bangsa yang banyak menelan korban jiwa. (Sumber: http://www.china.org.cn/)
Tentara Jepang berpose di samping patung perunggu Sun Yat-sen di Shanghai. Kebrutalan tentara Jepang dalam menaklukkan Asia, khususnya China telah dikenal dunia, yang mana kebencian diantara orang-orang bangsa China masih membekas hingga kini. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

MEMBENTENGI POSISI PERTAHANAN AKHIR CHINA

Begitu ada pendobrakan di garis pertahanannya, posisi sayap pasukan China menjadi terbuka. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh pasukan China, selain mundur dengan teratur ke belakang, menuju ke tepi selatan Suzchou Creek secepat mungkin. Hal ini berarti pasukan China harus meninggalkan posisinya di Zhabei yang telah dipertahankan dengan darah dan tenaga yang begitu besar. Seluruh bagian dari distrik Zhabei kini berada dalam reruntuhan, dan jalanan berlubang-lubang oleh tembakan artileri serta bangunan yang tinggal kerangka berbau busuk akibat gabungan bau asap, kordite, dan mayat-mayat yang membusuk. Chiang Kai-shek, sebenarnya adalah seorang realis, tapi dia enggan meninggalkan Shanghai begitu saja. Dia tahu bahwa Konferensi Sembilan Negara Besar akan bersidang di Brussel pada tanggal 6 November, dan dia masih memiliki harapan bahwa kepentingan dari pihak Barat akan mendesak mereka, pada akhirnya untuk campur tangan di China. Oleh karena itu, pihak China harus menunjukkan bahwa mereka layak mendapat bantuan, jadi pengorbanan lain dari pasukannya harus dilakukan. Sebuah unit kemudian ditugaskan untuk bertahan selama mungkin, sekaligus menunjukkan keberanian tentara China dan mengulur waktu bagi pasukan utama agar bisa melarikan diri. Setelah mengambil keputusan, Chiang kemudian memerintahkan Jenderal Gu Zhutong untuk meninggalkan Divisi ke-88 sebagai unit penjaga di belakang. Gu menganggap ini adalah sebuah pemborosan yang mengerikan dari salah satu unit terbaik China, yang sebenarnya sudah dihancurkan oleh pertempuran selama tiga bulan. Jenderal Sun Yuanliang, komandan Divisi ke-88, juga tidak ingin melihat seluruh divisi dikorbankan bagi kebijaksanaan yang bermotif politik. Sun secara alami melindungi anak buahnya sendiri, sementara Gu juga memiliki keterikatan sentimental dengan divisi itu, karena merupakan mantan komandan satuan itu. Akhirnya disepakati bahwa satu resimen dari Divisi ke-88 akan ditinggalkan, sementara sisa personel divisi akan diizinkan untuk mundur dan berkumpul kembali. Meski begitu, Sun tetap tidak mau mengorbankan 1000 lebih prajurit untuk tujuan propaganda, dengan menyatakan bahwa hasil yang sama dapat dicapai tidak peduli berapa banyak orang yang dikorbankan, sehingga ia hanya mau mengerahkan satu batalion. Namun, sebuah batalion saja tidak cukup untuk membuat pertahanan berlapis secara mendalam, maka pertahanan tertutup dari satu titik kuat adalah satu-satunya pilihan.

Letnan Kolonel Xie Jinyuan yang mengajukan diri untuk memimpin pertahanan terkahir tentara China di gudang Sihang. (Sumber: https://alchetron.com/)

Tugas menyedihkan ini diberikan kepada Resimen ke-524, yang ditempatkan di dekat beberapa pertempuran terberat di sekitar Stasiun Kereta Api Utara. Letnan Kolonel Xie Jinyuan mengajukan diri untuk memimpin resimen dalam misi bunuh diri ini menggantikan Yang Ruifu. Siapa itu Xie Jinyuan? Xie adalah seorang prajurit yang punya jiwa patriotisme dan tanggung jawab tinggi. Meskipun lahir dari keluarga sederhana (ibunya adalah putri seorang nelayan), dia menunjukkan nilai akademis yang baik dan bersikeras untuk terus rajin belajar. Pendidikannya yang kebarat-baratan memperkenalkannya pada ide-ide patriotik dari Dr. Sun Yat-sen (孙中山 Sūn Zhōngshān). Tapi Xie kecewa ketika China masuk ke dalam era, dimana daerah-daerah terbagi dan diperintah oleh para panglima perang (Warlord). Di masa mudanya, is mendaftar di Akademi Militer Whampoa di Guangzhou (sekolah pelatihan perwira, dimana lulusannya akan menjadi komandan kunci di Nasionalis KMT dan CCP-Komunis), lulus tahun 1925 dalam bidang politik. Setelah lulus dia ditugaskan ke Resimen ke-5, Divisi ke-2 sebagai komandan peleton, dia kemudian dipromosikan menjadi komandan kompi. Dari tahun 1926, pangkatnya naik dalam jajaran Tentara Revolusioner Nasionalis, setelah menunjukkan keberaniannya selama upaya Ekspedisi penaklukan di wilayah China di Utara. Dia sempat terluka parah saat terjun dalam operasi militer pada tahun 1928 di Shandong. Setelah pulih dari luka-lukanya, ia mengambil komando batalion senapan mesin resimen dan kemudian dipromosikan menjadi mayor dan akhirnya dipindahkan ke markas besar di Wuhan sebagai perwira staf. Pada tahun 1931 ia ditugaskan dalam Divisi ke-78, Angkatan Darat ke-19, dan pada bulan Oktober ia dipindahkan ke Divisi ke-88 sebagai komandan batalyon Resimen Cadangan. Kemudian Jepang menyerbu. Xie mengambil bagian dalam pertempuran saat jepang menyerbu dari Timur. Dia mengambil bagian dalam apa yang disebut “Insiden tanggal 28 Januari”, sebuah pertempuran singkat di Shanghai pada tahun 1932, dimana dia sekali lagi memberikan contoh keberanian di medan perang, lalu dipromosikan menjadi Letnan Kolonel dan menjadi wakil komandan resimen. Pada Pertempuran Shanghai bulan Agustus 1937, dia telah menjadi seorang veteran Divisi ke-88 yang tangguh.

Peta posisi pertahanan di Gudang Sihang, 27 Okt-1 Nov 1937. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)

Di bulan akhir bulan Oktober, setelah beberapa perundingan yang dilakukan dengan tergesa-gesa, diputuskan bahwa Gudang Sihang akan menjadi tempat tempat pertahanan terakhir dari Resimen ke-524. Tempat itu, sebelumnya telah menjadi tempat usaha patungan oleh empat bank (dalam bahasa Cina “Sihang” berarti “Empat Bank”). Orang Barat menyebut tempat itu sebagai Chinese Mint Godown. Berada di atas sebidang tanah seluas 0,3-acre (1.200 m2), dengan luas 20.700 meter persegi (222.800 kaki persegi), panjangnya 64 meter (210 kaki) sedangkan lebarnya 54 meter (177 kaki), dan tingginya 25 meter (82 kaki), yang terbagi dalam 6 lantai, menjadikannya salah satu gedung tertinggi di daerah tersebut. Gudang ini, yang digunakan sebagai markas Divisi ke-88 sebelum pertempuran, telah diisi dengan makanan, peralatan P3K, peluru dan amunisi. Gudang ini adalah bangunan yang jelek namun sangat bermanfaat, karena dinding beton bertulangnya yang tebal sempurna untuk digunakan sebagai tempat pertahanan. Gudang itu tepat berada di tepi Suzchou Creek, jalur air berkelok-kelok yang memisahkan wilayah Shanghai Cina dari Pemukiman Internasional yang dikendalikan oleh orang-orang asing. Pasukan Inggris yang berlindung di balik pertahanan karung pasir mereka, lalu akan memiliki posisi pengamatan terbaik untuk menyaksikan pertempuran yang akan datang. Gudang itu berada di Jalan Tibet, yang berlanjut ke Permukiman Internasional di seberang Jembatan Lese Baru yang membentang di Suzchou Creek. Xie menempatkan pasukannya dengan hati-hati. Pertahanan sementara dibuat tepat di luar gedung gudang, yang sebagian besar terdiri dari karung pasir dan karung jagung, kacang-kacangan, dan barang-barang lain yang telah disimpan di sana. Kompi Pertama mengambil posisi di sebelah kiri, di sepanjang Jalan Tibet, sedangkan Kompi Ketiga ditempatkan di jalan di sebelah kanan, tepat di seberang gedung Komunikasi Bank. Sisanya, personel dari Kompi Kedua menyebar untuk melindungi tiga sisi gudang lainnya. Para prajurit batalion ini dipersenjatai dengan senapan Hanyang 88 (lisensi senapan Gewehr 88) atau senapan Chiang Kai-Sek (versi pendek lisensi senapan Gewehr 98) dengan masing-masing prajuritnya dibekali 300 butir peluru. Batalion ini menjelang pertempuran dibekali dengan dua peti granat, 27 senapan mesin ringan, yang sebagian besar adalah tipe ZB vz.26 buatan Ceko. Selain itu, pertahanan Batalion ini diperkuat oleh satu kompi senapan mesin sukarela, yang menyediakan satu-satunya senjata berat yang mereka miliki, yang terdiri dari 4 senapan mesin Maxim Type-24 (versi lisensi dari senapan mesin MG 08 buatan Jerman yang banyak dipakai dalam Perang Dunia I). Dua senapan mesin berat  ini ditempatkan di bagian atap, dan senapan mesin lainnya dibagikan di antara para pasukan yang ada di bawah.

Senapan Hanyang 88 (lisensi senapan Gewehr 88 asal Jerman) yang dipakai pasukan China. (Sumber: https://www.proxibid.com/)
Senapan Chiang Kai-Sek (versi pendek lisensi senapan Gewehr 98), yang diperkirakan turut digunakan pasukan batalion ke-1 dalam mempertahankan Gudang Sihang. Masing-masing prajurit dibekali dengan 300 butir peluru. (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Senapan mesin ringan ZB vz.26, termasuk dalam 27 senapan setipe yang digunakan dalam pertahanan di Gudang Sihang. (Sumber: https://twitter.com/)
4 senapan mesin berat Type 24 (lisensi dari Maxim-08 memberikan persenjataan berat satu-satunya bagi pasukan China yang mempertahankan gudang Sihang. (Sumber: https://laststandonzombieisland.com/)

Selain persenjataan, para prajurit batalion mengenakan helm Jerman type M1935, dan membawa masker gas serta kotak makanan. Para personel batalion ini sebagian besar adalah rekrutan baru dari provinsi Hubei, setelah bergabung dengan ketentaraan China Nasionalis dalam waktu tiga bulan terakhir sebagai tanggapan atas invasi Jepang pada bulan Juli. Komando Tentara Nasionalis jelas menyadari inferioritas jumlah personel dan daya tembak batalion ini, sehingga mereka dengan sengaja terus menyebut Batalyon ke-1 ini sebagai ‘Resimen ke-524’ untuk menyembunyikan kekuatan mereka sebenarnya. Secara militer gudang ini sendiri bukan posisi kunci bagi pasukan China Nasionalis yang mundur ke arah timur. Namun demikian dengan berada tepat di seberang sungai dari wilayah konsesi asing, bagaimanapun, berarti bahwa Gudang Sihang menawarkan Generalissimo Chiang Kai-Shek kesempatan unik untuk menunjukkan tekad China di depan mata internasional. Xie sendiri, sebagai komandan di Sihang, tampaknya telah menyiapkan dirinya untuk menjadi martir, berulang kali ia bersaksi bahwa dia akan bertarung sampai mati. “Gudang ini adalah posisi pertahanan terakhir kami, atau kuburan kami,” katanya kepada pasukannya sebelum pengepungan. “Selama kita memiliki satu orang saja, kita harus melawan musuh sampai akhir!”

JEPANG MELUNCURKAN SERANGAN PERTAMA MEREKA

Ketika Jepang menyadari bahwa musuh benar-benar mundur, mereka lalu dengan hati-hati menyelidiki ke garis depan. Pada pukul 1 siang pada tanggal 27 Oktober, elemen-elemen pendahulu Jepang dari divisi ke-3 (ironisnya kerap dijuluki sebagai “Lucky Division”/ Divisi yang beruntung) telah memasuki provinsi Zhabei dan mendekati area gudang. Para prajurit Jepang umumnya dipersenjatai dengan senapan Arisaka Type 38, senapan mesin ringan Type 11 dan Type 96. Saat unit perintis Jepang memasuki perimeter Batalyon ke-1, tentara China yang menunggu segera menembak sekitar 10 dari mereka dengan senapan copy Gewehr 88 dan Karabiner 98k asal Jerman yang cukup akurat. Sebuah peleton pengintai China kemudian mendekati pasukan Jepang yang sedang bergerak maju, hanya untuk dipaksa mundur oleh hujan tembakan senjata api dari seluruh kompi Jepang yang menyerang di sisi barat. Sebaliknya kompi Jepang ini kemudian segera bertemu dengan perlawanan yang kukuh dari Kompi Ketiga pasukan China. Pada satu titik, sekitar 70 tentara Jepang berlindung di sebuh posisi tersembunyi di barat daya gedung. Posisi itu memang tak kerlihat — tetapi hanya bagi para prajurit di bawah gedung. Hal ini tidak berlaku bagi tentara China yang ada di atap, dimana mereka bisa melihat sekelompok tentara Jepang itu dan melemparkan granat ke atas mereka. Tujuh tentara Jepang tewas dan 20-30 lainnya luka-luka akibat “hujan” yang mematikan ini. Kapten Shi Meihao, komandan Kompi Ketiga, ditembak di wajahnya selama pertempuran, tetapi menolak untuk melepaskan komandonya. Meskipun darah mengalir di wajahnya dan membasahi seragamnya, dia menolak untuk mundur sampai dia terluka lagi, kali ini di kaki. Serangan Jepang yang pertama gagal, tetapi sebelum pasukan China benar-benar menghentikannya, mereka sempat membakar bagian sudut barat laut gudang; meski tentara China berhasil memadamkan api tersebut. Sekitar jam 9 malam, Kolonel Xie, yang yakin tidak akan ada lagi serangan dari pihak Jepang, memerintahkan anak buahnya untuk memasak makan malam dan memperbaiki pertahanan. Dua orang tentara China tewas dan empat lainnya luka-luka, sementara di pihak Jepang yang tewas sekitar 20 orang dan yang luka-luka jumlahnya tidak diketahui. Pasukan China yang mempertahankan Sihang diketahui telah menghadapi Divisi ke-3 Jepang, yang dianggap sebagai salah satu yang terbaik dari Tentara Kekaisaran Jepang. Mereka juga memiliki regu mortir, artileri, dan lapis baja — kemungkinan tankette (tank mini) Type 94 Te-Ke. Pertempuran pada tanggal 27 Oktober itu hanyalah pembukaan dari simfoni kehancuran yang akan datang.

Senapan Arisaka Type 38, yang menjadi senapan standar pasukan Jepang saat menginvasi China tahun 1937. (Sumber: https://id.wikipedia.org/)
Senapan mesin ringan Type 11 Jepang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Senapan mesin ringan Type 96. (Sumber: https://guns.fandom.com/)
Dengan bayonet terpasang, sebuah unit pendaratan Jepang bergerak disamping dinding yang hancur saat maju ke posisi pasukan China di Zhabei. Serangan pertama pasukan Jepang di gudang Sihang pada tanggal 27 Oktober menemui kegagalan karena perlawanan gigih tentara China. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Pagi hari tanggal 28 Oktober, langit dipenuhi dengan dengung mesin pesawat yang keras — pesawat-pesawat pembom Jepang terbang di atas, tetapi setelah beberapa kali gagal melintas membuat serangan, mereka terpaksa kembali ke pangkalan mereka. Gudang Sihang dianggap terlalu dekat dengan wilayah Pemukiman Internasional, sehingga pemboman udara skala penuh dianggap berisiko. Hal yang paling ingin dihindari Jepang adalah memprovokasi negara-negara Barat dan menyebabkan konflik mereka dengan China berkembang menjadi insiden internasional. Orang Jepang juga sempat ingin menggunakan gas mustard, tetapi mereka diawasi terlalu ketat oleh wartawan Barat dan tentara Inggris untuk melakukan serangan semacam itu. Pagi itu, sebenarnya tidak ada warga sipil yang mengetahui adanya pertahanan terakhir pasukan China di gudang Sihang, hingga ketika seorang gadis pramuka bernama Yang Huimin melihat seorang tentara Inggris melemparkan sebungkus rokok ke Gudang Sihang dari pos pemeriksaan di wilayah konsesi internasional. Aksi tentara Inggris ini membuat Yang Huimin menjadi penasaran. Ketika tentara Inggris memberitahunya bahwa rokok itu dimaksudkan untuk diberikan kepada para pasukan China yang bertahan, Yang lalu meminta pasukan Inggris itu untuk mengikat catatan ke bungkus rokok berikutnya, menanyakan apakah pasukan China di Sihang membutuhkan perbekalan tambahan. Setelah menerima catatan balasan yang meminta amunisi dan makanan, gadis pramuka itu bergegas memberi tahu Kamar Dagang Shanghai. Berkat dia, semua surat kabar besar menerbitkan kisah pertahanan heroik tentara China yang sedang berlangsung itu di halaman depan surat kabar pada pagi hari tanggal 28 Oktober.

Yang Huimin, gadis pramuka yang berperan penting untuk menyebarkan pesan mengenai pertempuran Sihang ke berbagai media dan membawa bendera China Nasionalis bagi pasukan yang bertahan di Gudang Sihang. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Pada jam 8 pagi, Xie memeriksa pertahanan dan memberikan ceramah mendadak kepada anak buahnya. Dalam salah satu tur inspeksi diatas atap, sekelompok tentara Jepang terlihat merayap di sepanjang Sungai Suzhou. Xie menghentikan pengarahannya, mengambil senapan, dan membidik salah satu tentara musuh yang ada di kejauhan dari jarak sekitar 1 kilometer. Setelah mengamati gerakan lawannya sejenaj, dia menarik pelatuknya dengan mantap. Sedetik kemudian, seorang tentara Jepang jatuh tertelungkup dibawah reruntuhan. Sementara itu, pada hari kedua pengepungan di gudang Sihang ini, tentara Jepang yang menduduki gedung Komunikasi Bank melancarkan serangan besar-besaran di sisi barat. Senapan dan senapan mesin China memberondongkan timah panas ke gelombang pasukan Jepang berseragam coklat yang mendekat, tetapi tentara Jepang menolak untuk menyerah. Serangan itu akhirnya berhenti setelah berlangsung dua jam. Orang-orang Jepang hanya memperoleh sedikit dalam serangannya ini, tetapi berhasil memutus aliran air dan listrik ke kawasan gudang. Gudang itu sekarang diapit pasukan Jepang di tiga sisi, tetapi sisi keempat — sisi yang menghadap Suzchou Creek dan posisi pasukan British Royal Fusiliers berada di Permukiman Internasional — dibiarkan terbuka secara mencolok. Inggris juga tetap membuka Jembatan Lese Baru, yang merupakan jalan keluar yang memungkin untuk digunakan bagi tentara China yang terkepung. Ketika tentara Jepang mencoba merayap di sisi keempat, pasukan Inggris di tepi seberang menembakkan senapan Lee-Enfield mereka ke arah tentara Jepang. Orang-orang Jepang segera memahami pesan yang diberikan; mereka lalu mundur, dan membiarkan sisi keempat tetap terbuka. 

“BATALYON YANG HILANG” 

Biasanya ada lebih dari 1 juta penduduk China di Permukiman Internasional, tetapi jumlah mereka telah membengkak dengan tambahan ratusan ribu pengungsi. Pada saat yang sama berita tentang pertahanan terakhir yang heroik dari tentara China di gudang Sihang tersebar melalui laporan radio dan dari mulut ke mulut, selain lewat surat kabar. Segera, ribuan warga China biasa, yang dilindungi oleh kenetralan Pemukiman Internasional, dapat menyaksikan pertempuran yang terlihat di depan mata mereka. Ini kemudian menjadi semacam “acara olahraga yang aneh”, dengan penonton dari warga sipil China memadati tepi sungai Suzchou Creek untuk menyemangati para prajurit mereka yang bertahan. Kadang-kadang diperkirakan 30.000 orang Cina bergabung dengan tentara Inggris dan orang Barat lainnya untuk menonton pertempuran tersebut, yang hanya berjarak sekitar 70 meter dari wilayah konsesi internasional. Ketika orang banyak melihat gerakan dari pasukan Jepang, mereka akan menyampaikan informasi tersebut kepada para prajurit China di Sihang melalui karakter tulisan yang cukup besar untuk bisa dibaca dari kejauhan. Kapanpun tentara Jepang mengalami kemunduran atau pasukan China mendapatkan keunggulan sementara, sorakan keras akan meledak dari penonton yang menyaksikan. Tapi dukungan itu juga lebih dari sekedar yang terlihat. Pada malam hari, lebih dari 10 truk berisi perbekalan disumbangkan untuk membantu tentara-tentara China yang terkepung di gudang. Makanan, buah-buahan, pakaian, perkakas, dan bahkan surat-surat pribadi dikirimkan dengan mengandalkan perlindungan dari kegelapan malam. Xie juga mengatur dengan para perwira Inggris untuk mengevakuasi 10 prajuritnya yang terluka ke tempat aman dari Pemukiman Internasional. 

Bendera Republik China berkibar diatas atas Gudang Sihang selama pertempuran. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)
Marinir Jepang bersiap untuk melepaskan tembakan dengan senapan mesin pada posisi tentara Cina yang kalah jumlah di Gudang Sihang pada bulan Oktober 1937. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Pada pagi hari, Yang Huimin telah berperan penting dalam menyampaikan pesan bolak-balik antara garnisun di gudang yang dikepung dan Kamar Dagang Shanghai di Permukiman Internasional. Pada malam tanggal 28-29 Oktober, gadis muda pemberani itu membawa bendera nasional, lambang Republik China. Karena tidak ada tiang bendera, maka dua tiang bambu diikat untuk tujuan tersebut. Spanduk merah-biru lalu dikibarkan di atas atap gudang, sementara ribuan penonton China di seberang sungai bersorak dan berteriak, “Hidup Republik China!” Sementara itu, sebelum Yang kembali ke wilayah konsesi Internasional, dia bertanya kepada tentara China di Sihang apa rencana mereka. Jawaban mereka singkat dan jelas, yakni mereka akan mempertahankan gudang itu sampai mati. Pertempuran untuk mempertahankan Gudang Sihang kemudian berkembang menjadi pertempuran di dua medan — yakni di medan perang dan di hadapan opini publik. Jelas bahwa untuk sementara Jepang kalah dalam pertempuran memperebutkan gudang itu, bahkan ketika mereka memperoleh keunggulan di tempat lain. Wartawan asing, yang melihat peluang adanya sumber cerita bagus, berbondong-bondong menulis kisah pertempuran di Gudang Sihang, dengan melaporkan setiap detail. Pihak pers dengan meromantisasi pertempuran dengan menjuluki Resimen ke-524 sebagai “Batalyon yang Hilang”. Pagi itu, surat kabar memperkirakan jumlah pasukan yang bertahan dalam angka yang sangat berbeda, berkisar antara 150-800. Pada satu titik, Xie diminta untuk membuat daftar setiap nama personel di garnisunnya. Dengan cara itu, jika mereka tewas, nama mereka akan diingat. Tetapi Xie khawatir informasi itu pada akhirnya akan jatuh ke tangan Jepang. Kolonel yang cerdik itu lalu memberikan daftar nama personel resimen yang berasal dari masa awal perang, ketika resimennya berjumlah sekitar 800 personel. Agar nampak kuat, Xie memerintahkan korban yang dievakuasi untuk memberi tahu dunia luar dengan instruksi: “Ketika mereka bertanya kepada kamu berapa banyak dari pasukan kita yang mempertahankan Gudang Sihang, beri tahu mereka bahwa pasukan kita ada 800 orang. Jangan pernah biarkan mereka tahu, bahwa kita kami hanyalah sebuah batalion kecil – sebab musuh akan menyerang lebih ganas jika mereka tahu kita hanya sedikit”. Kenyataannya, Gudang Sihang hanya dijaga oleh 414 orang (dari kekuatan awalnya 452), termasuk 16 perwira. Ketika Laksamana Jepang Tadeo Honda diwawancarai oleh wartawan asing, dia dengan enggan menyebut tentara China itu “lebih atau kurang adalah para pahlawan”. Anehnya, semua saluran telepon ke gudang tetap utuh, dan prajurit-prajurit yang bertahan dapat menelepon kapan saja. Jepang kemudian mengeluarkan ultimatum: menyerah atau dimusnahkan. Xie sama sekali tidak terkesan. Dalam sebuah pesan kepada atasannya, Jenderal Sun, dia mengirim pesan radio dengan nada menantang: “Kematian adalah pertanyaan yang tidak penting. Pengorbanan hidup kita tidak akan sia-sia. ”

“MEREKA HARUS MATI AGAR CHINA BISA TETAP HIDUP” 

Marah dengan perlawanan pasukan China yang berkelanjutan dan terutama adanya upacara pengibaran bendera, pihak Jepang menetapkan pada tanggal 29 Oktober sebagai hari serangan habis-habisan. Mata dunia tertuju pada mereka, dan mereka sedang dalam proses kehilangan muka. Mereka lalu membuka dengan rentetan besar tembakan artileri ringan, meledakkan selongsong demi selongsong pelurunya ke sisi beton gudang. Segera, lubang-lubang bermunculan di dinding, membekas dan menghitam dengan asap dan bergerigi dengan tiang-tiang penguatnya yang bengkok. Puing-puing beton ada di mana-mana, dan udaranya dipenuhi dengan bau cordite dan debu. Sisi barat bangunan gudang itu tidak memiliki jendela, tetapi serangan peluru Jepang telah cukup membuat celah di dinding untuk memberikan lubang terbuka bagi tentara China yang bertahan. Pasukan Jepang, lalu mengirimkan pasukan infanteri, kemudian membawa juga tank-tank mini mereka. Pertempuran berkembang semakin sengit sehingga Kompi Ketiga China didesak mundur dari posisinya dan dipaksa masuk ke dalam gudang. Pasukan Infanteri Jepang lalu maju dengan membawa tangga, sebuah pemandangan yang aneh di zaman perang mekanis. Orang-orang China hanya perlu mendorong jatuh tangga itu atau menembaki musuh yang maju dengan senapan dan tembakan senapan mesin. Xie secara pribadi membantu, bertempur bersama anak buahnya. Ketika para prajurit Jepang yang membawa tangga mulai mendaki ke lantai 2, Xie merampas senapan dari seorang prajurit Jepang terdepan, mendesak para penyerang untuk keluar dari gedung, menembak orang Jepang kedua dan mendorong tangga mereka jatuh. Meski demikian, orang-orang Jepang kini tampaknya sudah ada di ambang kesuksesan mereka. Saat-saat kritis semacam ini nampaknya membutuhkan tindakan nekad, dan seorang prajurit China, Chen Shusheng yang berusia 21 tahun lalu membungkus dirinya dengan granat di sekitar tubuhnya dan melompat ke tengah-tengah sekelompok tentara Jepang, meledakkan granat dan membunuh dirinya sendiri beserta 20 orang musuhnya. Serangan Jepang lalu berhasil dipukul mundur. 

Diorama menunjukkan prajurit muda, Chen Shusheng berkorban dengan meledakkan bersama pasukan Jepang di Museum Sihang Warehouse. (Sumber: https://daydaynews.cc/)
Di tengah sengitnya pertempuran, Madame Chiang Kai-Sek menyatakan bahwa pengorbanan para prajurit di Gudang Sihang diperlukan bagi keberlangsungan bangsa China. (Sumber: https://fineartamerica.com/)
Gudang Sihang yang rusak dan berasap, selama pertempuran. (Sumber: https://warfarehistorynetwork.com/)

Semangat tentara China yang mempertahankan Sihang masih tinggi, namun bagi para pengamat asing di Pemukiman mereka sudah merasa cukup untuk bisa menyaksikan pertempuran. Peluru yang salah sasaran dan pecahan peluru mulai jatuh di tengah-tengah mereka, dan dengan pertempuran yang meningkat dari waktu ke waktu, dikhawatirkan pertempuran akan meluas ke wilayah pemukiman Internasional. Pihak Inggris lalu menawarkan untuk menengahi dua pihak yang bertempur dengan penyelesaian damai yang akan mengakhiri pengepungan gudang. Jenderal Telfer-Smollett adalah sosok kunci dalam negosiasi yang rumit, tetapi dia menganggap proposalnya sulit diterima oleh kedua pihak. Pihak otoritas China dengan tegas menolak untuk menarik prajurit-prajuritnya itu. Nyonya Chiang Kai-shek, yang berpendidikan Amerika dan punya kedudukan kuat di dalam pemerintah China, berkata dengan dingin, “Mereka harus mati agar China dapat hidup.” Retorika “kemenangan atau kematian” ini mengejutkan dan membuat cemas para pengamat Barat. Pertempuran dibuka lagi pada dini hari tanggal 30 Oktober. Kali ini Jepang tidak akan menyia-nyiakan pasukan infanterinya yang berharga dalam serangan frontal langsung — mereka akan menghantam habis “batalion yang hilang” itu agar menyerah dengan serangan artileri. Baterai artileri Jepang dibuka sekitar jam 7 pagi dan terus menembak sepanjang hari. Pada intensitas terbesarnya, peluru-peluru artileri terus datang secara harfiah setiap detiknya, yang menghasilkan hiruk-pikuk yang menghancurkan saraf dan membuat gendang telinga mati rasa. Malam tiba, tetapi serangan artileri terus berlanjut tanpa henti. Lampu sorot Jepang menyeruak di langit, mengarah menyoroti gudang yang hancur itu untuk memberikan pandangan kearah target yang lebih baik kepada penembak artileri. Sementara itu pasukan China bertahan dengan keras, dibantu oleh tembok beton yang tebal dan keengganan pasukan Jepang untuk menggunakan artileri berat atau bom. Tampaknya kisah keberanian pasukan China ini, bukan hanya sekedar mitos. “Sangatlah penting untuk diketahui bahwa melarikan melintasi Sungai Suzhou (bagi pasukan China di gudang Sihang) bukanlah hal yang mustahil,” kata Peter Harmsen, penulis buku laris Shanghai 1937: Stalingrad in Yangtze, “tapi tidak ada bukti bahwa ada pasukan China (di Sihang) yang meninggalkan pertempuran sebelum waktunya. ”

PENARIKAN MUNDUR DIBAWAH TEMBAKAN PERLINDUNGAN INGGRIS

Di balik layar, Telfer-Smollett masih berusaha meyakinkan Chiang Kai-shek untuk membiarkan prajurit-prajuritnya untuk mundur dari Gudang Sihang. Generalissimo akhirnya setuju. Pasukan utamanya telah berhasil ditarik, dan pertahanan heroik dari pasukan di gudang Sihang telah cukup menunjukkan keberanian China dimata dunia. Toh secara militer gudang itu tidak memiliki nilai taktis, sehingga prajurit China tidak perlu bertarung sampai orang terakhir. Komandan Jepang, Jenderal Iwane Matsui (yang nantinya akan berperan dalam aksi keji tentara Jepang di Nanking), juga menyetujui kesepakatan yang berkembang, yang akan memungkinkan tentara China di Sihang mundur ke Permukiman Internasional melalui Jembatan Lese Baru. Akan ada gencatan senjata dan penghentian tembak menembak selama penarikan itu, yang akan dimulai pada tengah malam tanggal 1 November. Sayangnya proses penarikan berikutnya dirusak oleh itikad buruk dari pihak Jepang. Ketika tentara-tentara China di Sihang meninggalkan gudang dan menyeberangi jembatan, tentara Jepang tiba-tiba membuka tembakan senapan mesin dan artileri, menyapu jembatan dengan hujan timah dan memaksa orang Cina berlari melalui hujan tembakan. Hal ini dianggap sudah kelewatan bagi personel Royal Fusiliers Inggris, yang ada di pertahanan karung pasir melindungi sisi Pemukiman dekat jembatan. Para “tommies” Inggris secara emosional berada di pihak China, dan juga sudah kesal dengan tembakan Jepang yang kerap salah sasaran tanpa ada kesempatan untuk membela diri. Empat tentara Inggris telah terbunuh dan enam lainnya terluka oleh peluru nyasar Jepang. Pasukan Inggris kemudian memberi tembakan perlindungan kepada tentara China, meskipun hal ini sangat bertentangan dengan perintah dan melanggar kenetralan mereka. Salah seorang perwira di batalion pertama, Yang Weifu menulis, “Tentara Jepang menerangi jalan Tibet dengan lampu sorot dan menghujani penyeberangan tentara kami dengan senapan mesin. Sekitar pukul 10, daya tembak mereka makin diintensifkan dengan tembakan mendatar dan mortir parit yang menghantam sekali tiap detik di puncak pertempuran. ” Tembakan senapan mesin Jepang akhirnya bisa dihentikan oleh peluru-peluru Inggris, dan Xie serta 376 anak buahnya berhasil mengundurkan diri dengan sukses. Telfer-Smollett yang telah berlindung di belakang Bank China selama proses penarikan, sekarang menyapa “para pahlawan” saat mereka menyeberang ke Permukiman Internasional. Xie adalah orang terakhir yang meninggalkan gudang dan yang terakhir menyeberangi jembatan menuju tempat yang aman. Air mata mengalir di pipinya saat dia menerima penghargaan dari tentara Inggris. Dia tidak ingin pergi sama sekali dari Sihang, dan ia hanya melakukannya di bawah perintah. Telfer-Smollett, yang diliputi emosi, lalu berseru, “Saya belum pernah melihat yang lebih hebat!” Dalam pertempuran di Gudang Sihang, pasukan China berhasil menewaskan lebih dari 200 tentara Jepang dan melukai banyak lainnya (kemungkinan sekitar 1.000 lebih), dengan “hanya” kehilangan 10 personelnya gugur dan 37 lainnya luka-luka.

Setelah bertempur habis-habisan selama 4 hari, pasukan China yang mempertahankan gudang Sihang ditarik mundur ke wilayah konsesi internasional pada tanggal 1 November 1937. (Sumber: https://www.theworldofchinese.com/)

NASIB TRAGIS DARI “BATALYON YANG HILANG” 

Sementara itu setelah upaya curang mereka gagal, pihak Jepang dengan cepat membalas dendam lewat perjanjian yang dibuat. “Batalyon yang hilang” sama sekali tidak akan diizinkan mundur melalui Pemukiman Internasional dan bergabung kembali dengan pasukan China lainnya. Jepang hanya akan setuju jika tentara China itu pergi sebagai pengungsi, dengan meninggalkan semua senjatanya, termasuk senapan mesin ringan dan berat yang mereka bawa. Xie dengan tegas menolak. Sebaliknya, anggota batalion ini lalu dilucuti secara paksa dan diinternir oleh Dewan Kota Inggris, yang akan berlangsung hingga 4 tahun saat Perang Pasifik pecah.  Hal ini dirasakan para anggota Batalion itu sebagai sebuah pengkhianatan. Toh tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh otoritas di Pemukiman Internasional, karena pada saat itu sekitar 300.000 tentara Jepang benar-benar telah mengepung daerah kantong orang-orang asing itu, dan ancaman invasi sudah sangat nyata. Jepang kemudian menghadapi kemarahan diplomatik pada minggu berikutnya, dan menolak menghadiri Konferensi Sembilan Negara Besar serta mengklaim bahwa sejumlah makanan segar ditemukan di Gudang Sihang setelah pengepungan. Ini, kata mereka, adalah bukti bahwa Telfer-Smollett dan Inggris diam-diam membantu pihak China. Inggris segera menepis tuduhan tersebut, tetapi hubungan Jepang dengan Inggris dan Amerika Serikat terus memburuk. Sebuah pemerintah kolaborator China lalu didirikan di Shanghai, dan pada tanggal 25 April 1941 pukul 5 pagi, Xie dibunuh dengan ditusuk oleh anak buahnya, Sersan He Dingcheng dan 3 personel lainnya yang bertindak sebagai agen pemerintahan baru. Berduka atas kehilangan tragis seorang pahlawan mereka, sebanyak 215.000 warga sipil kemudian datang untuk memberikan penghormatan baginya selama tiga hari. Chiang Kai-shek lalu menganugerahi Xie dengan pangkat Brigadir Jenderal (Anumerta). Setelah perang, sebuah sekolah dasar diberi nama ulang sesuai namanya untuk menghormati kepahlawanannya.

Xie Jinyuan bersama pasukannya. Pada tahun 1941, Xie dibunuh oleh anak buahnya yang menjadi kolaborator pemerintah pro Jepang, sedangkan sisa prajuritnya yang bertempur bersamanya di Sihang harus menjalani internir 4 tahun di wilayah konsesi internasional dan dilanjutkan dengan penahanan oleh tentara Jepang hingga akhir Perang Dunia II. (Sumber: https://twitter.com/)

Wartawan Amerika, Edgar Snow menulis tentang Pertempuran di gudang Sihang di Shanghai “seperti pertempuran Gettysburg terjadi di Kawasan Harlem, sementara seluruh warga wilayah Manhattan tetap menjadi penonton yang tidak turut berperang”. Memang, benar di depan mata orang-orang barat itu adalah pertahanan yang gagah berani. Chiang sendiri telah mencapai tujuan propagandanya, memenangkan kesadaran global tentang perjuangan China sebagai imbalan atas drama emosional yang diperoleh dengan darah dan keringat para prajuritnya. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Bantuan internasional ke China yang sangat dibutuhkan dan diharapkan Chiang dari kekuatan asing lainnya tidak datang dalam jumlah signifikan, selain bantuan terbatas yang diberikan Uni Soviet, terutama kepada kelompok Komunis China. Setelah pertempuran di Gudang Sihang, China masih harus menunggu sampai tahun 1941, ketika Jepang menyerang Pearl Harbor dan menyatakan perang terhadap Inggris dan Amerika Serikat, sebelum bantuan Barat dalam jumlah yang berarti tiba. Sampai saat itu, China harus berperang sendirian. Sementara itu, di kamp interniran mereka, para veteran pertempuran Gudang Sihang  secara rutin selama 4 tahun mengibarkan bendera mereka dan menyanyikan lagu kebangsaan mereka setiap pagi, sedangkan warga sipil bebas mengunjungi para pahlawan mereka.

Lukisan yang menggambarkan gudang Sihang di tengah pertempuran sengit di akhir bulan Oktober 1937. Pertempuran ini memang menarik perhatian internasional, namun bantuan signifikan dari negara-negara sekutu yang diharapkan Chiang Kai-Sek tidak kunjung datang hingga Pasifik pecah tahun 1941. Hingga saat itu, China praktis harus berperang sendirian. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Penahanan ini berakhir, ketika Jepang, mengikuti serangan yang terjadi di Pearl Harbor, akhirnya menyerbu wilayah konsesi internasional dan menahan orang-orang itu, serta mengirim banyak dari mereka ke kamp kerja paksa atau penjara. Mereka yang tidak beruntung dikirim ke Hangzhou dan Xiaolingwei untuk menjalani kerja paksa. Sebagian dari kelompok yang dikirim ke Xiaolingwei melarikan diri, dan beberapa bisa bergabung kembali dengan pasukan China Nasionalis di Chongqing. Tiga puluh enam perwira dan tentara diketahui sempat dikirim ke Papua Nugini untuk melakukan kerja paksa, dan pada tahun 1945 ketika perang berbalik menjadi tidak menguntungkan Jepang, mereka berhasil menaklukkan para penahannya dan gantian menawan para tentara Jepang. Ketika Perang Saudara China meletus, banyak dari veteran yang telah kembali ke pekerjaan sipil. Belakangan, banyak perwira dan beberapa mantan tentara, termasuk Gadis Pramuka Yang Huimin, mundur ke Taiwan bersama pemerintah Kuomintang, setelah pasukan komunis pimpinan Mao memenangkan perang saudara. Yang Huimin kemudian menikah dengan profesor pendidikan jasmani Universitas Nasional Taiwan, Zhu Chongming (朱 重 明) dan memiliki dua putra, Zhu Fugui (朱 復 圭) dan Zhu Fuhong (朱 復 轟). Di sana Huimin, bekerja sebagai guru pendidikan jasmani di Taipei. Uniknya, anak-anak lelakinya tidak menyadari aksi ibunya semasa perang, hingga mereka mempelajari perannya dalam pelajaran sekolah dasar. Yang Huimin meninggal karena stroke pada tanggal 9 Maret 1992 pada usia 78 tahun. Keterlibatannya dalam pertahanan Gudang Sihang ditampilkan dalam film Taiwan tahun 1976, “Eight Hundred Heroes” yang dibintangi oleh aktris terkenal Taiwan, Brigitte Lin, sedangkan pada film versi tahun 2020, Yang diperankan oleh Tang Yixin.

Yang Huimin dan aktris Taiwan, Brigitte Lin yang memerankannya dalam film “Eight Hundred Heroes’ (1976). Setelah China jatuh ke tangan komunis, Yang mengungsi ke Taiwan bersama dengan pemerintahan Chiang Kai-Sek. (Sumber: https://taiwantoday.tw/)
Poster Film The Eight Hundred (八佰 bā bǎi) tahun 2020. Kemunculan film ini menandangan perubahan sikap pemerintah China dalam memandang pengorbanan pasukan China nasionalis saat melawan Jepang. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Terlepas dari semua pengorbanan, pengkhianatan, dan tragedi, keberanian yang ditunjukkan oleh para prajurit Batalyon ke-1 telah memampukan mereka menyelesaikan untuk misi di Sihang. Mereka mempertahankan gudang dengan kemampuan taktis yang brilian, sambil mengumpulkan semua perhatian internasional yang mungkin mereka dapat dari Barat yang sangat enggan turut campur membantu China. Meskipun bantuan itu tidak akan datang selama 4 tahun kemudian, aksi membuktikan bahwa bangsa China akan terus berjuang, tidak peduli berapa biaya yang harus dibayar dalam mencapai kemenangan. Dan untuk ini, orang China akan selamanya bersyukur memiliki putra-putra bangsa mereka yang berani seperti para personel dari batalion ke-1, resimen ke-524, divisi ke-88. Sementara itu, selepas China jatuh ke tangan komunis pada tahun 1949, hanya ada “sedikit ruang penghormatan untuk kisah kepahlawanan para prajurit China nasionalis dalam mitologi Perang Dunia Kedua ala Mao, yang mana kepahlawanan era itu dimonopoli hanya bagi para pejuang Komunis. Makam Xie di Shanghai dinodai selama Revolusi Kebudayaan, dan veteran pertempuran Gudang Sihang dihukum secara brutal karena peran mereka yang dianggap sebagai kontra-revolusi. Tapi sejak 1980-an, nama mereka mulai direhabilitasi. Kementerian Urusan Sipil secara resmi menjadikan Xie sebagai martir perang pada tahun 2015. Tahun 2020 telah dirilis film The Eight Hundred (八佰 bā bǎi) yang sangat populer, sebuah cerita kepahlawanan tentang pengepungan itu, yang telah menghasilkan 2.4 miliar yuan ($ 350 juta) sejak dirilis beberapa bulan lalu.

Bekas Gudang Sihang yang kini dijadikan museum di Shanghai. (Sumber: https://www.warhistoryonline.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Chinese Alamo: Last Stand at Sihang Warehouse by Eric Niderost

Shanghai’s Last Stand – The ‘800 Heroes’ of Sihang Warehouse by Norton Yeung

https://www.google.com/amp/s/www.warhistoryonline.com/guest-bloggers/shanghais-last-stand-800-heroes-sihang-warehouse.html/amp

Xie Jinyuan and his 800 heroes: Foot soldiers of modern Chinese nationalism by Alex Colville

https://www.google.com/amp/s/supchina.com/2020/09/14/xie-jinyuan-and-his-800-heroes/amp/

Xie Jinyuan; The hero of Sihang Warehouse by warhammergrimace

https://www.google.com/amp/s/musketswordpaint.wordpress.com/2020/02/05/xie-jinyuan-the-hero-of-sihang-warehouse/amp/

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Yang_Huimin

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Defense_of_Sihang_Warehouse

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *