Perang Vietnam

Dari Filipina ke Vietnam dan Iran: Arthur “Bull” Simons, Legenda Pasukan Khusus, Yang Jarang Dikenal

“Jika sejarah adalah guru, sejarah mengajarkan bahwa ketika Anda bersikap acuh tak acuh dan kehilangan keinginan untuk bertempur, orang lain yang memiliki keinginan untuk bertempur akan mengalahkan Anda.” “Kami akan menyelamatkan 70 tawanan perang Amerika, mungkin lebih, dari sebuah kamp bernama Son Tay. Ini adalah sesuatu yang berhak diharapkan oleh para tahanan Amerika dari sesama prajurit mereka.” – Kolonel Arthur D. “Bull” Simons, AS (Purn.)

Arthur “Bull” Simons. Simons pernah digambarkan oleh aktor John Wayne yang mengaguminya, sebagai seseorang yang memainkan “peran yang saya mainkan di film” dalam kehidupan nyata. (Sumber: https://pbs.twimg.com/)

Pada tanggal 21 Mei 1979, salah satu legenda sejati Pasukan Khusus Amerika (US Special Force (SF)/Green Beret/Baret Hijau) meninggal sebelum waktunya. Arthur “Bull” Simons meninggal pada usia 60 tahun dan dimakamkan di Pemakaman Nasional Barrancas di Pensacola, Florida. Simons pernah digambarkan oleh aktor John Wayne yang mengaguminya, sebagai seseorang yang memainkan “peran yang saya mainkan di film” dalam kehidupan nyata. Dia adalah salah satu komandan SF terbaik yang pernah bertugas tetapi tidak pernah mencapai pangkat Jenderal karena dia tidak memenuhi prasyarat pendidikan dan hal itu menghambatnya. Simons naik pangkat menjadi Kolonel dan meskipun ia terlibat dalam tiga misi penyelamatan terkenal yang telah didokumentasikan dengan sangat baik, hanya sedikit tulisan mengenai Simons yang merupakan tipe prajurit “Profesional Pendiam” yang klasik dalam karir militernya yang panjang. Jadi siapakah “Bull” Simons?

KEHIDUPAN & KARIR AWAL

Kata “legendaris” cukup sering digunakan untuk menggambarkan orang-orang di pasukan operasi khusus (SOF), karena bakat luar biasa dari mereka yang membentuk unit SOF. Namun ketika para operator dari seluruh dunia berkumpul, dan berbagi kenangan mereka tentang personel peperangan khusus terbaik dan paling berbakat yang pernah mengenakan seragam tersebut, selalu ada cerita tentang Kolonel Arthur David Simons. Dikenal oleh teman-teman dan rekan-rekannya sebagai “bull,” julukan itu mengacu pada penampilannya yang kasar dan juga kepribadian dan semangatnya yang teguh. Nama panggilan “Bull” juga diambil dari permainan latihan fisik yang disebut “lubang banteng”, di mana seorang Prajurit turun ke dalam lubang di tanah, dan Prajurit lainnya berusaha menarik Prajurit pertama dari lubang tersebut. Perawakan fisik Simon yang besar dan kekuatan yang besar (bahkan di usia lima puluhan, dia bisa melakukan 250 push-up setiap hari) membuatnya menjadi tantangan berat untuk bisa dikeluarkan dari lubang, dan dengan demikian nama “Bull” melekat. Simons juga memiliki hasrat khusus, yang terus ditunjukkan melalui tindakannya, yakni: menyelamatkan orang. Ternyata, itu adalah hasrat yang akan dia bagikan kepada orang lain, termasuk salah satu sahabatnya yang terbaik dan paling dekat dengannya, miliarder asal Texas H. Ross Perot. Perot, yang selalu menjadi pendukung militer AS, hanyalah salah satu dari mereka yang memiliki kenangan khusus tentang Bull Simons. Pamela Meadows, Ph.D., janda ikon Pasukan Khusus A.S lainnya, Kapten Richard “Dick” Meadows, (Purn.). Keduanya telah berbaik hati membagikan beberapa kenangan pribadi mereka tentang Simons dalam The Year in Special Operations

Simons bahkan di usia lima puluhan, dia bisa melakukan 250 push-up setiap hari. (Sumber: http://veterantributes.org/)
Howitzer kompak kaliber 105mm diangkut diatas Bagal. Unit artileri Simons adalah unit terakhir yang mengandalkan transportasi menggunakan bagal secara ekstensif. (Sumber: https://gallery.commandoveterans.org/)

Simons lahir di New York City pada tahun 1918 tetapi pada usia dini ia pindah ke Missouri dan kuliah di Universitas Missouri – Columbia dan lulus dengan gelar Jurnalisme yang menarik karena di kemudian hari, ia mengembangkan rasa benci terhadap jurnalis, yang menurutnya telah melakukan tindakan yang sangat merugikan para prajurit Amerika. Simons bergabung dengan ROTC (Reserve Officers Training Corps/Korps Pelatihan Perwira Cadangan) Angkatan Darat pada tahun 1937 dan lulus pada tahun 1941. Dia juga bertemu istrinya Lucille di perguruan tinggi dan mereka tetap menikah selama 37 tahun sampai istrinya “Lou” meninggal karena kanker pada tahun 1978. Keduanya dikaruniai dua putra, bernama Bruce dan Harry. Penugasan pertamanya adalah di Batalyon Artileri Lapangan ke-98 sebagai pemimpin pleton berpangkat Letnan Dua. Unit Artileri Lapangan ke-98 adalah unit terakhir yang mengandalkan transportasi menggunakan bagal secara ekstensif (347 bagal digunakan untuk membawa Howitzer kompak M1 kaliber 75mm, senjata artileri Amerika paling ringan dalam Perang Dunia II) dan Simons adalah seorang tidak bahagia ditempatkan di sana. Simons begitu pendiam dan berhati-hati (dia kemudian mengatakan dia ingin belajar dari para sersan-nya yang tampaknya mengetahui tugas mereka dengan baik) sehingga salah satu sersannya percaya bahwa Simons adalah seorang yang bisu. 

RANGER DALAM PERANG DUNIA II

Unit Simons kemudian dikirim ke Australia, tetapi segera dialihkan ke New Guinea pada tahap awal Perang Dunia II, dan Simons dengan cepat beradaptasi di lingkungan hutan yang keras. Dia kemudian segera dipromosikan menjadi Kapten dan menjabat sebagai Komandan Baterai di batalion tersebut dari tahun 1942-43. Simons mengomandani salah satu baterai dari 6 unit baterai di satuannya. Saat Simons mengetahui bahwa batalion Ranger ke-6 yang baru dibentuk membutuhkan senjata artileri yang kompak, ia membawa baterainya menginduk ke satuan baru ini. Di sini Simons baru benar-benar menemukan dirinya sebagai seorang prajurit, ketika baterainya menjadi bagian dari Batalyon Ranger ke-6 yang terkenal, di bawah pimpinan Letkol Henry A. “Hank” Mucci. Bagal itu sendiri tidak terbukti cocok di hutan, dan unit tersebut dibubarkan pada tahun 1943. Ketika unitnya dibubarkan, unit tersebut menjadi bagian dari Batalyon Ranger ke-6. Simons lalu menjadi Komandan Kompi B (Baker) dan kemudian XO Batalyon. Salah satu misi pertamanya di Rangers adalah meledakkan stasiun radio Jepang. Kisah misi tersebut diceritakan oleh H. Ross Perot kepada John Gresham dalam artikel “The Year in Special Operations 2010 – 2011“. “Mereka mengirim dia bersama tim Rangers ke sebuah pulau untuk menghancurkan menara radio Jepang,” kata Perot. “Mereka berlayar dengan kapal selam pada malam hari, muncul ke permukaan, dan mendarat dengan rakit karet. Mereka kemudian menyimpan rakit-rakit tersebut di hutan berkanopi rangkap tiga, dan kemudian dengan gaya klasik Simons, dia melakukan banyak pengintaian di stasiun radio sendirian, dan menahan anak buahnya di dalam hutan. Dia mendeteksi total ada 16 personel musuh di base camp, dengan satu orang yang bertugas sepanjang waktu. Dia tidak pernah mengatakan kepada anak buahnya bahwa mereka harus makan apa pun yang mereka temukan di hutan, dan mereka berada di sana selama lebih dari 30 hari, sementara dia menunggu kondisi yang tepat untuk melakukan serangan. “Akhirnya, suatu malam mereka mengalami hujan badai. Simons tahu dari pengamatannya bahwa para penjaga itu tidak pernah melihat ke bawah tebing. Jadi dia memanjat tebing dengan bahan peledak di punggungnya dan pisau saat badai terjadi, mengejutkan penjaga tersebut, membunuhnya dengan pisau, dan mengambil senapan penjaga itu, pergi ke barak tentara Jepang dan menembak 15 tentara Jepang lainnya di dalamnya ditengah tidur mereka. 

Letkol Henry A. “Hank” Mucci, komandan Batalyon Ranger ke-6, dimana Simons bergabung setelah meninggalkan unit artileri. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Operasi penyelamatan tawanan di Penjara Cabanatuan. Simons dianugerahi medali Silver Star atas kepahlawanannya dalam operasi itu. (Sumber: https://www.pinterest.co.uk/)

“Dia menceritakan kisah ini kepada saya di depan seorang wanita baik hati yang menjawab, ‘… (Apakah) Dia menembak mereka saat mereka tidur?’ Dia mengatakan kepada wanita itu, ‘Nyonya, ketika Anda sedang bertempur, Anda tidak membangunkan musuh Anda dan berkata , “Ayo bertarung!”’ Setelah semua tentara Jepang di barak tewas, dia kembali ke luar, meledakkan menara radio secara pribadi, dan lalu mengirimkan satu sinyal lagi kepada pasukannya bahwa pekerjaannya telah selesai, jadi dia menyalakan cerutunya! Dia adalah seorang penggemar berat cerutu yang berat! Bull kemudian berjalan menuruni lereng gunung, di mana anak buahnya bertemu dengannya di hutan, mereka lalu berjalan mengelilingi gunung sepenuhnya. Mereka kemudian memanggil kapal selam itu kembali, dan membawa rakit karet itu kembali ke kapal selam untuk pulang.” Bersama personel Rangers ke-6 lainnya, Simons mengambil bagian dalam pendaratan Filipina di Teluk Leyte dan Lingayen. Simons berpartisipasi dalam beberapa pendaratan berbahaya bersama pasukan Rangers di Pasifik. Dia memimpin tim zeni dan personel Angkatan Laut yang ditugaskan untuk membersihkan ranjau di Leyte, 3 hari sebelum invasi di pulau itu dimulai dengan sungguh-sungguh. Setelah invasi Filipina, di pulau Luzon, dia terlibat dalam penyerangan terhadap kamp Tawanan Perang di Cabanatuan. Batalyon Ranger ke-6 berhasil membebaskan hampir 500 tawanan perang (yang sebagian besar merupakan penyintas dari Bataan Death March) dan 33 warga sipil yang ditahan Jepang sejak jatuhnya Bataan. Dalam melakukan penyelamatan, RangersAlamo Scouts, dan gerilyawan Filipina membunuh 523 tentara Jepang dengan hanya kehilangan 2 prajurit Rangers dan satu POW yang meninggal karena serangan jantung selama penyerangan. Simons dianugerahi medali Silver Star atas kepahlawanannya dalam operasi itu. Namun yang paling penting bagi Simons, Serangan ke Cabanatuan tampaknya telah mengkristalkan gagasannya bahwa penyelamatan adalah bagian dari misi peperangan khusus yang solid. Sementara itu Simons dengan cepat naik pangkat menjadi Mayor dan terus membuktikan kemampuannya sebagai pemimpin tempur.

KARIR SELAMA JEDA PERANG

Simons kemudian dipisahkan dari Angkatan Darat setelah Perang Dunia II dan mendapat istirahat dari dinas militer selama lima tahun. Namun dia dipanggil kembali ke Angkatan Darat selama Perang Korea. Dia ditugaskan untuk melatih pasukan Rangers di Eglin AFB dalam peperangan hutan dan amfibi. Ia juga sempat menggunakan gelar jurnalistiknya untuk bekerja sebagai perwira urusan masyarakat, meskipun cinta pertamanya selalu di arena peperangan khusus. Simons saat itu bertugas singkat sebagai PAO (Public Affairs Officer) di Ft. Bragg, NC, sebuah pekerjaan yang dia benci (dia mempunyai opini rendah terhadap media, yang akan terbukti di tahun-tahun berikutnya dan ketika ditugaskan. “Pers tidak memberikan efek yang baik untuk tentara Amerika,” komentarnya kemudian). Simons kemudian menyelesaikan tur dengan Kelompok Penasihat Bantuan Militer di Turki dan Korps Lintas Udara ke-XVIII sebelum dia bergabung dengan Pasukan Khusus (SF) pada tahun 1957. Dia ditugaskan ke Grup Pasukan Khusus ke-77, yang kemudian berganti nama menjadi Grup ke-7. Pada tahun 1960 ia menjabat sebagai Wakil Komandan/Kepala Staf Pusat Peperangan Khusus Angkatan Darat AS. Pada tahun 1961, Simons dipromosikan menjadi letnan kolonel dan dengan konflik di Asia Tenggara yang akan segera terjadi, ia pergi ke Laos untuk memimpin Tim Pelatihan Bergerak yang beranggotakan 107 orang sebagai bagian dari Operasi White Star

Simons bergabung dengan Pasukan Khusus (SF) pada tahun 1957. (Sumber: https://m.facebook.com/)
Penasehat Amerika melatih tentara Laos. Ketika pemerintah Laos tidak bisa menyediakan personel, Simons mencari sendiri pasukan yang akan ia latih. (Sumber: https://sofrep.com/)

Di Laos, penampilan Simons menyerupai aktor Telly Savalas, kecuali Simons memiliki selapis tipis rambut. Selain itu, “Bull” Simons tidak berakting “serius”, karena apa yang dilakukannya benar-benar “serius”. Seorang perwira yang bertugas dua kali dibawahnya di Laos menggambarkan Simons sebagai, “satu-satunya orang yang saya kenal benar-benar membenci beberapa orang.” Namun dibalik sosoknya yang nampak kasar, Simons adalah orang yang sangat sensitif. Simons dan anak buahnya meninggalkan Fort Bragg pada bulan Juli. Sesampai di Laos, Simons dan tim-nya tidak tahu siapa yang akan mereka latih dan untuk apa mereka dilatih. Waktu itu di Laos, pasukan Vietnam Utara merajalela melintasi batas negara, sedangkan tentara Laos sangat lemah (mereka utamanya hanya ditugaskan untuk menjaga Istana raja). Ketika pemerintah Laos tidak bisa menyediakan personel, Simons mencari sendiri pasukan yang akan ia latih. Anak buah Simons kemudian berkeliling seluruh negeri dan mampu menggalang ribuan orang Suku Meo, yang terjebak dalam konflik di Laos. Simons lalu menempatkan mereka di kamp berkawat duri, memberi mereka pakaian, makanan, menggaji dan secara bertahap melatih mereka sebagai prajurit. Simons mampu membentuk pasukan kuat sebesar 12 batalion, yang kemudian menjadi lawan tangguh dari tentara Vietnam Utara. Misi di Laos benar-benar menunjukkan kualitas kepemimpinan Simons. Salah satu wakilnya dalam misinya di Laos, mengatakan, “saya bersedia mengikut ‘Bull‘ Simons ke neraka dan kembali lagi untuk membagikan kesenangan menemani dalam kunjungannya.” Sekembalinya dari Laos setelah setahun di hutan tanpa kehilangan satu prajurit pun, Simons diangkat sebagai Komandan Grup Pasukan Khusus ke-8 yang baru di Panama. Ia memimpin unit tersebut di sana dari tahun 1962 hingga 1964. Kemudian unit tersebut kembali ke Asia Tenggara. Di Vietnam, Simons ditugaskan ke Military Assistance Command’s Studies and Observation Group (MACV-SOG), unit gabungan yang bertanggung jawab atas banyak operasi pengumpulan data intelijen lintas batas negara dan misi operasi khusus dalam perang Vietnam. 

KEDEKATAN DENGAN PASANGAN MEADOWS

Selama turnya memimpin SFG ke-8, Simons bertemu teman istimewa lainnya: Pamela Meadows. Dia adalah putri dari sersan mayor resimen dari unit pasukan khusus Special Air Service Inggris, dan sedang berada di rumah saat liburan kuliah ketika dia bertemu dengan seorang sersan Amerika yang menawan bernama Richard “Dick” Meadows, yang merupakan bintara (NCO) pertama yang melakukan tur pertukaran mewakili militer AS. Jatuh cinta dengan tentara Amerika yang tampan ini, dia mengikutinya pulang ke Amerika dan pasangan tersebut berencana untuk menikah. Namun, karena “Dick” Meadows adalah anggota militer aktif, Pamela harus diwawancarai oleh komandannya untuk menentukan kelayakannya sebagai calon istri prajurit Angkatan Darat AS dan calon warga negara Amerika. Komandan Meadows adalah Simons. “Saya dipanggil ke kantor ‘Art‘, karena dialah yang menyuruh saya memanggilnya, yang hampir terasa seperti inkuisisi,” kenangnya. “Dan kata-katanya kepada saya, antara lain, ‘Saya mengerti bahwa Anda ingin menikah dengan salah satu putra saya.’ Saya sangat gugup, dan bersikap defensif, dan saya menjawab, ‘Tidak juga, Pak. Salah satu putramu ingin menikah denganku!’ Dia kemudian meninggalkan mejanya dan memelukku. Setelah itu, dia dan istrinya menjadi temanku, dan keduanya tetap menjadi teman sampai mereka meninggal pada tahun 1970-an. Saya pikir saya mungkin akan menggambarkan dia sebagai orang yang sangat kasar dan tampak berbahaya. Dia membuatku takut setengah mati. Kemudian, setelah kami menjadi lebih dekat – dan butuh waktu cukup lama – saya mengatakan kepadanya, ‘Kamu membuatku takut sekali hari itu!’” kata Meadows, mengacu pada wawancaranya di kantornya. “Simons menjawab, ‘Saya tahu saya melakukannya, dan saya bermaksud melakukannya! Anda mengambil beberapa kebebasan besar bersama saya! Aku (juga) tidak mudah melepaskan anak buahku. …’” Richard Meadows sendiri memang bukan prajurit “kaleng-kaleng”. Meadows merupakan sersan unit Pasukan Khusus Amerika yang berhasil merebut senjata artileri Vietnam Utara pertama di Laos, dan ketika Komandan Pasukan Amerika di Vietnam menganugerahi kenaikan pangkat di medan tempur, Simons lah yang menyematkan tanda pangkat baru ke Meadows. Meadows juga pernah bertugas dibawah Simons selama penugasan di Panama.

Richard “Dick” Meadows, salah satu anak buah Simons yang paling menonjol. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

OPERASI IVORY COAST

Pada bulan November 1970 Simons ditugaskan untuk memimpin Operasi Ivory Coast, yang akan menjadi puncak dari karier Simons, yakni upaya penyelamatan tawanan perang Amerika di Penjara Son Tay hanya 37 km di luar Hanoi. Pada usia 52 tahun, Simons benar-benar mirip dengan julukannya. Ia seperti “banteng” dengan bahu yang besar, tinggi badan sekitar 160 cm, serta berat badan 86 kg. Ia memiliki tampilan yang mudah dikenali, yakni leher yang kokoh, rambut yang mulai menipis, alis yang lebat, hidung lebar dan bengkok seperti elang, dan telinga yang besar. Meski tidak kenal takut, namun Simons tidak sembrono. “Aku tidak ingin prajuritku tertembak tanpa alasan”, demikian ujarnya. Bagi Simons dalam setiap operasi, tujuannya adalah “untuk membunuh bajingan lain, dan bukan anak buahmu.” Meski demikian, Simons tidak “keranjingan” dalam menghitung jumlah korban di pihak musuh dalam setiap misinya di Vietnan. “Jika aku melihat salah satu dari kalian menghitung jumlah korban musuh, aku akan mematahkan leher kalian dimanapun kalian berdiri saat itu juga.”, demikian ia mengingatkan. Dalam persiapan operasi di Son Tay, pilot pilihan unit Pasukan Khusus Angkatan Darat dan Angkatan Udara dilatih di Eglin, AFB sebelum meluncurkan misinya pada bulan November. Didokumentasikan dalam beberapa buku yang bagus, operasi penyelamatan itu dikenang secara lebih pribadi oleh Pamela Meadows. “Saya dapat memberi tahu Anda ketika ketiga orang itu (Simons, Meadows, dan Lt. Col. Elliott P. “Bud” Sydnor, Jr, yang menjadi wakilnya.) berkumpul, ada sesuatu yang akan terjadi!” kata Meadows. “Saya tahu mereka merencanakan sesuatu, karena sifat liar mereka merencanakan sesuatu yang sangat strategis. Mereka akhirnya mengembara ke barat laut Florida, dan saya hanya melihat mereka dua kali saat mereka berlatih. Satu kali saat pernikahan salah satu rekan mereka. Mereka melakukan segala macam pelatihan yang gila! Kemudian pada bulan November, Jean Sydnor (istri Bud Sydnor) menelepon saya dan menyuruh saya untuk menyalakan televisi pada saluran tertentu, dan di sana mereka diberi penghargaan oleh Presiden Nixon. …” 

“Bull” Simons (kiri) dan para personel operasi Ivory Coast. (Sumber: https://m.facebook.com/)
Elemen Blue Boy, dalam Serangan Son Tay. “Dick” Meadows di depan. (Sumber: https://sofrep.com/)

Kemudian diketahui, karena kesalahan data intelijen, banjir dari sungai yang meluap telah menyebabkan pihak Vietnam Utara memindahkan para tahanan beberapa mil jauhnya, tepat sehari setelah Simons ditunjuk untuk memimpin operasi penyelamatan. Namun penyerangan tersebut berjalan sangat baik, operator SF melenyapkan para penjaga di kamp dan satu personel hanya mengalami luka ringan (akibat pergelangan kaki terkilir). Dengan menunjukkan kepemimpinan dan keberanian pribadi yang luar biasa, Simons memimpin pasukan di darat dalam upaya penyelamatan itu. Di darat, elemen pencarian dan penyelamatan diserang oleh senjata otomatis pasukan musuh. Saat mengarahkan dan mengawasi operasi, Simons terus menerus terekspos tembakan musuh dan, pada suatu kesempatan, ia secara pribadi menyerang personel musuh yang berada di dekat posisinya, dengan menembak tepat di dadanya. Keberhasilan operasi ini merupakan hasil langsung dari kepemimpinan Simons yang tenang dan kompeten dalam situasi yang sangat berbahaya. Perilaku profesionalnya menanamkan kepercayaan pada anak buahnya dan menghasilkan operasi yang luar biasa. Meskipun tidak ada tahanan yang dibebaskan, hal ini menimbulkan kejutan bagi komando tinggi Vietnam karena Pasukan Khusus Amerika mampu menembus pertahanan mereka begitu dekat dengan Hanoi dan menyerbu kompleks tawanan perang dan melarikan diri tanpa menimbulkan kerugian bagi diri mereka sendiri. Akibatnya, para tahanan dikumpulkan dalam kelompok yang lebih besar, bukan di sel isolasi seperti yang biasa mereka alami. Perlakuan mereka membaik dan ketika mereka menyaksikan penyerangan itu terjadi, mereka tahu bahwa mereka tidak akan dilupakan. Semangat mereka juga meningkat. 

Ilustrasi serangan di penjara son Tay. karena kesalahan data intelijen, banjir dari sungai yang meluap telah menyebabkan pihak Vietnam Utara memindahkan para tahanan beberapa mil jauhnya, tepat sehari setelah Simons ditunjuk untuk memimpin operasi penyelamatan. (Sumber: https://www.ronaldtkwong.com/)
Kolonel Arthur “Bull” Simons menerima medali Legion of Merit di Fort Bragg setelah penyerangan dari Letjen John Hay. (Sumber: https://issuu.com/)

Meskipun misi tersebut tidak mencapai tujuan utamanya, Vietnam Utara disadarkan mengenai begitu mudahnya militer Amerika menyerang begitu dekat dengan ibukota mereka. Atas kepemimpinannya yang luar biasa, setelah kembali ke Amerika Simons lalu dianugerahi medali Distinguished Service Cross (penghargaan tertinggi kedua di Angkatan Darat Amerika setelah Medal of Honor) oleh Presiden Nixon di Gedung Putih pada tanggal 25 November 1970. Personel lain yang menonjol dari serangan Son Tay, tidak lain adalah komandan elemen Pasukan Penyerang (Blue Boy) CPT Richard Meadows, yang nantinya akan sangat terlibat dalam pembentukan Pasukan Delta Force Angkatan Darat, dan kemudian akan terlibat dalam upaya Penyelamatan Sandera di Iran pada tahun 1980. Sayangnya, perampingan di Angkatan Darat setelah Vietnam, dan latar belakang karirnya dalam perang khusus, menghalangi Simons untuk dipromosikan menjadi brigadir jenderal. Bagi kepala staff Angkatan Darat, Simons mungkin pemimpin tempur yang luar biasa, namun ia belum tentu menjadi jenderal yang baik, lebih-lebih Simons belum pernah mengikuti pendidikan sekolah perang manapun. Seorang perwira Angkatan Udara yang membantu merencanakan dan melaksanakan serangan Sơn Tây kemudian menulis tentang Simons: “Dia tidak ingin membuat dirinya terkenal; dia ada di sana untuk melakukan tugasnya. Dia tidak menghadiri semua sekolah yang penting untuk kemajuan karir profesionalnya dan tidak mencari sponsor untuk kariernya. Dia hanya menjawab setiap panggilan tugas karena itu adalah hal yang benar untuk dilakukan seorang tentara Amerika.” Namun, setelah pembebasan tawanan perang dan setelah Perjanjian Perdamaian Paris, Perot mengadakan pesta besar untuk Simons, personel yang terlibat, dan para tawanan perang di San Francisco, California. Dalam lingkungan sosial yang tidak bersahabat setelah Perang Vietnam, tindakan simpatik Perot menyatukan kedua pria tersebut sebagai teman dan rekan, ikatan yang akan mereka perbarui beberapa tahun kemudian.

PENYELAMATAN DI IRAN

Simons pensiun dari Angkatan Darat pada bulan Juli 1971 dan membeli peternakan babi di Red Bay, Florida, (sekitar 70 mil sebelah barat dari tempat ia melatih tim penyerang dalam operasi di Son Tay) dan menikmati masa pensiunnya sampai istrinya meninggal karena kanker pada tahun 1978. Simons menjalani kehidupan pedesaan sebagai peternak dan pembuat senjata paruh waktu. Dia mencintai kehidupan bersama mereka, dan mencintai babi-babinya, banyak di antaranya dia beri nama dan perlakukan hampir seperti keluarga. Simons pernah mengatakan tentang babi-babinya, sebagai “hal terindah yang pernah dilihat”. Sayangnya, kehidupan yang tenang ini hanya akan berlangsung beberapa tahun saja. Pada tahun 1978, Lou didiagnosis menderita kanker stadium akhir, dan meninggal pada tahun itu. Simons, yang telah kehilangan cinta dalam hidupnya, sangat terpukul dengan kematiannya dan kembali ke Red Bay dan babi-babinya untuk menjalani hidupnya, yang kesepian. Tanpa dia sadari, dia akan mendapat kesempatan untuk melakukan satu lagi misi penyelamatan. Pada waktu yang hampir bersamaan, Perot di perusahaannya, Electronic Data Services (EDS) di Dallas, Texas, juga menghadapi masalahnya sendiri. Dikontrak oleh pemerintahan Mohammad Reza Shah Pahlavi (Shah Iran) dari Iran untuk mengembangkan, mengoperasikan, dan memelihara sistem jaminan sosial bagi rakyatnya, Perot melihat kesepakatan tersebut mengalami kemunduran karena kesehatan sang penguasa yang menurun dan pemerintahannya jatuh. Ketika Perot mulai menarik pekerjanya keluar, pemerintah Iran, yang didominasi oleh kaum revolusioner menangkap dua eksekutif seniornya, Paul Chiapparone dan Bill Gaylord, dan menjadikan sisa karyawan EDS sebagai tahanan rumah. Tidak dapat menemukan cara untuk mengatur pembebasan mereka secara diplomatis atau finansial (upaya untuk membayar tebusan senilai $13.000.000 gagal karena sistem perbankan Iran lumpuh setelah revolusi), Perot kemudian menghubungi Simons, setelah mengingatnya memimpin di serangan Son Tay. Membayar seluruh operasi dari kantongnya sendiri, Perot merekrut Simons untuk mengirim tim ke Iran, membebaskan karyawannya dan membawa semua orang kembali ke Amerika Serikat. 

Ross Perot (berdiri), Bill Gaylord (tengah) dan Paul Chiapparone. (Sumber: https://www.dallasnews.com/)
Tentara Tentara Republik Islam Iran membawa poster Ayatollah Khomeini pada masa revolusi 1979. Di tengah situasi kacau, Pemerintah Iran, yang didominasi oleh kaum revolusioner menangkap dua eksekutif senior perusahaan Perot, yakni Paul Chiapparone dan Bill Gaylord. (Sumber: https://www.timesofisrael.com/)

Setelah mengevaluasi situasinya, Simons memutuskan untuk melakukan penyelamatan gaya SF, dan merekrut tim komando yang tidak terduga dari jajaran eksekutif EDS dengan pengalaman tempur di Vietnam. Setelah menyusupkan tim ke Iran pada pertengahan Januari 1979, dan melihat rencana awal mereka tidak bisa dipakai karena pemindahan dua eksekutif EDS ke penjara besar bergaya penjara Bastille, Simons menyusun skema penyelamatan baru. Saat itu Iran dalam keadaan kacau ditengah revolusi, dimana pemerintah benar-benar lumpuh tanpa pemimpin. Skema penyelamatan baru yang dirancang Simons sebenarnya sederhana. Simons melihat sejarah, dimana seperti revolusi Prancis, dimana kaum revolusioner menyerang penjara Bastille untuk membebaskan para tahanan politik, maka hal itu logis terjadi juga dalam revolusi di Iran. “Orang yang sebenarnya memimpin penyelamatan adalah seorang karyawan muda EDS asal Iran – kami memanggilnya ‘Rashid’,” kenang Perot. “Simons memiliki kejeniusan yang membuat dia – Rashid – membentuk tim ‘teroris’ asal Iran. Ada banyak tim seperti ini di seluruh Teheran, dan mereka bertemu setiap pagi untuk merencanakan kegiatan mereka setiap hari. Simons mengetahui bahwa pemimpin tim harus hadir, jadi ini berarti Rashid bisa menghadiri pertemuan tersebut. Jadi Simons meminta orang kita (Rashid) untuk membentuk tim guna menyusup ke gerakan revolusioner. Lalu, sehari sebelum penyelamatan dari penjara benar-benar terjadi, Simons berkata kepada Rashid, ‘Lihat apakah Anda bisa menyuap kepala polisi agar gudang senjata polisi tetap terbuka.’ Biayanya hanya $100, dan Rashid serta timnya keluar dengan membawa lebih banyak senjata daripada yang dapat Anda bayangkan, yang kemudian mereka bawa ke pertemuan pagi berikutnya dan didistribusikan ke berbagai tim.

Perot dan “Bull” Simons. (Sumber: https://www.reddit.com/)

Rashid, yang saat ini sangat dihormati oleh sesama pemimpin tim teroris, berteriak bahwa mereka semua harus pergi dan menyerbu penjara tempat para tahanan politik ditahan. Pada hari itu, lebih dari 30.000 ‘teroris’ menyerbu penjara dengan bersenjata. 12.000 tahanan kemudian bisa keluar sehingga dua orang EDS, Paul Chiapparone dan Bill Gaylord, bisa bebas. Tim kami kemudian masuk ke dalam kendaraan, dan berkendara sejauh 500 mil (804,67 km) ke perbatasan sebelum mereka mengalami masalah. Mereka sampai dalam jarak 30 mil (48,3 km) dari perbatasan ketika sekelompok revolusioner Islam Iran menghentikan kendaraan, menarik Simons keluar, dan mulai memukulinya dengan popor senapan. Simons, tanpa berkomentar, mengeluarkan catatan dari sakunya dan menyerahkannya kepada mereka. Dikatakan, ‘Orang-orang ini adalah sahabat revolusi; mohon tunjukkan kesopanan untuk mengawal mereka dengan aman ke perbatasan, ditandatangani, Komandan Komite Revolusi Islam Teheran,’ dan stempelnya besar. Sekarang, jika Anda membaca segelnya, tertulis, ‘Sekolah Agama Rezaieh: Didirikan tahun 1344.’ Simons memberikannya kepada saya ketika dia sampai di Turki. Dia membacakan segelnya untukku, dan begitulah caraku menerjemahkannya. Saya dapat memberitahu Anda bahwa saya sekarang dengan cermat bisa membaca semua segel pada dokumennya sekarang!”

KENANGAN AKAN BULL SIMONS

Misi tersebut berhasil dan karyawan Perot, serta seluruh anak buah Simons, kembali dengan selamat pada tanggal 19 Februari 1979. Operasi penyelamatan ini kemudian dijelaskan dalam buku On Wings of Eagles (1983) yang ditulis oleh penulis Inggris Ken Follett, yang kemudian di-film-kan, dengan aktor kawakan Burt Lancaster berperan sebagai Simons. Atas aksinya ini, Simons menolak untuk dibayar. Saat ia melihat kedua karyawan Perot kembali ke keluarganya, Simons berbalik ke Perot, sembari berkata, “saya sudah dibayar.” Sayangnya, Simons tidak berumur panjang setelah menjalankan misi pribadinya yang menakjubkan ini. Pada tanggal 21 Mei 1979, di usia 60 tahun, saat berlibur di Vail, Colorado, Simons menderita serangan jantung hebat, dan didiagnosis menderita penyakit jantung parah. Saat dia bersiap untuk menjalani operasi darurat hari itu, dia menelepon Dick dan Pamela Meadows untuk terakhir kalinya di rumah mereka. “Kami mendapat telepon di sini, di rumah,” kenangnya. “Sebelum dia menjalani operasi, dia menelepon Dick dan berkata, ‘Saya antara akan bisa ‘mengangkat kepala’ atau dikuburkan dalam waktu tiga atau empat jam.’ Itu adalah kali terakhir mereka berbicara bersama. Dia adalah pria yang hebat. Dan jika mereka berada di ‘tempat yang lebih baik’ bersama-sama, mereka akan bertukar cerita dan membuat rencana lainnya…” Simons dimakamkan di Pemakaman Nasional Barrancas di Pensacola, Florida tidak jauh dari Pangkalan Udara Angkatan Laut Pensacola. Teman dekatnya, Meadows yang meninggal pada tahun 1995, dimakamkan di dekatnya.

Buku On Wings of Eagles (1983) yang ditulis oleh penulis Inggris Ken Follett. (Sumber: https://www.rossperot.com/)
Patung Simons di Museum Peperangan Khusus. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

Ross Perot dan yang lainnya lalu menciptakan inisiatif beasiswa untuk anak-anak korban upaya penyelamatan sandera Iran, dan menamai penggalangan dana tersebut sesuai nama Simons untuk menghormati Simons. Pada bulan April 2010, Pusat Kerja Sama Antarlembaga Arthur D. “Bull” Simons dibuka sebagai hasil sumbangan Ross Perot kepada Command and General Staff College Foundation, Inc. Komando Operasi Khusus (USSOCOM) kemudian menugaskan pembuatan patung Simons setinggi 12 kaki (3,7 m), di sebelah Museum Pasukan Khusus di Fort Bragg (disebut sebagai “Simons Hall”), dan ini merupakan penghormatan berkelanjutan atas kenangan dan warisannya dalam komunitas peperangan khusus. USSOCOM juga menganugerahkan penghargaan tahunan yang menyandang namanya kepada personel profesional peperangan khusus terbaik. Simons juga dimasukkan ke dalam Ranger Hall of Fame, sebagai bentuk pengakuan atas jasanya saat bertugas di unit tersebut saat Perang Dunia II. Tiga dekade setelah kematiannya yang prematur, mereka yang merupakan sahabat dan keluarganya, serta orang-orang yang ia perjuangkan dengan susah payah untuk diselamatkan dan tetap hidup, mengingatnya dengan penuh rasa terima kasih. Dan ketika memikirkan Bull, sulit untuk tidak memikirkan semboyan Pasukan Khusus Amerika, yakni: De Oppresso Liber (“Membebaskan Kaum Tertindas”). Dia menjalaninya, dengan memimpin dari depan. “Art adalah seorang prajurit yang hebat… tetapi dia juga seorang yang sangat baik hati, penuh perasaan, dan sangat bersemangat,” kenang Meadows. “Itu adalah bagian yang tidak pernah dilihat banyak orang. …”

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

REMEMBERING BULL SIMONS, A TRUE LEGEND IN THE SPECIAL FORCES COMMUNITY by Steve Balestrieri; May 23, 2017

https://sofrep.com/amp/specialoperations/remembering-bull-simons-true-legend-special-forces-community/

Remembering Arthur “Bull” Simons, Memories of Ross Perot and Pamela Meadows BY JOHN D. GRESHAM – AUGUST 4, 2010

https://www.defensemedianetwork.com/stories/remembering-bull-simons-memories-of-ross-perot-and-pamela-meadows/

Simons, Arthur D (Bull), COL

https://army.togetherweserved.com/army/servlet/tws.webapp.WebApp?cmd=ShadowBoxProfile&type=BattleMemoryExt&ID=4985

Arthur David “Bull” Simons; Colonel, U.S. Army

https://militaryhallofhonor.com/honoree-record.php?id=3085

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Arthur_D._Simons

The Raid by Benjamin F. Schemmer; 1986, p 72, p 76-80, p 86, p 286-289

https://en.m.wikipedia.org/wiki/On_Wings_of_Eagles_(miniseries)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *