Others

Laksana “Tank” di Jaman Kuno: Penggunaan Gajah Perang dalam Sejarah

Bayangkan saat pengetahuan manusia tentang gajah belum tersebar luas. Bayangkan betapa mengancamnya hewan-hewan besar ini akan datang dari lereng bukit atau keluar dari kabut selama pertempuran. Selain penampilannya yang aneh dan mengancam, suara yang dibuat gajah juga sama menakutkannya. Tidak sulit untuk membayangkan bagaimana gajah perang dengan gading tajam berlari menyerbu kearah lawan menebar teror bagi mereka yang belum pernah melihat gajah sebelumnya. Gajah perang terbukti sangat efisien melawan unit yang bertempur dalam formasi ketat dan pasukan yang belum pernah melihat gajah perang sebelumnya. Namun peran gajah jauh melampaui teror mental dalam perang. Mereka juga menyediakan sarana transportasi yang sangat baik dan dapat digunakan untuk memindahkan alat berat dan perbekalan dalam jarak yang jauh. Mereka juga membentuk unit kavaleri sendiri, yang mampu menyerang dengan kecepatan luar biasa. Dengan ukurannya yang luar biasa membuat gajah perang tak terbendung. Banyak tentara menggunakan gajah untuk menyerang lawan, terutama kavaleri musuh, menghancurkan semua yang menghalangi. Pada beberapa kesempatan, gading gajah dipasangi dengan paku untuk menimbulkan lebih banyak kerusakan. Jenis perlengkapan ini sangat berguna dalam pertarungan gajah lawan gajah di medan perang. Gajah-gajah yang kokoh sering membawa howdah, atau pelana berkanopi, di punggungnya, lengkap dengan pemanah dan pelempar lembing diatasnya. Gajah yang lebih besar dilengkapi dengan perangkat seperti menara yang melindungi penghuninya dari serangan di permukaan tanah dan memberikan sudut pandang medan perang yang sangat baik.

Dalam sejarah jaman kuno, penggunaan gajah perang adalah laksana tank yang digunakan di era modern. Bagi mereka yang belum pernah melihat gajah, kehadiran binatang raksasa itu di medan tempur memberikan teror tersendiri, yang dapat menentukan hasil akhir pertempuran. (Sumber: https://www.historynet.com/)

PERANG KUNO DAN GAJAH PERANG PERTAMA DI DUNIA

Penggunaan gajah pertama kali oleh manusia dimulai sekitar 4.000 tahun yang lalu di India. Gajah pada awalnya digunakan untuk tujuan pertanian. Mereka benar-benar dapat mencabut pohon dari tanah, membuka area yang luas untuk pertanian dan konstruksi. Karena mereka dengan cepat menunjukkan kemampuan mereka untuk dilatih serta karena kekuatan mereka, hanya masalah waktu sebelum hewan raksasa itu dimasukkan ke dalam penggunaan militer. Menurut sumber Sansekerta, transisi ini terjadi sekitar 1100 SM. Banyak yang berasumsi bahwa gajah yang diwajib militerkan untuk keperluan militer telah diternakkan. Ini tidak begitu. Untuk beberapa alasan (pertimbangan keuangan mungkin menjadi yang utama), gajah jarang dikembangbiakkan di penangkaran. Gajah perang terbaik berusia sekitar enam puluh tahun (dengan dianggap layak dipakai bertempur di usia 40 tahun). Karena tidak ada yang punya waktu untuk menunggu gajah mencapai usia seperti itu, tentara kuno tidak memelihara gajah perang, mereka memburunya di alam liar dan kemudian menjinakkannya. Mayoritas gajah perang, pada kenyataannya, ditangkap dan dilatih. Gajah jantan, secara inheren agresif, digunakan untuk pertempuran. Sementara itu gajah betina cenderung mundur ketika menghadapi pejantan yang menyerang—jelas bukan sesuatu yang diinginkan di medan perang. Ada banyak cara tradisional untuk menjebak gajah. Salah satu metode cerdik yang digunakan oleh penduduk Lembah Indus adalah dengan menggali parit melingkar, untuk menciptakan pulau tanah. Di seberang parit tanpa air ini akan menjadi jembatan ke pusat yang ditinggikan. Di pulau tengah, penculik akan menempatkan satu atau lebih gajah betina. Gajah jantan akan tertarik dengan aroma dan suara mereka. Begitu gajah jantan mencapai gajah betina di tengah, jembatan akan dilepas untuk menjebaknya di dalam. Gajah sangat cerdas dan dapat dilatih dengan baik. Tetapi tidak peduli seberapa baik dan disiplinnya mereka, gajah tetap liar di hatinya. Ini menimbulkan masalah pada penggunaannya dalam pertempuran. Lebih dari satu kali, gajah panik dan menginjak-injak tentara yang kawan selama pertempuran. Karena itu, tidak jarang pawang, atau pengemudi dan penjaga gajah yang disebut mahout membawa alat seperti pahat atau pedang untuk memutuskan sumsum tulang belakang atau dengan menusukkan pahat ke kepala hewan itu jika mulai bertindak bertentangan dengan yang diinginkan. 

Gajah perang tidak pernah diternakkan, namun diburu di alam liar untuk dilatih bertempur. (Sumber: https://www.flickr.com/)
Lukisan seorang Mahout Menunggangi Gajah India, di Rajasthan, Kotah sekitar tahun 1770. Mahout pada gambar duduk di atas selimut pelana berwarna merah oranye sambil memegang tongkat. Gajah yang mengenakan dua helai lonceng berlari di padang rumput yang terdiri dari bukit-bukit kecil dengan pohon palem di sebelah kanan. Mahout kadang membawa alat seperti pahat atau pedang untuk memutuskan sumsum tulang belakang atau dengan menusukkan pahat ke kepala hewan itu jika mulai bertindak bertentangan dengan yang diinginkan. (Sumber: https://www.christies.com/)

Gajah secara postur lebih besar dibandingkan dengan apa pun di dunia yang pernah dikenal di masa lalu, mengingat juga tinggi rata-rata orang di zaman kuno beberapa inci lebih pendek dari hari ini dan kuda tidak terlalu besar seperti saat ini. Gajah yang menjulang sosok mengesankannya mirip dengan tank berat hari ini. Beberapa jenis gajah digunakan oleh militer di seluruh belahan bumi timur. Sebagian besar, jenis gajah yang digunakan terkait dengan geografi—yang paling banyak tersedia adalah yang paling sering digunakan. Meskipun ada banyak perdebatan tentang jenis gajah perang yang spesifik, bukti DNA sekarang menunjukkan bahwa dua spesies gajah Afrika yang berbeda digunakan, gajah hutan (Loxodonta cyclotis) dan gajah sabana, atau gajah semak (Loxodonta africana). Spesies tambahan (beberapa berpendapat itu adalah subspesies) dari gajah Afrika, Afrika Utara (Loxodonta pharaoensis), digunakan untuk sementara waktu, tetapi punah sekitar abad kedua Masehi. Gajah Asia atau India (Elephas maximus) juga cukup sering digunakan untuk keperluan militer. Perbedaan yang paling jelas di antara spesies gajah adalah ukurannya. Gajah sabana Afrika yang khas berukuran 10 kaki (3 meter), tetapi beberapa telah tercatat setinggi 13 kaki (3,9 meter). Gajah hutan, bagaimanapun, berukuran sekitar 8 kaki (2,4 meter). Gajah Afrika Utara sedikit lebih kecil dari jenis gajah hutan. Gajah Asia tumbuh antara 7 dan 12 kaki (2,1 meter dan 3,6 meter), meskipun secara keseluruhan mereka cenderung lebih kecil dari gajah sabana Afrika, meski tetap saja menakutkan di medan tempur. Misalnya, seekor gajah jantan Asia dewasa tingginya sekitar 2,75 m, bobotnya sekitar 4 ton dan jauh lebih kokoh daripada kuda mana pun. Fitur yang paling membedakan adalah ukuran telinga, dengan gajah sabana memiliki ukuran telinga terbesar. Sementara ukuran jelas merupakan berpengaruh dalam pertempuran, lebih besar tidak selalu berarti lebih baik. Hasil pertempuran lebih berkaitan dengan strategi dibandingkan dengan pelatihan dan penanganan gajah. Gajah biasanya membawa semacam menara di punggung mereka dengan ruang yang cukup untuk empat pemanah. Posisi yang ditinggikan memberi pemanah sudut pandang yang lebih baik tentang medan perang dan mendukung jangkauan tembak yang lebih jauh. Seringkali komandan menunggangi gajah untuk melihat pertempuran dengan lebih baik. Gajah juga dilatih untuk menginjak-injak musuh dan menikam tentara dengan gadingnya. Gajah sendiri mengenakan baju besi untuk melindungi tubuh mereka. Gading mereka dipersenjatai dengan pisau khusus, yang disebut pedang gajah. Terkadang pedang gajah ini dilapisi dengan racun untuk membuatnya lebih mematikan. Selama serangan, gajah akan menebas siapa pun yang bersentuhan dengan mereka. Dalam beberapa kasus, gajah perang memiliki rantai besi dengan bola besi di ujungnya melekat pada belalai mereka dan digunakan untuk membunuh tentara musuh.  Dalam beberapa kasus, mereka akan menggunakan belalai mereka untuk mengambil tentara musuh dan melemparkan mereka atau bahkan memberikan gigitan yang menghancurkan.

Loxodonta africana atau gajah semak asal Afrika. (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)
Elephas maximus atau gajah Asia. (Sumber: https://www.researchgate.net/)
Pedang gajah yang kerap dipasang pada gading gajah untuk semakin menambah efek destruktif gajah perang di medan tempur. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

Bahkan jika serangan itu bisa dihentikan, butuh usaha yang luar biasa untuk menjatuhkan gajah-gajah itu. Panah tidak akan menembus terlalu dalam dan butuh banyak upaya untuk menembus kulitnya yang keras. Di samping itu gajah perang juga kerap dilengkapi dengan baju perlindungan tambahan. Baju pelindung gajah perang berkisar dari penutup gading perunggu sederhana hingga pelindung seluruh tubuh yang rumit. Baju armor tersebut dapat mencakup pelindung semacam gorden penuh yang melindungi sisi vital gajah dan pelindung rantai atau yang dapat melindungi belalai. Kadang-kadang helm berplat lengkap dengan jambul besar berfungsi sebagai ornamen sekaligus perlindungan bagi pengemudinya. Sebuah baju besi yang penuh hiasan, tercatat dirancang untuk Gajah Asia dewasa pada abad ke-16, masih ada hingga kini tersimpan di Oriental Gallery pada Royal Armouries National Museum of Arms and Armour di kota Leeds. Baju ini berasal dari India Utara di era Kekaisaran Mughal, dan terdiri dari 5.840 lempeng individu dengan berat sekitar 260 pon (117 kg). Beberapa bagian dari setelan itu telah hilang, tetapi diperkirakan jika lengkap akan terdiri dari total 8.439 pelat logam, dan beratnya lebih dari 350 pon (158 kg). Terlepas dari itu, bahkan dalam bentuknya saat ini, setelan itu adalah pemegang Rekor Guinness World Record untuk baju pelindung hewan terbesar.

Contoh baju besi pelindung gajah. Baju besi ini berasal dari India Utara di era Kekaisaran Mughal, dan terdiri dari 5.840 lempeng individu dengan berat sekitar 260 pon (117 kg). Beberapa bagian dari setelan itu telah hilang, tetapi diperkirakan jika lengkap akan terdiri dari total 8.439 pelat logam, dan beratnya lebih dari 350 pon (158 kg). (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

GAJAH PERANG MESOPOTAMIA

Meskipun ada banyak penggunaan gajah perang dalam skala kecil setelah penerapannya sekitar tahun 1100 SM, konflik terkenal pertama yang melibatkan orang Eropa yang berhadapan dengan gajah perang terjadi di Gaugamela pada Oktober 331 SM. Pertempuran ini, yang terjadi di Irak utara, mengadu pasukan Alexander Agung melawan pemimpin Persia Darius III. Bersama dengan 200.000 tentara Persia, 15 gajah perang Asia bergabung dengan barisan tentara Darius III untuk membuat gentar pasukan lawan. Tidak ada keraguan bahwa pasukan Alexander pasti, setidaknya pada awalnya, dibuat takut oleh hewan-hewan besar yang aneh ini. Bahkan dengan binatang-binatang perkasa di pihaknya, namun, Darius tidak bisa mengatasi pasukan dan taktik Alexander. Babilonia ditaklukkan dan konsep gajah perang menjadi terkenal di wilayah barat Persia. Di sisi lain pasukan Alexander selalu dalam perjalanan, sehingga dia tidak pernah punya waktu untuk benar-benar melatih gajahnya menjadi kekuatan tempur yang efektif. Sebaliknya, dia menggunakan mereka sebagian besar untuk mendukung logistik mereka dan untuk dampak psikologis yang kuat yang mereka miliki pada musuh mereka. Pada 326 SM, Alexander bergerak untuk menyerang Punjab, India. Parvataha, yang juga dikenal sebagai Raja Porus, menghadapi invasi dengan melakukan perlawanan di Sungai Hydaspes. Dalam pertempuran berikutnya, Alexander menghadapi lebih dari 100 gajah perang (satu sumber melaporkan dua kali lipat dari jumlah itu) dengan pemanah dan pelempar lembing di punggung mereka. Karena Alexander pernah bertemu dengan hewan-hewan unik sebelumnya, dia dan pasukannya tidak begitu panik.

Lukisan adegan Pertempuran Gaugamela, Oktober 331 SM. Dalam pertempuran ini, bersama dengan 200.000 tentara Persia, 15 gajah perang Asia bergabung dengan barisan tentara Darius III untuk membuat gentar pasukan Alexander dari Macedonia. (Sumber: https://simple.wikipedia.org/)
Lukisan pertempuran antara pasukan Alexander dengan tentara Raja Porus dari India. Karena Alexander pernah bertemu dengan hewan-hewan unik sebelumnya, dia dan pasukannya tidak begitu panik. (Sumber: https://m.facebook.com/)

Pasukan bersenjata tombaknya melawan gajah perang lawan dengan mengatur barisan yang ketat — seperti landak — tetapi mereka melakukannya dengan harga yang mahal. Alexander kemudian memerintahkan pelempar lembingnya untuk menyerang raksasa abu-abu ini. Hal ini lalu membuat armada gajah perang dalam kekacauan, yang akhirnya menyebabkan banyak pasukan Porus terinjak-injak. Alexander kemudian mengepung dan mengalahkan tentara India. Setelah melakukannya, dia menangkap 80 gajah yang akan dia integrasikan ke dalam pasukannya. Ketika Alexander meninggal pada 323 SM, kerajaannya dibagi, bersama dengan aset gajahnya. Ditinggalkan tanpa hewan-hewan tempur strategis ini adalah Ptolemy, yang menduduki Mesir. Ptolemy kemudian menginvasi Suriah dengan sekitar 22.000 orang tetapi bertemu dengan 43 gajah perang dan 18.000 tentara yang dipimpin oleh Demetrius, keturunan Antigonus, yang telah mempertahankan kendali atas wilayah Anatolia warisan Alexander. Dalam Pertempuran Gaza berikutnya (tahun 312 SM), Ptolemy berhasil menahan Demetrius dan menangkap semua gajah di medan tempur. Setelah Gaza, koalisi musuh berkumpul untuk melawan Antigonus dan putranya. Antigonus, dengan 80.000 tentara dan 75 gajah perang, lalu berhadapan dengan pasukan koalisi yang terdiri dari 60.000 prajurit dan 400 gajah perang di Ipsus pada tahun 301 SM. Pasukan Antigonus akhirnya kewalahan menghadapi lawan mereka. Gajah-gajah Seleukos ternyata memiliki pengaruh besar dalam kemenangan dengan mengisolasi sebagian pasukan Antigonus dari yang lain.

GAJAH PERANG PYRRHUS DAN PTOLEMY IV

Pertempuran besar berikutnya yang melibatkan gajah menyeret Roma berhadapan dengan hewan besar ini. Pada tahun 280 SM, Perang Pyrrhic membawa pecahnya Pertempuran Heraclea. Pyrrhus dari Epirus, yang dipanggil untuk membantu sesama orang Yunani, yang ada di di bawah kekuasaan Romawi, menyerbu ujung selatan sepatu bot Italia. Pyrrhus membawa serta sejumlah gajah perang. Dikabarkan bahwa dia menipu binatang buas itu untuk menaiki rakit untuk menyeberangi Laut Adriatik dengan menyamarkan perahu sehingga gajah tidak bisa melihat air. Tentara Romawi belum pernah melihat binatang-binatang aneh itu, dan para prajurit memang seharusnya ketakutan, terutama pasukan kavaleri. Kuda Romawi yang belum pernah bertemu gajah, mudah ditakuti oleh bau, suara, dan penampilan senjata lawan yang eksentrik. Sejarawan Yunani Plutarch menggambarkan pemandangan itu, ”Gajah-gajah itu lebih khusus lagi mulai menyusahkan orang-orang Romawi, yang kuda-kudanya, sebelum mereka mendekat, tidak berani menghadapi mereka, kembali bersama dengan penunggangnya.” Seiring dengan formasi phalanx Yunani, gajah-gajah perang mengalahkan tentara Romawi dalam pertempuran yang panjang dan mahal. Tetapi orang Romawi selalu cepat belajar dari kesalahan mereka dan segera merancang metode untuk menangani gajah perang dengan akal mereka. Setahun kemudian, pada Pertempuran Asculum, legiun Romawi menggunakan sekitar 300 perangkat anti-gajah, mulai dari panci api hingga kereta yang ditarik sapi yang dilengkapi dengan paku, untuk melawan 20 gajah perang Pyrrhus. Sementara Pyrrhus mengklaim kemenangan dengan margin yang sangat tipis, bagaimanapun hal itu memberi tentara Romawi pengalaman dan kepercayaan diri yang luar biasa dalam menemukan cara untuk melawan pasukan gajah secara efektif. Pada tahun 217 SM, Antiokhus III, pemimpin Seleukos, dan Ptolemy IV bertemu di pertempuran Raphia di Palestina. Antiokhus III memiliki 62.000 prajurit infanteri, 6.000 pasukan kavaleri, dan 102 gajah perang (jenis gajah Asia yang lebih besar), sedangkan Ptolemy IV memimpin 70.000 prajurit infanteri, 5.000 pasukan kavaleri, dan 73 gajah (tipe gajah hutan Afrika yang lebih kecil).

Gajah-gajah perang Pyrrhus memberikan kejutan yang tidak menyenangkan bagi pasukan Romawi. Tentara Romawi belum pernah melihat binatang-binatang aneh itu, dan para prajurit memang seharusnya ketakutan, terutama pasukan kavaleri. Kuda Romawi yang belum pernah bertemu gajah, mudah ditakuti oleh bau, suara, dan penampilan senjata lawan yang eksentrik. (Sumber: https://www.historyhit.com/)
Lukisan pertempuran antara gajah perang Antiokhus III dan Ptolemy IV. Gajah Ptolemy yang lebih kecil terbukti inferior dari gajah Antiokhus. (Sumber: https://novoscriptorium.com/)

Menurut Polybius, seorang sejarawan Yunani yang menggambarkan pertempuran setidaknya 70 tahun kemudian. “Beberapa gajah Ptolemy berkelana terlalu dekat dengan musuh, dan sekarang orang-orang di menara di punggung binatang buas ini bertarung dengan gagah berani, menyerang dengan tombak mereka dari jarak dekat dan saling melukai, sementara gajahnya sendiri bertempur lebih baik, mengerahkan seluruh kekuatan mereka dan menghantamkan dahi dengan dahi, ”kata Polybius dalam The Histories. “Gajah Ptolemy, bagaimanapun, menolak bertempur, seperti kebiasaan gajah Afrika; karena tidak tahan dengan bau dan teriakan gajah Asia, dan ketakutan, juga karena ukuran dan kekuatan mereka yang besar, mereka segera berbalik dan lari sebelum mereka mendekati musuhnya.” Terlepas dari gajah-gajahnya yang ketakutan, Ptolemy entah bagaimana berhasil memenangkan pertempuran. Tapi bukan itu yang mengganggu sejarawan dan ilmuwan sejak saat itu, namun soal gajah yang digunakannya. Gajah Asia, menurut peneliti di masa sekarang, diketahui lebih kecil dan lebih lembut daripada sepupu mereka dari sabana Afrika. Lalu, mengapa gajah-gajah Ptolemy membuat performa yang menyedihkan di medan perang? Selama bertahun-tahun, para ahli telah menduga bahwa gajah Ptolemy sebenarnya adalah gajah hutan Afrika, spesies yang jauh lebih kecil daripada gajah sabana Afrika. Untuk mengetahuinya, peneliti kembali ke sumber masalahnya, yakni: gajah Eritrea. Mereka mengurutkan genetika hewan-hewan itu untuk melihat apakah mereka entah bagaimana disilangkan dengan gajah hutan, atau sebenarnya hanya gajah hutan biasa. Namun, analisis mengungkapkan bahwa gajah tersebut sebenarnya adalah gajah sabana yang tidak ada hubungannya dengan gajah hutan. Para ilmuwan memang menemukan sifat penting pada gajah Eritrea, yakni mereka memiliki hambatan genetik karena terisolasi dengan jenis gajah lainnya.

ROMA MELAWAN GAJAH-GAJAH PERANG

Mungkin penggunaan gajah perang yang paling terkenal adalah yang dilakukan oleh jenderal Kartago, Hannibal. Orang Kartago pertama kali bertemu gajah perang di Sisilia saat berperang melawan jenderal Yunani Pyrrhus dari Epirus pada 278–276 SM. Karena takut dan terkesan dengan gajah yang ganas, mereka segera mulai mengimpor gajah hutan Afrika Utara untuk dipakai tentara mereka, dengan menggunakan pawang India yang disewa melalui Mesir, serta penunggang dari Suriah, Numidia, dan negara bagian lainnya. Kemampuan taktis dalam penggunaannya, di sisi lain, membutuhkan waktu bertahun-tahun dan banyak korban untuk menyempurnakannya. Pada 255 SM, tentara bayaran Sparta, Xanthippus, membuka Pertempuran Bagradas dengan menyerbu menggunakan sekitar 100 gajah dalam mengalahkan tentara Romawi pimpinan Konsul Marcus Atilius Regulus di Kartago. Sejak saat itu baik Kartago dan Romawi melebih-lebihkan kemampuan tempur hewan itu. Empat tahun kemudian di Panormus (sekarang Palermo), Sisilia, Konsul Romawi Lucius Caecilus Metellus mengarahkan pasukan ringannya untuk mengganggu gajah Kartago dengan hujan panah dan lembing, yang menyebabkan binatang buas itu panik dan menyerang pasukan Kartago, menghasilkan kekalahan yang memulihkan kepercayaan Romawi dalam menghadapi gajah perang. Selama Perang Punisia Kedua tahun 218 SM, walau Kartago memiliki kekuatan hingga 300 gajah perang, Hannibal yang mengumpulkan pasukan dari berbagai latar belakang budaya, hanya membawa 37 gajah jenis Afrika Utara untuk melakukan perjalanan dari Spanyol, melalui Gaul, melewati Pegunungan Alpen, dan ke Italia utara. Beberapa gajah tidak dapat melakukan perjalanan yang sulit, meninggalkan Hannibal dengan kekuatan yang beraneka ragam dan tidak mengesankan. Hannibal, salah satu jenderal paling terkenal di zaman kuno, awalnya berharap untuk bertemu musuh-musuh Romawinya secara langsung dengan gajah-gajah perangnya. Ironisnya—karena Hannibal terkenal karena kehebatannya di medan tempur—prestasi ini berubah menjadi blunder besar. Gajah, secara historis tidak dikenal hidup di lingkungan yang dingin dan tinggi, terbukti mereka tidak cocok untuk tugas mendaki Pegunungan Alpen. Banyak yang meninggal saat melintasi pegunungan. Bahkan orang-orang yang selamat dari perjalanan keluar dalam keadaan kelaparan, kelelahan dan sakit. Dari enam gajah yang selamat dari perjalanan melintasi gunung yang sulit, lima mati pada musim dingin berikutnya. Yang keenam, gajah bergading satu bernama Surus, menjadi tunggangan dan platform pengamatan bergerak Hannibal di rawa-rawa Arno. Gajah perang Kartago hanya tampil signifikan pada Pertempuran Trebbia pada bulan Desember, ketika mereka membuat panik kuda-kuda Romawi dan pasukan pembantunya. Selama 15 tahun berikutnya, Hannibal memenangkan pertempuran yang signifikan dan menduduki sebagian besar Italia, kadang-kadang dengan gajah bala bantuan yang dikirim langsung dari Afrika.

Lukisan Hannibal dari Kartago menunggang gajah. (Sumber: https://www.neversuchinnocence.com/)
Formasi dalam pertempuran Zama. (Sumber: https://medium.com/)
Pertempuran di Zama pada tahun 202 SM. Tentara Romawi membuka jalur lebar dalam formasi mereka untuk membiarkan gajah perang Kartago melewati mereka. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

Pada tahun 209 SM saat pertempuran dengan konsul Romawi Marcellus, gajah perang Hannibal menciptakan malapetaka sampai tentara Romawi berhasil melukai satu diantaranya, yang memicu kepanikan lainnya. Pada tahun 202 SM, Jenderal Romawi Publius Cornelius Scipio Africanus mengalahkan pasukan Hannibal yang diperkuat 80 gajah perang dalam Pertempuran Zama yang menentukan. Orang-orang Romawi telah mengembangkan taktik anti-gajah yang dipelajari setelah kampanye sebelumnya melawan kerajaan Yunani Epirus. Scipio Africanus hanya memerintahkan pasukannya untuk menyingkir dari gajah yang menyerang, yang tidak dapat mengubah arah dengan mudah karena momentum mereka yang luar biasa dan wujudnya yang besar. Hannibal menjajarkan gajah-gajahnya di depan pasukannya—pasukan penyaring dengan hewan penghancur manusia seberat enam ton. Jenderal Romawi Scipio Africanus merespons dengan menciptakan celah di barisannya. Ketika gajah-gajah itu menyerang, orang-orang Romawi menyalurkan mereka melalui celah-celah terbuka ini, dan mengirim mereka ke belakang pasukan Scipio. Orang Romawi juga mengalahkan gajah-gajah Hannibal dengan pasukan pelempar lembing, dan memasang paku di gerobak mereka untuk melukai hewan itu. Orang-orang Romawi juga menyalakan api untuk menakut-nakuti mereka. Kampanye militer Hannibal juga mengungkapkan beberapa kelemahan lainnya dari pasukan gajah. Pertama, ketika berada di bawah tekanan ekstrim, gajah bisa menjadi sulit diatur dan sulit dikendalikan. Beberapa gajah jantan yang lebih agresif terkadang berkelahi satu sama lain, menyebabkan gangguan besar pada operasi militer serta membahayakan pasukan kawan di sekitar mereka.

Romawi kemudian juga mengadopsi gajah dalam formasi perang mereka. Kaisar Claudius tercatat pernah menggunakan gajah untuk menaklukkan Inggris. (Sumber: https://twitter.com/)

Sementara itu orang-orang Romawi selalu memanfaatkan setiap kesempatan. Baru saja mengalahkan Hannibal dan setelah mengetahui kejatuhan kerajaan Seleukos, legiun Romawi menyerbu Turki. Gerakan ini mencapai puncaknya pada Pertempuran Magnesia pada tahun 190 SM. Antiokhus III masih memiliki banyak gajah perang, yang ia masukkan ke dalam rencana perangnya. Namun, orang Romawi sudah paham cara untuk menghadapi gajah dan merencanakannya dengan tepat. Kavaleri Romawi menyerang gajah-gajah perang itu, membuat mereka lari ketakutan. Pada akhirnya, Antiokhus kehilangan 53.000 prajurit dan menyerah pada kekuatan Romawi. Sementara itu, bahkan Julius Caesar menggunakan gajah perang. Pada tahun 46 SM, di tengah-tengah perang saudara Romawi, Caesar menghadapi pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Marcus Porcius Cato Yang Muda, dan Quintus Caecillius Metellus Scipio di Thapsus. Pada saat ini, gajah perang sudah jauh dikenal oleh pasukan Romawi—mereka memiliki banyak pengalaman melawan mereka. Pengenalan membantu mereka dengan baik. 120 gajah Quintus Scipio kemudian menjadi sasaran pemanah, pengumban, dan prajurit bersenjata kapak Caesar. Hewan-hewan itu ketakutan dengan penggunaan panah dan proyektil Romawi serta kapak di kaki mereka. Pasukan musuh dengan mudah dikalahkan oleh Legiun Kelima Romawi. Tetapi karena aksi ikonik mereka, gajah perang diadopsi sebagai simbol baru legiun, mengalahkan ikon tradisional banteng. Di tangan pasukan Romawi, walau memiliki hanya satu gajah dalam satu pasukan dapat memenangkan pertempuran bahkan tanpa harus melawan mereka seperti yang dilakukan kaisar Romawi Claudius ketika dia membawa seekor gajah ke Inggris yang membuat gentar suku-suku setempat. Namun zaman keemasan gajah perang akan segera berakhir, setidaknya di Eropa.

MENGAPA GAJAH PERANG TIDAK DIGUNAKAN LAGI? 

Seiring berjalannya waktu, penggunaan gajah perang di Eropa dan Afrika menurun. Salah satu alasan penurunan mungkin terkait dengan menipisnya populasi gajah Afrika Utara oleh aksi pedagang gading yang memanen hewan itu untuk diambil gadingnya. Tetapi penggunaan gajah di Eropa tidak sepenuhnya hilang. Raja Frank Charlemagne memiliki seekor gajah Asia bernama Abdul-Abbas—yang diberikan kepadanya oleh Harun Al Rashid, khalifah Baghdad. Hewan peliharaan malang ini menemui ajalnya saat berbaris ke utara dengan tuannya selama perang melawan Raja Godofrid dari Denmark tahun 810. Sejarawan masih memperdebatkan apakah Charlemagne benar-benar bermaksud menggunakan Abdul-Abbas dalam pertempuran atau apakah dia ada di sana sebagai simbol status saja. Kemudian tercatat Raja Frederick II pernah menggunakan seekor gajah yang dia tangkap selama Perang Salib untuk mengepung Cremona pada tahun 1214. Sementara itu penggunaan gajah perang di Asia berlanjut dengan lebih teratur. Pada tahun 1009 M, penaklukan Ghaznavid menyebabkan Pertempuran Peshawar di Pakistan barat laut. Mahmud dari Ghazni mengeroyok aliansi pangeran Hindu yang dipimpin oleh Anangpal. Para pangeran Hindu telah mengumpulkan pasukan gajah yang besar, tetapi seperti yang sering terjadi pada sejumlah besar hewan, kinerja mereka tidak dapat diprediksi. Mahmud mampu menakut-nakuti hewan raksasa itu, mengirim mereka ke dalam kekacauan dan menghancurkan pasukan Hindu. Setelah pertempuran berakhir, Mahmud menambahkan gajah yang ditangkap ke pasukannya. Gajah perang juga digunakan cukup banyak di bagian lain Asia juga. Selama Perang Khmer-Champa di Kamboja pada tahun 1177 M, kedua belah pihak menggunakan hewan tersebut. Di sini gajah perang berperan besar bagi pasukan Khmer dalam menaklukkan lawannya. Bangsa Mongol juga menemui banyak gajah saat mereka bergerak ke Asia Tenggara—dan mengalahkan mereka dengan pemanah dengan cara yang mirip dengan lemparan lembing orang-orang Romawi. Di sisi lain persenjataan yang digunakan diatas pelana gajah semakin canggih dan inovatif. Taktik baru ini digunakan dengan penuh semangat pada Pertempuran Panipat, dekat Delhi, India, pada tahun 1399 M. Di sana, Timur, seorang penakluk Mongol, menantang sultan Delhi. Sultan memiliki sejumlah gajah perang. Dari gajah-gajah perang yang mengesankan ini, pasukan sultan meluncurkan senjata pembakar berisi cairan. Juga, roket logam yang ditembakkan ke pasukan yang mendekat. Namun pasukan Timur tidak bergeming. Segera Timur mengalahkan mereka.

Abdul-Abbas gajah pemberian Harun Al Rashid, khalifah Baghdad kepada Raja Frank Charlemagne. (Sumber: http://wunderkammertales.blogspot.com/)
Lukisan gajah perang Raja Frederick II untuk mengepung Cremona pada tahun 1214. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)
Gajah perang Khmer. (Sumber: https://www.facebook.com/)

Sekitar abad ke-15, bubuk mesiu menjadi lazim dalam perang. Dengan meriam dan senjata api, gajah kehilangan keampuhan ofensifnya, karena mereka menjadi rentan terhadap tembakan beruntun dari senapan yang mematikan. Namun demikian, gajah telah melanjutkan dinas militernya melalui zaman modern, dan masih dipakai sebagai alat transportasi yang penting di berbagai tempat. Gajah sering digunakan selama konflik antara Burma dan Thailand sampai akhir abad kedelapan belas. Faktanya, Presiden Lincoln sempat ditawari gajah perang untuk digunakan melawan tentara Konfederasi selama Perang Saudara oleh Raja Siam, yang kemudian ditolak dengan halus. Pada akhir abad ke-19, di tahun 1885 tentara Siam menggunakan gajah untuk melawan pasukan kolonial Prancis, kadang-kadang bahkan memasang musketeer (penembak senapan musket) di atas punggung gajah. Myanmar mungkin adalah tempat terakhir gajah tempur berhadapan langsung dengan tentara di medan perang. Saat itu tahun 1825 dan binatang-binatang itu milik dinasti kerajaan Burma yang berusia ribuan tahun. Mereka membantu para bangsawan menangkis para penyerbu yang datang dari jauh, yakni pasukan kekaisaran Inggris. Perlawanan ini akhirnya gagal. Inggris membawa senjata yang belum pernah dilihat Burma — roket — dan gajah dibantai dalam semburan api yang memekakkan telinga. Di jaman modern gajah tidak lagi memiliki efek yang sama seperti dulu. Ketika dunia mulai diperkenalkan dengan perang berbasis industri, yang mampu memproduksi senapan mesin, kendaraan lapis baja dan senjata kimia, gajah tiba-tiba tidak tampak begitu menakutkan. Tapi itu tidak berarti bahwa tentara di dunia tidak lagi menggunakan binatang pengangkut beban ini. Meskipun hari-hari operasi ofensif dari gajah perang telah berakhir, gajah masih terbukti berguna dalam hal logistik dan fungsi pendukung sebagai hewan pengangkut. Di luar medan perang mereka dapat membawa material berat, dan dengan kecepatan tertinggi sekitar 30 kilometer per jam (19 mph), menyediakan sarana transportasi yang berguna, sebelum kendaraan mekanis membuat mereka sebagian besar usang. Dalam Perang Dunia I, beberapa gajah sirkus digunakan untuk menggerakkan artileri berat dan mengangkut perbekalan. Jepang diketahui menggunakan gajah cukup banyak dalam Perang Dunia II untuk membawa perbekalan jauh ke dalam hutan, mengejutkan pasukan sekutu. Inggris akhirnya juga menggunakan gajah untuk membangun landasan pacu dan jalan-jalan di kawasan Asia dalam upaya untuk melawan pasukan Poros. 

Seekor gajah perang Siam pada tahun 1866. Tentara Siam menggunakan gajah perang yang dipersenjatai dengan jingal hingga Perang Perancis-Siam tahun 1893. (Sumber: https://imgur.com/)
Gajah perang di era kekuasaan Kolonial Inggris di India. Kehadiran senjata api semakin membuat gajah perang tidak relevan digunakan di medan perang. (Sumber: https://weaponsandwarfare.com/)
Selama Perang Dunia I, gajah dipakai untuk menarik alat berat. Gajah ini terlihat dipekerjakan di tempat pembuatan amunisi di Sheffield. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

GAJAH BURMA SAAT PERANG DUNIA II

Selama Perang Dunia II seorang pria bernama James Howard “Elephant Bill” William menunjukkan kepada dunia apa yang bisa dilakukan gajah dalam peperanhan. William adalah seorang perwira dan prajurit infanteri veteran Perang Dunia I asal Inggris yang mengawasi bagal dan unta saat bertugas. Setelah perang, ia pindah ke Burma dan bekerja di Perusahaan Perdagangan Bombay Burmah, dan menjadi pengawas gajah dari perusahaan, yang dipekerjakan untuk mengangkut barang-barang berat dan perbekalan melalui hutan. Setelah invasi Jepang dan tentara Sekutu mundur dari Burma, William menawarkan jasanya kepada pihak Sekutu, dan menjadi penasihat Pasukan Zeni Kerajaan Inggris di India. Pengalamannya dengan gajah, dan bahasa Burmanya yang fasih menjadikannya aset yang berharga. Gajah terbukti sangat berguna. Baik pasukan Sekutu maupun Jepang menerjunkan gajah dalam jumlah besar. Mereka dapat bergerak dengan relatif mudah melalui hutan lebat—dan dapat menyeberangi sungai yang akan membuat kendaraan bermotor terperosok. Akibatnya, gajah berperan penting dalam memindahkan alat-alat berat dan kayu dengan cepat untuk proyek konstruksi. Gajah membantu membangun jembatan dan jalan yang diperlukan untuk memindahkan tank dan kendaraan lapis baja ke garis depan. Di luar hutan, Korps Udara Angkatan Darat AS menggunakan gajah di lapangan terbang di India. Hewan-hewan ini dipakai mengangkut barang dan membantu memuatnya kedalam pesawat sebelum penerbangan mereka yang sulit melintasi pegunungan Himalaya. Dalam satu kasus, Amerika bahkan memanfaatkan gajah untuk melakukan operasi penyelamatan untuk mencapai pesawat yang jatuh jauh di dalam hutan lebat, dengan pesawat pengintai di langit menyampaikan instruksi kepada pasukan gajah di darat. 

Pasukan Jepang menggunakan gajah di Burma, tahun 1944. (Sumber: https://imgur.com/)
Gajah digunakan untuk menarik sebuah pesawat di India pada tahun 1944. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)
Seekor gajah di lapangan terbang Sekutu di India memuat perbekalan ke pesawat C-46 Amerika selama Perang Dunia II. (Sumber: https://medium.com/)

Field Marshal Inggris William Slim, yang menulis pembuka dari otobiografi Elephant Bill, memuji kontribusi gajah selama perang. “Mereka membangun ratusan jembatan untuk kami, mereka membantu membangun dan meluncurkan lebih banyak kapal untuk kami daripada yang pernah dilakukan Helen untuk Yunani,” tulis Slim. “Tanpa mereka, mundurnya kami dari Burma akan lebih sulit dan gerak maju kami menuju pembebasannya lebih lambat dan lebih sulit.” Namun sejauh ini, gajah yang paling terkenal dalam kampanye militer di Burma adalah Lin Wang—seekor gajah yang bertugas di kedua pihak selama perang. Lin Wang memulai dinasnya sebagai hewan pengangkut untuk unit Angkatan Darat Kekaisaran Jepang. Pada tahun 1943, pasukan Nasionalis China di bawah Jenderal legendaris Sun Li Jen menangkap Lin Wang, memaksanya dan beberapa gajah lainnya untuk mengangkut perbekalan bagi tentara China. Lin Wang bertugas di bawah Sun selama bertahun-tahun. Pasukan China membawa hewan itu melintasi Burma ke China—bersama dengan beberapa gajah lainnya—untuk digunakan dalam proyek konstruksi. Pada tahun 1947, Sun pergi ke Taiwan, dan membawa tiga gajah yang tersisa, termasuk Lin Wang. Dua lainnya meninggal karena sakit, dan pada tahun 1952, tentara Nasionalis memberikan Lin Wang ke Kebun Binatang Taipei di mana dia tinggal sampai tahun 2003, dan meninggal pada usia 86 tahun.

Lin Wang bertugas di Angkatan Darat China selama Perang Dunia II dan kemudian tinggal di Kebun Binatang Taipei, di mana ia menjadi selebriti nasional. (Sumber: https://www.funeralwise.com/)

GAJAH DALAM PERANG VIETNAM

Dalam kisah-kisah patriotisme yang penuh bumbu legenda sejarah Vietnam, pasukan gajah cukup banyak dicatat. Trung Sisters, 2 bersaudara pahlawan wanita rakyat Vietnam abad ke-1 masehi, selama 3 tahun (40-43 Masehi) menjadi pemimpin pemberontakan bangsa Vietnam melawan dinasti Hansering diabadikan dalam lukisan, patung, dan drama yang menggambarkan mereka berperang dengan menggunakan gajah. Lagi-lagi di abad ke-3 (225-248 Masehi) muncul lagi pahlawan wanita bernama Triệu Thị Trinh yang memimpin perlawanan bangsa Viet melawan Dinasti Wu Timur, Triệu dalam lukisan sering digambarkan layaknya Joan of Arc nya Vietnam bertarung di atas kepala gajah. Pada abad ke-15, Vietnam juga berhasil mengalahkan invasi Mongolia dengan menggunakan gajah perang. Gajah memang kemudian memainkan peran yang lebih sederhana dalam konflik modern seperti Perang Vietnam. Pada masa awal perang Vietnam sekitar awal tahun 1960an, prajurit Vietnam Selatan sering mengendarai gajah dalam patroli atau menyewa pawang gajah lokal untuk membantu mereka menyeberangi sungai yang dalam atau mengangkut alat berat ketika transportasi konvensional tidak tersedia. Hal ini banyak terjadi sebelum  kemudian Amerika Serikat terlibat secara langsung dalam perang tersebut.

Lukisan pahlawan wanita Vietnam Triệu Thị Trinh, menunggangi gajah dalam pertempuran melawan Dinasti Wu Timur. (Sumber: https://www.ancient-origins.net/)
Patroli tentara ARVN di dataran tinggi tengah pada tahun 1962. (Sumber: https://www.reddit.com/)
Gerilyawan Laos mengangkut perbekalan dengan gajah dan tenaga manusia ke pasukan NVA di dekat Rute 9 di Laos selatan selama upaya tentara Vietnam Selatan memblokir jalur tersebut. (Sumber: https://mashable.com/)

Di pihak lain para pemberontak komumis mempekerjakan gajah di sepanjang jalur Ho Chi Minh—pertama oleh Vietminh selama Perang Indocina Prancis dan kemudian oleh Angkatan Darat Vietnam Utara dan pasukan Viet Cong selama Perang Vietnam—untuk memindahkan amunisi dan perbekalan berat dari Vietnam Utara melintasi Laos dan Kamboja sebelum mencapai tujuan mereka di Vietnam Selatan. Dalam beberapa foto dokumentasi, akan terlihat perbedaan penggunaan gajah oleh kedua belah pihak yang bertempur. Pasukan Vietnam Selatan bersenjata lengkap menunggang gajah sebagai kendaraan patroli dengan semacam “kabin” yang menampung mereka diatas punggung gajah, sedangkan di pihak Vietnam Utara, hanya satu “supir” yang menunggangi gajah sebagai moda transportasi logistik. Meski diakui bahwa gajah memiliki keunggulan melintasi medan hutan berat yang tidak mau ditundukkan oleh kendaraan beroda, namun pasukan komunis menemukan bahwa gajah dengan mudah ditakuti oleh tembakan. Menurut salah satu mantan perwira Tentara Rakyat Vietnam, Letnan Pham Van Phan: “Mereka tidak mudah dikendalikan … terutama ketika pertempuran sedang berlangsung.” Dalam catatan yang ditulis dalam buku “War Elephants” oleh John M. Kistler, perwira Vietnam mencatat bahwa pasukan dapat menjadi sangat setia kepada hewan-hewan ini. Mereka akan enggan untuk meninggalkan gajah mereka bahkan pada saat pertempuran sengit. 

Operation Barroom adalah upaya yang dipimpin oleh Kapten Angkatan Darat AS John Gantt untuk mengangkut gajah yang dimaksudkan untuk bekerja di pabrik kayu di Tra Bong, Vietnam, selama Perang Vietnam Perang Vietnam. (Sumber: https://www.shutterstock.com/)
Poster film Operation Dumbo Drop yang dibintangi Danny Glover, Ray Liotta dan Denis Leary, film ini terinspirasi oleh kisah Operation Barroom. (Sumber: https://www.hotstar.com/)

Namun, pasukan Amerika tidak begitu sentimentil terhadap hewan-hewan ini. Jet tempur AS dan helikopter serang akan sering menembaki gajah mana pun yang dicurigai digunakan oleh pihak komunis. Sebuah kisah New York Times di tahun 1966 menceritakan tentang pembantaian semacam itu: “Pilot Marinir Amerika Serikat memberondong kawanan sebelas gajah … lima dari binatang itu langsung terbunuh dan lima lainnya terlihat ambruk.” Dengan berjalannya perang yang banyak didominasi oleh kampanye gerilya, mengendarai gajah yang berisik malah memancing pihak musuh untuk mengetahui posisi pasukan gajah dan menembaki mereka. Ketika intensitas perang meningkat, truk-truk buatan blok Soviet mulai menggantikan gajah dan sepeda sebagai moda transportasi di jalur Ho Chi Minh trail yang mengundang pihak Amerika secara rutin membomi wilayah negara netral Laos dan Kamboja. Pasukan Khusus AS, dalam operasi Bahroom pernah mengangkut dua gajah, Bonny dan Clyde, menggunakan helikopter angkut berat CH-53 ke desa suku pegunungan Montagnard di Dataran Tinggi Tengah untuk memungkinkan orang-orang Montagnard menarik kayu ke penggergajian kayu yang mereka buat. Kedua gajah itu ditenangkan, diletakkan di atas palet dan diangkut ke desa. Itu adalah misi yang sukses dan hanya dirusak oleh gas besar yang keluar dari gajah setelah diberikan obat penenang untuk membuat mereka rileks. Jika Anda menonton film Operation Dumbo Drop yang dibintangi Danny Glover, Ray Liotta dan Denis Leary, film ini mengisahkan cerita ini.

GAJAH DI KONFLIK MYANMAR

Kini gajah perang sudah nyaris tidak dipakai lagi, tetapi ada satu sudut di planet ini — dan hanya satu — di mana gajah perang tetap bertahan hingga abad ke-21. Tempat itu adalah Myanmar. Bukan Myanmar tengah, di mana kelompok wisata yang hobby selfie-snapping digiring melalui kuil emas. Gajah-gajah perang melintasi wilayah yang lebih berbahaya di negara itu: Negara Bagian Kachin utara, di mana modernitas terhambat oleh perang. Di sana, di puncak bukit terpencil yang berbatasan dengan China, tradisi gajah perang berusia 4.000 tahun dari umat manusia tetap hidup. Pengguna mereka adalah pemberontak yang dikenal sebagai KIA, kependekan dari Kachin Independence Army yang bertempur melawan pemerintah Myanmar. KIA utamanya berupaya mempertahankan wilayah asalnya dari dominasi militer Myanmar. Mereka mengandalkan mortir, senapan serbu, 10.000 pejuang (termasuk wanita) dan korps yang kurang dikenal yang terdiri dari sekitar empat lusin gajah. “Anda kebanyakan akan menemukannya di daerah terpencil. Tempat-tempat di mana mobil dan truk tidak bisa pergi,” kata Kolonel James Lum Dau, seorang spesialis urusan luar negeri yang telah bertugas di KIA selama beberapa dekade. “Di hutan lebat, gajah adalah satu-satunya cara untuk membawa perbekalan. Tidak ada jalan lain.” Sementara itu adalah tidak benar untuk membayangkan adanya pasukan kavaleri gajah KIA. Kata-kata “gajah perang” sama sekali tidak menyiratkan bahwa “KIA memakai gajah-gajah ini bertempur dan membunuh,” Gajah KIA murni bertujuan mendukung logistik. Mereka tidak dipakai untuk menginjak tulang rusuk musuh. Mereka bergerak diam-diam — yah, diam-diam menurut standar gajah — di sepanjang rute hutan rahasia dengan muatan di punggung mereka. “Mereka bisa membawa apa saja,” kata Kolonel James Lum Dau. “Beras, bekal, obat-obatan, senjata. Apa pun yang biasanya Anda bawa dengan mobil.”

Pemberontak Tentara Kemerdekaan Kachin mengendarai gajah menuju garis depan di Myanmar pada April 2012. (Sumber: https://theworld.org/stories/)

Negara Bagian Kachin, yang terperosok dalam perang selama beberapa abad terakhir, sulit dilalui dengan mobil. Sebagai gambaran, hanya ada sedikit jalan. Juga tidak ada banyak listrik atau banyak rumah sakit dan sekolah. Kekosongan pembangunan ini adalah akibat perang. Selama beberapa dekade, tentara Myanmar telah menembaki desa-desa Kachin dan menyerang posisi pemberontak dengan helikopter-helikopter serbu. Pada tahun 2017, penyerangan berlangsung tidak henti-hentinya. Tetapi bahkan jika perang berhenti segera — dan itu tampaknya tidak akan terjadi — tempat ini akan sulit untuk dimodernisasi. Daerah ini bergunung-gunung dan kerap diguyur hujan lebat hampir sepanjang tahun. Ini adalah jenis medan yang sering dicoba dan gagal ditundukkan oleh beberapa penguasa. Seperti di Appalachia atau Tibet, dataran tinggi yang tidak dapat dilalui menumbuhkan budaya yang menghargai kemerdekaan. Orang-orang Kachin tidak terkecuali. Sementara pasukan Myanmar bergerak dengan kendaraan yang bising, para pemberontak menyelinap melalui hutan liar. Begitu juga hewan pengangkut besar mereka. Gajah Asia “telah berevolusi untuk bergerak dalam kondisi seperti ini,” kata Jacob Shell, asisten profesor geografi di Temple University yang telah mempelajari gajah perang secara ekstensif. “Mereka bahagia saat hujan, tidak terjebak dalam lumpur — otot-otot di kaki mereka mencegah hal ini — dan dapat ‘mengisi bahan bakar’ dengan memakan rebung dan tumbuh-tumbuhan bergizi lainnya yang mereka temui saat melintasi medan.” Namun, pertemuan dengan gajah perang KIA sangat jarang terjadi. Rajeev Bhattacharyya, seorang jurnalis India, adalah salah satu dari sedikit orang yang merasakan kesenangan itu. Saat bepergian di sekitar perbatasan India-Myanmar yang sulit diatur, ia menemukan unit KIA yang dibuntuti oleh gajah. Berbekal senapan dan parang, para gerilyawan mencari gajah liar dengan harapan dapat menangkap beberapa gajah baru — yang pada dasarnya membawa lebih banyak binatang itu ke dalam perang mereka. Pawang gajah Kachin ramah tapi dijagai. “Tetapi mereka mengatakan bahwa permintaan kebutuhan akan gajah sangat besar,” kata Bhattacharyya, “mungkin karena perang yang sedang berlangsung.”

KELEMAHAN ‘SENJATA HIDUP’

Seperti halnya senjata apa pun, banyak upaya dilakukan untuk melawan keunggulan apa pun yang diberikan gajah perang kepada pasukan lawan. Selama bertahun-tahun, banyak rencana imajinatif dirumuskan untuk menghadapi gajah perang. Timur memerintahkan jerami untuk diletakkan di punggung unta dan dibakar. Unta-unta yang menyala-nyala itu kemudian menyerang gajah-gajah itu, yang segera menjadi tidak terkendali. Ditemukan juga bahwa gajah sangat tidak menyukai babi, terutama jeritan mereka yang bernada tinggi. Fakta ini disebutkan dalam teks tulisan sejarawan Romawi Pliny: “Gajah ditakuti oleh jeritan babi kecil.” Kabarnya, babi yang diolesi minyak dibakar kemudian dikirim ke arah gajah, yang mengakibatkan hewan yang lebih besar itu tercerai-berai.  Babi hanya bisa dibakar sekali dan mereka tidak bertahan lama. Sebagai penangkal untuk bisa menahan pengaruh jeritan babi babi, babi-babi itu disimpan di kandang bersama gajah agar mereka terbiasa dengan jeritan babi. Di sisi lain tidak butuh waktu lama bagi para ahli strategi untuk mengetahui bahwa tanpa pawang, gajah perang tidak berguna. Oleh karena itu, para pawang menjadi sasaran khusus para pemanah dan pelempar lembing. Taktik lain adalah memanfaatkan titik lemah gajah, yakni alas kakinya. Perangkat berduri (caltrops) atau papan berduri biasanya dilemparkan ke jalur yang dilewati hewan itu untuk membuat mereka lumpuh. Juga, karena gajah sering mengambil pasukan musuh dengan belalainya, beberapa tentara dilengkapi dengan baju besi khusus untuk merusak belalai jika gajah menyerang. Terakhir, prajurit bersenjata kapak biasanya menargetkan kaki gajah untuk melumpuhkannya. Sayangnya, bagi para penyerang, ketebalan kulit gajah membuat melukai makhluk itu menjadi tugas yang sulit.

Babi adalah senjata yang sangat efisien melawan gajah perang yang jauh lebih besar. (Sumber: https://historyofyesterday.com/)

Dalam upaya untuk melindungi kerentanan gajah, mereka biasanya dilengkapi dengan baju besi yang mengesankan. Gajah perang disamping itu adalah investasi besar dalam segala hal. Untuk membawa seekor gajah ke dalam pertempuran, ia harus dilatih secara ekstensif karena tidak wajar bagi seekor gajah untuk dengan sengaja membunuh banyak manusia. Pelatihan memakan waktu hingga satu dekade atau lebih dan karena sulit untuk berkembang biak dalam jumlah cukup, dan untuk mempertahankan atau menumbuhkan kawanan; gajah liar terus-menerus dijebak dan diangkut untuk dilatih. Biaya untuk menjebak, mengangkut, dan melatih gajah sangat besar dan baju zirah yang dibuat khusus membutuhkan biaya yang sangat besar. Dari sisi logistik membawa gajah ke medan tempur juga tidaklah murah. Sebagai contoh 54 gajah yang dibawa tentara Seleukos ke Magnesia mungkin telah mengkonsumsi makanan sebanyak yang dibutuhkan 1.000 pasukan kavaleri (penunggang kuda, kuda, dan pelayan untuk merawat kuda itu dan penunggangnya). Jika seorang komandan perang tidak menggunakannya untuk berperang maka bisa dibilang sebuah generasi gajah yang terlatih pada dasarnya bisa terbuang sia-sia. Di jaman modern begitu senapan serbu muncul di abad ke-20, nasib gajah tempur sudah ditentukan. Seekor gajah Asia, misalnya, yang secara harfiah sebesar gudang. Mereka menjadi sasaran empuk bahkan bahkan bagi prajurit rekrutan paling amatir dengan senapan serbu AK-47.

FLEKSIBILITAS DI DALAM DAN DI LUAR MEDAN PERANG

Kadang-kadang, gajah digunakan untuk tujuan militer di luar medan perang. Salah satu penggunaannya adalah untuk mengeksekusi musuh: seekor gajah yang marah akan dilepaskan ke mereka yang dihukum untuk dibunuh. Gajah juga digunakan sebagai senjata pengepungan. Ada beberapa kisah tentang gajah yang menggunakan kepala dan gadingnya untuk menghancurkan benteng sampai mereka goyah. Hewan-hewan itu juga digunakan untuk mengarungi sungai. Mereka dapat digunakan sebagai “jembatan” atau hanya untuk memblokir arus untuk memungkinkan pasukan menyeberang dengan cepat. Baru-baru ini pada tahun 2004, Angkatan Darat A.S. bahkan mengklasifikasikan gajah sebagai hewan pembawa beban, meskipun juga memperingatkan — dalam manual lapangan yang didistribusikan ke Pasukan Operasi Khusus — bahwa herbivora raksasa ini “tidak boleh digunakan oleh personel militer AS” karena statusnya yang terancam punah dan bahaya yang melekat dalam mengendarai mereka. Sementara keberhasilan gajah secara keseluruhan sebagai senjata perang masih bisa diperdebatkan—mereka bisa menjadi penghalang sekaligus bantuan—kekuatan kasar mereka sebagai senjata taktis tidak dapat dibantah. Kemampuan mereka untuk memindahkan barang-barang berat dan untuk membantu pengepungan dan transportasi tentu membuat mereka berharga, bahkan meski mereka tidak pernah benar-benar dikonsultasikan tentang kesediaan mereka sendiri untuk mengambil bagian dalam bisnis brutal perang yang dikobarkan oleh manusia.

Gajah perang dalam L’Illustration, Journal Universel, No 595, Volume XXIV, July 22, 1854. Sementara keberhasilan gajah secara keseluruhan sebagai senjata perang masih bisa diperdebatkan—mereka bisa menjadi penghalang sekaligus bantuan—kekuatan kasar mereka sebagai senjata taktis tidak dapat dibantah. (Sumber: https://www.thedrive.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

The History of War Elephants: From Ancient India to Vietnam By David Ison

https://warfarehistorynetwork.com/history-of-war-elephants-from-ancient-india-to-vietnam/

Battle of the Dumbos: Elephant Warfare From Ancient Greece to the Vietnam War by Kevin Knodell

https://medium.com/war-is-boring/battle-of-the-dumbos-elephant-warfare-from-ancient-greece-to-the-vietnam-war-ca62af225917

War elephants still exist. But only in one forbidding place By Patrick Winn; GlobalPost; February 27, 2017 · 10:30 AM EST

https://theworld.org/stories/2017-02-27/war-elephants-still-exist-only-one-forbidding-place

Vietnam, War and Elephants; July 08, 2015

https://the-elephant-story.com/blogs/news/35021060-vietnam-war-and-elephants

The War Elephants — The Tanks of Antiquity by Peter Preskar; Sep 26, 2021

https://historyofyesterday.com/war-elephants-9c978dbcafdc

CARTHAGINIAN WAR ELEPHANT By JON GUTTMAN; 2/25/2016

The Pros and Cons of Ancient War Elephants by William Mclaughlin

https://www.google.com/amp/s/www.warhistoryonline.com/ancient-history/the-pros-and-cons-of-ancient-war-elephants.html/amp

A Lesson from History: When Assembling an Army of War Elephants, Don’t Pick Inbred Ones by Rachel Nuwer; January 13, 2014

https://www.smithsonianmag.com/smart-news/lesson-history-when-assembling-army-war-elephants-dont-pick-inbred-ones-180949323/

This Ancient Suit Of Elephant Armor Holds The Record For The Largest Of Its Kind BY

TYLER ROGOWAY; JAN 20, 2018 7:26 PM

THE WAR ZONE

https://www.thedrive.com/the-war-zone/17835/this-ancient-suit-of-elephant-armor-holds-the-record-for-the-largest-of-its-kind

Collections: War Elephants, Part I: Battle Pachyderms by Bret Devereaux; July 26, 2019

10 Famous Elephants From History BY NATE BARKSDALE

https://www.google.com/amp/s/www.history.com/.amp/news/10-famous-elephants-from-history

Collections: War Elephants, Part II: Elephants against Wolves by Bret Devereaux, August 2, 2019

https://en.m.wikipedia.org/wiki/War_elephant

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *