Others

Perang Kemerdekaan Guinea Bissau (1963-1974): Mimpi Buruk Ala Vietnam Bagi Portugis

Perang Kemerdekaan Guinea-Bissau (bahasa Portugis: Guerra de Independência da Guiné-Bissau), adalah konflik bersenjata dalam merebut kemerdekaan yang terjadi di Guinea Portugis antara tahun 1963 dan 1974. Peperangan ini terjadi antara Pemerintah Kolonial Portugal dan Afrika Party for the Independence of Guinea and Cape Verde, sebuah gerakan kemerdekaan bersenjata yang didukung oleh negara-negara berpaham komunis, yakni Kuba, Uni Soviet, dan Yugoslavia. Perang ini kerap disebut sebagai “Vietnam-nya Portugal” karena banyaknya jumlah personel dan material yang dikerahkan dalam jangka waktu lama, untuk memadamkan perang gerilya. Perang ini, seperti pengalaman Amerika di Vietnam, telah menimbulkan kekacauan politik internal di Portugal sendiri. Perang di Guinea-Bissau kemudian berakhir ketika Portugal, setelah Revolusi Bunga tahun 1974, memberikan kemerdekaan kepada Guinea-Bissau, yang diikuti oleh Tanjung Verde setahun kemudian.

Sebuah mobil lapis baja Portugis yang hancur, peninggalan dari perang kemerdekaan di Guinea-Bissau. Perang kolonial di Afrika kerap disebut sebagai “Vietnam-nya Portugal” karena banyaknya jumlah personel dan material yang dikerahkan dalam jangka waktu lama, untuk memadamkan perang gerilya di wilayah yang menjadi koloni Portugal di abad ke-20. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

KOLONIALISME PORTUGIS DI GUINEA-BISSAU

Orang-orang Portugis adalah kekuatan kolonial Eropa pertama yang datang ke benua Afrika, dan, bersama Spanyol, menjadi yang terakhir menarik diri dari wilayah jajahannya ini pada tahun 1970-an. Sungai-sungai di Guinea dan pulau-pulau di Tanjung Verde termasuk di antara daerah-daerah pertama di Afrika yang dieksplorasi oleh orang-orang Portugis pada abad ke-15. Portugal mengklaim wilayah itu sebagai Guinea Portugis pada tahun 1446, saat ekspedisi asal Portugis yang dipimpin oleh navigator dan pedagang budak Nuno Tristan mendarat di pantai barat Afrika, dekat Kepulauan Tanjung Verde. Portugis kemudian menemukan daratan yang lebih luas, yang lalu mereka sebut sebagai Guinea. Namun, Tristan sendiri dan beberapa rekannya kemudian dibunuh oleh warga setempat. Hanya setelah dua puluh tahun, raja Portugal memberikan hak kepada orang-orang Portugis di Tanjung Verde untuk mengembangkan tanah di Guinea. Sejak 1471, Portugis mulai menjajah wilayah pesisir, tetapi hanya sedikit pos perdagangan yang didirikan sebelum tahun 1600. Pada tahun 1630, “Gubernur jenderal” Guinea Portugis ditunjuk untuk mengelola wilayah tersebut. Dengan kerjasama beberapa suku lokal, Portugis memasuki perdagangan budak dan mengekspor sejumlah besar orang-orang Afrika yang malang ke Belahan Bumi Barat melalui Kepulauan Tanjung Verde. Selama berabad-abad para budak, yang dibeli dari para penguasa lokal ini dijual dan dikirim ke Brasil untuk bekerja di perkebunan gula dan tembakau. Cacheu menjadi salah satu pusat budak utama, dan sebuah benteng kecil masih berdiri di kota itu. Perdagangan budak kemudian mulai menurun pada abad ke-19 (perdagangan budak kemudian dilarang oleh otoritas Portugis) dan Bissau, yang awalnya didirikan sebagai pusat militer dan perdagangan budak pada tahun 1765, tumbuh menjadi pusat komersial utama. Penaklukan Portugis dan konsolidasi wilayah pedalaman bagaimanapun tidak akan dimulai sampai paruh kedua abad ke-19. Wilayah Guinea berada di bawah kendali Gubernur Kepulauan Tanjung Verde dan hanya pada tahun 1879 sebuah koloni terpisah di Guinea Portugis didirikan.

Jutaan orang Afrika diperbudak selama perdagangan budak trans-Atlantik abad ke-15, termasuk dari wilayah Guinea Bissau. Selama berabad-abad para budak, yang dibeli dari para penguasa lokal ini dijual dan dikirim ke Brasil untuk bekerja di perkebunan gula dan tembakau. (Sumber: https://www.dw.com/)

Guinea Portugis terus bergantung pada pemerintah Tanjung Verde sampai tahun 1887, ketika memperoleh status provinsi luar negeri yang terpisah dari Portugal. Pada tahun 1892, wilayah ini menerima status distrik otonom, dan menjadi provinsi lagi pada tahun 1896. Portugal kemudian kehilangan sebagian wilayah Guinea, yang menjadi Afrika Barat Prancis. Termasuk yang hilang adalah pusat dari tujuan komersial Portugis sebelumnya, yakni wilayah Sungai Casamance. Di sisi lain, perselisihan antara Portugis dengan Inggris Raya atas kendali pulau Bolama diselesaikan dengan posisi yang menguntungkan Portugal lewat keterlibatan Presiden AS Ulysses S. Grant. Perbatasan antara Guinea Prancis dan Guinea Portugis lalu didasarkan pada konvensi tahun 1886 antara Prancis dan Portugal; dimana garis demarkasinya selesai pada tahun 1905. Untuk sebagian besar panjangnya, batas ini mengikuti segmen garis lurus yang ditetapkan dengan mudah pada titik tengah sungai. Sebelum Perang Dunia I, pasukan Portugis, dengan bantuan dari penduduk Muslim, menaklukkan suku-suku animisme dan akhirnya menetapkan perbatasan wilayah tersebut. Meski demikian wilayah kedalaman Guinea Portugis baru dikuasai setelah melewati lebih dari 30 tahun pertempuran. Penaklukan terakhir atas Kepulauan Bijagos baru terjadi pada tahun 1936. Dibandingkan dengan Angola dan Mozambik, Guinea adalah koloni Portugis yang tidak terlalu signifikan. Ibu kota administratif kemudian dipindahkan dari Bolama ke Bissau pada tahun 1941, dan pada tahun 1952, dengan amandemen konstitusi, koloni Guinea Portugis menjadi provinsi seberang lautan dari Portugal. 

Peta Guinea Bissau. Penaklukan terakhir Portugal atas Kepulauan Bijagos baru terjadi pada tahun 1936. (Sumber: https://www.nationsonline.org/)

Selama tahun 1950-1970-an, sebagian besar koloni di Afrika, Asia, Karibia, dan Oseania lepas dari kekuatan Eropa dengan memperoleh kemerdekaan politik. Pemerintah kolonial terakhir yang keras kepala menolak untuk membebaskan jajahannya di benua Afrika mereka adalah Portugal. Lamanya kekuasaan kolonial Portugis di Afrika, dalam taraf tertentu disebabkan karena posisi netral-nya selama Perang Dunia II, yang mana hal ini menghindarkan mereka dari kekalahan yang mengguncang tatanan mereka di wilayah jajahannya. Pada pertengahan abad kedua puluh, sebagian besar koloni Portugis terletak di Afrika, yakni di Angola, Mozambik, Guinea-Bissau, Tanjung Verde, Sao Tome dan Kepulauan Principe. Seperti di koloni-koloni Afrika lainnya, gerakan antikolonial berangsur-angsur meningkat aktivitasnya di wilayah jajahan Portugis. Dari pemberontakan rakyat di akhir abad ke XIX – awal abad XX, secara bertahap gerakan-gerakan ini berkembang menuju kelompok perjuangan pembebasan nasional yang sifatnya lebih modern. Ini sebagian merupakan hasil dari kebijakan kepemimpinan Portugis di tahun-tahun pemerintahan diktator Antonio de Oliveira Salazar. Seperti yang banyak diketahui, Salazar berusaha dengan segala cara untuk menjaga koloni-koloni di seberang lautan tetap ada di bawah kekuasaan Portugis. Salazar tahu betul bahwa tanpa mereka, Portugal akan berubah menjadi negara kecil, dengan kehilangan sumber daya ekonomi yang serius dan tidak ada yang akan memperhitungkan mereka. Oleh karena itu, diktator Portugis mendukung penuh konsep Lusotropicalismo. Penulisnya, filsuf Brasil Gilberto Freire, percaya bahwa orang-orang Portugis lebih luwes untuk berkomunikasi dengan masyarakat wilayah tropis di Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Disamping itu peradaban Portugis bersifat multikultural, yang bisa menyatukan perwakilan dari berbagai ras yang ada. Sesuai dengan konsep ini, penguasa Portugis berusaha membentuk di koloni-koloninya golongan elit pribumi yang akan menjadi pendukung yang dapat diandalkan bagi pemerintah Lisbon dan membantu dalam mengatur para penduduk pribumi. Perwakilan Asimilados, sebagaimana orang-orang elit Afrika ini dipanggil di Portugal, yang mengadopsi agama Katolik, mengenal bahasa Portugis, dan mempelajari cara hidup orang Portugis, serta memiliki kesempatan untuk belajar di kota metropolitan.

Diktator Portugal Antonio de Oliveira Salazar. Salazar berusaha dengan segala cara untuk menjaga koloni-koloni di seberang lautan tetap ada di bawah kekuasaan Portugis. Salazar tahu betul bahwa tanpa mereka, Portugal akan berubah menjadi negara kecil, dengan kehilangan sumber daya ekonomi yang serius dan tidak ada yang akan memperhitungkan mereka. (Sumber: https://www.wsj.com/)
Agostinho Neto, pemimpin masa depan MPLA di Angola. Kebijakan Portugis memberi kesempatan pada kaum elit Afrika menempuh pendidikan di Eropa, ironisnya hal ini malah akan menjadi awal dari babak baru dalam gerakan pembebasan nasional koloni-koloni Portugal di Afrika. Hampir semua pemimpin gerakan pembebasan nasional di koloni Portugis dididik di kota metropolitan Portugal. (Sumber: https://traveltomorrow.com/)

Ironisnya hal ini malah akan menjadi awal dari babak baru dalam gerakan pembebasan nasional koloni-koloni Portugal di Afrika. Dalam periode ini penduduk asli di wilayah-wilayah koloni, yang belajar di Portugal, mulai berkenalan dengan golongan sosialis dan komunis lokal, serta mendapatkan akses ke berbagai literatur revolusioner dan menjadi semakin yakin akan ketidakadilan dari sistem kolonial yang ada. Hampir semua pemimpin gerakan pembebasan nasional di koloni Portugis dididik di kota metropolitan Portugal. Di fakultas kedokteran Universitas Coimbra yang terkenal, Agostinho Neto sempat belajar – ia akan menjadi pemimpin masa depan MPLA di Angola. Di Lisbon, tempat ia belajar kedokteran, ada juga tokoh Angola terkenal lainnya, yakni Jonas Savimbi, yang kemudian mendirikan UNITA. Eduardo Mondlane, salah satu pendiri Front Pembebasan Nasional Mozambik (FRELIMO), dan Joaquín Chissano, calon Presiden Mozambik, juga belajar di Lisbon. Kemudian Amilcar Cabral, yang memimpin perjuangan pembebasan nasional masyarakat Guinea-Bissau dan Tanjung Verde, termasuk di antara mahasiswa asal Afrika yang belajar di Lisbon. Pada tahun 1961 hanya kurang dari 1% populasi jajahan Portugis di Afrika yang dapat dikategorikan sebagai Asimilados.

PEMBERONTAKAN PECAH

Pada tahun 1956 sekelompok orang asal Tanjung Verde, yang dipimpin oleh Amilcar Cabral, yang seorang Asimilados dan kelompok dari wilayah tetangganya Guinea-Bissau, mengorganisir Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde (PAIGC) yang menuntut perbaikan kondisi ekonomi, sosial, dan politik di Tanjung Verde dan Guinea Portugis. Amilcar Cabral (1924-1973), merupakan penduduk asli kota Bafata, yang berasal dari keluarga Asimilados yang kaya dari Kepulauan Tanjung Verde. Di Guinea Portugis, orang-orang dari Tanjung Verde selalu menempati posisi istimewa, karena mereka telah mempelajari budaya Portugis ke tingkat yang lebih tinggi, dan bahasa Portugis adalah bahasa utama bagi mereka. Amilcar Cabral dididik di Lisbon – di Institut Tinggi Agronomi, setelah itu pada tahun 1952 ia kembali ke Guinea dan mendapat pekerjaan sebagai ahli agronomi di pertanian Pessube. Cabral kembali ke tanah airnya sebagai pendukung setia gerakan pembebasan nasional — ketika masih pada tahun 1948, saat belajar di Portugal, ia menjalin hubungan dengan mahasiswa Afrika lainnya yang memiliki pandangan politik sayap kiri. Pada tahun 1951, bersama dengan orang Angola Agostinho Neto dan Mario de Andrade, San Francisco Jose Tenreiro, Amilcar Cabral mendirikan Pusat Studi Afrika. Kembali ke Guinea, pada tahun 1953, Cabral mendirikan Gerakan Kemerdekaan Nasional Guinea, yang sebagian besar anggotanya berasal dari orang-orang Asimilados – terdiri dari orang-orang intelektual dan para pekerja terampil. Pada tahun 1955, gubernur Guinea mengirim Cabral ke Angola, dengan hak untuk mengunjungi keluarganya di Guinea tidak lebih dari setahun sekali. Tapi itu sudah cukup bagi Amilcar. Pada tanggal 19 September 1956 di Bissau, Amilcar Cabral, saudara tirinya Luis Cabral, Fernando Fortes, Aristides Pereira, Julio Almeida dan Elise Turpin mendirikan organisasi politik baru yang disebut Partai Kemerdekaan Afrika, yang nantinya akan dikenal sebagai PAIGC. Tujuan mereka adalah mewujudkan kemerdekaan untuk Guinea Portugis dan Kepulauan Tanjung Verde dari penjajahan Portugis. Ketika negosiasi gagal, PAIGC bekerja untuk mendapatkan dukungan dari penduduk-penduduk desa di wilayah Guinea. Kegiatan besar pertama PAIGC adalah pemogokan buruh pelabuhan di Bissau pada tanggal 3 Agustus 1959. Polisi kolonial lalu menindas pemogokan dengan kekerasan dan diperkirakan 25-50 orang tewas; insiden itu kemudian dikenal sebagai pembantaian Pidjiguiti. Pembantaian kemudian itu menyebabkan peningkatan besar dukungan rakyat kepada PAIGC. PAIGC lalu memindahkan markas besarnya ke Conakry, Guinea, pada tahun 1960 dan kemudian memulai pemberontakan bersenjata melawan Portugis pada tahun 1961. Pada tanggal 18 April 1961 PAIGC bersama dengan FRELIMO dari Mozambik, MPLA dari Angola dan MLSTP dari São Tomé dan Príncipe membentuk Konferensi Organisasi Nasionalis Koloni Portugis (CONCP) selama konferensi di Maroko. Tujuan utama dari organisasi ini adalah membentuk kerjasama dari berbagai gerakan pembebasan nasional yang ada di bawah jajahan Portugis.

Amilcar Cabral, pemimpin Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea dan Tanjung Verde (PAIGC). (Sumber: https://justworldeducational.org/)

Sementara itu, Guinea (negara tetangga), yang berdekatan, dibawah pimpinan Presiden Ahmed Sekou Toure sangat aktif mendukung pasukan nasionalis Bissau yang berusaha mengakhiri kekuasaan kolonial Portugis di Guinea Portugis, sejak kemunculan pertama mereka pada awal tahun 1960-an. PAIGC telah mempertahankan markas besarnya di Conakry dan markas garis belakangnya di Guinea dekat perbatasan dengan koloni Portugis itu. Kediaman pemimpin PAIGC Amilcar Cabral di Conakry dekat dengan kediaman Presiden Touré, dan kedua pemimpin itu menganut ideologi yang sama dalam urusan domestik dan internasional. Pada bulan Agustus 1961, kepemimpinan PAIGC mengumumkan perlunya transisi ke perjuangan bersenjata melawan kekuasaan Portugis. Pada saat yang sama, para pemimpin partai mulai mencari akses ke pemimpin Soviet untuk menerima bantuan dari negara itu. Tugas ini sangat dibantu oleh Presiden Guinea, Ahmed Sekou Touré, yang mengikuti garis pro-Soviet. Pada akhir 1961, Moskow menerima pesan dari Kedutaan Besar Soviet di Guinea, yang menurutnya Sekretaris Jenderal PAIGC Amilcar Cabral meminta izin untuk bisa datang ke Uni Soviet untuk bertemu dengan perwakilan pemimpin Soviet. Gayung bersambut, para pemimpin di Moskow, memutuskan untuk bertemu dengan Cabral. Uni Soviet, saat itu tertarik untuk memperkuat pengaruh politiknya di Afrika, kemudian menjalin hubungan dengan PAIGC. 

Gerilyawan PAIGC dengan persenjataan asal Blok Timur. Pada akhir 1961, Amilcar Cabral meminta izin untuk bisa datang ke Uni Soviet untuk bertemu dengan perwakilan pemimpin Soviet. Gayung bersambut, para pemimpin di Moskow, memutuskan untuk bertemu dengan Cabral. Uni Soviet, saat itu tertarik untuk memperkuat pengaruh politiknya di Afrika, kemudian menjalin hubungan dengan PAIGC. (Sumber: https://en.topwar.ru/
Gerilyawan wanita PAIGC. (Sumber: https://en.topwar.ru/)

Di bawah PAIGC, unit bersenjata dari partai ini diciptakan, yang kemudian dikenal sebagai Angkatan bersenjata revolusioner rakyat (FARP), dengan meniru struktur organisasi FNLA di Angola. Sementara itu, karena pasukan Portugis jumlahnya jauh lebih kecil di koloni ini daripada di Angola atau Mozambik, para gerilyawan berhasil menguasai wilayah yang luas di selatan dan di tengah Guinea Portugis dalam waktu yang singkat. Perang di Guinea Portugis bahkan kemudian dijuluki sebagai “Vietnam-nya Portugis”, karena gerilyawan PAIGC beroperasi di hutan Guinea dan berhasil menyerang pasukan kolonial Portugis. Taktik yang salah yang dipilih oleh komando militer Portugis juga berkontribusi pada keberhasilan para partisan. Pasukan pasukan kolonial (angkatan bersenjata Portugis di luar negeri) tersebar di antara pemukiman, pertanian, dan perkebunan yang terpisah-pisah untuk melindungi mereka, dimana hal ini lalu menjadikan unit-unit kecil pasukan Portugis sebagai target yang cocok untuk serangan para partisan. Pada saat yang sama, di Tanjung Verde, di mana mayoritas penduduknya adalah orang-orang mulatto dan Asimilados, perang gerilya melawan penguasa Portugis tidak kunjung muncul. Sebagian besar penduduk Tanjung Verde memang memiliki paspor Portugis dan tidak ingin memanggul senjata dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Faktor ini kemudian akan memainkan peran utama dalam penentuan lebih lanjut nasib PAIGC di Guinea-Bissau dan PAIGC yang beroperasi di Tanjung Verde.

PERANG GERILYA DI GUINEA-BISSAU

Pada saat konflik terbuka pecah, Portugis hanya memiliki dua kompi infanteri di Guinea Bissau dan ini terkonsentrasi di kota-kota utama. Pada tahun 1962 kelompok-kelompok gerilya mulai menyerang pos-pos tentara dan kantor polisi Portugis. Terbatasnya pasukan kolonial, kemudian memberikan para pemberontak kebebasan beroperasi di pedesaan. PAIGC lalu meledakkan jembatan, memotong jalur telegraf, menghancurkan bagian jalan raya, mendirikan tempat penimbunan senjata dan tempat persembunyian, serta menghancurkan desa-desa Fula dan pos-pos administrasi kecil. Pada akhir tahun 1962 Portugis melancarkan serangan dan berhasil mengusir kader PAIGC yang tidak terintegrasi dengan penduduk setempat. Pertempuran pecah pada bulan Januari 1963 ketika gerilyawan PAIGC menyerang garnisun Portugis di Tite, dekat Sungai Corubal, selatan Bissau, ibu kota Guinea Portugis. Aksi gerilya serupa dengan cepat menyebar ke seluruh koloni, terutama di selatan. Kondisi geografi, berupa hutan lebat dengan banyak saluran air, sangat menguntungkan untuk kegiatan gerilya. Berada di wilayah Tropis, Guinea memiliki iklim yang ekstrim, dengan kondisi kering yang dingin di bulan Oktober hingga Maret dan musim hujan yang panas setelahnya. PAIGC awalnya hanya memiliki sedikit senjata – mungkin hanya satu pistol mitraliur dan dua pistol per kelompok – jadi mereka menyerang konvoi Portugis untuk mendapatkan lebih banyak senjata. Setiap kelompok berjuang terpisah-pisah dan membangun basis di hutan secara independen dari yang lain. Banyak kelompok dibentuk atas dasar suku dan agama. Kelompok-kelompok ini mulai mengganggu penduduk setempat dan orang-orang mulai melarikan diri dari zona “yang dibebaskan” oleh para pemberontak. Para komandan PAIGC pusat kemudian merasa ngeri dan menganggap aksi militer liar ini sebagai aksi “komandisme”. Sekitar bulan Oktober 1963, Portugis mulai membalas terhadap aktivitas PAIGC dengan melancarkan serangan-serangan pengebom; dan pada akhir tahun 1963 beberapa desa telah ditinggalkan karena penghuninya masuk ke dalam hutan. Pada tahun 1964 PAIGC membuka front kedua mereka di utara. Pada bulan April 1964 Portugis melancarkan serangan balasan. Mereka menyerang pulau Como yang dikuasai PAIGC di selatan negara itu. 3.000 prajurit Portugis, dengan dukungan udara dilibatkan, tetapi setelah 65 hari operasi dijalankan, mereka terpaksa mundur.

Tentara Portugis di Bissau pada 1960-an. Pada saat konflik terbuka pecah, Portugis hanya memiliki dua kompi infanteri di Guinea Bissau dan ini terkonsentrasi di kota-kota utama. Karena pasukan Portugis jumlahnya jauh lebih kecil di koloni ini daripada di Angola atau Mozambik, para gerilyawan berhasil menguasai wilayah yang luas di selatan dan di tengah Guinea Portugis dalam waktu yang singkat. (Sumber: https://en.wikipedia.org/)

PAIGC terus mengganggu tentara Portugis selama musim hujan. Pada titik tertentu di tahun 1964, para perencana Angkatan Udara Portugis sempat gagal memverifikasi target mereka dan mengebom posisi pasukan Portugis. Sebagai pembalasan, tentara dan pelaut Portugis menyerang barak skuadron Angkatan Udara mereka di ibu kota koloni Bissau. Pada tahun 1965 perang telah menyebar ke bagian timur negara itu; dan pada tahun yang sama PAIGC memperluas serangannya di wilayah utara negara itu, di mana pada saat itu hanya Front Pembebasan dan Kemerdekaan Guinea (FLING), sebuah kekuatan pemberontak kecil, yang beroperasi. Pada saat ini, PAIGC, mulai secara terbuka menerima dukungan militer dari Uni Soviet, Cina, dan Kuba. Perkembangan perang gerilya di Guinea Portugis difasilitasi dengan bantuan skala besar dari Uni Soviet. Moskow memberikan dukungan penuh kepada rekan-rekan mereka Afrika. Seperti yang diketahui, di Krimea, di desa Perevalnoe, terdapat Pusat Pelatihan rahasia ke-165 untuk melatih pasukan asing milik Kementerian Pertahanan Uni Soviet. Para pejuang dari organisasi revolusioner dan pembebasan nasional dari seluruh dunia dilatih di sana. Pada tahun 1965, kelompok pertama yang terdiri dari 75 pejuang PAIGC dilatih di pusat pelatihan ini. Pada awal tahun 1966, kelompok pejuang pertama meninggalkan Uni Soviet ke Guinea. Secara total, menurut beberapa data, sekitar 1500 partisan Guinea menjalani pelatihan di Perevalno selama 12 tahun perang kemerdekaan di Guinea Portugis (walaupun beberapa penulis yakin bahwa angka ini agak berlebihan). Keberhasilan operasi gerilya PAIGC lalu memaksa Exército Português do Ultramar (angkatan bersenjata luar negeri Portugis) dikerahkan di Guinea Portugis. Pada tahap awal, mereka terpaksa membatasi kegiatan mereka dengan hanya mempertahankan wilayah dan kota yang sudah mereka dikuasai. Tidak seperti wilayah Afrika lainnya di Portugal, taktik kontra-pemberontakan unit kecil Portugis lambat berkembang di Guinea. Operasi pertahanan, di mana tentara Portugis yang tersebar dalam jumlah kecil ditugaskan untuk menjaga bangunan penting, pertanian, atau infrastruktur, sangat melemahkan pasukan infanteri reguler Portugis, yang menjadi rentan terhadap serangan gerilya pasukan PAIGC di luar daerah berpenduduk padat. Mereka mengalami demoralisasi oleh pertumbuhan yang stabil dari simpatisan PAIGC dan rekrutmen di antara penduduk pedesaan. Dalam waktu yang relatif singkat, PAIGC telah berhasil mengurangi kontrol militer dan administratif Portugis atas negara itu ke wilayah Guinea yang relatif kecil. Skala keberhasilan ini dapat dilihat pada fakta bahwa penduduk asli Guinea di ‘wilayah yang dibebaskan’ menghentikan pembayaran utang kepada pemilik tanah Portugis serta pembayaran pajak kepada pemerintah kolonial.

Pasukan gerilyawan Afrika dengan senapan mesin berat buatan Soviet. Pada tahun 1965, kelompok pertama yang terdiri dari 75 pejuang PAIGC dilatih di pusat pelatihan di Soviet. Secara total, menurut beberapa data, sekitar 1500 partisan Guinea menjalani pelatihan di Perevalno selama 12 tahun perang kemerdekaan di Guinea Portugis (walaupun beberapa penulis yakin bahwa angka ini agak berlebihan). (Sumber: https://www.wikiwand.com/)
Perawat pasukan payung Portugis di Guinea Bissau tahun 1960-70an. Pada tahun 1967 PAIGC telah melakukan 147 serangan terhadap barak dan kamp tentara Portugis, 22 serangan terhadap lapangan-lapangan terbang dan pelabuhan, serta melancarkan 476 aksi pencegatan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka telah merampas 26 mortir, 86 pistol mitraliur, dan 397 senapan. (Sumber: https://m.facebook.com/)

Cabang perusahaan Companhia União Fabril (CUF), Mario Lima Whanon, dan Manuel Pinto Brandão lalu direbut oleh PAIGC di daerah-daerah yang mereka kuasai, sementara penggunaan mata uang Portugis di daerah yang dikuasai gerilya dilarang. Untuk mempertahankan ekonomi di wilayah-wilayah yang dibebaskan, PAIGC pada tahap awal terpaksa membentuk birokrasi administrasi dan pemerintahan Marxisnya sendiri, yang mengorganisir produksi pertanian, mendidik pekerja pertanian tentang melindungi tanaman dari kerusakan akibat serangan pemerintah, dan membuka armazéns do povo (toko rakyat) untuk menyediakan peralatan dan perlengkapan yang sangat dibutuhkan sebagai ganti hasil pertanian. Pada tahun 1966, militer Portugis sudah empat kali melancarkan operasi militer pencarian dan penghancuran di wilayah Iracunda yang gagal. Dalam masing-masing operasi beberapa ratus personel wajib militer dengan didukung berbagai persenjataan otomatis, mortir, bazoka, dan dukungan udara dikerahkan. Diperingatkan oleh para petani atau oleh unit patroli pengintaian mereka sendiri, personel PAIGC berhasil mundur, bahkan kemudian malah dapat mengepung tentara Portugis, dan melancarkan serangan malam untuk memporak-porandakan pasukan penyerang. Para pemberontak kadang-kadang juga akan melancarkan serangan tipuan untuk mengalihkan perhatian dari serangan utama di tempat lain. PAIGC umumnya menganggap personel wajib militer Portugis tidak kompeten saat bertempur di hutan. Pada tahun 1967 PAIGC telah melakukan 147 serangan terhadap barak dan kamp tentara Portugis, 22 serangan terhadap lapangan-lapangan terbang dan pelabuhan, serta melancarkan 476 aksi pencegatan. Mereka juga mengatakan bahwa mereka telah merampas 26 mortir, 86 pistol mitraliur, dan 397 senapan. Pada tahun itu mereka mengklaim telah membunuh 1.905 orang Portugis dengan “hanya” kehilangan nyawa 86 gerilyawan. Walau angka-angka ini meragukan, hal ini menunjukkan intensifnya aktivitas gerilya di Guinea-Bissau. Kebanyakan aktivitas gerilya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang melancarkan serangan-serangan jarak pendek dengan sejumlah kecil gerilyawan tinggal di wilayah yang diduduki pasukan Portugis. Di Guinea, rata-rata kelompok gerilya terdiri dari 17-25 orang. Akan tetapi mulai tahun 1971, PAIGC memilih menggelar kelompok-kelompok beranggotakan 120 orang yang beroperasi di malam hari, sebelum ditarik mundur ke tempat persembunyiannya dengan hanya meninggalkan unit komando mobile kecil di wilayah Guinea.

MASUKNYA JENDERAL SPINOLA

Meskipun kehadiran pasukan Portugis, yang lalu bertumbuh menjadi lebih dari 35.000 personel, PAIGC terus mampu memperluas pengaruhnya hingga sampai pada tahun 1968, bisa menguasai sebagian besar wilayah negara itu. Sedari tahun 1967, PAIGC menguasai dua pertiga wilayah Guinea Portugis. Dengan para gerilyawan bercokol di hutan, pemerintah Portugis menanggapinya dengan mengerahkan pesawat-pesawat tempur dan meningkatkan jumlah pasukannya (akhirnya bertambah menjadi sekitar 35.000) dan mulai mengebom dan menyerang tempat persembunyian para gerilyawan. Pada bulan Maret 1968 PAIGC melakukan serangan terhadap lapangan terbang utama Portugis di luar Bissau. Lapangan terbang ini dilindungi oleh kawat berduri, ladang ranjau, dan blokade. Tiga belas relawan PAIGC menyusup ke tepi lapangan terbang dan menembaki pangkalan, merusak pesawat-pesawat di darat, hanggar, dan instalasi lainnya. Mereka kemudian mundur tanpa menderita satupun korban. Situasi militer di Bissau terus membawa Portugis kedalam posisi yang tidak menguntungkan. Kedatangan Jenderal António Sebastião Ribeiro de Spínola yang karismatik dan efektif di Guinea Portugis pada tahun 1968, kemudian mampu mengkonsolidasikan kembali garis depan pertempuran. Selama periode konsolidasi kembali pasukannya, ia menutup sejumlah kamp yang sebelumnya didirikan di luar jangkauan dukungan militer yang memadai. Sebaliknya hal ini menyebabkan munculnya klaim dari PAIGC bahwa penarikan itu membuktikan strategi “dusun yang dibentengi” (sistem yang umum dipakai dalam perang anti gerilya, seperti di Malaya dan Vietnam) Portugis telah gagal. Terlepas dari risiko dan harga yang harus dibayar, Spinola akhirnya menghentikan penutupan kamp-kamp itu hanya untuk melawan narasi propaganda PAIGC.

Jenderal Antonio de Spinola, berbicara dengan tentaranya di daerah hutan Guinea-Bissau. Kedatangan Spínola yang karismatik dan efektif di Guinea Portugis pada tahun 1968, kemudian mampu mengkonsolidasikan kembali garis depan pertempuran. (Photo by Genevieve Chauvel/Sygma/Sygma via Getty Images/https://www.gettyimages.com/)

Portugis kemudian menempatkan sebuah kompi infanteri di Madina do Boé di timur dekat perbatasan dengan Guinea. Dengan sedikit penduduk dan bangunan yang harus dilindungi, dan perbatasan panjang yang dapat ditembus untuk dijaga, kompi ini akhirnya hanya bertugas melindungi diri mereka sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada manfaat nyata untuk menempatkan mereka di sana, pihak berwenang menolak untuk menarik unit tersebut sampai tahun 1969. Seperti yang dikhawatirkan, PAIGC menggunakan penarikan itu sebagai propaganda di hadapan wartawan asing. Pada pertengahan 1969 PAIGC meluncurkan Operasi Tenaz yang menyerang posisi Portugis di sekitar Bafata, di utara Sungai Corubal. Mereka mulai dengan menimbun amunisi secara diam-diam di bagian di belakang area pertempuran. Pengintaian lalu dilakukan oleh dua kelompok yang menyusup ke daerah itu untuk menemukan disposisi pasukan Portugis. Kemudian dua pasukan penyerang dari beberapa ratus orang memasuki daerah itu. Portugis lalu melakukan banyak operasi pencarian dan penghancuran terhadap personel PAIGC hingga sejauh 20 km dari perbatasan. Pada satu kesempatan lima helikopter mendaratkan 50 prajurit kulit putih ditambah beberapa tentara Afrika. Tiga puluh enam personel FARP di bawah pimpinan Bobo, komandan zona Sambuya, menarik pasukan Portugis ke daerah berhutan. Bobo lalu melancarkan serangan pada pukul 1700, menimbulkan beberapa korban jiwa, dan memaksa pasukan Portugis mundur. PAIGC mengklaim bahwa pihak Portugis menderita lima orang tewas dan beberapa terluka sedangkan mereka hanya menderita empat personelnya terluka.

SPINOLA DAN TAKTIK BARUNYA

Spinola menggunakan konsep aldearnenios sebagai dasar untuk upaya aksi sipilnya yang intens. Kampanye merebut “hati dan pikiran” rakyat-nya jelas mengkhawatirkan para pemimpin PAIGC. Amilcar Cabral, Sekretaris Jenderal dan ketua PAIGC, lalu mencerca bawahannya sambil berkata: “Sekitar tiga hari yang lalu tiga sekolah dibuka di Bissora. Spinola ada di sana … di tengah-tengah rakyat kita … sebuah granat seharusnya akan membunuh Spinola atau setidaknya akan menghentikan dia untuk bisa berjalan dengan tenang ….” Sebelum perang berakhir, 150.000 penduduk asli — 30% dari total penduduk Guinea Portugis — telah dimukimkan kembali oleh pihak Portugis. Kampanye propaganda yang dirancang Portugis untuk memenangkan kepercayaan penduduk asli, termasuk upaya untuk menghilangkan beberapa praktik diskriminatif terhadap penduduk asli Guinea, kampanye konstruksi besar-besaran dalam pelayanan umum pendirian termasuk sekolah baru, rumah sakit, perbaikan sistem telekomunikasi dan jaringan jalan. Niat Spinola pertama-tama adalah menahan perkembangan para pemberontak, untuk kemudian memukul kembali PAIGC dan kendalinya atas sebagian besar pedesaan di Guinea Portugis. Spinola juga berupaya menjalankan kebijakan “Afrikanisasi” pasukan kolonial, yang berharap bahwa beban peperangan dapat diserahkan kepada orang-orang Afrika itu sendiri. Sampai tahun 1950-an, pasukan militer Portugis yang ditempatkan secara permanen di Guinea terdiri dari pasukan kecil tentara kolonial Afrika yang direkrut secara lokal (caçadores indigenas) yang dipimpin oleh para perwira kulit putih. NCO-nya adalah campuran orang kulit putih, tentara luar negeri (African assimilados), dan penduduk asli atau pribumi Afrika (indigenato). Pemisahan diskriminatif ini lalu ditiadakan sebagai bagian dari kebijakan Afrikanisasi Jenderal Spínola, yang mengintegrasikan penduduk asli Afrika Guinea ke dalam pasukan militer Portugis di Afrika. Dua unit tempur — batalyon komando (Comandos Africanos) dan batalyon infanteri marinir (Fuzileiros Especiais Africanos) — kemudian dibentuk, dengan sepenuhnya diisi oleh orang-orang keturunan Afrika yang lahir di Guinea Portugis. Orang-orang Afrika juga bertugas di posisi perwira, sesuatu yang tidak terbayangkan bagi pasukan kolonial di masa lampau.

Pasukan Comandos Africanos Portugis. (Sumber: https://twitter.com/)
Pasukan Fuzileiros Especiais Africanos (marinir) Portugis di Afrika. (Sumber: https://novacidadania.pt/)

Unit Marinir Khusus orang-orang Afrika ini kemudian dipakai untuk melengkapi unit-unit elit Portugis lainnya yang melakukan operasi amfibi di wilayah sungai Guinea dalam upaya untuk menangkal dan menghancurkan pasukan dan perbekalan kaum gerilyawan. Kebijakan Afrikanisasi dari Jenderal Spínola juga mendorong peningkatan besar dalam perekrutan orang-orang pribumi ke dalam angkatan bersenjata, yang berpuncak pada pembentukan formasi militer orang-orang kulit hitam seperti Milisi Kulit Hitam (Milícias negras) yang dipimpin oleh Mayor Carlos Fabião. Pada awal tahun 1970-an, semakin banyak orang-orang asli Guinea yang bertugas sebagai perwira atau bintara dalam pasukan militer Portugis di Afrika, termasuk perwira berpangkat lebih tinggi seperti Kapten (kemudian Lt. Kolonel) Marcelino da Mata, orang kulit hitam Portugis yang lahir dari orang tua asal Guinea yang naik pangkat dari sersan pertama di unit teknik menjadi komandan di Comandos Africanos. Reformasi militer secara taktis oleh para komandan Portugis juga diperkenalkan, termasuk operasi amfibi baru untuk mengatasi beberapa masalah mobilitas yang melekat di daerah terbelakang dan berawa di negara itu. Operasi baru ini menggunakan Destacamentos de Fuzileiros Especiais (DFE)/detasemen marinir khusus yang berfungsi sebagai pasukan penyerang. Fuzileiros Especiais diperlengkapi secara ringan dengan senapan popor lipat m/961 (G3), peluncur roket kaliber 37mm, dan senapan mesin ringan seperti Heckler & Koch HK21 untuk meningkatkan mobilitas mereka di medan yang sulit dan berawa. Antara tahun 1968 dan 1972, pasukan Portugis meningkatkan postur ofensif mereka, dalam bentuk berbagai serangan ke wilayah yang dikuasai PAIGC. Pada saat ini pasukan Portugis juga menggunakan cara-cara yang tidak lazim untuk melawan para pemberontak, termasuk serangan terhadap struktur politik gerakan nasionalis. Strategi ini nantinya memuncak dalam upaya pembunuhan Amílcar Cabral pada bulan Januari 1973. Meskipun demikian, PAIGC terus meningkatkan kekuatannya, dan mulai menekan pasukan pertahanan Portugis.

Personel Destacamentos de Fuzileiros Especiais Portugis. Nampak pada gambar pasukan ini dilengkapi dengan senapan m/961 (G3). (Sumber: http://dfe3moz72-74.blogspot.com/)
Tentara Portugis dengan senapan mesin ringan Heckler & Koch HK21. (Sumber: https://www.hkpro.com/)

OPERASI LINTAS BATAS

Sementara itu dukungan Guinea terhadap PAIGC memang sepenuhnya sejalan dengan ideologi anti-kolonialisnya dan hal ini dipilih meskipun ada risiko yang signifikan. Serangan ke Guinea oleh pasukan dan pesawat Portugis sering terjadi, walau umumnya terbatas di daerah perbatasan. Meskipun demikian, biaya yang ditanggung Guinea untuk mendukung PAIGC sudah sangat tinggi bahkan sebelum adanya kekacauan yang disebabkan oleh serangan terhadap Conakry pada bulan November 1970. Pada tahun 1970, Angkatan Udara Portugis mulai menggunakan taktik bumi hangus, seperti yang digunakan oleh Amerika dalam Perang Vietnam dengan menjatuhkan bom napalm dan menggunduli hutan-hutan Guinea di mana pangkalan PAIGC bersembunyi. Pesawat-pesawat tempur Fiat G-81, F-84 Thunderjet dan Lockheed P-2V dipakai secara ekstensif dalam memberikan dukungan udara tentara Portugis. Sementara itu pesawat-pesawat F-86 Sabre ditarik dari penggunaan di Afrika atas desakan dari pihak Amerika. Namun bagaimanapun, armada utama dalam operasi udara Portugis adalah pesawat latih T-6 dan pesawat Dornier Do-27. Dalam upaya untuk menghambat bantuan kepada PAIGC dari, Portugal memulai Operação Mar Verde atau Operasi Green Sea pada tanggal 22 November 1970 dalam upaya untuk menggulingkan Ahmed Sekou Touré, pemimpin Republik Guinea dan sekutu setia PAIGC, sekaligus memutus jalur suplai ke pemberontak PAIGC. Operasi tersebut melibatkan sebuah serangan berani di Conakry, tempat perlindungan PAIGC, di mana 220 Fuzileiros Portugis (pasukan penyerang amfibi) dan 200 pemberontak Guinea anti-Ahmed Sékou Touré menyerang kota ini. Upaya kudeta gagal, meskipun Portugis berhasil menghancurkan beberapa kapal dan aset udara PAIGC serta membebaskan 26 tawanan perang Portugis. Salah satu akibat langsung dari Operasi Green Sea adalah meningkatnya eskalasi konflik, dengan negara-negara seperti Aljazair dan Nigeria, yang sekarang secara terang-terangan menawarkan dukungan kepada PAIGC. Uni Soviet kemudian mengirim kapal-kapal perang ke wilayah tersebut (dikenal oleh NATO sebagai unit Patroli Afrika Barat) dalam sebuah unjuk kekuatan yang direncanakan untuk mencegah serangan amfibi Portugis di masa depan di wilayah Republik Guinea. PBB juga mengeluarkan beberapa resolusi yang mengutuk semua serangan lintas perbatasan Portugis di Guinea, seperti Resolusi Dewan Keamanan PBB 290 dan Resolusi Dewan Keamanan PBB 295.

Sebuah pesawat Lockheed P-2 Neptune Angkatan udara Portugis, pada tahun 1970-an. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Sepasang Jet tempur G 91 di landasan BA 12 pada tahun 1968. Lukisan mulut hiu diterapkan pada pesawat Esquadra 121 di masa ini. (Sumber: https://www.key.aero/)
Sebuah pesawat Harvard IV membawa roket dan senapan mesin terbang di atas hutan Guinea yang lebat selama tahun 1968. (Sumber: https://www.key.aero/)

Dengan ini dukungan Guinea untuk PAIGC terus berlanjut, yang mana hal ini mencerminkan desakan para pemimpin negara itu untuk menempatkan beberapa kepentingan politik dan tujuan ideologis diatas pertimbangan ekonomi. Ketika PAIGC mulai mendapatkan lebih banyak kendali atas negara itu, mereka kemudian mendirikan pemerintahan sipil dan mengadakan pemilihan untuk Majelis Nasional. Dengan perkembangan ini, pasukan Portugis dan warga sipil semakin terkurung di garnisun-garnisun dan kota-kota besar mereka. Di tahun 1970, Portugis total mengerahkan 170.000 tentara di benua Afrika. Jika dibandingkan dengan total populasi Portugis yang relatif kecil, jumlah pasukan ini setara dengan lima kali lipat jumlah tentara Amerika yang ditugaskan di Vietnam di periode yang sama. Secara ekonomi perang kolonial Portugis di Afrika juga menguras anggaran negara itu, dimana pengeluaran militernya telah meningkat dari 25% pada tahun 1960 menjadi sekitar 40% di tahun 1967 (dari total budget negara). Pada tahun 1972, PAIGC menguasai sebagian besar Guinea Portugis meskipun terdapat kehadiran pasukan Portugis yang nyata di tempat itu. Akan tetapi mereka belum mengganggu kendali Portugis di Tanjung Verde. Pada tahun 1973 PAIGC sudah menguasai sekitar dua pertiga dari Guinea Portugis. Sebagian besar keberhasilan PAIGC ini dapat dikaitkan dengan Sekou Toure, Presiden Guinea, yang memberi Cabral kebebasan untuk beroperasi dari wilayah Guinea. Cabral, sementara itu, mampu menjaga jarak politiknya dari Toure, yang merupakan seorang radikal yang doktriner. Toure diketahui telah mendesak peningkatan aktivitas militer terhadap Portugis. Di bawah arahan Cabral, PAIGC berkembang menjadi kekuatan pemberontak paling sukses yang pernah dihadapi oleh Portugis. Cabral sangat bergantung pada bantuan militer Soviet dan Kuba, tetapi secara politik tetap moderat, dan telah menerima bantuan ekonomi dan politik yang meningkat dari negara-negara Skandinavia dan sejumlah organisasi filantropi internasional. Lambat laun, aksi PAIGC mendapat dukungan tidak hanya dari Uni Soviet, Kuba, negara-negara lain yang berorientasi sosialis dan negara-negara Afrika, tetapi juga dari seluruh komunitas dunia. Jadi, pada November 1972, Dewan Keamanan PBB secara resmi mengakui PAIGC sebagai satu-satunya wakil rakyat Guinea Portugis dan Tanjung Verde.

Ahmed Sekou Touré, pemimpin Republik Guinea dan sekutu setia PAIGC. (Sumber: https://www.trtworld.com/)
Peta wilayah yang dikuasai Portugis (hijau), yang disengketakan (kuning) dan wilayah yang dikuasai pemberontak (merah) di Guinea Portugis tahun 1970. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

PEMBUNUHAN AMILCAR CABRAL

Pembunuhan pada tanggal 20 Januari 1973 di Conakry, Guinea, terhadap Amilcar Cabral, Sekretaris Jenderal Partai Afrika untuk Kemerdekaan Guinea Portugis dan Tanjung Verde (PAIGC), untuk sementara menghentikan pemberontakan di Guinea Portugis. Saat itu Cabral, yang baru saja kembali dari sebuah resepsi di Kedutaan Polandia, dicegat dan dibunuh oleh anak buahnya sendiri. Pemimpin PAIGC itu ditembak di bagian belakang kepalanya. Innocente Camil, komandan angkatan laut gerilyawan, dilaporkan mengakui perannya dalam pembunuhan tersebut setelah usahanya untuk melarikan diri dengan kapal patroli PAIGC digagalkan dengan bantuan kapal perusak milik Soviet. Meskipun tidak ada bukti nyata yang menghubungkan Pemerintah Portugis secara langsung dengan pembunuhan itu, keterlibatan Lisbon tidak dapat dikesampingkan. Motif para penyerang hingga kini masih belum jelas. Sebagian besar tanda awalnya menunjuk pada perseteruan antara orang-orang keturunan mulatto dari Kepulauan Cape Verde dan orang-orang keturunan Afrika yang ada di wilayah daratan. PAIGC sendiri diketahui memiliki gejolak internal. Sudah terdapat indikasi selama beberapa tahun adanya gesekan antara kepemimpinan yang didominasi oleh orang-orang mulatto dan kader yang sebagian besar berkulit hitam. Kesukuan memang menjadi ciri khas dari kelompok-kelompok perlawanan lokal di Afrika. PAIGC terdiri dari para Asimilados di Bissau dan orang-orang suku Ballante (kira-kira 29% dari total populasi), akan tetapi orang-orang Muslim dari Suku Fula dan Mandinka (kira-kira 22% dari total populasi) tetap loyal kepada pihak Portugis. Cabral juga menghadapi tentangan serius meskipun secara sporadis dari para komandan militernya, yang terganggu oleh pembatasan aktivitas militernya di Guinea Portugis dan subordinasi militer yang terus menerus untuk tujuan-tujuan politik. Tapi pertikaian ini sepertinya tidak pernah lepas kendali sampai, tepat sebelum pembunuhan itu, perselisihan sengit dilaporkan meletus antara orang kulit hitam daratan yang mendukung Cabral, seorang Cape Verdean, dan orang-orang mulatto yang menentangnya. 

Amilcar Cabral dan Fidel Castro. Pada tanggal 20 Januari 1973 Cabral dibunuh di Conakry, Guinea. (Sumber: https://en.topwar.ru/)
Luis Cabral, saudara tiri Amilcar Cabral mengambil alih kepemimpinan PAIGC setelah Luis dibunuh. (Sumber: https://mimirbook.com/)

Pihak Portugis sendiri menyebut pembunuhan Cabral sebagai “tindakan serius dan terkutuk” dan menyangkal keterlibatan di dalamnya. Para penyerang Cabral, yang juga menculik beberapa pemimpin tinggi PAIGC lainnya, mengaku dalam rekaman deposisi bahwa mereka bekerja untuk Portugis. Menurut cerita rumit mereka, Lisbon akan memberikan kemerdekaan kepada pemerintah kulit hitam di Guinea Bissau dengan syarat bahwa para pembangkang membunuh Cabral dan mengganggu PAIGC. Mengingat perasaan anti-Portugis dari Presiden Guinea Toure dan kegemarannya untuk memamerkan persidangan, nilai bukti dari pengakuan itu meragukan. Meski begitu, keterlibatan Portugis tidak dapat dikesampingkan berdasarkan dari informasi awal yang diketahui. Upaya melarikan diri para pembunuh melalui laut ke arah Guinea Portugis menunjukkan bahwa Portugis mungkin terlibat, tetapi itu sendiri tidak meyakinkan. Pernyataan Portugis bahwa mereka mungkin lebih baik berurusan dengan Cabral, yang mereka kenal baik, daripada dengan pemimpin yang tidak dikenal dan mungkin kurang moderat, memiliki beberapa alasan kuat, tetapi hanya ada sedikit bukti yang menunjukkan bahwa mereka pernah bertindak berdasarkan keyakinan ini. Sementara itu, setelah pembunuhan Amilcar Cabral, kepemimpinan PAIGC diambil alih oleh saudara tirinya Luis Cabral (1931-2009), yang sebelumnya berprofesi sebagai akuntan.

PAIGC SEMAKIN MENGUAT

Secara umum, personel PAIGC di Guinea adalah yang dipersenjatai, dilatih, dan dipimpin paling baik dari semua kelompok gerilya Bissau. Setelah tahun 1968 pasukan PAIGC semakin banyak dipasok dengan senjata dan peralatan Soviet modern, terutama peluncur rudal anti pesawat SA-7, meriam AA yang dikendalikan radar, dan bahkan pesawat dalam bentuk beberapa pesawat Ilyushin Il-14. Senjata-senjata ini secara efektif merusak superioritas udara Portugis, dan mencegah penghancuran kamp-kamp PAIGC melalui udara di wilayah yang dikuasainya. Pada tahun 1970 PAIGC bahkan memiliki beberapa kandidat personel untuk dilatih di Uni Soviet, guna belajar menerbangkan jet tempur MIG dan mengoperasikan kapal serbu amfibi dan APC yang dipasok Soviet. Dukungan yang cukup besar untuk PAIGC juga datang dari Yugoslavia, yang dimulai setelah tahun 1968, dalam bentuk peralatan militer, pelatihan taktis, teknis, dan politik untuk kepemimpinan PAIGC, dan bantuan medis. Yugoslavia juga membangun rumah sakit yang lengkap di Boké untuk para pejuang PAIGC, yang dikelola oleh dokter Yugoslavia dan Kuba, yang merupakan andalan dalam dinas layanan kesehatan PAIGC. Senapan otomatis Simonov SKS dan senapan serbu Khalasnikov AK-47 adalah senjata perorangan yang kerap dipakai para gerilyawan. Mortir seperti yang berkaliber 82 mm buatan Russia adalah senjata yang berguna untuk dipakai dalam serangan jarak jauh, selain berbagai senjata artileri portabel lainnya. Diperkenalkannya rudal anti pesawat panggul jenis SA-7 buatan Soviet pada PAIGC dan jatuhnya, secara berurutan, beberapa pesawat Angkatan Udara Portugis pada musim semi tahun 1973 (pada bulan September pihak pemberontak mengklaim telah menembak jatuh 21 pesawat, termasuk yang menelan korban komandan udara setempat), diikuti oleh masa suram di Lisbon.

Sistem rudal anti pesawat SA-7. Rudal ini kemudian diberikan Soviet kepada gerilyawan PAIGC. (Sumber: https://weaponsystems.net/)
Senjata anti-pesawat ZPU-4 kaliber 14,5 mm (0,5 inci) terbukti sebagai senjata yang berbahaya di tangan personel PAIGC. (Sumber: https://www.key.aero/)
Prajurit pemberontak Guinea Dr Manuel Boal, mengenakan topi kufi, dengan senapan serbu AK-47 di bahunya, bersama tentara pemberontak di latar belakang, selama Perang Kemerdekaan Guinea-Bissau di Guinea Portugis, 14 Juni 1972.(Photo by Reg Lancaster/Daily Express/Hulton Archive/Getty Images/https://www.gettyimages.ae/)

Saat itu, rumor tentang rencana menyerah atas perang kolonialnya di Afrika sedang marak di Lisbon. Selain itu, secara luas diyakini bahwa penggunaan rudal ini akan mengakhiri atau mengekang aktivitas pengintaian udara dan dukungan operasi darat oleh militer Portugis, sehingga memberikan PAIGC keleluasaan lebih secara militer. Penggunaan taktik baru oleh Angkatan Udara Portugis kemudian dilaporkan bisa mengurangi risiko dari rudal tersebut, dan bersama dengan kemampuan buruk dari para penembak PAIGC, pada akhirnya bisa menumpulkan efektivitas dari senjata itu. Namun, yang jauh lebih penting dalam mengikis keuntungan psikologis yang diberikan oleh rudal SA-7 kepada PAIGC adalah keberhasilan militer Portugis dalam menghancurkan markas besar PAIGC di Senegal. Dalam operasi itu, pasukan Portugis, yang terdiri dari pasukan komando dengan personel berkulit hitam, dilaporkan telah membunuh 165 gerilyawan PAIGC dan menangkap atau menghancurkan lebih banyak persenjataan (termasuk penghancuran 13 unit rudal). Jumlah ini melampaui dari apa yang dicapai pada keseluruhan tahun 1972. Sementara itu, tidak ada protes dari Senegal atas insiden ini. Akibatnya, PAIGC kemudian menjadi tidak yakin bahwa salah satu dari banyak base camp di Senegal kebal dari serangan Portugis. Lewat serangan ini diharapkan bahwa PAIGC lalu akan mencurahkan lebih banyak tenaga dan daya tembaknya untuk melindungi fasilitas ini, sehingga mengurangi kekuatannya di Guinea Portugis. Mungkin karena alasan itu, aktivitas militer di Guinea menjadi sangat berkurang pada musim panas tahun 1973. 

Tentara PAIGC dengan pesawat Portugis yang ditembak jatuh, tahun 1974. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Operasi penyelamatan sukses pilot G91, Miguel Pessoa pada bulan Maret 1973 oleh pasukan khusus Portugis di Guinea. (Sumber: https://www.key.aero/)

Meski demikian pada bulan September 1973, laporan yang mendesak menyatakan bahwa PAIGC akan segera mendeklarasikan kemerdekaan di Guinea Portugis, ditambah dengan hilangnya banyak pesawat berharga di wilayah itu, mulai meyakinkan beberapa pemimpin Portugis bahwa sudah waktunya untuk mencari solusi politik atau, minimal, membuat opsi ketiga, yang dapat digunakan sebagai jalan keluar yang terhormat jika keadaan menjadi lebih buruk. Portugis kemudian memberi Kongres Rakyat Guinea setidaknya kekuatan politik yang nyata dan dengan syarat bahwa 90 persen peserta Kongres dipilih melalui hak pilih semua orang dewasa. Sementara itu Kongres Rakyat diikuti oleh orang-orang Afrika asli, dimana orang-orang kulit putih dan Mulatto tidak ambil bagian didalamnya. Kongres Rakyat tahunan Guinea yang lebih mirip dengan pemilihan legislatif tingkat provinsi tampaknya akan menjadi langkah besar dalam proses menyerahkan pengambilan keputusan politik ke penduduk wilayah itu. Ada juga tanda-tanda bahwa PAIGC sendiri mungkin tertarik untuk mencapai kesepakatan politik dengan Portugal, dan dapat dipercaya bahwa PAIGC telah melakukan kontak dengan Pemerintah Portugis di masa lalu dan terlibat dalam pembicaraan dengan perwakilan Portugis di Paris.

Pesawat latih serang Harvard IV difoto di atas Guinea dari helikopter Alouette III. (Sumber: https://www.key.aero/)
Tentara PAIGC memuat senjata, di Guinea-Bissau tahun 1973> Dukungan ke PAIGC. Lambat laun, aksi PAIGC mendapat dukungan tidak hanya dari Uni Soviet, Kuba, negara-negara lain yang berorientasi sosialis dan negara-negara Afrika, tetapi juga dari seluruh komunitas dunia. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Majelis Nasional PAIGC lalu bertemu di Boe di wilayah tenggara dan mendeklarasikan kemerdekaan Guinea-Bissau pada tanggal 24 September 1973 saat pertemuan para pejuang kemerdekaan gerilya yang diadakan di Madina do Boe, dekat perbatasan tenggara wilayah Portugis dengan Guinea. Para pemberontak telah mengancam akan mengambil langkah ini selama dua tahun terakhir. Menurut komunike yang dirilis di Conakry dan Dakar, Presiden Guinea Bissau berdasarkan  “Dewan Negara” dijabat oleh Luis Cabral, saudara dari pemimpin pemberontak Amilcar Cabral yang baru saja dibunuh. Di bawah konstitusi barunya, “pemerintahan” dipimpin oleh Francisco “Chico” Mendes, yang sering disebut sebagai “Perdana Menteri”, “Kepala Komisaris”, dan “Presiden Majelis Nasional Rakyat”. Aristides Pereira, yang terpilih untuk menggantikan Amilcar Cabral sebagai pimpinan pemberontak, tidak memiliki posisi dalam pemerintahan baru tetapi tetap menjadi Sekretaris Jenderal kelompok gerilya PAIGC, yang merupakan basis kekuatan pemerintah baru. Pada tanggal 04 Oktober 1973, Republik Guinea Bissau yang baru lahir telah diakui oleh 38 negara, termasuk Uni Soviet, RRC, Rumania, Yugoslavia, dan sejumlah negara Afrika. Pada waktunya, pengakuan dari sebagian besar negara “nonblok”, dan mungkin juga satu atau dua negara di Eropa Barat, diharapkan akan bisa memperluas pengakuan diplomatik dari negara ini. 

BATAS KEKUATAN PORTUGIS

Saat itu, tiga puluh ribu tentara Portugis menghadapi sekitar 8.000 gerilyawan di Guinea Portugis. Sebagian besar pertempuran sporadis di sana terjadi di dekat perbatasan wilayah itu dengan Senegal dan Guinea. PAIGC setidaknya menguasai kira-kira sepertiga wilayah Guinea Portugis di sepanjang perbatasan ini. Meskipun kematian Amilcar Cabral merupakan sebuah pukulan, namun inisiatif militer telah bergeser ke pihak pemberontak. Sebagian, ini karena PAIGC menggunakan rudal darat-ke-udara buatan Rusia yang digunakan pemberontak untuk menjatuhkan tujuh pesawat militer Portugis pada bulan Agustus 1973. Keberhasilan penggunaan rudal ini mungkin menjadi faktor dalam memberikan keyakinan PAIGC bahwa mereka bisa mendeklarasikan kemerdekaan. Alasan lain untuk langkah itu mungkin didorong oleh keinginan untuk meningkatkan kepercayaan dan moral di pihak gerilyawan, dan mendapatkan prestise di kalangan internasional, setelah pukulan yang mereka derita karena pembunuhan Amilcar Cabral. Gubernur Guinea, Jenderal Spinola yang dinamis, kemudian digantikan pada tahun 1973 oleh seorang Jenderal yang memiliki pengalaman luas di Angola. Selama lima tahun sebelumnya Jenderal Spinola telah memenangkan dukungan dari banyak orang melalui program pengembangan di masyarakat dan berbagai program lainnya. Tetapi aksi boikot minyak dari negara-negara Arab tahun 1973 akibat Perang Yom Kippur dan kenaikan harga yang mengikutinya telah sangat menguras cadangan keuangan Portugal yang pas-pasan. Selain itu, perang kolonial mereka telah berjalan buruk, setidaknya di Guinea-Bissau. Secara luas diyakini di seluruh kalangan militer bahwa perang di benua Afrika tidak dapat dimenangkan, seperti yang disaksikan sendiri oleh Jenderal de Spinola, komandan Angkatan Darat di Guinea-Bissau. Sebagai informasi, menjelang kemerdekaan Guinea pada tahun 1974, total pasukan Portugis di wilayah itu berjumlah sekitar 31.000 personel; di antaranya 24.800 berkulit hitam dan 6.200 berkulit putih. Saat itu kemampuan militer Portugis telah mencapai limit puncaknya.

Helikopter Alouette III terlibat dalam misi medevac di Farim pada tahun 1973. Menjelang kemerdekaan Guinea pada tahun 1974, total pasukan Portugis di wilayah itu berjumlah sekitar 31.000 personel; di antaranya 24.800 berkulit hitam dan 6.200 berkulit putih. Saat itu kemampuan militer Portugis telah mencapai limit puncaknya. (Sumber: https://www.key.aero/)
Prajurit PAIGC dengan granat berpeluncur roket, pangkalan militer Manten di daerah yang telah dibebaskan, Guinea-Bissau, 1974. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)
Pada tanggal 25 April 1974, pemerintahan Portugis pimpinan Presiden Thomas dan Perdana Menteri Caetano digulingkan. Hal ini dipicu oleh kebijakan Lisbon di Afrika dan perpecahan di kalangan militer. (Sumber: https://www.youtube.com/)

Spinola, pahlawan perang Portugal yang paling terkenal itu telah menulis sebuah buku yang berani mengatakan bahwa solusi militer untuk masalah pemberontakan di wilayah Afrika tidak mungkin didapat dan bahwa solusi politik harus segera ditemukan. Buku itu menciptakan sensasi ketika diterbitkan pada bulan Februari 1974. Buku itu kemudian menyebabkan “pawai di Lisbon”  pada bulan Maret, yang meski gagal telah membuat negara itu dicengkeram demam kudeta sejak saat itu. Kudeta yang hampir tidak berdarah lalu benar-benar terjadi pada tanggal 25 April 1974, yang menggulingkan pemerintahan Portugis pimpinan Presiden Thomas dan Perdana Menteri Caetano dipicu oleh kebijakan Lisbon di Afrika dan perpecahan di kalangan militer. Sangat terorganisir dan dipimpin dengan baik, para pemberontak mengejutkan pihak pemerintah. Para pemimpin pemberontakan, yang menyebut diri mereka “gerakan angkatan bersenjata”, hampir tidak dikenal. Mereka adalah perwira tingkat menengah yang mengabdi pada Jenderal Antonio de Spinola. Setelah menyiarkan proklamasi awal yang menyerukan liberalisasi kebijakan kolonial Portugal dan pemulihan kebebasan domestik, junta pemberontak segera meminta Jenderal Spinola untuk memimpin gerakan mereka. Sebuah junta tujuh orang yang dipimpin oleh Jenderal Antonio de Spinola kemudian mengambil alih kepemimpinan di Portugal. Kudeta ini sekaligus mengakhiri 48 tahun kediktatoran di Portugal dan membawa kemerdekaan kepada lima koloninya di Afrika.

GUINEA BISSAU SETELAH MERDEKA

Pada tanggal 26 Agustus 1974 Sebagai hasil dari negosiasi di Aljazair, Portugal berjanji untuk memastikan penarikan semua pasukan Portugis dari wilayah Guinea-Bissau pada akhir bulan Oktober 1974 dan secara resmi akan mengakui kemerdekaan dan pemerintahan negara tersebut. Setelah memerangi pemberontak PAIGC selama lebih dari satu dekade, Portugal lalu memberikan kemerdekaan kepada Guinea Portugis—sekarang Guinea-Bissau—pada tanggal 10 September 1974. Amerika Serikat segera mengakui negara baru itu hari itu juga. Luis Cabral, saudara tiri Amilcar Cabral, kemudian menjadi presiden Guinea-Bissau. Pasukan Portugis terakhir menarik diri dari Guinea-Bissau pada akhir tahun 1974, setelah PAIGC mengambil alih kendali negara yang baru merdeka itu. Sesudah merdeka, pasukan pribumi yang pernah bertugas di Angkatan Darat Portugis diberi pilihan untuk pulang bersama keluarga mereka sambil menerima gaji penuh sampai akhir Desember 1974, atau bergabung dengan militer PAIGC. Sebanyak 7.447 tentara kulit hitam Afrika yang pernah bertugas di unit komando asli Portugis, pasukan keamanan, dan milisi bersenjata memutuskan untuk tidak bergabung dengan partai penguasa yang baru dan dieksekusi oleh PAIGC, segera setelah pasukan Portugis menghentikan operasi militernya. Kepemimpinan PAIGC yang menggantikan Cabral tetap merasa berhutang ke Guinea yang telah mendukung mereka sejak lama, dan kedua negara tetap sangat dekat pada tahun 1975. Sifat hubungan mereka berubah, bagaimanapun, ketika pemerintah Guinea-Bissau secara bertahap pindah dari Conakry untuk berkedudukan di negara yang baru merdeka itu.

Gerilyawan PAIGC mengibarkan bendera baru Guinea-Bissau pada tahun 1974. Pada tanggal 10 September 1974, Portugal memberikan kemerdekaan kepada Guinea-Bissau. (Sumber: https://en.m.wikipedia.org/)

Pada akhir tahun 1980, pemerintah Guinea-Bissau digulingkan dalam kudeta yang relatif tidak berdarah. Dari sini, semua kepemimpinan “mulatto” PAIGC, yang dipimpin oleh Luis Cabral, digulingkan dari kekuasaan, dan Juan Bernardo Vieira, yang dijuluki “Comandante Nino“, menjadi kepala negara yang baru. Di bawah kepemimpinannya, PAIGC pada tahun 1981 akhirnya meninggalkan gagasan untuk menyatukan Guinea-Bissau dan Tanjung Verde. Sementara itu, ada dugaan beberapa plot kudeta terhadap pemerintah Vieira sempat muncul pada tahun 1983, 1985, dan 1993. Presiden Vieira kemudian benar-benar digulingkan oleh junta militer pada bulan Mei 1999, tetapi kembali menjabat dalam pemilihan pada bulan Agustus 2005. Pada tahun 2009 siklus penculikan dan kekerasan muncul kembali. Hal ini mungkin didorong oleh peran Guinea-Bissau dalam perdagangan narkoba regional di kawasan Afrika Barat, menghasilkan disintegrasi lebih lanjut, termasuk pembunuhan para pemimpin paling senior negara itu, termasuk Vieira. Guinea-Bissau dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi titik transit utama kokain, yang diselundupkan melintasi Samudera Atlantik tengah dari Amerika Latin ke Afrika Barat dalam perjalanan ke Eropa. Guinea-Bissau adalah salah satu negara paling tidak berkembang di dunia dan terutama bergantung pada pertanian dan perikanan. Guinea-Bissau mengekspor beberapa ikan dan makanan laut, meskipun sebagian besar penangkapan ikan di perairan Guinea-Bissau saat ini tidak dilakukan oleh orang Guinea-Bissau dan tidak ada ikan atau makanan laut yang diproses di Guinea-Bissau untuk diekspor. Biaya lisensi untuk mendapatkan ijin memancing telah memberi pemerintah sejumlah pendapatan, namun produk terpenting negara ini adalah kacang mete. Krisis keuangan global pada tahun 2009 diketahui telah mengakibatkan turunnya harga kacang mete, hasil panen utama dari negara itu.

DAMPAK PERANG KOLONIAL BAGI PORTUGAL

Sebuah laporan Kementerian Pertahanan, yang pertama muncul setelah konflik tahun 1961-1975, mengatakan bahwa 8.920 tentara Portugis tewas dan 23.233 lainnya terluka selama perang kemerdekaan di tiga dari lima koloni Portugal di Afrika. Hanya Koloni pulau Tanjung Verde dan Sao Tome, yang bisa dibilang mendapatkan kemerdekaannya dengan damai. Sementara itu tidak ada angka akurat yang tersedia mengenai jumlah orang Afrika yang tewas dan terluka dalam konflik-konflik tersebut. “Beberapa orang akan mengatakan bahwa kami akan membutuhkan waktu lama untuk mengungkap fakta-fakta ini”, tulis Jenderal Manuel Freire Themuda Barata dalam pengantarnya untuk laporan yang diterbitkan pada akhir tahun 1988. Sementara orang lain akan mengatakan pengungkapan itu datang terlalu cepat. Pensiunan Jenderal Altino Pinto Magalhes, yang menjalani dua tugas terpisah di Angola dan sempat mengepalai Liga Veteran Perang Portugis di tahun 1989, mengatakan bahwa adalah hal yang baik untuk membicarakan fakta atas perang kolonial Portugis di masa lampau. “Pada awalnya orang-orang Portugis mendukung perang karena rasa solidaritas dan patriotisme,” kata Magalhes. Tapi setelah berlangsung lama, hingga 14 tahun, kemudian tidak ada lagi ilusi akan dicapainya sebuah kemenangan. Sekitar 800.000 orang Portugis diyakini telah terlibat dalam perang di benua Afrika. Mayor Manuel Lopes Dias, juru bicara Asosiasi Penyandang Cacat Angkatan Bersenjata (ADFA), mengatakan 12.000 anggota organisasi tersebut menderita masalah fisik dan psikologis, beberapa di antaranya baru saja muncul beberapa belas tahun setelah perang berakhir, dan banyak di antaranya diperparah oleh proses birokrasi Portugis yang sangat lambat dan rumit. Dengan suramnya pengalaman para veteran ini, maka tidaklah berlebihan bila perang kolonial Portugis di Guinea Bissau disebut sebagai “Vietnam-nya Portugis”.

Dengan suramnya pengalaman para veteran yang terlibat di dalamnya, maka tidaklah berlebihan bila perang kolonial Portugis di Guinea Bissau disebut sebagai “Vietnam-nya Portugis”. (Sumber: https://id.pinterest.com/)

Diterjemahkan dan ditambahkan kembali dari:

Guinea-Bissau War of Independence

https://www.globalsecurity.org/military/world/war/guineabissau.htm

https://en.m.wikipedia.org/wiki/Guinea-Bissau_War_of_Independence

“Portuguese Vietnam”. How with the help of the USSR Guinea-Bissau achieved independence; April 29 2016

https://en.topwar.ru/94688-portugalskiy-vetnam-kak-s-pomoschyu-sssr-gvineya-bisau-dobilas-nezavisimosti.html

WAR IN PEACE: An Analysis Of Warfare Since 1945, Consultant Editor: Sir Robert Thompson, Introduction by John Keegan; 1981, p 152-155, p 157

Portugal Takes a Look at Its Own “Vietnam” in Film and Books by SUSAN LINNEE; March 1, 1989

https://apnews.com/article/85df5da9304e4f0644f2784ebdd3a2ac

2 thoughts on “Perang Kemerdekaan Guinea Bissau (1963-1974): Mimpi Buruk Ala Vietnam Bagi Portugis

  • Min.. Tolong post tupac amaru mksh

    Reply
    • Victor Sanjaya

      Ya kapan..kapan

      Reply

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *